Tuesday, March 26, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 3. Sabar.


Allah ﷻ berfirman:
۞يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا۞
Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 200)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنْفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ۞
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit perasaan takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 2: 155)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ۞
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 39: 10)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَٰلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ۞
Tetapi orang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.”
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 43)

Allah ﷻ berfirman:
۞اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ۞
Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 153)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّىٰ نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ۞
Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu.”
(QS. Muhammad: 47: 31)

Ayat mengenai perintah untuk bersabar dan penjelasan tentang keutamaannya cukup banyak dan sudah diketahui.

Penjelasan.

Sabar secara bahasa (etimologi) berarti menahan, sementara, secara istilah (terminologi) sabar berarti menahan diri dari tiga hal:

Pertama, sabar dalam ketaatan kepada Allah. 

Kedua, sabar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Ketiga, sabar terhadap takdir Allah yang tidak menyenangkan.

Itulah macam-macam sabar yang disebutkan oleh ulama.

Mengenal Jenis-Jenis Sabar.

1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah.

Hendaknya manusia sabar dalam ketaatan kepada Allah, kerana ketaatan itu berat dirasakan hati dan sulit dijalankan oleh manusia. Kadang terasa berat secara fisik, kerana dalam menjalani ketaatan, manusia bisa letih dan lelah. Terkadang juga di dalam ketaatan terdapat rasa berat secara finansial, kerana kadang ketaatan memerlukan harta seperti zakat dan haji.

Kesimpulannya bahwa dalam ketaatan itu terdapat kesulitan yang dirasakan hati dan badan, maka dibutuhkan kesabaran. 

Allah Ta'ala berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu.
(QS. Âli 'Imrân: 3: 200)

2. Sabar dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah.

Manusia dalam hal ini harus menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Kerana nafsu amarah senantiasa mengajak kita untuk melakukan hal yang buruk, maka hendaklah manusia sabar menahan nafsunya. Seperti dusta dan curang dalam muamalah, memakan harta dengan cara yang batil seperti riba, berzina, mencuri dan dosa besar lainnya yang serupa.

Hendaklah manusia menahan diri dari hal-hal tersebut, jangan sampai melakukannya. Ini perlu kerja keras dan juga perlu menahan hawa nafsu.

3. Sabar terhadap takdir Allah.

Hendaknya manusia sabar terhadap takdir Allah yang tidak menyenangkan, kerana takdir Allah atas makhluk-Nya ada yang menyenangkan (sesuai dengan apa yang diharapkan), ada juga yang tidak menyenangkan.

Takdir yang sesuai dengan selera perlu disyukuri. Syukur merupakan ketaatan dan sabar dalam ketaatan adalah jenis sabar yang pertama.

Sedang takdir yang tidak menyenangkan yakni tidak sesuai dengan apa yang diinginkan manusia, seperti ujian yang menimpa diri, harta, keluarga dan masyarakatnya.

Kesimpulannya bahwa ujian itu banyak macamnya dan perlu dihadapi dengan kesabaran. Hendaknya manusia menahan nafsunya dari menampakkan kekecewaan terhadap takdir Allah, baik dengan lisan, hati ataupun anggota badan lainnya.

Reaksi manusia saat ditimpa musibah ada empat sikap: marah, sabar, sedih, ridha dan bersyukur. Keempat itulah yang akan dilakukan manusia tatkala dia ditimpa musibah.

a) Marah; dengan lisan, hati, ataupun dengan anggota badan lainnya.

Marah dengan hatinya, yakni dengan menyimpan perasaan kesal dan buruk sangka terhadap Allah -naudzubillahi- atau hal lainnya yang serupa dengan itu. Dia merasa seakan-akan Allah menzhalimi dirinya dengan musibah itu.

Sedang marah dengan lisan adalah seperti mencaci-memaki dan melaknat atau hal yang serupa. 

Marah dengan anggota badan lain seperti menampar muka, membenturkan kepala, menjenggut rambut dan merobek pakaiannya atau hal yang serupa. Inilah sikap marah, sikap yang serba rugi, terhalang dari pahala dan tidak selamat dari musibah. Bahkan, dia berdosa. Hingga dia mendapat dua musibah, musibah dalam agama, yaitu kerana sikap marahnya terhadap takdir dan musibah duniawi, yakni berupa musibah menyakitkan yang menimpa dirinya.

b) Sabar terhadap musibah dengan menahan diri.

Dia benci dan tidak suka jika musibah itu terjadi, tetapi dia menahan diri. Tidak mengucapkan perkataan yang membuat Allah murka, tidak melakukan sesuatu yang dapat membuat Allah murka, dan tidak ada di dalam hatinya buruk sangka terhadap Allah. Dia harus sabar, walau dia tidak suka terhadap hal itu.

c) Ridha.

Yakni berlapang hati terhadap musibah yang menimpanya dan ridha dengan sepenuh hati, seakan-akan tidak terjadi apa-apa terhadap dirinya.

d) Bersyukur kepada Allah atas suatu musibah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat sesuatu yang tidak disukai, baginda mengucapkan, “Alhamdulillah 'alaa kulli haal.” (segala puji bagi Allah dalam segala keadaan).

Bersyukur kepada Allah kerana Allah akan memberinya ganjaran atas musibah ini dengan ganjaran yang lebih banyak dari musibah yang menimpanya.

Oleh kerana itu, dikisahkan mengenai beberapa wanita ahli ibadah, bahwa pernah suatu ketika jarinya terluka lalu dia memuji Allah atas hal itu. Lalu orang-orang bertanya bagaimana kamu memuji Allah sedang jarimu terluka?! Dia menjawab, “Manisnya pahala atas musibah ini melupakan aku akan pahitnya sabar terhadap musibah ini.”

Imam An-Nawawi rahimahullah dalam rangka menganjurkan orang untuk bersabar dan memuji orang yang melakukannya menyebutkan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 200)

Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang mukmin sebagai tuntutan keimanannya untuk melakukan tiga atau bahkan empat hal ini:

Bersabarlah, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah.

sabar terhadap musibah, menguatkan kesabaran dalam taat kepada Allah. Bersiap siaga merupakan kebaikan yang banyak dan ketakwaan mencakup semuanya. Bersabarlah untuk tidak melakukan apa yang diharamkan Allah! Jangan kamu lakukan perkata yang diharamkan Allah, dan jauhilah!

Disebut sabar untuk tidak melakukan maksiat, jika nafsunya mempunyai keinginan untuk melakukannya. Adapun orang yang tidak terlintas dalam fikirannya untuk berbuat maksiat tidak bisa dikatakan bahwa dia bersabar dari maksiat. Akan tetapi, jika hatimu mengajak kamu untuk melakukan maksiat, maka bersabarlah dan tahan nafsumu.

Adapun menguatkan kesabaran maksudnya sabar dalam menjalankan ketaatan, kerana ada dua hal:

Pertama, perbuatan yang terasa berat bagi seseorang untuk melakukannya, dan dia memaksakan diri untuk itu.

Kedua, berat dirasakan oleh hati. Kerana melakukan ketaatan seperti meninggalkan maksiat, berat dirasakan oleh nafsu amarah.

Oleh kerana itu, sabar dalam melakukan ketaatan lebih utama daripada sabar terhadap musibah. Maka dari itu, Allah Ta'ala berfirman, “Dan kuatkanlah kesabaranmu,” seperti layaknya seseorang yang sabar menghadapi musuh saat berperang dan berjihad.

Adapun yang dimaksud bersikap siaga (bersiap sedia), di sini adalah banyak dan kontinyu melakukan kebaikan. Maka dari itu, hal ini dijelaskan dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

“Menyempurnakan wudhu pada keadaan yang dibenci atau berat (seperti pada keadaan yang sangat dingin), banyak langkah menuju ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah shalat. Maka itulah ribath, itulah ribath.” (Ribath adalah amalan berjaga di daerah perbatasan antara daerah kaum muslimin dengan daerah musuh. Maksudnya, pahalanya disamakan dengan pahala orang yang melakukan ribath, edt.)

Kerana di dalamnya terdapat banyak kebaikan dan biasanya dilakukan secara berkesinambungan.

Sementara ketakwaan, mencakup seluruhnya. Kerana takwa, pada hakikatnya, mengupayakan sesuatu yang dapat melindungi diri dari siksa Allah dan hal itu terlaksana dengan menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa melaksanakan empat perintah ini merupakan sarana kesuksesan. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Supaya kamu beruntung.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 200)

Kata sukses merupakan ungkapan yang bersifat umum, mencakup dua hal yaitu memperoleh yang diinginkan dan terhindar dari yang ditakutkan. Barangsiapa yang takut kepada Allah Ta'ala, dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan dan selamat dari apa yang dia takutkan.

Mengenai ayat yang kedua:

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 155)

Di dalam ayat ini terdapat sumpah dari Allah, bahwa Allah akan menguji manusia dengan hal-hal tersebut.

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu,” yakni Kami akan menguji kamu.

“Dengan sedikit ketakutan,” tidak dengan ketakutan yang menyeluruh, tetapi hanya dengan sedikit rasa takut. Kerana rasa takut yang menyeluruh dapat menghancurkan dan mematikan, tetapi hanya dengan sedikit rasa takut.

“Ketakutan” adalah kehilangan rasa aman, ini lebih dahsyat dari rasa lapar. Maka dari itu, Allah menyebutkannya sebelum lapar. Orang yang lapar bisa pergi mencari sesuatu yang dapat dimakannya walaupun daun pohon.

Berbeda dengan orang yang takut. Dia tidak akan tenang berada di rumahnya dan tidak juga di pasar. Dan hal yang penting kita takuti adalah dosa-dosa kita. Kerana dosa merupakan penyebab kehancuran dan penyebab siksa dunia dan akhirat.

“Dan kelaparan.” Yakni akan diuji dengan kelaparan.

Lapar mengandung dua makna:

1. Allah menimpakan kepada hamba-Nya wabah lapar, di mana orang makan tapi tidak pernah merasa kenyang. Kejadian ini terjadi pada sebagian orang. Bahkan, pernah terjadi di negeri ini pada tahun yang dikenal dengan kelaparan. Orang-orang menyantap makanan dalam jumlah yang banyak, tetapi tidak merasa kenyang. Naudzubillah.

Kami pernah diceritakan bahwa orang-orang makan kurma dalam jumlah yang banyak, namun tidak kenyang. Dan juga makan roti cukup banyak, tetapi juga tidak kenyang kerana penyakit.

2. Musim kering berkepanjangan, di mana binatang ternak tidak mengeluarkan susu, dan pepohonan tidak tumbuh. Ini juga masuk dalam kategori lapar.

Firman-Nya, “Kekurangan harta.” Yakni lemah ekonomi, di mana umat tertimpa kekurangan dan kemiskinan, pertumbuhan ekonominya terlambat, pemerintah menanggung banyak utang dikeranakan satu sebab yang Allah takdirkan sebagai ujian dan bala atas mereka.

Dan firman-Nya, “Jiwa.” Yakni kematian, di mana masyarakat tertimpa wabah mematikan. Musibah ini sering terjadi.

Siceritakan kepada kami bahwa dahulu pernah terjadi di Saudi Arabia sebuah peristiwa, yaitu merajalelanya sebuah wabah penyakit. Tahun itu dikenal dengan tahun rahmah!! Jika wabah tersebut masuk ke dalam rumah, maka penghuninya tidak akan tersisa; semuanya akan binasa.

Wabah tersebut masuk ke dalam rumah yang dihuni sepuluh orang atau lebih, satu tertimpa dan langsung meninggal, besoknya lagi orang yang kedua, ketiga dan keempat hingga yang terakhir ikut meninggal.

Diceritakan pula bahwa di masjid (masjid Al-Jami' Al-Kabir di Unaizah) dahulu orang-orang masih sedikit belum seperti keadaan saat ini, dalam satu kali shalat fardhu, ada tujuh sampai delapan jenazah yang dibawa ke masjid ini.

Dan firman-Nya, “Dan buah-buahan.” Yakni tidak ada lapar, tetapi buah-buahan sangat sedikit, keberkahannya dicabut dari perkebunan, pohon-pohon kurma dan pepohonan lainnya.

Allah Ta'ala menguji manusia dengan hal-hal ini agar mereka merasakan akibat perbuatan mereka supaya mereka bertaubat. Dan manusia menerima ujian ini dengan sikap berbeda-beda. Ada yang marah, sabar, ridha, dan bersyukur, sebagaimana yang telah kami sebutkan sebelumnya.

Firman-Nya:

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 39: 10)

“Orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan.” Yakni orang-orang yang bersabar akan diberikan “pahala” yakni balasan.

Dan firman-Nya, “Tanpa batas.” Kecuali amal shalih dilipatgandakan; satu kebaikan bisa mendapat sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat. Bahkan, bisa lebih banyak.

Sementara pelipatgandaan sabar tidak terhingga. Ini datang dari sisi Allah Ta'ala. Hal ini menunjukkan bahwa pahala sabar sangati besar dan manusia tidak mungkin bisa membayangkannya, kerana tidak bisa dinominalkan dengan angka.

Namun hal tersebut sudah diketahui di sisi Allah tanpa ada batasannya. Tidak bisa dikatakan, misalnya, satu kebaikan sepuluh kali lipat sampai tujuh ratus kali lipat, namun dia akan dicukupkan dengan pahala yang tanpa batas. Ini jelas-jelas merupakan targhib (motivasi) untuk bersikap sabar.

Dan firman-Nya:

“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal ya g diutamakan.” 
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 43)

Yakni, orang yang sabar terhadap gangguan orang lain dan memaafkan kesalahan mereka. Ini termasuk hal-hal yang diutamakan. Yaitu, hal yang sangat berat dan butuh adanya kesabaran ekstra. Apalagi jika gangguan itu terjadi dikeranakan berjihad di jalan Alllah dan dikeranakan ketaatan kepada-Nya. Sebab, gangguan orang terhadap kamu ada bermacam-macam bentuk. Apabila penyebabnya adalah kerana ketaatan kepada Allah Ta'ala, berjihad di jalan-Nya dan amar makruf nahi mungkar, maka akan mendapat pahala dari dua sisi:

1. Dari penganiayaan yang diterimanya.

2. Dari kesabarannya terhadap ketaatan kepada Allah.

Dalam ayat ini terdapat anjuran untuk bersabar terhadap gangguan manusia dan memaafkan mereka. Tetapi harus dipahami bahwa memaafkan orang yang telah berbuat jahat kepadamu, bukanlah perbuatan terpuji secara mutlak. Kerana Allah mensyaratkan sikap memaafkan itu harus disertai perbaikan.

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.”
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 40)

Sementara, jika pemberian maaf tidak mendatangkan perbaikan, kamu tidak usah memaafkannya.

Misalnya, jika orang yang berbuat jahat kepadamu adalah orang yang sudah dikenal sebagai orang jahat dan jika kamu maafkan bisa menjadikannya bertambah jahat, maka dalam kondisi seperti ini sebaiknya jangan kamu maafkan dan tuntut hakmu darinya dalam rangka ishlah (perbaikan).

Sedangkan orang yang apabila kamu maafkan tidak akan menimbulkan kerusakan lain, maka sebaiknya kamu memaafkannya. Kerana Allah Ta'ala berfirman: “Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syûra: 42: 40)

Jika pahalamu ditanggung oleh Allah, hal itu lebih baik bagimu daripada kamu meminta ganti dengan mengambil amal perbuatan saudaramu yang baik.

Allah Ta'ala berfirman:

“Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 2: 153)

Allah Ta'ala memerintahkan agar kita meminta tolong untuk menghadapi suatu permasalahan dengan bersabar. Kerana apabila seseorang bersabar dan menanti jalan keluar dari Allah, maka urusan akan terjadi mudah.

Apabila kamu tertimpa musibah yang memerlukan kesabaran, maka bersabarlah. “Dan ketahuilah bahwa kemenangan bersama kesabaran, bersama musibah ada jalan keluar dan bersama kesulitan ada kemudahan.”

[Hadits ini Shahih, sebagaimana Syaikh Al-Albani disebutkan dalam Shahih Al-Jami, no. 6806]

Adapun shalat, maka dapat menolong kamu dalam urusan agama dan dunia. Bahkan, diceritakan mengenai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila menghadapi permasalahan, baginda langsung shalat.”

[Hadits ini Hasan, sebagaimana Syaikh Al-Albani disebutkan dalam Shahih Al-Jami, no. 4703]

Allah Ta'ala menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Jika seseorang meminta tolong dengan shalat untuk menghadapi permasalahannya, maka Allah akan mempermudah urusannya, kerana shalat merupakan penghubung antara seorang hamba dan Rabb-nya. Manusia dalam shalat berdiri di hadapan-Nya, dia bermunajat, berdoa dan mendekatkan diri dengan apa yang dilakukannya saat shalat, maka shalat itu sebagai sarana turunnya pertolongan.

Dan firman-Nya:

“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 2: 153)

Yakni yang dimaksud di sini adalah ma'iyyah (kebersamaan) khusus, kerana ma'iyyatullah (kebersamaan dengan Allah) terbagi menjadi dua bagian:

1. Ma'iyyah yang umum, ini mencakup seluruh makhluk dan inilah yang disebut dalam firman Allah Ta'ala:

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadîd: 57: 4)

“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak melainkan Dia berada bersama mereka di mana pun mereka berada.” (QS. Al-Mujâdilah: 58: 7)

Inilah ma'iyyah umum meliputi seluruh makhluk. Tidak ada satu makhluk pun kecuali Allah bersamanya, mengetahui kekuasaan, kemampuan, pendengaran, penglihatan dan yang lainnya.

2. Adapun ma'iyyah khusus, adalah ma'iyyah yang berdimensi pertolongan dan dukungan. Ini khusus untuk Rasulullah dan para pengikutnya bukan untuk semua orang. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,

“Sunggguh, Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(QS. An-Nahl: 16: 128)

Dan juga firman-Nya: “Dan Allah bersama orang-orang yang sabar,” merupakan ma'iyyah khusus.

Akan tetapi kedua ma'iyyah ini tidak menunjukkan bahwa Allah Ta'ala bersama manusia di tempat-tempat mereka, akan tetapi Dia bersama manusia, walaupun Dia berada di langit di atas 'Arsy-Nya. Hal ini tidak masalah. Bisa jadi sesuatu ada di atas dan selalu bersama kamu.

Orang Arab mengatakan, “Masih saja kami berjalan sementara rembulan bersama kami.” Semua orang tahu bahwa bulan di langit. Mereka juga mengatakan, “Masih saja kami berjalan sementara Suhail bersama kami.” Suhail adalah bintang dan berada di langit.

Bagaimana halnya Sang Pencipta (Allah Ta'ala). Dia di atas segala sesuatu, bersemayam di atas 'Arsy-Nya. Namun, Dia mengetahui segala sesuatu yang ada pada setiap orang. Walaupun kamu sendirian, Allah tetap mengetahui kamu.

Dalam firman-Nya:

“Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 2: 153)

Terdapat dalil bahwa mereka mendapat pertolongan dari sisi Allah dan Allah menolong orang yang sabar dan mendukungnya, hingga sempurnalah kesabarannya itu sebagaimana yang dikehendaki Allah Ta'ala.

Kemudian penulis menyebutkan ayat terakhir yang dipaparkan dalam bab ini yaitu firman-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu.” 
(QS. Muhammad: 47: 31)

Yakni, Allah menguji hamba-Nya dengan mewajibkan jihad atas mereka, agar Allah dapat mengetahui siapa yang sabar dan siapa yang tidak sabar. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman di dalam ayat lain:

“Apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kamu dengan yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi pimpinan kepada mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Dan memasukkan mereka ke dalam surga yang telah diperkenankan-Nya kepada mereka.” 
(QS. Muhammad: 47: 4-6)

Firman Allah, “Agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad.”

Orang yang dangkal ilmunya menduga bahwa berdasarkan ayat ini, Allah tidak mengetahui sesuatu hingga terjadi. Ini tidak benar, kerana Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sebelum hal itu terjadi, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan dibumi?” Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 22: 70)

Barangsiapa berkeyakinan bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu kecuali setelah terjadi, berarti dia telah mendustakan ayat ini dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah Ta'ala mengetahui segala sesuatu sebelum itu terjadi!!

Pengetahuan yang dimaksud dalam ayat “Agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad,” yaitu pengetahuan yang mempunyai konsekuensi pemberi pahala atau siksa. Kerana pengetahuan Allah terhadap sesuatu yang belum terjadi tidak ada konsekuensi apa pun terhadap perbuatan manusia, kerana manusia tidak diberikan ganjaran hingga jelas bagaimana sikapnya. Jika sudah diuji, barulah jelas bahwa dia berhak mendapatkan pahala atau siksa.

Berangkat dari hal tersebut, kita pahami bahwa maksud firman-Nya “Agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad,” adalah pengetahuan yang berkonsekuensi pemberian pahala.

Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud firman-Nya, “Agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad” adalah sampai (perbuatan itu) nampak. Kerana pengetahuan Allah terhadap sesuatu sebelum hal itu terjadi adalah pengetahuan bahwa hal itu akan terjadi, sedangkan pengetahuan-Nya terhadap sesuatu setelah hal itu terjadi, adalah pengetahuan bahwa hal itu sungguh sudah terjadi. Dan kedua pengetahuan ini berbeda.

Akan lebih jelas lagi perbedaannya jika ada orang yang berkata kepadamu, “Saya akan melakukan sesuatu besok.” Saat ini kamu tahu tentang apa yang dia kabarkan.

Jika keesokan harinya dia benar-benar melakukan hal itu, maka kamu punya pengetahuan lain, yakni pengetahuan bahawa sesuatu yang dikabarkan orang itu bahwa dia akan melakukannya, saat ini benar-benar telah dilakukannya. Ini dua sisi dalam memahami tafsiran firman-Nya, “Agar Kami mengetahui.”

Dan firman-Nya, “Orang-orang berjihad,” mereka adalah orang-orang yang mengerahkan segenap kemampuannya untuk meninggikan kalimat Allah. Hal ini mencakup orang yang berjihad dengan ilmunya dan dengan senjata. Keduanya adalah orang yang berjihad di jalan Allah.

Orang yang berjihad dengan ilmunya, dia menuntut ilmu dan mengajarkan serta menyebarkannya di tengah masyarakat, dia menjadikannya sebagai sarana demi menegakkan syariat Allah. Orang itu disebutkan mujahid. Dan orang yang mengangkat senjata untuk memerangi musuh, dia juga mujahid di jalan Allah, apabila maksud dari kedua jihad demi meninggikan kalimat Allah.

Dan firman-Nya, “Dan bersabar.”

Yakni orang-orang yang bersabar terhadap jihad yang dibebankan Allah atas dirinya, dia emban dan dia laksanakan tugas itu dengan baik.

Dan firman-Nya, “Dan agar kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.”

Yakni kami akan uji hingga jelas dan benar-benar nyata bagi Kami, hingga jelas pula ganjaran, pahala atau siksanya.

Tatkala Allah menyebutkan ujian ini, “Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar,” firman ini diarahkan Nabi dan semua orang yang mendengarnya.

Yakni, berikanlah berita gembira wahai Muhammad, wahai orang yang mendengar ayat ini kepada orang-orang yang sabar terhadap ujian ini dan tidak menyikapi ujian ini dengan kemarahan, tetapi dengan kesabaran.

Dan yang lebih sempurna lagi adalah mereka menerimanya dengan ridha, bahkan dengan bersyukur sebagaimana telah dijelaskan dalam tingkatan sabar terhadap takdir Allah yang tidak disukai.

Dan firman-Nya, “Mereka mengucapkan, “Inna lillaahi (Sesungguhnya kami adalah milik Allah),” jika musibah menimpa mereka, mereka mengakui kepemilikan Allah Ta'ala terhadap segala sesuatu. Dan bahwa mereka adalah milik Allah dan Allah bebas melakukan apa saja yang Dia inginkan terhadap milik-Nya. Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada salah seorang putrinya, “Sesungguhnya milik Allah apa yang Dia ambil dan milik-Nya pula apa yang Dia sisakan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6655, 7448 Muslim no. 923]

Kamu adalah milik Rabb Ta'ala, Dia berhak melakukan apa saja yang Dia kehendaki terhadap dirimu sesuai dengan hikmah-Nya.

Kemudian Dia berfirman, “Wa innaa ilaihi raaji' uun (dan kepada-Nya Kami kembali).” Mereka menyadari bahwa mereka akan kembali kepada Allah untuk menerima pembalasan. Jika mereka marah, mereka akan mendapat balasan atas kemarahannya itu. Dan jika mereka sabar sebagaimana halnya orang-orang tersebut, Allah akan memberikan pahala kepada mereka atas kesabaran mereka terhadap musibah itu, lalu Allah Ta'ala memberikan karunia dan pahala kepada orang yang sabar.

Allah Ta'ala berfirman, “Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka,” mereka, yakni orang-orang yang sabar. Kata shalawat dalam ayat ini maksudnya adalah pujian Allah atas mereka di hadapan malaikat.

Dan firman-Nya, “Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk,” yang Allah beri petunjuk saat ditimpa musibah hingga dia tidak marah justru bersabar terhadap apa yang menimpa mereka.

Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa shalawat Allah di dalam ayat tersebut bukan saja berarti rahmat, bahkan lebih dari itu. Siapa pun ulama yang menafsirkan bahwa makna shalawat dari Allah adalah rahmat, makna shalawat dari malaikat berarti doa, sementara jika shalawat dari manusia berarti istighfar, maka sebenarnya tidak ada argumentasi yang kuat. Shalawat bukan hanya rahmat, kerana Allah menggandengkan rahmat dengan shalawat dalam ayat ini. Dan penggandengan dua hal membuktikan bahwa keduanya berbeda.

Ulama sepakat bahwa kamu boleh mengatakan kepada seseorang dari kaum mukminin, “Allahummarham fulaana (Ya Allah rahmatilah Fulan).”

Tapi, mereka berselisih pendapat, apakah boleh memberi shalawat kepadanya atau tidak? Dalam hal ini ada tiga pendapat:

Di antara mereka ada yang membolehkannya secara mutlak, ada juga yang melarangnya secara mutlak, dan ada yang mengatakan boleh jika di barengi dengan Nabi. 

Yang benar adalah boleh jika di barengi dengan Nabi, contohnya, “Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa 'ala ali Muhammad.” Atau jika ada sebab seperti firman Allah:

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 103)

Jika ada penyebabnya dan tidak dijadikan syi'ar, maka hukumnya boleh. Kamu boleh mengatakan, “Allahumma shalli 'ala fulan (Ya Allah berikan shalawat kepada Fulan).” Jika ada seseorang datang kepada kamu seraya mengatakan, “Ambilah zakat saya ini dan bagikan kepada orang-orang miskin.” Maka kamu boleh mengucapkan, “Shalallahu 'alaika,” kamu berdoa agar Allah memberi shalawat kepadanya sebagaimana yang Allah perintahkan kepada-Nya.

Hadits 25.
وَعَنْ أَبِيْ مَالِكٍ الْحَارِثِ بْنِ عَاصِمٍ الأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اَلطُّهُوْرُ شَطْرُ الْإِيمَانِ، وَاْلحَمْدُ اللهِ تَمْلَأُنِ الْمِيْزَانَ وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ تَمْلآنِ أَوْ تَمْلَأُ مَا بَيْنَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ، وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ، وَالْقُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ. كُلُّ النَّاسِ يَغْدُوْ، فَبَائعٌ نَفسَهُ فمُعْتِقُهَا، أَوْ مُوبِقُهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Kesucian (bersuci) adalah sebagian dari iman, ucapan Alhamdulillah dapat memenuhi timbangan, ucapan Subhanallah dan Alhamdulillah keduanya dapat memenuhi semua ruangan yang ada di antara langit dan bumi. Shalat itu adalah cahaya, sedekah itu bukti keimanan, sabar itu adalah pelita, sedangkan Al-Qur'an sebagai hujjah bagimu (pembela bagimu) atau sebagai hujjah atasmu (pencela, bumerang atasmu). Setiap orang pergi pada waktu pagi, lalu dia menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.

[Shahih Muslim no. 223]

Penjelasan.

Telah dibicarakan sebelumnya mengenai ayat-ayat yang dipaparkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah mengenai sabar dan pahalanya serta anjuran untuk melakukan hal itu. Kemudian dia langsung menjelaskan beberapa hadits yang membicarkan hal ini.

Dia menyebutkan hadits Abu Malik Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdaMembaca Subhanallah dan Alhamdulillah..” hingga sabdanya, Sabar adalah pelita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menerangkan dalam hadits ini bahwa kesabaran adalah pelita, maksudnya sabar dapat menerangi manusia.

Kesabaran dapat meneranginya di saat gelap dan di saat musibah menimpa. Jika seseorang bersabar, kesabaran itu merupakan penerang yang dapat menunjukinya kepada kebenaran.

Oleh kerana itu, Allah Ta'ala menyebutkannya sebagai salah satu dari hal yang dapat dimintakan tolong. Dia adalah penerang hati manusia, jalan hidup dan amalnya. Kerana setiap kali seseorang perjalan menuju kepada Allah Ta'ala di atas jalan kesabaran, Allah akan tambah baginya hidayah dan penerang di hati dan pandangannya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, Kesucian itu bagian dari iman.” 

Demikian itu kerana iman dapat membersihkan dan menghiasi. Yaitu membersihkan diri dari kesyirikan, kefasikan orang-orang musyrik dan orang-orang fasik. Dia terlepas dari kefasikan yang ada pada mereka.

Itulah yang dimaksud dengan kesucian, yaitu hendaknya manusia bersuci secara jasmani dan rohani dari segala sesuatu yang buruk. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan kesucian setengah dari iman.

Mengenai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, Membaca alhamdulillah dapat memenuhi timbangan.” Ibnu Allan dalam ringkasannya menjelaskan, “Atau kalimat alhamdulillah merupakan kalimat pujian yang paling mulia. Oleh kerana itu, Al-Qur'an banyak dimulai ayatnya dengan kalimat tersebut.”

Alhamdulillah adalah pujian kepada Allah dengan keindahan yang murni dan tunduk kepada-Nya serta ridha dengan ketetapan-Nya.

Makna yang hakiki dari kata mizan” adalah sesuatu yang dengannya amal perbuatan ditimbang, baik dengan menimbang jasadnya atau catatan amalnya, timbangan itu menjadi ringan bila seseorang banyak berbuat buruk dan menjadi berat bila seseorang banyak berbuat baik.

Kalimat ini mempunyai pahala besar hingga dapat memenuhi timbangan yang besar, kerana amalan-amalan yang kekal lagi shalih termasuk di dalamnya. Sebab pujian itu kadang berbentuk pengukuhan kesempurnaan, meniadakan kekurangan, pengakuan akan kelemahan diri atau menempatkannya pada derajat yang tinggi. Huruf Alif dan laam kata 'alhamdu' mencakup seluruh jenis pujian. Pujian dengan yang kita ketahui dan tidak ketahui. Siapa yang memiliki sifat tersebut berhak menjadi Ilah, maka semuanya tercantum dalam kata, alhamdulillah.

Sedangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Subhanallah wa alhamdulillah keduanya itu dapat memenuhi -atau dia memenuhi- semua yang ada di antara langit dan bumi,” ada keraguan dari perawi, tapi maknanya tidak berbeda. Atau bahwa kalimat Subhanallah wa alhamdulillah dapat memenuhi semua yang ada di antara langit dan bumi, kerana kedua kalimat itu mencakup penyucian Allah dari segala kekurangan, yaitu sabdanya, Subhanallah” dan menyifatkan Allah dengan segala kesempurnaan dalam sabdanya, Alhamdulillah.

Kedua kalimat ini telah memadukan antara membersihkan dan menghiasi seperti yang mereka katakan.

Tasbih (kata subhanallah) adalah menyucikan Allah dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, baik dalam nama dan sifat-Nya mahupun dalam perbuatan dan hukum-hukum-Nya.

Allah Ta'ala bersih dari segala macam aib, baik nama dan sifat-Nya mahupun perbuatan dan hukum-hukum-Nya. Kamu tidak akan dapati di antara nama-nama Allah ada nama yang mengandung sifat kurang ataupun aib. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,

Hanya milik Allah asmaa-ul husna.
(QS. Al-A'râf: 7: 180)

Allah Ta'ala mempunyai sifat sangat sempurna dalam berbagai aspek. Dia memiliki kesempurnaan yang bebas dari aib, baik dalam perbuatan-Nya sebagaimana yang Allah firmankan,

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main.” (QS. Ad-Dukhân: 44: 38)

Tidak ada dalam setiap ciptaan Allah untuk main-main ataupun kesia-siaan, namun itu semua adalah ciptaan yang dilakukan atas hikmah. Begitu pula dalam hukum-Nya, kamu tidak akan dapati di dalamnya aib atau pun kekurangan, sebagaimana Allah Ta'ala firmankan:

Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?” 
(QS. At-Tîn: 95: 8)

Allah Ta'ala juga berfirman:

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (QS. Al-Mâ'idah: 5: 50)

Allah Ta'ala senantiasa terpuji dalam segala keadaan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila mendapatkan sesuatu yang menyenangkan, baginda mengucapkan, “Alhamdulillah al-ladzi bini' matihi tatimmu ash-shalihaat. (segala puji bagi Allah yang nikmat-Nya segala amal shalih menjadi sempurna).” Sementara, ketika mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan, baginda mengucapkan, Alhamdulillah 'ala kulli hall (segala puji bagi Allah dalam segala keadaan).

[Hadits Shahih, sebagaimana disebutkan Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4640]

Akhir-akhir ini tersebar di kalangan banyak orang kata-kata, “Segala puji bagi Allah yang tidak ada Dzat yang dipuji atas bencana kecuali diri-Nya,” ini adalah pujian yang kurang pas!!

Kerana kata-kata atas bencana kecuali diri-Nya,” menunjukkan kurang sabar atau setidaknya kurang sempurna kesabarannya. Dan bahwa kamu benci terhadap hal itu. Padahal tidak sepatutnya bagi seorang untuk mengucapkan perkataan ini. Seharusnya dia mengucapkan apa yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yakni, Segala puji bagi Allah yang tidak ada Dzat yang terpuji atas segala keadaan kecuali diri-Nya.

Adapun perkataan yang pertama merupakan sikap perlawanan terhadap apa yang menimpa dirinya dari Allah dan bahwa dia benci akan hal itu.

Saya tidak mengatakan bahwa seseorang tidak boleh membenci terhadap musibah yang menimpa dirinya, kerana secara naluriah seseorang benci hal itu. Tetapi, jangan kamu ungkapkan kebencianmu itu dalam menghaturkan pujian kepada Allah seperti tadi. Tetapi, ucaplah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan.

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Shalat itu adalah cahaya,” cahaya di hati manusia, di wajah, di kubur di mahsyarnya. Oleh kerana itu, kamu dapati orang yang paling bercahaya wajahnya adalah orang paling banyak shalatnya dan paling khusyu' dalam perlaksanaan shalatnya yang dilakukan semata-mata kerana Allah Ta'ala. 

Demikian pula shalat merupakan cahaya di hatinya yang dapat membuka hatinya untuk mengenal Allah Ta'ala, mengenal hukum-hukum-Nya, serta perbuatan dan sifat-sifat-Nya. Dan shalat juga merupakan cahaya di dalam kubur seseorang. Kerana shalat adalah tiang agama Islam. Apabila tiangnya tegak, tegak pula bangunannya. Dan jika tiangnya tidak tegak, maka tidak akan ada bangunannya.

Shalat juga akan menjadi cahaya di padang mahsyar saat hari kiamat, sebagaimana di khabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Barangsiapa memelihara shalat, maka shalat itu akan menjadi cahaya dan bukti (keimanan) baginya. Dan barangsiapa tidak memelihara shalat, maka shalat itu tidak akan menjadi cahaya, bukti (keimanan) dan penyelamat baginya pada hari kiamat, dan dia akan di kumpulkan bersama Fir'aun, Haman, Qarun, Ubay bin Khalaf.

[Hr. Ahmad no. 6540 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Miskât no. 578]

Shalat sebagai cahaya bagi manusia dalam berbagai keadaan. Ini menuntut agar manusia menjaganya, memerhatikan, dan memperbanyaknya hingga banyak pula cahaya, ilmu dan keimanannya.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sedekah adalah bukti keimanan.” Sedekah adalah mengeluarkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, diberikan kepada keluarga, orang-orang fakir miskin dan untuk kepentingan umum seperti, membangun masjid dan yang lainnya. Ini adalah bukti.

Bukti atas keimanan seseorang hamba. Sebab, harta itu sangat dicintai oleh hati, dan hati itu pada dasarnya kikir. Jika seseorang mahu membelanjakannya untuk Allah, maka perlu diketahui bahwa manusia tidak akan membelanjakan sesuatu yang dia cintai, kecuali untuk sesuatu yang lebih dicintai daripadanya. 

Oleh kerana itu, kamu dapati orang yang paling beriman kepada Allah adalah mereka yang paling banyak bersedekah.

Adapun mengenai sabar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kesabaran itu adalah dhiyaa' (pelita),” yakni cahaya yang disertai panas, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya.” (QS. Yûnus: 10: 5)

Sinar itu berarti cahaya yang ada panasnya sedikit. Demikian pula kesabaran mesti ada panas dan letihnya, kerana memang berat, maka dari itu ganjarannya tidak terhingga. 

Perbedaan antara cahaya pada shalat dan pelita pada kesabaran adalah bahwa pelita dalam kesabaran disertai dengan panas (dhiyaa') kerana dalam menjalankannya perlu letih hati dan kadang letih fisik juga. Sedangkan cahaya dalam shalat adalah cahaya dingin dan sejuk (nuur).

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sedekah adalah bukti keimanan. Sedekah adalah mengeluarkan harta untuk mendekatkan diri kepada Allah, baik untuk keluarga, orang-orang fakir, dan kemaslahatan umum seperti membangun masjid dan sebagainya. Ini menjadi bukti keimanan seseorang, kerana harta itu disenangi oleh jiwa, dan jiwa sangat tertarik kepadanya. Jika seseorang membelanjakannya kerana Allah, maka manusia tidak membelanjakan sesuatu yang dicintai, kecuali untuk sesuatu yang lebih dicintainya.

Oleh kerana itu, kamu dapati bahwa orang yang paling banyak imannya kepada Allah adalah yang paling banyak sedekahnya.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Al-Qur'an sebagai hujjah bagimu atau sebagai bumerang atasmu terhadap yang tidak kamu sukai.” Hal ini kerana Al-Qur'an adalah tali Allah yang sangat kuat bagimu, juga sebagai hujjah Allah bagi makhluk-Nya. Ia bisa menjadi hujjah bagimu, yakni apabila kamu menjadikannya sebagai pengantar menuju kepada Allah, kamu berkenan memenuhi kewajibanmu terhadapnya dengan membenarkan (mempercayai) setiap berita yang diberitakan-Nya, menjalankan perintah-perintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya, memuliakan Al-Qur'an tersebut dan juga menghormatinya. Jika sikapmu terhadap Al-Qur'an bisa seperti itu, ia menjadi hujjah (pembela) bagimu.

Adapun jika sebaliknya, kamu hina Al-Qur'an atau kamu enggan membacanya, tidak mahu memahami maknanya, tidak mahu mengamalkan isinya dan enggan menjalankan kewajibanmu atasnya, ia akan jadi saksi atas perbuatanmu yang tercela itu pada hari Kiamat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan posisi antara keduanya! Yakni, baginda hanya mengatakan, “Dan Al-Qur'an sebagai hujjah bagimu atau menjadi bumerang atasmu terhadap yang tidak kamu sukai.” Tidak ada posisi penengah antara keduanya, kerana memang cuma ada dua alternatif, hujjah bagimu atau menjadi bumerang atasmu. Kita memohon kepada Allah agar berkenan menjadikannya hujjah (pembela) bagi kita, yang dapat menunjuki kita di dunia dan akhirat, Sesungguhnya Dia Mahabaik lagi Mahamulia.

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap orang pergi pada waktu pagi menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.” Yakni, setiap manusia memulai pagi harinya dengan beramal, ini kita saksikan sendiri. Allah Ta'ala menjadikan malam sebagai waktu istirahat. 

Allah Ta'ala berfirman:

Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. Kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari.” (QS. Al-An'âm: 6: 60)

Tidur di waktu malam adalah wafat sughra (kematian kecil), seluruh otot-otot tenang, badan pun istirahat untuk memperbaharui semangat guna melakukan amal mendatang dan istirahat dari amal yang lalu.

Setiap pagi, orang keluar untuk beraktivitas. Di antara mereka ada yang melakukan kebaikan, mereka itulah orang yang beriman. Dan ada juga yang melakukan kejahatan, mereka itulah orang-orang kafir.

Pertama kali yang dilakukan oleh seorang muslim pada pagi hari adalah berwudhu dan bersuci, “kesucian itu bagian iman.” Sebagaimana tertera dalam hadits ini. 

Kemudian dia pergi shalat, dia mulai harinya beribadah kepada Allah Ta'ala. Bahkan, dia membuka harinya dengan tauhid, kerana disyariatkan kepada muslim apabila bangun dari tidurnya untuk mengingati Allah Ta'ala dan membaca sebelas ayat dari surah Ali 'Imran, yakni firman-Nya,

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya orang yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh, Engkau telah menghinakannya, dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang yang zhalim. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu), Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan melalui rasul-rasul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari Kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak pernah mengingkari janji.” Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesunggunya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan Allah di sisi Allah ada pahala yang baik. Jangan sekali-kali kamu terperdaya oleh kegiatan orang-orang kafir (yang bergerak) di seluruh negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya. Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, mereka akan mendapat surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya sebagai karunia dari Allah. Dan apa yang sisi Allah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti. Dan sesungguhnya antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka, karena mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya. Wahai orang-orang yang beriman! bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap-siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.
(QS. Âli 'Imrân: 3: 190-200)

Inilah orang muslim, inilah yang sebenarnya menjalani harinya dengan menjual jiwanya, tetapi apakah dia menjual jiwanya untuk membebaskannya? Ya, seorang muslim menjual jiwanya untuk membebaskannya. Kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua orang pada waktu pagi menjual dirinya, kemudian ada yang membebaskan dirinya dan ada pula yang membinasakan dirinya.” Yakni menjual dirinya, lalu membinasakan dirinya.

Orang-orang kafir menjalani harinya dengan suatu pekerjaan yang dapat menghancurkan dirinya sendiri, hal itu dikeranakan orang kafir memulai harinya dengan maksiat kepada Allah. Bahkan, walaupun dia mulai dengan makan dan minum, dia akan disiksa atas hal itu. Begitu pula setiap pakaian yang dikenakannya.

Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.”
(QS. Al-A'râf: 7: 32)

Pemahaman dari ayat di atas bahwa kenikmatan di akhirat itu hanya diberikan kepada orang-orang mukmin dan haram hukumnya bagi selain mereka. Sedangkan orang-orang kafir tidak akan mendapatkan kenikmatan itu di hari Kiamat. Bahkan, mereka akan disiksa di dalamnya.

Allah Ta'ala juga menjelaskan masalah ini dalam surah Al-Ma'idah dan termasuk salah satu ayat yang terakhir diturunkan dan disebutkan dalam surah Al-A'raf yang termasuk dalam surah Makkiyyah. Dalam surah Al-Ma'dah disebutkan,

Tidak berdosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan tentang apa yang mereka makan (dahulu). (QS. Al-Mâ' idah: 5: 93)

Pemahaman dari ayat ini, bahwa selain orang mukmin berdosa tentang apa yang mereka makan (dahulu).

Orang kafir semenjak pagi menjual dirinya dengan sesuatu yang dapat membinasakannya. Sementara orang mukmin, dia menjual dirinya dengan sesuatu yang dapat membebaskan dan menyelamatkannya dari api neraka. Semoga kita termasuk dalam golongan mereka.

Pada penghujung hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa manusia terbagi menjadi dua bagian:

Pertama, orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai hujjah (pembela), seperti yang disabdakannya, Al-Qur'an menjadi hujjah bagimu.

Kedua, orang yang menjadikan Al-Qur'an sebagai bumerang atasnya.

Bagian pertama adalah orang yang membebaskan dirinya dengan mengerjakan amal shalih.

Bagian kedua adalah orang yang menghancurkan dirinya dengan melakukan perbuatan tercela.

Hadits 26.
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ نَاسًا مِنَ الْأَنْصَارِ سَأَلُوْا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فأَعْطَاهُمْ، ثُمَّ سَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ، حَتَّى نَفِدَ مَا عِنْدَهُ، فَقَالَ لَهُمْ حِيْنَ أَنْفَقَ كُلَّ شَيءٍ بِيَدِهِ: « مَايَكُنْ مِنْ خَيْرِِ فَلَنْ أَدَّخِرَهُ عَنْكُمْ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُعْنِهِ اللهُ، وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ. وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْر » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Said bin Malik bin Sinan Al-Khudri radhiyallahu anhuma, bahwa, ada beberapa orang dari kalangan Ansar meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu baginda memenuhi permintaannya. Kemudian mereka meminta lagi, baginda memenuhi permintaan mereka lagi hingga habis apa yang ada pada baginda. Kemudian baginda bersabda:

Apa pun kebaikan yang ada padaku, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Barangsiapa yang menjaga kehormatan diri (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya. Barangsiapa yang merasa cukup dengan apa yang sudah ada, maka Allah akan mencukupkannya. Barangsiapa yang bersabar, Allah akan menganugerahkannya kesabaran. Seseorang itu tidak dikaruniai sesuatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas selain daripada sabar.

[Shahih Al-Bukhari no. 1469. Muslim no. 1053]

Penjelasan.

Perkataan Abu Said, Ada beberapa orang dari kalangan Anshar meminta-minta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu baginda memenuhi permintaannya. Kemudian mereka meminta lagi, baginda memenuhi permintaan mereka lagi sehingga habis apa yang ada baginda.

Di antara kemuliaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa baginda selalu memberikan sesuatu yang baginda miliki kepada orang yang memintanya. Baginda tidak pernah menolak orang yang meminta kepadanya, dan baginda senantiasa memberi sebagaimana layaknya orang yang tidak takut miskin. Padahal, baginda sendiri hidup dalam serba kekurangan. Terkadang baginda mengikat perutnya dengan batu untuk menahan lapar, padahal baginda adalah manusia paling mulia dan paling pemberani.

Ketika apa yang ada padanya telah habis, maka baginda memberitahu kepada mereka bahwa, Apa pun kebaikan yang ada padaku, aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Yakni, tidak mungkin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikannya dan tidak mahu memberikannya kepada mereka, tetapi kerana memang sudah habis.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menjaga harga diri, merasa cukup dan bersabar, baginda bersabda, “Barangsiapa yang menjaga kehormatan diri, maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya. Barangsiapa yang merasa cukup dengan apa yang sudah ada, maka Allah akan mencukupkannya. Barangsiapa yang bersabar, maka Allah akan menganugerahkannya kesabaran. Seseorang itu tidak dikaruniai sesuatu pemberian yang lebih baik dan luas selain daripada sabar.

Dalam hal ini ada 3 perkara:

1). Barangsiapa yang menjaga kehormatan diri, maka Allah akan menjaga kehormatan dirinya. Yakni, menjaga dari sesuatu yang diharamkan oleh Allah seperti, minum arak dan lain-lain, niscaya Allah akan menjaganya.

Manusia yang menjadikan dirinya mengekor pada hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan menghancurkannya. Kerana jika dia menuruti hawa nafsu, dia akan senantiasa mengejar-mengejar wanita, dan ini akan menghancurkannya.

Zina mata, zina tangan, zina telinga, zina kaki dan akhirnya zina kemaluan. Hal ini merupakan perbuatan keji. 

Jika dia menjaga dirinya hal yang diharamkan ini, Allah Ta'ala akan menjaga dan melindungi dirinya serta keluarganya.

2). Barangsiapa yang merasa cukup dengan apa yang sudah ada, maka Allah akan mencukupkannya.” Yakni barangsiapa yang merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah, hingga merasa tidak membutuhkan apa yang ada pada manusia, maka Allah akan memberinya kecukupan. 

Adapun orang yang meminta-minta kepada manusia dan senantiasa menginginkan apa yang ada pada orang lain, maka dia tetap fakir. Kekayaan hakiki adalah kekayaan hati. Apabila seseorang merasa cukup dengan apa yang ada pada Allah Ta'ala dan merasa tidak membutuhkan apa yang ada pada manusia, maka Allah akan jadikan dia tidak membutuhkan orang lain dan Dia jadikan dirinya mempunyai harga diri, jauh dari meminta-minta.

3). Barangsiapa yang bersabar, maka Allah akan menganugerahkannya kesabaran.” Yakni, Allah akan memberikan kepadanya kesabaran. Apabila kamu menahan diri dari hal-hal yang telah Allah haramkan dan kamu bersabar atas kebutuhan dan kemiskinanmu dan kamu tidak mengemis-ngemis kepada orang lain. Maka Allah akan memberikan kesabaran kepadamu dan menolongmu untuk bersabar.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Seseorang itu tidak dikaruniai sesuatu pemberian yang lebih baik dan lebih luas selain daripada sabar.” Sebab, orang yang sabar bisa tahan menghadapi apa pun. Jika ditimpa kesusahan dia sabar, jika setan merayunya untuk melakukan perbuatan haram dia sabar, dan jika setan menghinanya kerana melakukan perintah Allah dia pun tetap sabar. 

Oleh kerana itu, jika seseorang telah diberikan kesabaran oleh Allah, maka hal itu merupakan pemberian yang paling baik dan paling agung yang diberikan kepada manusia. jika kamu dapati, orang yang sabar jika diganggu orang, jika mendengar dari orang lain sesuatu yang tidak dia sukai, jika orang lain menzhaliminya dia tetap bersikap tenang, tidak jengkel, dan tidak emosi, Kerana dia sabar terhadap apa yang Allah ujikan atasnya, kamu dapati hatinya tenang dan jiwanya tenteram. 

Inilah intisari hadits ini, kerana hadits ini berada dalam bab Sabar.

Hadits 27.
وَعَنْ أَبِي يَحْيَى صُهَيْبِ بْنِ سِنَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيْرٌ، وَلَيْسَ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلَِّا لِلْمُؤْمِن: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sungguh menakjubkan keadaan orang beriman (mukmin), segala urusan baginya selalu baik. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali pada orang yang beriman. Jika dia mendapat kesenangan dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila tertimpa kesulitan dia bersabar maka yang demikian itu pula merupakan kebaikan baginya.

[Shahih Muslim no. 2999]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh menakjubkan keadaan orang beriman (mukmin), segala urusan baginya selalu baik.” Yakni, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menampakkan rasa kagum baginda terhadap urusan orang-orang beriman, urusan mereka seluruhnya baik. Dan hal itu tidak akan terjadi kecuali pada orang yang beriman.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan maksud dari segala urusannya baik, “Jika dia mendapat kesenangan dia bersyukur maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila ia tertimpa kesulitan dia bersabar maka yang demikian itu pula merupakan kebaikan baginya. Inilah keadaan orang beriman.

Setiap manusia dalam keputusan dan takdir Allah terbagi dua; kesenangan dan kesulitan. Dalam hal ini manusia terbagi dua; beriman dan tidak beriman. 

Orang yang beriman dalam segala kondisi apa pun, yang telah Allah takdirkan atasnya selalu baik dalam pandangannya. Jika ditimpa kesulitan dia bersabar atas takdir Allah itu sambil menanti jalan keluar dari Allah. Ini adalah hal baik dan dia akan mendapat ganjaran atas kesabarannya dalam menghadapi hal ini.

Jika dia mendapatkan kenikmatan dalam urusan agama seperti ilmu dan amal shalih, juga kenikmatan duniawi seperti harta, anak dan keluarga, dia mensyukurinya dengan memperbanyak ketaatan. Kerana syukur bukan hanya sekadar mengatakan, “Saya bersyukur kepada Allah,” akan tetapi harus melakukan ketaatan kepada Allah Ta'ala.

Bersyukur kepada Allah merupakan kebaikan baginya, sehingga dia punya dua kenikmatan; nikmat agama dan nikmat dunia. Nikmat dunia yakni mendapatkan kebahagiaan dunia, sementara nikmat agama yakni dengan sikap syukur tadi, inilah keadaan orang yang beriman.

Adapun orang kafir dia dalam keadaan buruk sekali, naudzubillah. Jika ditimpa kesulitan, dia tidak bersabar. Bahkan, justru mencaci maki zaman, bahkan mencaci Allah Ta'ala.

Jika mendapat kesenangan, tidak bersyukur kepada Allah dan kesenangan ini akan menjadi siksa baginya di akhirat. Kerana orang kafir tidak makan dan minum kecuali akan menjadi dosa baginya, walaupun sebenarnya dalam makanannya tidak mengandung dosa jika dimakan orang yang beriman. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Katakan (Muhammad), Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. 
(QS. Al-A'râf: 7: 32)

Perhiasan itu khusus untuk orang-orang beriman, dan murni untuk mereka pada hari Kiamat. Sedangkan orang tidak beriman tidak mendapatkannya. Mereka makan sesuatu yang memang diperuntukkan buat mereka, dan akan disiksa kerana memakannya pada hari kiamat nanti. 

Sikap orang kafir itu buruk, baik ditimpa kesulitan mahupun saat mendapat kenikmatan. Hal ini berbeda dengan orang beriman yang senantiasa dalam keadaan baik.

Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk bersabar dalam kesulitan, hal ini merupakan sifat orang beriman. Jika kamu mendapatkan dirimu sabar tatkala ditimpa kesulitan mengharapkan pahala dan menanti jalan keluar dari Allah Ta'ala, maka itu adalah tanda keimanan. Jika kamu dapati sebaliknya, maka celalah dirimu, luruskan jalanmu dan bertaubatlah kepada Allah.

Dalam hadits ini juga terdapat anjuran bersyukur ketika mendapatkan kesenangan. Sebab, jika manusia bersyukur kepada Rabb-Nya atas kenikmatan yang didapatnya, maka ini adalah taufik dari Allah dan merupakan penyebab ditambahnya kenikmatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrâhim: 14: 7)

Jika Allah Ta'ala memberikan taufik kepada seorang hamba untuk bersyukur, maka ini adalah kenikmatan lain yang perlu disyukuri. Dan jika diberi taufik untuk melakukan hal itu lagi, maka perlu disyukuri lagi dan begitu juga seterusnya. Sikap bersyukur itu sedikit sekali orang yang bisa melakukannya. Jika Allah mengkurniakannya dan membantumu untuk dapat melakukannya, maka itu adalah kenikmatan.

Imam An-Nawawi benar, sesungguhnya jika Allah memberi taufik kepada kita untuk bisa bersyukur maka itu merupakan kenikmatan yang perlu disyukuri lagi, dan jika kamu bersyukur lagi, perlu dengan syukur lainnya dan begitulah seterusnya.

Akan tetapi, kita saat ini benar-benar dalam kelalaian mengenai masalah ini. Semoga Allah Ta'ala membangunkan hati kita semua dan memperbaiki amal kita, Dia Mahabaik dan Mahamulia.

Hadits 28.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا ثَقُلَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَعلَ يَتَغَشَّاهُ الْكَرْبُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: وَاكَرْبَ أَبَتَاهُ، فَقَالَ: « لَيْسَ عَلَى أَبِيْكِ كَرْبٌ بَعْدَ الْيَوْمِ » فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ: يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا أَبتَاهُ جَنَّةُ الْفِردَوْسِ مَأْوَاهُ، يَا أَبَتَاهُ إِلَى جِبْرِيْلَ نَنْعَاهُ، فَلَمَّا دُفِنَ قَالَتْ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَطَابَتْ أَنْفُسُكُمْ أَنْ تَحْثُوا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التُّرَابَ؟ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menderita sakit keras (sakit tenat) yang membuatkan baginda pingsan, (sakit sekali kerana sakaratul maut), Fatimah radhiyallahu ‘anha mengeluh: “Alangkah menderitanya Ayahku!

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ayah tidak akan menderita lagi setelah hari ini.”

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, Fatimah berkata: “Wahai ayahku, engkau telah memenuhi panggilan Tuhan, “Wahai ayahku, surga Firdauslah tempat kembalimu. Wahai ayahku, yang kepada Jibril kami memberitahukan wafatnya.”

Ketika baginda sudah dikubur, Fatimah berkata: “Apakah jiwa kalian rela untuk menaburkan tanah di atas makam Rasulullah?”

[Shahih Al-Bukhari no. 4426]

Penjelasan.

Perkataan Anas, Ketika Rasulullah menderita sakit keras.” Yakni, kerana dahsyatnya sakit yang dideritanya dan kerana panasnya suhu badan baginda, menjadikan baginda pingsan. Suhu badan baginda, panasnya melebihi panas badan dua orang.

Hikmah dalam peristiwa ini agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan derajat kesabaran tertinggi. Kerana sabar merupakan kedudukan yang tinggi yang tidak bisa diraih kecuali dengan ujian dari Allah Ta'ala dan kerana tidak ada kesabaran kecuali hal yang tidak disukai.

Jika seseorang belum pernah ditimpa sesuatu yang tidak disukainya, bagaimana mungkin bisa diketahui kesabarannya, kerana itu Allah Ta'ala berfirman,

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu.”
(QS. Muhammad: 47: 31)

Rasulullah merasakan sakit seperti sakit yang diderita dua orang hingga penderitaan itu membuat baginda pingsan, lalu Fatimah berkata, Alangkah menderitanya Ayahku! Dia ikut merasakan kepedihan atas penderitaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana dia seorang wanita, dan wanita biasanya tidak kuat untuk bersabar.

Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ayahmu tidak akan menderita lagi setelah hari ini. Kerana setelah baginda wafat, baginda akan pindah dari dunia ke Ar-Rafiiq Al-A'la (para nabi yang tinggal di atas 'Illiyyin), sebagaimana sabda baginda ketika hendak meninggal, “Ya Allah Ar-Rafiiq Al-A'la, Ya Allah Ar-Rafiiq Al-A'ala, dan mata baginda menatap ke arah atap rumah (maksud melihat langit).

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Fatimah terisak menangisi kepergiannya, tetapi dengan tangisan perlahan yang tidak menunjukkan bahwa dia marah dengan keputusan dan takdir Allah.

Lalu Fatimah berkata, Wahai ayahku, yang kepada Jibril kami memberitahukan wafatnya.” An-Na'yu artinya pengabaran atas kematian seseorang, dan Fatimah berkata, Sesungguhnya kami telah memberitahukan kematian baginda kepada Jibril, kerana dialah yang datang kepada baginda dengan membawa wahyu pada pagi dan petang hari.

Maka ketika Rasulullah wafat, Jibril tidak turun lagi ke bumi untuk menyampaikan wahyu, kerana wahyu itu terhenti dengan wafatnya Rasulullah.

Fatimah berkata, Wahai ayahku, engkau telah memenuhi panggilan Tuhan. Kerana Dialah Allah, yang di tangan-Nya seluruh kekuasaan, ajal seluruh makhluk berada dalam genggaman-Nya, di tangan-Nya hak untuk mengatur manusia. Segala sesuatu milik Allah. Allah-lah tempat terakhir dan tempat kembali. 

Rasulullah menjawab seruan Allah. Ketika sudah wafat, baginda seperti halnya kaum muslimin lainnya. Ruh diangkat sampai berhenti di hadapan Allah Ta'ala di atas langit ke tujuh.

Dan Perkataan Fatimah, Wahai ayahku, surga Firdauslah tempat kembalimu.” Kerana baginda adalah makhluk yang mempunyai kedudukan yang paling tinggi di surga. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Mintalah kepada Allah wasilah untukku, ia adalah derajat tertinggi di surga, tidak diberikan kecuali untuk satu dari sekian banyak hamba Allah, aku berharap itu untukku.

[Shahih Muslim no. 384]

Tidak diragukan lagi bahwa tempat kembali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah surga Firdaus. Surga Firdaus adalah tempat tertinggi di surga, atapnya adalah 'Arsy Rabb Jalla Jalaaluhu dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di posisi tertinggi pada tempat itu.

Fatimah juga berkata, Wahai ayahku, kepada Jibril kami menyerahkan wafatmu.” Kerana Jibrillah yang senantiasa mendatangi baginda pagi dan petang untuk menyampaikan wahyu.

Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah tidak ada, maka tidak ada pula Jibril yang turun membawa wahyu, kerana wahyu itu terputus dengan kematian Rasulullah.

Ketika baginda dimakamkan, Fatimah radhiyallahu ‘anha berkata, Apakah jiwa kalian rela untuk menaburkan tanah di atas makam Rasulullah? Hal ini, kerana begitu sayangnya Fatimah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan begitu sedih perasaannya, dan juga kerana dia tahu persis bahwa hati para sahabat dipenuhi kecintaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jawabnya, mereka rela kerana wafatnya Rasulullah adalah kehendak Allah, dan ini adalah hukum Allah. Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa ditebus dengan seluruh yang ada di dunia ini, niscaya para sahabat akan menebusnya.

Akan tetapi, Dialah Allah yang memegang keputusan, dan kepada-Nya semua kembali, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula). Kemudian sesungguhnya kamu pada hari kiamat akan berbantah-bantah di hadapan Tuhanmu.” QS. Az-Zumar: 39: 30-31)

Dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seperti manusia lainnya; mengalami sakit, lapar, haus, kedinginan, kepanasan, tidur dan seluruh sifat manusiawi juga ada pada baginda. Hal ini sebagaimana yang baginda sabdakan,

Sesungguhnya aku ini hanya manusia biasa seperti kalian, aku sering lupa seperti halnya kalian lupa.

[Shahih Al-Bukhari no. 401. Muslim no. 572]

Dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang menyekutukan Allah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka berdoa dan beristighatsah (meminta pertolongan) dengan Rasulullah di kuburan baginda. Bahkan, sebagian mereka tidak meminta kepada Allah tetapi justru meminta kepada Rasulullah! Seakan yang mengabulkan doa adalah Rasulullah. Mereka telah tersesat dari agama dan telah membuat bodoh otak mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat mendatangkan mudharat dan manfaat untuk dirinya sendiri, sebagaimana baginda bisa memberi kepada orang lain. 

Allah Ta'ala berfirman seraya memerintahkan Nabi-Nya,

Katakanlah (Muhammad), Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku. (QS. Al-An'âm: 6: 50)

Allah Ta'ala berfirman:

“Katakanlah, “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan.” Katakanlah, “Sesungguhnya aku sekali-sekali tiada seorang pun dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali aku tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya. Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.” (QS. Al-Jinn: 72: 21-23)

Dan tatkala Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya:

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” 
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 214)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seluruh keluarganya dan berseru hingga mengatakan, Wahai Fatimah binti Muhammad mintalah dariku harta sesukamu, tapi aku tidak bisa menolongmu sedikit pun dari (siksaan) Allah.

[Shahih Al-Bukhari no. 240, 2753. Muslim no. 206]

Sampai sedemikian rupa! Putri yang merupakan belahan hati Rasulullah, putrinya yang merasakan kesedihan saat baginda sakit!!

Ini menunjukkan bahwa orang yang selain anaknya lebih pantas untuk dikatakan seperti itu. 

Di sini juga terdapat penjelasan tentang sesatnya mereka yang berdoa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kamu dapati, saat mereka saat berdoa di Masjid Nabawi, mereka mengadap ke kuburan Rasulullah. Mereka bersimpuh seperti saat bersimpuh terhadap Allah ketika shalat, atau bahkan lebih dari itu. 

Dalam hadits ini juga terdapat penjelasan bolehnya menangis kecil, bukan kerana menyangkal takdir Allah. 

Selain itu dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Fatimah binti Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup setelah Rasulullah wafat. Tidak ada seorang pun anak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masih hidup setelah baginda wafat kecuali fatimah. Seluruh anak baginda meninggal saat baginda masih hidup.

Fatimah hidup tanpa mendapatkan warisan, begitu pula istri-istri baginda, paman baginda, Al-Abbas dan tidak juga seorang pun dari keluarga baginda mendapat warisan. Kerana para nabi tidak mewarisi sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Sesungguhnya kami para nabi tidak mewarisi, tetapi apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.

[Shahih Muslim no. 1757]

Ini merupakan hikmah Allah Ta'ala, kerana mereka jika meninggalkan warisan, niscaya orang bisa mengatakan bahwa mereka para nabi membawa risalah untuk mencari kekuasaan yang akan diwarisi kepada keturunan mereka, tetapi Allah mencegah hal itu agar tidak terjadi. 

Para nabi tidak mewarisi dan apa yang ditinggalkan oleh mereka adalah sedekah untuk disalurkan kepada yang berhak.

Hadits 29.
وَعَنْ أَبِيْ زَيْدٍ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدِ بْنِ حَارِثَةَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحِبِّهِ وَابْنِ حِبِّهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: أَرْسَلَتْ بِنْتُ النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إنَّ ابْنِي قَدِ احْتُضِرَ فَاشْهَدْنَا، فأَرْسَلَ يُقْرِىءُ السَّلاَمَ وَيَقُوْلُ: « إِنَّ للهِ مَا أَخَذَ، وَلَهُ مَا أَعْطَى، وَكُلُّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى، فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ » 
 إِليْهِِ تُقْسِمُ عَلَيْهِ لِيَأْتِيَنَّهَا. فَقَامَ وَمَعَهُ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ، وَمُعَاذُ ابْنُ جَبَلٍ، وَأُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَرِجَالٌ رَضِيَ الله عَنْهَمْ، فَرُفعَ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّبيُّ، فَأَقْعَدَهُ فِي حِجْرِهِ وَنَفْسُهُ تَقَعْقَعُ، فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ، فَقَالَ سَعْدٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا هَذَا؟ فَقالَ: « هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللهُ تَعَالَى فِي قُلُوبِ عِبَادِهِ » وَفِي رِوَايَةٍ: « فِي قُلُوبِ مَنْ شَاءَ مِنْ عِبَادِهِ وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَماءَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Zaid Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu anhu, dia adalah maula (bekas budak),orang kesayangan dan sekaligus anak dari orang kesayangan Rasulullah, dia berkata, “Salah seorang putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (Zainab radhiyallahu ‘anha) mengutus seseorang untuk memberitahu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya putraku sedang sakaratul maut. Maka, datanglah kepada kami.”

Kemudian baginda menyuruh utusan itu kembali sambil mengirim salam kepadanya seraya bersabda: 

Sungguh menjadi hak Allah untuk mengambil dan memberi. Segala sesuatunya telah ditentukan di sisi Allah, maka hendaklah dia sabar dan mohonlah pahala kepada Allah.”

Kemudian Zainab menyuruh utusan itu kembali lagi mengadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seraya meminta yang disertai dengan sumpah agar Rasulullah berkenan hadir. Maka pergilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Sa'ad bin Ubadah, Mu'adz bin Jabal, Ubai bin Ka'ab, Zaid bin Tsabit dan beberapa sahabat yang lain. Maka bayi yang sakit itu diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan didudukkan di pangkuan baginda, sedangkan nafasnya tersenggal-senggal, maka menitislah air mata baginda.

Kemudian Sa'ad bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menitiskan air mata?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Titisan air mata ini adalah rahmat yang dikaruniakan Allah ke dalam hati hamba-hamba-Nya.”

Di dalam riwayat lain di sebutkan: “... Ke dalam hati hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya yang mempunyai rasa sayang.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1284. Muslim no. 923]

Penjelasan.

Tentang Usamah bin Zaid bin Haritsah, sesungguhnya Zaid bin Haritsah adalah mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dahulunya dia adalah seorang budak, lalu Khadijah menghadiahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda memerdekakannya, maka jadilah dia maula (mantan budak) Rasulullah. Dia dijuluki kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan anaknya Usamah dijuluki kekasih Rasulullah juga, hingga dipanggil kekasih dan anak kekasih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dikisahkan bahwa salah satu putri (zainab) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada baginda, dia berpesan kepadanya bahwa anaknya sedang sakaratul maut, dan meminta agar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkenan untuk datang, dan sampailah utusannya itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu baginda bersabda, “Sungguh menjadi hak Allah untuk mengambil dan memberi. Segala sesuatunya telah ditentukan di sisi Allah, maka hendaklah kamu sabar dan mohonlah pahala kepada Allah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan utusan itu untuk mengatakan hal ini!!

Sabda baginda, Hendaklah kamu sabar dan mohonlah pahala kepada Allah.” Yakni menahan diri dari marah dan tabah dalam menghadapi musibah.

Dan sabda baginda, Dan mohonlah pahala kepada Allah. Yakni mengharapkan pahala dari Allah atas kesabarannya itu, kerana di antara manusia ada yang bersabar namun tidak mengharapkan pahala dari Allah. 

Dia bersabar atas musibah dan tidak mengeluh, tetapi tidak mengharapkan pahala dari Allah, maka dengan demikian dia kehilangan banyak kebaikan. Akan tetapi apabila dia bersabar dan mengharapkan pahala, maka itulah yang semestinya.

Sabda baginda, Sungguh menjadi hak Allah untuk mengambil dan memberi. Segala sesuatu telah ditentukan di sisi Allah.” Ini adalah kalimat yang luar biasa!!

Apabila segala sesuatu milik Allah dan jika Dia mengambil satu hal darimu, maka itu adalah milik-Nya dan apabila Dia memberikan sesuatu kepadamu itu juga milik-Nya. Bagaimana kamu bisa marah apabila Dia mengambil sesuatu darimu yang memang milik-Nya?

Wajib atasmu apabila Allah mengambil sesuatu yang kamu cintai untuk mengatakan ini adalah milik Allah, Dia berhak mengambil dan memberi apa saja yang Dia kehendaki.

Oleh kerana itu, disunnahkan apabila seseorang ditimpa musibah untuk mengucapkan, Innaa lillahi wa inna Ilaihi rajiuun.” Yakni kita adalah milik Allah, Dia berhak untuk melakukan apa saja yang Dia kehendaki terhadap kita.

Demikian pula apa saja yang kita senangi, jika Dia mengambilnya dari kita, Dia berhak untuk melakukan itu. Bahkan, apa yang Dia berikan kepadamu, kamu tidak memilikinya, itu adalah milik Allah.

Oleh kerana itu, kamu tidak boleh berbuat semena-mena terhadap apa yang telah Allah berikan kepadamu, kecuali dengan cara yang diperbolehkan oleh-Nya. Ini merupakan dalil bahwa kepemilikan kita terhadap apa yang telah Allah karuniakan kepada kita adalah kepemilikan yang bersifat terbatas. Kita tidak boleh berbuat semena-mena terhadapnya.

Seandainya seseorang berbuat semena-mena terhadap hartanya dengan cara yang tidak diperbolehkan oleh syariat, maka kita katakan kepadanya, tahanlah! Kamu tidak boleh melakukan hal itu kerana harta itu adalah milik Allah, sebagaimana firman-Nya,

Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.
(QS. An-Nûr: 24: 33)

Jangan kamu pergunakan kecuali untuk sesuatu yang diperbolehkan. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sungguh menjadi hak Allah untuk mengambil dan memberi. Segala sesuatunya yang telah ditentukan di sisi Allah.” Apabila milik Allah apa yang diambil, bagaimana mungkin kita kecewa dan marah terhadap sang pemilik yang mengambil miliknya sendiri, ini bertentangan dengan logika dan syariat. 

Baginda bersabda, Segala sesuatunya telah ditentukan di sisi Allah.” Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya.
(QS. Ar-Ra'd: 13: 8)

Dengan ketentuan waktu, tempat, zat dan sifatnya serta segala sesuatu yang berhubungan dengannya di sisi Allah telah ditentukan. 

Dan ajal yang telah ditentukan, jika kamu meyakini hal ini, kamu dapat menerima kalimat terakhir. Yakni bahwa manusia tidak mungkin mengubah sesuatu yang telah ditulis dan ditentukan, tidak bisa memajukan dan tidak bisa juga memundurkan Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Dan setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.
(QS. Yûnus: 10: 49)

Apabila sesuatu telah ditentukan, tidak bisa maju dan tidak bisa mundur, kerana tidak ada faedahnya kecewa dan marah. Kerana walaupun kamu kecewa dan marah, kamu tidak akan mampu mengubah sesuatu yang telah ditentukan.

Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada putrinya apa yang sepatutnya diperintahkan. Tapi, dia mengirim kembali utusannya agar Rasulullah berkenan untuk datang. Lalu baginda dan beberapa orang sahabatnya pergi. Tatkala sampai kepada putrinya, sang anak diberikan kepada baginda dalam keadaan nafasnya terengah-engah, maka menangislah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berlinanglah air matanya.

Sa'ad bin Ubadah bertanya, Wahai Rasulullah, mengapa engkau menitiskan air mata?” Dia mengira bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis kerana mengeluh, lalu baginda pun menjawab, Titisan air mata ini adalah rahmat.” atau Saya menangis sebagai rahmat atas anak ini, bukan kerana tidak siap menerima takdir.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hamba-Nya yang mempunyai rasa sayang. Ini adalah dalil bolehnya seseorang menangis kerana sayang terhadap orang yang ditimpa musibah. 

Jika kamu melihat seseorang tertimpa musibah pada akal dan badannya, lalu kamu menangis kerana kasihan terhadap orang itu, maka ini adalah bukti bahwa Allah telah menjadikan rasa kasih sayang di dalam hatimu. Dan jika Allah telah menyisipkan rasa kasih sayang di dalam hati seseorang, maka dia termasuk bagian dari orang-orang penyayang yang disayangi Allah. Kita memohon agar Allah berkenan menyayangi kita semua.

Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya bersabar, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kamu bersabar dan mengharapkan pahala kepada Allah.” Dan di sini juga terdapat dalil bahwa inilah bentuk ungkapan belasungkawa (ucapan takziyah) yang baik.

Lebih baik daripada ucapan sebagian orang, Semoga Allah memberimu pahala besar, dan memberimu sebaik-baik takziyah dan semoga Dia mengampuni si mati. Ini adalah bentuk ucapan yang dipilih oleh ulama, tetapi yang dipilih Rasulullah lebih baik, kerana orang yang tertimpa musibah saat mendengar ucapan itu, lebih dapat menerimanya.

Takziyah sebetulnya bukanlah ucapan selamat sebagaimana anggapan sebagian orang awam! Diadakan upacara kematian dengan menyediakan kursi-kursi, serta memasang lilin dan memberikan hidangan makanan. (Dalam hal ini juga terdapat perbuatan mubadzir dan berlebihan yang dilarang, juga mengadakan hal yang tidak Allah ridhai urusan agama. Ada beberapa musibah yang sangat berbahaya terjadi akibat kebiasaan masyarakat untuk mendatangkan orang yang mahu membaca Al-Qur'an dalam acara seperti ini, di antaranya adalah menanamkan akidah yang rusak dalam fikiran orang, bahwa Al-Qur'an itu dapat dijadikan penyebab keberkahan bagi si mayat setelah kematiannya, agar dapat selamat dari adzab Allah walaupun dia berpaling, tidak mahu membaca dan mengamalkan hukum-hukum-Nya semasa hidupnya).

Tidak...! Takziyah itu menghibur dan menguatkan hati orang yang tertimpa musibah agar dia bersabar. Oleh kerana itu, jika seseorang tidak tertimpa musibah, seperti seseorang yang anak pamannya meninggal, sedang dia tidak begitu perhatian, maka orang ini tidak perlu ditakziyahi. Kerananya, ulama berkata, “Disunnahkan takziyah kepada orang yang ditimpa musibah.” Mereka tidak mengatakan disunnahkan takziyah kepada sanak famili, kerana famili bisa jadi tidak merasa tertimpa musibah dengan meninggalnya salah satu keluarga. Tetapi, bisa jadi sanak kerabatnya yang jauh justru lebih merasa tertimpa musibah kerana kuatnya persahabatan di antara mereka.

Bisa jadi, sebagian orang dalam keadaan miskin, antara dia dan anak pamannya terdapat banyak masalah, sedangkan anak pamannya itu memiliki uang jutaan, apakah orang ini bahagia bila anak pamannya meninggal dalam keadaan seperti ini atau apakah dia merasa tertimpa musibah? Umumnya orang itu senang dan berkata, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membebaskanku dari masalah dan mewariskan kepadaku harta si mayat!

Orang seperti ini tidak perlu ditakziyah, tapi perlu diucapkan selamat jika kita ingin mengatakan sesuatu kepadanya.

Hadits 30.
وَعَنْ صُهَيْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « كَانَ مَلِكٌ فيِمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ، فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ: إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ، فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلاَمًا يُعَلِّمُهُ، وَكَانَ فِي طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ، فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلَامَهُ فأَعْجَبَهُ، وَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْه، فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ، فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ: إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ: حَبَسَنِي أَهْلِي، وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ: حَبَسَنِي السَّا حِرُ. فَبيْنَمَا هُوَ عَلَى ذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتَ النَّاسَ فَقَالَ: اَلْيَوْمَ أَعْلَمُ السَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمِ الرَّا هِبُ أَفْضَلَ؟ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّة حَتَّى يَمْضِيَ النَّاسُ، فَرَ مَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ، فَأَتَى الرَّاهِبَ فَأَخبَرَهُ. فَقَلَ لَهُ الرَّاهِبُ: أَىْ بُنَيَّ أَنْتَ الْبَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّي، قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْركَ مَا أَرَى، وَإِنَّكَ سَتُبْتَلَى، فَإِنِ ابْتُلِيتَ فَلَا تَدُلَّ عَلَيَّ، وَكَانَ الْغُلاَمُ يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ، وَيُدَاوِي النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الْأَدْوَاءِ. فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِىَ، فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ: مَا هَهُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَني، فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا، إِنَّمَا يَشْفِي اللهُ تَعَالَى، فَإِنْ آمَنْتَ بِاللَّهِ تَعَالَى دَعَوْتُ اللهَ فَشَفَاكَ، فَآمَنَ بِاللَّهِ تَعَالَى، فَشفَاهُ اللهُ تَعَالَى، فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ: مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ؟ قَالَ: رَبِّي. قَالَ: وَلَكَ رَبٌّ غيْرِي؟، قَالَ: رَبِّي وَرَبُّكَ اللهُ، فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلَامِ فَجِئَ بِالْغُلَامِ، فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ: أَىْ بُنَيَّ قَدْ بَلَغَ مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الْأكْمَهَ وَالْأبرَصَ وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ فَقَالَ: إِنَّي لَا أَشْفِي أَحَدًا، إِنَّمَا يَشْفِي اللهُ تَعَالَى، فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ، فَجِيءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ: اِرْجَعْ عَنْ دِينِكَ، فَأَبَى، فَدَعَا بِالْمِنْشَارِ فَوُضِعَ الْمِنْشَارُ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ، فَشَقَّهُ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ، ثُمَّ جِئَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِلَ لَهَ: اِرْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى، فَوُضِعَ الْمِنْشَارُ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ، فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شُقَّاهُ، ثُمَّ جِىءَ بِالْغُلاَمِ فَقِيلَ لَهُ: اِرْجِعْ عَنْ دِينِكَ، فَأَبَى، فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أََصْحَابِهِ فَقَالَ: اِذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا فَاصَعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ، فَإِذَا بَلَغتُمْ ذِرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلاَّ فَاطْرَحُوهُ فَذَ هَبُوا بِهِ فَصَعَدُوا بِهِ الْجَبَل فَقَالَ: اَللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ، فَرَجَفَ بِهِمُ الْجَبَلُ فَسَقَطُوا، وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ، فَقَالَ لَهُ الْمَلكُ: مَا فَعَلَ أَصّحَابُكَ؟ فَقَالَ: كَفَانِيِمُ اللهُ تَعَالَى، فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: اِذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِي قُرْقُورٍ وَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ، فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاقْذِفُوهُ، فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ اكْفنِيهِمْ بِمَا شِئْت، فَانْكَفَأَتْ بِهِمُ السَّفِينَةُ فَغَرِ قُوا، وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ. فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ: مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ؟ فَقَالَ: كَفَانِيهِمُ اللهُ تَعَالَى. فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكُ لَسْتَ بِقَاتِلِي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ. قَالَ: مَا هُوَ؟ قَالَ: تَجْمَعُ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ، وَتَصْلُبُني عَلَى جِذْعٍ، ثُمَّ خُذْ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِي، ثُمَّ ضَعُِ السَّمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلُ: بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْغُلاَمِ ثُمَّ ارْمِنِي، فَإنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتنِي. فَجَمَع النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ، وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ، ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ، ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ، ثُمَّ قَالَ: بِسْمِ اللهِ رَبِّ الْغُلاَمِ، ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِي صُدْغِهِ، فَوَضَعَ يَدَهُ فِي صُدْغِهِ فَمَاتَ. فَقَالَ النَّاسُ: آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ، فَأُتِىَ الْمَلِكُ فَقِيلُ لَهُ: أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرَ قَدْ وَاللهِ نَزَلَ بِكَ حَذرُكَ. قَدْ آمَنَ النَّاسُ. فَأَمَرَ بِالْأُخْدُودِ بِأَفْوَاهِ السِِّكَكِ فَخُدَّتَ وَأُضْرِمَ فِيهَا النَّيرَانُ وَقَالَ: مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَقْحِمُوهُ فِيهَا أَوْ قِيلَ لَهُ: اِقْتَحِمْ، فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتِ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِيٌّ لَهَا، فَتَقَا عَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا، فَقَالَ لَهَا الْغُلَامُ: يَا أُمَّاهْ اِصْبِري فَانَّكِ عَلَي الْحَقِّ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Shuhaib radhiyallahu anhu, dia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:

Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang mempunyai seorang ahli sihir. Tatkala ahli sihir itu telah tua, dia berkata kepada rajanya: Aku telah tua (dan jika tuanku perlukan pengganti) maka hantarlah kepada aku seorang pemuda (ghulam) untuk aku ajarkannya ilmu sihir.

Raja kemudian menghantar seorang pemuda untuk tujuan tersebut. Secara kebetulan dalam perjalanan (untuk belajar ilmu sihir), si pemuda itu telah bertemu dengan seorang pendeta, lalu dia duduk dan mendengar ajaran si pendeta tersebut. Kemudian si pemuda itu tertarik dengan ajaran si pendeta sehingga dia terlewat sampai ke tempat ahli sihir. Apabila sampai, dia telah dipukul oleh ahli sihir. Kemudian dia telah mengadu kepada si pendeta yang ditemuinya tadi.

Si pendeta tersebut berkata: Jika kamu takut dipukul oleh ahli sihir itu, berilah alasan dengan berkata, Aku terlambat kerana ditahan untuk menyelesaikan urusan yang disuruh oleh keluargaku.” Dan jika kamu takutkan keluargamu (kerana terlewat balik ke rumah) maka, jawablah kepada mereka, Aku ditahan oleh ahli sihir itu.

Saat seperti itu, pada suatu hari dia bertemu dengan seekor binatang yang besar yang menghalang jalanan orang, dia berkata: Hari ini aku akan tahu, apakah ahli sihir lebih baik atau pendeta lebih baik. Dia mengambil batu lalu berkata: Ya Allah, bila urusan si pendeta lebih engkau sukai daripada ahli sihir itu maka bunuhlah binatang ini hingga orang ramai boleh lalu. Dia melemparkan batu itu lalu terbunuhlah binatang tersebut, sehingga orang ramai boleh lalu lalang di situ. Dia memberitahu hal itu kepada pendeta.

Si pendeta berkata: Anakku, saat ini engkau lebih baik daripadaku dan urusanmu telah sampai seperti yang aku lihat, engkau akan mendapat ujian, bila kau mendapat ujian jangan ditunjukkan kepadaku.

Si pemuda itu mampu menyembuhkan orang buta dan orang penyakit kusta serta berbagai penyakit. Lalu salah seorang teman raja yang buta mendengarnya, dia mendatangi pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak.

Dia berkata: “Sembuhkanlah aku, niscaya kau akan mendapat apa yang aku kumpulkan di sini.”

Si pemuda itu berkata: “Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah, apabila kau beriman pada-Nya, aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkan penyakitmu.

Teman raja itu pun beriman, lalu si pemuda itu berdoa kepada Allah sehingga lelaki buta itu pun sembuh. Teman raja itu kemudian mendatangi raja lalu duduk dekatnya.

Si raja berkata: “Wahai si fulan, siapa yang menyembuhkan matamu?

Orang itu menjawab: “Rabbku.

Si raja berkata: “Kau punya Rabb selain aku?

Orang itu berkata: “Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.

Si raja menangkapnya lalu menyiksanya hingga dia menunjukkan pemuda itu lalu pemuda itu dibawa datang dan raja berkata: “Wahai anakku, sihirmu yang boleh menyembuhkan orang buta, sopak, dan engkau dapat melakukan ini dan itu.

Si pemuda itu berkata: “Bukan aku yang menyembuhkan, yang menyembuhkan hanyalah Allah.

Si raja menangkapnya dan terus menyiksanya hingga akhirnya dia menunjukkan kepada pendeta. Si raja mendatangi pendeta, dan pendeta pun didatangkan lalu dikatakan padanya: “Tinggalkan agamamu.

Si pendeta tidak mahu, lalu raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat di tengah kepala pendeta hingga sebelahnya terjatuh di atas tanah. Setelah itu teman si raja itu didatangkan dan dikatakan padanya: “Tinggalkan agamamu.

Dia tidak mahu lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat di tengah kepalanya hingga sebelahnya jatuh di tanah. Setelah itu pemuda itu didatangkan lalu dikatakan padanya: “Tinggalkan agamamu.

Si pemuda itu tidak mahu. Lalu raja menyerahkan kepada sekelompok tenteranya. Raja berkata: “Bawalah dia ke gunung ini dan ini, bawalah dia naik, bila dia mahu meninggalkan agamanya (biarlah dia) dan bila dia enggan, lemparkan dia dari atas gunung.”

Mereka membawanya ke puncak gunung itu lalu si pemuda itu berdoa: “Ya Allah, selamatkanlah aku daripada kejahatan mereka sekehendak-Mu.” Ternyata gunung menggoncang mereka dan semuanya jatuh. Pemuda itu pulang hingga tiba di hadapan raja.

Si raja bertanya: “Bagaimana keadaan kawan-kawanmu?

Si pemuda itu menjawab: “Allah menyelamatkan aku daripada mereka.

Lalu raja menyerahkannya kepada sekumpulan tenteranya. Raja berkata: “Bawalah dia ke sebuah perahu lalu hanyutkan ke tengah laut, bila dia mahu meninggalkan agamanya (bawalah dia pulang) dan bila dia enggan, lemparkan dia.

Mereka pun membawanya ke tengah laut lalu si pemuda itu berdoa: “Ya Allah, selamatkanlah aku daripada mereka sekehendak-Mu. Ternyata perahunya terbalik dan mereka semua tenggelam. Pemuda itu pulang hingga tiba dihadapan raja.

Lalu si raja bertanya: “Bagaimana keadaan teman-temanmu?

Si pemuda itu menjawab: “Allah menyelamatkanku daripada mereka.” Setelah itu dia berkata kepada raja: “Kau tidak mampu membunuhku hingga kau bersedia melakukan yang aku perintahkan.

Si raja bertanya: “Apa yang kau perintahkan?

Si pemuda itu berkata: “Kumpulkan semua orang di tanah luas lalu saliblah aku di atas pelepah, ambillah anak panah daripada tabung panahku lalu letaklah di tengah-tengah busur dan ucaplah, dengan nama Allah, Rabb pemuda ini, kemudian panahlah aku. Bila kau melakukannya berarti kau akan membunuhku.

Akhirnya raja itu melakukannya. Dia meletakkan anak panah itu di tengah-tengah panah lalu di lepaskannya seraya berkata: “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.

Anak panah dilepaskannya ke pelapis pemuda itu lalu pemuda itu meletakkan tangannya di tempat panah itu menancap. Kemudian dia pun meninggal dunia. Orang-orang raja itu berkata: “Kami beriman dengan Rabb pemuda itu.

Kemudian si raja didatangkan, dan dikatakan padanya: “Tidakkah kamu akan sesuatu yang kau khuatirkan, demi Allah kini telah menimpamu. Yaitu orang-orangmu telah beriman seluruhnya. Si raja kemudian memerintahkan agar membuat parit di jalanan kemudian dinyalakan api.

Si raja berkata: “Siapa saja yang tidak mahu kembali kepada agama mereka semula, pangganglah di dalamnya.” Perintah itu pun dilaksanakan.

Mereka melakukannya hingga datanglah seorang wanita bersama anaknya, seperti dia hendak mundur agar tidak terjatuh dalam kubangan api lalu si bayi itu berkata: “Ibuku, bersabarlah, sesungguhnya engkau berada di atas kebenaran.

[Shahih Muslim no. 3005]

Penjelasan.

Hadits yang disebutkan Imam An-Nawawi rahimahullah dalam bab Sabar memuatkan kisah yang menakjubkan. Kisah seorang raja pada zaman dahulu yang memiliki ahli sihir. Raja menjadikan ahli sihir itu sebagai orang kepercayaannya, agar dapat digunakan untuk kemaslahatan pribadinya walau harus mengorbankan agama, kerana raja hanya memerhatikan kepentingan dirinya saja. Raja berlaku semena-mena dan menyuruh orang-orang untuk menyembah dirinya, sebagaimana diceritakan pada penghujung hadits.

Ahli sihir, saat sudah berusia lanjut, dia berkata kepada raja, “Kini sudah lanjut usia, kerana itu kirimlah kepadaku seorang pemuda untuk aku ajari ilmu sihir.”

Ahli sihir memilih pemuda, kerana pemuda lebih mudah untuk diajari. Mengajar anak muda lebih berbekas dan tidak mudah lupa. Oleh kerana itu, belajar saat kecil lebih baik daripada belajar setelah dewasa, walaupun pada keduanya terdapat kebaikan.

Bahkan, belajar di waktu kecil terdapat beberapa faedah, di antaranya:

Pertama, anak muda umumnya cepat dalam menghafal melebihi orang yang sudah tua, kerana anak mudah pikirannya masih kosong tidak dipenuhi dengan problematika yang membuatnya pusing untuk memikirkannya.

Kedua, apa yang dihafal oleh anak muda berbekas sedang apa yang dihafal orang yang sudah tua mudah dilupakan. Oleh kerana itu, ada pepatah yang cukup populer “Belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.” Yakni tidak akan hilang.

Ketiga, anak muda jika dididik suatu disiplin ilmu sejak kecil, maka ilmu itu akan menjadi pendorong dan kebiasaan baginya, sehingga seakan-akan terpatri dalam dirinya hingga ia dewasa dan tua kelak.

Ahli sihir ini sudah tua, usianya telah lanjut, dia telah memiliki banyak pengalaman hidup, mengetahui banyak hal. Ahli sihir meminta kepada raja memilih seorang pemuda yang akan diajarinya ilmu sihir, maka raja pun mengirim kepadanya seorang pemuda. Lalu diajarkanlah apa yang perlu diajarkan. Akan tetapi, Allah menghendaki kebaikan pada pemuda itu.

Suatu hari si pemuda berjumpa dengan seorang pendeta, dia mendengarkan perkataan dan takjub. Kerana pendeta tersebut tidak berbicara kecuali kebaikan. Bisa jadi, di samping seorang pendeta, dia juga seorang ulama, akan tetapi dia lebih sering dipanggil pendeta (rahib).

Yang patut digarisbawahi adalah si pemuda takjub terhadap pendeta. Apabila pergi dari rumahnya dia duduk bersama pendeta hingga terlambat datang ke tempat ahli sihir. Lalu ahli sihir memukulnya seraya berkata, “Mengapa kamu terlambat?” Si pemuda tersebut mengadukannya kepada si pendeta.

Pendeta mengajari cara agar dapat terlepas dari hal itu, dia berkata, “Jika kamu takut dipukul oleh ahli sihir itu, berilah alasan dengan berkata, “Aku terlambat kerana ditahan untuk menyelesaikan urusan yang disuruh oleh keluargaku.” Dan jika kamu takutkan keluargamu (kerana terlewat balik ke rumah) maka, jawablah kepada mereka, “Aku ditahan oleh ahli sihir itu.”

Si pendeta memerintahkan pemuda itu untuk berbohong walaupun hal itu adalah dusta. Mungkin saja, pendeta itu menganggap bahwa dengan kebohongan yang dilakukan itu maslahatnya jauh lebih besar daripada mafsadat (kerusakan) yang disebabkan oleh dusta. Walaupun sebetulnya masih bisa ditakwil.

Oleh kerana itu, pendeta itu melakukannya, hingga si pemuda mendatangi pendeta dan mendengarkannya kemudian dia pergi ke ahli sihir. Apabila ahli sihir hendak menyiksanya kerana keterlambatannya, dia berkata, “Keluargaku telah menahanku.”

Apabila si pemuda itu kembali ke keluarganya dan dia terlambat kerana pergi ke tempat pendeta, maka dia pun berkata, “Sesungguhnya ahli sihir telah menahanku.”

Suatu hari, si pemuda itu lewat di hadapan seekor binatang besar (dalam hadits tidak disebutkan jenis binatangnya), binatang tersebut telah menghadang orang-orang untuk lewat, mereka bisa melewatinya. Maka si pemuda ingin menguji apakah si pendeta lebih baik dari ahli sihir, lalu dia mengambil sebiji batu dan berdoa kepada Allah Ta'ala, “Hari ini aku akan tahu, apakah ahli sihir lebih baik atau pendeta lebih baik, “Ya Allah, bila urusan si pendeta lebih engkau sukai daripada ahli sihir itu maka bunuhlah binatang ini hingga orang ramai boleh lalu.” Dia melempar batu tersebut, lalu terbunuhlah binatang itu, maka orang-orang pun berjalan kembali.

Tahulah si pemuda itu bahwa si pendeta lebih baik dari ahli sihir. Ini merupakan hal yang tidak diragukan lagi kerana ahli sihir merupakan orang yang melampaui batas, zhalim dan kafir sekaligus musyrik. Jika dalam menjalankan sihirnya, ahli sihir itu meminta pertolongan setan-setan dengan mendekatkan diri kepadanya, menyembahnya dan memohon pertolongannya, maka dia kafir dan musyrik. Jika dia tidak melakukan hal itu, tetapi sudah menggangu orang lain dengan sihirnya itu, maka ini merupakan kezhaliman dan sikap melampui batas.

Sementara si pendeta jika dia menyambah Allah atas dasar ilmu, maka dia merupakan orang yang mendapatkan hidayah. Dan jika dia sedikit bodoh dan keliru, maka sebenarnya niatnya adalah baik walaupun amalannya buruk.

Yang terpenting di sini adalah si pemuda tersebut mengabarkan si pendeta mengenai apa yang terjadi, maka berkatalah pendeta kepada si pemuda itu, “Anakku, saat ini engkau lebih baik daripadaku.”

Hal itu kerana si pemuda tersebut berdoa kepada Allah kemudian Allah langsung mengabulkannya. Dan ini merupakan kenikmatan dari Allah terhadap hamba-Nya bahwa apabila seorang ragu terhadap sesuatu perkara, kemudian dia meminta kepada Allah untuk memberikan suatu tanda yang dapat menjelaskan kepadanya mengenai perkara tersebut, lalu Allah memberikannya, maka ini merupakan sebuah nikmat baginya.

Dari sinilah disyariatkan istikharah bagi seseorang apabila ingin melakukan suatu hal namun masih ragu untuk melakukannya; apakah hal itu baik atau tidak. Dia beristikharah kepada Allah dengan benar dan dengan keimanan, maka Allah akan memberikannya petunjuk yang dapat memperjelaskan apakah yang baik adalah melakukannya atau meninggalkannya. Bisa dengan cara ditanamkan dalam hatinya kecenderungan terhadap yang ini atau yang itu. Bisa juga dalam bentuk mimpi yang dilihatnya saat tidur. Atau bisa juga dengan bermusyawarah terhadap seseorang atau dengn cara lainnya.

Alhasil, bahwa salah satu karamah si pemuda itu adalah dapat menyembuhkan orang yang buta dan kusta. Yakni, dia berdoa lalu mereka sembuh. Dan ini merupakan karamah dari Allah yang diberikan kepadanya.

Kisah di atas tidak seperti kisah Isa putra Maryam yang dengan mengusap orang yang cacat kemudian langsung sembuh, akan tetapi pemuda tersebut hanya berdoa kepada Allah, lalu Allah mengabulkan doanya lantas orang yang buta dan terkena penyakit kusta tadi langsung sembuh.

Si pendeta memberitahukan kepada si pemuda itu bahwa dirinya akan diuji, yakni dia akan mendapatkan musibah dan ujian. si pendeta meminta kepadanya apabila nanti dia ditimpa musibah itu, agar dia tidak memberitahukan kepada sesiapa pun mengenai keberadaan pendeta.

Doa si pemuda ini manjur (berkesan); jika dia berdoa kepada Allah langsung dikabulkan. Raja mempunyai seorang teman yang buta, dia membawakan hadiah yang banyak untuk pemuda ini tatkala dia mendengar mengenai pemuda tersebut dan dia berkata, “Sembuhkanlah aku, niscaya kau akan mendapat apa yang aku kumpulkan di sini.” Si pemuda itu menjawab, “Aku tidak dapat menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah, apabila kau beriman pada-Nya, aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkan penyakitmu.”

Perhatikan keimanannya, dia tidak tertipu dengan dirinya sendiri dan tidak mengaku bahwa dirinya yang menyembuhkan orang sakit, akan tetapi dia mengatakan, “Yang menyembuhkan hanyalah Allah.”

Dalam beberapa segi ada kemiripan dengan apa yang pernah dialami Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah tatkala dibawa ke hadapannya seorang lelaki yang kesurupan jin, lalu Syaikh Ibnu Tamiyah meruqyahnya, tetapi jin itu tidak mahu keluar, maka dipukullah orang yang kesurupan jin oleh Syaikh di atas lehernya dengan pukulan yang keras, hingga pukulan beliau membuat orang itu merasa kesakitan. Lalu barulah jin yang merasuki lelaki itu berkata, “Aku akan keluar kerana menghormati Syaikh.”

Syaikh berkata kepadanya, “Jangan keluar kerana menghormatiku, tetapi keluarlah kerana taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dia tidak mahu merasa punya keutamaan, tetapi keutamaan di matanya hanyalah milik Allah semata, keluarlah jin tersebut dan kala itu juga lelaki tadi siuman dan berkata, “Apa yang membawaku berada di hadapan Syaikh?” Sebab saat kesurupan mungkin dia berada di rumahnya atau di pasar. Orang-orang berkata, “Subhanallah!” kamu tidak merasakan pukulan tadi?” Dia menjawab, “Aku sama sekali tidak merasakannya.” Kemudian orang-orang memberitahunya tentang apa yang terjadi dan akhirnya orang itu pun sembuh.

Intisari dari kisah di atas adalah orang yang berilmu dan beriman tidak menyandarkan nikmat Allah kepada diri mereka, akan tetapi mereka menyandarkan kepada pemiliknya, yaitu Allah Ta'ala.

Pemuda itu berkata, “Apabila kau beriman pada-Nya, aku akan berdoa kepada-Nya agar menyembuhkan penyakitmu.” Orang itu pun beriman kepada Allah Ta'ala, lalu pemuda tersebut berdoa kepada Rabb-Nya agar berkenan menyembuhkan orang itu, maka Allah pun menyembuhkannya dan lelaki itu dapat melihat kembali.

Kemudian dia pergi menemui raja dan duduk di dekatnya sebagaimana biasanya, dia membawa serta pemuda dan menceritakan kepadanya tentang kejadian yang dialaminya. Si raja langsung menyiksanya dengan siksaan yang sangat keras.

Si raja berkata, “Siapa yang mengajarimu hal ini?” Si pendeta pernah berkata kepadanya, “Engkau akan mendapat ujian, bila kau mendapat ujian jangan ditunjukkan kepadaku.” Akan tetapi pemuda itu mungkin sudah tidak sanggup lagi bertahan sehingga dia pun menceritakan keberadaan si pendeta itu.

Raja ini adalah raja yang bengis, dia telah menyiksa temannya yang buta yang telah beriman terhadap dakwah pemuda itu dengan siksaan yang sangat keras, hanya kerana dia mengatakan, “Rabbku.” Si raja berkata, “Kau punya Rabb selain aku?”

Tatkala mereka menunjukkan keberadaan pendeta, si pendeta pun dibawa dan diminta untuk mengatakan bahwa raja ini adalah Tuhannya, akan tetapi dia menolak untuk berpaling dari agamanya.

Mereka membawa gergaji lalu membelahnya dari atas kepala, di mulai dari bagian teratas kepalanya kemudian leher dan punggungnya hingga tubuhnya terbelah menjadi dua. Namun demikian, hal itu tidak menjadikan dia berpaling dari agamanya. Dia rela untuk dibunuh dengan cara seperti itu, asalkan tidak berpaling dari agamanya. Masyaa Allah!!

Kemudian dibawa orang lelaki yang buta ke hadapan raja, dia tetap beriman dan mengingkari raja. Dia diminta untuk berpaling dari agamanya, namun dia menolak, lalu dia pun diperlakukan seperti halnya si pendeta. Namun hal itu tidak dapat memalingkannya dari agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa sudah sepatutnya manusia bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah.

Tapi, apakah seseorang wajib bersabar jika dia ingin dibunuh atau bolehkah dia mengatakan perkataan kufur dalam keadaan terpaksa?

Dalam hal ini ada beberapa penerangan secara terperinci:

Jika permasalahannya menyangkut jiwa, maka dia boleh memilih, jika dia mahu dia boleh mengatakan perkataan kufur untuk membela diri, namun hatinya tetap tenang dengan keimanan. Dan jika mahu, dia boleh bersikap keras untuk menolaknya walaupun harus mati. Ini apabila menyangkut jiwa orang itu sendiri.

Adapun jika urusannya menyangkut agama, dengan kata lain seandainya dia kufur nyata-nyata di depan orang banyak, lalu orang-orang pun ikut menjadi kafir, maka dia tidak boleh mengatakan perkataan kufur, bahkan dia harus sabar walaupun dia harus mati, seperti halnya jihad di jalan Allah.

Seorang mujahid berperang walaupun harus menghadapi kematian, kerana dia ingin meninggikan kalimat Allah. Jika seorang imam dipaksa untuk mengatakan perkataan kufur, tidak boleh baginya untuk mengatakan perkataan kufur tersebut apalagi di zaman fitnah, seharusnya dia bersabar walaupun harus mati.

Seperti apa yang terjadi pada Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah tatkala dia ditimpa ujian besar yang sangat masyhur, dia disuruh untuk mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk bukan kalamullah, lalu dia menolak . Dia pun disiksa dan di-ta'zir. Bahkan, dia pernah diseret dengan keledai di pasar. Imam ahli sunnah diseret dengan keledai di pasar dan dicambuk!! Akan tetapi setiap kali siuman dia mengatakan “Al-Qur'an firman Rabb-ku, bukan makhluk.”

Tidak diperbolehkan baginya untuk mengatakan perkataan kufur, walaupun dalam kondisi terpaksa, kerana orang-orang menantikan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad, seandainya dia berkata Al-Qur'an adalah makhluk, semua orang akan mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan rusaklah agama.

Akan tetapi, dia menjadikan dirinya sebagai korban, demi membela agama, walaupun demikian adanya dia tetap bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah. Bagi-Nyalah penghabisan dari suatu urusan dan bagi-Nyalah pujian.

Khalifah yang berkuasa itu meninggal dunia dan meninggal pula khalifah yang menggantikannya hingga akhirnya Allah mendatangkan khalifah yang shalih yang sangat memuliakan Imam Ahmad bin Hambal. Tidaklah Imam Ahmad meninggal dunia kecuali setelah Allah senangkan hatinya hingga dapat mengatakan kebenaran dengan suara lantang dan orang-orang ikut mengatakan kebenaran bersamanya.

Musuh-musuh Allah dihinakan, dan ini merupakan dalil bahwa akhir dari segala urusan adalah milik orang yang bersabar.

Pemuda tersebut menolak berpaling dari agamanya, maka raja menyerahkan kepada beberapa tenteranya dan berkata kepada mereka, “Bawalah dia ke gunung ini dan ini. Gunung yang terkenal di kalangan mereka, sebuah gunung yang tinggi dan terjal dan dia berkata mereka, “lemparkan dia dari atas gunung.” Yakni lemparlah ke bawah agar jatuh dari atas gunung dan meninggal, setelah ditawarkan terlebih dahulu untuk meninggalkan agamanya; jika mahu keluar dari agamanya, dia akan dilepaskan. Tapi, jika tidak, maka mereka akan melemparkannya.

Tatkala sampai di puncak gunung, mereka meminta pemuda itu untuk keluar dari agamanya, dia pun langsung menolaknya kerana keimanan telah tertancap di relung hatinya, tidak mungkin berubah atau tergoncangkan. Tatkala mereka hendak melemparkannya, pemuda tersebut berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku daripada kejahatan mereka sekehendak-Mu.”

Doa orang mukmin yang terdesak, “Ya Allah, selamatkanlah aku daripada kejahatan mereka sekehendak-Mu.” Yakni, dengan cara apa saja yang Allah kehendaki. Dia tidak menentukan caranya. Maka Allah guncangkan bagi mereka gunung itu dan mereka pun berjatuhan dari atas gunung dan mati.

Lalu pemuda itu mendatangi si raja dan raja pun bertanya, “Bagaimana keadaan kawan-kawanmu?” 

Dia menjawab, “Allah menyelamatkan aku daripada mereka.”

Pemuda itu ditangkap dan diserahkan kembali kepada sekelompok tentera yang lain untuk membawanya naik kapal lalu ditenggelamkan di tengah lautan. Pasukan tentera itu membawanya naik kapal, sementara pemuda itu berdoa, “Ya Allah, selamatkanlah aku daripada kejahatan mereka sekehendak-Mu.” Seketika kapal itu terbalik dan mereka tenggelam.

Pemuda itu pun kembali kepada si raja. Setibanya di tempat raja, si raja bertanya keheranan, “Bagaimana keadaan teman-temanmu? Dia pun memberitahukan apa yang terjadi. Kemudian dia berkata kepada raja, “Kau tidak mampu membunuhku hingga kau bersedia melakukan yang aku perintahkan.” Si raja bertanya, “Apa yang kau perintahkan?” Si pemuda itu menjawab, “Kumpulkan semua orang di tanah luas lalu saliblah aku di atas pelepah, ambillah anak panah daripada tabung panahku lalu letaklah di tengah-tengah busur dan ucaplah, dengan nama Allah, Rabb pemuda ini, kemudian panahlah aku. Bila kau melakukannya berarti kau akan membunuhku.”

Mendengar penjelasan yang demikian, si raja tersebut segera mengumpulkan orang banyak di salah satu lapangan dan menyalib pemuda itu di atas tiangnya, seraya mengambil anak panah dari tempatnya dan diletakkan pada busurnya kemudian membaca, “Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini,” dan dilepaskanlah anak panah itu ke arah pelipisnya, kemudian pemuda itu meletakkan tangannya pada pelipis yang terluka, lalu dia pun mati. Pada saat itu juga serentak orang-orang berkata, “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu.” Mereka beriman kepada Allah dan ingkar terhadap raja. Inilah yang diinginkan pemuda tersebut.

Pada potongan hadits ini terdapat beberapa kesimpulan:

1. Kuatnya keimanan pemuda tersebut, bahwa dia tidak goyah dan tidak berubah keimanannya.

2. Dalam kisah itu menunjukkan di antara kekuasaan Allah. Allah Ta'ala memuliakan pemuda itu dengan mengabulkan doanya hingga gunung itu digoncangkan bagi orang-orang yang hendak melemparkannya dari puncak gunung tersebut, sehingga mereka semua jatuh ke bawah.

3. Allah mengabulkan doa orang yang terdesak jika meminta kepada-Nya. Apabila seseorang berdoa kepada Allah dalam keadaan terdesak dengan yakin bahwa Allah akan mengabulkan doanya, Allah akan mengabulkannya. Bahkan, walaupun orang kafir, apabila dia berdoa kepada Allah dalam keadaan terdesak, Allah akan mengabulkannya. Walaupun Allah tahu dia akan kembali kepada kekufuran. Dan apabila mereka ditutupi ombak yang besar seperti gunung, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka, mereka kembali menyekutukan Allah. Allah menyelamatkan mereka, kerana mereka benar saat berdoa kembali kepada Allah dan mengabulkan orang yang terdesak walaupun dia kafir.

4. Seseorang boleh mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan umum kaum muslimin. Pemuda tersebut menunjukkan kepada si raja cara yang dapat membunuh dirinya sendiri, yaitu dengan mengambil panah dari tempatnya dan seterusnya.

Syaikhul Islam berkata, Kerana ini adalah jihad di jalan Allah, orang banyak beriman kerananya, dan dia tidak kehilangan apa pun, kerana cepat atau lambat, dia tetap akan meninggal.

Adapun bunuh diri yang dilakukan sebagian orang dengan membawa alat peledak kemudian pergi ke tengah orang-orang kafir dan setelah sampai di tengah mereka, dia ledakkan, ini adalah termasuk bunuh diri. 

Barangsiapa membunuh dirinya dia akan kekal di neraka jahanam selama-lamanya sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kerana orang ini membunuh dirinya bukan untuk kemaslahatan Islam. Apabila dia telah membunuh dirinya lalu membunuh sepuluh atau seratus, atau bahkan dua ratus orang kafir, Islam tidak mendapatkan manfaat dari hal itu, kerana tidak ada seorang pun masuk islam kerananya. Berbeda dengan kisah pemuda tadi. Bahkan, bisa jadi hal tersebut dapat menambah kemurkaan musuh dan membuat meletus kemarahan hingga mereka membuat kaum muslimin binasa.

Sebagaimana yang dilakukan orang-orang Yahudi terhadap penduduk Palestina. Penduduk Palestina jika salah seorang dari mereka meninggal kerana peledakan ini dan mati bersamanya enam atau tujuh orang Yahudi, orang-orang Yahudi langsung menghentam enam puluh orang Palestina atau bahkan lebih. Tidak mendatangkan manfaat untuk kaum muslimin atau agama Islam itu sendiri.

Oleh kerana itu kami berpendapat bahwa bunuh diri yang dilakukan sebagian orang dengan cara seperti itu adalah cara yang tidak benar dan ini dapat menyebabkan pelakunya masuk neraka, bukan mati syahid. Akan tetapi, jika seseorang melakukan hal itu dengan takwil bahwa itu adalah jihad, maka hal itu bisa dilakukan, kita berharap semoga dia selamat dari dosa. Adapun masalah mati syahid, maka itu bukan mati syahid, kerana dia tidak menempuh jalan yang benar untuk mati syahid dan barangsiapa berijtihad lalu salah, baginya satu pahala.

Hadits 31.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِامْرَأَةٍ تَبْكِيْ عِنْدَ قَبْرٍ فَقَالَ: « اتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ » فَقَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي، فَانَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيْبَتِيْ، وَلَمْ تَعْرِ فْهُ، فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَتْ بَابَ النَّبِّيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ، فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِ فْكَ، فَقَالَ: « إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأَوْلَى » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjumpai seorang wanita sedang menangis di atas sebuah kuburan, maka baginda bersabda:

Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.

Wanita itu berkata: “Pergilah dari sini, kerana kamu tidak pernah ditimpa musibah seperti yang aku alami.

Wanita itu tidak tahu bahwa yang berkata itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, ada seseorang yang memberitahukan bahwa dia adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wanita itu segera datang ke rumah baginda, dan dia tidak menjumpai penjaga pintu sehingga mudah memasukinya.

Kemudian dia berkata: “Aku tidak tahu kalau orang yang berkata tadi adalah engkau.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sabar (yang mendapatkan pahala) hanyalah sabar pada saat benturan pertama (awal) dari musibah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1283. Muslim no. 626]

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Wanita itu menangisi anaknya yang baru meninggal dunia.

Penjelasan.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjumpai seorang wanita yang sedang menangisi bayinya yang telah meninggal, kerana dia sangat mencintainya, sehingga dia tidak bisa menahan dirinya untuk keluar menuju kuburan anaknya dan menangis di sana. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, melihatnya, baginda menyuruhnya agar bertakwa kepada Allah dan bersabar.

Baginda berkata kepadanya, Bertakwalah kepada Allah dan sabarlah.

Wanita itu berkata, Pergilah dari sini, kerana kamu tidak ditimpa musibah seperti yang aku alami.

Ini menunjukkan bahwa musibah yang menimpanya itu sangat besar, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun meninggalkannya.

Kemudian, dikatakan kepadanya bahwa orang yang memberitahunya itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wanita itu menyesali perbuatannya dan menghadap baginda seraya berkata, Aku tidak tahu kalau orang yang berkata tadi adalah engkau.

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya sabar (yang mendapatkan pahala) hanyalah sabar pada saat benturan pertama (awal) dari musibah.”

Kesabaran yang diganjar oleh Allah bagi pelakunya adalah jika dia sabar pada saat pertama ketika ditimpa musibah, itulah kesabaran. 

Sedangkan kesabaran setelah itu, barangkali dia telah mendapatkan hiburan seperti dihibur dengan binatang. Maka kesabaran yang sebenarnya adalah ketika manusia ditimpa musibah, maka dia sabar sejak awal dan memohon pahala kepada Allah, bersikap baik dan berkata,

Inna lillahi wa inna ilahi raaji'un. Ya Allah berilah aku pahala atas musibah yang menimpaku dan gantilah dia dengan sesuatu yang lebih baik darinya.

Dalam hadits ini terdapat banyak faedah:

1. Rasulullah adalah seorang yang berakhlak baik dan baginda senantiasa mengajak kepada kebenaran dan kebajikan. Oleh kerana itu, ketika baginda melihat wanita itu menangis di kuburan, baginda menyuruhnya agar bertakwa kepada Allah dan bersabar. 

Ketika wanita itu berkata, Pergilah dari sini. Baginda tidak marah dan tidak memukul wanita itu serta tidak membalasnya dengan kekuatan, kerana dia tahu bahwa wanita itu sedang ditimpa musibah sehingga mengalami kesedihan dan tidak kuasa menahan dirinya. Kerana itu dia keluar dari rumahnya untuk menangis di atas kuburan.

Jika orang bertanya, “Bukankah ziarah kubur hukumnya haram bagi wanita?”

Kami jawab, “Benar, haram bagi wanita berziarah kubur, bahkan termasuk dosa besar!! Disebutkan dalam sebuah hadits, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita-wanita yang berziarah kubur dan yang menjadikannya sebagai masjid.”

[Hr. At- Tirmidzi no. 1056. Abu Dawud no. 3236, dinilai Dha'if oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Dha'ifah no. 225]

Akan tetapi, wanita itu datang ke kuburan bukan untuk ziarah, melainkan di dalam hatinya ada kerinduan yang sangat kepada bayi yang meninggalkannya dan kerana dia sangat bersedih. Dia tidak kuasa menahan dirinya untuk tidak datang ke kuburan itu. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memaafkannya dan tidak membalasnya dengan kekuatan serta tidak memaksanya untuk pulang ke rumahnya.

2. Seseorang itu dimaafkan kerana tidak tahu, baik dia tidak tahu kepada hukum syariat mahupun tidak tahu terhadap keadaan. Wanita itu berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Pergi dari sini.” Padahal, baginda telah menyuruhnya dengan baik, agar bertakwa dan bersabar. Akan tetapi, wanita itu tidak tahu bahwa yang berkata itu adalah Rasulullah. Kerana itu baginda memaafkannya.

3. Tidak sepantasnya bagi seorang yang bertanggung jawab terhadap urusan kaum muslimin untuk meletakkan seorang penjaga di rumahnya, guna melarang orang yang sedang membutuhkan untuk masuk, kecuali jika dia takut terlalu banyak orang yang datang dan berdesak-desakan, serta sedang sibuk dengan urusan lain, sedangkan urusan mereka akan selesaikan waktu lain.

4. Kesabaran yang pelakunya dipuji oleh Allah adalah kesabaran yang dilakukan pada saat pertama kali ditimpa musibah. Jika pada saat itu dia bersabar, mengharapkan pahala dan mengetahui bahwa Allah berhak mengambil apa yang menjadi milik-Nya dan berhak untuk memberi, serta segala sesuatu ada ukurannya.

5. Menangis di kuburan dapat menafikan kesabaran, kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.

Ada di antara manusia yang jika ditimpa musibah, misalnya salah satu keluarganya meninggal, maka dia sering berkunjung ke kuburnya dan menangis di sana. Tindakan semacam ini dapat menafikan kesabaran. Tetapi, kami katakan, jika kamu ingin memberi manfaat kepada mayat itu, berdoalah kepada Allah tatkala kamu berada di rumahmu dan tidak perlu kamu pergi berkali-kali ke kuburnya, kerana hal itu menjadikan manusia selalu menghayalkan mayat itu dalam angannya dan tidak mahu pergi darinya, sehingga dia tidak segera dapat melupakan musibah itu selamanya. Sebaiknya dia segera melupakan musibah itu semampunya.

Hadits 32.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِيْ جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةَ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Allah Ta'ala berfirman, “Tidaklah seorang hamba-Ku yang beriman memperoleh pahala dari sisi-Ku, (yaitu)  jika Aku mengambil kembali kekasihnya dari penghuni dunia, kemudian dia mengharapkan pahala kerananya melainkan baginya surga.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6424]

Penjelasan.

Hadits ini diriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Allah, dan para ulama menamakan hadits seperti ini dengan hadits Qudsi, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriyawatkannya dari Allah.

Kata Ash-Shafi berarti orang yang dipilih oleh manusia dari anak, saudara, paman, ayah, ibu, teman dan sebagainya. Yang jelas orang yang dipilih oleh manusia dan dilihat bahwa dia punya hubungan kuat dengannya. Jika dia diambil nyawanya oleh Allah, lalu orang itu sabar dan mengharapkan pahala dari Allah, maka tidak ada balasan baginya, kecuali surga.

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah memuliakan hamba-hamba-Nya, kerana kekuasaan adalah milik Allah dan segala urusan itu milik-Nya. Kamu dan kekasihmu, semuanya milik Allah. Oleh kerana itu, jika Allah mengambil kekasih pilihan seseorang, kemudian dia sabar dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dia akan mendapatkan balasan yang besar.

Hadits ini mempunyai beberapa faedah; yaitu hadits ini mengisyaratkan bahwa Allah mempunyai perbuatan sebagaimana yang difirmankan-Nya, Jika Aku mengambil kembali kekasihnya, dan tidak diragukan bahwa Allah Maha melaksanakan apa yang Dia kehendaki. Tetapi, kita harus tahu bahwa perbuatan Allah seluruhnya lebih baik dan tidak ada keburukan yang dinisbatkan kepada Allah selamanya. Keburukan jika terjadi maka itu terjadi objek, bukan pada perbuatan itu sendiri. Misalnya, jika Allah mentakdirkan sesuatu kepada manusia yang tidak disukainya, maka tidak diragukan bahwa apa yang dibenci manusia itu menurutnya buruk, tetapi keburukan dalam hal ini bukan ada pada takdir Allah kerana Allah tidak mentakdirkan kecuali untuk hikmah yang besar, baik untuk orang yang ditetapkan takdirnya maupun bagi semua makhluk.

Kadang-kadang, hikmah itu khusus bagi orang yang ditetapkan takdirnya dan kadang hikmahnya bersifat umum bagi semua makhluk.

Orang yang ditetapkan takdir buruknya, lalu dia sabar dan mengharapkan pahala dari Allah, maka atas kesabarannya itu dia akan mendapatkan banyak kebaikan. Jika Allah menetapkan keburukan kepadanya lalu dia kembali kepada Tuhannya atas keburukan itu, maka dia akan mendapatkan pahala, kerana manusia selalu mendapatkan kenikmatan, kadang lupa bersyukur kepada pemberi nikmat dan tidak mahu berpaling kepada Allah. Tetapi jika dia ditimpa kesusahan, maka dia akan ingat dan kembali kepada Tuhannya sehingga mendapatkan faedah yang besar.

Adapun bagi orang lain, jika mereka melihat apa yang terjadi pada orang yang ditakdirkan dengan keburukan itu, maka mereka akan mengambil pelajaran darinya.

Kita ambil contoh, seseorang itu memiliki rumah yang dibuat dari tanah, lalu Allah mengirimkan hujan deras terus-menerus, maka pemilik rumah ini akan mengalami musibah, tetapi hal itu demi kemaslahatan umum, yaitu kemaslahatan yang bermanfaat bagi mereka. 

Peristiwa itu buruk bagi satu orang, tetapi baik bagi orang banyak. Jika peristiwa itu buruk bagi seseorang, maka perkara itu tetap dianggap positif jika masih mengandung unsur kebaikan di sisi orang lain. Orang lain mengambil pelajaran darinya dan mengetahui bahwa Allah-lah tempat kembali segala sesuatu dan tidak ada tempat kembali kecuali kepada-Nya, sehingga dari peristiwa itu dia dapat mengambil faedah yang besar, yang diperolehnya kerana musibah itu.

Yang jelas penulis (Imam An-Nawawi) menyebutkan hadits ini pada bab Sabar, kerana di dalamnya terkadung faedah yang besar, yaitu jika seorang kekasihnya diambil oleh Allah, maka tidak ada pahala yang pantas untuknya, kecuali surga.

Hadits 33.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضَيَ اللهُ عَنْهَا أَنَهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الطَّاعُوْنِ، فَأَخْبَرَهَا « أَنَهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللهُ تَعَالَى عَلَى مَنْ يَشَاءُ، فَجَعَلَهُ اللَّهُ تَعَالَى رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِيْنَ، فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ فِي الطَّاعُوْنِ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا مُحْتَسِبًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا يُصِيْبُهُ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَهُ إِلاَّ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيْدِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya, dia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang wabah penyakit tha'un, kemudian baginda memberitahu bahwa wabah itu merupakan adzab (siksaan) yang ditimpakan oleh Allah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, akan tetapi Allah menjadikannya sebagai rahmat bagi orang-orang yang beriman. Maka, seseorang yang tetap tinggal pada satu daerah yang terjangkit wabah dan dia sabar serta hanya memohon kepada Allah, kemudian sadar bahwa dia tidak akan tertimpa wabah itu kecuali Allah menakdirkannya, maka ia akan mendapat pahalanya orang yang mati syahid.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3474]

Penjelasan.

Kata Ath-Tha'un berarti wabah tertentu. Ada juga mengartikan wabah yang menimpa secara umum di seluruh penjuru negeri hingga seluruh penduduknya mati. 

Baik wabah itu bersifat khusus mahupun umum, seperti kolera dan lain-lain, sesungguhnya wabah adalah adzab yang dikirimkan oleh Allah, akan tetapi itu juga merupakan rahmat bagi orang-orang Mukmin jika dia tetap tinggal di negerinya dengan penuh kesabaran dan mengharapkan pahala dari Allah, kerana dia tahu bahwa dirinya tidak akan timpa wabah itu, kecuali jika ditakdirkan oleh Allah, kerana Allah akan menulisnya seperti pahala yang diberikan kepada orang yang mati syahid.

Oleh kerana itu, dijelaskan dalam sebuah hadits shahih dari Abdurahman bin Auf radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka jangan kamu mendatanginya dan jika wabah itu turun di suatu negeri yang kamu di dalamnya, maka jangan kamu keluar untuk menghindarinya.

[Shahih Al-Bukhari no. 5729, 5730. Muslim no. 2219]

Jika ada wabah menimpa suatu negeri, maka janganlah kita datang ke negeri itu, kerana bila kita datang ke negeri itu, sama saja dengan menjerumuskan diri kita sendiri ke dalam kehancuran. Akan tetapi, jika masibah itu terjadi di negeri kita sendiri, maka janganlah kita keluar darinya untuk menyelamatkan diri, kerana walaupun kamu melarikan diri dari takdir Allah, jika musibah itu akan menimpa maka tidak ada gunanya kamu melarikan diri.

Ingatlah sesuatu peristiwa yang dikisahkan oleh Rasulullah kepada kita tentang orang-orang yang keluar dari kampung mereka kerana takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka,

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang ke luar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kalian,” kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 2: 243)

Kemudian, Allah menghidupkan mereka lagi untuk menjelaskan kepada mereka bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri dari ketetapan Allah, kecuali kepada Allah sendiri. 

Mereka keluar dari negeri mereka dan jumlah mereka ribuan. Sebagian ulama dalam menafsirkan ayat tersebut berpendapat, “Sesungguhnya telah turun wabah penyakit dari suatu negeri, lalu mereka keluar darinya. Maka Allah Ta'ala berfirman kepada mereka, Matilah kalian. Kemudian, Allah menghidupkan mereka kembali hingga jelaslah bagi mereka bahwa tidak ada jalan untuk melarikan diri dari Allah, kecuali kepada-Nya.

Sedangkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, terdapat dalil tentang keutamaan sabar dan memohon pahala kepada Allah. Sesungguhnya jika manusia sabar terhadap dirinya di bumi yang turun wabah di dalamnya, kemudian mati di tempat itu, maka Allah akan mencatat pahalanya seperti pahala orang yang mati syahid.

Demikian itu, kerana jika manusia yang negerinya terserang wabah, kehidupan mahal harganya bagi manusia, maka dia akan melarikan diri kerana takut kepada wabah itu. Jika dia sabar dan tetap tinggal di negeri itu seraya meminta pahala dari Allah dan dia tahu bahwa dirinya tidak akan tertimpa musibah itu kecuali ditetapkan Allah untuknya, kemudian mati, maka dicatat untuknya pahala seperti pahala yang diberikan kepada orang mati syahid. Ini merupakan nikmat Allah Ta'ala.

Hadits 34.
وَعَنْ أَنَسِِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: » إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِيْ بِحَبِيْبتَيْهِ فَصَبَرَ عَوَّضْتُهُ مِنْهُمَا الْجَنَّةَ » يُرِيْدُ عَيْنَيْهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman: Apabila aku menguji salah seorang hamba-Ku dengan kebutaan pada kedua matanya, kemudian dia mampu bersabar, maka Aku akan menggantikan keduanya dengan surga.

[Shahih Al-Bukhari no. 5653]

Penjelasan.

Di dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Tuhannya bahwa tidak seorang pun manusia yang dibutakan oleh Allah kedua matanya, kemudian dia sabar atas hal itu, maka tidak ada pahala pengganti yang akan diberikan Allah kepadanya, kecuali surga, kerana mata adalah sesuatu yang dicintai manusia. Maka, jika Allah mengambil keduanya dan dia sabar serta memohon pahala kepada Allah, maka Allah akan menggantikannya dengan surga.

Nilai surga sama dengan dunia dan seluruh isinya, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Satu meter yang menjadi bagian salah seorang di antara kamu di surga, lebih baik daripada dunia dan seisinya.

[Shahih Al-Bukhari no. 2892]

Kerana apa yang ada di akhirat bersifat abadi, tidak rusak dan tidak hancur, sedangkan dunia seluruhnya hancur dan binasa. Oleh kerana itu, lahan yang sedikit di surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya. 

Ketahuilah bahwa Allah jika mengambil salah indera manusia, biasanya Allah akan menggantikannya dengan indera yang lain yang meringankan penderitaannya akibat kehilangan inderanya itu.

Orang buta biasanya diberikan kekuatan oleh Allah untuk merasakan dan mengenal, sehingga sebagian orang buta ada yang bisa berjalan di pasar seperti orang melihat, bisa mengindera keramaian di pasar, mengindera tempat-tempat yang berbahaya, dan tempat-tempat yang tinggi, hingga sebagian mereka ada yang mengetahui angkutan kota yang akan dinaikinya dari hujung kota ke rumahnya dengan tepat dan dia berkata kepada si taxi: ke kiri ke kanan hingga dia sampai di depan pintu rumahnya. kerana si taxi tidak tahu rumahnya, Subhanallah.

Hadits 35.
وَعَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِيْ رَبَاحٍ قَالَ: قَالَ لِيَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَصِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَلَا أُرِيْكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ فَقُلْتُ: بَلَى، قَالَ: هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللهَ تَعَالَى لِىْ، قَالَ: « إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُعَافِيَكِ » فَقَالَتْ: أَصْبِرُ، فَقَالَتْ: إِنِّى أَتَكَشَّفُ، فَادْعُ اللهَ أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ، فَدَعَا لَهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Atha' bin Abi Rabah dia berkata, “Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata kepadaku, “Mahukah kamu aku tunjukkan seorang wanita ahli surga?

Aku menjawab: “Ya.

Ibnu Abbas berkata: “Dia adalah seorang wanita berkulit hitam yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, aku biasa pingsan (kerana kerasukan jin) dan auratku ternampak (ketika sedang sakit), maka berdoalah kepada Allah Ta'ala untukku.

Baginda menjawab: “Jika kamu mahu, bersabarlah dan kamu akan mendapat surga, dan jika kamu mahu, aku akan berdoa kepada Allah agar Allah menyembuhkanmu.”

Wanita itu menjawab: “Baiklah aku akan bersabar.” Wanita itu berkata lagi: “Auratku terbuka ketika pengsan (kerasukan), maka berdoalah kepada Allah agar (auratku) tidak terbuka lagi (kerananya).

Maka baginda mendoakan untuknya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5652. Muslim no. 2576]

Penjelasan.

Perkataan, Maukah kamu aku tunjukkan seorang wanita ahli surga? Ibnu Abbas menawarkan hal itu kepada Atha' bin Abi Rabah.

Hal itu, kerana penduduk surga dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dipersaksikan dengan ciri-cirinya. Sedangkan bagian kedua ditunjukkan langsung individunya.

Adapun yang dipersaksikan bahwa dia merupakan penghuni surga berdasarkan ciri-cirinya adalah seluruh orang beriman dan bertakwa, kita bersaksi bahwa mereka adalah calon penghuni surga. Sebagaimana firman Allah Ta'ala mengenai surga:

Disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (QS. Âli 'Imrân: 3: 133)

Allah Ta'ala juga berfirman:

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
(QS. Al-Bayyinah: 98: 7-8)

Setiap orang beriman, bertakwa dan beramal shalih kita persaksikan bahwa dia termasuk calon ahli surga.

Tetapi, kita tidak boleh mengatakan Fulan dan Fulan, kerana kita tidak tahu bagaimana akhir dari kehidupannya dan kita tidak juga tidak tahu mengenai hatinya, apakah sama dengan lahiriahnya. Oleh kerana itu, kita tidak boleh menunjuk langsung individunya.

Misalnya, jika seseorang meninggal dunia dan dia merupakan orang baik, kita katakan semoga Allah menjadikannya sebagian dari penghuni surga, kita tidak boleh mempersaksikan secara pasti bahwa dia adalah penghuni surga.

Sementara bagian kedua adalah yang kita persaksikan secara individu-individunya. Mereka adalah orang-orang yang dikhabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka termasuk penghuni surga, yaitu sepuluh sahabat diberi kabar gembira akan masuk surga, yakni Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Said bin Zaid, Sa'ad bin Abi Waqqash, Abdurahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah Amir bin Al Jarrah dan Zubair bin Awwam.

Juga seperti, Tsabit bin Qais bin Syammas, Sa'ad bin Mu'adz, Abdullah bin Salam, bilal bin Rabah dan lainnya yang sudah disebutkan oleh Rasulullah.

Kita boleh mempersaksikan mereka secara individu, hingga kita boleh mengatakan, “Kami bersaksi bahwa Abu Bakar masuk surga, Umar masuk surga dan begitu seterusnya.”

Di antara mereka adalah wanita yang diceritakan oleh Ibnu Abbas kepada muridnya, Atha bin Abi Rabah, Maukah kamu aku tunjukkan seorang wanita ahli surga?” Aku menjawab, Ya. Ibnu Abbas melanjutkan, Dia adalah seorang perempuan yang berkulit hitam.

Seorang wanita berkulit hitam yang tidak ada harganya di tengah masyarakat, dia kerasukan jin hingga auratnya tersingkap (terbuka), lalu dia khabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meminta kepada baginda agar berdoa kepada Allah untuk kesembuhannya, lalu baginda bersabda kepadanya, Jika kamu mahu aku akan berdoa kepada Allah untuk kesembuhanmu, jika kamu bersabar, kamu akan mendapatkan surga. lalu wanita itu menjawab, Aku akan sabar.” Walaupun dia merasa sakit dan terganggu dengan kerasukannya itu. Dia memilih bersabar agar dirinya termasuk penghuni surga. Tetapi dia berkata, Wahai Rasulullah, auratku sering tersingkap (ketika kerasukan), doakanlah agar auratku tidak lagi tersingkap.” Setelah itu bila ia sedang kerasukan auratnya tidak lagi tersingkap.

Kerasukan ada dua macam:

1. Kerasukan dikeranakan stres. Stres termasuk penyakit medis yang bisa diobati oleh dokter dengan cara memberikan ubat penenang yang dapat menenangkannya atau menghilangkan sekaligus.

2. Kerasukan disebabkan oleh setan dan jin yang menguasai diri manusia hingga dapat masuk ke dalam dirinya dan dapat menyebabkannya jatuh pengsan tanpa disadarinya.

Setan atau jin bisa merasuk ke dalam diri manusia, dan mulailah berbicara menggunakan lisan orang tersebut. Orang yang mendengar perkataannya akan mengatakan bahwa perkataan tersebut adalah perkataan manusia, tapi sebenarnya adalah perkataan jin.

Oleh kerana itu, terkadang kamu dapati perkataannya berbeda, seperti bukan perkataannya padahal dia dalam keadaan siuman. Hal itu dikeranakan perkataannya berubah dan diucapkan oleh jin.

Kerasukan seperti ini bisa diobati dengan ruqyah yang dilakukan oleh orang berilmu dan shalih. Terkadang, jin mahu berbicara dan menerangkan kenapa dia merasuki orang yang dirasukinya, tapi kadang dia tidak mahu berbicara. Masalah kerasukan ini terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan terbukti dalam realita.

Dalam Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman:

Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan kerana gila.
(QS. Al-Baqarah: 2: 275)

Ayat di atas merupakan dalil bahwa setan dapat merasuki manusia, yakni dalam bentuk kesurupan.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah, Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dalam Musnad-nya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjalan melewati seorang perempuan saat anaknya yang sedang kesurupan, lalu anak itu dibawa kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu jin tersebut berbicara kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akhirnya jin itu keluar, lalu perempuan itu memberi hadiah kepada baginda, sebagai ucapan terima kasih.

[Hr. Ahmad dalam Musnad-nya no. 4/170, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 485]

Para ulama terkadang berbicara terhadap jin yang ada dalam tubuh manusia yang kesurupan di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Ibnu Qayyim, murid Ibnu Taimiyah, menceritakan bahwa suatu hari seorang laki-laki yang kesurupan jin wanita dibawa ke hadapan Syaikh Ibnu Taimiyah. Syaikh Ibnu Taimiyah meruqyah laki-laki tersebut dan mengajaknya bicara, kemudian Syaikh berkata kepada jin yang merasuknya, “Bertakwalah kepada Allah dan keluarlah.” Jin itu menjawab, “Aku menginginkan lelaki ini, aku mencintainya.” Syaikh berkata, “Tetapi dia tidak mencintaimu, keluarlah.” Jin itu berkata lagi, “Aku ingin haji bersamanya.” Syaikh menjawab, “Dia tidak mahu pergi haji bersamamu, keluarlah.” Namun dia menolak, lalu Syaikh terus meruqyahnya sambil memukul laki-laki yang kesurupan dengan keras.

Kemudian jin wanita itu berkata kepadanya, “Aku akan keluar untuk menghormati Syaikh.” Syaikh membantah, “Kamu jangan keluar kerana menghormatiku, tetapi keluarlah kerana taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Syaikh masih terus meruqyahnya sampai jin itu keluar.

Tatkala jin itu keluar, laki-laki itu langsung bangun seraya bertanya, “Apa yang membawaku ke hadapan Syaikh?” Orang-orang yang ada di sekelilingnya berkata, “Subhaanallah! Kamu tidak merasakan pukulan Syaikh yang sangat keras itu? Dia menjawab, “Aku tidak merasakan pukulan dan tidak merasakan apa pun.” Kasus yang sama seperti ini sangat banyak.

Kerasukan seperti ini bisa dilakukan tindakan pencegahan dan bisa juga tindakan penanggulangan.

1. Tindakan pencegahan yakni dengan mengamal wirid pagi dan petang yang syar'i seperti membaca ayat kursi, kerana barangsiapa yang membacanya di malam hari dia senantiasa dalam perlindungan Allah dan tidak akan didekati setan hingga ke pagi hari.

[Shahih Al-Bukhari no. 2311]

Bisa juga dengan cara membaca surah Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas dan juga doa-doa dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hendaklah seseorang memperhatikan untuk membaca doa-doa tersebut pada pagi dan petang hari. Kerana hal itu merupakan pencegahan terhadap gangguan setan dan jin.

2. Tindakan penanggulangan. Jika gangguan jin sudah menimpa seseorang, hendaklah dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an kepada orang tersebut yang sekiranya dapat menakuti dan mengingatkan jin tersebut serta memohon pertolongan Allah Ta'ala hingga jin tersebut keluar.

Intisari dari hadits ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada wanita berkulit hitam tersebut, “Jika kamu mahu, bersabarlah dan kamu akan mendapat surga.” Lalu wanita tersebut berkata, “Aku akan bersabar.” Dalam hadits ini terdapat dalil keutamaan bersabar, juga sebagai dalil bahwa sabar adalah salah satu penyebab yang menghantarkan seseorang masuk surga.

Hadits 36.
وَعَنْ أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قََالَ: كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْكِي نَبِبًّا مِنَ الْأَنْبِيَاءِ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ، ضَرَبُهُ قَوْمُهُ فَأَدْمَوْهُ وَهُوَ يَمْسَحُ الدَّمَ عَنْ وَجْهِهِ، يَقُولُ: « اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمْيِ فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seolah-olah aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita tentang salah seorang Nabi, dia dipukul oleh kaumnya hingga berlumuran darah, sambil mengusap darahnya di wajahnya dia berdoa,

Allahummaghfir liqaumii fainnahum laa ya'lamuuna. (Ya Allah, ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui)

[Shahih Al-Bukhari no. 3477. Muslim no. 1792]

Penjelasan.

Di dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang pernah terjadi para Nabi Alaihim Ash-Shalatu wa Sallam. Allah Ta'ala memberikan beban para Nabi untuk menyampaikan risalah, kerana mereka layak untuk memikul beban tersebut, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 124)

Mereka layak untuk memikul dan menyampaikan risalah, serta dalam melakukan dakwah amar makruf nahi munkar, juga bersabar dalam menjalankan semua tugas tersebut.

Para Rasul disakiti dengan perkataan dan perbuatan, bahkan dengan cara membunuh mereka. Allah Ta'ala telah menjelaskan hal itu di dalam Kitab-Nya. Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya,

Dan sesungguhnya rasul-rasul sebelum engkau pun telah didustakan, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Dan tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat (ketetapan) Allah. Dan sesungguhnya, telah datang kepadamu sebagian dari berita rasul-rasul itu. Dan jika keberpalingan mereka terasa amat berat bagimu (Muhammad), maka sekiranya engkau dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit lalu engkau dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). Dan sekiranya Allah menghendaki, tentu Allah jadikan mereka semua mengikuti petunjuk, sebab itu janganlah sekali-kali engkau termasuk orang-orang yang bodoh. (QS. Al-An'âm: 6: 34-35)

Nabi kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang salah seorang Nabi yang dipukul oleh kaumnya kerana mereka mengingkari dakwahnya, hingga wajahnya berlumuran darah. Kemudian dia mengusapnya sambil berdoa, Allahummaghfir liqaumii fainnahum laa ya'lamuuna (Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui)

Sikap Nabi tersebut merupakan puncak kesabaran. Sebab, jika seseorang dipukul kerana urusan duniawi pasti dia akan naik pitam dan akan melayangkan pukulan balas, itu yang biasa terjadi. Namun Nabi tersebut berdakwah untuk mengajak kaumnya menyembah Allah. Dia berdakwah tanpa kepentingan apa pun. 

Namun demikian, dia dipukul hingga wajahnya berlumuran darah. Dia mengusap wajahnya sambil berdoa, Allahummaghfir liqaumii fainnahum laa ya'lamuuna (Ya Allah ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui)

Cerita yang disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita ini bukanlah omong kosong, akan tetapi baginda menyampaikan cerita tersebut agar kita bisa memetik pelajaran dari kisah ini. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.” 
(QS. Yusuf: 12: 111)

Pelajaran yang bisa kita petik dari kisah ini, bahwa kita harus sabar terhadap gangguan yang menimpa kita, baik berupa perkataan atau pun gangguan fisik selama menjalankan dakwah di jalan Allah dan kita ucapkan peribahasa,

Kamu hanyalah jari jemari yang melukai, dan di jalan Allah apa yang kamu dapati?

Selain itu, kita harus sabar terhadap cercaan yang kita dengar atau yang dialamatkan kepada kita, selama kita menjalankan dakwah di jalan Allah. Kita anggap semua itu sebagai sesuatu yang dapat mengangkat derajat kita dan dapat menghapuskan dosa-dosa kita. Bisa jadi, dalam dakwah kita terdapat kesalahan seperti kurang ikhlas atau keliru dalam cara berdakwah. Maka, gangguan atau cercaan yang kita dengar merupakan tebusan terhadap kesalahan yang kita lakukan. Kerana manusia sebanyak apa pun amalannya, tetap saja ada kekurangannya. Tidak mungkin dia beramal secara sempurna kecuali jika Allah menghendakinya.

Apabila dia tertimpa musibah dan mendapatkan gangguan saat berdakwah di jalan Allah, maka itu adalah penyempurna dari dakwahnya sekaligus dapat mengangkat derajatnya. Orang yang menjalankan aktivitas dakwah, hendaknya mengharap pahala dari Allah, dan jangan sekali-kali berpaling seraya berkata, “Aku tidak mesti melakukan dakwah ini, kerana aku kerap mendapat gangguan, aku letih.” Dia harus bersabar. Dunia ini tidak berlangsung lama. Hanya dalam hitungan hari. Setelah itu, dunia akan hancur. Oleh kerananya, hendaklah kamu bersabar, hingga Allah memberikan perintah-Nya.

Dalam perkataan Abdullah bin Mas'ud, Seolah-olah aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita.” Terdapat dalil bahwa orang yang menyampaikan sebuah informasi boleh menggunakan sesuatu yang dapat menguatkan ceritanya. Hal seperti ini adalah hal yang lumrah dilakukan oleh banyak kalangan, dengan mengatakan, Seolah-olah aku melihat seseorang mengatakan, ini dan itu.

Jika seseorang menggunakan cara seperti ini demi menguatkan apa yang dia sampaikan, berarti dia meneladani Salafush shalih Radhiyallahu Anhum.

Hadits 37.
وَعَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ وَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنِِ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةُ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Said dan Abu Hurairah radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

Tidaklah seorang muslim tertimpa rasa lelah, sakit, rasa gelisah, sedih, gangguan dan gundah hati bahkan duri yang melukainya, kecuali dengan Allah akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya.

[Shahih Al-Bukhari no. 5641. Muslim no. 2573]

Hadits 38.
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوِ يُوعَكُ، فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّكَ تُوْعَكُ وَعْكًا شَدِيْدًا، قَالَ: « أَجَلْ إِنِّي أُوْعَكُ كَمَا يُوْعَكُ رَجُلاَنِ مِنْكُمْ » قُلْتُ: ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ؟ قَالَ: « أَجَلْ ذَلِكَ كَذَلِكَ، مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى، شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا إلاَّ كَفَّرَ اللهُ بِهَا سَيِّئَاتِهِ، وَحُطَّتْ عَنْهُ ذُنُوْبُهُ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا. » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku pernah menziarahi kediaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang baginda dalam keadaan demam, kemudian aku berkata: Wahai Rasulullah, demam yang menimpa engkau sangat parah.

Baginda menjawab: “Benar, aku terkena demam, seperti demam dua orang di antara kalian.

Aku berkata: “Dengan demikian, engkau mendapatkan pahala dua kali lipat?

Baginda menjawab: “Ya, benar demikian. Begitu juga tidak ada seorang muslim pun yang tertimpa musibah (gangguan), baik duri atau pun yang lebih parah, melainkan Allah akan memberinya balasan dengan menghapuskan kesalahan-kesalahannya dan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana dedaunan berguguran dari pohonnya.

[Shahih Al-Bukhari no. 5648. Muslim no. 2571]

Penjelasan.

Dalam hadits Abu Said dan Abu Hurairah serta Ibnu Mas'ud terdapat dalil bahwa manusia bisa dihapuskan dosanya kerana ditimpa rasa gelisah, lelah, rasa gundah dan lain-lain. Ini merupakan kenikmatan dari Allah Ta'ala. Allah menguji hambanya dengan musibah sehingga musibah tersebut dapat menjadi penghapus dosanya. 

Di dunia ini, tidaklah seseorang itu selalu dalam keadaan bahagia. Akan tetapi, kadang bahagia, kadang sedih, kadang mendapatkan sesuatu dan kadang tidak mendapatkan apa-apa. Dia ditimpa berbagai musibah, baik musibah terhadap dirinya sendiri, terhadap badannya, musibah pada masyarakatnya mahupun keluarganya. Tidak terhitung musibah yang menimpa manusia.

Akan tetapi, seorang mukmin, seluruh urusannya merupakan kebaikan. Jika tertimpa musibah lalu dia bersabar, maka hal itu merupakan kebaikan bagi dirinya. Jika dia mendapatkan kesenangan lalu dia bersyukur, maka hal itu merupakan kebaikan bagi dirinya.

Jika kamu tertimpa musibah, jangan kamu sangka bahwa kegundahan dan rasa sakit yang kamu alami itu akan pergi sia-sia begitu saja, akan tetapi semua itu akan diganti dengan yang lebih baik; dosa-dosamu akan digugurkan kerana musibah itu, sebagaimana gugurnya dedaunan dari pohon, dan hal ini merupakan kenikmatan dari Allah. Semakin tinggi kesabaran seseorang, maka akan semakin banyak pahala yang akan diterimanya.

Musibah itu ada dua macam:

1. Kadang seseorang jika tertimpa musibah dia ingat pahala dan mengharapkannya dari Allah atas musibah ini, maka dalam musibah ini terdapat dua pahala, penghapusan dosa dan penambahan kebaikan.

2. Kadang dia lalai akan hal ini, lalu hatinya merasa sempit hingga lupa niat untuk mengharapkan pahala atas musibah ini. Dalam kondisi ini musibah itu hanya dapat menghapus kesalahannya saja. Dia tetap beruntung dalam keadaan apa pun tatkala musibah menimpanya. 

Bisa hanya untung dengan dihapuskan kesalahan dan dosanya tanpa mendapat pahala, kerana dia tidak meniatkan apa-apa, tidak sabar dan tidak mengharapkan pahala. Bisa juga untung dengan mendapat kedua-duanya yakni dosa-dosanya diampuni dan diberikan tambahan kebaikan.

Oleh kerana itu, jika seseorang tertimpa musibah, meskipun berupa tusukan duri, sebaiknya dia mengharapkan pahala dari Allah atas musibah tersebut. Hal ini juga merupakan anugerah dan kebaikan dari Allah Ta'ala, di mana Dia menguji orang yang beriman lalu memberikan pahala kepadanya atas ujian tersebut atau menghapuskan kesalahannya kerana musibah itu. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

Hadits 39.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ » رَوَاهُ الْبُخَارِي.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan, maka Allah akan mengujinya.

[Shahih Al-Bukhari no. 5645]

Hadits 40.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَال‏َ:‏ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:‏ « لَا يَتَمَنَّيَنَّ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرًّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لَا بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ‏:‏ اللَّهُمَّ أَحْيِنِيْ مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِيْ وَتَوَفَّنِيْ إِذَا كَانَتِ الْوَفاَةُ خَيْرًا لِي ‏»‏ ‏مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ‏.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Janganlah sekali-kali ada seorang dari kalian menginginkan kematian dikeranakan musibah yang menimpanya. Jika dia terpaksa harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan, Allahumma ahyini maa kaanatil hayaatu khairan lii, wa tawaffani idza kaanatil wafaatu khairan lii. (Ya Allah hidupkanlah aku, jika hidup lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika kematian lebih baik bagiku).”

[Shahih Al-Bukhari no. 5671. Muslim no. 2680]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dua hadits dari Abu Hurairah dan Anas bin Malik mengenai pahala sabar dan yang berkaitan dengan pentingnya mengharapkan pahala dari Allah, serta keharusan manusia untuk bersabar dan mampu menghadapi cobaan.

Adapun mengenai hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya suatu kebaikan, maka Allah akan mengujinya.”

Hadits mutlak ini dispesifikasi (muqayyad) oleh hadits-hadits yang lainnya yang menunjukkan bahwa maksud hadits ini adalah, Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya suatu kebaikan, lalu dia bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan memberinya musibah, hingga Allah dapat mengujinya.

Jika orang tersebut tidak sabar, maka bisa jadi dia akan ditimpa banyak musibah dan tidak ada pada musibah itu kebaikan, dan berarti Allah tidak menghendaki kebaikan baginya. Orang-orang kafir ditimpa musibah, akan tetapi mereka tetap saja dalam kekufuran sampai mati dalam keadaan seperti itu. Maka, tanpa diragukan lagi, Allah tidak menginginkan kebaikan bagi mereka. 

Akan tetapi, yang dimaksudkan dalam hadits ini adalah orang yang bersabar dalam menghadapi musibah, itu merupakan kebaikan baginya. Sebab sudah dijelaskan sebelumnya bahwa musibah dapat menghapuskan dosa dan kesalahan. Tidak dapat disangkal, bahwa hal tersebut merupakan kebaikan. Kerana seburuk-buruknya musibah adalah musibah duniawi, musibah itu akan hilang seiring dengan berlalunya hari. Semakin hari, musibah tersebut akan merasa ringan. Akan tetapi, adzab akhirat akan kekal. Jika Allah menghapuskan dosamu dengan musibah tersebut hal itu merupakan kebaikan bagimu.

Sementara hadits yang ke-40, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang untuk mengharapkan kematian kerana musibah menimpanya, hal itu mungkin saja seseorang tertimpa musibah dan dia tidak tahan dan tidak sabar menghadapinya, lalu dia meminta untuk mati dan berkata, “Ya, Tuhanku, cabutlah nyawaku.” Baik diucapkan di lisan, mahupun hanya terbesit dalam hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk berbuat demikian, kerana tidak menutup kemungkinan musibah yang menimpa diri kita merupakan kebaikan bagi kita.

Jika kamu tertimpa musibah, hendaklah kamu mengucapkan:

.اللَّهُم أَعِنَّيْ عَلَى الصَّبْرِ عَلَيْهِ

Ya Allah bantulah aku agar bisa sabar menghadapi musibah ini.

Hingga Allah memberimu pertolongan dan kebaikan. Sementara jika kamu menginginkan kematian, bisa jadi kematian itu buruk bagimu, bukan istirahat dari keburukan. Tidak semua kematian itu adalah istirahat dari keburukan, sebagaimana dikatakan seorang penyair;

Tidaklah disebut mayat orang yang mati lalu tenang, akan tetapi mayat yang sebenarnya adalah mayat yang hidup.

Seseorang bisa mati menuju siksa dan adzab kubur, dan jika dia hidup bisa jadi dia bertaubat dan kembali kepada Allah, sehingga kehidupan menjadi kebaikan bagi dirinya. Yang penting adalah jika kamu tertimpa musibah, jangan sekali-kali kamu meminta kepada Allah agar nyawamu dicabut. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang untuk mengharapkan kematian dikeranakan musibah menimpanya, bagaimana halnya dengan orang yang bunuh diri tatkala tertimpa musibah?

Sebagaimana yang terjadi pada sebagian orang bodoh; apabila tertimpa musibah dia mencekik dirinya sendiri, menikam diri sendiri, minum racun, terjun bangunan dan hal serupa. Mereka dipindah dari sebuah adzab menuju ke neraka yang lebih pedih. Mereka sama sekali tidak beristirahat, mereka pindah dari siksaan menuju siksaan yang lebih dahsyat. Kerana orang yang membunuh dirinya akan diazab dengan cara seperti dia membunuh dirinya di neraka Jahanam, dia akan kekal di dalamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung, kemudian membunuh dirinya, maka dia di dalam neraka Jahannam menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung, dia tinggal lama dan dijadikan tinggal lama selamanya di dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Dan barangsiapa meminum racun kemudian membunuh dirinya, maka racunnya akan berada di tangannya, dia akan meminumnya di dalam neraka Jahannam dia tinggal lama dan dijadikan tinggal lama selamanya di dalam neraka Jahannam selama-lamanya. Dan barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, maka besinya akan berada di tangannya, dia akan menikam perutnya di dalam neraka Jahannam, dia tinggal lama dan dijadikan tinggal lama selamanya di dalam neraka Jahannam selama-lamanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5778, Muslim no. 109]

Jika dia membunuh dirinya dengan cara meminum racun, maka dia akan meneguknya di neraka Jahanam, jika dia membunuh dirinya dengan cara terjun dari gunung, maka akan ditegakkan gunung di Jahanam dan dia akan jatuh dari puncak gunung tersebut, begitu seterusnya!

Saya katakan, “Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang untuk menginginkan kematian di keranakan musibah yang menimpanya, maka perbuatan yang dosanya lebih besar dari itu adalah orang yang bunuh diri; dia mendahului Allah dengan cara bunuh diri.”

Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melarang sesuatu, seperti biasanya, jika ada penggantinya yang boleh dilakukan, maka baginda akan menyebutkannya, demi mengikuti tindakan Rabb Ta'ala. 

Allah Ta'ala berfirman:

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu katakan, 'Raa'inaa.' tetapi katakanlah, 'Unzhurna.' dan dengarkanlah. Dan orang-orang kafir akan mendapat adzab yang pedih.
(QS. Al-Baqarah: 2: 104)

Ketika Allah melarang menyebutkan orang-orang yang beriman untuk berkata, Raa'inaa, Allah menjelaskan kata yang boleh diucapkan. Dia berfirman, Tetapi katakanlah, 'Unzhurna.'”

Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadiahi kurma yang baik, baginda tidak mengenalinya dan bertanya, “Apakah semua kurma Khaibar seperti ini?” Mereka menjawab, “Tidak, akan tetapi kami menukar satu sha' dari jenis ini dengan dua sha' dan menukar dua sha' dengan tiga sha'. Baginda bersabda, “Kamu tidak boleh berbuat seperti itu lagi. Juallah kurma yang jelek dengan beberapa dirham kemudian belillah dengan dirham itu janiiban (jenis kurma terbaik).

[Shahih Muslim no. 2983]

Tatkala melarang sesuatu, baginda menjelaskan cara yang dibolehkan.

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jangan sekali-kali ada seorang dari kalian menginginkan kematian dikeranakan musibah yang menimpanya. Jika terpaksa harus melakukannya, maka hendaknya dia mengucapkan, Allahumma ahyini maa kaanatil hayaatu khairan lii, wa tawaffani idza kaanatil wafaatu khairan lii' (Ya Allah hidupkanlah aku, jika hidup lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian lebih baik bagiku).

Baginda membukakan pintu untukmu, tetapi pintu keselamatan. Kerana mengharapkan kematian sebagai indikasi rasa kecewa dan ketidaksabaran seseorang terhadap keputusan Allah. Sementara dengan membaca doa ini, berarti orang tersebut menyerahkan urusannya kepada Allah, kerana manusia tidak mampu mengetahui perkara ghaib; oleh kerananya segala urusan diserahkan kepada Dzat yang mengetahui perkara ghaib, yaitu Allah Ta'ala.

Mengharapkan kematian adalah sikap tergesa-gesa dari seseorang agar Allah mencabut ajalnya dan ini bisa menghalanginya dari berbagai kebaikan. Bisa jadi menghalanginya dari taubat dan tambahan amal shalih. Oleh kerana itu, disebutkan dalam sebuah hadits, Tidak ada seorang pun yang meninggal dunia melainkan dia menyesal. Jika dia orang baik, menyesal kerana kebaikannya tidak bisa bertambah. Jika dia orang jahat, menyesal kerana belum sempat bertaubat.”

[Shahih Jami At-Tirmidzi no. 2403]

Jika seseorang bertanya bagaimana seandainya dia berkata, Ya Allah lanjutkan hidupku, jika hidup lebih baik bagiku dan cabutlah nyawaku jika kematian lebih baik bagiku?”

Maka kita jawab, “Ya, kerana Allah mengetahui apa yang akan terjadi, sedang manusia tidak tahu apa yang akan terjadi. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Katakanlah (Muhammad), Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah. (QS. An-Naml: 27: 65)

Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya esok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.” (QS. Luqmân: 31: 34)

Kamu tidak tahu; bisa jadi hidup lebih baik bagimu atau bisa juga kematian itu yang lebih baik bagimu. 

Oleh kerana itu, jika seseorang mendoakan orang lain agar dipanjangkan umurnya, hendaklah dia menambahkan dengan mengatakan, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan kepada-Nya.” Agar panjang umurnya membawa kebaikan baginya. Jika ada orang yang mengatakan bahwa Maryam binti Imran pernah meminta untuk mati, yang mana dia berkata:

Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS. Maryam: 19: 23)

Bagaimana dia bisa melakukan sesuatu yang terlarang?

Jawabannya adalah dengan mengatakan:

1. Harus kita ketahui bahwa syariat umat sebelum kita apabila bertentangan dengan syariat kita bukanlah hujjah, kerana syariat kita menasakh agama-agama sebelumnya.

2. Maryam tidak meminta mati akan tetapi dia berharap kalau dirinya mati sebelum ujian itu menimpa dirinya, walaupun dia hidup selama seribu tahun, dia tidak meminta untuk segera mati.

Yang penting baginya adalah mati tanpa berlumuran fitnah. Dan seperti ini pula perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salam,

Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku dengan orang yang shalih.
(QS. Yûsuf: 12: 101)

Hal ini tidak berarti bahwa dia meminta agar Allah mencabut nyawanya, akan tetapi dia meminta agar Allah mencabut nyawanya dalam keadaan muslim. Hal ini tidak mengapa, seperti halnya kamu mengatakan, Ya Allah cabutlah nyawaku dalam keadaan muslim, beriman, mengesakan Engkau dan ikhlas.Atau dengan berkata, “Cabutlah nyawaku sedang Engkau meridhaiku.” Atau ungkapan yang senada.

Harus dibedakan antara orang yang meminta kematian kerana tertimpa musibah dan orang yang meminta kepada Allah agar dimatikan dalam keadaan tertentu dan diridhai oleh Allah. 

Sikap yang pertama, dilarang oleh Rasulullah. Sementara sikap yang kedua dibolehkan.

Rasulullah melarang seseorang untuk meminta kematian dikeranakan musibah yang menimpanya. Kerana barangsiapa yang meminta kematian dikeranakan musibah yang menimpanya berarti dia tidak sabar, padahal wajib atasnya untuk bersabar terhadap musibah terhadap musibah yang menimpanya serta mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala.

Sesungguhnya musibah yang menimpa dirimu baik dalam bentuk gelisah, rasa gundah, sakit atau bentuk yang lain adalah penghapus kesalahan-kesalahanmu. Dan, jika mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala, maka musibah tersebut dapat mengangkat derajatmu. Musibah atau sakit yang menimpa seseorang tidak akan kekal; itu pasti akan berakhir. Ketika sudah berakhir, maka kamu akan mendapatkan pahala dari Allah Ta'ala dan Dia akan menghapuskan dosa-dosamu. Sehingga musibah tersebut sebagai kebaikan bagimu, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa baginda bersabda:

Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya menjadi kebaikan baginya. Hal itu hanya terjadi pada seorang mukmin; Jika dia mendapat kesenangan dia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya. Jika tertimpa musibah dia bersabar, maka hal itu menjadi kebaikan baginya.

[Shahih Muslim no. 2999]

Orang mukmin sentiasa berada dalam kebaikan, baik dalam suka maupun duka.

Hadits 41.
وَعَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ خَبَّابِ بْنِ الْأَرَتِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: شَكَوْنَا إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ، فَقُلْنَا: أَلَا تَسْتَنْصِرُ لَنَا أَلَا تَدْعُوْ لَنَا؟ فَقَالَ: « قَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِي الأَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيْهَا، ثُمَّ يُؤْتَى بِالْمِنْشَارِ فَيُوضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نِصْفَيْنِ، وَيُمْشَطُ بِأمْشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ، مَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ، وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الأَمْرَ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ إِلاَّ اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ، وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعجِلُونَ » رَوَاهُ البُخَارِيُّ. وَفِيْ رَوَايةٍ: « وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً وَقَدْ لَقِيَنَا مِنَ الْمُشْركِيْنَ شِدَّةً.
Daripada Abu Abdullah Khabbab bin Al-Arat radhiyallahu anhu, dia berkata, “Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (perihal siksaan orang-orang musyrik), saat itu baginda sedang tidur berbantalkan kain selimutnya, di bawah naungan Ka'bah. Kami bertanya: “Tidakkah engkau mendoakan kemenangan untuk kami, tidakkah engkau berdoa memohon kepada Allah untuk kami?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Ada seorang lelaki sebelum kalian, ditangkap dan digalikan tanah untuknya lalu dibenam hidup-hidup kemudian diambil gergaji dan diletakkan di atas kepalanya lalu dia dibelah menjadi dua bagian. Dan kadang disisir dengan besi sampai terkelupas daging dan tulangnya, namun hal itu tidak membuatnya berpaling dari agamanya. Demi Allah, pasti Allah akan menyempurnakan urusan (dakwah agama) ini, hingga ada seorang yang mengendarai kendaraan dapat menempuh perjalanan dari Shan'a menuju Hadramaut dengan tidak merasa takut kecuali kepada Allah atau  tidak merasa takut jika serigala menerkam kambingnya, tetapi kalian terburu-buru.

[Shahih Al-Bukhari no. 3612. 3852. 6943]

Dalam riwayat lain disebutkan: “Baginda saat itu sedang tidur berbantalkan kain selimutnya, sedangkan kami sedang berdepan dengan kesukaran daripada kaum musyrik.

[Shahih Al-Bukhari no. 3852]

Penjelasan.

Hadits Abu Abdullah Khabbab bin Al-Aratt radhiyallahu anhu bercerita mengenai gangguan atau siksaan yang dialami kaum muslimin dari orang kafir Quraisy di Mekah. Maka, mereka datang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itu baginda sedang tidur berbantalkan kain selimutnya di bawah naungan Ka'bah. Lalu baginda menjelaskan bahwa orang-orang sebelum mereka, diuji dengan ujian yang lebih dahsyat dari ujian yang saat ini mereka hadapi. Orang-orang sebelum mereka diuji dengan digalikan tanah untuknya, lalu dilemparkan ke dalamnya kemudian dibawakan gergaji dan diletakkan di atas kepala, lalu dibelah menjadi dua. Ada juga yang disisir dengan sisir besi sampai masuk pertengahan kulit dan tulang. Ini merupakan siksaan yang sangat dahsyat.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah bahwa Allah akan menyempurnakan urusan dakwah Islamiyah yang diemban hingga ada seorang dapat berjalan dari Shan'a' ke Hadramaut dengan tidak merasa takut kecuali kepada Allah atau  tidak merasa takut jika serigala menerkam kambingnya, tetapi kalian terburu-buru. Yakni bersabarlah kalian dan nantikanlah jalan keluar dari Allah, Kerana Allah pasti akan menyempurnakan urusan dakwah ini. Apa yang dikatakan baginda dalam sumpahnya, benar-benar jadi kenyataan.

Dalam hadits ini terdapat salah satu tanda kekuasaan Allah Ta'ala, dimana peristiwa itu terjadi sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di samping itu, sebagai bukti kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah membenarkan apa yang baginda informasikan. Hal ini merupakan persaksian Allah terhadap kerasulan baginda, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Tetapi Allah menjadi saksi atas (Al-Qur'an) yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad). Dia menurunkannya dengan ilmu-Nya, dan para malaikat pun menyaksikan. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.” (QS. An-Nisâ: 4: 166)

Dalam hadits ini juga terdapat dalil keharusan bersabar dalam menghadapi gangguan musuh-musuh kaum muslimin. Apabila seseorang mahu bersabar pasti dia akan menang!!

Yang wajib dilakukan oleh orang yang beriman adalah menyikapi gangguan yang dilancarkan oleh orang kafir dengan bersabar serta mengharapkan pahala dan menanti jalan keluar dari Allah. Jangan menduga kalau urusan itu berlalu dengan cepat dan mudah.

Bisa jadi Allah menguji orang yang beriman dengan gangguan dari orang kafir, bahkan dengan dibunuh sebagaimana halnya para Nabi dahulu, mereka dibunuh. 

Orang Yahudi dari kalangan Bani Israel pernah membunuh para Nabi. Tentu saja, para Nabi lebih mulia daripada para dai dan lebih mulia daripada kaum muslimin. Hendaklah kamu bersabar dan nantikan jalan keluar; jangan pernah merasa bosan dan serik, akan tetapi tegarlah seperti halnya batu. Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa, Allah Ta'ala bersama orang-orang bersabar.

Adapun orang-orang yang terlena mengikuti bisikan hawa nafsu mereka sampai mengamuk dan berteriak, mereka bisa kehilangan banyak kebaikan dan mungkin saja terjerumus ke dalam kesalahan yang dapat merosak apa yang telah mereka bangun selama ini, itu pun jika dia memang sudah pernah membangun kebaikan.

Orang yang beriman harus bersabar, berhati-hati dan beramal dengan penuh perhitungan, mantapkan diri dan buat perencanaan yang teratur yang dapat memberantas musuh-musuh Allah dari kalangan musyrik dan kafir. Hingga mereka kehilangan kesempatan kerana mereka senantiasa mengintai celah kelengahan orang-orang yang baik. Mereka ingin membangkitkan amarah orang-orang beriman hingga terjadilah apa yang tidak diinginkan, lalu mereka pun mendapatkan peluang untuk menguasai orang-orang beriman seraya berkata, “Memang inilah yang kami inginkan.” Dengan demikian, terjadilah kejahatan yang besar.

Wahai manusia, janganlah kamu berdiam diri untuk membanteras kejahatan, akan tetapi bekerjalah secara teratur, terencana, dan penuh perhitungan yang matang serta nantikanlah pertolongan dari Allah. Jangan sekali-kali kamu merasa bosan. Sebab, perjalanan masih panjang, apalagi kamu masih di permulaan ujian. Mereka yang menyulut fitnah terhadapmu akan senantiasa berusaha, sedaya mungkin, untuk mencapai puncak apa yang mereka inginkan. Potonglah jalan mereka dan jadikanlah nafasmu lebih panjang dari nafas mereka, dan susunlah strategimu lebih baik dari tipu muslihat mereka. Mereka adalah musuh yang membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya.

Hadits 42.
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ حُنَيْنٍ آثَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسًا فِي الْقِسْمَةِ: فَأَعْطَى الْأَقْرَعَ بْنَ حَابِسٍ مِائَةً مِنَ الْإِبِلِ وَأَعْطَى عُيَيْنَة بْنَ حِصْنٍ مِثْلَ ذَلِكَ، وَأَعْطَى نَاسًا مِنْ أَشْرَافِ الْعَرَبِ وَآثَرَهُمْ يَوْمَئِذٍ فِي الْقِسْمَةِ. فَقَالَ رَجُلٌ: وَاللهِ إِنَّ هَذِهِ قِسْمَةٌ مَا عُدِلَ فِيْهَا، وَمَا أُرِيْدَ فِبْهَا وَجْهُ اللهِ، فَقُلْتُ: وَاللهِ لَأُخْبِرَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَتَيْتُهُ فَأَخْبَرتُهُ بِمَا قَالَ، فَتَغَيَّرَ وَجْهُهُ حَتَّى كَانَ كَالصِّرْفِ. ثُمَّ قَالَ: « فَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ يَعْدِلِ اللهُ وَرَسُوْلُهُ؟ تُمَّ قَالَ: يَرْحَمُ اللهُ مُوْسَى قَدْ أُوْذِيَ بِأَكْثَرَ مِنْ هَذَا فَصَبَرَ » فَقُلْتُ: لَا جَرَمَ لَا أَرْفَعُ إِلَيْهِ بَعْدَهَا حَدِيْثًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada saat perang Hunain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihkan sebagian orang dalam pembagian ghanimah (harta rampasan perang), di antaranya baginda memberikan kepada Aqra' bin Habis, seratus ekor unta dan memberikan kepada Uyainah bin Hishn, unta sebanyak itu pula, dan juga memberikan kepada beberapa orang pembesar Arab sehingga hari itu baginda nampak lebih mengutamakan mereka dalam pembagian ini.

Lalu salah seorang berkata: Demi Allah pembagian ini sungguh tidak adil dan tidak ikhlas kerana Allah.

Kemudian aku berkata: “Demi Allah, akan aku ceritakan (ucapanmu) kepada Rasulullah.”

Setelah itu, aku datang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahukan apa yang dikatakan oleh orang itu. Seketika tidak semena-mena air muka baginda berubah. merah padam seperti orang menahan marah. 

Kemudian Rasululullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Siapakah yang dapat bersikap adil jika Allah dan Rasul-Nya saja dianggap tidak adil?!” Kemudian baginda bersabda: Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Musa, dia telah disakiti lebih dahsyat daripada ini, namun dia bersabar.

Lalu aku berkata: “Aku tidak akan menceritakan hal serupa kepada baginda setelah kejadian ini.

[Shahih Al-Bukhari no. 3150. Muslim no. 1062]

Penjelasan.

Perkataan Ibnu Mas'ud, Pada saat perang Hunain. Perang Hunain disebut juga perang Thaif yang terjadi setelah penaklukan kota Mekah. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menakluki kota Thaif dan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) yang cukup banyak berupa unta, kambing, dirham dan dinar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di Ja'ranah, pembatasan Al-Haram dari arah Thaif. Di perbatasan itu, baginda membagi-bagikan ghanimah. Baginda membagikan untuk mualaf -dari pembesar kabilah- yang baru masuk Islam. Baginda memberikan bagian yang banyak kepada mereka hingga masing-masing mereka mendapat seratus unta.

Lalu salah seorang berkata, “Demi Allah pembagian ini tidak adil dan tidak ikhlas kerana Allah.” Naudzubillah!

Orang tersebut mengomentari pembagian yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cinta dunia dan setan telah menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan.

Perkataan orang tersebut adalah perkataan kufur, menuduh Allah dan Rasul-Nya tidak adil dan bahwa Nabi tidak Ikhlas kerana Allah. 

Padahal, tidak diragukan lagi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal itu semata-mata kerana Allah. Baginda ingin melunakkan hati para pembesar tersebut dengan tujuan memperkuatkan Islam. Kerana pembesar kaum apabila senang dengan Islam dan iman mereka kuat akan menorehkan banyak kemasalahatan. Mereka akan diikuti seluruh kabilah hingga akhirnya Islam semakin kuat. Akan tetapi, kebodohan menjerumuskan orang yang bodoh dalam kebinasaan.

Abdullah bin Mas'ud tatkala mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diklaim seperti itu, dia langsung menceritakannya kepada baginda. Dia menceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang tersebut mengatakan begini dan begitu, maka berubahlah roman wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga wajah baginda memerah.

Kemudian baginda bersabda, Siapakah yang dapat bersikap adil, jika Allah dan Rasul-Nya dianggap tidak berlaku adil?!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar; Kalau pembagian Allah tidak adil, pembagian Rasul-Nya tidak adil, siapa lagi yang bisa adil?!

Kemudian baginda bersabda, Semoga Allah melimpah rahmat-Nya kepada Musa, dia telah disakiti lebih dahsyat daripada ini, namun dia bersabar. Dan inti dari hadits ini adalah kalimat yang terakhir ini, bahwa para nabi disakiti namun mereka bersabar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dikatakan seperti itu setelah delapan tahun hijrah, yakni bukan pada permulaan dakwah, tapi setelah Allah meneguhkan baginda, setelah orang yang mengatakan itu tahu akan kebenaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamdan setelah Allah tampakkan kebenaran Rasul di ufuk dan pada diri mereka. Namun demikian, masih saja baginda dicemoh bahwa pembagian yang dilakukan oleh baginda tidak adil dan tidak ikhlas kerana Allah. 

Apabila salah seorang berkata demikian terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jangan hairan kalau ada seseorang yang mencemoh ulama, dengan mengklaim ulama fulan begini dan begitu, dengan menyebarkan aibnya, kerana setan-lah yang membisikkan mereka sehingga mereka mencela ulama tersebut.

Sebab jika ulama telah diolok-olok, maka perkataan mereka akan diabaikan orang. Hingga tidak ada lagi orang yang dapat membimbing masyarakat untuk memahami kitab Allah. Mereka akan disetir oleh setan dan kelompok-kelompok setan. Kerana itu, dosa menjelek-jelekkan ulama lebih besar daripada menjelek-jelekkan orang yang bukan ulama, kerana menjelek-jelekkan orang yang bukan ulama merupakan ghibah yang bersifat pribadi. Jika membawa mudharat maka hanya mengenai orang yang digunjingkan itu saja.

Akan tetapi, menjelek-jelekkan ulama membawa mudharat terhadap Islam, kerana ulama memikul panji-panji Islam. Jika perkataan mereka sudah tidak dipercayakan lagi maka runtuhlah panji-panji Islam, sehingga kemudharatan ini menyentuh umat Islam. Jika daging orang biasa ibarat daging mayat biasa saat dijelek-jelekkan, maka daging ulama ibarat daging mayat yang beracun kerana di dalamnya terdapat kemudharatan yang besar.

Saya katakan, “Jangan heran apabila kamu mendengar seseorang memaki ulama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dikatakan seperti itu, maka sabarlah dan berharaplah pahala dari Allah Ta'ala. Ketahuilah bahwa kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.”

Selama manusia dalam ketakwaan dan dalam cahaya Allah Ta'ala, maka kesudahan yang baik baginya. 

Demikian juga ada sebagian orang mempunyai teman atau saudara, dia melakukan kesalahan sekali lalu dijelek-jelekkan, dicaci dan dimaki hanya kerana satu kesalahan.

Berdasarkan hal ini, siapa pun yang dijelekkan hendaklah bersabar dan ketahuilah bahwa para nabi juga pernah dimaki, disakiti, didustai dan dituduh sebagai gila, penyair, dukun dan tukang sihir, Allah Ta'ala berfirman,

Mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka.
(QS. Al-An'âm: 6: 34)

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seorang pemimpin (imam) boleh memberikan bagian lebih kepada seseorang jika mendatangkan kemasalahatan untuk Islam. 

Bukan maslahat pribadi, memberi orang yang disukai dan tidak memberi orang yang tidak disukai. Tidak! 

Jika dia pandang orang ini dapat mendatangkan kemasalahatan bagi Islam, lalu menambahkan bagiannya, maka ini adalah haknya dan dia akan bertanggungjawab di hadapan Allah. Tidak boleh ada yang menentangnya dalam hal ini, jika ada yang menentangnya berarti telah menganiaya dirinya sendiri.

Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pelajaran dari para rasul terdahulu. Oleh kerananya, baginda bersabda, Sungguh Musa disakiti lebih dahsyat daripada ini, namun dia bersabar.

 Kerana Allah Ta'ala berfirman:

Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. 
(QS. Yusuf: 12: 111)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutlah petunjuk mereka.
(QS. Al-An'âm: 6: 90)

Allah Ta'ala memerintahkan Nabi-Nya untuk meneladani para Nabi sebelumnya. 

Begitu pula kita, hendaklah kita meneladani para Nabi dalam kesabaran menghadapi gangguan, dan hendaklah kita mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala. Selain itu, perlu kita ketahui bahwa hal ini dapat mengangkat derajat kita dan menghapuskan kesalahan-kesalahan kita.

Hadits 43.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْل اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » وَقَالَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ، فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا، وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السُّخْطُ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Allah menyegerakan siksanya di dunia. Dan jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, maka Allah menangguhkan siksanya hingga diberikan pada hari Kiamat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sesungguhnya besarnya pahala, tergantung pada besarnya ujian, dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya. Barangsiapa yang ridha, dia akan mendapatkan keridhaan Allah dan barangsiapa yang marah, maka dia akan mendapat kemurkaan Allah.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2396 dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 2110 dan 146]

Penjelasan.

Seluruh urusan berada di tangan Allah Ta'ala berdasarkan kehendak-Nya, kerana Allah Ta'ala berfirman mengenai diri-Nya,

(Tuhanmu) Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hûd: 11: 107)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 22: 18)

Setiap urusan berada di tangan Allah. 

Manusia tidak luput dari kesalahan, perbuatan maksiat dan kelalaian dari menunaikan kewajibannya. Jika Allah menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya, maka Dia akan menyegerakan siksanya di dunia, baik siksa yang menimpa hartanya, keluarganya, dirinya sendiri atau orang yang ada hubungan dengannya.

Yang jelas siksanya dipercepat, kerana siksa itu penghapus dosa, apabila dipercepat siksanya dan dengannya Allah hapuskan dosa seseorang berarti dia telah melunasi kewajibannya kepada Allah dan tidak ada lagi dalam dirinya dosa, kerana musibah dan ujian telah membersihkan dosanya. Bahkan, bisa jadi seseorang dipersulit kematiannya kerana masih tersisa satu atau dua kesalahan hingga meninggalkan dunia dalam keadaan bersih dari dosa. Hal ini merupakan nikmat dari Allah, kerana adzab dunia lebih ringan dari adzab akhirat. 

Sebaiknya, jika Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya, Dia akan tunda pembalasan dosanya. Dan Dia membiarkan orang tersebut merasakan kenikmatan dunia, dihindarkan petaka dari dirinya hingga dia menjadi sombong dan bangga (dengan kebanggaan yang tercela) terhadap anugerah Allah. 

Dan tatkala menghadap Rabbnya, dia dalam keadaan penuh dosa dan akhirnya diadzab di akhirat. Semoga Allah memberikan keselamatan pada kita.

Jika kamu melihat seseorang melakukan maksiat kepada Allah, tetapi Allah melindunginya dari musibah dan memberi dengan kenikmatan, maka ketahuilah bahwa Allah menghendaki keburukan untuk orang itu. Kerana Allah menunda siksa orang itu hingga dia harus penuhi di hari Kiamat kelak.

Dalam hadits ini, juga disebutkan, Sesungguhnya besarnya pahala, tergantung pada besarnya ujian.” Yakni semakin besar ujian seseorang, semakin besar pahala yang akan didapatkannya. Bala (ujian) yang kecil mendapat pahala yang kecil. Bala (ujian) yang besar mendapat pahala yang besar pula. Kerana Allah mempunyai banyak kebaikan terhadap manusia. Apabila Dia menguji hamba-Nya dengan ujian yang besar, maka Dia akan memberikan dengan ganjaran yang besar pula; jika ujiannya kecil, maka ganjarannya juga kecil.

Sesungguhnya besarnya pahala, tergantung pada besarnya ujian, dan sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan mengujinya, barangsiapa yang ridha, dia akan mendapatkan keridhaan Allah Ta'ala, namun barangsiapa yang marah, maka dia akan mendapat kemurkaan Allah.

Hadits ini sebagai berita gembira bagi orang-orang yang beriman, jika ditimpa musibah jangan sekali-kali menyangka bahwa Allah Ta'ala membencinya, justru bisa jadi ini merupakan tanda kecintaan Allah terhadap seorang hamba-Nya. Allah mengujinya dengan musibah, jika orang itu ridha dan bersabar serta mengharapkan pahala dari Allah, maka dia mendapatkan keridhaan Allah. Tapi, jika dia marah,  maka dia akan mendapatkan kemurkaan Allah. Dalam hadits ini terdapat anjuran bagi seseorang untuk bersabar terhadap musibah hingga dikaruniai keridhaan dari Allah Ta'ala.

Hadits 44.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ ابْنٌ لِأَبِيْ طَلْحَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَشْتَكِيْ، فَخَرَجَ أَبُوْ طَلْحَةَ، فَقُبِضَ الصَّبِيُّ، فَلَمَّا رَجَعَ أَبُوْ طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ ابْنِيْ؟ قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ وَهِيَ أُمُّ الصَّبيِّ: هُوَ أَسْكَنُ مَا كَانَ، فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ فَتَعَشَّى، ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرِغَ قَالَتْ: وَارُوْا الصَّبيَّ، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: « أَعْرَّسْتُمُ اللَّيْلَةَ ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: « اللَّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا. فَولَدَتْ غُلاَمًا فَقَالَ لِيْ أَبُو طَلْحَةَ: احْمِلْهُ حَتَّى تَأَتِيَ بِهِ النَّبيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَبَعَثَ مَعَهُ بِتَمْرَاتٍ، فَقَالَ: « أَمَعَهُ شْيءٌ ؟ » قَالَ: نَعَمْ، تَمَرَاتٌ فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَضَغَهَا، ثُمَّ أَخَذَهَا مِنْ فِيْهِ فَجَعَلَهَا فِي فِي الصَّبيِّ ثُمَّ حَنَّكَهُ وَسَمَّاهُ عَبْدَ الله. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وِفي رِوَايَةٍ لِلْبُخَاريِّ: قَالَ ابْنُ عُيَيْنَة: فَقَالَ رَجُلٌ مَنَ الْأَنْصَارِ: فَرَأَيْتُ تَسْعَةَ أَوْلاَدٍ كُلُّهُمْ قدْ قَرَؤُوا الْقُرْآنَ، يَعْنِي مِنْ أَوْلاَدِ عَبْدِ اللَّهِ الْمَوْلُودِ.

وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: مَاتَ ابْنٌ لِأَبِي طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ، فَقَالَتْ لِأهْلِهَا: لاَ تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ، فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وشَرِبَ، ثُمَّ تَصنَّعتْ لهُ أَحْسَنَ مَا كَانَتْ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ، فَوقَعَ بِهَا، فَلَمَّا أَنْ رأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعِ وَأَصَابَ مِنْهَا قَالَتْ: يَا أَبَا طلْحَةَ، أَرَايْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيتَهُمْ أَهْلَ بيْتٍ فَطَلبُوا عَارِيَتَهُمْ، أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهَا؟ قَالَ: لاَ، فَقَالَتْ: فَاحْتَسِبْ ابْنَكَ. قَالَ: فَغَضِبَ، ثُمَّ قَالَ: تَرَكْتِنِيْ حَتَّى إِذَا تَلطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبرْتِني بِابْني، فَانْطَلَقَ حتَّى أَتَى رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَأخْبَرهُ بِمَا كَانَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « بَارَكَ اللهُ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا.

قَالَ: فَحَمَلَتْ، قَالَ: وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ وَهِي مَعَهُ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَى الْمَدِينَةِ مِنْ سَفَرٍ لاَ يَطْرُقُها طُرُوقًا فَدَنَوْا مِنَ الْمَدِينَةِ، فَضَرَبَهَا الْمَخاضُ، فَاحْتَبِسَ عَلَيْهَا أَبُو طَلْحَةَ، وَانْطلَقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ: يقُولُ أَبُو طَلْحةَ إِنَّكَ لَتَعْلمُ يَا ربِّ أَنَّهُ يعْجبُنِي أَنْ أَخْرُجَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَرَجَ، وَأَدْخُلَ مَعَهُ إِذَا دَخَلَ، وقَدِ احْتَبَسْتُ بِمَا تَرى. تَقُولُ أُمُّ سُلَيْمٍ: يَا أَبَا طَلْحَةَ، مَا أَجِدُ الَّذِي كنْتُ أَجِدُ، انْطَلِقْ، فَانْطَلقْنَا، وَضَرَبَهَا الْمَخَاضُ حِيْنَ قَدِمَا فَوَلَدَتْ غُلاَمًا. فَقَالَتْ لِي أُمِّي: يَا أَنَسُ لاَ يُرْضِعُهُ أَحَدٌ تَغْدُوَ بِهِ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبحَ احْتَمَلْتُهُ فَانْطَلقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيْثِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, “Anak Abu Thalhah jatuh sakit, dan tatkala Abu Thalhah bepergian (bermusafir), anaknya meninggal dunia.

Saat pulang dari bepergian, Abu Thalhah bertanya kepada istrinya: “Bagaimana keadaan anakku?”

Ummu Sulaim (ibu kandung anak tersebut) menjawab: “Dia lebih tenang dari sebelumnya.

Kemudian Ummu Sulaim menyediakan makanan malam kepada Abu Thalhah. Abu Thalhah pun menyantap makan malam. Setelah itu, Abu Thalhah berhubungan badan dengan Ummu Sulaim, dan setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, “Anakmu telah dikuburkan.” Maka di waktu pagi harinya, Abu Thalhah datang mengadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahukan apa yang sedang menimpa keluarganya.

Baginda bertanya: “Apakah tadi malam, kamu melakukan hubungan badan?

Abu Thalhah menjawab: “Ya.”

Baginda pun berdoa: Allahumma baarik lahumaa (Ya Allah, berkahilah kedua suami ini).” 

Dan (dari hasil hubungan badan pada malam itu) Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki, lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas): “Bawalah bayi ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Anas kemudian membawa bayi tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Ummu Sulaim membekalkan dengan beberapa biji kurma.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah ada sesuatu bersama (bayi ini)?

Anas menjawab: “Ya, beberapa biji kurma.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebiji kurma dan menguyah kurma tersebut, lalu baginda mengambil dari mulutnya kemudian dimasukkan ke dalam mulut si bayi tersebut dan dioleskan ke langit-langit mulutnya (tahnik). Baginda memberi nama bayi itu dengan nama Abdullah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5470 Muslim no. 2144]

Dalam riwayat Imam Al-Bukhari, Ibnu 'Uyainah berkata: “Salah seorang lelaki dari kalangan kaum Anshar berkata, Kemudian aku melihat sembilan anak laki-laki semuanya pandai membaca (hafal) Al-Qur'an dengan baik.” Yakni anak-anak Abdullah yang dilahirkan.

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Ketika anak dari pasangan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim meninggal dunia, dia (Ummu Sulaim) berkata kepada keluarganya, “Janganlah kalian ceritakan hal ini kepada Abu Thalhah, sehingga aku sendiri yang akan menceritakannya.

Ketika Abu Thalhah tiba di rumahnya. Seperti biasa istrinya menyiapkan makan malam untuk suaminya. Lalu Abu Thalhah makan dan minum dengan senangnya. Selanjutnya Ummu Sulaim berhias lebih cantik di hadapannya dengan sebaik-baiknya.” Hingga Abu Thalhah pun berhubungan badan dengannya dan tatkala dia mengetahui suaminya telah berasa puas berhubungan dengannya, maka barulah Ummu Sulaim berkata, Wahai Abu Thalhah bagaimana pendapatmu kalau seseorang meminjamkan sesuatu kepada satu keluarga, lalu mereka memintanya kembali, bolehkah keluarga tadi menolaknya?

Abu Thalhah menjawab: “Tidak boleh.”

Ummu Sulaim berkata: “Relakanlah anakmu telah pulang kepada Allah.”

Betapa terkejut dan marahnya Abu Thalhah mendengar penjelasan istrinya itu. Lalu dia pun berkata: “Mengapa kamu sembunyikan berita itu dariku, hingga aku berlumuran seperti ini (kerana persetubuhan) baru kamu beritahu mengenai anakku?

Keesokan harinya Abu Thalhah pun bergegas menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan kepada baginda tentang apa yang telah terjadi. Mendengar cerita sedih tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berdoa, “Baarakallahu lakumaa fii lailatikumaa (Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua).

Dia (Anas) berkata: “Beberapa bulan kemudian Ummu Sulaim mulai hamil dari hasil hubungan badan yang terjadi malam itu.”

Dia berkata: “Dan suatu ketika Rasulullah melakukan perjalanan, Ummu Sulaim dan Abu Thalhah ikut serta dalam perjalanan tersebut. Sebagaimana biasanya jika hendak masuk kota Madinah, baginda tidak masuk pada malam hari (akan tetapi singgah dulu di suatu tempat dekat Madinah). Dan saat mereka telah mendekati kota Madinah, Ummu Sulaim mulai sakit untuk melahirkan anak hingga menyebabkan Abu Thalhah berhenti untuk mendampinginya, sementara Rasulullah bertolak melanjutkan perjalanan.

Abu Thalhah berdoa: “Ya Allah, ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Mahamengetahui wahai Tuhan, bahwa aku merasa senang keluar kota, begitu pula kembali pulang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika baginda pulang, sedang saat ini aku tertahan sebagaimana yang Engkau saksikan.” Tiba-Tiba Ummu Sulaim berkata: “Wahai Abu Thalhah, aku sudah tidak lagi merasakan sakit seperti yang tadi aku rasakan, berangkatlah!”

Maka kami pun berangkat. Ketika masuk kota Madinah, Ummu Sulaim mengalami sakit perut lagi. Kali ini, Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki, lalu ibuku (Ibu Anas yakni Ummu Sulaim) berkata, “Wahai Anas, jangan ada seorang pun menyusuinya sebelum dibawa kepada Rasulullah, maka pada pagi harinya aku gendong dan aku bawa bayi itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian dia menyebutkan lanjutan hadits ini.

[Shahih Muslim no. 2144]

Penjelasan.

Hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan dari Abu Thalhah menjelaskan bahwasanya Abu Thalhah mempunyai seorang anak yang saat itu sedang sakit. Abu Thalhah adalah suami dari ibunya Anas bin Malik radhiyallahu anhu anak itu (sakit), tetapi Abu Thalhah harus keluar kerana suatu keperluan, lalu anaknya meninggal dunia.

Tatkala pulang dia bertanya kepada istrinya, “Bagaimana keadaan anakku?” Ummu Sulaim menjawab, “Ia lebih tenang dari biasanya.” Dia berkata jujur, kerana anak itu memang dalam keadaan sangat tenang kerana telah meninggal dunia, sementara tidak ada ketenangan yang melebihi ketenangan saat meninggal dunia.

Sedangkan Abu Thalhah saat itu mengira bahwa anaknya dalam keadaan lebih baik dari sebelumnya. Lalu Ummu Sulaim menghidangkan makan malam untuknya dan dia pun makan dengan keyakinan bahwa anaknya dalam keadaan baik dan sihat.  Kemudian dia melakukan hubungan badan dengan istrinya (Ummu Sulaim), dan setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, “Relakanlah anakmu telah pulang kepada Allah.” Kerana dia telah meninggal dunia.

Pada pagi harinya, Abu Thalhah menguburkan anaknya itu dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui peristiwa tersebut.

Maka baginda pun bertanya: Apakah malam tadi kamu melakukan hubungan badan?” Dia menjawab, “Ya.” lalu baginda berdoa, Allahumma baarik lahumma (Ya Allah berkahilah kedua suami istri ini). Dan (dari hasil hubungan badan pada malam itu) Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Abdullah. Dari Abdullah, lahirlah sembilan orang anak yang semuanya hafal Al-Qur'an kerana berkah doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan besarnya kesabaran Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha meskipun anaknya sudah meninggal, dia tetap tenang dan masih bisa mengatakan bahwa anaknya dalam keadaan tenang. Dia sanggup untuk menyembunyikan kejadian yang sebenarnya dan menghidangkan makan malam untuk suaminya sampai akhirnya berhubung badan dengannya. Setelah selesai berhubung badan, dia berkata kepada suaminya, “Relakanlah anakmu telah pulang kepada Allah.” 

Dalam hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya menyembunyikan sesuatu (tauriyah), yakni mengatakan suatu perkataan yang lahiriyahnya berbeda dengan makna yang diniatkan, makna lahiriyahnya adalah yang langsung ditangkap oleh orang diajak bicara, sedang makna yang lainnya adalah makna yang tidak terlalu kuat, tapi itulah yang diniatkan oleh yang berbicara walau yang diucapkan berbeda dengan yang diinginkannya.

Hal ini boleh dilakukan, tetapi hanya untuk keperluan tertentu. Misalnya, jika seseorang melakukannya untuk suatu kemaslahatan, atau untuk mencegah suatu kemudaratan. Maka, dalam hal ini, dia boleh menggunakan tauriyah. Jika tidak ada keperluan, tidak semestinya seseorang menggunakan tauriyah. Sebab, jika seseorang menggunakan tauriyah, lalu diketahui bahwa permasalahannya tidak seperti yang dibayangkan lawan bicara, maka orang yang menggunakan tauriyah ini akan dikatakan sebagai pendusta, dan orang akan berburuk sangka terhadapnya. Akan tetapi, jika memang sangat terdesak, tidak mengapa dia menggunakannya.

Di antara tauriyah yang bermanfaat yang diperlukan oleh seseorang adalah seandainya ada orang zhalim yang suka mengambil harta orang dengan semena-mena. Ada orang yang menitipkan harta pada kamu lalu dia berkata, “Hartaku ini aku titipkan kepada kamu kerana aku takut diketahui orang zhalim itu lalu diambilnya.

Lalu datang orang zhalim tersebut dan bertanya, “Hal 'indaka maalu fulaan (Apakah padamu ada harta si fulan)?” Lalu kamu menjawab, “Wallahi Maa 'indiy syai' (Demi Allah, tidak ada sesuatu pun padaku).”

Lawan bicara akan mengira kalau kamu menafikan (kerana kamu gunakan kata “Maa”) dan artinya tidak ada bersamaku sesuatu pun miliknya. Padahal kamu berniat dengan kata, “Maa” di sini sebagai kata sambung yang artinya, “Yang,” sehingga di sini berarti, “Demi Allah yang ada bersamaku sesuatu miliknya.” Ini merupakan tauriyah yang mubah bahkan mesti digunakan jika keperluan mendesak.

Dalam hadits ini juga diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Anas membawa adik seibunya, anak Abu Thalhah, dia bawa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut membawa kurma. Lalu baginda mengambil kurma itu dan mengunyahnya, kemudian memasukkannya ke mulut si bayi. Lalu dioleskan ke langit-langit mulutnya, yakni baginda memasukkan jari jemarinya ke mulut si bayi dan diputarkan di langit-langitnya, untuk mengharapkan berkah dari air liur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar yang pertama kali sampai ke perut bayi ini air liur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat biasa melakukan hal ini, apabila telah lahir seorang anak, baik laki-laki mahupun perempuan, mereka membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil membawa kurma untuk ditahnik (langit-langit mulutnya diolesi lumatan kurma yang sudah dikunyah oleh Rasulullah).

Tahnik tersebut apakah untuk mengharapkan berkah dari air liur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau agar kurma menjadi makanan pertama yang masuk ke perut si bayi sebelum yang lainnya?

Apabila kita berpegang pada pendapat pertama, berarti ini merupakan keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh kerana itu, tidak boleh seorang pun mentahnik anaknya, kerana tidak ada seorang pun yang boleh diharapkan berkah dari air liurnya kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetapi jika kita berpegang pada pendapat kedua, bahwa hal itu supaya kurma menjadi sesuatu yang pertama masuk ke perut si bayi, kerana berfungsi sebagai pembersih, maka kita katakan bahwa setiap anak yang baru lahir bisa ditahnik.

Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah Ta'ala, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa untuk si bayi ini lalu Allah memberi keberkahan kepadanya dan kepada keterunannya, hingga dia mempunyai seperti apa yang telah diceritakan dalam hadits ini, yakni sembilan orang anak dan semuanya hafal Al-Qur'an kerana berkah dari doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Selain itu, dalam hadits ini terdapat dalil bahwa disunnahkan memberi nama Abdullah, kerana sebaik-baik nama Abdullah dan Abdurrahman.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman.

[Shahih Muslim no. 2132]

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa sebaik-baik nama dengan diawali Ahmad, Muhammad, atau Abdu, tidak ada asalnya dan bukan hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[Al-Ajaluni berkata dalam kitab Kasyful Khafa' (244), As-Sakhawi berkata, “Adapun hadits yang beredar dari mulut ke mulut, yang mengatakan sebaik-baik nama dengan diawali Ahmad atau Muhammad atau Abdu adalah hadits batil.”]

Dalam hadits shahih disebutkan:

“Nama yang paling disukai Allah adalah Abdurahman dan Abdullah dan nama yang paling benar adalah Harits dan Hamman.

[Hr. Abu Dawud no. 4950. Ahmad dalam Musnad-nya no. (4/345) dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 814]

Kerana nama-nama tersebut sesuai dengan realitas.

Setiap anak Adam adalah Harits (petani) yang bekerja, dan setiap anak Adam adalah Hammam kerana dia punya asa, tujuan dan keinginan.

Allah Ta'ala berfirman:

Wahai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya.
(QS. Al-Insyiqâq: 84: 6)

Setiap manusia pasti bekerja (baca: berusaha)

Oleh kerana itu, sudah semestinya orang memilih nama yang paling baik untuk anak laki-laki atau anak perempuannya agar mendapat pahala dan agar dikategorikan sebagai orang yang baik terhadap anak laki-laki dan anak perempuannya.

Adapun memberi nama anak dengan nama yang aneh di telinga masyarakat, ini dapat menyebabkan mindanya sang anak ini terganggu kemudian hari. Dan setiap kekecewaan yang mereka rasakan kerana nama itu, maka kamu menanggung dosanya. Kerana kamulah penyebab kekecewaan itu dengan memberikan nama yang aneh yang selalu digunjing dan dikatakan lihat nama itu, lihat nama itu!!

Oleh kerana itu hendaklah seseorang memilih nama yang paling baik. Haram hukumnya seorang muslim memberikan nama yang identik dengan orang kafir seperti George atau nama lain yang serupa yang identik dengan orang kafir. Kerana hal itu merupakan tasyabbuh (penyerupaan) terhadap mereka. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari kalangan mereka.”

[Hr. Abu Dawud no. 4031, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 1269]

Perkataan perawi, “Bagaimana pendapatmu kalau seseorang meminjamkan sesuatu kepada satu keluarga, lalu mereka memintanya kembali, bolehkah keluarga tadi menolaknya?” Abu Thalhah menjawab, “Tidak boleh.” Ummu Sulaim berkata, “Relakanlah anakmu telah pulang kepada Allah.”

Yakni, anak-anak yang ada bersama kita adalah pinjaman. Mereka adalah milik Allah, Dia akan mengambil mereka kapan saja Dia menghendaki. Ummu Sulaim membuat perumpamaan seperti ini agar suaminya bisa menerima dan mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala.

Hal ini menunjukkan kecerdasan Ummu Sulaim bahwa dia adalah seorang wanita yang berakal, sabar dan mengharapkan pahala dari Allah. Jika tidak demikian, sebenarnya seorang ibu sama dengan bapak, bersedih kerana ditinggal anak, bahkan bisa jadi lebih sedih kerana kelembutan perasaannya dan sifatnya yang kurang sabar.

Dalam hadits ini terdapat dalil keberkahan doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa anak yang didoakannya itu mempunyai sembilan orang anak dan semuanya hafal Al-Qur'an.

Dalam hadits ini juga terdapat dalil tentang karamah Abu Thalhah kerana dia pada waktu keluar bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan dan Ummu Sulaim bersama suaminya (Abu Thalhah) setelah hamil. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perjalanan itu, Ummu Sulaim merasakan sakit seperti hendak melahirkan sebelum mereka sampai ke kota Madinah.

Kebiasaan Rasulullah, “Tidak suka pulang kepada keluarganya pada malam hari.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5243 Muslim no. 715]

Yakni baginda tidak suka pulang pada malam hari tanpa memberitahukan mereka terlebih dahulu. Lalu Abu Thalhah berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya Tuhanku, Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui wahai Tuhan, bahwa aku merasa senang keluar kota, begitu pula kembali pulang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika baginda pulang, sedang saat ini aku tertahan sebagaimana yang Engkau saksikan.”

Tiba-tiba, Ummu Sulaim berkata, “Wahai Abu Thalhah, aku sudah tidak lagi merasakan sakit seperti yang tadi aku rasakan, berangkatlah!” 
Yakni sakitnya telah reda, bahkan seakan tidak terasa sama sekali.

Ummu Sulaim berkata kepada suaminya, Abu Thalhah, “Berangkatlah!” Kemudian Abu Thalhah berangkat dan kembali ke Madinah bersama Rasulullah.

Tatkala sampai di Madinah, Ummu Sulaim melahirkan seorang anak laki-laki. Dalam kisah ini terdapat karamah, di mana Allah meringankan sakit istri Abu Thalhah kerana doanya. Kemudian setelah melahirkan, Ummu Sulaim berkata kepada anaknya, Anas bin Malik, kakak dari anak yang baru dilahirkannya itu, “Bawalah dia kepada Rasulullah.” Sebagaimana kebiasaan penduduk Madinah apabila terlahir seorang anak, mereka membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa beberapa biji kurma lalu, baginda kuyah kurma tersebut dan ditahnik ke mulut bayi, kerana dalam hal ini terdapat dua faedah:

Pertama, berkah air liur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para sahabat dahulu mengambil berkah dari air liur dan keringat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, di antara kebiasaan mereka apabila mendirikan shalat Subuh mereka membawa tempat berisi air lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelupkan kedua tangannya ke dalam air itu kemudian anak-anak datang dan membawa air itu ke keluarga mereka untuk mengambil berkah dari bekas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berwudhu, para sahabat hampir saling desak untuk mengambil sisa wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam demi mengambil berkah darinya dan juga dari keringat dan rambut baginda.

Bahkan, Ummu Salamah -salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah seorang Ummahatul mu'minin- mempunyai suatu wadah yang terdapat di dalamnya rontokan rambut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengambilnya dua atau tiga helai, kemudian mereka letakkan di dalam air dan mereka gerak-gerakkan agar dapat mengambil berkah dari air itu. Akan tetapi, hal ini khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja. (Perlu diingatkan bahwa saat ini tidak lagi diketahui bahwa masih tersisa bekas peninggalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa digunakan untuk tabarruk. Hal ini merupakan hikmah dari Allah untuk mencegah terjadinya kemusyrikan dan juga penutup jalan menuju ke arah sana. Perlu diketahui juga bahwa setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat kaum muslimin tidak tabarruk kepada Abu Bakar atau pun Umar, yang mana ini menunjukkan bahwa tabbaruk khusus kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.

[Lihat kitab At-Tawassul; Anwa'uhu wa Ahkamuhu karya Al-'Allamah Syaikh Al-Albani]

Kedua, mengenai kurma yang dipakai untuk men-tahnik bayi terdapat kebaikan dan keberkahan dan juga bermanfaat bagi perut. Jika yang pertama kali masuk ke dalam perut bayi adalah kurma, ini sangat baik bagi perut bayi. 

Rasulullah men-tahniknya dan mendoakan keberkahan untuknya.

Intisari hadits ini bahwa Ummu Sulaim berkata kepada Abu Thalhah, Relakanlah anakmu telah pulang kepada Allah.” Yakni bersabarlah kerana kehilangan dia dan berharaplah pahala dari Allah.

Hadits 45.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat (perkelahian), akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.

[Shahih Al-Bukhari no. 6114. Muslim no. 2609]

Hadits 46.
وَعَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ صُرَدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ جَالِسًا مَعَ الِنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَجُلاَنِ يَسْتَبَّانِ وَأَحَدُهُمَا قَدِ احْمَرَّ وَجْهُهُ. وَانْتفَخَتْ أَوْدَاجهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عنْهُ مَا يجِدُ، لَوْ قَالَ: أَعْوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، ذَهَبَ عنْهُ مَا يَجِدُ » فقَالُوْا لَهُ: إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « تَعَوَّذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Sulaiman bin Shurad radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ketika aku sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada dua orang yang saling mencaci. Salah seorang di antaranya wajahnya memerah dan urat lehernya menegang. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang bila diucapkan akan hilang apa yang sedang dialaminya. Seandainya dia membaca, “A'uzu billahi minasy syaitanir rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).

Maka, para sahabat memberitahukan kepada orang itu: “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.

[Shahih Al-Bukhari no. 3282. Muslim no. 2610]

Penjelasan.

Dua hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa marah adalah bara yang dilemparkan setan ke hati anak Adam, sehingga dia mudah emosi, dadanya membara, urat sarafnya menegang, wajahnya memerah dan kadang ungkapan dan tindakannya tidak masuk akal.

Maka tatkala seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Nasihatilah aku.” Baginda bersabda, “Jangan marah.” Dia berkata lagi, “Nasihatilah aku.” Baginda bersabda, “Jangan marah.” Dan dia berkata lagi, “Nasihatilah aku.” Baginda tetap bersabda, “Jangan marah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6116]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang disebutkan, oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini menjelaskan bahwa kekuatan tidak diukur dengan kepandaian seseorang dalam perkelahian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang kuat itu bukanlah orang yang pandai bergulat (perkelahian).

Yakni orang kuat bukanlah orang yang pandai bergaduh sehingga mampu mengalahkan banyak orang. 

Di mata orang, dia adalah orang kuat akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, mengatakan bukan ini sebenarnya yang dikatakan kuat akan tetapi,

Akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya di saat marah.

Yakni orang kuat yang sebenarnya adalah yang mampu mengalahkan nafsunya sendiri jika nafsu itu menyerang dan memarahi pemiliknya serta mendominasinya. Itulah kuat yang hakiki. 

Kekuatan maknawi dari dalam diri yang dengannya manusia dapat mengalahkan setan, kerana setanlah yang telah melemparkan bara ke dalam hati orang agar dia marah. 

Dalam hadits ini terdapat anjuran agar manusia dapat mengendalikan dirinya saat marah dan tidak menuruti amarahnya hingga menyesal di kemudian hari. Sering sekali saat marah seseorang menceraikan istrinya dan bisa jadi itu adalah penceraian yang terakhir tidak bisa di rujuk lagi.

Seringkali saat marah seseorang menghancurkan harta miliknya, bisa dengan dibakar atau pun dipecahkan. Sering juga marah kepada anaknya hingga memukulnya bahkan sampai meninggal kerana pukulannya itu. Begitu juga marah terhadap istri lalu memukulnya dengan pukulan yang melukai atau hal serupa yang kerap terjadi kala orang sedang marah.

Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melarang hakim untuk memutuskan perkara antara dua orang yang berselisih dalam keadaan marah. Kerana marah dapat menghalangi hakim untuk memahami permasalahan dengan baik juga dapat menghalanginya untuk memutuskan hukum syar'i atas perkara yang dihadapi, hingga bisa jadi dia memutuskan hukum antara orang yang berselisih dengan hukum yang tidak benar.

Begitu pula Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits Sulaiman bin Shurad radhiyallahu anhu bahwa dua orang saling mencaci di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Salah satu dari mereka telah merah wajahnya dan urat lehernya telah menegang. Lalu baginda bersabda,

“Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang bila diucapkan akan hilang apa yang sedang dialaminya. Seandainya dia membaca, “A'uzu billahi minasy syaitanir rajim (aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).”

Maka, para sahabat memberitahukan orang itu, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.”

Berdasarkan hal ini, kita katakan bahwa disyariatkan jika seseorang sedang marah untuk menahan diri, sabar, dan berlindung kepada Allah dari setan terkutuk. Lalu, berwudhu, kerana wudhu dapat memadamkan kemarahan. Jika marah dalam keadaan berdiri, hendaklah duduk, jika marah dalam keadaan duduk, maka hendaklah berbaring. Dan jika khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, hendaklah keluar dari tempat dia berada, supaya tidak melampiaskan kemarahannya di tempat tersebut, lalu menyesal setelah itu.

Hadits 47.
وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ كَظَمَ غَيْظًا، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنْفِذَهُ، دَعَاهُ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى رُؤُوسِ الْخَلاَئِقِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ مَا شَاءَ » رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ، وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Muaz bin Anas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang mampu menahan amarah, padahal dia mampu melampiaskannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memanggilnya di hadapan segenap manusia pada hari Kiamat, sehingga dia dipersilakan memilih bidadari yang dikehendakinya.

[Hr. Abu Dawud no. 4777, At-Tirmidzi no. 2021), Ibnu Majah no. 4186 dan Ahmad (3/440), dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 6518]

Hadits 48.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوْصِنْي، قَالَ: « لَا تَغْضَبْ » فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ « لَا تَغْضَبْ » رَوَاهُ الْبُجَارِيُّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, ada seseorang lelaki pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Nasihatilah aku.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jangan marah.” 

Orang tersebut mengulanginya beberapa kali, dan baginda tetap bersabda: Jangan marah.

[Shahih Al-Bukhari no. 6116]

Hadits 49.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ‏:‏ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:‏ « مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ تَعَالَى وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةُ‏ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثُ حَسَنٌ صَ‏حِيْحٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidak henti-hentinya ujian menimpa orang Mukmin dan Mukminah, baik kepada dirinya, anaknya dan hartanya hingga saat dia bertemu dengan Allah dengan tidak mempunyai dosa (kesalahan) apapun.

[Hr. At-Tirmidzi no. 2399, dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 2280]

Penjelasan.

Hadits-hadits di atas masuk dalam Bab Sabar, yang menunjukkan keutamaan sabar. 

Adapun hadits pertama, dari Muadz bin Anas radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mampu menahan amarah, padahal dia mampu melampiaskannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memanggilnya di hadapan segenap manusia pada hari Kiamat...”

Kata (الغَيْظُ) dalam hadits ini berarti marah besar. Orang yang marah adalah orang yang yakin bahwa dirinya bisa melampiaskan kemarahannya itu kerana jika tidak, dia tidak disebut marah, tetapi hanya bisa dikatakan kesal. 

Oleh kerana itu, Allah mempunyai sifat marah dan tidak punya sifat kesal, kerana kesal adalah sifat kurang sedang marah bagi Allah merupakan kesempurnaan. Apabila seseorang marah terhadap orang lain sedangkan dia sanggup untuk melampiaskannya, tetapi tidak dilakukan kerana mengharapkan keridaan dari Allah dan bersabar terhadap apa yang telah menyebabkannya marah, maka dia akan mendapatkan ganjaran besar seperti disebutkan dalam hadits, yakni dia dipanggil di hadapan segenap manusia pada hari Kiamat dan disuruh memilih bidadari yang di kehendakinya.

Sedangkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya seorang lelaki pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Nasihatilah aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan marah.” Orang tersebut mengulangi perkataannya berapa kali, dan baginda tetap bersabda, “Jangan marah.” Hal ini telah diterangkan sebelumnya.

Sementara hadits berikutnya merupakan dalil bahwa apabila seseorang bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah, maka Allah akan menghapuskan dosanya. Jika seseorang tertimpa musibah pada dirinya, atau anaknya, atau hartanya, lalu dia bersabar terhadap musibah itu, lalu Allah masih saja mengujinya dengan hal itu sehingga tidak tersisa lagi dosa pada dirinya.

Hal ini juga menunjukkan bahwa musibah yang menimpa seseorang baik pada dirinya sendiri atau anaknya, atau pada hartanya merupakan tebusan baginya. Hingga dia berjalan di atas muka bumi ini tanpa mempunyai dosa. Selama dia menghadapinya dengan sabar. Tapi jika dia marah, maka dia pun akan mendapatkan kemurkaan dari Allah.

Hadits 50.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ‏:‏ قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنِِ فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيْهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرُ الَّذِيْنَ يُدْنِيْهِمْ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَكَانَ الْقُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجْلِسِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ وَمُشَاوَرَتِهِ كُهُوْلًا كَانُوْا أَوْ شُبَّانًا، فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيْهِ:‏ يَا ابْنَ أَخِيْ لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الأَمَيْرِ فَاسْتَأَذِنْ لِيْ عَلَيْهِ، فَاسْتَأْذَنَ فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ‏.‏ فَلَمَّا دَخَلَ قَالَ‏:‏ هِىْ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، فَوَاللهِ مَا تُعْطِيْنَا الْجَزْلَ وَلَا تَحْكُمُ فِيْنَا بِالْعَدْلِ، فَغَضِبَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهَ، فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ‏:‏ يَا أَمِيْرَ الْمُؤمِنِيْنَ إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏:‏ ‏{‏ خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين‏َ } ‏[ سوة الأعراف ‏:‏١٩٩‌ ] ‏وَإنَّ هَذَا مِنَ الْجَاهِلِيْنَ، وَاللهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِيْنَ تَلاَهَا، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كٌتَابِ اللهِ تَعَلَى. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ‏‏.‏
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dia berkata, “Uyainah bin Hishn ketika datang ke kota Madinah singgah di rumah anak saudaranya, yaitu Al-Hur bin Qais, yang masih termasuk orang terdekat Umar radhiyallahu anhu, kerana para qurraa merupakan sahabat semajlis Umar dan sahabatnya dalam bermusyawarah, baik tua mahupun muda, maka Uyainah berkata anak saudaranya itu, Wahai anak saudaraku, engkau orang terdekat Amirul Mukminin, mintakan izin untukku agar bisa menghadapnya.

Lantas Al-Hur bin Qais meminta izin untuk Uyainah. Tatkala Uyainah sudah menemui Umar, dia berkata: “Wahai Ibnu Khaththab, demi Allah, kamu tidak pernah mencukupi kami dan tidak memerintah dengan adil.”

Umar marah hingga hampir saja memukulnya. Tetapi Al-Hur segera berkata: “Wahai Amirul Mukminin, Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabi-Nya, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” 
(QS. Al-A'râf: 7: 199) dan sesungguhnya dia termasuk orang yang bodoh.”

Demi Allah, Umar berhenti ketika dia (Al-Hur) membaca ayat tersebut. Dan Umar merupakan orang yang sangat patuh pada Kitabullah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4642, 4286]

Penjelasan.

Dalam memaparkan hadits tentang sabar, Imam An-Nawawi menyebutkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas tentang Umar bin Al-Khaththab, Amirul Mukminin, khalifah yang kedua, sedangkan khalifah yang pertama adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Umar terkenal dengan keadilan di antara rakyatnya dan tawadhu' terhadap kebenaran. Bahkan, saat seorang wanita yang mengingatkannya dengan ayat dari Kitabullah, dia berhenti dan memerhatikan ayat itu dan tidak dilewati begitu saja. Suatu ketika Uyainah bin Hishn yang merupakan pembesar kaumnya datang dan berkata kepada Umar, “Wahai Ibnul Khaththab, demi Allah kamu tidak pernah mencukupi kami dan tidak memerintah dengan adil.

Perhatikan orang ini berbicara seperti itu kepada Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab yang terkenal dengan keadilannya. Padahal Umar bin Khaththab sebagaimana diceritakan Ibnu Abbas, Teman-teman dekatnya adalah para qurraa.
Yakni para qurraa' dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka itulah sahabat dekat Umar, baik yang sudah tua mahupun yang masih muda, dia senantiasa mendekati mereka dan mengajak mereka bermusyawarah. Beginilah seharusnya pemimpin menjadikan orang shalih sebagai teman-teman terdekat, kerana kalau teman dekatnya bukan orang shalih, maka dia akan hancur dan menghancurkan umat.

Namun, jika Allah mengarunianya teman-teman yang shalih, Allah jadikan dirinya bermanfaat untuk umat. Penguasa wajib memilih teman terdekat dari orang yang beriman dan berilmu. Para sahabat yang merupakan qurraa adalah orang-orang berilmu, kerana mereka tidak melewati sepuluh ayat hingga mereka pelajari isinya lalu mengamalkannya

Tatkala orang lelaki ini mengatakan hal itu kepada umar, dia marah hingga hampir saja dipukulnya. 

Tetapi anak saudaranya Uyainah bin Hishn Al-Hur segera berkata, Wahai Amirul Mukminin, sesungguhnya Allah telah berfirman kepada Nabi-Nya: 

۞خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ۞

Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A'râf: 7: 199)

Sesungguhnya, dia termasuk orang yang bodoh.” Umar diam dan memerhatikannya ketika (Al-Hurr) membaca ayat tersebut. Dan Umar adalah orang yang sangat patuh pada Kitabullah. 

Umar mengurungkan niatnya untuk memukul atau menghardik, setelah mendengar ayat yang dibacakan itu. Lihatlah bagaimana etika para sahabat dalam berinteraksi dengan Kitabullah, mereka tidak menyepelekannya.

Jika dikatakan kepada mereka, “Ini firman Allah.” Mereka langsung berhenti, meski sedang melakukan apa pun.

Firman-Nya, Jadilah pemaaf.” Yakni bergaullah terhadap sesama manusia dengan kemudahan, jangan kamu menuntut sepenuhnya hak kamu, kerana kamu tidak akan mendapatkannya.

Dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf.” Yakni perintahkan orang untuk melakukan hal yang dikenali sebagai perbuatan baik oleh syariat dan manusia. Jangan kamu memerintahkan kemungkaran dan memerintahkan sesuatu yang bukan kebiasaan, kerana sesuatu terbagi menjadi tiga bagian:

1. Kemungkaran yang harus dilarang.

2. Kebiasaan yang diperintahkan.

3. Yang tidak masuk dalam kategori pertama dan kedua, maka sebaik-baiknya diam.

Tetapi untuk nasihat, janganlah mengucapkan perkataan kecuali yang baik-baik saja. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah berkata baik atau diam.

[Shahih Al-Bukhari no. 6018. Muslim no. 47]

Firman-Nya, Serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” Yakni, berpalinglah dari orang yang berlaku bodoh dan kurang ajar terhadap dirimu. Apalagi jika keberpalinganmu bukan kerana tunduk dan takut terhadap mereka.

Seperti Umar, berpaling dia bukan kerana tunduk dan takut, (kepada orang tersebut) dia sanggup untuk menghajar orang itu, akan tetapi dia ingin menjalankan perintah Allah ini, maka dia pun berpaling darinya.

Bodoh ada dua macam:

1. Tidak mengetahui sesuatu pun.

2. Bersikap kurang ajar, di antaranya adalah perkataan seorang penyair;

Jangan seorang pun bersikap kurang ajar kepada kami, Sebab kami akan bersikap kurang ajar yang lebih parah.

Yakni jangan bersikap kurang ajar terhadap kami, maka kami pun akan bersikap lebih kurang ajar kepada kalian. Ini adalah syair jahiliyah. Sementara etika Islam ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala,

Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.
(QS. Fushshilat: 41: 34)

Subhanallah! Orang yang antara kamu dengannya terdapat permusuhan dan senantiasa berbuat jahat terhadap dirimu, hadapilah dengan cara yang baik. Jika kamu lakukan hal itu segera mungkin, maka kamu akan mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah Ta'ala.

Firman-Nya, “Teman yang sangat setia,” yakni sahabat yang sangat dekat dan setia. Siapa yang mengatakan demikian?

Yaitu Allah Ta'ala, Dzat yang membolak-balikkan hati. Tidak ada hati manusia melainkan semuanya berada dalam genggaman kekuasaan Ar-Rahmaan. Dia membolak-balikkan hati manusia sesuai kehendak-Nya.

Seseorang yang sedianya musuh kamu lalu kamu hadapi mereka dengan cara yang baik, dia bisa berbalik dari musuh menjadi teman dekat.

Alhasil, ayat yang mulia ini, Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
(QS. Al-A'râf: 7: 199)

Tatkala dibacakan di hadapan Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, dia mengurungkan niatnya untuk memukul orang yang mengkritiknya dan tidak memberi sanksi terhadap kebodohan orang tersebut.

Jika kita mengalami hal seperti ini, marah atau emosi, hendaknya kita segera mengingatkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, agar kita tetap berada dalam jalan yang benar dan tidak sesat. Sebab, orang yang berpegang teguh kepada petunjuk Allah, maka dia tidak akan sesat, sebagaimana dalam firman-Nya,

Barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” 
(QS. Thâhâ: 20: 123)

Hadits 51.
وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدِِ ضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ‏:‏‏ « إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا، قَالُوْا‏:‏ يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَأْمُرُنَا‏؟‏ قَالَ‏:‏ تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ ‏لَكُمْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ‏.‏
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Akan terjadi sepeningggalku nanti monopoli (mengkhususkan sesuatu untuk diri sendiri) dan beberapa hal-hal mungkar yang kalian mengingkari.

Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (apabila kami melalui zaman tersebut)?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Laksanakan kewajiban kalian dan minta kepada Allah sesuatu yang merupakan hak kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3603. Muslim no. 1843]

Penjelasan.

Hadits di atas, yakni hadits Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu di sebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Bab Sabar, kerana mengisyaratkan hal tersebut. 

Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, dia mengabarkan bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan terjadi sepeninggalku nanti monopoli.” Yakni mengkhususkan sesuatu untuk dirinya sendiri, padahal orang lain punya hak di dalamnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermaksud menjelaskan bahwa para pemimpin akan menguasai orang-orang muslim dan memonopoli harta mereka, menggunakannya sekehendaknya dan menghalangi kaum muslimin untuk mendapatkan haknya dari harta tersebut. 

Hal yang demikian itu merupakan monopoli dan kezhaliman dari pemimpin, di mana mereka mengkhususkan harta yang di dalamnya terdapat hak kaum muslimin untuk dirinya sendiri. Para sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (apabila kami melalui zaman tersebut)?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Laksanakan kewajiban kalian. Yakni, monopoli yang mereka lakukan terhadap harta kalian jangan sampai menghalangi kalian untuk menjalankan kewajiban kalian terhadap mereka, yakni untuk tetap mendengarkan dan taat kepada mereka, juga tidak memberontak dan tidak menjelek-jelekan mereka.

Tapi sabarlah, dengarkanlah dan taatilah mereka, dan janganlah kalian memperselisihkan urusan yang telah Allah berikan kepada mereka. 

Dan mintalah kepada Allah sesuatu yang merupakan hak kalian. Yakni mintalah hakmu kepada Allah Ta'ala. 

Dengan kata lain, mintalah kepada Allah agar Dia memberikan mereka hidayah, sehingga mereka mahu menunaikan kewajiban mereka untuk memberikan hak kalian. Hal ini merupakan hikmah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baginda mengetahui bahwa hati itu cenderung kikir, dan jiwa manusia cenderung untuk tidak sabar terhadap orang yang memonopoli hak mereka. Akan tetapi, baginda membimbing orang untuk melakukan sesuatu yang mengandung kebaikan.

Yaitu dengan menjalankan kewajiban kita terhadap mereka dengan cara mendengarkan, taat, tidak memperselisihkan perintah mereka, dan lain sebagainya. Selain itu, kita berdoa kepada Allah, agar mereka mahu memberikan hak-hak kita. Dalam hal ini, terdapat kebaikan ditinjau dari dua sisi:

1. Di dalamnya terdapat tanda kenabian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana baginda memberitahu sesuatu permasalahan yang benar-benar terbukti. Sejak dulu, para khalifah dan gubenur telah memonopolikan harta; kita dapati mereka makan, minum, berpakaian, tempat tinggal dan berkenderaan secara berlebih-lebihan.

2. Mereka memonopoli harta rakyat untuk kepentingan peribadi mereka. Akan tetapi, bukan berarti kita harus menarik diri untuk menaati mereka atau berselisih dengan mereka. Justru, hendaknya kita memohon hak kita kepada Allah Ta'ala sesuatu yang menjadi hak kita, dan kita tetap menunaikan kewajiban kita terhadap mereka.

Hadits 52.
وَعَنْ أَبِيْ يَحْيَى أُسَيْدِ بْنِ حُضَيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ قَالَ‏:‏ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَا تَسْتَعْمِلُنِيْ كَمَا اسْتَعْمَلْتَ فُلاَنًا فَقَالَ‏:‏ « إِنَّكُمْ سَتَلْقَوْنَ بَعْدِيْ أَثَرَةً فَاصْبِرُوْا حَتَّى تَلْقَوْنِي عَلَى الْحَوْضِ‏ » ‏مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ‏.
Daripada Abu Yahya, Usaid bin Hudhair radhiyallahu anhu, bahwa ada seorang sahabat daripada kalangan Anshar berkata: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mahukah engkau mempekerjakan aku sebagaimana engkau mempekerjakan si Fulan?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sepeninggalku nanti, kalian akan mendapati monopoli (orang-orang yang mementingkan diri sendiri) maka bersabarlah kalian hingga kalian bertemu denganku (pada hari Kiamat) di telaga surga (Haudh).

[Shahih Al-Bukhari no. 3792. Muslim no. 1845]

Penjelasan.

Hadits Abu Yahya Usaid bin Hudhair radhiyallahu anhu, mirip seperti hadits Abdullah bin Mas'ub, dia mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Akan terjadi sepeninggalku nanti kalian akan mendapati monopoli.

Namun demikian baginda juga bersabda, Maka bersabarlah sampai hingga kalian bertemu denganku (pada hari kiamat) di telaga surga (Haudh).

Yakni, jika kamu bersabar, Allah akan membalas kamu atas kesabaran itu dengan memberimu minum dari telaga-Nya, telaga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ya Allah jadikanlah kami semua dapat mengunjungi dan bisa meminum dari telaga itu.”

Telaga ini terdapat di hari Kiamat pada tempat dan waktu di mana manusia sangat membutuhkannya, kerana pada tempat dan waktu di hari akhir ini manusia mengalami kegelisahan, kegundahan, petaka, kucuran keringat, rasa panas yang menjadikan mereka sangat membutuhkan air, lalu mereka mendatangi telaga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Telaga yang sangat luas, panjangnya sejauh perjalanan satu bulan dan lebarnya juga sejauh perjalanan satu bulan. Airnya mengucur dari dua mata air sungai Al-Kautsar. Dia adalah sungai dari surga yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua mata air itu mengucurkan air yang lebih putih daripada air susu, lebih manis dari madu, lebih wangi dari kasturi dan di dalamnya terdapat cawan yang mengkilap, indah dan bagaikan bintang. Barangsiapa yang minum darinya walaupun seteguk, maka dia tidak akan merasakan haus selama-lamanya. Ya Allah, jadikan kami termasuk orang yang minum darinya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membimbing mereka untuk bersabar terhadap monopoli yang akan mereka alami. Kerana kesabaran mereka terhadap kezhaliman para pemimpin merupakan sebab mereka diberikan kesempatan untuk mengunjungi dan minum dari telaga tersebut. 

Dengan demikian, pada hadits ini terdapat anjuran untuk bersabar dalam menghadapi pemimpin yang memonopoli hak-hak rakyat. Akan tetapi, perlu kita ketahui bahwa manusia itu akan diberikan pemimpin sesuai perilaku mereka.

Apabila mereka buruk dalam berinteraksi dengan sesama dan dalam bermuamalah dengan Allah, maka Allah memberikan pemimpin kepada mereka yang sesuai dengan perilaku mereka. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.
(QS. Al-Anâm: 6: 129)

Rakyat yang shalih akan dikaruniakan pemimpin yang shalih pula. Begitu juga sebaliknya.

Dikisahkan, bahwa seorang lelaki dari kaum Khawarij datang mengadap Ali bin Abi Thalib dan berkata kepadanya, “Wahai Ali, bagaimana bisa orang-orang memprotesmu dan tidak memprotes Abu Bakar dan Umar?” Kemudian Ali menjawab, “Kerana sesungguhnya rakyat Abu Bakar dan Umar adalah aku dan orang yang seperti aku, sedangkan rakyatku adalah kamu dan orang-orang sepertimu!!

Yakni, dalam dirimu tidak ada kebaikan, maka jadilah itu sebagai penyebab protes dan pepecahan mereka terhadap Ali bin Abi Thalib serta merupakan penyebab pembangkangan mereka terhadapnya sampai mereka membunuhnya.

Dikisahkan pula bahwa seorang raja bani Umayah mendengar komentar rakyat mengenai dirinya. Lalu dia mengumpulkan pemuka dan tokoh masyarakat. Menurut hemat saya, raja tersebut adalah Abdul Malik bin Marwan. Lalu dia berkata kepada mereka, “Wahai rakyatku sekalian, apakah kalian menginginkan aku bersikap seperti Abu Bakar dan Umar kepada rakyatnya?” Mereka menjawab, “Ya!” Dia berkata, “Jika kalian menginginkan hal itu, maka jadilah kalian seperti rakyat Abu Bakar dan Umar!!

Allah Ta'ala Mahabijaksana, Dia akan memberikan kepada rakyat seorang pemimpin sesuai dengan amal perbuatan mereka. Apabila perbuatan mereka buruk maka dia pun akan diperlakukan buruk oleh pemimpinnya dan apabila amal perbuatan mereka baik, maka mereka pun akan diperlakukan baik.

Akan tetapi, meski demikian, tidak diragukan lagi bahwa kebaikan pemimpin adalah menjadi tolok ukur. Apabila pemimpinnya baik maka rakyatnya pun akan baik, kerana dia adalah penguasa. Dia dapat membanteras orang yang menyimpang dan dapat memberikan pelajaran terhadap orang yang zhalim.

Hadits 53.
وَعَنْ أَبِيْ إِبْرَاهِيْمَ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ أَوَفَى رَضِيَ اللهِ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيٍهِ وَسلَّمَ فِي بَعْضِ أَيَّامِهِ الَّتِي لَقِيَ فِيْهَا الْعَدُوَّ، انْتَظَرَ حَتَّى إِذَا مَالَتِ الشَّمْسُ قَامَ فِيْهِمْ فَقَال‏َ:‏ « يَا أَيُّهَا النَّاسُ لَا تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ الْعَدُوِّ، وَاسْأَلُوْا اللهَ الْعَافِيَةَ، فَإِذَا لَقِيْتُمُوْهُمْ فَاصْبِرُوْا، وَاعْلَمُوا أَنَّ الْجَنَّةَ تَحْتَ ظِلاَلِ السُّيُوْفِ‏ » ثُمَّ قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏:‏ «‏ اللَّهُمَّ مُنْزِلَ الْكوَمُجْرِيَ السَّحَابِ، وَهَازِمَ الأَحْزَابِ، اهْزِمْهُمْ وَانْصُرْنَا عَلَيْهِمْ‏ » مُتَّفَقٌ عَلَيْه‏ِ.
Daripada Abu Ibrahim, Abdullah bin Abi Aufa, radhiyallahu anhu, dia berkata, “Pada suatu hari di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang menghadapi musuh, baginda menunggu sampai matahari condong (ke barat) barulah baginda berdiri di tengah-tengah para sahabat dan bersabda:

Wahai sekalian manusia, janganlah kalian berharap untuk bertemu dengan musuh, dan mintalah keselamatan kepada Allah. Tetapi jika kalian bertemu dengan musuh, hendaknya kalian bersabar. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya surga itu di bawah kilatan pedang.

Kemudian baginda berdoa: Ya Allah, Dzat yang menurunkan Kitab, yang menjalankan awan, dan mengalahkan musuh, kalahkan mereka dan menangkan kami terhadap mereka.

[Shahih Al-Bukhari no. 2965. 2966. Muslim no. 1743]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan hadits yang dinukil dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu anhu bahwa, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu berada dalam suatu peperangan. Baginda menunggu sampai matahari condong ke arah barat. Hal itu agar rasa dingin datang dan suasana agak teduh, hingga pasukan muslimin rasa semangat. Baginda menunggu sampai matahari mulai condong, bangkit berkhutbah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di hadapan orang-orang dengan khutbah yang bersifat rutin dan tetap seperti khutbah Jum'at. Selain itu, baginda tidak jarang menyampaikan khutbah insidentil jika memang dibutuhkan. Dalam suatu kesempatan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Janganlah kalian berharap untuk bertemu dengan musuh.” Yakni, seseorang tidak boleh berharap untuk bertemu musuh seraya berkata, Ya Allah pertemukanlah aku dengan musuhku!

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Dan mintalah keselamatan kepada Allah.” Hendaknya kamu berkata, “Ya Allah, anugerahkanlah keselamatan kepadaku.”

Tetapi, jika kalian bertemu dengan musuh, hendaknya kalian bersabar.

Inilah intisari dari hadits ini. Yakni, bersabarlah dalam memerangi musuh dan mintalah pertolongan kepada Allah Ta'ala. Perangilah mereka demi meninggikan kalimat Allah.

Ketahuilah bahwa sesungguhnya surga itu di bawah kilatan pedang.” Kita memohon kepada Allah agar kita mendapatkan limpahan anugerah-Nya.

Surga itu terletak di bawah kilatan pedang yang dibawa para mujahid yang berjuang di jalan Allah. Mujahid yang berjuang di jalan Allah, apabila ia terbunuh, dia akan menjadi penghuni surga, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang  beriman.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 169-171)

Orang yang mati syahid saat terbunuh di jalan Allah tidak merasakan tancapan atau pun kilatan pedang, seakan hal itu bukan apa-apa baginya. Dia hanya merasa bahwa ruhnya keluar dari dunia yang fana ini menuju kenikmatan abadi.

Salah seorang sahabat Radhiyallahu Anhum, Anas bin An-Nadhir berkata, Aku mencium aroma surga tanpa seorang pun tahu.”

Perhatikan bagaimana Allah menjadikan penciuman Anas bisa peka, sehingga bisa mencium aroma surga tanpa seorang pun tahu, lalu dia terbunuh sebagai syahid, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ketahuilah bahwa surga itu di bawah kilatan pedang.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah, Dzat yang menurunkan Kitab, menjalankan awan, dan mengalahkan musuh, kalahkan mereka dan menangkan kami terhadap mereka.”

Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertawasul dengan ayat-ayat syar'iyyah dan ayat-ayat kauniyyah.

Baginda bertawasul dengan penurunan Kitab yakni Al-Qur'an Al-Karim atau seluruh kitab, sehingga yang dimaksud kitab di sini adalah jenis, yakni, “Dzat yang menurunkan kitab-kitab kepada Muhammad dan selain baginda.”

Yang menjalankan awan.” Ini adalah ayat kauniyyah. Awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, tidak ada yang menjalankan kecuali Allah Ta'ala.

Seandainya umat manusia berkumpul dengan alat dan kemampuan yang mereka miliki untuk menjalankan awan atau mengubah arahnya, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya. Yang dapat menjalankannya hanya Dzat yang apabila menghendaki sesuatu Dia cukup berfirman, Kun fa yakuun 'Jadilah! terjadilah ia.”

Yang mengalahkan musuh.” Allah Ta'ala sendirilah yang mengalahkan musuh.

Di antaranya Allah pernah mengalahkan musuh di perang Ahzab, di mana musuh telah berkumpul di sekeliling Madinah dengan jumlah lebih dari sepuluh ribu pasukan untuk membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, Allah mengalahkan mereka dan mengembalikan orang-orang yang kafir dengan kemurkaan mereka tanpa mendapatkan kebaikan sedikit pun. Allah mengutus angin dan bala tentara yang dapat menggoncangkan mereka, merobohkan kemah-kemah mereka, hingga mereka tidak stabil.

Angin kencang dan sangat dingin hingga memaksa mereka untuk meninggalkan medan pertempuran.

Allah Ta'ala berfirman:

Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apa pun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan.” (QS. Ahzâb: 33: 25)

Allah Ta'ala yang mengalahkan musuh. Bukan kekuatan manusia yang mengalah musuh. Kekuatan manusia hanya sebagai sebab, kadang bermanfaat dan kadang tidak bermanfaat.

Kita diperintahkan untuk melakukan sebab (sarana) yang diperbolehkan agama. Akan tetapi yang mengalahkan pada hakikatnya adalah Allah Ta'ala.

Faedah Hadits:

Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah:

1. Seseorang tidak boleh berharap untuk bertemu dengan musuh. Lain halnya dengan mengharapkan mati syahid, ini boleh, tidak dilarang, bahkan bisa jadi diperintahkan. Adapun bertemu musuh, tidak boleh diharapkan, kerana hal itu dilarang.

2. Kedua, mintalah keselamatan kepada Allah, kerana tidak ada yang bisa menyamai keselamatan dan perdamaian. Jangan kamu harapkan peperangan dan mintalah kepada Allah keselamatan dan pertolongan terhadap agama-Nya. Namun, jika kamu bertemu dengan musuh, maka bersabarlah.

3. Jika bertemu musuh hendaklah bersabar. 

Allah Ta'ala berfirman:

Wahai orang-orang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung. Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah. Sungguh Allah beserta orang-orang sabar. (QS. Al-Anfâl: 8: 45-46)

4. Pemimpin perang harus mengasihi pasukannya dan jangan memulai peperangan kecuali pada waktu yang tepat, baik hari atau pun musimnya. Misalnya, di musim panas hendaklah tidak melakukan peperangan kerana sangat berat, begitu pula di musim dingin, jangan lakukan peperangan. Lakukanlah jika memungkinkan di musim gugur, ini saat yang terbaik.

5. Hendaklah seseorang membaca doa:

Ya Allah, Dzat yang menurunkan Kitab, menjalankan awan, dan mengalahkan musuh, kalahkan mereka dan menangkan kami atas mereka.”

6. Berdoa agar musuh-musuh dikalahkan, kerana mereka adalah musuh-musuhmu dan musuh-musuh Allah. Orang-orang kafir bukan hanya musuhmu saja, tetapi mereka musuhmu, musuh Allah, musuh para nabi, musuh para malaikat dan musuh seluruh mukminin.

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...