Monday, March 25, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 2. Taubat.


Semua ulama bersepakat, bahwa taubat dari setiap perbuatan dosa hukumnya wajib. Apabila perbuatan maksiat tersebut terkait hubungan antara hamba dengan Allah Ta'ala, bukan terkait dengan hak manusia, maka hal itu memiliki tiga syarat:

1. Hendaklah berhenti daripada melakukan perbuatan maksiat.

2. Berasa menyesal kerana telah melakukan perbuatan maksiat.

3. Mempunyai tekad yang kuat untuk tidak melakukan kembali.

Apabila salah satu dari tiga syarat tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah.

Tapi, jika perbuatan maksiat berkaitan dengan hak manusia, maka ia mempunyai empat syarat. Yaitu, selain tiga syarat di atas, pelaku maksiat harus menyelesaikan permasalahan yang menyangkut hak orang lain. Apabila hak tersebut berupa harta dan semisalnya, dia harus mengembalikannya. Apabila berupa tuduhan zina dan semisalnya, dia harus mengajukan diri untuk menerima hukum had, atau meminta maaf kepadanya. Dan apabila dia berghibah, maka dia harus meminta kerelaannya.

Bertaubat dari segala dosa hukumnya wajib. Jika dia bertaubat dari sebagian dosanya, menurut Ahlul Haq, taubatnya sah. Namun dia masih wajib bertaubat dari sebagian dosa yang lain.

Terdapat banyak dalil, baik dari Al-Qur'an dan As-Sunnah atau ijma' (konsensus ulama), yang menjelaskan bahwa taubat merupakan sebuah kewajiban.

Allah ﷻ berfirman:
۞وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ۞
“Dan bertaubat kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nûr: 24: 31)

Allah ﷻ berfirman:
۞اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ۞
Hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya.” (QS. Hûd: 11: 3)

Allah ﷻ berfirman:
۞يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا۞
Hai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).” (QS. At-Tahrîm: 66: 8)

Penjelasan.

Secara bahasa (etimologi), taubat berarti kembali. Sedangkan secara istilah (terminologi), taubat berarti kembali dari perbuatan maksiat menuju ketaatan kepada Allah Ta'ala.

Taubat yang paling wajib dan paling besar adalah taubat dari kekufuran menuju pada keimanan. 

Allah Ta'ala berfirman,

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, (Abu Sufyan dan kawan-kawannya) 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (QS. Al-Anfâl: 8: 38)

Setelah itu, bertaubat dari dosa-dosa besar. 

Tingkatan yang ketiga adalah taubat dari dosa kecil.

Setiap orang wajib untuk bertaubat kepada Allah Ta'ala dari segala dosa.

Taubat mempunyai tiga syarat, sebagaimana disebutkan oleh penulis (Imam An-Nawawi). Akan tetapi, jika diamati secara seksama, syarat taubat ada lima.

Syarat-Syarat taubat. 

1. Ikhlas semata-mata kerana Allah.

Taubat seseorang harus dimaksudkan semata-mata mengharap wajah Allah, juga berharap Allah menerima taubatnya dan mengampuni perbuatan maksiatnya. Taubat yang dia lakukan bukanlah ingin dipuji atau mendekatkan diri kepada manusia. Tidak pula untuk menghindarkan diri dari hukuman penguasa dan pemimpin. Tetapi dia bertujuan untuk mengharap ridha Allah dan akhirat, serta mengharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosanya.

2. Menyesal kerana telah melakukan perbuatan maksiat.

Kerana penyesalan inilah yang menunjukkan bahwa seseorang bersungguh-sungguh dalam bertaubat. Maksudnya, dia merasa rugi dan sedih atas apa yang telah dia lakukan. Di samping itu dia tidak menganggap apa yang dia lakukan dibolehkan dalam agama, hingga dia benar-benar bertaubat kepada Allah.

3. Berhenti melakukan perbuatan maksiat yang ia lakukan.

Syarat ini merupakan taubat yang paling penting. Cara berhenti melakukan perbuatan maksiat, apabila maksiat tersebut berupa meninggalkan kewajiban, maka harus menjalankan kewajiban tersebut. Seperti orang yang tidak mengeluarkan zakat, dia ingin bertaubat kepada Allah, maka dia harus bertaubat dengan cara mengeluarkan zakat yang telah lalu yang belum sempat dia keluarkan. Apabila dia berbuat maksiat kerana melalaikan kewajiban berbakti kepada orangtua, maka dia wajib berbakti kepada orangtua. Apabila dia kurang menyambung tali silaturahmi, maka dia wajib bersilaturahmi. Apabila melakukan perbuatan yang dilarang, maka dia wajib segera berhenti melakukan perbuatan tersebut.

Misalnya, ada orang yang memakan riba, kemudian dia hendak bertaubat, maka dia wajib meninggalkan dan menjauhi riba, serta mengeluarkan seluruh apa yang dia dapatkan dengan cara riba. 

Apabila maksiat itu berupa penipuan atau berdusta kepada orang lain, dan pengkhianatan terhadap amanah, dia wajib berhenti dari perbuatan tersebut. Apabila dia memperoleh harta dengan cara yang tidak benar, dia wajib mengembalikan kepada pemiliknya, atau meminta keridhaannya. Apabila berbentuk ghibah, maka dia wajib berhenti dari aktivitas berghibah dan aktivitas membicarakan keburukan orang lain.

Sementara jika ada orang yang mengaku bahwa dia sudah bertaubat kepada Allah, tapi dia meninggal kewajiban dan terus melakukan perbuatan haram, maka taubatnya tidak diterima. Bahkan taubat seperti ini seolah-olah mengolok-olok Allah. Bagaimana kamu bertaubat kepada Allah, tapi kamu tetap berbuat maksiat kepada-Nya?”

Sendainya kamu berinteraksi dengan seseorang, kamu katakan, “Saya minta maaf, saya benar-benar menyesal, dan saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi.” Tapi ternyata di dalam hatimu masih terbesit untuk mengulanginya lagi. Maka, apa yang kamu lakukan itu, sebenarnya adalah ejekan kepada orang tersebut. Lalu bagaimana jika hal itu kamu lakukan kepada Allah, Tuhan semesta alam? Orang yang benar-benar bertaubat adalah orang yang melepaskan diri dari dosa.

Sungguh aneh, sebagian manusia di sekitar kita ada yang mengeluh riba, tapi dia sendiri menerapkannya. Ada juga yang mengeluhkan orang yang suka berbuat ghibah dan memakan daging haram, tapi dia sendiri adalah orang yang paling sering berbuat ghibah. Ada juga orang yang menyayangkan orang lain yang suka berbuat bohong dan tidak amanah, tapi dia sendiri orang yang paling sering berdusta dan tidak amanah.

Yang jelas, manusia harus melepaskan diri dari dosa yang sudah dia tinggalkan dengan cara bertaubat. Jika dia tidak melepaskan diri darinya, taubatnya tidak diterima dan tidak berguna di sisi Allah. Melepaskan diri dari dosa bisa berupa melepaskan diri dari dosa yang berkaitan dengan hak Allah. Dan ini cukup dilakukan dengan bertaubat antara kamu dan Tuhanmu. Tidak perlu -atau bahkan kami katakan tidak boleh- kamu mengatakan kepada manusia bahwa kamu melakukan perbuatan haram atau meninggalkan kewajiban, kerana hal itu adalah masalah antara kamu dan Allah. Jika Allah telah menutupi aibmu dan menutupimu dari manusia, kamu jangan menceritakan apa yang kamu lakukan itu, jika kamu sudah bertaubat kepada Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Setiap umatku diampuni, kecuali orang-orang yang berbuat maksiat secara terang-terangan.

Termasuk bagian tindakan yang dilakukan oleh orang yang bermaksiat secara terang-terangan adalah seperti yang dijelaskan dalam hadits,

Melakukan perbuatan dosa, kemudian keesokan harinya dia menceritakan kepada orang lain seraya berkata, Aku telah melakukan begini dan begitu...

[Shahih Al-Bukhari no. 6069. Muslim no. 2990]

Hanya saja, sebagian ulama berkata, “Jika seseorang mengerjakan dosa, wajib mendapatkan hukuman dera (had) -misalnya zina- hukumnya tidak mengapa dia menceritakannya kepada hakim yang menegakkan hukum seperti pemimpin dan berkata bahwa dia telah berbuat dosa begini dan ingin membersihkan diri darinya. Namun, sebaiknya dia menutupinya.”

Yakni, jika seseorang berbuat maksiat yang sanksinya didera, dia diperbolehkan, pada keesokan harinya untuk melaporkan kepada pemimpin, seraya mengatakan bahwa dia telah berbuat begini dan begitu serta meminta agar ditegakkan hukum had kepada dirinya, kerana had dapat menebus dosa. 

Sementara, jika berbentuk maksiat yang lain, hendaknya kamu menutupinya sendiri, sebagaimana Allah menutupinya. Begitu juga zina dan lain-lainnya, sembunyikanlah aib tersebut dari selain hakim yang menegakkan hukum. Jangan sekali-kali kamu menyebarluaskan aibmu sendiri.

Selama kamu benar-benar bertaubat dari dosa yang terjadi antara kamu dan Allah, maka Allah akan menerima taubatmu itu dan memaafkan dosa-dosa kecilmu.

Sementara jika dosa itu terjadi antara kamu dan makhluk, jika dosa itu berkaitan dengan harta, kamu harus membayarkannya kepada yang berhak dan tidak diterima taubat itu, kecuali dengan membayarkannya. Misalnya, kamu mencuri sesuatu dari seseorang dan kamu bertaubat darinya, kamu harus mengembalikan barang yang kamu curi itu kepada pemiliknya.

Jika kamu merampas hak orang lain, seperti mempunyai hutang kepada seseorang, tapi kamu mengingkarinya, kemudian kamu bertaubat, kamu harus pergi ke pemilik uang yang kamu ingkari itu dan mengaku kepadanya hingga dia mengambil haknya. Jika dia telah meninggal, kamu harus memberikannya kepada ahli warisnya. Jika kamu tidak mengetahui atau orang itu menghilang darimu dan kamu tidak tahu tempatnya, sedekahkanlah barang curian tersebut atas nama pemiliknya, demi melepaskan dosa dan Allah Maha Mengetahui bahwa kamu telah melaksanakannya.

Adapun jika kemaksiatan yang kamu lakukan berupa pukulan dan semisalnya, hendaklah kamu menemui orang yang kamu pukul itu dan membiarkan dia membalasmu dengan hal yang sama. Apabila kamu memukul punggungnya, balasannya pun di punggung. Apabila di kepala balasannya pun di kepala, dan begitu seterusnya. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan balasan sesuatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 40)

Allah Ta'ala juga berfirman,

Oleh sebab itu, barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangan terhadap kamu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 194)

Jika kamu menyakitinya dengan kata-kata, maka dia juga harus membalas menyakitimu dengan kata-kata seperti jika kamu telah mencela, mencaci, dan mengejek seseorang di hadapan manusia, kamu harus pergi menemuinya dan meminta maaf dengan konsekuensi yang kalian sepakati bersama. Bahkan, jika dia berkata, “Aku tidak rela kecuali jika aku diberi uang sebesar begini dan begitu.” Hendaknya kamu memenuhi permintaannya.

Jika hak kamu rampas itu berupa ghibah, kamu menyebarkan aib seseorang kepada manusia -padahal orang yang kamu bicarakan itu tidak ada ketika kamu berbicara-dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa kamu harus pergi kepada orang yang kamu gunjingkan (mengumpat, menfitnah) itu dan kamu katakan kepadanya, “Ya fulan, aku telah menggunjingmu di hadapan manusia begini dan begitu, maafkan aku.”

Sebagian ulama ada yang mengatakan, “Tidak perlu menemuinya, tapi dalam hal ini ada perincian; Jika orang yang kamu gunjingkan itu sudah mengetahui ghibah ini, sebaiknya kamu pergi menemuinya untuk meminta maaf. Tapi, jika dia tidak tahu, jangan pergi menemuinya dan meminta ampunan kepada Allah, sebarkan kebaikannya dalam majelis di tempat kamu menggunjingkan dia, kerana kebaikan dapat menghilangkan keburukan.”

Menurut hemat saya, pendapat ini lebih tepat, yaitu bahwa jika orang yang digunjingkan tidak mengetahui, cukuplah kamu menyebutkan kebaikan-kebaikannya di majelis tempat kamu menggunjingkannya serta memintakan ampun kepada Allah, seperti mengatakan, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosanya.”

Sebagaimana di jelaskan dalam hadits:

Untuk menebus dosa orang yang kamu gunjingkan, kamu harus memohon ampun kepada Allah untuknya.

[Dikeluarkan oleh Al-Kharaithi dalam Masawi' Al-Akhlaq no. 213, Hartis dalam musnadnya no. 1080 (Zawaid Al-Haitsami) dari Anas, dalam mata rantai perawi itu terdapat 'Anbasah bin Abdurrahman: hadits matruk. Dari jalur lain, hadits ini diriwayatkan dari Anas, dikeluarkan oleh Al-Kharaithi no. 213, Az-Zahabi dalam Tazkirah Al-Huffazh no. 3/976, dalam mata rantai perawi ini juga terdapat 'Anbasah. Jalur yang ketiga, dikeluarkan oleh Al-Khathib dalam Tarikh Baghdad no. 7303. Hadits ini mempunyai jalur dan hadits pendukung yang lain yang disebutkan oleh Al-'Ajluni dalam Kasyfu Al-Khafa no. 1932, disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dha'if Al-Jami no. 4190. Menurut Syaikh Al-Albani, hadits ini maudhu'. As-Syudi menyandarkannya kepada Ibnu Abi Ad-Dunya, dalam Ash-Shumt.]

Oleh kerana itu, dalam bertaubat, kamu harus menyampaikan semua hak kepada yang bersangkutan.

4. Bertekad untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa itu di masa yang akan datang.

Jika kamu berniat ingin mengulanginya lagi bila ada kesempatan, taubatmu tidak diterima. Misalnya, ada orang yang membelanjakan hartanya untuk berbuat maksiat kepada Allah, seperti membeli barang-barang yang memabukkan, pergi ke negara-negara tetangga untuk berzina dan mabuk-mabukan, kemudian dia tertimpa musibah kemiskinan, lalu berkata, “Ya Allah, aku bertaubat kepadamu.” Maka, dia adalah dusta jika di waktu yang sama dia berniat bahwa jika pulih kekayaannya, dia akan mengulangi lagi perbuatan dosa itu.

Ini adalah jenis taubat orang yang lemah, kerana kamu bertaubat atau pun tidak, kamu tetap tidak mampu meninggalkan kemaksiatan itu. Ada sebagian manusia yang ketika ditimpa kemiskinan berkata, “Aku akan meninggalkan dosa-dosa itu.” Tetapi, dalam hatinya terbesit bahwa jika keadaannya pulih, dia akan melakukan seperti yang pernah dilakukannya dahulu. Maka taubat seperti ini tidak diterima.

5. Taubat dilakukan ketika taubat masih diterima.

Jika seseorang bertaubat di waktu taubat sudah tidak diterima lagi, maka taubatnya tidak bermanfaat. 

Waktu dimana taubat masih bisa diterima dibagi menjadi dua macam:

Pertama, taubat dilakukan sebelum ajal tiba.

Jika seseorang bertaubat setelah ajal tiba, taubatnya tidak bermanfaat baginya, kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, Aku benar-benar bertaubat sekarang.” (QS. An-Nisâ: 4: 18)

Allah Ta'ala juga berfirman,

Maka tatkala mereka melihat adzab Kami, mereka berkata, Kami beriman hanya kepada Allah saja, dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.' Maka iman mereka tiada berguna bagi mereka tatkala mereka melihat siksa Kami. Itulah sunnah Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah orang-orang kafir.
(QS. Al-Mu'min: 40: 84-85)

Jika kematian telah mendekati seseorang dan ajal telah menjemputnya sehingga dia putus asa untuk hidup, maka taubatnya tidak akan terima, kerana taubatnya dilakukan setelah dia putus asa untuk hidup dan dia tahu bahwa dirinya sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka dia bertaubat. Taubat semacam ini dilakukan kerana terpaksa, sehingga tidak bermanfaat dan tidak diterima. Seharusnya, taubat itu dia lakukan sejak dahulu.

Kedua, saat-saat bertaubat secara umum.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan bahwa,

Hijrah tidak terputus hingga taubat terputus, dan taubat tidak terputus hingga matahari terbit dari barat.

[HR. Abu Dawud no. 2479. Ad-Darimi dalam sunan-nya no. 2513 dan Ahmad dalam Musnad no. 4/99, dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 7469]

Apabila matahari telah terbit dari barat, taubat seseorang tidak akan ada gunanya. 

Allah Ta'ala berfirman,

Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu, tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. (QS. Al-An'âm: 6: 158)

Seperti yang ditafsirkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagian tanda-tanda kebesaran Allah itu adalah terbitnya matahari dari barat. Jadi taubat harus dilakukan pada waktu di mana taubat bisa diterima. Jika tidak, taubat seseorang tidak akan ada gunanya.

Kemudian para ulama berselisih pendapat; taubat seseorang yang melakukan dosa secara berulang-ulang dapat diterima ataukah tidak?”

1. Sebagian ulama berpendapat bahwa bertaubat dari dosa hukumnya sah, walaupun dia melakukan perbuatan dosa itu secara berulang-ulang. Dalam hal ini, taubatnya tetap diterima, sementara dosa yang dilakukannya kebelakangan masih tetap ada dan belum terampuni.

2. Di antara mereka berpendapat, “Taubat orang yang mengulang-ulang dosanya setelah bertaubat, taubatnya tidak diterima.”

3. Di antara mereka ada yang merinci seraya berkata, “Jika dosa yang dilakukan secara berulang-ulang setelah bertaubat itu dosa yang kerananya dia bertaubat, maka taubatnya tidak diterima, jika bukan, maka taubatnya diterima.”

Misalnya, ada seseorang bertaubat dari dosa riba, tapi dia berzina atau minum khamer. Walaupun dia bertaubat dari riba, tapi dia terus minum khamer. Menghadapi kasus seperti ini, di antara ulama ada yang berpendapat bahwa taubatnya dari riba tidak diterima, kerana bagaimana bisa disebut bertaubat kepada Allah sedangkan dia terus melakukan dosa minum khamer?”

Sebagian ulama berpendapat, “Taubat diterima, kerana riba adalah sesuatu dan minum khamer adalah sesuatu yang lain.” Inilah pendapat yang dijadikan landasan oleh penulis (Imam An-Nawawi), dan beliau juga mengatakan bahwa taubat dari suatu dosa, sementara dia tetap mengerjakan dosa-dosa yang lain, maka taubatnya diterima menurut ulama. 

Dalam hal ini, ada perbedaan. Jika dosa itu berkaitan dengan lawan jenis, seperti seseorang yang melakukan perbuatan zina, melihat aurat wanita, melihat mereka dengan syahwat dan sebagainya, apakah taubat dari zina itu diterima, padahal dia selalu melihat wanita dengan syahwat? Atau sebaliknya?

Dalam masalah ini juga terjadi perbedaan pendapat. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa taubatnya sah dan ada yang mengatakan tidak sah. 

Tapi, yang benar dalam masalah ini bahwa taubatnya sah dari segala dosa, walaupun dia terus melakukan dosa-dosa yang lain. Tapi, orang itu tidak disebut bertaubat secara mutlak dan tidak berhak untuk dipuji seperti pujian yang diberikan kepada orang-orang yang bertaubat secara benar, kerana dia tidak bertaubat dengan taubat yang sempurna, melainkan taubat yang setengah-setengah.

Dia bertaubat dari dosa ini dan dosanya hilang, akan tetapi dia tidak berhak untuk disifati dengan orang yang bertaubat secara mutlak. Mungkin, pendapat inilah yang tepat menurut kami, yaitu kita tidak menyifatkannya dengan orang yang bertaubat secara mutlak, tapi tidak menutup kemungkinan taubatnya dari dosa yang dia bertaubat di dalamnya itu diterima. Seperti yang telah dijelaskan penulis, bahwa teks-teks, baik dari Al-Qur'an mahupun As-Sunnah yang menjelaskan tentang kewajiban taubat dari segala dosa sangat banyak. Beliau benar, bahwa memang ayat-ayat yang menyuruh untuk bertaubat sangat banyak, begitu juga hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.

Allah Ta'ala telah menjelaskan di dalam kitab-Nya, bahwa dia mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci. Orang-orang bertaubat adalah orang-orang yang banyak bertaubat kepada Allah dan setiap kali berbuat dosa dia langsung bertaubat kepada-Nya. Di antara teks Al-Qur'an yang disebutkan oleh penulis adalah firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nûr: 24: 30-31)

Ayat ini menjadi dalil tentang wajibnya kita bertaubat dari tidak menundukkan pandangan mata dan tidak menjaga kemaluan, kerana menundukkan padangan mata artinya mengurangi pandangan mata dan tidak melihat sebarangan. Tidak menundukkan pandangan dan tidak menjaga kemaluan termasuk bagian dari faktor yang menyebabkan kehancuran, kesengsaraan dan bencana.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tidak ada fitnah setelahku yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada wanita.

[Shahih Al-Bukhari no. 5096. Muslim no. 2741]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya fitnah yang pertama kali menimpa Bani Israil adalah kerana perempuan.

[Shahih Muslim no. 2742]

Oleh kerana itu, musuh-musuh kita, musuh-musuh Islam, bahkan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya, dari kalangan Yahudi, Nasrani, orang-orang musyrik, komunis dan sebagainya, kelompok-kelompok yang sejenis dengannya dan pengikut-pengikut mereka, semuanya sangat antusias untuk menfitnah kaum muslimin dengan wanita, mereka mengajak untuk bertelanjang ria, bercampur antara laki-laki dan perempuan, dan bermoral bebas. Mereka mengajak dengan lisan, tulisan dan perbuatan mereka, kerana mereka tahu bahwa fitnah terbesar yang melupakan manusia akan Tuhan dan agamanya adalah perempuan.

Kaum perempuanlah yang dapat menghancurkan orang-orang yang berakal, seperti disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku tidak melihat ada orang yang kurang akal dan agamanya, dapat melalaikan hati laki-laki (yang berakal), selain salah satu dari mereka (kaum perempuan).”

Apakah kamu ingin melihat lebih jelas lagi?

Perempuan dapat melalaikan hati seorang laki-laki ahli ibdah! Lalu bagaimana halnya dengan laki-laki yang tidak mempunyai pegangan, tidak punya semangat, tidak punya agama, dan tidak punya keperwiraan, bukankah dia akan jauh lebih mudah termakan fitnah?

Namun, memang demikian realitanya, perempuan dapat menghilangkan akal laki-laki ahli ibdah. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala setelah memerintahkan untuk menundukkan pandangan, Dia berfirman,

Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (QS. An-Nûr: 24: 31)

Kita harus senantiasa saling berwasiat untuk bertaubat dan kita harus sentiasa saling mengawasi apakah seseorang bertaubat dari dosanya ataukah terus melakukannya, kerana Allah Ta'ala mengarahkan firman-Nya itu kepada semua orang.

Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung. (QS. An-Nûr: 24: 31)

Firman Allah, Agar kamu beruntung.” Ini merupakan dalil bahwa taubat termasuk salah satu faktor keberuntungan. Menurut ahli tafsir dan ahli bahasa bahwa keberuntungan merupakan kata yang ringkas tetapi mempunyai cakupan makna yang luas, yang dengannya apa yang diinginkan tercapai dan apa yang ditakutkan terhindari.

Setiap manusia menginginkan kebaikan dunia dan akhirat, bahkan orang kafir sekali pun juga menginginkan kebaikan. Namun, di antara manusia ada yang sadar dan ada pula tidak sadar. 

Orang kafir menginginkan kebaikan, tapi kebaikan dunia saja, kerana dia adalah manusia binatang dan lebih buruk daripada binatang, seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

Sesungguhnya makhluk yang bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah orang-orang kafir, kerana mereka tidak beriman.” (QS. Al-Anfâl: 8: 55)

Orang kafir lebih buruk daripada binatang yang melata di atas bumi. Namun, dia juga menginginkan kebaikan, ketenangan dan kenikmatan di dunia; dan dunialah surganya sedangkan akhirat adalah nerakanya.

Yang jelas, setiap manusia menginginkan keberuntungan, tapi sesuai dengan keinginannya. Salah satu faktor keberuntungan tersebut adalah bertaubat kepada Allah Ta'ala sebagaimana dijelaskan dalam ayat di atas. 

Hadits no. 13.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « وَاللهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوْبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Demi Allah, aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.

[Shahih Al-Bukhari no. 6307]

Hadits no. 14.
وَعَنْ الأَغَرِّ بْنِ يَسَارٍ الْمُزَنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: » يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ فَإِنِّي أَتُوبُ فِي الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Al-Agharr bin Yasar Al-Muzani radhiyallahu anhu dia mengatakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Wahai manusia, hendaknya kalian bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam sehari.”

[Shahih Muslim no. 2702]

Penjelasan.

Sudah dijelaskan sebelumnya oleh penulis (Imam An-Nawawi) tentang kewajiban dan syarat-syarat taubat beserta ayat-ayat Al-Qur'an yang menegaskan kewajiban bertaubat.

Dua hadits di atas, yang disebutkan oleh penulis, sebagai dalil dari As-Sunnah, yang menegaskan kewajiban tersebut.

Kerana semakin banyak dalil yang dijadikan landasan suatu permasalahan, maka permasalahan tersebut menjadi kuat, lebih ditekankan dan lebih diwajibkan. Oleh kerananya, penulisan menyebutkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, baginda bersumpah bahwa baginda memohon ampunan dan bertaubat kepada Allah lebih dari tujuh puluh kali dalam sehari.

Padahal, baginda seorang Nabi, yang telah Allah diampuni dosa-dosanya, baik yang sudah berlalu mahupun yang akan datang.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Al-Agharr bin Yasar Al-Muzani, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Wahai manusia, hendaknya kalian bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam sehari.

Dalam dua hadits ini terdapat dalil menunjukkan kewajiban bertaubat, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk bertaubat seraya bersabda, Wahai manusia, hendaknya kalian bertaubat dan memohon ampunan kepada Allah.” Apabila seseorang bertaubat kepada Tuhannya, maka dia memperoleh dua faedah:

1) Menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya merupakan sumber segala kebaikan, dan dari situlah sumber kebahagian di dunia dan akhirat.

2) Meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerana baginda bertaubat kepada Allah Ta'ala seratus kali dalam sehari. Baginda bersabda, Sesungguhnya aku bertaubat sebanyak seratus kali dalam sehari.  

Taubat harus dilakukan dengan bersungguh-sungguh. Orang yang bertaubat kepada Allah harus berhenti melakukan dosa. 

Adapun seseorang yang lisannya bertaubat tetapi hatinya masih memikirkan untuk melakukan perbuatan maksiat atau meninggalkan kewajiban, atau pun orang yang lisannya bertaubat kepada Allah tetapi anggota tubuhnya bersikukuh untuk berbuat maksiat, maka taubat orang tersebut sia-sia. Bahkan, itu merupakan bentuk penghinaan kepada Allah Ta'ala. 

Bagaimana kamu bisa mengaku bertaubat sedang kamu bersikukuh untuk melakukan perbuatan maksiat, atau kamu mengaku bertaubat dari sebuah kemaksiatan sedang dalam hatimu terbesit untuk melakukan perbuatan maksiat tersebut.

Seandainya ada orang yang memperlakukan orang lain dengan perlakuan seperti itu, pasti dia akan mengatakan, “Ini adalah penghinaan dan pelecehan terhadapku. Bagaimana mungkin dia melepaskan diri dari sesuatu, sedangkan dia tetap sibuk dengan sesuatu tersebut. Ini adalah sebuah penghinaan dan pelecehan.” Apalagi jika hal itu dilakukan kepada Allah Ta'ala.

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa dia bertaubat dari riba, akan tetapi dia masih bersikukuh melakukannya. Na'uzdubillah! Dia melakukan riba, baik dengan cara terang-terangan atau pun dengan cara melakukan penipuan. 

Sering kita bahas bahwa orang yang melakukan transaksi riba dengan cara melakukan penipuan, lebih besar dosanya daripada orang yang melakukannya secara terang-terangan, kerana dia telah berbuat aniaya kepada dirinya sebanyak dua kali:

Pertama, kerana melakukan perbuatan riba. 

Kedua, menipu Allah; seolah-olah Dia tidak mengetahui perbuatannya.

Hal seperti ini banyak terjadi di kalangan masyarakat kita pada saat ini, mereka melakukan perbuatan riba secara terang-terangan, tetapi ada juga melakukannya dengan cara menipu dan khianat.

Oleh kerana itu, wajib bagi kita, jika kita memang benar-benar serius dalam bertaubat kepada Allah Ta'ala, agar kita benar-benar berhenti melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Kita juga harus membencinya, sebagaimana kita juga harus merasa menyesal melakukannya. Sehingga taubat yang kita lakukan termasuk taubat nasuha.

Dalam dua hadits di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beribadah kepada Allah. Baginda juga orang yang paling takut, paling bertakwa, dan paling mengenal Allah.

Hadits ini juga mengisyaratkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok yang mengajarkan kebaikan dengan lisan dan perbuatannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beristighfar dan memerintahkan umatnya untuk beristighfar, sehingga mereka bisa meneladaninya, dengan menjalankan perintahnya dan mengikuti perilakunya. Ini merupakan bentuk kesempurnaan nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Maka, seyongyanya, kita meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam mengajarkan sesuatu; yaitu apabila kita memerintahkan sesuatu kepada orang lain, maka kita harus menjadi orang pertama mengerjakan apa yang kita perintahkan itu.

Apabila kita melarang orang lain agar tidak melakukan sesuatu, maka kita harus menjadi orang pertama yang meninggalkan sesuatu tersebut. Kerana yang demikian itu merupakan hakikat seorang yang menyeru ke jalan Allah, bahkan inilah hakikat berdakwah di jalan Allah, agar kamu mengerjakan apa yang kamu perintahkan dan meninggalkan apa yang kamu larang. Seperti halnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bertaubat, sedangkan baginda lebih sering dan lebih banyak bertaubat daripada kita. Semoga Allah menerima taubat kita semua dan semoga Allah menunjukkan kita jalan yang lurus.

Hadits no. 15.
وَعَنْ أَبِيْ حَمْزَةَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ الأَنْصَارِيِّ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: للَّهُ أَفْرحُ بِتْوْبَةِ عَبْدِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ سَقَطَ عَلَى بَعِيْرِهِ وَقَدْ أَضَلَّهُ فِي أَرْضٍ فَلاَةٍ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: « للَّهُ أَشَدُّ فَرَحًا بِتَوْبَةِ عَبْدِهِ حِيْنَ يَتُوْبُ إِلْيْهِ مِنْ أَحَدِكُمْ كَانَ عَلَى رَاحِلَتِهِ بِأَرْضٍ فَلاَةٍ، فَانْفَلَتَتْ مِنْهُ وَعَلَيْها طَعَامُهُ وَشَرَابُهُ فَأَيِسَ مِنْهَا، فَأَتَى شَجَرَةً فَاضْطَجَعَ فِي ظِلِّهَا، وَقَدْ أَيِسَ مِنْ رَاحِلتِهِ، فَبَيْنمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ هُوَ بِهَا قَائِمَةً عِنْدَهُ، فَأَخَذَ بِخِطَامِهَا ثُمَّ قَالَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ: اللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِيْ وَأَنَا رَبُّكَ، أَخْطَأَ مِنْ شِدَّةِ الْفَرَحِ.
Daripada Abu Hamzah, Anas bin Malik Al-Anshari radhiyallahu anhu, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya Allah lebih senang dengan taubat salah seorang hamba-Nya tatkala dia bertaubat kepada-Nya, melebihi kesenangan seorang lelaki yang terjatuh dari untanya dan kehilangan untanya di padang sahara yang luas (lalu menemukan kembali untanya itu).

[Shahih Al-Bukhari no. 6309]

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya, Allah lebih senang dengan taubat seorang hamba-Nya tatkala dia bertaubat kepada-Nya melebihi kesenangan orang yang sedianya berada di atas untanya di tengah padang sahara (yang luas), lalu untanya itu kabur menghilang, sedang di untanya terdapat bekal makanan dan minumannya, sehingga putuslah harapannya, lalu dia mendatangi pohon seraya berbaring di naungannya, sungguh dia telah putus asa terhadap untanya itu. Tatkala dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba untanya berdiri di sebelahnya, seketika dia memegang tali kekangannya, dan kerana begitu senangnya dia berkata, “Ya Allah Engkau hambaku, dan aku Tuhan-Mu.” Dia keliru kerana begitu gembiranya.”

[Shahih Muslim no. 2747]

Penjelasan.

Anas disebut sebagai pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, ibu Anas membawanya datang mengadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ini adalah Anas bin Malik siap untuk jadi pembantumu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menerimanya sebagai pembantunya. Sejak saat itu, Anas menjadi salah satu pembantu peribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Anas radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah lebih senang.dengan taubat salah seorang hamba-Nya, tatkala dia bertaubat kepada-Nya, melebihi kesenangan seorang lelaki yang terjatuh dari untanya dan kehilangan unta di padang sahara (lalu menemukan kembali untanya itu).”  Kemudian dia menyebutkan kisah selengkapnya.

Seorang lelaki berada di tengah padang sahara yang di sekitarnya tidak ada orang, tidak ada air, tidak ada makanan dan tidak ada sesiapa pun. Untanya kabur. Dia berusaha mencarinya namun tidak berhasil menemukannya. Lalu dia pergi ke sebuah pohon dan tidur di bawahnya, menanti kematian! Sungguh dia telah putus asa akan menemukan untanya dan putus asa bisa menyambung hidupnya, kerana seluruh makanan dan minumannya berada di atas untanya, dan kini untanya menghilang, entah kemana.

Dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba untanya berada di sebelahnya, tali kekangannya tersangkut di pohon tempat dia berteduh. Bisa kamu bayangkan, betapa bahagianya orang tersebut?

Tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan kadar kebahagiaan tersebut kecuali orang yang pernah mengalaminya! Kerana kebahagiaan seperti itu merupakan kebahagiaan yang luar biasa. Seperti kebahagiaan seseorang yang bisa hidup lagi setelah mati. 

Maka dari itu, lelaki tersebut segera memegang tali kekang dan berkata,

َاَللَّهُمَّ أَنْتَ عَبْدِ وَأَنَا رَبُّك

“Ya Allah Engkau hambaku, dan aku Tuhan-Mu.”

Sebenarnya, dia ingin memuji Allah dengan berkata, Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, dan aku adalah hamba-Mu.” Tapi, kerana begitu senangnya, dia keliru, sehingga perkataannya terbalik, maka terbaliklah ungkapannya dari hakikat sebenarnya.

Dalam hadits ini, terdapat dalil bahwa Allah senang terhadap taubat seorang hamba, dan Allah sangat mencintai hal itu. Akan tetapi, bukan kerana Dia membutuhkan perbuatan dan taubat kita. Allah tidak membutuhkan kita, tetapi hal itu dikeranakan Allah mencintai sifat mulia, Dia lebih suka memaafkan dan mengampuni daripada menyiksa. Maka dari itu Dia bahagia dengan taubatnya seseorang.

Dalam hadits ini juga terdapat anjuran untuk bertaubat, kerana Allah menyukai taubat, walaupun taubat itu sendiri untuk kemaslahatan seorang hamba. 

Sebagaimana juga mengandung penetapan sifat bahagia bagi Allah Ta'ala. Allah Ta'ala bisa bahagia, marah, benci dan suka. Tetapi, sifat-sifat itu tidak seperti kita, kerana Allah Ta'ala berfirman,

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syûrâ: 42: 11)

Kebahagiaan Allah adalah kebahagiaan yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya. Tidak serupa dengan kebahagiaan makhluk-Nya.

Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa seseorang apabila dia keliru dalam berkata, walaupun perkataan kufur, jika memang kerana tidak sengaja, maka dia tidak dikenakan sanksi atas hal itu. Lelaki tersebut mengucapkan perkataan kufur, kerana orang yang berkata, Ya Allah, Engkau hambaku, dan aku Tuhan-Mu.” Tanpa diragukan orang tersebut kafir.

Tapi, kerana ucapan itu keluar dari mulut orang tersebut tanpa disengaja, maka dia tidak dikenakan sanksi atas hal itu. Demikian pula perkataan lainnya, seperti jika seseorang memaki orang lain tanpa sengaja, menceraikan istrinya atau membebaskan hamba sahaya dengan tanpa sengaja, maka semua itu tidak berpengaruh apa-apa kerana orang tersebut tidak bermaksud mengatakannya. Hal ini sama dengan sumpah yang tidak sengaja. 

Allah Ta'ala berfirman,

Allah tidak menghukum kamu kerana sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu kerana niat yang terkandung dalam hatimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun.
(QS. Al-Baqarah: 2: 225)

Lain halnya dengan orang mengatakan perkataan kufur dengan maksud mengolok-olok, maka dia benar-benar kafir. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja. Katakanlah, “Mengapa kepada Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kamu minta maaf, kerana kamu telah kafir setelah beriman.” (QS. At-Taubah: 9: 65-66)

Orang yang mengolok-olok, biasanya, mengatakan sesuatu dengan sengaja, tapi dengan cara mengolok, sehingga dia bisa jadi kafir. Berbeda dengan orang yang tidak sengaja, maka perkataannya tidak dianggap. Hal ini merupakan rahmat dari Allah Ta'ala.

Hadits no. 16.
وَعَنْ أَبِيْ مُوْسَى عَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ الأَشْعَرِيِّ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَبْسُطُ يَدَهُ بِاللَّيْلِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ النَّهَارِ وَيبْسُطُ يَدَهُ بِالنَّهَارِ لِيَتُوْبَ مُسِيْءُ  اللَّيْلِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Musa Abdillah bin Qais Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada malam untuk mengampuni orang yang telah melakukan kesalahan pada waktu siang. Dan Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu siang untuk mengampuni orang yang telah melakukan kesalahan pada waktu malam, hingga matahari terbit dari barat.

[Shahih Muslim no. 2759]

Hadits no. 17.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ تَابَ قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِِهَا تَابَ اللهُ عَلَيْه » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat (kiamat), niscaya Allah akan menerima taubatnya.”

[Shahih Muslim no. 2703]

Hadits no. 18.
وَعَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقْبَلُ تَوْبَةَ الْعَبْدِ مَالَمْ يُغَرْغِرْ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Abdurahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sesungguhnya Allah menerima taubat hamba-Nya selagi ruhnya belum sampai di tenggorokan (sakarat).

[HR. At-Tirmidzi no. 3537, dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1903]

Penjelasan.

Tiga hadits di atas yang disebutkan penulis (Imam An-Nawawi rahimahullah) semuanya berhubungan dengan taubat. 

Adapun dalam hadits Abu Musa radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam untuk mengampuni orang yang telah melakukan kesalahan pada waktu siang.

Ini merupakan kemurahan Allah Ta'ala, yang mana Dia berkehendak menerima taubat, meski terlambat. Jika seseorang melakukan dosa di siang hari, Allah tetap menerima taubatnya, walaupun dia bertaubat pada malam harinya. 

Begitu juga sebaliknya, jika dia melakukan kesalahan pada malam hari lalu bertaubat keesokan harinya, maka Allah masih menerima taubatnya. Bahkan, Allah membentangkan tangan-Nya untuk menerima taubat dari hamba-Nya yang beriman.

Dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa Allah Ta'ala menyukai taubat. Telah dipaparkan dalam hadits yang lalu mengenai kisah seorang lelaki yang telah kehilangan unta yang ditungganginya, hingga dia menemukannya kembali, bahwa Allah lebih senang dengan taubat hamba-Nya yang beriman melebihi senangnya lelaki yang menemukan kembali untanya yang hilang.

Dalam hadits itu terdapat pengukuhan keberadaan tangan Allah Ta'ala. Bahkan dalam hadits Abu Musa, tangan-Nya ada dua, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Orang-orang Yahudi berkata, “Tangan Allah terbelenggu.” Sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu, padahal kedua tangan Allah terbuka.” (QS. Al-Mâi'dah: 5: 64)

Kita harus mempercayai keberadaan tangan tersebut, bahkan dua tangan, yang ditetapkan oleh Allah untuk diri-Nya sendiri. Kita harus imani bahwa keduanya memang benar-benar ada pada Allah. 

Akan tetapi, tidak boleh kita membayangkan bahwa kedua tangan Allah seperti tangan kita, kerana Allah Ta'ala berfirman,

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. 
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 11)

Demikian, jika kamu mendapatkan sifat Allah (dalam Kitab-Nya atau hadits), kita harus mempercayai keberadaannya pada Allah Ta'ala, tetapi tanpa menyerupakannya dengan tangan makhluk. Kerana tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya, baik Dzat-Nya mahupun sifat-Nya. 

Dengan hadits ini kita dapat memahami bahwa Allah Ta'ala menerima taubat hamba-Nya, meski terlambat. Namun, seharusnya manusia segera bertaubat. Kerana manusia tidak tahu bila datangnya kematian. Bisa jadi dia mati mendadak, sebelum sempat bertaubat. Yang wajib dilakukan adalah segera bertaubat. Namun, meski hamba-Nya terlambat untuk bertaubat, Allah masih menerima taubatnya.

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika matahari terbit dari barat, taubat seseorang itu tidak diterima lagi. Orang akan bertanya, “Apakah mungkin matahari terbit dari barat?” Padahal sebagaimana diketahui, matahari itu terbit dari timur.

Kita jawab, “Memang demikian yang kita ketahui semenjak Allah menciptakan matahari sampai hari ini. Akan tetapi, pada akhir zaman, Allah memerintahkan matahari agar terbenam ke tempat terbitnya. Sehingga terbalik arah perputaran matahari.”

Berputar balik, terbit dari barat. Jika orang melihat kejadian ini, mereka semua akan beriman termasuk orang kafir, orang-orang yahudi, orang-orang Budha, orang-orang komunis dan yang lainnya. Semuanya akan beriman. Akan tetapi, orang yang tidak beriman sebelum matahari terbit dari barat, maka keimanannya sudah tidak berguna lagi. 

Semuanya bertaubat, akan tetapi yang tidak bertaubat sebelum matahari terbit dari barat, taubatnya tidak diterima. Kerana kejadian ini merupakan tanda Kiamat yang akan disaksikan oleh setiap orang. Apabila tanda-tanda kiamat sudah datang, maka taubat dan keimanan tiada berguna lagi.

Sedangkan hadits daripada Ibnu Umar,

Sesungguhnya Allah masih tetap menerima taubat hamba-Nya selagi ruhnya belum sampai di tenggorokan (sakarat).”

[HR. At-Tirmidzi no. 3537. Ibnu Majah no. 4253, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Al-Jami no. 1930]

Jika ruh sampai di tenggorokan, taubat sudah tidak diterima lagi. Banyak teks-teks lainnya yang menerangkan bahwa apabila kematian telah menghampiri seseorang, taubatnya tidak diterima, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, Aku benar-benar bertaubat sekarang.” (QS. An-Nisâ: 4: 18)

Oleh kerana itu, segeralah bertaubat dari segala dosa. Tinggalkan segala bentuk maksiat yang telah kamu lakukan. Laksanakan kewajiban yang selama ini kamu lalaikan, dan berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menerima taubatmu.

Hadits no. 19.
وَعَنْ زِرِّ بْنِ حُبَيْشٍ قَالَ: أَتَيْتُ صَفْوَانَ بْنَ عَسَّالٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَسْأَلُهُ عَنِ الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَ: مَا جَاءَ بِكَ يَا زِرُّ؟ فَقُلْتُ: اِبْتِغَاءَ الْعِلْمِ، فَقَالَ: إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَضَعُ أَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ، فَقُلْتُ: إِنَّهُ قَدْ حَكَّ فِي صَدْرِي الْمَسْحُ عَلَى الْخُفَّيْنِ بَعْدَ الْغَائِطِ وَالْبَوْلِ، وَكُنْتَ امْرَأً مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجِئْتُ أَسْأَلُكَ: هَلْ سَمِعْتَهُ يَذْكُرُ فِي ذَلِكَ شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ كَانَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفْرًا أَوْ مُسَافِرِيْنَ أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيْهِنَّ إلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ، لَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ. فَقُلْتُ: هَلْ سَمِعْتَهُ يَذْ كُرُ فِي الْهَوَى شَيْئًا؟ قَالَ: نَعَمْ كُنّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ إِذْ نَادَاهُ أَعْرَابِيٌّ بِصَوْتٍ لَهُ جَهْوَرِيٍّ: يَا مُحَمَّدُ، فَأَجَابَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوًا مِنْ صَوْتِهِ: « هَاؤُمْ » فَقُلْتُ لَهُ: وَيْحَكَ اغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ فَإِنَّكَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ نُهِيْتَ عَنْ هذَا، فَقَالَ: وَاللهِ لَا أَغْضُضُ: قَالَ اْلأَعْرَابِيُّ: الْمَرْءُ يُحِبُّ الْقَوْمَ وَلَمَّا يَلْحَقْ بِهِمْ؟ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » فَمَا زَالَ يُحَدِّثُنَا حَتَّى ذَكَرَ بَابًا مِنَ الْمَغْرِبِ مَسِيرَةُ عَرْضِهِ أَوْ يَسِيرُ الرَّاكِبُ فِي عَرْضِهِ أَرْبَعِينَ أَوْ سَبْعِينَ عَامًا. قَالَ سُفْيَانُ أَحَدُ الرُّوَاةِ: قِبَلَ الشَّامِ خَلَقَهُ اللهُ تَعَالَى يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مَفْتُوحًا لِلتَّوْبَةِ لَا يُغْلَقُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْهُ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَغَيْرُهُ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Daripada Zirr bin Hubaisy (dia adalah Zirr bin Hubaisy bin Habassyah bin Aus bin Bilal, Abu Maryam Al-Asadi Al-Kufi, dia termasuk Tabiin senior Wafat pada tahun 81 H) dia berkata, “Aku pernah mendatangi Shafwan bin 'Assal radhiyallahu anhu untuk menanyakan masalah mengusap khuf, (sepatu yang menutupi mata kaki), lalu dia bertanya, “Apa yang membuatmu datang, wahai Zirr?”

Aku menjawab, “Untuk menuntut ilmu.”

Shafwan berkata, “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, pertanda ridha terhadap ilmu yang dia cari.”

Lalu aku mulai bertanya, “Aku ragu untuk mengusap khuf sesudah buang air besar dan air kecil, sedangkan kamu adalah salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dari itu, aku mendatangimu untuk bertanya, apakah engkau pernah mendengar Rasulullah membicarakan masalah itu?”

Dia menjawab, “Ya, benar. Baginda memerintahkan kami jika sedang safar (berpergian) agar tidak membuka khuf kami, selama tiga hari tiga malam hanya kerana buang air besar atau buang air kecil dan kerana tidur. Kecuali kerana junub (maka harus dibuka).”

Kemudian aku bertanya, “Apakah engkau pernah mendengar Rasulullah membicarakan masalah cinta?”

Dia menjawab, “Ya. Ketika kami sedang bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba seorang Badui memanggil baginda dengan suara yang lantang, “Wahai Muhammad!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan suara mirip seperti suaranya, “Ya (silakan).” Maka aku berkata kepada orang itu, “Celaka engkau, lirihkan suaramu! kerana engkau sedang berada di depan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh engkau dilarang melakukan hal itu.”

Orang Badui tersebut berkata, “Demi Allah, aku tidak akan melirihkan suaraku.”

Kemudian Badui itu bertanya, “Bagaimana halnya dengan seseorang yang mencintai suatu kaum, tetapi belum bisa melakukan amal perbuatan seperti yang dilakukan oleh mereka?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya pada hari Kiamat.” Baginda terus bercerita kepada kami, sehingga baginda menyebut sebuah pintu gerbang di sebelah barat yang lebarnya sepanjang perjalanan atau orang yang berkendaraan akan menempuhnya selama empat puluh atau tujuh puluh tahun. Sufyan salah seorang perawi hadits ini berkata, “Pintu tersebut berada di arah Syam, pintu tersebut telah diciptakan Allah Ta'ala pada hari diciptakannya langit dan bumi, pintu itu terbuka untuk menerima taubat dan tidak akan ditutup sehingga matahari terbit dari barat.”

[HR. At-Tirmidzi no. 3535, dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa Al-Ghali no. 104]

Penjelasan.

Hadits ini merupakan hadits yang berkaitan dengan taubat yang di paparkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah untuk menjelaskan kapan terputusnya kesempatan untuk bertaubat, selain itu hadits ini mengandungi beberapa faedah:

Pertama. Zirr bin Hubaisy mendatangi Shafwan bin Assal untuk menuntut ilmu, lalu Shafwan bin Assal berkata, “Sesungguhnya Malaikat meletakkan sayapnya kepada orang yang mencari ilmu, pertanda ridha terhadap ilmu yang dia cari.”

Ini merupakan faedah yang sangat besar, yang menunjukkan keutamaan ilmu dan keutamaan menuntut ilmu.

Menuntut ilmu yang dimaksudkan di sini adalah menuntut ilmu syar'i, yakni ilmu yang di bawa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun ilmu dunia, untuk dunia. Sedangkan ilmu yang dimaksud dalam hadits ini adalah ilmu yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ilmu yang dipuji dan dianjurkan oleh Al-Qur'an dan As-sunnah. Mereka yang menuntut ilmu syar'i sebagian dari bentuk jihad di jalan Allah. Kerana agama Islam ditegakkan di atas dua perkara: Pertama ilmu dan penjelasan. Kedua, senjata dan keberanian.

Hingga sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya menuntut ilmu lebih baik daripada berjihad di jalan Allah dengan senjata.” Kerana menjaga syariat hanya bisa terealisasi dengan ilmu, sementara jihad dengan mengunakan senjata ditegakkan di atas ilmu. Seorang mujahid tidak berjalan, berperang, menyerbu, membagi-bagi rampasan perang, dan memutuskan hukum mengenai tawanan perang kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah segalanya.

Oleh itu Allah Ta'ala berfirman,

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. 
(QS. Al-Mujâdilah: 58: 11)

Malaikat meletakkan sayapnya kepada orang yang menuntut ilmu, pertanda ridha dengan apa yang dia tuntut, juga sebagai penghormatan kepadanya. Hal ini tidak bisa dibantah dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa kami tidak merasakan hal itu. Kerana jika ada hadits shahih dari Rasulullah, seolah-olah kita mendengar dan mendengarnya langsung. 

Bukankah kalian mendengar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir seraya berfirman, Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku niscaya Aku mengabulkannya, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya, dan barangsiapa yang meminta ampunan kepada-Ku niscaya Aku mengampuninya.

[Shahih Al-Bukhari no. 1145. Muslim no. 1808]

Kita tidak mendengar perkataan ini dari Allah Ta'ala, tetapi dikerana hal itu diriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seolah-olah kita mendengarnya langsung. Oleh kerana itu, kita wajib mengimani dan meyakini apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah-masalah ghaib, seolah-olah kita mendengar dan menyaksikannya langsung.

Kemudian Zirr bin Hubaisy menyebutkan bahwa dia ragu untuk mengusap khuf sesudah membuang air besar dan air kecil, yakni kerana Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an,

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 6)

Zirr mengatakan bahwa dia ragu mengusap khuf sesudah buang air besar dan kecil, apakah hal itu diperbolehkan atau tidak?

Shafwan radhiyallahu anhu menjelaskan bahwa hal itu diperbolehkan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan mereka jika sedang bepergian agar tidak membuka khuf mereka selama tiga hari tiga malam hanya kerana buang air besar atau buang air kecil dan kerana tidur. Kecuali kerana junub, maka harus dibuka. Hal ini menunjukkan bolehnya mengusap kedua dua khuf, bahkan mengusap lebih baik apabila kita sedang mengenakannya, daripada membuka dan mencuci kaki.

Diriwayatkan dalam Ash-Shahihain, hadits Al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu anhu, bahwa dia pernah bepergian bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu baginda berwudhu sedang Al-Mughirah langsung merunduk untuk membuka khuf Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seketika baginda bersabda,

Biarkan saja, kerana aku memakainya dalam keadaan suci.

Kemudian baginda mengusap keduanya.

[Shahih Al-Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274]

Dalam kisah ini, terdapat dalil yang jelas bahwa apabila seseorang mengenakan kaos kaki atau sepatu (yang menutupi mata kaki), lebih baik mengusap keduanya, dan tidak perlu membukanya kemudian mencuci kedua kakinya.

Kedua, jika ada seseorang ragu terhadap suatu permasalahan, hendaklah dia bertanya dan mencari orang yang lebih tahu mengenai permasalahan itu, hingga tidak ada keraguan dalam hatinya terhadap apa yang dia dengar. Kerana sebagian orang ketika mendengar masalah-masalah hukum syar'i dan masih ragu, dia tidak mahu bertanya kepada orang lain, hingga tidak ada keraguan lagi padanya. Ini adalah sikap yang salah. Seharusnya dia bertanya hingga dia mendapatkan jawaban yang membuat hatinya tenang, tanpa ada sedikit pun keraguan.

Zirr bin Hubaisy rahimahullah bertanya kepada Shafwan bin Assal mengenai masalah mengusap khuf, barangkali dia pernah mendengar mengenai hal itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Shafwan menjawab, “Ya benar. Rasulullah pernah memerintahkan kami...”

Dalam hadits ini terdapat pengukuhan hukum mengusap kedua khuf. Diriwayatkan secara mutawatir hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai masalah ini. 

Ahlussunnah berpegang pada pendapat ini. Bahkan, sebagian ulama yang menulis kitab akidah menyebut masalah mengusap kedua khuf dalam bab akidah. Yang demikian kerana kaum syiah rafidhah mengingkari perihal mengusap khuf. Anehnya, salah satu sahabat yang meriwayatkan masalah mengusap khuf adalah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, tetapi mereka tetap mengingkarinya. Mereka tidak mengakui hal itu. 

Mengusap khuf termasuk salah satu syi'ar Ahlussunnah. Dan hal itu merupakan masalah mutawatir yang tidak perlu diragukan lagi, bahwa masalah khuf benar-benar diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Imam Ahmad berkata, “Dalam hati saya, tidak ada keraguan sedikitpun mengenai masalah mengusap kedua khuf.” Atau dia pernah mengatakan, “ini adalah sesuatu yang terdapat dalam empat puluh hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya.” Akan tetapi masalah mengusap kedua khuf ada syaratnya:

Pertama, saat mengenakan khuf tersebut kedua kaki harus dalam keadaan suci. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tatkala Syu'bah bin Al-Mughirah hendak melepaskan khuf baginda,

Biarkan saja, kerana aku memakainya dalam keadaan suci.

Kemudian baginda mengusap keduanya.

Sama saja, baik sucinya kerana dicuci atau kerana usapan pada khuf sebelumnya. Misalnya, seseorang berwudhu dengan sempurna dan mencuci kedua kakinya lalu dia mengenakan kaos kaki atau sepatu (yang menutupi kedua mata kaki), berarti dia mengenakannya dalam keadaan suci. Demikian pula halnya apabila dalam berkaos kaki lalu mengusap keduanya, kemudian dia perlu memakai kaos kaki tambahan, kemudian dia memakai kaki rangkap dengan kaos kaki yang pertama yang telah dia usap dalam keadaan suci. Maka, dia boleh untuk mengusap pada kaos kaki yang kedua.

Akan tetapi, mengenai masa berlakunya dihitung mulai dari usapan pada kaos kaki pertama, bukan dari usapan pada kaos kaki yang kedua. Ini pendapat yang benar dalam masalah ini, bahwa orang yang memakai khuf di atas khuf yang telah diusap boleh mengusap pada khuf yang kedua, tetapi mengenai masa berlakunya harus dihitung dari usapan pada khuf yang pertama.

Sebelum memakai khuf tersebut, bersucinya harus mengunakan air. Seandainya seseorang memakai khuf dengan tayamum, dia tidak boleh mengusap khufnya. Seperti seseorang yang bepergian tidak memiliki air, lalu dia bertayamum kemudian dia mengenakan khuf dalam keadaan suci dengan tayamum, setelah itu dia mendapatkan air dan hendak berwudhu. Dalam kondisi seperti ini, dia harus membuka kedua khufnya dan mencuci kedua kakinya saat berwudhu, dia tidak boleh mengusap kedua khufnya, kerana sewaktu mengenakannya dia tidak bersuci dengan mengunakan air. Di samping itu, kerana tayamum hanya berhubungan dengan dua anggota badan: wajah dan kedua tangan.

Kedua, mengusap kerana hadats kecil. Oleh kerana itu, Shafwan berkata, “Agar tidak membuka khuf kami selama tiga hari tiga malam, hanya kerana buang air besar atau buang air kecil dan kerana tidur. Kecuali kerana junub (maka harus dibuka).” Jika seseorang dalam keadaan junub tidak boleh dia mengusap kedua kaos kaki atau khufnya. Dia harus mengeluarkannya dan mencuci kedua kaki. Hal itu kerana bersuci dari hadats besar tidak boleh dengan mengusap kecuali dalam keadaan darurat pada perban, maka dari itu tidak boleh membasuh kepala.

Ketiga, mengusap hanya pada masa yang telah dibatasi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hanya satu hari satu malam untuk orang yang mukim dan tiga hari tiga malam untuk orang yang bepergian.

Seperti yang terdapat pada hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu dalam shahih Muslim, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menentukan untuk orang yang mukim satu hari satu malam dan orang yang sedang berpergian tiga hari tiga malam. Yakni dalam masalah mengusap kedua khuf

Jika masa berlakunya telah habis, tidak boleh mengusap lagi. Dia harus mengeluarkan kaos kaki atau khufnya kemudian mencuci kedua kakinya. Akan tetapi jika masa berlakunya telah habis dan kamu masih dalam keadaan suci, maka teruskan, thaharah kamu tidak batal, namun jika kamu hendak berwudhu setelah masa berlakunya habis, maka kamu harus mencuci kedua kakimu.

Kemudian Zirr bin Hubaisy bertanya kepada Shafwan bin Assal, barangkali Shafwan pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang cinta (perasaan cinta seseorang). Shafwan berkata, “Ya benar.” Kemudian dia menceritakan kisah seorang Badui yang memanggil suara tinggi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Muhammad!”

Lalu dikatakan kepada orang Badui itu, “Celaka engkau, engkau memanggil Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan suara keras, Padahal Allah Ta'ala berfirman,

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al-Hujurât: 49: 2)

Tapi, dasar orang Badui, tidak tahu banyak tentang adab dan etika, kerana mereka jauh dari kota, dan ilmu pengetahuan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan suara keras seperti orang Badui tadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam adalah orang yang paling sempurna dalam membimbing manusia. Rasulullah bersikap kepada orang lain sesuai dengan kemampuan akalnya.

Maka dari itu, Rasulullah berbicara kepada orang tersebut, seperti dia bicara kepada Rasulullah. Orang Badui itu bertanya kepada Rasulullah, “Bagaimana halnya dengan seseorang yang mencintai suatu kaum, tetapi belum bisa melakukan amal perbuatan seperti yang dilakukan oleh mereka?”

Yakni, dia mencintai suatu kaum tapi perbuatannya tidak sama seperti perbuatan mereka. Akan bersama siapa orang tersebut, akankah bersama dengan mereka ataukah tidak?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ يَوْمَ الْقِيَا مَة

Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya pada hari Kiamat. 

Alhamdulillah! Sungguh merupakan nikmat yang luar biasa. Diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhyallahu anhu, penggalan ini bahagian dari hadits, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang lelaki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya,

إِنَّكَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

Kamu bersama orang yang kamu cintai.

[Shahih Al-Bukhari no. 6171 dan Muslim no. 2639]

Anas bin Malik berkata, “Aku mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar. Aku berharap bisa bersama mereka.” Begitu juga hendaknya kita bersaksi kepada Allah bahwa cinta kita terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Khulafaur Rasyidin, para sahabat Nabi yang lain, para imam sesudah mereka, dan kita berharap semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka.

Ini merupakan khabar gembira untuk semua orang beriman, apabila dia mencintai suatu kaum, dia akan bersama mereka walaupun amalnya tidak sama seperti mereka. Dia akan bersama mereka di surga. Allah akan mengumpulkan dia dengan mereka di mahsyar dan minum bersama di telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Merupakan kewajiban setiap muslim untuk membenci orang-orang kafir dan menyadari bahwa mereka adalah musuh, walaupun mereka menampakkan sikap berkawan, suka dan mencintai kamu. Sesungguhnya mereka tidak akan dekat dengan kamu kecuali demi kemaslahatan diri mereka atau untuk mencelakakan kamu. Sungguh merupakan sesuatu yang mustahil jika dia mendekatimu demi kemaslahatanmu. Jika mungkin disatukan antara air dan api, baru mungkin kita bisa menyatukan antara kecintaan orang kafir terhadap kita dengan rasa permusuhan yang terpendam dalam hati mereka terhadap kita.

Kerana Allah Ta'ala berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (QS. Al-Mumtahanah: 60: 1)

Allah Ta'ala juga berfirman,

Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah: 2: 98)

Setiap orang kafir adalah musuh Allah dan musuh kita. Dalam hati setiap orang kafir tersimpan rasa benci terhadap kita. Oleh kerana itu, kamu wajib membenci setiap orang kafir dengan sepenuh hati, apa pun kebangsaannya, walau seberapa dekatnya mereka dengan kamu. Ketahuilah bahwa mereka adalah musuhmu.

Allah Ta'ala berfirman,

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia. (QS. Al-Mumtahanah: 60: 1)

Kalau begitu, kita pegang erat-erat kaidah yang dirumuskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni “Seseorang akan bersama dengan orang yang dicintainya.” Kamu wajib memenuhi hatimu dengan rasa cinta kepada Allah, Rasul-Nya, Khulafaur Rasyidin, para sahabat Nabi yang lain dan para imam sesudah mereka, agar kamu bisa bersama mereka.

Kita berdoa, semoga Allah mewujudkan hal tersebut, berkat anugerah dan kemurahan-Nya.

Hadits no. 20.
وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا، فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الْأَرْضِ، فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ، فَأَتَاهُ فَقَلَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِيْنَ نَفْسًا، فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوبَةٍ؟ فَقَلَ: لاَ، فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَةً، ثُمَّ سَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ اْلأَرْضِ، فَدُلَّ عَلَى رَجُلٍ عَالِمٍ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ  مِائَةَ نَفْسٍ فَهَلْ لَهُ مِنْ تَوْبَةٍ؟ فَقًالَ: نَعَمْ، وَمَنْ يَحُوْلُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ التَّوْبَةِ؟ اِنْطَلِقْ إِلَىَ أَرْضِ كَذَا وَكَذَا، فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُوْنَ اللهَ فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ، وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضُ سُوْءٍ، فَانْطَلَقَ حَتَّى إِذَا نَصَفَ الطَّرِيْقَ أَتَاهُ الْمَوْتُ فَاخْتَصَمَتْ فِيْهِ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ وَمَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ. فَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ: جَاءَ تَائِبًا، مُقْبِلًا بِقَلْبِهِ إِلَى اللهِ تَعَالَى، وَقَالَتْ مَلاَئِكَةُ الْعَذَابِ: إنَّهُ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ، فَأَتَاهُمْ مَلَكٌ فِي صُوْرَةِ آدَمِيٍّ فَجَعَلُوْهُ بَيْنَهُمْ أيْ حَكَمًا فَقَالَ: قِيسُوا مَا بَيْنَ الأَرْضَيْنِ فَإلَى أَيَّتِهِمَا كَانَ أَدْنَى فَهُوَ لَهُ، فَقَاسُوْهُ فَوَجَدُوْهُ أَدْنِى إِلَىَ اْلأَرْضِ الَّتِي أرَادَ، فَقَبَضَتْهُ مَلاَئِكَةُ الرَّحْمَةِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَةٍ فِي الصَّحِيْحِ: « فَكَانَ إِلَى قَرْيَةِ الصَّالِحَةِ أَقْرَبَ بِشِبْرٍ، فَجُعِلَ مِنْ أَهْلِهَا » وَفِي رِوَايَةٍ فِي الصَّحِيْحِ: « فَأَوْحَى اللهُ تَعَالَى أَنْ تَبَاعَدِىْ، وَإِلَى هَذِهِ أَنْ تَقرَّبِيْ وَقَالَ: قِيْسُوْا مَا بَيْنَهُمَا، فَوَجدُوْا إِلَى هَذِهِ أَقَرَبَ بِشِبْرٍ فَغُفَرَ لَهُ » وَفِي رِوَايَةٍ: « فَنَأَى بِصَدْرِهِ نَحْوهَا ».
Daripada Abu Said Sa'ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ada seorang lelaki dari umat terdahulu telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, kemudian dia mencari penduduk bumi yang paling alim, lalu ditunjukkan kepadanya seorang pendeta, kemudian dia pun mendatanginya dan mengatakan bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, apakah ada kesempatan baginya untuk bertaubat?” Sang pendeta menjawab, “Tidak ada.” Seketika pendeta tersebut dibunuh hingga jumlah orang yang dibunuhnya genap seratus.

Kemudian dia mencari lagi penduduk bumi yang paling alim, lalu ditunjukkan kepadanya salah satu seorang ulama, seraya dia menceritakan bahwa dia membunuh seratus orang, apakah ada kesempatan baginya untuk bertaubat?”

Sang ulama menjawab, “Ya masih ada, dan siapakah yang dapat menghalanginya untuk bertaubat? pergilah kamu ke negeri ini dan itu, kerana di sana banyak orang-orang beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, kerana ia merupakan negeri yang buruk.”

Orang tersebut berangkat. Ketika di tengah jalan, kematian menjemputnya. Malaikat Rahmat dengan malaikat Adzab bertengkar mengenai orang itu.

Malaikat Rahmat berkata, “Dia telah datang bertaubat kepada Allah dengan sepenuh hatinya.

Malaikat Adzab berkata, “Dia belum berbuat kebaikan sama sekali.

Maka datanglah seorang malaikat yang menyerupai manusia, mereka menjadikannya sebagai penengah di antara mereka berdua. Dia berkata, “Ukurlah jarak antara dua negeri (yang ditinggalkan dan yang dituju), dan ke negeri manakah dia yang lebih dekat, maka itulah yang menjadi bagiannya.”

Mereka mengukurnya dan mereka mendapatinya lebih dekat kepada desa yang penuh dengan kebaikan yang hendak ditujunya, maka malaikat Rahmat pun mengambil orang tersebut.”

Dalam riwayat Shahih Al-Bukhari disebutkan, “Dia lebih dekat sejengkal ke tempat (kampung) yang baik, maka dianggaplah dia sebagai penduduknya.

Disebutkan juga dalam riwayat Shahih Al-Bukhari bahwa Allah memerintahkan kepada desa baik yang dituju supaya mendekat dan desa buruk yang ditinggalkan agar menjauh. Kemudian Dia berkata (kepada dua malaikat), “Ukurlah jarak antara kedua desa itu.” Mereka pun mendapatkan desa yang lebih lebih dekat sejengkal, ketika dia diampuni.

[Shahih Al-Bukhari no. 3470 .Muslim no. 2766]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah meriwayatkan dari Abu Said Sa'ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang lelaki dari umat terdahulu telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia. Kemudian, dia menyesali perbuatannya dan bertanya tentang orang yang paling berilmu di muka bumi untuk menanyakan kepadanya tentang taubat. Lalu dia ditunjukkan kepada seseorang, ternyata dia adalah seorang pendeta dan ahli ibadah, tetapi dia tidak mempunyai pengetahuan.

Ketika orang berdosa itu bertanya kepadanya bahwa dia telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, apakah taubatnya diterima?

Pendeta itu menganggap bahwa dosa itu sangat besar dan tidak mungkin diampuni sehingga dia berkata, “Taubatmu tidak diterima.”

Maka orang itu pun marah dan membunuh pendeta itu sehingga orang yang dibunuh genap seratus orang. 

Kemudian dia bertanya lagi tentang orang yang paling berilmu di muka bumi. Ditunjukkan kepadanya seorang ulama dan ia pun bertanya kepadanya bahwa dia telah membunuh seratus orang, apakah taubatnya diterima? Sang ulama menjawab, “Ya! masih ada, dan siapakah yang dapat menghalanginya untuk bertaubat? pergilah kamu ke negeri ini dan itu, kerana di sana banyak orang-orang beribadah kepada Allah, maka beribadahlah kamu kepada Allah bersama mereka dan jangan kembali ke negerimu, kerana ia merupakan negeri yang buruk.”

Lalu Sang ulama itu menyuruhnya pergi dengan agamanya ke desa yang penduduknya menyembah Allah. Maka dia pun pergi dengan membawa taubat dan berhijrah dengan agamanya menuju desa yang di dalamnya dihuni oleh umat manusia menyembah Allah.

Di tengah perjalanan, kematian menjemputnya, sehingga malaikat Rahmat dan malaikat Adzab berselisih pendapat tentangnya. Kerana ruh orang kafir dibawa malaikat Adzab dan ruh Mukmin dibawa oleh malaikat Rahmat. Mereka berselisih.

Malaikat Adzab berkata bahwa dia belum pernah berbuat baik sama sekali setelah bertaubat dan malaikat Rahmat berkata bahwa dia telah bertaubat dan menyesal, sehingga terjadi perselisihan.

Allah mengutus seorang malaikat (yang menyerupai manusia) kepada mereka berdua untuk menghakimi antara mereka. Dia berkata, “Ukurlah antara desa itu, mana yang lebih dekat, ke situlah orang itu digolongkan.” Jika desa kafir itu dekat kepadanya maka malaikat Adzab akan membawa ruhnya dan jika negeri iman lebih dekat maka malaikat Rahmat-lah yang membawa ruhnya.

Lalu mereka mengukur jarak antara keduanya, ternyata desa iman yang ditujunya lebih dekat kepadanya sejengkal -jarak yang sangat pendek- sehingga malaikat Rahmat yang membawa ruhnya.

DALAM HADITS INI TERDAPAT BANYAK PELAJARAN, DI ANTARANYA:

Pertama, taubat seorang pembunuh diterima. Dalilnya firman Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an:

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) kerana mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu, bagi siapa yang Dia kehendaki.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 48)

Yaitu dosa selain syirik diampuni oleh Allah bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Pendapat inilah yang dipegang oleh jumhur ulama.

Kedua, taubat seorang pembunuh tidak diterima. Dijelaskan dari Abdullah bin Abbas bahwa pembunuh tidak diampuni taubatnya kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisâ: 4: 93)

Tetapi pendapat jumhur ulama adalah lebih benar dan apa yang diriwayatkan Ibnu Abbas mungkin boleh diartikan bahwa pembunuh tidak diterima taubatnya ditinjau dari orang yang dibunuh, kerana seorang pembunuh berkaitan dengan tiga hak; Pertama, hak Allah; kedua, hak orang yang terbunuh: dan ketiga, hak wali yang terbunuh. 

Mengenai hak Allah, tidak diragukan lagi bahwa Allah mengampuni taubatnya seperti yang difirmankan-Nya,

Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 39: 53)

Kemudian Allah Ta'ala berfirman,

Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (Yakni) akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Furqân: 25: 68-70)

Adapun hak orang yang terbunuh, walaupun orang yang membunuhnya sudah bertaubat, belum tertunaikan, kerana dia sudah mati dan tidak mungkin baginya untuk melepaskan diri dari dosa terhadapnya walaupun dia telah bertaubat dan inilah yang akan dituntutnya kelak dari pembunuhnya. Di hari Kiamat, Allah akan memutuskan permasalahan yang terjadi di antara mereka.

Mengenai hak wali yang terbunuh, taubat pembunuh tidak sah kecuali jika dia menyerahkan dirinya kepada wali terbunuh dan mengaku bahwa dia telah membunuh seraya berkata, “Aku pembunuh dan aku menyerah di hadapan kalian, jika kalian berkehendak bunuhlah aku dan jika kalian berkehendak ambillah diyat dariku, dan jika kalian berkehendak maafkanlah.”

Hadits no. 21.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ، وَكَانَ قَائِدَ كَعْبٍ مِنْ بَنِيْهِ حِيْنَ عَمِيَ، قَالَ: سَمِعْتُ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ يُحَدِّثُ بِحَدِيْثِهِ حِينَ تَخَلَّفَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي غَزْوَةِ تَبُوْكَ. قَالَ كَعْبٌ: لَمْ أَتَخَلَّفْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِي غَزْوَةٍ غَزَاهَا قَطُّ إِلاَّ فِي غَزْوَةِ تَبُوْكَ، غَيْرَ أَنِِّي قَدْ تَخَلَّفْتُ فِي غَزْوَةِ بَدْرٍ، وَلَمْ يُعَاتَبْ أَحَدٌ تَخَلَّفَ عَنْهُ، إِنَّمَا خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّی اللهُ عَلَنهِ وَسلَّمَ وَالْمُسْلِمُونَ يُرِيْدُوْنَ عِيْرَ قُرَيْشٍ حَتَّى جَمَعَ اللهُ تَعَالَى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ عَدُوِّهِمْ عَلَى غَيْرِ مِيْعَادٍ. وَلَقَدْ شَهِدْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْعَقَبَةِ حِيْنَ تَوَاثَقْنَا عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَا أُحِبُّ أَنَّ لِيْ بِهَا مَشْهَدَ بَدْرٍ، وَإِنْ كَانَتْ بَدْرٌ أَذْكَرَ فِي النَّاسِ مِنْهَا. وَكَانَ مِنْ خَبَرِي حِينَ تَخَلَّفْتُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوَكَ أَنِّي لَمْ أَكُنْ قَطُّ أَقْوَى وَلَا أَيْسَرَ مِنِّي حِيْنَ تَخَلَّفْتُ عَنْهُ فِي تِلْكَ الْغَزْوَةِ، وَاللهِ مَا جَمَعْتُ قَبْلَهَا رَاحِلَتَيْنِ قَطُّ حَتَّى جَمَعْتُهُمَا فِي تِلْكَ الْغَزْوَةِ، وَلَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيْدُ غَزْوَةً إِلاَّ وَرَّى بِغَيْرِهَا حَتَّى كَانَتْ تِلْكَ الْغَزْوَةُ، فَغَزَاهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ، وَاسْتَقْبَلَ سَفَرًا بَعِيْدًا وَمَفَازًا، وَاسْتَقْبَلَ عَدُوًّا كَثِيْرًا فَجَلَّى لِلْمُسْلِمِينَ أَمْرَهُمْ لِيَتَأَهَّبُوا أُهْبَةَ غَزْوِهِمْ فَأَخْبَرَهُمْ بِوَجْهِهِمُ الَّذِي يُرِيْدُ، وَالْمُسْلِمُونَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَثِيْرٌ وَلَا يَجْمَعُهُمْ كِتَابُ حَافِظٍ (يُريدُ بِذَلِكَ الدَّيوَانَ) قَالَ كَعْبٌ: فَقَلَّ رَجُلٌ يُريدُ أَنْ يَتَغَيَّبَ إِلاَّ ظَنَّ أَنَّ ذَلِكَ سَيَخْفَى بِهِ مَا لَمْ يَنْزِلْ فِيهِ وَحْيٌ مِنَ اللهِ، وَغَزَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ الْغَزْوَةَ حِينَ طَابَتِ الثِّمَارُ وَالظِّلاَلُ، فَأَنَا إِلَيْهَا أَصْعَرُ، فَتَجَهَّزَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ، وَطَفِقْتُ أَغْدُو لِكَيْ أَتَجَهَّزَ مَعَهُ فَأَرْجِعُ وَلَمْ أَقْضِ شَيْئًا، وَأَقُولُ فِي نَفْسِي: أَنَا قَادِرٌ عَلَى ذَلِكَ إِذَا أَرَدْتُ، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ يَتَمَادَى بِي حَتَّى اسْتَمَرَّ بِالنَّاسِ الْجِدُّ، فَأَصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَادِيًا وَالْمُسْلِمُونَ مَعَهُ، وَلَمْ أَقْضِ مِنْ جِهَازِي شَيْئًا، تُمَّ غَدَوْتُ فَرَجَعْتُ وَلَمْ أَقْضِ شَيْئًا، فَلَمْ يَزَلْ ذَلِكَ يَتَمَادَى بِي حَتَّى أَسْرَعُوا وَتَفَارَطَ الْغَزْوُ، فَهَمَمْتُ أَنْ أَرْتَحِلَ فَأُدْرِكَهُمْ، فَيَا لَيْتَنِي فَعَلْتُ، ثُمَّ لَمْ يُقَدَّرْ ذَلِكَ لِي، فَطَفِقْتُ إِذَا خَرَجْتُ فِي النَّاسِ بَعْدَ خُرُوجِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْزُنُنِي أَنِّي لَا أَرَى لِي أُسْوَةً، إِلاَّ رَجُلًا مَغْمُوصًا عَلَيْهِ فِي النِّفَاقِ، أَوْ رَجُلًا مِمَّنْ عَذَرَ اللهُ مِنَ الضُّعَفَاءِ، وَلَمْ يَذْكُرْنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى بَلَغَ تَبُوكَ، فَقَالَ وَهُوَ جَالِسٌ فِي الْقَوْمِ بِتَبُوكَ: « مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ مَالِكٍ؟ » فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ: بَا رَسُولَ اللهِ حَبَسَهُ بُرْدَاهُ وَالنَّظَرُ فِي عِطْفِيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ: بِئْسَ مَا قُلْتَ، وَاللهِ يَا رَسَولَ اللهِ مَا عَلَمْنَا عَلَيْهِ إِلاَّ خَيْرًا، فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَبَيْنَمَا هُوَ عَلَى ذَلِكَ رَأَى رَجُلًا مُبَيِّضًا يَزُولُ بِهِ السَّرَابُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُنْ أَبَا خَيْشَمَةَ »، فَإِذَا هُوَ أَبُو خَيْثَمَةَ اْلأَ نْصَارِيُّ وَهُوَ الَّذِي تَصَدَّقَ بِصَاعِ التَّمْرِ حِينَ لَمَزَهُ الْمُنَافِقُونَ، فَقَالَ كَعْبُ: فَلَمَّا بَلَغَنِى أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَوَجَّهَ قَافِلًا مَنْ تَبُوكَ حَضَرَنِي بَثَّي، فَطَفِقْتُ أَتَذَكَّرُ الْكَذِبَ وَأقُولُ: بِمَ أَخْرُجُ مِنْ سَخَطِهِ غَدًا وَأَسْتَعِينُ عَلَى ذَلِكَ بِكُلِّ ذِي رَأْيٍ مِنْ أَهْلِي، فَلَمَّا قِيلَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قّدْ أَظَلَّ قَادِمًا زَاحَ عَنِّي الْبَاطِلُ حَتَّى عَرَفْتُ أَنِّي لَمْ أَنْجُ مِنْهُ بِشَيءٍ أَبَدًا فَأَجَمَعْتُ صِدْقَهُ، وَأًصْبَحَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَادِمًا، وَكَانَ إِذَا قَدِمَ مَنْ سَفَرٍ بَدَأَ بِالْمَسْجِدِ فَرَكَعَ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ جَلَسَ لِلنَّاسِ فَلَمَّا فَعَلَ ذَلِكَ جَاءَهُ الْمُخَلَّفُونَ يَعْتَذِرُونَ إِلَيْهِ وَيَحْلِفُونَ لَهُ، وَكَانُوا بِضْعًا وَثَمَانِبنَ رَجُلًا فَقَبِلَ مِنْهُمْ عَلاَ نِيَتَهُمْ وَبَايَعَهُمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ وَوَكَلَ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى.
حَتَّى جِئْتُ، فَلَمَّا سَلَّمْتُ تَبَسّمَ تَبَسُّمَ الْمُغْضَبِ ثُمَّ قَالَ: « تَعَالَ » فَجِئْتُ أَمْشِي حَتَّى جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَقَالَ لِى: « مَا خَلَّفَكَ؟ أَلَمْ تَكُنْ قَدِ ابْتَعْتَ ظَهْرَكَ؟ »، قَالَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إنِّي وَاللهِ لَوْ جَلَسْتُ عِنْدَ غَيْرِكَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا لَرَأَيْتُ أَنِّي سَأَخْرُجُ مِنْ سَخَطِهِ بِعُذْرٍ، لَقَدْ أُعْطِيتُ جَدَلًا وَلَكِنِّي وَاللهِ لَقَدْ عَلِمْتُ لَئِنْ حَدَّثْتُكَ الْيَوْمَ حَدِيثَ كَذِبٍ تَرْضَى بِهِ عَنِّي لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يُسْخِطَكَ عَلَيَّ، وَإِنْ حَدَّثْتُكَ حَدِيثَ صِدْقٍ تَجِدُ عَلَيَّ فِيهِ إِنِّي لَأَ رْجُو فِيهِ عُقْبَى اللهِ عَزَّ وَجَّلَّ، وَاللهِ مَا كَانَ لِي عُذْرٌ وَاللهِ مَا كُنْتُ قَطُّ أَقْوَى وَلَا أَيْسَرَ مِنِّي حِينَ تَخَلَّفْتُ عَنْكَ قَالَ: فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَمَّا هَذَا فَقَدْ صَدَقَ، فَقُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ فِيكَ » وَسَارَ رِجَالٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ فَاتَّبَعُونِي، فَقَالُوا لِي: وَاللهِ مَا عَلِمْنَاكَ أَذْنَبْتَ ذَنْبًا قَبْلَ هَذَا، لَقَدْ عَجَزْتَ فِي أَنْ لَا تَكُونَ اعْتَذَرْتَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَا اعْتَذَرَ إِلَيْهِ الْمُخَلَّفُونَ، فَقَدْ كَانَ كَافِيَكَ ذَنْبَكَ اسْتِغْفَارُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَكَ. قَالَ: فَوَاللهِ مَا زَالُوا يُؤَنَّبُونَنِي حَتَّى أَرَدْتُ أَنْ أَرْجِعَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُكَذِّبُ نَفْسِي، ثُمَّ قُلْتُ لَهُمْ: هَلْ لَقِىَ هَذَا مَعِي مِنُ أَحَدٍ؟ قَالُوا: نَعَمْ لَقِيَهُ مَعَكَ رَجُلاَنِ قَالَا مِثْلَ مَا قُلْتَ، وَقِيلَ لَهُمَا مِثْلُ مَا قِيلَ لَكَ، قَالَ: قُلْتُ مَنْ هَمَا؟ قَالُوا: مُرَارَةُ بْنُ الرَّبِيْعِ الْعَمْرِي، وَهِلاَلُ بْنُ أَمَيَّةَ الْوَاقِفِيُّ. قَالَ فَذَ كَرُوا لِي رَجُلَيْنِ صَالِحَيْنِ قَدْ شَهِدَا بَدْرًا فِيهِمَا أُسْوَةٌ. قَالَ: فَمَضَيْتُ حِينَ ذَكَرُوهُمَا لِي.
وَنَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كَلاَمِنَا أَيُّهَا الثَّلاَثَةُ مِنْ بَيْنِ مَنْ تَخَلَّفَ عَنْهُ، قَالَ: فَاجْتَنَبَنَا النَّاسُ أَوْ قَالَ: تَغَيَّرُوا لَنَا حَتَّى تَنَكَّرَتْ لِى فِي نَفْسِي اْلأَرْضُ، فَمَا هِيَ بِالأَرْضِ الَّتِي أَعْرِفُ، فَلَبِثْنَا عَلَى ذَلِكَ خَمْسِينَ لَيْلَةً. فَأَمَّا صَاحِبَايَ فَاسْتَكَانَا وَقَعَدَا فِي بُيُوتِهِمَا يَبْكِيَانِ، وَأَمَّا أَنَا فَكُنْتُ أَشَبَّ الْقَوْمِ وَأَجْلَدَهُمْ، فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَشْهَدُ الصَّلاَةَ مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ، وَأَطُوفُ فِي الأَسْوَاقِ وَلَا يُكَلَّمُنِي أَحَدٌ، وَآتِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسُلَّمَ فَأَسَلَّمُ عَلَيْهِ، وَهُوَ فِي مَجْلِسِهِ بَعْدَ الصَّلاَةِ، فَأَقُولُ فِي نَفْسِي: هَلْ حَرَّكَ شَفَتَيْهِ بِرَدَّ السَّلاَمِ أَمْ لاَ؟ ثُمَّ اصَلَّي قَرِيبًا مِنْهُ وَأَسَارِقُهُ النَّظَرَ، فَإِذَا أَقْبَلْتُ عَلَى صَلاَتِي نَظَرَ إِلَيَّ، وَإِذَا الْتَفَتُّ نَحْوَهُ أَعْرَضَ عَنِّي، حَتَّى إِذَاَ طَالَ ذَلِكَ عَلَيَّ مِنْ جَفْوَةِ الْمُسْلِمِينَ مَثَيْتُ حَتَّى تَسَوَّرْتُ جِدَارَ حَائِطِ أَبِي قَتَادَةَ وَهُوَ ابْنُ عَمِّي وَأَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَوَاللهِ مَا رَدَّ عَلَيَّ السَّلاَمَ، فَقُلْتُ لَهُ: يَا أَبَا قَتَادَةَ أَنْشُدُكَ بِالله ِهَلْ تَعْلَمُنَّ أَنِّي أُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ؟ فَسَكَتَ، فَعُدْتُ فَنَاشَدْتُهُ فَسَكَتَ، فَعُدْتُ فَنَاشَدْتُهُ فَقَالَ: اللهُ وَرَسُوْلَهُ أَعْلَمُ. فَفَاضَتْ عَيْنَايَ، وَتَوَلَّيْتْ حَتَّى تَسَوَّرْتُ الْجِدَارَ، فَبَيْنَا أَنَا أَمْشِي فِي سُوقِ الْمَدِينَةِ إِذَا نَبَطِيُّ مِنْ نَبَطِ أَهْلِ الشَّامِ مِمَّنْ قَدِمَ بِالطَّعَامِ يَبِيعُهُ بِالْمَدِينَةِ يَقُولُ: مَنْ يَدُلُّ عَلَى كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ؟ فَطَفِقَ النَّاسُ يُشِيرُونَ لَهُ إِلَيَّ حَتَّى جَاءَنِي فَدَفَعَ إِلَيَّ كِتَابًا مِنْ مَلِكِ غَسَّانَ، وَكُنْتُ كَاتِبًا. فَقَرَاتُهُ فَإِذَا فِيهِ: أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّهُ قَدْ بَلَغَنَا أَنَّ صَاحِبَكَ قَدْ جَفَاكَ، وَلَمْ يَجْعَلْكَ اللهُ بِدَارِ هَوَانِ وَلَا مَضْيَعَةٍ، فَالْحَقْ بِنَا نُوَاسِكَ، فَقُلْتُ حِينَ قَرَأَتُهَا: وَهَذِهِ أَيْضًا مِنَ الْبَلاَءِ فَتَيَامَّمْتُ بِهَا التَّنُّورَ فَسَجَرْتُهَا.
حَتَّى إِذَا مَضَتْ أَرْبعُونَ مِنَ الْجَمْسِينَ وَاسْتَلْبَثَ الْوَحْيُ إِذَا رَسُوْلُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأَتِينِي، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامُرُكَ أَنْ تَعْتَزِلَ امْرَأَتَكَ، فَقُلْتُ: أُطَلِّقُهَا، أَمْ مَاذَا أَفْعَلُ؟ قَالَ: لَا بَلْ اعْتَزِلْهَا فَلَا تَقْرَبَنَّهَا، وَأَرْسَلَ إِلَى صَاحِبَيَّ بِمِثْلِ ذَلِكَ. فَقُلْتُ لاِ مْرَأَتِي: اِلْحَقِي بِأَهْلِكِ فَكُونِي عِنْدَهُمْ حَتَّى يَقْضِيَ اللهُ فِي هَذَا اْلاَْمْرِ، فَجَاءَتْ امْرَأَةُ هِلاَلِ بْنِ أَمَيَّةَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ هِلاَلَ بْنَ أُمَيَّةَ شَيْخٌ ضَائِعٌ لَيْسَ لَهُ خَادِمٌ، فَهَلْ تَكْرَهُ أَنْ أَخْدُمَهُ؟ قَالَ: « لَا، وَلَكِنْ لَا يَقْرَبَنَّكِ ». فَقَالَتْ: إِنَّهُ وَاللهِ مَا بِهِ مِنْ حَرَكَةٍ إِلَى شَيْءٍ، وَ وَاللهِ مَا زَالَ يَبْكِي مُنْذُ كَانَ مِنْ أَمْرِهِ مَا كَانَ إِلَى يَومِهِ هَذَا. فَقَالَ لِي بَعْضُ أَهْلِي: لَو اسْتَأْذَنْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي امْرَأَتِكَ، فَقَدْ أَذِنَ لاِمْرَأَةِ هِلاَلِ بْنِ أُمَيَّةَ أَنْ تَخْدُمَهُ؟ فَقُلْتُ: لَا أَسْتَأْذِنتُ فِيهَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا يُدْرِينِي مَاذَا يَقُولُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنْتُهُ فِيهَا وَأَنَا رَجُلٌ شَابٌ فَلَبِثْتُ بِذَلِكَ عَشْرَ لَيَالٍ، فَكَمُلَ لَنَا خَمْسُونَ لَيْلَةً مِنْ حِينَ نُهِيَ عَنْ كَلاَمِنَا..
ثُمَّ صَلَّيْتُ صَلاَةَ الْفَجْرِ صَبَاحَ خَمْسِينَ لَيْلَةً عَلَى ظَهْرِ بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِنَا، فَبَيْنَا أَنَا جَالِسٌ عَلَى الْحَالِ الَّتي ذَكَرَ اللهُ تَعَالَى مِنَّا، قَدْ ضَاقَتْ عَلَيَّ نَفْسِي وَضَاقَتْ عَلَيَّ الأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ، سَمِعْتُ صَوْتَ صَارِخٍ أَوْفَى عَلَى سَلْعٍ يَقُولُ بِأَعْلَى صَوتِهِ: يَا كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ أَبْشِرْ، فَخَرَرْتُ سَاجِدًا، وَعَرَفْتُ أَنْ قَدْ جَاءَ فَرَجٌ فَآذَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ بِتَوْبَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْنَا حِيْنَ صَلَّى صَلاَةَ الْفَجْرِ فَذَهَبَ النَّاسُ يُبَشِّرُونَنَا، فَذَهَبَ قِبَلَ صَاحِبَيَّ مُبَشِّرُونَ، وَرَكَضَ رَجُلٌ إِلَيَّ فَرَسًا وَسَعَى سَاعٍ مِنْ أَسْلَمَ قِبَلِي وَأَوْفَى عَلَى الْجَبَلِ، وَكَانَ الصَّوْتُ أَسْرَعَ مِنَ الْفَرَسِ، فَلَمَّا جَاءَنِيَ الَّذِي سَمِعْتُ صَوْتَهُ يُبَشِّرُنِي فَنَزَعْتُ لَهُ ثَوْبَيَّ فَكَسَوْتُهُمَا إِيَّاهُ بِبِشَارَتِهِ، وَاللهِ مَا أَمْلِكُ غَيْرَهُمَا يَوْمَئِذٍ، وَاسْتَعَرْتُ ثَوْبَيْنِ فَلَبِسْتُهُمَا وَانْطَلَقْتُ أَتَأَمَّمُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَلَقَّانِيَ النَّاسُ فَوْخًا فَوْجًا يُهنِّئُونِي بِالتَّوْبَةِ وَيَقُولُونَ لِي: لِتَهْنِكَ تَوْبَةُ اللهِ عَلَيْكَ، حَتَّى دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَإِذَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ حَوْلَهُ النَّاسُ، فَقَامَ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُهَرْوِلُ حَتَّى صَافَحَنِي وَهَنَّأَنِي، وَاللهِ مَا قَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ غَيْرُهُ، فَكَانَ كَعْبٌ لَا يَنْسَاهَا لِطَلْحَةَ. قَالَ كَعْبٌ: فَلَمَّا سَلَّمْتُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ يَبْرُقُ وَجْهُهُ مِنَ السُّرُورِ: « أَبْشِرْ بِخَيْرِ يَومٍ مَرَّ عَلَيْكَ مُنْذُ وَلَدَتْكَ أُمُّكَ »، فَقَلْتْ أَمِنْ عِنْدِكَ يَا رَسُولَ اللهِ أَمْ مِنْ عِندِ اللهِ؟ قَالَ: لَا بَلْ مِنْ عِنْدِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا سُرَّ اسْتَنَارَ وَجْهُهُ حَتَّى كَأَنَّ وَجْهَهُ قِطْعَةُ قَمَرٍ، وَكُنَّا نَعْرِفُ ذَلِكَ مِنْهُ، فَلَمَّا جَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْهِ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ أَنْخَلِعَ مِنْ مَالِي صَدَقَةً إِلَى اللهِ وَإِلَى رَسُوْلِهِ.
فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَمْسِكْ عَلَيْكَ بَعْضَ مَالِكَ فَهُوَ خَيْرُ لَكَ »، فَقُلْتُ: إِنِّي أُمْسِكُ سَهْمِيَ الَّذِي بِخَيْبَر. وَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِنَّمَا أَنْجَانِي بِالصِّدْقِ، وَإِنَّ مِنْ تَوْبَتِي أَنْ لَا أُحَدِّثَ إِلاَّ صِدْقًا مَا بَقِيتُ، فَوَاللهِ مَا عَلِمْتُ أَنَّ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَبْلاَهُ اللهُ فيِ صِدْقِ الْحَدِيْثِ مُنْذُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ مِمَّا أَبْلاَنِيَ اللهُ تَعَالَى، وَاللهِ مَا تَعَمَّدْتُ كَذِبَةً مُنْذُ قُلْتُ ذَلِكَ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى يَوْمِي هَذَا، وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ يَحْفَظَنِي اللهُ فِيمَا بَقِيَ، قَالَ: فَأَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى: { لَقَدْ تَابَ اللهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَـٰجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ، بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ۞ وَعَلَى الثَّلَاثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّىٰٓ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنْفُسُهُمْ وَظَنُّوٓاْ أَنْ لَّا مَلْجَأَ مِنَ اللهِ إِلَّآ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوَا ۚ إِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ۞ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُواْ اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّـٰدِقِينَ۞} [التوبة: ١١٧-١١٩]
قَالَ كَعْبٌ: وَاللهِ مَا أَنْعَمَ اللهُ عَلَيَّ مِنْ نِعْمَةٍ قَطُّ بَعْدَ إِذْ هَدَانِيَ اللهُ لِلإِسْلاَمِ أَعْظَمَ فِي نَفْسِي مِنْ صِدْقِي رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَكُونَ كَذَبْتُهُ، فَأَهْلِكَ كَمَا هَلَكَ الَّذينَ كَذَبُوا، إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ لِلَّذِينَ كَذَبُوا حِينَ أَنْزَلَ الْوَحْيَ شَرَّ مَا قَالَ لِأَحَدٍ، فَقَالَ اللهُ تَعَالَى:{ سَيَحْلِفُونَ بِاللهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ إِنَّهُمْ رِجْسٌ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَآءَ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ۞ يَحْلِفُونَ لَكُمْ لِتَرْضَوْاْ عَنْهُمْ فَإِنْ تَرْضَوْاْ عَنْهُمْ فَإِنَّ اللهَ لَا يَرْضَىٰ عَنِ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ۞}
[التوبة: ٩٦،٩٥]
قَالَ كَعْبٌ: كُنَّا خُلِّفْنَا أَيُّهَا الثَّلاَثَةُ عَنْ أَمْرِ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ قَبِلَ مِنْهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ حَلَفُوا لَهُ، فَبَايَعَهُمْ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ، وَأَرْجَأَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أمْرَنَا حَتَّى قَضَى اللهُ تَعَالَى فِيهِ، فَبِذَلِكَ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: {وَعَلَى الثَّلَـٰثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُواْ} وَلَيْسَ الَّذِي ذَكَرَ مِمَّا خُلِّفْنَا تَخَلُّفُنَا عَنِ الْغَزْوِ، وَإِنَّمَا هُوَ تَخْلِيفُهُ إِيَّانَا وَإرْجَاؤُهُ أَمْرَنَا عَمَّنْ حَلَفَ لَهُ وَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَبِلَ مِنْهُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَةٍ « أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الخَمِيْسِ».

وَفِي رِوَايَةٍ: « وَكَانَ لاَ يَقدُمُ مِنْ سَفَرٍ إِلاَّ نَهَارًا فِي الضُّحَى. فَإِذَا قَدِمَ بَدَأَ بِالْمْسْجِدِ فَصَلَّى رَكْعتيْنِ ثُمَّ جَلَسَ فِيْهِ».
Daripada Abdullah bin Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu, dia adalah salah seorang putra Ka'ab bin Malik, putra yang menuntunnya ketika Ka'ab bin Malik buta, “Saya mendengar Ka'ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersamanya) dia dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Tabuk.

Ka'ab bin Malik berkata, “Aku selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang, aku juga tidak bersama Rasulullah dalam perang Badar, tetapi tidak seorang pun dicela jika tidak mengikuti perang tersebut. Sebab, waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama kaum Muslimin keluar dari Madinah untuk menghadang kafilah dagang Qusaisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh.

Sungguh aku ikut bersama Rasulullah pada malam hari di dekat Aqabah, ketika kami mengucapkan sumpah setia (bai'at) memeluk agama Islam. Aku tidak merasa lebih senang walaupun aku bisa mengikuti perang Badar daripada aku tidak ikut dalam bai'at di Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaannya di kalangan manusia darinya.

Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu, sama sekali, aku tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang), daripada ketika aku tertinggal dari Rasulullah dalam perang Tabuk. Demi Allah, sebelum perang Tabuk aku tidak pernah mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, kecuali dalam perang ini. Dan tidaklah Rasulullah berangkat menuju peperangan kecuali Rasulullah akan merahasiakannya, kecuali pada peperangan ini. Hal ini kerana Rasulullah akan berperang pada musim panas yang sangat terik dan akan menempuh perjalanan yang sangat jauh dan sulit, serta akan menghadapi musuh yang berjumlah besar, sehingga Rasulullah menjelaskan kepada mereka semua, supaya mereka dapat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Rasulullah juga memberitahu arah yang akan mereka tuju.

Waktu itu, kaum Muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup banyak, tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam buku (maksudnya daftar nama prajurit).

Ka'ab melanjutkan, “Hampir semua orang yang tidak ikut perang meyakini bahwa ketidak-ikut sertaannya tidak akan diketahui oleh Rasulullah, selama tidak ada wahyu yang diturunkan Allah Ta'ala menjelaskan hal itu.”

Rasulullah berangkat ke Tabuk itu ketika buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan tampak bagus. Oleh kerana itu, hatiku lebih condong ke sana (buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan).

Tatkala Rasulullah dan kaum Muslimin hendak mempersiapkan segala sesuatunya, aku pun bergegas keluar, untuk mempersiapkan diri bersama mereka. Namun, aku kembali tanpa melakukan apa-apa, padahal dalam hatiku berkata, “Aku mampu mempersiapkannya jika bersungguh-sungguh.” Demikian itu berlangsung terus dan aku selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslim memuncak (kesungguhan untuk persiapkan berangkat perang).

Pada akhirnya, di pagi hari, Rasulullah beserta kaum Muslimin berangkat, sementara aku belum mengadakan persiapan. Lalu aku keluar (untuk mencari perlengkapan), tapi aku kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum Muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian, aku putuskan untuk menyusul kaum Muslimin. “Andai saja aku berbuat demikian, namun takdir berbicara lain.

Ketika aku keluar ke tengah-tengah masyarakat sesudah Rasulullah berangkat, aku sangat sedih kerana tidak mendapati seorang pun teladan, kerana yang terlihat hanyalah orang-orang yang tenggelam dalam kemunafikan, atau orang-orang lemah yang diberi keringanan oleh Allah. Sementara itu, Rasulullah tidak mengingatku, hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk, barulah Rasulullah bertanya ketika sedang duduk bersama para sahabat, “Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka'ab bin Malik?

Salah seorang Bani Salimah menjawab, Ya Rasulullah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (berbangga dengan diri sendiri).

Tetapi Muaz bin Jabal menghardiknya, “Betapa buruknya perkataanmu. Demi Allah, yang kami ketahui pada Ka'ab hanyalah kebaikan.”

Rasulullah berdiam diri. Tidak lama kemudian, Rasulullah melihat seorang laki-laki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan yang tidak jelas kerana terpengaruh fatamorgana (akibat panas terik matahari). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sepertinya orang itu Abu Khaitsamah.” Ternyata benar, orang tersebut adalah Abu Khaitsamah Al-Anshari. Dia adalah orang yang kerana bersedekah segantang kurma, dicaci-maki oleh orang munafik.

Ka'ab meneruskan ceritanya, Tatkala aku mendengar bahwa Rasulullah berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, aku merasa sangat sedih. Aku mulai berfikir untuk dusta, alasan apa yang bisa menyelamatkanku dari amarah Rasulullah. Aku juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang terbaik.

Tetapi, ketika mendengar bahwa Rasulullah sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang aku siapkan, hingga aku yakin tidak ada yang dapat menyelamatkan dari Rasulullah selamanya. Kerana itu, aku akan mengatakan yang sebenarnya. Keesokan harinya, Rasulullah tiba. Dan telah menjadi kebiasaan Rasulullah, setiap kali datang dari perjalanan, yang Rasulullah tuju pertama kali adalah masjid. Rasulullah mengerjakan shalat dua rakaat, lalu duduk untuk menerima orang-orang. 

Maka, berdatanglah orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk menemui Rasulullah. Mereka mengemukakan berbagai macam alasan kepada Rasulullah, disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada lapan puluh orang lebih. Rasulullah menerima keterangan mereka, Rasulullah memba'iat dan memohon ampun bagi mereka, sedangkan batin mereka, Rasulullah serahkan kepada Allah.

Tiba giliranku mengadap. Ketika aku mengucapkan salam, Rasulullah tersenyum dengan senyuman orang yang sedang marah kemudian berkata, “Kemarilah!” Aku berjalan mendekat dan duduk hadapan Rasulullah.

Lalu Rasulullah bertanya, “Apakah yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? bukankah engkau telah membeli kendaraan?”

Ka'ab menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah, andaikan aku duduk di hadapan orang selain engkau, aku yakin akan dapat bebas dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sungguh, aku telah dikaruniai kepandaian berbicara. Namun, demi Allah, aku benar-benar yakin, seumpama hari ini aku berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah menjadikanmu marah kepadaku. Sebaliknya, jika aku berkata benar yang membuat engkau marah kepadaku, maka aku mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah, aku tidak mempunyai udzur sedikitpun (untuk tidak berangkat perang). Demi Allah diri ini sama sekali tidak merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikuti engkau ke Tabuk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda, “Orang ini (Ka'ab bin Malik) telah berkata benar.” Wahai Ka’ab, berdirilah! Tunggulah keputusan Allah terhadap dirimu.”

Aku pun berdiri, beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan menghampiriku.

Mereka berkata kepadaku, “Demi Allah, kami tidak pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Mengapa engkau tidak mengemukakan alasan kepada Rasulullah seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak ikut ke Tabuk. Dan cukuplah bagimu, untuk menghapus dosamu, jika Rasulullah memintakan ampunan untukmu.

Ka'ab melanjutkan, “Demi Allah, orang-orang Bani Salimah itu terus menyalahkanku, sehingga ingin rasanya aku kembali kepada Rasulullah untuk mendustai diri sendiri. Lalu, aku bertanya kepada orang-orang Bani Salimah itu, Adakah ada orang lain yang mengalami sepertiku?”

Mereka menjawab, “Ya, ada dua orang yang mengatakan seperti apa yang kamu katakan dan mereka mendapat jawaban sama seperti jawaban yang kamu terima.”

Aku bertanya, “Siapakah kedua orang itu?”

Mereka menjawab, “Murarah bin Ar-Rabi' Al-'Amri dan Hilal bin Umayyah Al-Waqifi.”

Dua orang shalih itu mengikuti perangan Badar dan keduanya dapat aku jadikan sebagai teladan. Aku pun berlalu setelah mereka menyebutkan dua orang itu. Sejak saat itu, Rasulullah melarang kaum Muslimin untuk berbicara dengan kami bertiga yang tidak ikut berperang. Sejak itu pula mereka mengubah sikap dan menjauhi kami sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang aku pijak ini bukanlah bumi yang aku kenal. Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. 

Adapun dua orang temanku (Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing, sambil tiada henti-hentinya menangis.

Di antara kami bertiga, akulah orang yang paling muda di kalangan kami bertiga. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti shalat berjamaah bersama kaum Muslimin, juga pergi ke pasar, tetapi tidak seorang pun mahu mengajak aku bicara. Aku pergi mengadap Rasulullah untuk sekadar mengucapkan salam kepada Rasulullah di tempat duduk baginda sesudah shalat. Tetapi hati ini berkata, “Apakah Rasulullah akan menggerakkan bibir Rasulullah untuk menjawab salam ataukah tidak?”

Kemudian, aku mengerjakan shalat berdekatan dengan Rasulullah, sekali aku mencuri pandang ke arahnya. Ketika aku sedang shalat, Rasulullah memandangku, namun jika aku melihat ke arahnya, Rasulullah pun berpaling dariku.

Hal ini terjadi berturut-turut, sampai suatu hari, aku berjalan-jalan, lalu aku memanjat pagar rumah Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling aku sayangi. Aku ucapkan salam kepadanya, tetapi dia tidak menjawab salamku. Lalu aku berseru kepadanya, “Demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah diam saja sehingga aku ulangi pertanyaanku, dia tetap diam. Sesudah aku ulangi pertanyaanku sekali lagi, barulah dia berkata, Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.

Seketika itu, mengalirlah air mataku dan aku pun pulang. Pada suatu hari, ketika aku sedang berjalan-jalan di pasar madinah, tiba-tiba ada seorang petani dari penduduk Syam (Syiria) yang datang ke Madinah untuk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya kepada orang-orang yang berada di pasar, “Siapakah yang dapat menunjukkan diriku kepada orang yang bernama Ka'ab bin Malik?” Orang-orang memberikan isyarat ke arahku. Orang itu mendatangiku seraya menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari Raja Ghassan. Isi surat itu sebagai berikut,

Kami mendengar bahwa temanmu (maksudnya adalah Rasulullah) telah berpaling daripadamu, sementara Tuhanmu sendiri tidak menjadikanmu seorang yang hina dan tersia-sia. Oleh kerana itu, datanglah ke negeri kami, niscaya kami akan menolongmu.”

Selesai membaca surat itu, aku berfikir, “Surat ini merupakan satu bencana bagi aku, lalu aku bakar surat itu ke tempat pembakaran api.”

Setelah berlalu selama empat puluh hari dari lima puluh hari pengucilan dariku dan wahyu belum juga turun, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah mendatangiku seraya berkata, “Rasulullah memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.”

Aku bertanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau bagaimana?”

Utusan itu menjawab, “Tidak usah menceraikan, tetapi jauhilah dia, dan jangan sekali-kali engkau mendekatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengirimkan utusan kepada kedua temanku (Murarah dan Hilal) dengan perintah yang sama.”

Lalu aku berkata pada istriku, “Pulanglah kepada keluargamu.” Sementara, tinggallah kamu di sana hingga datang keputusan Allah.”

Kemudian istri Hilal bin Umayyah menghadap Rasulullah memohon kepada baginda. Lalu berkata, “Ya Rasulullah! Suamiku, Hilal bin Umayyah adalah orang yang sudah tua lagi sendirian dan dia tidak mempunyai pembantu. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, tetapi yang aku maksud, jangan sampai dia mendekatimu.”

Istri Hilal berkata lagi, “Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai hasrat terhadapku. Dan, demi Allah, tidak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang kaum muslimin berbicara dengannya hingga hari ini.”

Sebagian keluargaku berkata padaku, “Hai Ka'ab! Kalau saja kamu meminta izin kepada Rasulullah untuk istrimu tentu itu lebih baik, Baginda telah mengizinkan istri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.”

Aku menjawab, “Aku tidak akan meminta izin untuk istriku kepada Rasulullah. Aku tidak tahu apa yang akan disabdakan Rasulullah apabila aku meminta izin kepada baginda, sedangkan aku seorang yang masih muda.”

Aku lalui kehidupan tanpa istri selama sepuluh hari (sambil menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagiku, lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian, pada hari kelima puluh, aku melaksanakan shalat Subuh di atas salah satu rumah kami. Ketika aku duduk dalam kondisi seperti yang Allah sebutkan mengenai kami. Pada saat itu, hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku. Kemudian, aku mendengar suara teriakan yang sangat keras, “Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah!” Seketika aku tersungkur bersujud syukur dan aku tahu bahwa jalan keluar (dari masalah kami) telah datang.

Rasulullah memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi menerima taubat kami bertiga. Khabar itu disampaikan seusai baginda melaksanakan shalat subuh. Maka, kaum Muslimim berdatangan mengucap selamat dan ikut bergembira juga kepada kedua temanku (Murarah dan Hilal). Ada seorang laki-laki yang datang menunggang kuda menemuiku, dan seorang dari Bani Aslam yang lari kepadaku dan naik ke atas bukit dan berteriak dengan suara yang keras, dan suara itu lebih cepat daripada larinya kuda.

Maka, ketika datang orang yang aku dengar suaranya memberi kabar gembira itu, aku segera melepaskan kedua bajuku dan aku berikan kepadanya sebagai hadiah atas berita gembira yang disampaikannya itu. Padahal, demi Allah, aku tidak memiliki apa-apa selain keduanya. Setelah itu, aku meminjam pakaian dan mengenakannya, lalu berangkat untuk menghadap Rasulullah. Sementara kaum Muslimin menyambut kedatanganku dan mengucap selamat atas diterimanya taubatku. 

Mereka berkata kepadaku, “Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.” Demikianlah, sepanjang jalan, kaum Muslimin memberikan selamat. Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah sedang duduk dikelilingi oleh para sahabat. Melihat kedatanganku, Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri dan berlari-lari kecil menyambutku, menjabat tanganku, dan memberikan ucapan selamat kepadaku. Demi Allah tidak ada seorang pun dari golongan kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah. Kerana itulah aku tidak bisa melupakan kebaikan Thalhah

Ka'ab meneruskan ceritanya, “Tatkala aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, baginda menyambutku dengan wajah berseri-seri seraya bersabda, “Bergembiralah, kerana hari ini merupakan hari terbaik bagimu, sejak kamu dilahirkan ibumu.”

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah itu dari engkau sendiri ataukah dari sisi Allah?”

Rasulullah menjawab, “Bukan dariku, melainkan dari Allah Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi.”

Rasulullah pun gembira hatinya, maka wajahnya akan terlihat bercahaya, bahkan seolah-olah seperti (cahaya) rembulan. Dan kami sudah mengetahui hal itu. Maka, ketika aku telah duduk dihadapannya, aku lalu berkata, “Ya Rasulullah, sungguh termasuk taubatku (sebagai pernyataan rasa syukur), aku akan menyerahkan seluruh hartaku sebagai sedekah untuk Allah dan Rasul-Nya. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Simpanlah sebagian harta bendamu (jangan kamu sedekahkan seluruhnya). Itu lebih baik bagimu.”

Kemudian Aku menjawab, “Aku telah menyisakan harta dari bagianku ketika perang Khaibar. Selanjutnya aku berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkanku kerana kejujuran. Dan aku menyatakan bahwa termasuk taubatku (sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) aku tidak akan berbicara selain yang benar selama sisa hidupku.” Demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum Muslimin yang Allah uji dengan ucapan jujur, sejak aku mengucapkan hal itu di hadapan Rasulullah, lebih baik dari apa yang Allah Ta'ala ujikan kepadaku. Demi Allah, sejak aku berjanji kepada Rasulullah hingga sekarang, aku tidak pernah sengaja berbohong dan aku berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku.

Kemudian Allah menurunkan firman-Nya dalam surah At-Taubah,

“Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan daripada mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari daripada seksaan Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat, Maha Penyayang. Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 9: 117-119)

Ka'ab berkata, “Demi Allah, tidaklah Allah menganugerahkan kenikmatan yang lebih besar -setelah Dia memberi petunjuk kepadaku ke jalan Islam- melebihi kejujuranku kepada Rasulullah. Sehingga aku tidak berdusta kepada baginda yang dapat membinasakanku, sebagaimana para pendusta itu binasa. Sungguh, Allah telah berfirman mengenai para pendusta itu ketika Dia menurunkan wahyu dengan seburuk-buruk perkataan kepada seseorang.

“Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika engkau kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; kerana sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka bersumpah kepadamu agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 9: 95-96)

Lebih lanjut Ka'ab berkata, “Kami bertiga ditangguhkan dari urusan orang-orang yang diterima alasannya oleh Rasulullah setelah mereka bersumpah, kemudian baginda membai'at dan memohon ampun untuk mereka. Adapun mengenai kami bertiga, baginda menyerahkannya langsung kepada Allah, sehingga Dia memberi keputusan-Nya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan taubatnya...” (QS. At-Taubah: 9: 118)

Ka'ab berkata, “Dan apa yang disebutkan pada ayat ini bahwa kami ditinggalkan (ditangguhkan), adalah ditinggalkan dari perang, akan tetapi urusan kamilah yang ditinggalkan dan ditangguhkan dari urusan orang-orang bersumpah dan meminta izin, dan Rasulullah menerimanya.

[Shahih Al-Bukhari no. 4418. Muslim no. 2769]

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu perang Tabuk, Rasulullah keluar pada hari Kamis, dan memang sudah menjadi kesukaan Rasulullah untuk bepergian pada hari Kamis.”

[HR. Thabrani no. 2/74 dalam Al-Ausat]

Dalam riwayat lain disebutkan pula, “Biasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kalau datang dari bepergian pada waktu Dhuha, dan bila datang biasanya langsung ke masjid untuk melaksanakan shalat dua rakaat, kemudian duduk di dalamnya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4418. Muslim no. 2769]

Hadits no. 22.
وَعَنْ أَبِي نُجَيْدٍ - بِضَمِّ النُّوْنِ وَفَتْحِ الْجِيْمِ - عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ الْخُزَاعِيِِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ أَتَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ حُبْلَى مِنَ الزِّنَا، فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَصَبْتُ حَدَّا فَأَقِمْهُ عَلَيَّ فَدَعَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلِيَّهَا فَقَالَ: « أَحْسِنْ إِلَيْهَا، فَإِذَا وَضَعَتْ، فَأْتِنِي، فَفَعَلَ فَأَمَرَ بِهَا نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَشُدَّتْ عَلَيْهَا ثِيَابُهَا، ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَرُجِمَتْ، ثُمَّ صَلَّى عَلَيْهَا. فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ وَقَدْ زَنَتْ؟ قَالَ: لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ تَوبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا للهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Nujaid Imran bin Al-Hushain Al-Khuza'i radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Ada seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil kerana berzina, lalu dia berkata, Wahai Rasulullah, aku telah melakukan kesalahan dan aku harus dihukum. Maka, laksanakanlah hukuman bagi diriku.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali perempuan itu seraya bersabda, Peliharalah baik-baik perempuan ini, apabila sudah melahirkan anak, bawalah dia kemari.

Maka perintah itu pun dilaksanakan oleh walinya. Kemudian, setelah perempuan itu melahirkan, dibawalah ke hadapan Rasulullah dan Rasulullah memerintahkan kepada perempuan untuk mengencangkan pakaiannya dan dirajam, kemudian Rasulullah menyalatinya.

Umar berkata kepada Rasulullah, “Mengapa engkau menyalatinya ya Rasulullah, bukankah dia telah berzina?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, dia benar-benar telah bertaubat dan seandainya taubatnya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup. Pernahkah kamu mendapatkan orang yang lebih utama daripada seseorang yang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung?”

[Shahih Muslim no. 1696]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata mengenai hadits yang diriwayatkan oleh Imran bin Al-Hushain Al-Khuza'i ini, bahwa ada seorang perempuan mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan hamil kerana berzina, lalu dia berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan kesalahan dan aku harus dihukum. Maka, laksanakanlah hukuman bagi diriku.” Yakni aku telah melakukan sesuatu yang mengharuskanku untuk dihukum had (pidana).

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil wali wanita itu dan memerintahkannya untuk menjaga wanita itu baik-baik, dan jika sudah melahirkan, agar membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala wanita itu telah melahirkan, wali wanita itu membawanya ke hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan agar pakaiannya (wanita itu) dikencangkan, yakni digulung dan diikat agar tidak terbuka auratnya. Lalu diperintahkan agar wanita itu direjam, kemudian direjamlah wanita itu, yakni dilempari dengan batu yang tidak kecil namun juga tidak besar, sampai mati. Kemudian setelah meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyalatkannya dan mendoakannya dengan doa atas mayat.

Lalu Umar berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mengapa engkau menyalatinya ya Rasulullah, bukankah dia telah berzina?” Yakni, zina merupakan dosa besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya, dia benar-benar telah bertaubat, dan seandainya taubatnya dibagi pada tujuh puluh orang penduduk Madinah, niscaya masih cukup.” Yakni taubat yang begitu besar yang jika kamu bagikan kepada tujuh puluh orang yang semuanya berdosa, niscaya akan cukup dan bermanfaat untuk menghapus dosa mereka.

Pernahkah kamu mendapatkan orang yang lebih utama daripada seseorang yang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung? Yakni, apakah kamu mendapatkan sesuatu yang lebih baik dari keadaan ini, seorang wanita datang dan menyerahkan nyawanya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan membersihkan dirinya dari dosa zina. Tidak ada yang lebih baik dari hal ini.

Dalam Hadits Ini Banyak Faedah, Antara Lain:

1. Apabila seseorang yang telah menikah berzina, maka wajib dirajam. Hal ini terdapat dalam Kitabullah, yang ayatnya dibaca, dihafal, dipahami, dan dipraktikkan oleh kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dan para Khulafaur Rasyidin pernah merajam. Akan tetapi dengan hikmah-Nya, Allah menghapus lafalnya dari Al-Qur'an dan membiarkan hukumnya berlaku bagi umat ini. Apabila orang yang sudah menikah melakukan zina, dia harus dirajam sampai mati. Didirikan di tempat luas dan orang-orang berkumpul dan mengambil batu lalu melemparinya sampai mati.

Dan ini merupakan kebijaksanaan dari Allah Ta'ala, yakni syariat tidak memerintahkan untuk menyembelih pezina dengan pedang lalu selesailah urusannya. Akan tetapi, dia harus dirajam agar merasakan pedihnya siksaan, sebagai balasan dari perbuatan haram yang dia nikmati. Kerana orang yang berzina seluruh jasadnya pernah merasakan kenikmatan yang haram. Dan merupakan kebijaksanaan dari Allah agar jasad itu juga merasakan adzab sebesar kadar kenikmatan yang dia rasakan.

Oleh kerana itu, ulama berkata, “Tidak boleh merajam dengan batu yang besar hingga dia cepat mati dan selesai urusannya. Tidak juga dengan batu kecil hingga memperlambat kematiannya. Namun, yang benar adalah dengan menggunakan batu yang sedang hingga dia merasakan kepedihan, baru dia mati.”

Apabila ada orang mengatakan, “Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam pernah bersabda,

Apabila kalian membunuh (musuh dalam peperangan), bunuhlah dengan cara yang baik atau apabila kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik.

[Shahih Muslim no. 1955]

Bukankah pembunuhan dengan pedang lebih ringan bagi orang yang dirajam itu daripada dibunuh dengan batu?”

Kita jawab, “Benar, bahwa hadits itu telah disabdakan Rasulullah, akan tetapi yang disebut pembunuhan dengan cara yang baik itu bila dilakukan sesuai dengan syariat. Maka rajam itu adalah cara pembunuhan yang baik kerana sesuai dengan syariat. Oleh kerana itu, jika ada seorang yang berbuat aniaya kepada orang lain dan membunuhnya secara sengaja serta menyiksanya sebelum membunuhnya, maka kita pun harus menyiksanya dulu sebelum membunuhnya (dengan qishas).”

Misalnya, jika ada seseorang berbuat aniaya dengan membunuh orang lain, lalu memotong kedua tangannya, kedua kakinya, lidah dan kepalanya, maka kita boleh membunuh pelaku aniaya itu dengan pedang, tapi memotong kedua tangannya, kemudian kedua kakinya, lalu lidahnya, kemudian memotong kepalanya seperti yang dia lakukan.

Cara semacam ini dianggap sebagai cara yang baik dalam pembunuhan, kerana cara yang baik dalam pembunuhan adalah jika selaras dengan syariat, bagaimana pun bentuknya.

2. Dalam hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya bagi seseorang untuk mengakui zina yang pernah dilakukannya untuk menyucikannya dalam hukuman yang telah ditentukan Allah, bukan untuk mengungkapkan aib diri sendiri.

Seseorang yang berbicara atas nama dirinya sendiri, mengakui bahwa dia telah berzina di hadapan penguasa atau wakilnya agar ditegakkan hukuman atasnya, maka perbuatan itu tidaklah tercela. Adapun orang yang menceritakan bahwa dirinya telah berzina di hadapan orang banyak, ini adalah mengumbar aib diri sendiri dan dia termasuk orang yang tidak dilindungi Allah, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Setiap umatku akan dilindungi kecuali orang-orang yang berbuat maksiat secara terang-terangan.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah orang-orang yang berbuat maksiat secara terang-terangan itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang melakukan perbuatan dosa kemudian Allah tutupi, tapi dia sendiri yang menyebarkannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6069 dan Muslim no. 2990]

Ada lagi kelompok ketiga yang disebut dengan orang fasik yang gila. Yaitu orang yang dengan bangga bercerita bahwa dia telah berbuat zina. Dia bercerita bahwa dia pergi ke suatu negeri lalu berzina dengan beberapa wanita atau hal serupa dengan penuh rasa bangga terhadap perbuatannya itu!

Orang seperti ini harus diminta bertaubat. Jika dia bertaubat di maafkan, jika tidak maka dia harus dibunuh, kerana orang yang berbangga dengan zina berarti sama saja dia menghalalkan zina, dan itu berarti dia telah kafir!

Sebagian orang-orang fasik berlaku seperti itu. Mereka adalah orang-orang penyebab musibah bagi kaum muslimin kerana perbuatan mereka.

Ada juga orang yang gembira melakukan hal itu, jika dia pergi ke negeri kafir sebagai negeri yang rusak yang di dalamnya banyak perzinahan, homeseksual, minuman keras dan lainnya lalu dia kembali ke kawan-kawannya dengan bangga terhadap apa yang dia lakukan.

Orang ini, sebagaimana saya katakan, harus diminta untuk bertaubat, jika dia bertaubat dimaafkan. Jika tidak, maka dia harus dibunuh, kerana orang yang menghalalkan zina atau perbuatan haram lainnya yang telah disepakati ulama, berati dia telah kafir.

Apabila ada orang bertanya, “Apa yang sebaiknya dilakukan jika seseorang berzina, datang ke hakim dan mengakui perbuatannya agar dihukum atau sebaliknya diam saja menutupi aib dirinya?”

Harus diperinci; jika dia bertaubat dengan taubat nasuha, menyesal dan dia yakin bahwa dirinya tidak akan kembali melakukan hal itu, sebaik-baiknya jangan pergi ke hakim dan jangan beritahu sesiapa pun tentang perbuatannya. Jadikanlah hal itu rahasia antara dirinya dengan Rabbnya. Barangsiapa yang bertaubat, niscaya Allah menerima taubatnya. 

Adapun jika khawatir taubatnya bukan taubat nasuha dan khawatir bisa kembali mengulangi perbuatannya lagi, sebaiknya dia pergi ke hakim untuk mengakui kesalahan perbuatannya dan dijalankan hukum atas dirinya.

Hadits no. 23.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبِ أَحَبَّ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ وَادِيَانِ، وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلاَّ التُّرَابُ، وَيَتُوْبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ » مُتَّفَقٌ عَليْهِ.
Daripada Abdullah bin Abbas dan Anas bin Malik radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Andaikan seorang anak Adam (manusia) memiliki emas satu lembah, pasti dia menginginkan dua lembah. Padahal, yang akan memenuhi mulutnya hanyalah tanah. Dan Allah akan menerima taubat siapa saja yang mahu bertaubat.

[Shahih Al-Bukhari no. 6449. Muslim no. 1049]

Hadits no. 24.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « يَضْحَكُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى إِلَى رَجُلَيْنِ يَقْتلُ أَحَدَهُمَا الْآخَرَ يَدْخُلاَنِ الْجَنَّةَ، يُقَاتِلُ هَذَا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَيُقْتَلُ، ثُمَّ يَتُوْبُ اللهُ عَلَى الْقَاتِلِ فَيُسْلِمَ فَيُسْتَشْهَدُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Allah Subhanahu wa Ta'ala tertawa manakala ada dua orang yang saling membunuh, dan keduanya masuk surga. Pertama, seseorang yang mati berjuang di jalan Allah. Yang kedua, orang yang membunuh itu bertaubat kepada Allah, kemudian masuk Islam dan terbunuh di jalan Allah (mati syahid).

[Shahih Al-Bukhari no. 2826. Muslim no. 1890]

Penjelasan.

Kedua hadits ini menjelaskan masalah taubat, bahwa barangsiapa bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya walaupun sebesar apa pun dosa yang dilakukannya, Allah Ta'ala berfirman di dalam kitab-Nya,

Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat. (Yakni) akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.
(QS. Al-Furqân: 25: 68-70)

Hadits pertama dari Ibnu Abbas, maknanya bahwa anak Adam tidak akan puas dengan harta, walaupun dia sudah memiliki emas sebanyak satu lembah pasti dia menginginkan dua lembah. Tidak ada yang dapat memenuhi mulutnya kecuali tanah, yakni sudah mati, dikubur dan meninggalkan dunia beserta isinya, barulah dia akan puas, kerana dia tidak akan bisa mendapatkannya lagi. Namun demikian, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menganjurkan agar bertaubat, kerana biasanya orang yang tamak terhadap harta tidak akan peduli terhadap sesuatu yang haram dan pekerjaan yang haram. 

Akan tetapi, obat dari itu semua adalah taubat kepada Allah, maka dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan Allah akan menerima taubat siapa saja yang mahu bertaubat.” Maka barangsiapa yang bertaubat dari dosa, walaupun dosa itu berhubungan dengan harta, niscaya Allah menerima taubat itu.

Hadits kedua dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Allah Ta'ala tertawa...” dan seterusnya.

Dan sebab tertawanya Allah, bahwa antara kedua orang tersebut, ada permusuhan yang sangat besar di dunia. Bahkan, salah satunya telah membunuh yang lain. Lalu Allah membalikkan permusuhan yang ada di hati keduanya, dan Allah hilangkan perasaan dengki yang ada dalam hati keduanya. Kerana penghuni surga dibersihkan dari sifat dengki. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas pelamin masing-masing.” (QS. Al-Hijr: 15: 47)

Inilah hal yang menakjubkan dari kedua orang tersebut. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang kafir jika bertaubat dari kekufurannya walaupun telah membunuh seorang muslim, maka Allah akan menerima taubatnya, kerana Islam menghapuskan dosa yang sebelumnya.

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...