Sunday, April 21, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 1. Menghadirkan Niat Dalam Semua Perbuatan Dan Perkataan Yang Jelas Mahupun Tersembunyi.


Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ۞
Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata kerana (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” 
(QS. Al-Bayyinah: 98: 5)

Allah ﷻ berfirman:
۞لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ۞
Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu.” 
(QS. Al-Hajj: 22: 37)

Allah ﷻ berfirman:
۞قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ۞
Katakanlah: “Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahui.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 29)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menulis bab “Ikhlas..” Setiap amal perbuatan harus disertai dengan niat. Niat itu tempatnya di dalam hati, bukan diucapkan dalam lisan. Maka, barangsiapa yang mengucapkan niat ketika hendak shalat, puasa, haji, wudhu, atau amal perbuatan yang lainnya, berarti dia telah berbuat bid'ah kerana membuat sesuatu yang baru dalam agama Allah. 

Tidak ada hujah yang menyatakan demikian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berwudhu, shalat, sedekah, puasa dan haji, baginda berniat tanpa mengucapkan lafazh niatnya. Kerana niat itu tempatnya di hati.

Allah Ta'ala mengetahui apa yang ada di dalam hati, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya, “Katakanlah, jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu nyatakan, Allah pasti mengetahuinya.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 29)

Setiap manusia wajib untuk mengikhlaskan niat kerana Allah dalam seluruh ibadahnya dan hanya meniatkannya untuk wajah Allah Ta'ala dan kampung akhirat. 

Inilah yang diperintahkan oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya, Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata kerana (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).” (QS. Al-Bayyinah: 98: 5) Maksudnya, memurnikan (mengikhlaskan) amal perbuatan hanya untuk-Nya.

Seorang muslim hendaknya menghadirkan niat dalam melakukan setiap ibadah. Ketika dia niat untuk berwudhu, misalnya, hendaknya dia meniatkannya semata-mata kerana Allah dan demi melaksanakan perintah-Nya.

Dalam hal ini, niat meliputi tiga hal:

1. Niat melakukan ibadah.
2. Niat melakukan ibadah semata-mata kerana Allah.
3. Niat melakukan ibadah demi melaksanakan perintah Allah.

Niat seperti ini merupakan niat yang paling sempurna, begitu juga ketika mendirikan shalat atau melakukan ibadah yang lainnya. 

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa ayat Al-Qur'an yang menunjukkan bahwa niat itu tempatnya di hati dan Allah Ta'ala Maha Mengetahui niat seseorang hamba. Bisa jadi, seseorang melakukan suatu amal perbuatan, yang terlihat sebagai amal shalih di hadapan manusia, padahal sebenarnya amal tersebut bukan amal shalih, kerana dirusak oleh niatnya sendiri. Allah Maha Mengetahui apa yang terbetik dalam hati.

Seseorang tidak akan diberi pahala oleh Allah Ta'ala pada hari kiamat melainkan sesuai dengan niat yang terpatri di hatinya. 

Allah Ta'ala berfirman,

Sungguh, Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup setelah mati). Pada hari ditampakkan segala rahasia, maka manusia tidak lagi mempunyai sesuatu kekuatan dan tidak (pula) ada penolong.” (QS. Ath-Thâriq: 86: 8-10)

Maksudnya, pada saat semua rahasia akan diuji. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan, dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan?” 
(QS. Al-'Âdiyât: 100: 9-10)

Di akhiratlah adanya pahala dan siksa, serta penghitungan apa yang terbetik dalam hati seseorang (niat). Sedangkan di dunia, yang dijadikan ukuran adalah yang nampak (secara zhahir), sehingga setiap manusia diperlakukan sesuai dengan zhahirnya. Jika zhahirnya selaras dan sesuai batinnya, maka zhahir dan batinnya akan menjadi baik, begitu juga dengan yang nampak dan yang dirahasiakan. Tetapi, alangkah ruginya jika lahirnya tidak sesuai dengan batinnya dan dalam hatinya terpatri niat yang tidak baik. Jika demikian adanya, maka dia melakukan amal ibadah dan merasakan keletihan, tetapi tidak mendapatkan pahala dari amal yang dikerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Ta'ala berfirman,

Aku paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan seraya menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.

[Shahih Muslim no. 7666]

Saudara-saudaraku, marilah melakukan amal perbuatan dengan ikhlas semata-mata kerana Allah Ta'ala.

Perlu kamu sadari, ketika kamu hendak melakukan perbuatan baik, setan datang menggodamu seraya berkata, “Kamu melakukan perbuatan ini kerana riya.” Sehingga hal itu bisa menghasutkan semangatmu. Oleh sebab itu, janganlah sekali-kali kamu memperdulikannya. Tetapi, lakukan dan kerjakan perbuatanmu itu! Kerana jika saat ini kamu ditanya, apakah kamu melakukan perbuatan ini kerana riya atau demi mencari harga diri, pasti dengan lantang kamu akan berkata, “Tidak!”

Oleh kerana itu, kamu tidak perlu memperdulikan gangguan yang diselundupkan setan ke dalam hatimu.

Hadits 1.
وَعَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بْنِ نُفَيْلِ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ رِيَاحِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ قُرْطِ بْنِ رَزَاحِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبٍ الْقُرَشِيِّ الْعَدَوِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُه لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِامْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ » مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ.
Daripada Amirul Mukminin Abu Hafash Umar bin Al-Khaththab bin Nufail bin Abdil Uzzah bin Riyah bin Abdillah bin Quth bin Razah bin Adiy bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib Al-Quraisyiy Al-Adawi radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Segala amalan perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya; barangsiapa yang hijrah kerana dunia yang akan dia dapatkan, atau kerana seorang perempuan yang akan dia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1. Muslim no. 1907]

Penjelasan.

Seseorang seharusnya menanamkan niat dalam hatinya semata-mata kerana Allah dalam setiap ucapan, amal perbuatan, dan kondisinya. Penulis (Imam An-Nawawi) menyebutkan ayat-ayat Al-Qur'an yang berkaitan dengan tema ini. Sebagaimana penulis juga menyebutkan hadits-hadits Nabi yang menyangkut masalah niat. Hadits pertama yang disebutkan dalam bab ini adalah hadits Umar bin Al-Khaththab yang menyatakan bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya.

Para ulama berbeda pendapat tentang dua kalimat ini (dalam hadits) di atas. Menurut sebagian ulama, dua kalimat tersebut mempunyai satu arti; kalimat kedua sebagai penguat kalimat pertama. Akan tetapi pendapat tersebut tidak benar; kerana pada dasarnya setiap kalimat mempunyai arti tersendiri bukan untuk menguatkan kalimat yang lain. Jika direnungkan, akan diketahui bahwa ada perbedaan yang cukup mendasar antara dua kalimat tersebut; kalimat pertama merupakan sebab, sedangkan kalimat kedua sebagai akibat.

Dalam kalimat pertama, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap amal perbuatan bergantung pada niatnya. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mempunyai akal normal dan tidak dalam kondisi terpaksa pasti disertai dengan niat. Tidak mungkin, orang yang mempunyai akal normal dan tidak dalam kondisi terpaksa melakukan perbuatan tanpa disertai niat. Sehingga, salah seorang ulama berkata, “Seandainya Allah memerintahkan kita untuk melakukan suatu perbuatan tanpa disertai dengan niat, niscaya kita tidak akan mampu melakukan perintah tersebut.”

Pendapat tersebut merupakan pendapat yang benar. Sebab, bagaimana mungkin kamu yang mempunyai akal normal dan tidak dalam kondisi terpaksa melakukan sebuah perbuatan tanpa disertai niat? Mustahil! Kerana suatu perbuatan merupakan manifestasi dari keinginan dan kemampuan. Keinginan itulah yang disebut dengan niat.

Dengan demikian, kalimat pertama mempunyai arti, tidak ada seorang pun yang melakukan suatu perbuatan kecuali disertai dengan niat. Namun demikian, niat seseorang beraneka ragam. Antara satu niat dengan niat yang lain jauh berbeda, seperti jarak antara langit dan bumi.

Sebagian manusia ada yang menjadikan niatnya berada di atas segalanya, dan ada juga yang menjadikan niatnya di tempat sampah yang paling rendah dan paling hina.

Sebagai contoh, meskipun kamu melihat dua orang melakukan perbuatan yang sama, mulai permulaan hingga akhirnya. Bahkan, di saat keduanya melakukan perbuatan tersebut, baik dalam gerakan dan diamnya, mahupun dalam perbuatan dan perkataannya. Akan tetapi, nilai amal antara keduanya ada perbedaan yang sangat jauh, seperti jauhnya jarak antara langit dan bumi. Hal ini kerana perbedaan niat kedua orang tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada perbuatan yang tidak disertai dengan niat.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya.” Bermuara pada kesimpulan: Jika kamu melakukan setiap amal perbuatan syar'i berniat semata-mata kerana Allah dan hari akhirat, maka kamu akan mendapatkannya. Tapi, jika kamu meniatkannya kerana dunia, maka bisa jadi kamu mendapatkannya, bisa juga tidak.

Allah Ta'ala berfirman,

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya (di dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki.” (QS. Al-Isrâ: 17: 18)

Allah Ta'ala tidak berfirman, “Kami segerakan baginya di dunia apa yang dia kehendaki.” Akan tetapi, Allah berfirman, Apa yang Kami kehendaki -bukan yang dia kehendaki- kepada orang yang Kami kehendaki -bukan kepada setiap manusia-” Allah Ta'ala membatasi apa yang disegerakan dan untuk siapa Dia menyegerakannya.

Dengan demikan, ada manusia yang mendapatkan semua yang dia inginkan di dunia, ada yang mendapatkan sebagian yang dia inginkan, dan ada juga yang tidak mendapatkan sama sekali dari apa dia inginkan sampai bila pun.

Itulah pengertian firman Allah Ta'ala, Maka Kami segerakan baginya (di dunia) ini apa yang Kami kehendaki bagi orang yang Kami kehendaki. 
(QS. Al-Isrâ: 17: 18)

Sedangkan Allah Ta'ala berfirman,

Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” 
(QS. Al-Isrâ: 17: 19). Ini menegaskan bahwa yang bisa mendapatkan balasan yang baik dari Allah hanyalah orang meniatkan amal perbuatannya semata-mata untuk wajah Allah dan kampung akhirat.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Segala amal perbuatan tergantung pada niatnya.  Sebagai barometer nilai setiap amal perbuatan. Akan tetapi, barometer dari sisi batin.

Sedangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mengada-ada dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (berasal darinya), maka dia tertolak.

[Shahih Muslim no. 2985]

Ini sebagai barometer amal perbuatan dari sisi zhahir. 

Oleh sebab itu, ulama mensinyalir bahwa dua hadits di atas mengusung semua ajaran Islam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan sebuah contoh, sebagai bentuk implementasi dari hadits tersebut, baginda bersabda, “Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa hijrah kerana dunia yang akan dia dapatkan, atau hijrah kerana seorang perempuan yang akan dia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkannya.”

Yang dimaksud dengan hijrah adalah perpindahan seseorang dari wilayah orang-orang kafir ke wilayah orang-orang Islam. Seperti, orang yang berdomisili di Amerika -sedangkan Amerika termasuk negara kafir- lalu dia masuk Islam. Akan tetapi, tidak memungkinkan baginya untuk menampak keislamannya, kemudian dia memutuskan untuk berpindah ke negara Islam.

Apabila manusia melakukan hijrah, sedangkan niat mereka berbeda-beda, ada yang hijrah semata-mata kerana Allah dan Rasul-Nya, yaitu semata-mata kerana syariat Allah yang disampaikan melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka inilah mendapatkan kebaikan, dan meraih tujuannya. Dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Artinya dia mendapatkan apa yang dia niatkan.

Kedua, orang yang hijrah kerana dunia yang akan dia dapatkan. Seperti ada seseorang yang gemar mengumpulkan harta, tiba-tiba mendengar bahwa di negara Islam terdapat daerah yang subur dan makmur serta mudah mendapatkan harta, lalu dia pindah dari negara kafir ke negara Islam, bukan semata-mata ingin konsisten dan mempedulikan agamanya, maka tujuan hijrahnya hanyalah kerana harta semata.

Ketiga, orang yang hijrah dari negara kafir ke negara Islam kerana ingin menikahi seorang perempuan. Dikatakan kepadanya, “Kami tidak akan menikahkanmu, kecuali di negara Islam dan kamu tidak boleh membawa pergi perempuan tersebut ke negara kafir.” Kemudian, dia memutuskan pindah ke negara Islam kerana ingin menikahi seorang perempuan.

Orang yang hijrah kerana ingin mendapatkan harta dan perempuan, maka dia tidak berhijrah kerana Allah dan Rasul-Nya. Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkannya...”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka hijrahnya sesuai dengan yang diniatkannya.” Tidak bersabda, “Maka hijrahnya kerana dunia yang akan dia dapatkan atau kerana seorang perempuan yang akan dinikahi.” Kenapa?”

Dikatakan, kerana pertimbangan efisiensi kata.

Ada juga yang mengatakan, bahwa itu sebagai bentuk penghinaan serta menghindari untuk tidak menyebutkannya, kerana niat yang demikian itu merupakan niat yang hina dina.

Alhasil, orang yang hijrah kerana tujuan dunia atau perempuan, tidak diragukan lagi bahwa niatnya adalah niat yang rendah dan hina. Berbeda dengan niat hijrah yang pertama, yakni hijrah semata-mata kerana Allah dan Rasul-Nya.

Macam-Macam Hijrah.

1. Hijrah dari suatu tempat ke tempat lain, yaitu seseorang yang hijrah dari tempat yang penuh dengan perbuatan maksiat dan perbuatan fasik, dan barangkali hijrah dari negara kafir ke negara Islam.

Hijrah yang paling utama adalah hijrah dari negara kafir ke negara Islam. Menurut ulama, hijrah dari negara kafir ke negara Islam wajib bagi orang yang tidak mampu menampakkan keislamannya. Akan tetapi, bagi orang yang mampu menampakkan identitas keislamannya dan tidak ada yang melarang ketika menjalankan syiar-syiar Islam, maka tidak wajib hijrah, melainkan sunnah.

Berdasarkan hal tersebut, maka bepergian ke negara kafir lebih berat daripada berdomisili di negara tersebut. Apabila seseorang yang berdomisili di negara kafir tidak bisa menjalankan kewajiban agamanya, maka dia harus meninggalkan negara tersebut dan hijrah ke negara lain.

Begitu juga, seorang muslim yang berdomisili di negara Islam tidak boleh bepergian ke negara kafir kerana di negara tersebut terdapat hal-hal yang dapat membahayakan agama dan budi pekertinya. Selain itu, hanya menghambur-hamburkan uang dan menguatkan perekonomian orang kafir. Sementara kita diperintah untuk membenci orang kafir dengan segenap kemampuan kita, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas darimu, dan ketahuilah bahwa Allah bersama orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 9: 123)

Allah Ta'ala juga berfirman,

Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik. (QS. At-Taubah: 9: 120)

Setiap orang kafir, baik dari kalangan Nasrani, Yahudi atau yang lain-lain adalah musuh Allah, musuh kitab dan Rasul-Nya, juga musuh seluruh kaum muslimin. Meski dia ingin menampakkan diri seperti apapun, dia tetaplah musuh. Seorang muslim tidak boleh bepergian ke negara kafir kecuali memenuhi tiga syarat:

1. Dia mempunyai ilmu yang bisa digunakan untuk menolak perkara-perkara syubhat. Kerana orang kafir selalu memasukkan syubhat (kerancuan) kepada kaum muslimin dalam agama, rasul, kitab dan moral mereka. Mereka memasukkan syubhat dalam segala hal, agar seseorang merasa ragu dan bimbang. Sebab, jika seseorang ragu dalam suatu hal yang harus dia yakini, maka dia tidak akan melaksanakan suatu kewajiban. Iman kepada Allah, malaikat, para rasul, kitab, hari akhirat, dan qadar baik dan qadar buruk, harus disertai dengan keyakinan. Apabila seseorang merasa ragu terhadap salah satu rukun iman tersebut, maka dia termasuk orang kafir. 

Orang-orang kafir menyebarkan keraguan kepada kaum muslimin, sehingga sebagian pemimpin mereka mengatakan, “Janganlah kalian berusaha untuk mengeluarkan orang muslim dari agamanya lalu masuk ke agama Nasrani, tetapi cukup bagi kalian untuk membuatnya ragu dalam agamanya, kerana jika kalian membuatnya ragu dalam agamanya, sesungguhnya kalian telah merampas agamanya dan itu sudah cukup.”

Jika kalian berhasil, berarti kalian telah mengeluarkannya dari sangkar yang dipenuhi keagungan, kemenangan, dan kemuliaan. Jika kalian berusaha untuk memasukkan dia ke dalam agama Nasrani yang terbangun di atas kesesatan dan kebodohan, kalian tidak akan berhasil. Kerana orang-orang Nasrani adalah orang-orang yang sesat, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun demikian, agama Nasrani merupakan agama yang benar pada masanya, sebelum dihapus dengan risalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Mempunyai agama yang kuat sehingga dapat memproteksi dirinya dari gejolak syahwatnya. Kerana orang yang agamanya tidak kuat, apabila pergi ke negeri kafir, dia akan tenggelam di dalamnya, sebab, di negara orang kafir itu dia melihat kenikmatan dunia, seperti minuman keras, zina, homoseksual dan lain sebagainya.

3. Kerana ada kepentingan yang mendesak. Seperti orang yang sakit yang perlu mendapat rawatan ke negara kafir, atau seseorang yang ingin mendalami sebuah disiplin ilmu yang tidak bisa didapatkan kecuali di negara kafir, atau seseorang yang hendak berdagang. Tetapi, setelah aktivitas berdagangnya selesai, dia kembali lagi ke tanah airnya. Yang penting, harus ada keperluan mendesak. Oleh kerana itu, menurut hemat saya, orang-orang yang pergi ke negara kafir hanya untuk berwisata saja, maka mereka berdosa. Sementara, uang yang mereka belanjakan selama perjalanan tersebut hukumnya adalah haram dan termasuk menghambur-hamburkan harta. Mereka akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak, pada saat tidak ada lagi tempat untuk bersenang-senang dan rileks, saat di mana mereka hanya mendapatkan balasan amal perbuatan mereka, kerana mereka telah  menyia-nyiakan waktu, menghamburkan harta, dan merusakkan akhlak mereka. Barangkali mereka juga membawa serta keluarga mereka.

Sungguh mengherankan, mereka pergi ke negara kafir, padahal di negara kafir itu tidak terdengar kumandang adzan dan suara orang yang berdzikir kepada Allah. Yang terdengar hanyalah suara terompet orang-orang Yahudi atau loceng orang-orang Nasrani. Kemudian mereka menetap di negara itu selama beberapa waktu, bersama dengan keluarga istri dan anak-anak mereka. Sehingga terjadilah hal-hal yang dapat membahayakan terhadap agama dan moral mereka. Semoga kita diselamatkan dari musibah seperti itu. 

Hal itu merupakan cobaan, yang dengannya Allah akan menurunkan bencana kepada kita. Kerana, setiap bencana yang menimpa kita, seperti yang sedang kita alami saat ini, disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa dan maksiat. 

Allah Ta'ala berfirman,

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah kerana perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” 
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 30)

Kita lalai di negara kita sendiri. Seakan-akan Allah membiarkan kita. Seolah-olah Allah tidak mengetahui apa yang kita lakukan. Seolah-olah Dia tidak menghukum orang berbuat zhalim, sehingga saat dia berbuat Allah tidak mempedulikannya.

Manusia bisa menyaksikan langsung bencana-bencana yang diturunkan oleh Allah ke dunia ini, akan tetapi hati mereka mengeras. Kami berlindung kepada Allah dari sikap yang demikian.

Allah Ta'ala berfirman,

Dan sesungguhnya Kami telah menimpakan siksaan kepada mereka, tetapi mereka tidak mahu tunduk kepada Tuhannya, dan (juga) tidak merendahkan diri.” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 76)

Mereka tertimpa adzab, meskipun demikian mereka tidak tunduk kepada Allah, dan tidak memohon kepada-Nya dengan merendahkan diri. Bahkan, hati mereka menjadi keras dan mati sehingga peristiwa-peristiwa tersebut berlalu begitu saja di hati mereka.

Kami berlindung kepada Allah dari hati yang mati dan keras. Apabila manusia mempunya akal yang sehat, bersih dari perbuatan maksiat, dan mempunyai hati yang hidup, maka kita tidak akan mengalami kondisi seperti sekarang ini. Padahal, kita mempunyai asumsi bahwa kita dalam kondisi peperangan yang menghancurkan dan membinasakan, baik perang urat syaraf mahupun perang otot, dan lain sebagainya. Namun demikian, kamu tidak akan bisa menemukan seseorang yang bisa menggerakkan sesuatu yang diam kecuali atas kehendak Allah Ta'ala.

Dalam kondisi yang genting seperti ini, manusia berbondong-bondong datang berekreasi ke negara kafir, negara fasik, dan negara yang penuh dengan hiburan. Kami berlindung kepada Allah dari perbuatan seperti itu.

Saya katakan sekali lagi, hijrah wajib hukumnya bagi orang yang berdomisili di negara kafir, jika dia tidak bebas menjalankan kewajiban agamanya. Sementara bepergian ke negara kafir untuk tujuan dakwah hukumnya boleh, sekiranya dapat menimbulkan dampak positif dan pengaruh yang baik, kerana perjalanan seperti itu merupakan perjalanan yang mengandung maslahat.

Banyak penduduk negara kafir yang buta akan Islam, mereka tidak mengetahui sedikit pun tentang Islam, bahkan mereka disesatkan dengan sebuah pernyataan yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang biadab dan teroris. Apalagi, jika orang-orang barat mengetahui beberapa kejadian yang dilakukan oleh oknum kaum muslimin. Orang-orang akan berkata, “Mereka adalah orang-orang Islam, di manakah agama Islam? Sungguh biadab!” Sehingga mereka akan menjauhi Islam, disebabkan oleh perbuatan kaum muslimin sendiri. Semoga Allah memberikan petunjuk kepada kita semua.

B. Hijrah Dari Satu Perbuatan Ke Perbuatan Lain.

Yang dimaksud dengan hijrah dari satu perbuatan ke perbuatan yang lain adalah seseorang yang meninggalkan perbuatan yang dilarang Allah Ta'ala seperti perbuatan maksiat dan fasik. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Seorang muslim (sejati) adalah seorang (muslim) yang (bisa membuat) orang-orang Islam selamat dari (gangguan) lisan dan tangannya. Sedangkan orang yang hijrah adalah orang meninggalkan perbuatan yang dilarang oleh Allah.

[Shahih Al-Bukhari no. 10, 6484. Muslim no. 40, 41 dan 42]

Oleh kerana itu, tinggalkanlah semua yang diharamkan Allah Ta'ala, baik yang berkaitan dengan hak-hak Allah atau hak-hak hamba-Nya, seperti meninggalkan makian, ejekan, pembunuhan, penipuan, memakan harta dengan cara yang batil, durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali persaudaraan dan semua hal-hal yang diharamkan oleh Allah, meskipun hatimu merayu dan mengajakmu untuk melakukannya, maka ingatkanlah hawa nafsumu bahwa Allah Ta'ala telah mengharamkan semua perbuatan tersebut sehingga kamu harus meninggalkan dan menjauhinya. 

C. Hijrah Dari Pelaku Maksiat.

Hijrah dari pelaku maksiat yaitu hijrah atau meninggalkan orang yang melakukan perbuatan maksiat. Adakalanya pelaku kejahatan wajib ditinggalkan. Menurut ulama, jika ada orang melakukan maksiat dengan terang-terangan, dan tidak memperdulikan teguran dari orang lain, maka disyariatkan untuk meninggalkan orang tersebut, apabila hal ini dapat menimbulkan faedah dan maslahat. Misalnya, dengan ditinggalkan, dia mahu menyadari perbuatannya dan bertaubat dari perbuatan maksiat yang dia lakukan selama ini.

Seperti jika ada seseorang yang terkenal suka melakukan penipuan dalam jual beli, lalu orang-orang menjauhinya. Ada juga orang yang suka berbuat riba, lalu orang menjauhinya; tidak mengucapkan salam kepadanya dan tidak mengajaknya bicara. Setelah mereka menjauhinya, dia merasa malu, lalu bertaubat dan menyesali perbuatannya.

Tetapi, jika dengan cara meninggalkan pelaku maksiat tersebut tidak berfaedah dan tidak bermanfaat, maka tidak boleh meninggalkannya. Lain halnya jika menghadapi orang kafir, kerana orang kafir yang murtad harus ditinggalkan bagaimanapun keadaannya. Jika meninggalkan orang yang berbuat maksiat tetapi tidak bisa membuatnya berubah, maka tidak boleh meninggalkannya, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Seseorang muslim tidak boleh mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, ketika keduanya bertemu mereka saling memaling muka. Yang terbaik di antara keduanya adalah yang mengucapkan salam terlebih dahulu.

[Shahih Al-Bukhari no. 6077 dan Muslim no. 2570]

Sebagaimana sudah dimaklumi, bahwa perbuatan maksiat selain perbuatan kufur, menurut pendapat Ahlussunah wal Jamaah tidak membuatkan pelakunya keluar dari Islam.

Yang menjadi pertimbangan selanjutnya adalah, apakah tindakan meninggalkan orang yang melakukan maksiat bisa menimbulkan maslahat ataukah tidak? Sekiranya menimbulkan maslahat, maka boleh meninggalkannya, berlandaskan pada kisah Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Ar-Rabi' di mana mereka tidak ikut berperang pada perang Tabuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjauhi mereka, dan memerintahkan kaum muslimin untuk menjauhi tiga orang tersebut. Maka mereka menyadari kesalahannya, mereka segera bermunajat kepada Allah, dunia yang begitu luas terasa begitu sempit bagi mereka, hati mereka merasa tertekan, mereka yakin bahwa tidak ada tempat mengadu kecuali Allah Ta'ala. Mereka bertaubat kepada Allah dan Allah pun menerima taubat mereka.

Hadits 2.
وَعَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَغْزُوْ جَيْشٌ الْكَعْبَةَ فَإِذَا كَانُوْا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بأَِوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ. قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ؟ قَالَ: يُجْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ. » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. هَذَا لَفْظُ الْبُخَارِىِِّ.
Daripada Ummul Mukminin, Ummu Abdillah, Aisyah radhiyallahu ‘anha dia mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Sebuah pasukan akan menyerang Ka'bah, ketika mereka sampai di tanah yang luas, mereka semua dibenamkan ke dalam perut bumi dari yang awal (depan) sampai yang akhir (belakang).

Aisyah berkata, “Aku pun bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, bagaimana mungkin mereka semua dibenamkan dari awal sampai akhir, sedangkan di antara mereka terdapat orang-orang yang hendak berdagang, dan terdapat pula orang yang tidak termasuk golongan mereka?” (yang tidak mempunyai niat menghancurkan Ka'bah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Mereka semua akan dibenamkan dari awal sampai akhir, kemudian mereka akan dibangkitkan (hari Kiamat) sesuai dengan niat mereka masing-masing.

[Shahih Al-Bukhari no. 2118. Muslim no. 2883]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sebuah pasukan akan menyerang Ka'bah.” Ka'bah Al-Musyarrafah dijaga dan diselamatkan oleh Allah dari segala kejahatan. 

Ka'bah ini adalah Baitullah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam bersama putranya Nabi Ismail Alaihissalam. Mereka meninggikan pondasi Baitullah seraya berdoa,

Ya Tuhan kami terimalah (amal) dari kami. Sungguh Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 2: 127)

Ka'bah inilah yang ingin diserbu oleh Abrahah dari Yaman. Abrahah membawa pasukan besar yang dipimpin oleh seekor gajah besar untuk menghancurkan Ka'bah, Baitullah. Tatkala mereka mendekati Ka'bah dan tiba di tempat yang disebut Al-Mughammas, tiba-tiba gajah tersebut berhenti dan tidak mahu maju, mulailah mereka menghardik gajah tersebut untuk maju menuju Ka'bah, namun gajah itu menolak. Apabila mereka mengarahkan gajah tersebut ke arah Yaman, ia segera berlari dengan cepat.

Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda saat perang Hudaibiyah tatkala untanya tiba-tiba berhenti dan tidak mahu berjalan (maksudnya mogok tanpa terkena penyakit apa-apa (Al-Lisan, 1/68),  seketika para sahabat berkata, “Qaswa' menolak untuk berjalan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, Qaswa' bukan menolak untuk berjalan, sungguh yang demikian itu bukanlah kebiasaannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2734]

Rasulullah membela binatang, kerana perbuatan zhalim tidak diperbolehkan meskipun terhadap binatang. Demi Allah Qaswa' bukan menolak untuk berjalan, sungguh yang demikian itu bukanlah kebiasaannya, akan tetapi dia ditahan oleh Dzat yang menahan pasukan gajah. Dzat yang menahan pasukan gajah adalah Allah Ta'ala, “Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah mereka meminta kepadaku suatu perbuatan yang bertujuan untuk mengagungkan sesuatu yang diagungkan oleh Allah Ta'ala kecuali aku akan mengabulkannya.”

Yang perlu digarisbawahi, bahwa Ka’bah diserbu dari arah Yaman oleh pasukan besar yang dipimpin oleh seekor gajah besar untuk menghancurkan Ka’bah. Ketika mereka sampai di Al-Mughammas, gajah tersebut tiba-tiba berhenti dan menolak untuk berjalan. Mereka menghardiknya, tapi hardikan mereka tidak berpengaruh apa-apa. Mereka tetap tertahan di sana, lalu Allah mengirimkan burung yang berbondong-bondong, setiap ekor burung membawa sebuah batu di kakinya kemudian dilemparkan hingga mengenai salah seorang di antara mereka, dari kepalanya hingga tembus duburnya. 

Allah Ta'ala berfirman,

Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat).” (QS. Al-Fîl: 105: 5)

Mereka tidak ubahnya seperti tanaman yang dimakan binatang ternak yang menempel di tanah. Dalam peristiwa ini, Umayyah Bin Abi Shalt mengatakan, “Allah menahan gajah di Al-Mughammas hingga ia lari pontang-panting seperti anjing gila.”

Allah Ta'ala menjaga rumah-Nya dari makar raja zhalim yang hendak menghancurkan Baitullah.

Allah Ta'ala berfirman,

Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih. 
(QS. Al-Hajj: 22: 25)

Di akhir zaman nanti, terdapat suatu kaum yang akan menyerbu Ka’bah dengan pasukan yang besar. 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ketika mereka sampai di tanah yang luas.”  Maksudnya tanah lapang yang luas, Allah Ta'ala membinasakan mereka semua dari awal sampai akhir mereka. Bumi menggoncang mereka, semuanya tenggelam ke perut bumi, tidak terkecuali para pedagang dan orang-orang yang bersama mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa mereka adalah pasukan yang sangat besar, karena mereka membawa rombongan pedagang untuk berjual-beli dan setiap orang yang bersama mereka. Allah menenggelamkan mereka semua dari awal sampai akhir mereka. Saat Rasulullah mengatakan hal tersebut, muncul pertanyaan dalam fikiran Aisyah radhiyallahu ‘anha,

كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ؟

Bagaimana mungkin mereka semua dibenamkan dari awal sampai akhir, sedangkan di antara mereka terdapat orang-orang yang hendak berdagang, dan terdapat pula orang yang tidak termasuk golongan mereka?

Yang dimaksud (أَسْوَاقُهُمْ) adalah orang-orangp yang datang untuk berdagang yang tidak mempunyai maksud untuk menghancurkan Ka'bah.

Dalam pasukan itu terdapat orang-orang yang mengikuti mereka tanpa mengetahui rencana pasukan tersebut. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mereka dibenamkan dari awal sampai akhir, kemudian mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka masing-masing.” Setiap orang mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya. 

Hadits tentang pasukan gajah ini merupakan salah satu contoh dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Segala amal perbuatan bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya.”

Dari hadits ini dapat dipetik sebuah pelajaran, bahwa orang yang ikut serta dengan orang-orang yang melakukan kebatilan, orang-orang yang melampaui batas, dan orang-orang yang memusuhi Allah, maka orang tersebut disamakan dengan mereka dalam menerima siksa dari Allah, baik orang tersebut tergolong orang yang shalih mahupun orang jahat. 

Apabila suatu siksa menimpa manusia, maka akan menimpa mereka secara merata, tidak seorang pun yang tersisa. Kemudian pada hari kiamat, mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka. 

Allah Ta'ala berfirman,

Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfâl: 8: 25)

Intisari hadits kedua ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Kemudian mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka masing-masing.”

Hadits ini senada dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Segala amal perbuatan bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan (balasan) sesuai dengan niatnya.

Hadits 3.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ، وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْ تُمْ فَانْفِرُوْا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَمَعْنَاهُ: لَا هِجْرَةَ مِنْ مَكَّةَ لِأَنَّهَا صَارَتْ دَاَتْ دَارَ إِسْلاَمٍ.
Daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha dia mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Tiada ada lagi hijrah setelah penaklukan kota Mekah. Yang ada adalah jihad dan niat. Apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka berperanglah.

[Shahih Al-Bukhari no. 3899. Muslim no. 1864]

Maksudnya, tidak ada lagi hijrah dari Mekah, kerana Mekah sudah menjadi kawasan Islam.

Penjelasan.

Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meniadakan hijrah setelah penaklukan Mekah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, (لَا هِجْرَةَ) “Tidak ada lagi hijrah.”  Peniadaan hijrah bukan secara umum, yakni hijrah tidak dihapus dengan sebab adanya penaklukan Mekah. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Hijrah tidak dihapus sebelum taubat dihapus, dan taubat tidak akan dihapus sebelum matahari terbit dari arah barat.

[HR. Abu Dawud no. 2479. Ahmad dalam Musnad-nya no. 4/99, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 7469]

Akan tetapi yang dimaksud di sini adalah meniadakan hijrah dari Mekah, seperti yang ditegaskan oleh penulis (Imam An-Nawawi rahimahullah). Karena setelah Mekah ditaklukkan, Mekah menjadi kawasan Islam dan tidak akan menjadi kawasan kafir lagi. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meniadakan hijrah setelah penaklukkan Mekah.

Pada mulanya, Mekah dikuasai oleh orang-orang musyrik, lalu mereka mengusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Mekah. Berdasarkan izin Allah, baginda hijrah ke Madinah. Delapan tahun kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Mekah dan berhasil menaklukkan kota Mekah atas pertolongan Allah. Sejak saat itu, Mekah menjadi kawasan Islam, dan sejak saat itu pula tidak ada lagi hijrah dari kota Mekah.

Dalam hadits tersebut, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Mekah tidak akan menjadi kawasan kafir lagi, namun akan tetap menjadi kawasan Islam, sampai kiamat, atau sampai waktu yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Yang ada adalah jihad dan niat. artinya, setelah penaklukkan kota Mekah, yang ada adalah jihad; penduduk Mekah keluar dari kota Mekah untuk berjihad. Yang dimaksud dengan niat adalah niat yang tulus untuk berjihad di jalan Allah, yaitu seseorang yang hendak berjihad berniat untuk meninggikan kalimat Allah.

Setelah itu, baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Apabila kalian diperintahkan untuk berperang maka berperanglah. Maksudnya, jika pemimpin kalian memerintahkan kalian untuk berjihad di jalan Allah, maka kalian wajib berperang. Dalam kondisi seperti ini, jihad hukumnya menjadi fardhu 'ain.

Tidak ada seorang pun yang tidak berangkat ke medan perang kecuali orang-orang yang terhalang oleh udzur, berdasarkan, pada firman Allah Ta'ala,

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa apabila dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,’ kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu lebih menyenangi kehidupan di dunia daripada kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang), niscaya Allah akan menghukum kamu dengan adzab yang pedih dan menggantikan kamu dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan merugikan-Nya sedikit pun. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 9: 38-39)

Ini adalah salah satu kondisi ketika hukum jihad menjadi fardhu ’ain.

Sedangkan kondisi yang kedua, yaitu apabila negara dikepung oleh musuh, yakni musuh memasuki dan mengepung suatu negara. Dalam kondisi seperti ini, hukum jihad menjadi fardhu ’ain; setiap orang wajib berperang, tidak kecuali kaum perempuan dan orang-orang tua yang mampu. Kerana jihad dalam kondisi seperti ini sebagai pembelaan diri.

Kondisi ketiga, apabila dua barisan pasukan telah bertemu, yakni pasukan kafir dan pasukan muslimin sudah saling berhadapan. Dalam kondisi seperti ini, jihad hukumnya menjadi fardhu ’ain. Tidak seorang pun dibolehkan untuk berpaling, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Wahai orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu berbalik membelakangi mereka (mundur). Dan barangsiapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka jahanam dan seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Anfâl: 8: 15-16)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkan lari dari medan pertempuran sebagai bagian dari tujuh hal yang mencelakakan seseorang.

Kondisi yang keempat, apabila ada seseorang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengoperasikan sebuah senjata, yang tidak ada orang lain yang bisa mengoperasikannya kecuali orang tersebut. Dalam kondisi seperti ini, jihad hukumnya fardhu ’ain baginya, meskipun seorang pemimpin tidak memerintahkannya untuk berperang, karena orang tersebut sangat dibutuhkan.

Selain empat kondisi di atas, jihad hukumnya fardhu kifayah.

Ulama menegaskan, bahwa kaum muslimin mempunyai kewajiban untuk berperang sekali dalam setahun, untuk memerangi musuh-musuh Allah sehingga kalimat Allah menjadi tegak. Seorang muslim berperang bukan kerana membela tanah airnya semata. Sebab, untuk membela tanah air dapat dilakukan oleh orang mukmin dan orang kafir. Kerana orang kafir pun akan membela tanah airnya. Tetapi, seorang muslim berperang untuk membela agama Allah, maka ia tidak hanya membela tanah airnya semata. Namun, kerana tanah airnya adalah negara Islam, maka ia membelanya untuk membela Islam.

Dalam kondisi yang kita alami sekarang ini, kita wajib mengingatkan semua orang bahwa seruan untuk memerdekakan tanah air dan semisalnya adalah seruan yang tidak tepat. Seyogyanya memakai alasan agama dengan mengatakan, “Sesungguhnya kami terlebih dahulu membela agama kami sebelum yang lainnya, kerana negeri kami negeri Islam yang memerlukan perlindungan dan pembelaan, maka kami harus membelanya dengan niatan tersebut.”

Sedangkan pembelaan karena rasa nasionalisme atau kesukuan bisa muncul dari orang mukmin dan kafir, dan semua itu tidak berguna di akhirat. Apabila seseorang gugur membela tanah air, maka dia bukan mati syahid. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang orang yang berperang karena kesukuan, berperang untuk menunjukkan keberanian, atau berperang untuk mencari popularitas. Rasulullah ditanya, orang yang berperang untuk tujuan apa sehingga ia dapat disebut jihad di jalan Allah?

Maka baginda menjawab, Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berjihad di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 123 dan 2810. Muslim no. 1904]

Apabila kamu berperang untuk membela tanah airmu, maka kamu sama dengan orang kafir. Untuk itu, berperanglah agar kalimat Allah menjadi tinggi terpancar di negaramu, kerana negaramu adalah negara Islam. Dalam kondisi seperti ini, bisa jadi kamu berperang di jalan Allah.

Disebutkan dalam suatu hadits yang diriwayatkan langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda,

Tidaklah seseorang yang terluka di jalan Allah -Allah Maha Mengetahui siapa yang terluka di jalan Allah- melainkan pada hari kiamat kelak, lukanya akan meneteskan darah, warnanya seperti darah, tapi baunya seperti minyak kasturi.

[Shahih Al-Bukhari no. 5333]

Perhatikanlah, bagaimana Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan seseorang bisa dianggap mati syahid jika dia berjuang di jalan Allah.

Hadits 4.
وَعَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَقَالَ: « إِنَّ بِالْمَدِيْنَةِ لَرِجَالًا مَا سِرْتُمْ مَسِيْرًا، وَلَا قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلاَّ كَانُوْا مَعَكُمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ » وَفِي رِوَايَةٍ: « إِلاَّ شَرَكُوكُمْ فِي الأَجْرِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Abdillah, Jabir bin Abdillah Al-Anshari radhiyallahu anhu dia berkata, “Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah satu peperangan, kemudian baginda bersabda,

Sesungguhnya di Madinah ada sekelompok orang (yang tidak ikut perang), di mana kalian tidak menempuh suatu perjalanan dan melewati suatu lembah kecuali mereka pasti bersama kalian, tetapi mereka tertahan oleh sakit.

Dalam salah satu riwayat lain disebutkan,  “Kecuali mereka sama dengan kalian dalam memperoleh pahala.”

[Shahih muslim no. 1911]

Dalam riwayat lain juga disebutkan.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: رَجَعْنَا مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « إِنَّ أَقْوَامًا خَلْفَنَا بِالْمَدِيْنَةِ مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا، حَبَسَهُمْ الْعُذْرُ » رَوَاهُ الْبُجَارِيُّ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, “Kami pulang dari perang Tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seketika baginda bersabda,

Di belakang kita, di Madinah ada sekelompok kaum, di mana kita tidak menyusuri celah bukit dan lembah kecuali mereka bersama kita, tetapi mereka tertahan kerana udzur.

[Shahih Al-Bukhari no. 2839]

Penjelasan.

Kata (فِي غَزَاةٍ) mempunyai arti yang sama dengan (فِي غَزْوَةٍ) “Dalam suatu peperangan.” Maksud hadits di atas adalah, apabila seseorang sudah berniat untuk melakukan amal shalih, tetapi dia tidak mampu melakukannya kerana ada suatu aral rintangan, maka ditulis baginya pahala apa yang diniatkan.

Sementara jika melakukannya dalam kondisi tidak memiliki udzur; maksudnya pada saat dia dalam keadaan mampu, dia melakukan amal shalih tersebut, tiba-tiba setelah itu dia tidak mampu melakukannya kembali, maka ditulis baginya pahala amal perbuatannya secara penuh kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Apabila seorang hamba sakit atau bepergian, maka ditulis baginya pahala amalan yang biasa dia lakukan, saat dia sedang sehat dan tidak bepergian.

[Shahih Al-Bukhari no. 2996]

Orang yang mengharapkan sebuah amal kebaikan dan sangat memperhatikannya, jika dia biasa mengerjakannya namun kemudian terhalang oleh suatu aral rintangan, maka ditulis baginya pahala perbuatan tersebut secara penuh. Misalnya, apabila ada seseorang yang biasa mendirikan shalat berjamaah di masjid, tapi suatu saat dia tidak bisa datang ke masjid karena dia tidur atau sakit dan yang sejenisnya, maka ditulis baginya pahala shalat berjamaah secara penuh, tanpa berkurang sedikit pun.

Begitu juga orang yang biasa melakukan shalat sunnah, tiba-tiba terhalang oleh suatu hal dan tidak memungkinkan baginya untuk mengerjakannya, maka ditulis baginya pahala shalat sunnah dengan sempurna. 

Adapun apabila dia tidak bisa melakukannya, maka ditulis baginya pahala niatnya saja dan tidak ditulis pahala mengerjakannya.

Hal itu berlandaskan pada sebuah hadits yang meriwayatkan bahwa orang-orang fakir dari kalangan sahabat radhiyallahu anhum berkata, Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah mendahului kami dengan pahala dan surga yang abadi, -yakni orang-orang kaya mendahului mereka dengan sedekah dan membebaskan budak (hamba).

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Maukah kalian aku beritahu suatu hal yang apabila kalian mengerjakannya, kalian dapat mencapai derajat orang yang mendahului kalian, dan tidak ada seorang pun yang bisa mencapai apa yang kalian capai kecuali apabila berbuat seperti yang kalian lakukan?”

Kemudian baginda bersabda, Kalian membaca tasbih, bertakbir dan bertahmid sebanyak tiga puluh tiga kali setiap selesai shalat.”

Seketika mereka melakukannya. Setelah itu orang-orang kaya mengetahui hal tersebut, maka mereka melakukan hal yang sama.

Beberapa waktu kemudian, orang-orang fakir dari kalangan sahabat datang menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ya Rasulullah, saudara-saudara kami yang kaya mendengar tentang apa yang kami lakukan, mereka pun ikut mengerjakan hal yang sama.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demikianlah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang ia kehendaki-Nya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 843. Muslim no. 595]

Dan Allah mempunyai karunia yang besar. 

Baginda tidak bersabda kepada mereka, “Kalian memperoleh pahala seperti pahala perbuatan mereka.” Namun demikian, tidak diragukan lagi bahwa mereka mendapatkan pahala niat perbuatan mereka.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang seseorang yang diberikan karunia harta oleh Allah Ta'ala, lalu dia menginfakkannya di jalan kebaikan. Kemudian ada seorang fakir berkata, Seandainya aku memiliki harta seperti fulan, pasti aku akan melakukan apa yang fulan lakukan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Dia (mendapatkan pahala) sesuai dengan niatnya, keduanya mendapatkan pahala yang sama.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2325. Ibnu Majah no. 4228, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami no. 3024 dan Shahih Abu Dawud no. 1894]

Maksudnya mereka mendapatkan pahala niat perbuatan yang sama. Sementara pahala amal perbuatan tidak ditulis baginya, kecuali amal perbuatan tersebut sudah biasa dia lakukan. 

Dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa barangsiapa yang keluar untuk berjihad di jalan Allah, maka dia mendapatkan pahala menempuh perjalanan menuju medan perang. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Kalian tidak menempuh suatu perjalanan dan melewati suatu lembah kecuali mereka pasti bersama kalian.” 

Hal itu dikuatkan dengan firman Allah Ta'ala, 

Yang demikian itu kerana mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan. Sungguhnya, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, Dan tidaklah mereka memberikan infak, baik yang kecil mahupun yang besar dan tidak (pula) melintasi suatu lembah (berjihad), kecuali akan dituliskan bagi mereka (sebagai amal kebajikan), untuk diberi balasan oleh Allah (dengan) yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.” 
(QS. At-Taubah: 9: 120-121)

Sebagai perbandingannya adalah seseorang yang berwudhu dengan sempurna di rumahnya, kemudian dia keluar ke masjid untuk shalat, maka tidaklah dia melangkahkan kakinya kecuali Allah akan meninggikan derajatnya dan menghapus kesalahannya. 

Hal ini merupakan anugerah dari Allah Ta'ala yang menjadikan sarana untuk melakukan suatu amal perbuatan mendapatkan pahala seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits 5.
وَعَنْ أَبِيْ يَزِيْدَ مَعْنِ بْنِ يَزِيْدَ بْنِ الأَخْنَسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، وَهُوَ وَأَبُوْهُ وَجَدُّهُ صَحَابِيُّوْنَ، قَالَ: كَانَ أَبِي يَزِيْدُ أَخْرَجَ دَنَانِيْرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ فَجِئْتُ فَأَخَذْتُهَا فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ: وَاللهِ مَا إِيَّاكَ أَرَدْتُ، فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيْدُ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَامَعْنُ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Yazid Ma'n bin Yazid bin Al-Akhnas radhiyallahu anhum -dia, ayahnya dan kakeknya termasuk golongan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dia berkata,

Ayahku, Yazid, mengeluarkan beberapa dinar untuk disedekahkan. Dia memasrahkan uang dinar itu kepada seseorang yang berada di masjid (untuk dibagikan). Lalu aku mendatangi orang itu dan mengambil dinar-dinar tersebut, kemudian aku datang kepada ayahku dengan membawa uang dinar itu. Seketika ayahku berkata: Demi Allah, aku tidak berniat (untuk menyedekahkannya) kepadamu.

Kemudian aku mengadukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka baginda bersabda,

“Bagimu apa yang kamu niatkan, wahai Yazid. Dan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma'n.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1422]

Penjelasan.

Hadits yang disebutkan oleh penulis ini mengisahkan tentang Ma'n bin Yazid dan ayahnya.
Ayahnya, Yazid memasrahkan beberapa dinar kepada seseorang di masjid untuk disedekahkan kepada orang-orang fakir. Lalu datanglah anaknya yang bernama Ma’n dan mengambil dinar tersebut. Bisa jadi, orang tersebut tidak mengetahui bahwa Ma'n adalah anak Yazid. Atau, dia memberi sedekah kepada Ma'n kerana Ma'n termasuk orang yang berhak menerima sedekah.

Kejadian itu didengar oleh Yazid, maka dia berkata kepada Ma'n, Aku tidak bermaksud untuk menyedekahkan dinar ini kepadamu.”

Ma'n mengadukan permasalahan tersebut kepada Rasulullah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Bagi apa yang kamu niatkan, wahai Yazid. Dan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma'n.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bagimu apa yang kamu niatkan wahai Yazid.”

Menunjukkan bahwa semua amal perbuatan pasti disertai dengan niat. Apabila seseorang berniat melakukan kebaikan, maka dia akan mendapatkannya. Meskipun Yazid tidak berniat untuk menyedekahkan dinar tersebut kepada anaknya, Ma'n, tapi anaknya telah mengambil dinar tersebut, sedangkan anaknya termasuk orang yang berhak mendapatkan sedekah, maka dinar tersebut menjadi miliknya. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Dan bagimu apa yang telah kamu ambil wahai Ma'n.”

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa setiap amal perbuatan pasti disertai niat, dan seseorang akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya, meskipun realita yang terjadi berbeda dengan apa yang dia niatkan. Kaidah ini mempunyai banyak cabang, di antaranya:

a) Ulama menegaskan apabila seseorang memberikan zakatnya kepada orang yang menurutnya berhak mendapatkannya, kemudian diketahui bahwa orang tersebut kaya dan bukan termasuk orang yang berhak mendapat zakat, maka zakatnya sah dan diterima. Kewajibannya untuk membayar zakat sudah gugur kerana dia berniat untuk memberikan kepada yang berhak. Sekiranya dia berniat, maka baginya apa yang ia niatkan.

b) Seseorang yang mewakafkan sesuatu, seperti rumah kecil, kemudian dia mengatakan, “Saya wakafkan rumah ini.” Tetapi, tangannya menunjuk pada rumah besar. Dalam hal ini, perbuatannya -menunjuk kepada rumah yang besar- berbeda dengan niat yang terbesit dalam hatinya, maka baginya apa yang diniatkan, bukan yang diucapkan.

c) Jika ada orang bodoh yang tidak mengetahui perbedaan antara umrah dan haji, lalu dia naik haji bersama orang lain seraya berkata, “Labbaika Hajjan.” (Aku memenuhi panggilanmu untuk haji') padahal dia berniat melakukan umrah untuk haji tamattu,' maka baginya apa yang dia niatkan. Selama dia berniat untuk melaksanakan umrah, tapi dia mengucapkan, “Labbaika Hajjan” mengikuti  ucapan orang-orang yang haji bersamanya, maka baginya apa yang dia niatkan. Apa yang dia ucapkan tidak merusak niat dan amal perbuatannya.

d) Jika ada seorang suami yang berkata kepada istrinya, “Kamu saya cerai (lepas)” tetapi yang dimaksud adalah cerai (lepas) dari tali' bukan 'cerai nikah', maka baginya apa yang dia niatkan. Istrinya tidak jatuh talak dengan ungkapan tersebut.

Perlu untuk diperhatikan bahwa hadits ini mengandungi banyak faedah dan banyak cabang yang tersebar dalam berbagai bab dalam fikih. Di antaranya faedah tersebut adalah:

1) Seseorang diperbolehkan untuk bersedekah kepada anaknya, begitu juga sebaliknya.

Hal ini berdasarkan pada hadits Abdullah bin Ma'sud radhiyallahu anhu, ketika dia berkata kepada istrinya yang hendak bersedekah, “Suami dan anakmu lebih berhak menerima sedekahmu.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan dan menganjurkan umatnya untuk bersedekah. Kemudian Zainab, istri Abdullah bin Mas'ud, hendak menyedekahkan sebagian hartanya. Abdullah bin Mas'ud mengatakan kepada Zainab seperti yang diucapkan pada hadits di atas. Kerana Abdullah bin Mas'ud termasuk orang fakir. Tapi, Zainab menolak seraya berkata, “Tidak! Hingga saya menanyakan hal ini kepada Rasulullah.”  Kemudian dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seketika baginda bersabda,

(Apa yang diucapkan) Abdullah benar. Suami dan anakmu adalah orang yang lebih berhak menerima apa yang kamu sedekahkan kepada mereka.

[Shahih Al-Bukhari no. 1462]

2) Seseorang boleh memberikan zakatnya kepada anaknya, dengan syarat hal itu tidak dimaksudkan untuk menggugurkan kewajiban dirinya memberikan nafkah kepada anaknya. 

Misalnya, ada seseorang yang mempunyai kewajiban membayar zakat, lalu dia hendak memberikan zakat itu kepada anaknya, agar anaknya tidak meminta nafkah, maka hal tersebut tidak boleh kerana zakat yang diberikan kepada anaknya dimaksudkan untuk menggugurkan kewajiban dirinya dalam memberi nafkah kepada anaknya.

Sedangkan jika pemberiannya adalah ditujukan untuk membayar hutang anaknya maka hukumnya boleh, seperti seorang anak yang mengalami musibah, kemudian ayahnya membayar perawatannya dengan harta zakat, hal ini diperbolehkan dan zakatnya sah kerana anaknya adalah orang terdekat bagi dirinya dan tindakan tersebut tidak dimaksudkan untuk menggugurkan sebuah kewajiban, tetapi untuk membebaskan tanggungan anaknya, bukan memberikan nafkah kepadanya.

Hadits 6.
وَعَنْ أَبَيْ إِسْحَاقَ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ مَالِكِ بْنِ أُهَيْبِ بْنِ عَبْدِ مَنَافِ بْنِ زُهْرَةَ بْنِ كِلاَبِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ الْقُرشِيِّ الزُّهْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَحَدِ الْعَشْرَةِ الْمَشْهُوْدِ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ قَالَ: « جَاءَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُوْدُنِي عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ مِنْ وَجَعٍ اشْتَدَّ بِيْ فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّي قَدْ بَلَغَ بِيْ مِنَ الْوَجَعِ مَا تَرَى، وَأَنَا ذُوْ مَالٍ وَلَا يَرِثُنِيْ إِلاَّ ابْنَةٌ لِيْ، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالشَّطْرُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: لاَ، قُلْتُ: فَالثُّلُثُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ أَوْ كَبِيْرٌ، إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ، وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِىْ بِهِ وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ  فِى فِي امْرَأَتِكَ. قَالَ: فَقَلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَخَلَّفُ بَعْدَ أَصْحَابِِي؟ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُخَلَّفَ فَتَعْمَلَ عَمَلًا تَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللهِ إِلاَّ ازْدَدْتَ بِهِ دَرَجَةً وَرِفْعَةً وَلَعَلَّكَ أَنْ تُخَلَّفَ حَتَّى يَنْتَفِحَ بِكَ أَقْوَامٌ وَيُضَرَّ بِكَ آخَرُونَ. اللَّهُمَّ أَمْضِ لِأَصْحَابِي هِجْرَتَهُمْ، وَلَا تَرُدَّهُمْ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، لَكِنْ الْبَائِسُ سَعْدَ بْنَ خَوْلَةَ يَرٔثَى لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ مَاتَ بِمَكَّةَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Ishaq Sa'ad bin Abi Waqqas, Malik bin Uhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay Al-Qurasyi Az-Zuhri radhiyallahu anhu, dia termasuk salah seorang dari sepuluh sahabat yang dijamin surga.

Dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahiku saat aku sakit keras pada tahun haji wada.' Kemudian aku berkata, Ya Rasulullah, sakitku sangat parah, seperti yang engkau lihat. Aku mempunyai harta yang banyak, sedangkan yang menjadi pewarisku hanya seorang putriku saja. Bolehkah aku menyedekahkan 2/3 hartaku?

Baginda menjawab, “Tidak.”

Aku berkata, “Separuh hartaku, ya Rasulullah?”

Baginda menjawab, “Tidak.”

Aku berkata, “Sepertiga hartaku, wahai Rasulullah?”

Baginda menjawab, “Sepertiga boleh, Sepertiga itu sudah cukup banyak (atau besar). Sesungguhnya, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, dan meminta belas kasihan orang lain. Tidaklah kamu menginfakkan hartamu kerana mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu, hingga makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu.”

Sa'ad bin Waqqash berkata, “Wahai Rasulullah, apakah aku akan tertinggal daripada sahabat-sahabatku?”

Baginda bersabda, “Tidaklah kamu tertinggal, lalu kamu melakukan sebuah amal perbuatan semata-mata kerana wajah Allah, kecuali dengan perbuatan tersebut derajat dan kedudukanmu semakin tinggi. Barangkali kamu akan berumur panjang, sehingga kamu bermanfaat bagi banyak kaum meski membahayakan (merugikan) kaum yang lain. Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku, dan janganlah engkau kembalikan mereka ke belakang (tempat semula).

Tetapi yang kasihan adalah Sa'ad bin Khaulah. Rasulullah menyayangkan kerana dia (Sa'ad bin Khaulah) meninggal di Mekah.

[Shahih Al-Bukhari no. 1295. Muslim no. 1628]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengetengahkan hadits yang menjelaskan tentang Sa'd bin Abi Waqqash, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menziarahinya, saat dia sakit keras di kota Mekah. Akan tetapi, Sa'ad bin Abi Waqqash termasuk kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah ke kota Madinah, mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka semata-mata kerana Allah Ta'ala. Salah satu kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menziarahi sahabatnya yang sedang sakit, sebagaimana baginda membalas kunjungan sahabatnya yang berkunjung kepada baginda. Baginda adalah orang yang paling baik budi pekertinya, paling lembut dalam berinteraksi dengan para sahabatnya, dan sangat mencintai mereka. 

Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menziarahi Sa'ad. Seketika Sa'ad radhiyallahu anhu berkata, Ya Rasulullah, sakitku sangat parah, seperti yang engkau lihat.” Maksudnya, Sa'ad terserang rasa sakit yang luar biasa.

(وَأَنَا ذُوْ مَالٍ) Aku mempunyai harta benda.  Yakni harta benda yang banyak.

(وَلَا يَرِثُنْيِ إِلَّا ابْنَةٌ لْيِ) Yang menjadi pewarisku hanya seorang putriku saja. Maksudnya yang menjadi pewarisnya dengan menerima bagian pasti hanyalah seorang putrinya.

(أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟) Bolehkah aku menyedekahkan 2/3 hartaku?

Baginda menjawab, Tidak.

Aku berkata, Separuh hartaku, ya Rasulullah?

Baginda menjawab, Tidak.

Aku berkata, Sepertiga hartaku, wahai Rasulullah?

Baginda menjawab, “Sepertiga boleh. Sepertiga itu sudah cukup banyak (atau besar).

Ungkapan Sa'ad (أَفَأَتَصَدَّقُ) maksudnya, Bolehkah aku memberikannya sebagai sedekah.

Seketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegahnya. Kerana pada saat itu, Sa'ad dalam kondisi sakit parah dan sakarat. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencegahnya bersedekah lebih dari sepertiga hartanya. Orang yang sakit parah tidak boleh bersedekah lebih dari sepertiga hartanya, kerana hartanya terkait dengan hak ahli warisnya. Sedangkan orang yang sehat atau sakit biasa boleh bersedekah sekehendak hatinya; sepertiga, setengah, duapertiga atau seluruh hartanya. Tidak ada larangan baginya. Akan tetapi, seseorang tidak boleh menyedekahkan seluruh hartanya, kecuali dia mempunyai sesuatu yang membuat dia tidak membutuhkan uluran tangan orang lain.

Yang perlu digarisbawahi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Sa'ad untuk bersedekah lebih dari sepertiga hartanya, baginda bersabda, “Sepertiga boleh. Sepertiga itu sudah cukup banyak (atau besar).

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menegaskan jika seseorang menyedekahkan hartanya kurang dari sepertiga, maka hal itu lebih baik dan lebih sempurna. Oleh kerana itu, Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, Alangkah baiknya jika manusia menurunkan -kadar wasiat mereka- dari sepertiga menjadi seperempat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wasiat itu sepertiga. Sedangkan sepertiga itu sudah banyak.”

[Shahih Al-Bukhâri no. 2743]

Abu Bakar radhiyallahu anhu berkata, Aku rela dengan apa yang diridhai oleh Allah. Yaitu dengan seperlima, kemudian Abu Bakar mewasiatkan seperlima hartanya.

[Thabaqat Ibnu Sa'ad no. 3/194]

Atas dasar ini, kita dapat mengetahui bahwa apa yang dilakukan orang-orang pada saat ini dengan mewasiatkan sepertiga hartanya adalah bertentangan dengan perbuatan utama (khilaaf al-aulaa), meskipun hal tersebut diperbolehkan. Tapi, yang utama adalah mewasiatkan hartanya kurang dari sepertiga, yaitu seperempat atau seperlimanya.

Para ahli fikih menegaskan, bahwa yang lebih utama adalah mewasiatkan seperlima hartanya, tidak lebih dari itu, meneladani apa yang dilakukan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, dan meminta belas kasihan orang lain.

Maksudnya, jika kamu membiarkan hartamu dan tidak menyedekahkannya kepada orang lain, sehingga ketika kamu meninggal dunia, harta kekayaanmu diwarisi oleh pewarismu, hingga mereka menjadi kaya raya. Hal itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, sehingga mereka meminta-minta kepada orang lain.

(يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ) Meminta belas kasihan orang lain.  Yakni meminta kepada orang lain dengan menengadahkan telapak tangannya seraya berkata, “Tolong, berilah kami.. berilah kami.”

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menegaskan bahwa orang yang meninggal dunia jika meninggalkan harta benda kepada ahli warisnya, maka hal itu lebih baik baginya.

Seseorang jangan mengira, jika dia meninggalkan harta kepada ahli warisnya, dia tidak akan memperoleh pahala, Dia tetap akan memperoleh pahala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin... Kerana, jika kamu meninggalkan harta kepada ahli warismu, maka mereka dapat mengambil manfaat dari harta tersebut, dan mereka adalah kerabat dekatmu. Sementara, jika kamu menyedekahkan hartamu kepada orang lain, maka harta bendamu akan diambil manfaat oleh orang lain yang bukan kerabatmu. 

Bersedekah kepada kerabat lebih baik daripada bersedekah kepada selainnya, kerana bersedekah kepada kerabat berarti bersedekah sekaligus menyambung silaturahmi.

Ungkapan Sa'ad, Ya Rasulullah, apakah aku akan tertinggal daripada sahabat-sahabatku?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah kamu tertinggal.”  Bahkan sebelum itu, baginda bersabda, “Tidaklah kamu menginfakkan hartamu kerana mengharap wajah Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu, hingga makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu. 

Maksudnya, tidaklah kamu menginfakkan harta, bisa berupa dirham, dinar, pakaian, selimut, makanan, atau lainnya, semata-mata kerana mengharap wajah Allah, kecuali kamu mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu.

Intisari hadits ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Kerana mengharapkan wajah Allah. Yakni, kamu, menginfakkan hartamu semata-mata kerana mengharap wajah Allah, dengan cara masuk surga dan dapat melihat Allah Ta'ala di dalam surga kelak. 

Kerana penghuni surga -semoga Allah menjadikan kita termasuk bagian dari mereka-dapat melihat Allah dengan mata kepala mereka, sebagaimana mereka melihat matahari di saat langit cerah, tidak berawan, dan seperti kamu melihat bulan di malam bulan purnama. Artinya, mereka benar-benar melihat Allah.

Kemudian baginda bersabda, Tidaklah kamu menginfakkan hartamu kerana mengharapkan wajah Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu, hingga makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu. Yakni, jika kamu memberikan sesuap makanan kepada istrimu, maka kamu mendapatkan pahala selama disertai niat semata-mata mengharapkan wajah Allah. Padahal, memberi nafkah kepada istri merupakan sebuah kewajiban. Seandainya kamu tidak memberinya nafkah, niscaya dia akan berkata, “Beri saya nafkah, atau ceraikan saya.” Meski demikian, jika kamu memberi nafkah kepada istrimu semata-mata kerana mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberimu pahala. Begitu juga ketika kamu memberi nafkah kepada anak-anakmu, ibumu, ayahmu, bahkan kepada dirimu sendiri, apabila kamu mengharapkan wajah Allah, maka Allah akan memberimu pahala.

Kemudian Sa'ad berkata, Ya Rasulullah, apakah aku akan tertinggal daripada sahabat-sahabatku?” Yakni apakah aku tertinggal daripada sahabat-sahabatku lalu menghembus nafas terakhir di Mekah. 

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Sa'ad tidak akan tertinggal, “Tidaklah kamu tertinggal.”  Baginda juga menjelaskan bahwa seandainya Sa'ad tertinggal, lalu dia melakukan sebuah amal perbuatan semata-mata kerana wajah Allah, maka dengan perbuatan tersebut derajat dan kedudukannya semakin tinggi.

Yakni, seandainya ditentukan kamu tertinggal dan tidak memungkinkan untuk keluar dari Mekah, lalu kamu melakukan amal perbuatan semata-mata mengharap wajah Allah, maka Allah akan semakin meninggikan derajat dan kedudukanmu. Allah akan meninggikan tempatmu di surga yang penuh kenikmatan beberapa derajat, meskipun kamu melakukan amalan tersebut di Mekah, sedang kamu sudah berhijrah dari Mekah.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, (تُخَلَّفَ وَلَعَلَّكَ أَنْ) Kata (تُخَلَّفَ) di sini mempunyai arti berumur panjang, berbeda dengan kata (تُخَلَّفَ) sebelumnya yang mempunyai arti tertinggal.

Sa'ad bin Waqqash benar-benar dikaruniai umur panjang. Bahkan, menurut ulama, Sa'ad meninggalkan 17 orang anak laki-laki, dan 12 orang anak perempuan. Pada mulanya, dia hanya mempunyai satu anak perempuan, tapi pada akhirnya dia dikaruniai umur panjang dan anak yang banyak. 

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sehingga kamu bermanfaat bagi banyak kaum meski membahayakan (merugikan) kaum yang lain.

Demikianlah yang terjadi. Sa'ad dikaruniai umur panjang dan mempunyai peranan yang cukup besar dalam berbagai penaklukan yang dilakukan oleh Islam. Sa'ad ikut serta dalam banyak penaklukan kawasan kafir, sehingga dia bermanfaat bagi banyak kaum, yaitu orang-orang Islam dan membahayakan kaum yang lain, yaitu orang-orang kafir.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar menetapkan hijrah para sahabat-sahabatnya dengan dua hal:

Pertama: Mereka tetap dalam keimanan. Kerana jika seorang tetap dalam keimanan, maka dia tetap dalam hijrah.

Kedua: Agar tidak ada seorang pun di antara mereka yang kembali ke Mekah setelah mereka hijrah dari Mekah kerana Allah dan Rasul-Nya.

Kerana jika kamu keluar meninggalkan negaramu untuk Allah dan Rasul-Nya, maka apa yang kamu lakukan itu sama dengan harta yang kamu sedekahkan yang tidak mungkin kamu minta kembali. 

Hal ini berlaku dengan setiap hal yang ditinggalkan oleh seseorang kerana Allah, maka dia tidak mungkin mengambilnya kembali.

Salah satu contohnya adalah seseorang yang mendapat taufik dari Allah untuk mengeluarkan televisi dari rumahnya kerana menghindari dampak negatifnya dan segala kekejian, serta bertaubat kepada Allah, lalu mereka berkata, “Mungkinkah, saat ini, kami mengembalikannya ke rumah kami?”

Kita Jawab, “Tidak! Setelah kalian  mengeluarkannya kerana Allah, maka kalian tidak mungkin memasukkannya kembali.” Kerana seseorang apabila meninggalkan sesuatu kerana Allah, maka ia tidak boleh memintanya kembali. Oleh kerana itu, Rasulullah memohon kepada Rabbnya, agar hijrah para sahabatnya ditetapkan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dan janganlah engkau kembalikan mereka ke belakang. Yakni, janganlah Engkau jadikan mereka berpaling dari keimanan, sehingga mereka kembali ke belakang. Kerana kufur itu merupakan kemunduran, sedangkan iman merupakan kemajuan. Hal ini berbeda dengan klaim orang-orang non muslim saat ini, yang mengatakan bahwa Islam identik dengan kemunduran. Mereka berkata, “Kemajuan bisa dicapai jika seseorang meninggalkan Islam dan lebih memilih sikap sekuler, yang tidak membedakan antara keimanan dan kekufuran, juga antara kefaksikan dan ketaatan.” Na'udzubillah! Pada hakikatnya, keimananlah yang identik dengan kemajuan.

Orang-orang yang maju adalah orang-orang yang beriman. Kerana kemajuan hanya dapat dicapai dengan keimanan. Sementara orang yang murtad berarti dia kembali ke belakang. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, Janganlah Engkau jadikan mereka kembali ke belakang.

Terdapat banyak faedah yang bisa dipetik dari hadits ini, di antaranya:

a) Menziarahi orang sakit merupakan sebagian sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana baginda menziarahi Sa'ad bin Abi Waqqash ketika sedang sakit. 

Menziarahi orang sakit mempunyai banyak faedah, baik bagi orang yang menziarahi (al-'aa'id) maupun bagi orang yang diziarahi (al-ma'uud). 

Di antara faedah menziarahi orang sakit adalah:

1. Orang yang menziarahi memenuhi hak saudara seagamanya. Kerana salah satu hak saudara seagamamu yang harus kamu penuhi adalah menziarahinya ketika dia sakit.

2. Orang yang menziarahi orang sakit sebenarnya dia sedang memetik buah-buahan surga hingga dia pulang.

3. Menziarahi orang sakit dapat mengingatkan orang yang berkunjung akan nikmat Allah berupa kesihatan.

4. Menziarahi orang sakit dapat menumbulkan rasa cinta dan kasih sayang dalam hati orang yang diziarahinya.

Sementara di antara faedah menziarahi orang sakit bagi orang yang diziarahi adalah: dapat menumbuhkan kasih sayang dalam hatinya kepada orang yang menziarahinya, melapangkan dadanya, menghilangkan kesedihan dan kesusahan dari penyakit yang dideritanya. Tidak menutup kemungkinan, orang yang menziarahinya diberi taufik oleh Allah untuk mengingatkannya agar melakukan kebaikan, bertaubat dan menyampaikan wasiat, jika ada sesuatu yang ingin dia wasiatkan, termasuk di antaranya hutang-hutang dan lain sebagainya.

Oleh kerana itu, ulama menegaskan, seyogyanya orang yang menziarahi orang sakit dapat menghiburnya, misalnya dengan berkata, “Ma Syaa Allah, hari ini kamu dalam kebaikan.” Tidak mesti dia berkata -misalnya- “Hari ini kamu baik-baik saja.” Kerana bisa jadi, hari ini, sakitnya lebih parah dari kemarin. Tapi hendaknya kamu berkata, “Hari ini, kamu dalam kebaikan.” Kerana dalam kondisi apa pun, setiap mukmin selalu dalam kebaikan. Saat tertimpa musibah, dia dalam kebaikan, dan ketika bahagia dia dalam kebaikan.

Ajal adalah sesuatu yang pasti. Apabila penyakit tersebut merupakan akhir ajalnya, dia akan meninggal dunia. Akan tetapi jika ajal belum menjemputnya dia tetap hidup di dunia. 

Selain itu orang menjenguk orang yang sakit hendaknya dia mengingatkan orang yang dijenguknya agar bertaubat kepada Allah, tetapi tidak diucapkan secara langsung agar tidak menyinggungnya, sehingga dia berkata kepada dirinya sendiri, “Seandainya sakitku tidak parah, ia tidak mengingatkanku untuk bertaubat.”

Namun, dia memulainya dengan menyebutkan ayat-ayat atau hadits-hadits yang memuji orang-orang yang bertaubat sehingga orang yang sakit teringat akan hal tersebut.

Di samping itu, hendaknya dia mengingatkan orang yang sakit untuk berwasiat, tapi tidak dengan cara berkata, “Berwasiatlah, kerana ajalmu tidak lama lagi.” Jika dia berkata demikian, maka akan menyinggung orang yang sakit. Sebaiknya, dia mengingatkannya dengan cara menceritakan kisah-kisah yang berkaitan dengan wasiat.

Ulama menegaskan, jika orang yang menziarahi orang yang sedang sakit menginginkan agar didoakan, hendaknya dia mendoakannya dengan doa yang ma'tsur seperti doa yang pernah dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

اللَّهُمَّ رَبَّ النَّاسِ مُذْهِبَ الْبَاسِ اشْفِ أَنْتَ الشَّافِى لاَ شَافِىَ إِلاَّ أَنْتَ ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا

ALLAHUMMA RABBAN NAAS MUDZHIBAL BA’SI ISYFI ANTASY-SYAAFII LAA SYAFIYA ILLAA ANTA SYIFAA’AN LAA YUGHAADIRU SAQOMAN.

Artinya: “Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah bahaya. Sembuhkanlah. Engkaulah Dzat Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (yang dikaruniakan oleh) Engkau, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit (lain).”

[Shahih Al-Bukhari, no. 5742; Muslim, no. 2191]

Atau membacakannya surah Al-Fatihah, kerana surah Al-Fatihah merupakan ruqyah yang dibacakan kepada orang-orang yang sakit dan orang tersengat binatang berbisa.

Yang patut diperhatikan, apabila orang yang sakit merasa senang untuk dibacakan doa, maka hendaknya dia mendoakannya, agar dia tidak terpaksa mencari orang yang membacakan doa untuknya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Aku melihat ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga bersama umatku, tanpa dihisap dan tidak disiksa (terlebih dahulu). Baginda bersabda: "Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta untuk dibacakan doa (diruqyah) kepadanya, tidak berobat dengan kayy (pengobatan dengan besi panas), tidak percaya terhadap tathayyur (meramal dengan berdasarkan pada gerak burung), dan tawakal kepada Allah.

[Shahih Al-Bukhari no. 5705, 6472 dan Muslim no. 218]

Begitu juga apabila kamu melihat orang yang sakit itu merasa senang jika kamu duduk lama di sampingnya, maka lakukanlah kerana kamu akan mendapatkan kebaikan dan pahala. Berlama-lamalah dengannya dan hiburkanlah dia, barangkali dengan sebab itu dia bisa sembuh. Kerana kegembiraan dan kelapangan hatinya merupakan faktor utama yang bisa memulihkan kesembuhannya. Duduklah bersamanya dalam waktu yang cukup lama, sampai kamu menangkap sinyal bahwa dia sudah merasa bosan. Tetapi, apabila kamu menangkap sinyal bahwa orang yang sakit lebih senang jika kamu tidak ada di sampingnya dan lebih senang berkumpul bersama keluarganya sambil bergurau senda dengan mereka, maka kamu tidak perlu terlalu lama berada di sisinya, kamu cukup menanyakan kondisinya dan pulanglah.

Dalam hadits Sa'ad bin Abi Waqash terdapat dalil yang menunjukkan disyariatkannya menziarahi orang sakit.

b) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai budi pekerti yang luhur. Tidak dapat disangkal bahwa akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik akhlak manusia.

Firman Allah Ta'ala,

“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Qalam: 68: 1-4)

Orang yang paling baik dan paling agung budi pekertinya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh kerana itu, baginda menziarahi sahabatnya yang sakit, mengunjungi mereka, dan mengucap salam kepada mereka, bahkan ketika baginda bertemu dengan sekelompok anak-anak, baginda mengucapkan salam kepada mereka.

c) Seyogyanya, setiap orang berkonsultasi kepada ulama, kerana Sa'ad bin Abi Waqqash berkonsultasi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala dia hendak menginfakkan sebagian hartanya. Sa'ad berkata, Ya Rasulullah, aku mempunyai harta benda, sedangkan yang menjadi pewarisku hanya seorang putriku saja. Bolehkah aku menyedekahkan 2/3 hartaku?” Baginda bersabda, Tidak...

Dalam hadits tersebut terdapat anjuran agar berkonsultasi kepada ulama. Setiap manusia apabila hendak mengerjakan sesuatu, yang berkaitan dengan masalah agama, hendaknya dia mengonsultasikannya kepada ulama, kerana mereka lebih mengetahui permasalahan agama. Apabila kamu ingin membeli sebuah rumah, maka berkonsultasilah kepada ahli pertanahan atau bangunan. Jika kamu hendak membeli mobil, berkonsultasilah kepada ahli teknik mesin mobil. Begitu juga dalam masalah yang lainnya.

Oleh kerana itu, dikatakan, “Tidak akan kecewa orang yang beristikharah, dan tidak akan menyesal orang yang berkonsultasi.”

Satu hal yang tidak dapat disangkal bahwa seseorang tidak boleh mengklaim dirinya sudah sempurna. Orang yang menganggap dirinya sudah sempurna, sebenarnya dia adalah orang yang penuh kekurangan. Bahkan, dia harus mengoreksi kembali perkataannya, terutama dalam hal-hal yang penting yang berkaitan dengan masalah umat. Kerana, terkadang seseorang terbawa oleh semangat dan perasaannya untuk melakukan sebuah pekerjaan (amal perbuatan). Jika dia berbuat untuk dirinya sendiri, masih bisa ditoleransi, tetapi jika sudah menyangkut orang lain, bisa jadi tidak baik dan tidak sesuai dengan tempat, waktu, atau keadaannya.

Kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membangun Ka'bah di atas pondasi-pondasi Nabi Ibrahim Alaihissalam, demi menghindari fitnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha“Kalaulah bukan kerana kaummu baru saja keluar dari kekufuran, pastilah akan aku bangun Ka'bah di atas pondasi-pondasi Ibrahim, dan aku akan buatkan baginya dua pintu, pintu masuk dan pintu keluar.

[Shahih Muslim no. 1333]

Hal itu untuk mempermudahkan orang-orang yang hendak memasuki Ka'bah, tapi baginda tidak melakukannya, kerana takut menimbulkan fitnah, meskipun jika dibangun dua pintu akan membawa kemaslahatan. 

Bahkan lebih dari itu, Allah melarang kita untuk mencela tuhan orang-orang musyrik, meskipun tuhan mereka memang pantas untuk dicela, dihina dan dijauhi. Tapi, mencela mereka akan mengakibatkan pencelaan terhadap Allah yang Mahaagung dan Mahasuci dari segala cacat dan kekurangan.

Allah Ta'ala berfirman,

Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan, tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An'âm: 6: 108)

Yang paling penting, hendaknya kita mengetahui bahwa sesuatu itu terkadang baik dalam hakikat dan pembahasannya. Akan tetapi, pada waktu tertentu, tempat tertentu, atau keadaan tertentu terkadang tidak menjadi hal yang baik, tidak mengandung hikmah, bukan merupakan pemikiran yang tepat, bukan merupakan nasihat ataupun amanah, meskipun pada dasarnya hal tersebut merupakan kebenaran, kejujuran, serta realitas yang terjadi.

Atas landasan ini, sudah selayaknya seseorang berkonsultasi kepada orang yang berilmu, orang yang mempunyai pemikiran cemerlang, dan bisa memberi nasihat dengan baik, sebelum melakukan sesuatu sehingga dia mempunyai landasan. Kerana Allah Ta'ala berfirman kepada makhluk-Nya yang paling mulia, paling mempunyai pemikiran cemerlang, dan pandai dalam memberi nasihat, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Kerana itu maafkanlah mereka dan mohonlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal. 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 159)

Seseorang terkadang terbawa oleh emosinya, sehingga dia semangat untuk melakukan sesuatu, seraya berkata, “Ini kerana Allah, aku yang akan mengerjakannya. Aku akan melaksanakan kebenaran ini, dan akan aku katakan, bahwa aku tidak peduli celaan orang.” Atau ucapan lain yang senada. Tapi, tindakannya itu berakhir dengan kekecewaan.

Pada umumnya, orang yang dikuasai dan menuruti perasaannya, tidak memandang akibat atau hasilnya, tidak membandingkan berbagai permasalahan yang umum, maka tindakan yang dilakukan itu akan menimbul dampak negatif yang hanya diketahui oleh Allah. Padahal niat dan tujuannya baik, tetapi tidak dapat memilih cara yang baik dalam menggapai tujuan tersebut. Ada perbedaan antara niat yang baik dengan cara yang baik. Terkadang, ada orang yang berniat baik, tetapi cara yang dilakukan tidak baik. Ada pula orang yang niatnya tidak baik, tapi dia menggunakan cara yang baik untuk mencapai tujuannya. Pada umumnya, niat yang tidak baik dilakukan dengan cara yang tidak baik pula.

Seseorang akan mendapat pujian kerana niatnya yang baik, tetapi tidak dipuji kerana perbuatannya yang tidak baik. Kecuali, jika orang tersebut dikenal sebagai orang yang sering memberi nasihat dan pengarahan. Maka, jika dia melakukan perbuatan yang buruk, dia akan dimaklumi. Tidak sepantasnya atau tidak diperbolehkan untuk menjadikan perbuatan buruk seseorang sebagai barometer kekurangannya dan dibebankan kepadanya apa yang tidak mungkin dia pikul. Akan tetapi, dia harus dimaklumi, juga diberi pengarahan dan nasihat, misalnya dengan berkata, “Wahai saudaraku, sebenarnya perkataan dan perbuatanmu baik dan benar, tetapi konteksnya tidak mendukung.”

Intinya, hadits Sa'ad bin Abi Waqqash mengisyaratkan bahwa seseorang sepatutnya berkonsultasi kepada orang yang lebih pintar dan mempunyai ide yang lebih cemerlang.

d) Orang yang berkonsultasi hendaknya menyebutkan permasalahan yang akan dikonsultasikan dengan jelas, agar konsultannya bisa menangkap titik permasalahannya, sehingga bisa memberikan saran yang sesuai dengan permasalahan. 

Oleh kerana itu, Sa'ad berkata, Aku mempunyai harta benda, sedangkan yang menjadi pewarisku hanya seorang putriku saja.

Perkataan Sa'ad, Aku mempunyai harta benda.” Untuk menjelaskan sebab dan keinginannya memberikan sedekah. Sedangkan ungkapannya, Yang menjadi pewarisku hanya seorang putriku saja.” Menunjukkan tidak ada-nya penghalang untuk mewasiatkan harta yang banyak, kerana tidak ada-nya ahli waris yang lain.

Orang yang dimintai pendapatnya (konsultan) harus bertakwa kepada Allah Ta'ala dalam memberikan nasihat atau arahan. Dia tidak boleh terbawa emosinya, demi mendukung orang yang berkonsultasi. Kerana sebagian orang, ketika dimintai pendapatnya, kemudian membaca sinyal bahwa orang yang berkonsultasi lebih cenderung kepada salah satu pendapat atau permasalahan, maka dia memberikan arahan sesuai dengan kecenderungan orang yang berkonsultasi, dengan berkata dalam hatinya, “Aku ingin menyetujui apa yang sesuai kecenderungannya.” Tindakan seperti ini adalah kesalahan besar, bahkan tindakan khianat.

Seharusnya, apabila dia meminta pendapatmu, maka kamu harus mengatakan apa yang benar dan bermanfaat menurut kamu, baik dia cenderung terhadap apa yang kamu sampaikan mahupun tidak. Jika kamu bertindak demikian, berarti kamu telah menjadi konsultan yang seharusnya, dan kamu telah melakukan kewajibanmu. Kemudian apabila dia cenderung dan mengambil pendapatmu, maka hal itu baik baginya.

Akan tetapi, apabila dia tidak mengambil pendapatmu, maka kamu tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa. Padahal bisa saja kamu menganalisa sesuatu yang salah, ataupun kamu menganalisa bahwa dia menginginkan hal tertentu, padahal dia menghendaki hal yang lain. Maka, kamu akan rugi dari dua sisi, yaitu pemahaman yang salah dan maksud yang salah.

Dalam menanggapi pertanyaan Sa'ad, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak.” Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masalah bagi seseorang yang menyanggah pendapat atau pertanyaan dengan menggunakan kata, “Tidak.” Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menggunakan kata, “Tidak.” Sebab menolak pendapat dengan menggunakan kata, “Tidak,” bukan termasuk akhlak yang tercela.

e) Orang yang sakit parah tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga hartanya, kecuali ada restu dari ahli warisnya. kerana hak ahli waris berkaitan dengan harta seseorang yang sakit. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sepertiga boleh, sepertiga sudah cukup banyak. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menegaskan bahwa sejatinya seseorang mewasiatkan hartanya kurang dari sepertiga. Sebagaimana Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma pernah berkata, “Alangkah baiknya jika manusia menurunkan -kadar wasiat mereka- dari pertiga menjadi seperempat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Wasiat itu sepertiga. Sedangkan sepertiga itu sudah banyak.”

f) Orang yang sakit parah tidak boleh mengeluarkan lebih sepertiga hartanya, baik untuk sedekah, membangun masjid, hibah dan lain sebagainya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Sa'ad untuk bersedekah lebih dari sepertiga hartanya. Wasiat hukumnya sama dengan pemberian. Oleh kerana itu, seseorang tidak boleh berwasiat lebih dari sepertiga hartanya. Yang lebih utama dalam mewasiatkan harta adalah seperlimanya, berdasarkan atsar Abu Bakar sabagaimana dijelaskan di atas.

g) Seseorang yang memiliki sedikit harta, dan ahli warisnya miskin, maka yang utama adalah tidak mewasiatkan hartanya, baik sedikit ataupun banyak, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sungguh, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta belas kasihan orang lain.

Hal ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh sebagian orang awam bahwa mewasiatkan harta merupakan sebuah keharusan. Itu tidak benar, orang yang memiliki sedikit harta, sedangkan ahli warisnya fakir, sebaiknya dia tidak mewariskan hartanya.

Sebagian orang awam mengira apabila dia tidak mewasiatkan hartanya, maka dia tidak berpahala. Padahal apabila dia meninggalkan harta untuk ahli warisnya, dia mendapatkan pahala, meskipun secara otomatis mereka pasti mendapatkan warisan, akan tetapi apabila dia melakukannya berdasarkan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin dan meminta belas kasihan orang lain.” Maka pahala yang diberikan kepadanya lebih utama daripada dia menyedekahkannya hartanya kepada orang lain.

h) Para sahabat dari kalangan Muhajirin takut meninggal dunia di Mekah. Kerana Sa'ad berkata, “Ya Rasulullah, apakah aku akan tertinggal daripada sahabat-sahabatku? Sa'ad menanyakan sesuatu yang mungkin terjadi, yang menunjukkan bahwa dia tidak ingin tertinggal daripada sahabat-sahabatnya lalu meninggal dunia di Mekah, setelah dia hijrah dari Mekah ke Madinah semata-mata kerana Allah Ta'ala dan Rasul-Nya.

i) Adanya bukti mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat baginda bersabda, Tidaklah kamu tertinggal. Barangkali kamu akan berumur akan panjang, sehingga kamu bermanfaat bagi banyak kaum meski membahayakan kaum yang lain. Realitas yang terjadi sesuai dengan prediksi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerana Sa'ad benar-benar berumur panjang hingga mengalami masa kekhalifahan Mu'awiyah radhiyallahu anhu.

Adalah bagian mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sesuatu yang akan terjadi, dan sesuatu tersebut benar-benar terjadi sesuai dengan informasi yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi, informasi yang disampaikan oleh baginda ini bukan sekadar informasi semata, melainkan sebuah prediksi kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangkali kamu akan berumur panjang. Baginda memprediksikan, bukan memastikan. Namun, realitas yang terjadi sesuai dengan prediksi baginda.

j) Setiap orang yang melakukan perbuatan kerana mengharap wajah Allah Ta'ala, pasti derajat dan kedudukannya ditinggikan oleh Allah Ta'ala, meskipun di tempat yang dia tidak mungkin abadi di dalamnya. Kerana perbuatan dan keabadian merupakan dua hal berbeda. Oleh kerana itu, pendapat utama yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa orang yang mendirikan shalat di tanah yang diperoleh secara ghasab  (merampas dengan zhalim), maka shalatnya sah. Kerana yang dilarang bukan mendirikan shalat, akan tetapi meng-ghasab tanah tersebut.

Larangan tersebut ditujukan bukan untuk shalat, sehingga shalatnya sah di tempat tersebut, tetapi dia berdosa kerana dia menempati tanah yang di-ghasab tersebut.

Jika ada hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan, “Janganlah kamu shalat di tanah yang diperoleh secara ghasab.” Niscaya kami akan mengatakan, “Apabila kamu shalat di tanah yang di-ghasab, maka shalatmu tidak sah.” Sebagaimana kita berkata, “Jika kamu shalat di kuburan, maka shalatmu tidak sah, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bumi itu seluruhnya boleh dijadikan masjid (tempat shalat), kecuali kuburan dan kamar mandi.”

[HR. At-Tirmidzi no. 317. Ibnu Majah no. 745, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwâ no. 1/320]

Hadits di atas tidak mencakup shalat jenazah, kerana shalat jenazah bisa dilaksanakan di kuburan.

k) Orang yang berinfak kerana mengharapkan wajah Allah akan mendapatkan pahala, hingga harta yang dinafkahkan kepada keluarganya dan istrinya, bahkan harta yang dinafkahkan kepada dirinya sendiri jika dia mengharapkan wajah Allah, maka dia akan mendapatkan pahala.

Hal ini mengisyaratkan bahwa seseorang harus menghadirkan niat mendekatkan diri kepada Allah setiap kali menginfakkan hartanya, sehingga dia mendapatkan pahala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, tetapkanlah hijrah para sahabatku, dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar Allah menetapkan hijrah para sahabatnya, berupa ketetapan iman, dan ketetapan mereka di negara tempat mereka hijrah dari Mekah.

Oleh kerana itu, baginda berkata, Dan janganlah Engkau kembalikan mereka ke belakang. Kembali ke belakang, maksudnya, kafir setelah pernah masuk Islam (murtad). Naudzubillah! Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 2: 217)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tetapi yang kasihan adalah Sa'ad bin Khaulah...” Sa'ad bin Khaulah adalah seorang Muhajirin yang hijrah dari Mekah, akan tetapi Allah mentakdirkannya meninggal di Mekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedih atas kematiannya di kota Mekah, kerana mereka tidak senang apabila ada seorang yang hijrah dan meninggal dunia di tempat asalnya (sebelum hijrah).

Inilah sekilas penjelasan tentang hadits Sa'ad bin Abi Waqqash. Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam bab niat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa'ad, Tidaklah kamu tertinggal, lalu kamu melakukan sebuah amal perbuatan semata-mata kerana wajah Allah, kecuali dengan perbuatan tersebut derajat dan kedudukanmu semakin tinggi. Baginda juga bersabda, Tidaklah kamu menginfakkan hartamu kerana mengharapkan wajah Allah, kecuali kamu akan mendapatkan pahala atas perbuatanmu itu.”

Hadits ini mengisyaratkan pentingnya ikhlas; apabila seseorang melakukan amal perbuatan atau menginfakkan hartanya hendaknya hal itu lakukan semata-mata mengharapkan wajah Allah sehingga Allah memberikan pahala kepadanya dan meninggikan derajat dan kedudukannya di sisi Allah Ta'ala.

Hadits 7.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ، وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ » [ وَأَعْمَالِكُمْ ]. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhr radhiyallahu anhu dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat hati (dan amal perbuatan) kalian.”

[Shahih Muslim no. 2564]

Penjelasan.

Hadits ini ditulis dengan lafazh, (وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ) “Akan tetapi Allah melihat hati kalian.”  Dalam lafazh lain disebutkan dengan lafazh, (وَأَعْمَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَي قُلُوْبِكُمْ) “Akan tetapi Allah melihat hati dan amal perbuatan kalian.” 

Hadits ini senada dengan kandungan firman Allah Ta'ala,

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurât: 49: 13)

Allah Ta'ala tidak melihat fisik para hamba-Nya, besar atau kecil, sihat atau sakit. Allah tidak melihat rupa mereka, cantik atau buruk. Allah tidak melihat nasab mereka, tinggi atau rendah. Allah tidak melihat harta benda mereka, Allah tidak melihat itu semua, kerana di sisi-Nya hal itu tidak berarti.

Tidak ada hubungan Allah Ta'ala dan makhluk-Nya, kecuali hanyalah takwa. Maka barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, dia lebih dekat kepada Allah dan lebih mulia di sisi-Nya. Kerana itu, janganlah kamu menyombongkan hartamu, jasadmu, kecantikanmu, anak-anakmu, istanamu atau apa pun yang ada di dunia ini. Saat kamu mendapatkan taufik dari Allah menjadi orang yang bertakwa, maka hal itu merupakan karunia Allah yang melimpahkan kepadamu. Maka, hendaknya kamu bersyukur kepada Allah atas karunia tersebut.

Ketahuilah bahwa setiap amal itu pasti disertai niat yang bersumber di hati. Berapa banyak orang yang secara lahirnya terlihat sihat, baik dan shalih, akan tetapi manakala berdiri di atas sesuatu yang rusak, dia akan menjadi hancur pula. 

Yang menjadi tolok ukur adalah niat. Kamu mendapati dua orang yang shalat dalam satu shaf, mengikuti satu imam, tapi nilai shalat mereka berbeda jauh, bak timur dan barat, kerana hati mereka berbeda. Salah satu di antara mereka berdua, hatinya lalai bahkan mungkin juga riya' dalam melaksanakan shalatnya; dia melaksanakan shalat untuk kepentingan duniawi. Sedangkan yang satunya lagi, mendirikan shalat dengan menghadirkan hati dan menginginkan wajah Allah, serta mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Di antara keduanya terdapat perbedaan yang ketara. Tandanya adalah apa yang terdapat di dalam hati, dan di sanalah Allah memberikan pahala di hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). Pada hari dinampakkan segala rahasia.” 
(QS. Ath-Thâriq: 86: 8-9)

Maksudnya, akan diberitakan apa yang dirahasiakan bukan apa yang nampak. Di dunia, hukum yang berlaku antara manusia adalah zhahir, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Aku memutuskan sebuah hukum berdasarkan apa yang aku dengar.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6967, 7169. Muslim no. 1713]

Sedangkan di akhirat, pengetahuan didasarkan pada apa yang ada di hati, semoga Allah Ta'ala membersihkan hati kita. 

Jika hatimu sihat dan baik, maka gembiralah dengan kebaikan, tetapi jika tidak, maka kamu kehilangan semua kebaikan, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur. Dan dilahirkan apa yang ada di dalam dada.
(QS. Al-Âdiyât: 100: 9-10)

Pengetahuan berdasarkan pada apa yang ada di hati.

Apabila Al-Qur'an dan Sunnah Nabi telah menekankan tentang perbaikan niat, maka setiap orang wajib memperbaiki niat dan hatinya, dengan cara melihat dan meneropong hatinya. Adakah keraguan di dalam hati hatinya, sehingga dia bisa menghilangkan keraguan itu dengan keyakinan. Lalu, bagaimana caranya?”

Caranya merenungkan ayat-ayat Al-Qur'an. 

Allah Ta'ala berfirman,

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 190)

Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang menyakini.
(QS. Al-Jâtsiyah: 45: 3-4)

Renunglah firman Allah Ta'ala dalam ayat-ayat di atas. 

Apabila setan menghembuskan keraguan di dalam hatimu, maka renungkanlah ayat-ayat Allah dan hayatilah alam semesta ini dan fikirlah, siapakah yang telah mengaturkannya? Perhatikan! Bagaimana keadaan bisa berubah. Bagaimana Allah mempergilirkan masa kejayaan dan kehancuran di antara manusia. Dengan perenungan itu agar kamu mengetahui bahwa alam semesta ini ada yang mengaturnya, yaitu Dzat yang Mahabijaksana, Allah Ta'ala.

Bersihkan hatimu dari syirik. Bagaimana cara membersihkan hati dari syirik?

Yaitu dengan cara berkata diri sendiri, “Jika aku berbuat maksiat kepada Allah, manusia tidak akan mampu menyelamatkanku dari siksa-Nya. Jika aku taat kepada Allah, mereka tidak akan mampu memberiku pahala.”

Yang mampu mendatangkan pahala dan menjauhkan siksa hanyalah Allah Ta'ala. Jika memang demikian, mengapa kamu menyekutukan-Nya? Mengapa ibadah yang kamu lakukan kamu tujukan untuk mendekatkan diri kepada makhluk. Oleh kerana itu, siapa saja yang mendekatkan diri kepada makhluk dengan sesuatu yang dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah dan manusia akan menjauh darinya.

Maksudnya, mendekatkan diri kepada makhluk dengan suatu ibadah akan membuat semakin jauh dari Allah dan manusia. Sebab, jika Allah meridhaimu, manusia akan meridhaimu, dan apabila Allah membencimu, maka manusia akan membencimu pula. Kita berlindung kepada Allah dari murka dan siksa-Nya. 

Wahai saudaraku! Hal yang terpenting adalah mengobati hatimu secara terus menerus! Jadilah kamu orang yang selalu membersihkan hati hingga jadi suci, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk mensucikan hati mereka.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 41)

Kesucian hati adalah hal yang sangat penting, semoga Allah membersihkan hati kita dan menjadikan kita sebagai orang yang ikhlas dan mengikuti ajaran Rasul-Nya.

Hadits 8.
وَعَنْ أَبِي مُوْسَى عَبْدِ اللهِ بْنِ قَيْسٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ قَاتَلَ لِتَكُوْنَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Musa, Abdullah bin Qais Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang yang berperang untuk menunjukkan keberanian, berperang dengan semangat fanatisme dan orang yang berperang kerana riya; “Siapakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berperang pada di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7458. Muslim no. 1904]

Penjelasan.

Dalam lafazh hadits ini disebutkan, “Dan dia berperang agar kedudukannya bisa dikenal orang. Siapakah di antara mereka yang berperang di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berperang di jalan Allah.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah.” Ini menunjukkan pentingnya memurnikan niat semata-mata kerana Allah Ta'ala. Kerana alasan inilah, Imam An-Nawawi rahimahullah mencantumkan hadits ini.

Rasulullah ditanya tentang orang yang berperang dengan salah satu dari tiga tujuan: keberanian, fanatisme, dan dipandang kedudukannya.

Yang dimaksud berperang untuk menunjukkan keberanian adalah seseorang pemberani yang senang berperang. Kerana seorang pemberani berjiwa patriot. Sementara patriotisme membutuhkan wahana untuk menunjukkan keberaniannya.

Oleh kerana itu, kamu dapati bahwa seorang pemberani sangat senang apabila Allah memudahkan jalannya untuk berperang agar muncul sifat patriotnya. Dia berperang kerana dia adalah seorang pemberani yang gemar berperang.

Tipe orang kedua adalah orang yang berperang kerana fanatisme; baik kerana fanatik terhadap suku, bangsa, tanah air, atau pun yang lainnya.

Tipe orang ketiga adalah orang yang berperang agar kedudukannya dikenal orang. Yakni, dia berperang agar dilihat orang lain dan agar dikenal sebagai pemberani. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan tiga hal yang merupakan pertanyaan dalam hadits, tetapi mengungkapkan sebuah kalimat singkat sebagai barometer peperangan, “Barangsiapa yang berperang dengan tujuan untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berperang di jalan Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan tiga hal tersebut, agar cakupannya lebih umum dan lebih luas. Kerana bisa saja seseorang berperang untuk menaklukkan sebuah negara mahupun tanah air, atau untuk mendapatkan wanita-wanita tawanan.

Yang patut digarisbawahi, bahwa niat itu tidak ada batasnya. Tetapi barometer peperangan yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan barometer yang sempurna dan lurus.

Dari sini dapat kita ketahui, bahwa paradigma peperangan yang di gembar-gemborkan oleh masyarakat harus diluruskan.

Paradigma Peperangan Ada Dua Macam.

Pertama, seseorang berperang kerana semangat kebangsaan, dalam hal ini bangsa Arab. Peperangan yang dimaksudkan untuk membela bangsa Arab merupakan peperangan jahiliyah. Orang yang terbunuh dalam peperangan seperti ini tidak mati syahid; dia rugi di dunia dan akhirat. Kerana peperangan seperti ini tidak termasuk berperang di jalan Allah. Oleh kerana itu, meski panji-panji kebangsaan begitu kuat, sedikit pun kita tidak dapat mengambil manfaat darinya. Yahudi menguasai negara kita. Sementara kita bercerai berai.

Orang kafir, baik dari Nasrani mahupun yang lainnya, termasuk dalam kategori paradigma peperangan ini. Sementara orang-orang muslim non Arab di luar kategori ini. Kerana memperjuangkan bangsa Arab, kita kehilangan jutaan orang alim. Orang-orang yang tidak pernah melakukan perbuatan baik, juga termasuk dalam kategori ini, yaitu orang-orang yang sentiasa membawa kerugian dan kehinaan.

Kedua, orang yang berperang kerana membela tanah air, apabila kita berperang untuk membela tanah air, maka tidak ada bedanya antara kita dengan orang kafir, kerana mereka juga berperang untuk membela tanah air. Orang yang terbunuh hanya untuk membela tanah airnya dia tidak dikatakan syahid, akan tetapi yang wajib kita lakukan, sebagai umat Islam yang hidup di negara Islam adalah berperang demi memperjuangkan Islam negara kita.

Perhatikanlah perbedaan di antara keduanya, kita berperang untuk agama Islam yang ada di negara kita; kita melindungi Islam yang ada di negara kita, baik hujung timur mahupun di hujung barat. Ungkapan yang patut kita ucapkan adalah, “Kami berperang untuk Islam yang ada di tanah air kami, ataupun untuk tanah air kami, kerana tanah air kami mayoritas penduduknya Islam, kami membela Islam yang ada di tanah air kami.”

Sementara jika seseorang berperang kerana membela tanah air semata-mata, maka niat orang tersebut merupakan niat yang tidak baik, hal itu tidak dapat memberikan kontribusi apa pun terhadap Islam. Tidak ada bedanya antara muslim dan orang kafir jika peperangan yang dilakukan semata-mata membela tanah air.

Adapun ungkapan, Cinta tanah air merupakan bagian daripada iman.  Ungkapan ini dianggap sebagai hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal ini merupakan ungkapan yang dusta.

[Tidak ada dasarnya, sebagaimana diungkapkan oleh Al-Harawi Al-Qari dalam Al-Mashnuu' fii Ma'rifati Al-Hadits Al-Maudhu' no. 106]

Mencintai tanah air, jika negaranya sebagai negara Islam, maka kamu mencintainya kerana negara tersebut adalah negara Islam. Maka, tidak ada bedanya antara tanah air tempat kelahiranmu dengan negara Islam yang lain, semuanya adalah negara Islam yang harus kita lindungi. 

Satu hal yang harus kita ketahui, bahwa niat yang benar adalah niat berperang untuk Islam yang ada di negara kita, ataupun tanah air kita yang Islami, bukan kerana tanah air semata.

Adapun berperang membela diri, seperti apabila seseorang menyerang di rumahmu, dengan maksud ingin mengambil hartamu, atau ingin merusak kehormatan keluargamu, maka kamu harus melawannya. Sebagaimana diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baginda pernah ditanya tentang seseorang yang didatangi perompak seraya berkata,

Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?”

Baginda bersabda, Jangan kau beri padanya.

Dia bertanya lagi, Bagaimana kalau dia menyerangku.

Baginda bersabda, Lawanlah dia.” Tegas baginda.

Dia bertanya lagi, Bagaimana dia membunuhku?

Baginda bersabda, Jika dia membunuhmu, maka kamu mati syahid.

Dia bertanya kembali, Bagaimana jika aku yang membunuhnya?

Baginda bersabda, Apabila kamu membunuhnya, maka dia masuk neraka.

[Shahih Muslim no. 140]

Kerana dia telah melanggar aturan dan berbuat zhalim meskipun dia seorang muslim. Apabila ada seorang muslim mendatangimu dengan maksud ingin memerangimu agar kamu bisa keluar dari negaramu atau rumahmu, maka lawanlah dia. Apabila kamu membunuhnya, maka dia masuk neraka, apabila dia membunuhmu, maka kamu syahid.

Jangan Sekali-kali kamu berkata, “Bagaimana mungkin saya membunuh seorang muslim?” Sebab dia adalah orang yang melampaui batas. Seandainya kita diam di hadapan orang-orang yang melampaui batas dan zhalim yang tidak memelihara hubungan kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, pastilah mereka akan mempunyai kekuasaan dan akan membuat kerusakan di muka bumi setelah diciptakan dengan baik.

Oleh kerana itu, kami mengatakan bahwa kasus seperti ini bukan termasuk pembunuhan terencana. Contoh pembunuhan terencana sudah diketahui bersama. Dalam hal ini, saya tidak datang untuk memerangi seorang muslim yang memang saya cari. Tapi saya membela harta, jiwa dan keluarga saya. Meskipun orang yang menyerang saya terlebih dahulu adalah seorang mukmin. Kerana tidak mungkin seorang yang beriman sengaja menyerang muslim yang lain untuk merampas harta dan keluarganya.

Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mencela orang muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.”

[Shahih Al-Bukhari no. 48. Muslim no. 64]

Orang yang membunuh muslim yang lain, ia tidak mempunyai keimanan sama sekali. Jika orang tersebut termasuk orang yang tidak mempunyai iman atau imannya kurang, maka kita harus (baca: wajib) memeranginya sebagai bentuk pembelaan diri. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lawanlah dia.” Baginda bersabda, “Jika kamu membunuhnya, maka dia masuk neraka.”  Sebagaimana baginda bersabda, “Jika dia membunuhmu, maka kamu mati syahid.”

Jika disimpulkan, peperangan ini ada dua macam:

Pertama: Peperangan ofensif, seperti ungkapan seseorang, “Saya ingin berangkat untuk memerangi sekelompok orang di negara mereka.” Peperangan model ini tidak dibolehkan, kecuali memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Misalnya: -Ulama mengatakan- “Jika penduduk sebuah perkampungan tidak mengumandangkan adzan, maka pemerintah wajib memerangi mereka, hingga mereka mahu mengumandangkan adzan. Meskipun adzan bukan termasuk rukun Islam, tetapi mereka meninggalkan salah satu syiar Islam.”

Apabila tidak melaksanakan shalat Ied, seraya berkata, “Kami tidak melakukannya, baik di rumah mahupun di tanah lapang.” Maka kita wajib memerangi mereka. Meskipun mereka menyangkal kita dengan berkata, “Apakah adzan termasuk rukun Islam?” Maka kita katakan, “Tidak. Akan tetapi, adzan merupakan bagian dari syiar lslam. Oleh kerananya, kami memerangi kalian hingga kalian mahu mengumandangkan adzan.”

Apabila dua kelompok kaum muslimin berperang, kita wajib untuk mendamaikan mereka. Apabila salah satu dari mereka membangkang, kita wajib untuk memerangi kelompok yang membangkang sehingga mereka kembali ke jalan Allah, meskipun mereka adalah orang yang beriman. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara peperang ofensif (bersifat penyerangan) dan peperangan defensif (bersifat pembelaan diri). Kita tidak boleh melakukan penyerangan, kecuali kepada orang yang diperbolehkan oleh syariat, sedangkan pembelaan adalah tindakan yang harus kita lakukan.

Alhasil, perlunya memperbaiki niat, kami mengharap kalian bisa memahami dan memperhatikan permasalahan ini dengan baik. Kerana kami sering membaca di media masa yang meneriakkan, “Tanah air! Tanah air! Tanah air!” Tanpa menyebutkan kata Islam. Ini adalah kesalahan besar. Umat Islam harus diarahkan kepada manhaj dan jalan yang benar. Kami memohon kepada Allah, mudah-mudahan kita diberikan petunjuk untuk melakukan apa yang dicintai dan di ridhai-Nya.

Hadits no 9.
وَعَنْ أَبِيْ بَكْرَةَ نُفَيعِ بْنِ الْحَارِثِ الثَّقَفِيِّ رَضِي اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِي النَّارِ » قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ، قَالَ: « إِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Bakrah, Nufa'i bin Al-Harits Ats-Tsaqafi radhiyallahu anhu, bahwasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Apabila dua orang muslim bertemu (berhadapan untuk saling membunuh) dengan membawa pedangnya masing-masing, maka orang yang membunuh dan orang yang terbunuh masuk neraka.

Aku bertanya, “Wahai Rasulullah, orang yang membunuh sudah pasti berada di neraka tetapi mengapa orang yang terbunuh juga masuk ke neraka?

Lalu baginda menjawab, “Dia juga mempunyai keinginan keras untuk membunuh temannya.

[Shahih Al-Bukhari no 647 dan Muslim no. 649]

Penjelasan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila dua orang muslim bertemu dengan membawa pedangnya.”

Yakni, masing-masing dari keduanya ingin membunuh lawannya, sehingga masing-masing menghunuskan pedang. Begitu juga dengan menghunuskan senjatanya, seperti senapang, pisau, batu dan benda-benda lainnya yang dapat digunakan untuk membunuh. Penyebutan pedang di sini sebagai misal, bukan sebagai ketentuan. Bahkan, apabila dua orang muslim bertemu dengan menggunakan cara apa pun untuk dapat membunuh lawannya, maka pembunuh dan yang terbunuh sama-sama masuk neraka.

Abu Bakrah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Jika pembunuh masuk neraka, itu wajar, kerana dia telah menghilangkan jiwa seorang mukmin dengan sengaja.” Orang yang membunuh seorang muslim dengan sengaja tanpa hak (alasan yang benar), maka balasannya adalah neraka Jahanam, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah neraka Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya. (QS. An-Nisâ: 4: 93)

Dalam hadits ini, Abu Bakrah menggunakan kalimat persetujuan, bahwa ia setuju apabila pembunuh masuk neraka, akan tetapi apa dosa orang yang terbunuh sehingga dia harus masuk neraka? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kerana dia mempunyai keinginan keras untuk membunuh temannya (lawannya).

Orang ini membawa senjata untuk membunuh. Akan tetapi, dia dikalahkan lawannya dan akhirnya terbunuh. Oleh kerana itu, orang ini masuk neraka kerana mempunyai niat membunuh lawannya, sehingga seolah-olah dia membunuhnya. Inilah alasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan“Kerana dia mempunyai keinginan keras untuk membunuh temannya (lawannya).”

Dalam hadits ini terdapat dalil menunjukkan bahwa perbuatan bergantung pada niat dan orang ini ketika berniat untuk membunuh lawannya, dia seolah-olah menjadi pelaku pembunuhan itu. Dengan demikian, kita dapat mengetahui perbedaan hadits ini dengan hadits lain yang berbunyi,

Barangsiapa yang terbunuh kerana membela dirinya, maka dia syahid dan barangsiapa yang terbunuh kerana mempertahankan keluarganya maka dia syahid dan barangsiapa yang terbunuh kerana mempertahankan hartanya maka dia syahid.

Dan sabda baginda tentang orang yang hendak merompak hartamu,

Apabila kamu membunuhnya, maka dia masuk neraka, jika dia membunuhmu, maka kamu mati syahid.

[Shahih Al-Jami no. 6445]

Itu semua kerana seseorang yang membela harta, keluarga, diri dan kehormatannya, dia melawan orang yang melanggar dan menyerangnya, yang hanya bisa dilakukan dengan membunuhnya. Dalam hal ini, apabila si penyerang terbunuh, maka dia masuk neraka dan apabila yang terbunuh adalah orang yang membela dirinya, maka dia mati syahid dan masuk surga. Itulah perbedaan antara kedua kasus tersebut.

Dengan demikian, diketahui bahwa seseorang yang membunuh saudaranya dengan sengaja, maka dia masuk neraka. Dan seseorang yang dibunuh oleh saudaranya, kerana dia kalah ketika bermaksud untuk membunuh saudaranya itu, maka dia masuk neraka.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan besarnya dosa pembunuhan yang dapat menghantarkan seseorang masuk neraka.

Selain itu, terdapat dalil yang menunjukkan bahwa para sahabat apabila dihadapkan kepada suatu perkara yang syubhat, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawabnya. Oleh kerana itu, kita tidak menjumpai sebuah syubhat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah kecuali ada jalan keluarnya. Adakalanya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah itu sendiri, tanpa adanya pertanyaan ataupun dengan pertanyaan yang kemudian diberikan jawabannya.

Salah satu contohnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Dajjal akan menetap di bumi selama 40 hari, hari pertama seperti satu tahun, hari kedua seperti satu bulan. Hari ketiga seperti satu minggu, dan hari berikutnya seperti hal-hal yang kita lalui.

Salah seorang sahabat bertanya, “Pada hari ketika sehari seperti satu tahun, apakah kita cukup shalat satu hari saja?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, tetapi perkirakanlah waktunya.

[Shahih Muslim no. 2937]

Ini adalah bukti yang paling jelas bahwa tidak ada sesuatu kerancuan dalam Al-Qur'an atau pun As-Sunnah yang tidak ada jalan keluarnya, kecuali dikeranakan pemahaman yang kurang, sehingga tidak mampu untuk mengetahui jalan keluarnya atau pun kurang dalam mencari, merenungkan, dan meneliti teks ayat mahupun hadits, sehingga menimbulkan kerancuan. Pada kenyataannya, tidak ada satu kerancuan pun di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah kecuali terdapat jalan keluarnya yang juga terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik langsung sebagai penjelasan atau sebagai jawaban dari pertanyaan yang dikemukakan oleh para sahabat.

Hadits 10.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلاَتِهِ فِي سُوقِهِ وَبَيْتِهِ بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يُرِيدُ إِلاَّ الصَّلاَةَ، لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، لَمْ يَخْطُ خُطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلاَئِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيْهِ يَقُولُونَ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. 
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Shalat seseorang dengan berjamaah itu pahalanya melebihi pahala shalat yang dikerjakannya sendirian di pasar atau di rumahnya, dengan pahala dua puluh derajat lebih (yakni antara 25 sampai 29 derajat). Yang demikian itu dikeranakan apabila ia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian datang ke masjid hanya untuk mengerjakan shalat dan tidak ada yang membangkitkannya kecuali hanya shalat, dia tidak melangkah satu langkah pun kecuali pastilah akan ditinggikan satu derajat dan dihapus satu kesalahannya sampai dia masuk ke masjid. Apabila dia masuk ke masjid, dia mendapatkan pahala shalat selama shalat itulah yang menahannya, dan para malaikat akan mendoakan kepada salah seorang di antara kalian, selama dia masih berada di tempat duduknya bekas dia shalat, dengan berkata, “Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.” Selama dia tidak menyakiti (kepada malaikat atau manusia, baik dengan perbuatan/ perkataan) atau berhadats.

[Shahih Al-Bukhari no. 647. Muslim no. 649, 272]

Penjelasan.

Makna hadits ini adalah apabila seseorang shalat berjamaah di masjid, maka shalat yang dia lakukan ini lebih baik daripada shalatnya di pasar atau pun di rumahnya dengan dua puluh tujuh kali lipat, kerana shalat berjamaah adalah menegakkan sebuah kewajiban yang diperintahkan oleh Allah.

Pendapat ulama yang rajih menegaskan bahwa shalat berjamaah hukumnya fardhu 'ain. Setiap orang wajib melaksanakan shalat berjamaah di masjid, berdasarkan hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut, seperti yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta'ala,

Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu. (QS. An-Nisâ: 4: 102)

Allah Ta'ala mewajibkan shalat berjemaah dalam keadaan takut. Apabila dalam keadaan takut Allah mewajibkan shalat berjamaah, lebih-lebih jika dalam kondisi aman.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan penyebab keistimewaan shalat berjamaah, Yang demikian itu dikeranakan apabila ia berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, kemudian datang ke masjid hanya untuk mengerjakan shalat dan tidak ada yang membangkitkannya kecuali hanya shalat, dia tidak melangkah satu langkah pun kecuali pastilah akan ditinggikan satu derajat dan dihapuskan satu kesalahannya.

Baik rumahnya jauh atau dekat dari masjid, maka setiap langkah kakinya memberikan dua manfaat:

Pertama: Allah meninggikan derajatnya.

Kedua: Allah menghapuskan dosanya.

Sungguh, ini merupakan anugerah yang agung dari Allah Ta'ala. 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan dia masih dicatat sebagai orang yang shalat, selama dia menunggu waktu shalat tiba. Ini juga nikmat yang besar. Seandainya kamu menetap di tempatmu untuk menunggu waktu shalat tiba, selama apa pun kamu menunggunya, dan kamu tidak mengerjakan apa pun setelah shalat tahiyatul masjid, semua itu dihitung sebagai pahala shalat, selama kamu menunggu waktu shalat tiba.

Selain itu, faedah lain yang diterima oleh orang yang mendirikan shalat berjamaah, yaitu para malaikat akan memohonkan limpahan rahmat kepadanya, selama dia berada di tempat mendirikan shalat. Para malaikat berdoa kepada Allah, Ya Allah limpahkanlah rahmat-Mu kepadanya. Ya Allah ampunilah dia dan kasih sayangilah dia. Ya Allah terimalah taubatnya. Ini juga keutamaan yang besar bagi siapa saja yang datang ke masjid dengan niat tersebut dan melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.

Intisari dalam hadits ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Kemudian dia keluar dari rumahnya menuju ke masjid dan tidak ada yang mendorongnya keluar kecuali hanya untuk shalat. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tolok ukur untuk mendapatkan pahala yang besar ini adalah niat.

Sementara, dia keluar dari rumahnya tidak bertujuan untuk shalat, maka tidak akan ditulis baginya pahala seperti ini. Seperti jika dia keluar untuk berangkat ke tokonya. Ketika adzan terdengar, dia pergi shalat. Dalam hal ini, dia tidak memperoleh pahala keluar menuju masjid untuk shalat, kerana pahala ini hanya diperoleh bagi orang yang keluar rumah hanya untuk shalat. Tetapi, mungkin saja ditulis baginya pahala ketika berangkat dari tokonya atau tempat bekerja menuju ke masjid, selama dalam keadaan suci.

Hadits 11.
وَعَنْ أَبِيْ الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَِّلِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فِيْمَا يَرْوِي عَنْ رَبِّهِ، تَبَارَكَ وَتَعَالَى قَالَ: « إِنَّ اللهَ كَتَبَ الْحَسَنَاتِ وَالسَّيِّئَاتِ ثُمَّ بَيَّنَ ذَلِكَ: فَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ لَهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هَمَّ بهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمَائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَهٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ حَسَنَةً كَامِلَةً، وَإِنْ هُوَ هَمَّ بِهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abul 'Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu anhuma bahwasanya, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang meriwayatkan dari Rabb-nya Tabaraka wa Ta'ala -Hadits ini disebut Hadits Qudsi- baginda bersabda,

Sesungguhnya Allah Ta'ala menulis setiap kebaikan dan kejelekan.” Kemudian baginda menjelaskan, “Barangsiapa berniat melakukan sebuah kebaikan namun dia tidak melaksanakannya, maka Allah Ta'ala telah menulis satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, tetapi apabila dia melaksanakannya, maka Allah akan menulis sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat kebaikan, atau dilipatgandakan lebih dari itu. Dan, barangsiapa yang berniat melakukan kejahatan namun dia tidak melakukannya, maka Allah menulis satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, tetapi apabila perbuatan itu jadi dia lakukan, maka Allah menulis untuknya satu dosa kejahatan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6291. Muslim no. 131]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sesungguhnya Allah Ta'ala menulis setiap kebaikan dan kejelekan.

Penulisan tersebut meliputi dua makna:

Pertama, amal tersebut ditulis di Lauh Mahfuzh, Allah Ta'ala menulis segala sesuatu di Lauh Mahfuzh, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya,

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar: 54: 49)

Dan segala (urusan) yang kecil mahu pun yang besar adalah tertulis.” (QS. Al-Qamar: 54: 33)

Allah Ta'ala menulis kebaikan dan keburukan di Lauh Mahfuzh.

Kedua, Allah Ta'ala menulis kebaikan dan kejelekan saat hamba-Nya melakukan amal tersebut. Sesungguhnya Allah Ta'ala menuliskan kebaikan dan keburukan sesuai  dengan kebijaksanaan Allah, keadilan dan keutamaan-Nya.

Inilah dua macam penulisan:

1) Penulisan yang sudah berlalu, yang hanya diketahui oleh Allah Ta'ala, tidak ada seseorang pun yang mengetahui kebaikan dan keburukan yang ditulis Allah Ta'ala hingga keduanya benar-benar terjadi.

2) Penulisan yang baru: yaitu apabila seseorang berbuat sesuatu, dituliskan baginya sesuai dengan kebijaksanaan Allah, keadilan dan kemurahan-Nya.

Disebutkan dalam hadits, Kemudian baginda menjelaskan. Yakni, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa apabila seseorang ingin mengerjakan sebuah kebaikan, tetapi tidak mengerjakannya, Allah Ta'ala menuliskan baginya satu kebaikan penuh. Contohnya seseorang yang ingin berwudhu untuk membaca Al-Qur'an, kemudian dia tidak mengerjakannya, maka ditulis baginya satu kebaikan penuh. Begitu juga seseorang ingin bersedekah dan telah menentukan barang yang akan disedekahkan, tetapi kemudian dia menahannya dan tidak menyedekahkannya, maka ditulis baginya satu kebaikan penuh. Seseorang yang ingin melakukan shalat sunnah dua rakaat kemudian dia tidak mengerjakannya, maka ditulis baginya satu kebaikan penuh.

Apabila ada orang menanyakan bagaimana mungkin ditulis baginya satu kebaikan, sedangkan dia tidak mengerjakannya?”

Maka jawabnya, sesungguhnya kemurahan Allah Ta'ala sangat luas. Niat yang terbesit dalam hati seseorang dicatat sebagai satu kebaikan, kerana hati mempunyai keinginan, kadang baik dan kadang buruk. Apabila dia ingin melakukan kebaikan ditulis untuknya satu kebaikan, apabila dia mengerjakannya, Allah Ta'ala menulis kebaikan untuknya sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan lebih banyak lagi.

Perbedaan besar dan kecilnya balasan pahala ini didasarkan kepada kualitas keikhlasan dan mutaba'ah (mengikuti sunnah Rasulullah) dalam melakukan sesuatu amal ibadah.

Semakin benar ittiba' (mengikuti sunnah Rasulullah) ketika melakukan ibadah, maka semakin sempurna ibadah yang dia lakukan dan semakin besar pahalanya.

Sementara dalam masalah keburukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa yang berniat melakukan keburukan namun dia tidak melakukannya, maka Allah menulis satu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya.

Seperti seseorang yang ingin mencuri, tetapi dia mengingat Allah Ta'ala, sehingga dia menjadi takut kepada-Nya, kemudian tidak jadi mencuri, maka ditulis baginya satu kebaikan, kerana dia meninggalkan maksiat kerana Allah Ta'ala. Oleh kerananya, dia diberi pahala. Sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain:

Kerana dia meninggalkannya semata-mata kerana Aku.

[Shahih Al-Bukhari no. 7501. Muslim no. 129]

Apabila dia jadi melakukan keburukan, maka ditulis baginya satu keburukan saja, tidak lebih. 

Allah Ta'ala berfirman,

Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).” 
(QS. Al-An'âm: 6 :160)

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa niat seseorang sangat diperhitungkan. Niat bisa menghantarkan seseorang menuju kebaikan. 

Telah dijelaskan sebelumnya, jika seseorang niat melakukan kejahatan dan melakukan tindakan yang menghantarnya kepada kejahatan itu, akan tetapi dia tidak mampu untuk melakukannya, maka ditulis baginya dosa orang melakukannya. Seperti dua orang muslim yang hendak saling membunuh. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits sebelumnya, Apabila dua orang muslim bertemu dengan membawa pedangnya, maka orang yang membunuh dan terbunuh masuk neraka. 

Aku berkata, Wahai Rasulullah, orang yang membunuh sudah pasti berada di neraka tetapi mengapa orang yang terbunuh juga masuk ke neraka?

Lalu baginda menjawab, Kerana dia sangat berusaha untuk membunuh temannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6875. Muslim no. 2888]

Hadits 12.
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ الله بْنِ عُمَرَ بْنِ الْخطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « انْطَلَقَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حَتَّى أَوَاهُمُ الْمَبِيتُ إِلَى غَارٍ فَدَخَلُوهُ، فَانْحَدَرَتْ صَخْرةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَسَدَّتْ عَلَيْهِمْ الْغَارَ، فَقَالُوا: إِنَّهُ لَا يُنْجِيكُمْ مِنَ هَذِهِ الصَّخْرَةِ إِلاَّ أَنْ تَدْعُوَا اللهَ بِصَالِحِ أَعْمَالِكُمْ.
فَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ: اَللَّهُمَّ كَانَ لِى أَبَوَانِ شَيْخَانِ كَبِيرَانِ وَكُنْتُ لَا أَغْبِقُ قَبْلَهُمَا أَهْلًا وَلَا مَالًا، فَنَأَى بِي طَلَبُ الشَّجَرِ يَوْمًا فَلَمْ أُرِحْ عَلَيْهِمَا حَتَّى نَامَا، فَحَلَبْتُ لَهُمَا غَبُو قَهُمَا فَوَجَدْتُهُمَا نَائِميْنِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُوْقِظَهُمَا وَأَنْ أَغْبِقَ قَبْلَهُمَا أَهْلًا أَوْ مَالًا، فَلَبِثْتُ وَالْقَدَحُ عَلَى يَدِىَّ أَنْتَظِرُ اسْتِيقَاظَهُمَا حَتَّى بَرَقَ الْفَجْرُ وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ قَدَمَىَّ فَاسْتَيْقظَا فَشَربَا غَبُوقَهُمَا. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَفَرِّجْ عَنَّامَا نَحْنُ فِيهِ مِنْ هَذِهِ الصَّخْرَةِ، فَانْفَرَجَتْ شَيْئًا لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهُ. وَفَالَ الْآ خَرُ: اَللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَتْ لِيَ  بْنَةُ عَمٍّ كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيَّ » وَفِي رَوَايَةٍ: « كُنْتُ أُحِبُّهَا كَأَشدِّ مَا يُحِبُّ الرِّجَالُ النِّسَاءِ، فَأَرَدْتُهَا عَلَى نَفْسِهَا فَامْتَنَعَتْ مِنِّى حَتَّى أَلَمَّتْ بِهَا سَنَةٌ مِنَ السِّنِينَ فَجَاءَتْنِى فَأَعْطَيْتُهَِا عشْرِينَ وَمِائَةَ دِينَارٍ عَلَى أَنْ تُخَلِّىَ بَيْنِى وَبَيْنَ نَفْسِهَا ففَعَلَتْ، حَتَّى إِذَا قَدَرْتُ عَلَيْهَا » وَفِي رِوَايَةٍ: « فَلَمَّا قَعَدْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا، قَالَتْ: اتَّقِ اللهَ وَلَا تَفُضَّ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ، فَانْصَرَفْتُ عَنْهَا وَهِىَ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيَّ وَتَرَكْتُ الذَّهَبَ الَّذِي أَعْطَيْتُهَا، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتُ فَعْلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ، فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ غَيْرَ أَنَّهُمْ لَا يَسْتَطِيعُونَ الْخُرُوجَ مِنْهَا. وَقَالَ التَّالِتُ: اَللَّهُمَّ إِنِّي اسْتَأْجَرْتُ أُجَرَءَ فَأَعْطَيْتُهُمْ أَجْرَ هُمْ غَيْرَ رَجُلٍ وَاحِدٍ تَرَكَ الَّذِي لَهُ وَذَهَبَ فَثَمّرْتُ أَجْرَهُ حَتَى كَثُرَتْ مِنْهُ الْأَمْوَالُ فَجَاءَنِى بَعْدَ حِينٍ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللهِ أَدِّ إِلَيَّ أَجْرِي، فَقُلْتُ: كَلُّ مَا تَرَى مِنْ أَجْرِكَ: مِنَ الْإِ بِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالرَّقِيقِ فَقَالَ: بَا عَيْدَ اللهِ لَا تَسْتَهْزِىُٔ بِي، فَقُلْتُ: لَا أَسْتَهْزِىُٔ بِكَ، فَأَخَذَهُ كُلَّهُ فَاسْتَاقَهُ فَلَمْ يَتْرُكْ مِنْهُ شَيْئًا، اَللَّهُمَّ فَإِنْ كُنْتُ فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا نَحْنُ فِيهِ، فَانْفَرَجَتْ الصَّخْرَةُ فَخَرَجُوا يَمْشُونَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Abdirrahman, Abdullah bin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, dia mengatakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dahulu, ada tiga orang yang hidup sebelum kalian. Suatu ketika mereka melakukan perjalanan hingga mereka mendapati gua yang dapat digunakan untuk menginap. Mereka pun memasuki gua tersebut.

Tiba-tiba ada sebuah batu besar dari atas bukit menggelinding dan menutupi pintu gua sehingga mereka tidak bisa keluar.

Salah seorang daripada mereka berkata, “Sungguh tidak ada yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali bila kita berdoa kepada Allah dengan menyebutkan amal-amal shalih yang pernah kita lakukan.”

Kemudian salah seorang di antara mereka berdoa, “Ya Allah, aku mempunyai orang tua yang sudah renta (udzur). Kebiasaanku adalah mendahulukan memberi minum susu kepada keduanya, sebelum aku memberikan minuman itu kepada anak, istri dan budakku (hamba sahaya). Suatu hari, aku terlambat pulang kerana mencari pohon (kayu), namun keduanya sudah tidur dan aku enggan untuk membangunkannya, tetapi aku terus memerah susu untuk persediaan minum keduanya. Walaupun demikian, aku tidak memberikan susu itu kepada keluarga mahupun kepada budakku sebelum kedua orang tuaku meminumnya. Dan aku menunggunya sehingga terbit fajar. Ketika keduanya bangun, aku berikan susu itu untuk diminum, padahal semalaman anakku menangis terisak-isak minta susu sambil memegang kakiku. Ya Allah, jika aku berbuat itu kerana mengharapkan ridha-Mu, geserkanlah batu yang menutupi gua ini.” Seketika bergeserlah sedikit batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu.

Orang kedua memanjatkan doanya, “Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai saudara sepupu yang sangat aku cintai.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku sangat mencintainya sebagaimana orang laki-laki mencintai seorang perempuan, aku ingin berbuat zina dengannya, tetapi dia menolaknya. Beberapa tahun kemudian, dia tertimpa kesulitan. Dia datang untuk meminta bantuanku, dan aku berikan kepadanya seratus dua puluh dinar dengan syarat menyerahkan dirinya bila-bila saja aku menginginkan (zina).”

Pada riwayat lain disebutkan, “Ketika aku berada di antara kedua kakinya, dia berkata, “Takutlah kamu kepada Allah. Janganlah kamu patahkan cincin (maksud jangan menyetubuhiku) kecuali dengan jalan yang benar (perkahwinan yang sah).” Mendengar yang demikian, aku meninggalkannya dan merelakan emas yang aku berikan, padahal dia orang yang sangat aku cintai. Ya Allah, jika perbuatan itu kerana mengharapkan ridha-Mu, geserkanlah batu yang menutupi gua ini.” Kemudian bergeserlah batu itu, tetapi mereka belum bisa keluar dari gua itu.

Orang yang ketiga memanjatkan doanya, “Ya Allah, aku mengambil pekerja dan mereka semuanya telah aku berikan upahnya masing-masing, kecuali ada seorang yang tidak mengambil upahnya dan dia meninggalkanku. Kemudian upahnya itu aku kembangkan hingga menjadi banyak. Selang beberapa tahun dia datang menemuiku seraya berkata, “Wahai hamba Allah, berikan upahku.” Aku berkata, “Semua yang kamu lihat, baik unta, sapi, kambing mahupun budak yang mengembalakannya semuanya adalah gajimu.” Dia berkata, “Wahai hamba Allah, janganlah kamu mempermainkanku.” Aku menjawab, ok“Aku tidak mempermainkanmu.” Kemudian dia pun mengambil semuanya dan tidak meninggalkannya sedikit pun. Ya Allah, jika perbuatan itu kerana mengharapkan ridha-Mu, singkirkanlah batu yang menutupi pintu gua ini.” Kemudian bergeserlah batu itu dan mereka pun bisa keluar meninggalkan gua itu dan melanjutkan perjalanan mereka.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2272. Muslim no. 2743]

Penjelasan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada tiga orang sedang berpergian.”  Yakni tiga orang laki-laki.

Kemudian mereka menemukan sebuah gua yang dapat digunakan untuk berteduh.  Yakni untuk bermalam di dalamnya.

Gua adalah sebuah rongga yang ada di gunung yang dapat dimasuki manusia untuk tidur di dalamnya atau berteduh dari kepanasan matahari dan sebagainya. Mereka masuk ke dalam gua itu kerana ingin bermalam di dalamnya, namun tiba-tiba ada batu besar yang terjatuh dari gunung sehingga menutupi pintu gua itu dan mereka tidak bisa menggesernya kerana ukuran batu itu yang sangat besar. Lalu mereka berfikir untuk mencari jalan keluar dengan bertawasul kepada Allah dengan amal shalih mereka.

Orang pertama di antara mereka menjelaskan kebaktiannya kepada kedua orang tuanya yang sempurna, orang kedua menceritakan tentang kesuciannya yang sempurna, dan orang ketiga menceritakan tentang kewara'an dan ketulusannya.

Orang pertama berkata bahwa dia mempunyai dua orangtua yang sudah renta. “Kebiasaanku adalah mendahulukan mereka berdua minum susu sebelum keluarga mahupun budakku.” Keluarga itu seperti istri dan anak, sedangkan budak adalah hamba sahaya atau sejenisnya 

Dia mempunyai seekor kambing yang digembalakannya di pagi hari dan pulang di waktu petang, memerah susu kambing itu dan memberikannya kepada kedua orangtuanya yang sudah renta (udzur) itu, kemudian sisanya diberikan kepada keluarga dan budaknya.

Dia berkata, Suatu hari, aku terlambat pulang kerana mencari pohon.” Atau aku mencari pohon yang jauh untuk aku gunakan sebagai tempat pengembalaan. Ketika dia pulang, kedua orangtuanya sudah tidur. Dia pertimbangkan apakah memberikan susu itu kepada keluarga dan budaknya sebelum kedua orangtuanya ataukah menunggu mereka berdua bangun tidur. Maka dia memilih alternatif kedua, yaitu menunggu kedua orangtuanya bangun. Lalu dia memegang susu itu, maka ketika kedua orangtuanya bangun dan meminum susu itu, barulah dia memberikan sisanya kepada keluarga dan budaknya.

Dia berkata, Ya Allah, jika aku berbuat itu kerana mengharapkan ridha-Mu, maka geserkanlah batu yang menutupi gua ini. Yakni, jika aku mengerjakan amal ini kerana ikhlas untuk mengharapkan ridha-Mu, maka geserlah batu yang menutupi gua ini.

Dalam hadits ini terdapat dalil tentang pentingnya niat ikhlas kerana Allah dalam beramal. Keikhlasan mempunyai peranan penting dalam diterimanya amal dan Allah menerima wasilahnya sehingga batu itu bergeser, tetapi baru sedikit dan mereka belum bisa keluar darinya.

Orang kedua bertawasul kepada Allah dengan kesucian dirinya; yaitu dia mempunyai seorang sepupu perempuan yang sangat dicintainya, seperti halnya seorang laki-laki yang mencintai perempuan, lalu dia menginginkan dirinya atau ingin berzina dengannya. Tetapi, perempuan itu tidak bersetuju dan selalu menolak. Setelah beberapa tahun, sepupunya itu menderita kemiskinan dan memerlukan harta, terpaksa dia merelakan dirinya untuk berbuat zina kerana terpaksa dan ini tidak boleh dilakukan. Tapi, begitulah yang terjadi, maka perempuan itu pun datang kepada lelaki itu dan diberi seratus dua puluh dinar dengan syarat dia mahu ditiduri. 

Perempuan itu pun setuju ditiduri kerana kebutuhan yang mendesak. Ketika hampir saja melakukan hubungan layaknya suami istri, tiba-tiba perempuan itu berkata kepadanya dengan satu kalimat yang menakjubkan, Takutlah kamu kepada Allah dan janganlah patahkan cincin (maksud jangan menyetubuhiku) melainkan dengan jalan yang benar (perkahwinan yang sah).

Perempuan itu menjadikan lelaki tersebut takut kepada Allah dan menyarankan kepadanya bahwa jika dia menginginkan hubungan ini secara benar, maka tidak ada halangan baginya. Tetapi, hubungan yang dilakukannya itu tidak benar, sehingga perempuan itu menolaknya. Menurut perempuan itu, perbuatan tersebut adalah perbuatan maksiat. Oleh kerana itu, dia berkata, Takutlah engkau kepada Allah.

Ketika perempuan tadi berkata kalimat seperti itu, yang keluar dari lubuk hatinya, masuklah kata-kata itu ke dalam lubuk hatinya (lelaki itu) lalu ia pergi meninggalkannya, padahal perempuan itu adalah perempuan yang paling dicintainya, yakni bahwa dia masih mencintainya, tidak membencinya, dan rasa cinta itu masih tetap tersimpan di dalam hatinya. 

Tetapi rasa takut kepada Allah lebih besar sehingga dia meninggalkannya, dan meninggalkan untuknya emas senilai seratus dua puluh dinar. Kemudian dia berkata, Ya Allah, jika perbuatan itu kerana mengharapkan ridha-Mu, geserkanlah batu yang menutupi gua ini.” Kemudian bergeserlah batu besar itu, tapi mereka belum bisa keluar lagi dari gua itu.

Ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah, kerana Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, jika Allah berkehendak, tentulah batu itu sudah bergeser sejak awal. Akan tetapi, Allah menginginkan agar batu itu tetap menutupi gua itu hingga setiap orang di antara mereka berdoa dan bertawasul dengan amal shalih mereka.

Sedangkan orang ketiga bertawasul kepada Allah dengan amanah, kebaikan, dan keikhlasannya dalam beramal. Dia menjelaskan bahwa dia mempunyai banyak pekerja -untuk bekerja di tempatnya- dan dia selalu memberikan upah kepada mereka tepat waktu, kecuali seorang pekerja yang tidak mahu mengambil upahnya. Lalu majikan itu mengelola upah pekerja yang tidak diambil itu untuk berjual beli sebagainya, sehingga berkembang dan bertambah banyak haiwan ternakannya dan budak.

Pekerja itu berkata, Wahai hamba Allah, janganlah engkau mempermainkan aku.

Orang ketiga itu berkata, Semua yang kamu lihat, baik unta, sapi kambing mahupun budak mengembalakannya, semua adalah gajimu.

Kemudian orang itu pun mengambil semuanya dan tidak meninggalkannya sedikit pun. Dia berkata, Ya Allah, jika perbuatan itu kerana mengharapkan ridha-Mu, singkirkanlah batu yang menutupi pintu gua ini.” Kemudian bergeserlah batu itu dan mereka pun bisa keluar meninggalkan gua itu dan melanjutkan perjalanan mereka. Kerana mereka bertawasul kepada Allah dengan amal shalih yang mereka lakukan ikhlas semata-mata kerana Allah.

Penjelasan Faedah Dan Pelajaran Yang Dapat Dipetik Dari Hadits Ini.

Pertama, kemuliaan berbakti kepada orangtua merupakan salah satu amal shalih, yang dengannya, Allah mengampunkan dosa-dosa besar dan menghilangkan dosa kezhaliman.

Kedua, kemuliaan menahan diri dari melakukan zina. Jika seseorang mampu menahan diri dari zina, padahal dia bisa melakukannya, maka hal itu termasuk amal yang mulia.

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang mampu menahan diri dari zina termasuk salah satu dari tujuh orang yang akan mendapat naungan Allah pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mampu menahan diri dari melakukan zina termasuk dari tujuh orang yang dapat naungan Allah pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, “Sesungguhnya aku benar-benar takut kepada Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1423. 660. Muslim no. 1031]

Orang kedua ini memiliki kesempatan yang besar untuk berzina dengan perempuan yang dicintainya itu, tetapi kerana rasa takutnya kepada Allah, dia meninggalkan perempuan tersebut. Dengan demikian, dia mempunyai kesucian yang sempurna dan dia berharap menjadi salah seorang yang mendapatkan naungan Allah pada saat tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya.

Ketiga, hadits ini menjadi dalil tentang keutamaan menyampaikan amanah dan menjalankan amal untuk orang lain. Orang ketiga itu, walaupun memungkinkan untuk memberikan upah kepada pekerjanya itu apa adanya, sehingga hasil pengembangan harta itu tetap menjadi miliknya, tetapi kerana amanahnya, kejujurannya dan keikhlasan untuk saudaranya, maka dia pun memberikan seluruh upah yang telah dikembangkannya.

Keempat, hadits ini menjelaskan tentang kekuasaan Allah kerana Dia telah memindahkan batu besar itu dari mereka dengan izin-Nya, bukan dipindahkan oleh seorang pelancong atau orang lain yang memindahkannya, tetapi batu besar itu bergeser atas perintah Allah.

Allah menyuruh batu besar itu agar menggelinding dan menutupi mereka, kemudian menyuruhnya agar bergeser dari mereka kerana Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Kelima, Allah Maha Mendengar doa hamba-Nya. Dan Allah mendengar doa ketika orang itu berdoa seraya mengabulkannya.

Keenam, keikhlasan termasuk salah satu sebab yang dapat menghilangkan kesusahan. Kerana itu, setiap orang di antara mereka berkata, Ya Allah, jika aku melakukan ini untuk mengharapkan ridha-Mu, geserkanlah batu yang menutupi pintu gua ini.

Sedangkan riya' dan orang-orang melakukan amal perbuatan kerana riya' dan mencari harga diri (sum'ah), sehingga dia dipuji oleh manusia, tindakannya ini seperti buih yang akan hilang sia-sia, tidak bermanfaat bagi orang melakukannya, kita berdoa semoga Allah melimpahkan rezeki kepada kita, berupa keikhlasan semata-mata kerana Allah.

Ikhlas dalam segala-galanya. Jangan kamu persembahkan ibadahmu kepada seseorang, persembahkan semuanya semata-mata untuk Allah Ta'ala sehingga diterima di sisi-Nya, kerana dijelaskan dalam hadits Qudsi,

Aku paling tidak butuh segala persekutuan, barangsiapa yang melakukan sebuah amal perbuatan yang mengandung persekutuan kepada-Ku dengan selain Aku, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.”

[Shahih Muslim no. 2985]

1 comment:

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...