Selasa, 9 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 10. Anjuran Segera Melakukan Kebaikan Dan Memotivasi Untuk Selalu Melakukan Kebaikan Dengan Bersungguh-Sungguh Tanpa Ragu-Ragu.

Allah ﷻ berfirman: 
۞فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَتِ۞
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan.” (QS. Al-Baqarah: 2: 148)

Allah ﷻ berfirman: 
۞وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ۞
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Âli'Imrân: 3: 133)

Penjelasan.

Penulis -Imam An-Nawawi- membuat bab yang berjudul, “Anjuran Segera Melakukan Kebaikan Dan Memotivasi Untuk Selalu Melakukan Kebaikan Dengan Bersungguh-Sungguh Tanpa Ragu-ragu.”

Judul ini mencakup dua perkara penting. Yang pertama; bersegera melakukan kebaikan. Yang kedua; jika seseorang sudah ingin melakukan kebaikan maka hendaklah ia meneruskannya dan jangan ragu-ragu.

Adapun yang pertama, bersegera ini lawan dari memperlambat dan malas. Betapa banyak orang yang leka dan malas-malasan sehingga lewatlah kesempatan baginya untuk melakukan kebaikan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan dicintai daripada orang mukmin yang lemah dan dari semuanya ada kebaikan kerana itu jagalah yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah.”

[Shahih Muslim no. 4816]

Seorang hendaklah bersegera melakukan kebaikan, setiap disebutkan ada kebaikan maka ia bersegera melakukannya, seperti shalat, sedekah, puasa, haji dan berbuat baik kepada orang tua dan menyambung silaturrahmi dan kebaikan-kebaikan lainnya yang harus segera dilakukan.

Seseorang terkadang bermalas-malasan dalam melakukan suatu hingga terlewatlah kesempatan itu dan ia tidak mampu melakukannya. Bisa disebabkan kerana ia meninggal, sakit, hilang kesempatan dan lain sebagainya. Telah disebutkan dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika seseorang di antara kalian ingin menunaikan haji maka bersegeralah, sebab bisa jadi ia akan sakit atau kehilangan kenderaan atau muncul kebutuhan yang lain.

[HR. Ibnu Majah no. 2883, dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 990 dan Al-Irwa' no. 990]

Terkadang ia dihadapkan pada sesuatu kegiatan, kerana itu bersegeralah jika ingin melakukan kebaikan jangan menunda-nunda.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah, “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 148)

“Bersegeralah kepadanya,” yakni berlomba-lomba untuk meraihnya. Ucapan ini lebih fasih dari ucapan “bersegeralah kalian kepada kebaikan.” Al-Istibaq maknanya berlomba-lomba kepada kebaikan, sehingga ia menjadi orang pertama yang melakukan kebaikan. Di antaranya adalah berlomba-lomba di dalam mengisi shaf shalat yang terdepan. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya adalah yang terakhir, dan baik-baik shaf perempuan adalah yang terakhir dan yang seburuk-buruknya adalah yang pertama.”

[Shahih Muslim no. 664]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat kaum-kaum yang berada di bagian akhir masjid (shaf belakang) tidak bersegera dan tidak maju ke depan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah suatu kaum senantiasa berlambat-lambat, hingga Allah benar-benar akan membuat mereka terlambat.”

[Shahih Muslim no. 662]

Maka raihlah kesempatan dan berlomba-lombalah untuk kebaikan.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang mahupun sempit. (QS. Âli 'Imrân: 3: 133-134) yakni bersegeralah kepada ampunan dan surga.

Adapun bersegera kepada ampunan, yakni seseorang bersegera melakukan sesuatu yang menghapus dosa, seperti beristighfar kepada Allah Ta'ala dengan mengucapkan Astaghfirullah (Aku memohon ampunan kepada Allah) atau Allahumaghfirli (Ya Allah ampunilah aku) atau Allahumma Inni Astaghfiruka (Ya Allah, sesungguhnya aku memohon ampunan-Mu) dan ucapan-ucapan yang semisal dengannya. Demikian juga bersegera kepada amal yang melebur dosa seperti wudhu, shalat lima waktu, shalat Jum'at ke jum'at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya. 

Jika seseorang berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya dengan diakhiri ucapan doa:
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSULUH, ALLOHUMMAJ’ALNII MINATTAWWAABIINA WAJ’ALNII MINAL MUTATHOHHIRIIN.

Artinya: “Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersuci.”

[HR. At-Tirmidzi no. 55 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami' no. 6046]

Maka ia akan dibukakan kedelapan pintu-pintu surga. Ia boleh masuk dari pintu manapun yang ia sukai. Demikian juga jika ia berwudhu, maka kesalahan-kesalahannya akan keluar dari anggota wudhunya hingga keringnya air wudhu itu. Inilah sebab-sebab pengampunan. Di antara sebab-sebab pengampunan adalah shalat lima waktu akan menjadi penghapus antara -waktu- keduanya selagi ia tidak melakukan dosa besar. Antara Jum'at satu ke Juma'at berikutnya juga penghapus dosa di antara keduanya selagi ia tidak melakukan dosa besar. Antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya selagi ia tidak melakukan dosa besar. Maka hendaknya seseorang bersegera meraih sebab-sebab pengampunan ini.

Perkara yang kedua, “Dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Hal ini dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan, yakni bersegera meraih surga dengan melakukan amal kebaikan. Tidak ada amalan menuju surga kecuali amal shalih, dan inilah yang jadi sebab masuk surga, maka bersegeralah.

Kemudian Allah menjelaskan bahwa surga ini luasnya seluas langit dan bumi. Hal ini menunjukkan sangat luas dan besarnya surga yang tidak mampu diukur kecuali oleh Allah. Maka bersegeralah kepada surga dengan amal-amal shalih yang menyampaikanmu ke sana. Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,” yakni disiapkan bagi mereka surga oleh Allah Ta'ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi,

“Aku siapkan bagi hamba-Ku yang shalih sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga dan tidak pernah terbetik di dalam hati manusia.”

[Shahih Bukhari no. 3005, 4406, 4407, 6944 Muslim no. 5050, 5051, 5052]

Lalu siapakah yang dimaksud dengan orang-orang yang bertakwa itu?

Allah Ta'ala berfirman,

“(Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang mahupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.
(QS. Âli 'Imrân: 3: 134-136) Merekalah orang-orang yang bertakwa, (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang mahupun sempit, yakni dalam keadaan sempit dan susah.

Akan tetapi dalam ayat ini Allah tidak menjelaskan berapa ukuran yang harus mereka infakkan, Allah menjelaskan dalam beberapa ayat berikut,

“Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).
(QS. Al-Baqarah: 2: 219) Al-'Afw yakni kelebihan dari kebutuhan primer mereka, maka hendaknya mereka menginfakkannya.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqân: 25: 67) yakni, mereka menginfakkan harta mereka tanpa berlebihan dan tidak juga kikir. Mereka menginfakkan apa yang lebih dari kebutuhan mereka, “dan orang-orang yang menahan amarahnya.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 134) yaitu orang-orang yang ketika marah dapat menahan amarahnya, mereka tidak menumpahkan amarahnya dan dapat menyikapinya dengan sabar. Kemarahan ini merupakan sesuatu yang sangat berat di dalam jiwa, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bukanlah orang yang kuat itu adalah orang yang kuat dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya di saat marah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5649 dan Muslim no. 4723]

Ash-Shur'ah (petarung, pegulat) yakni orang yang selalu menang dalam bertarung. Maka orang seperti ini bukan dikatakan sebagai orang yang kuat. Akan tetapi, orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika emosi. Kerana, jika seseorang marah, maka emosinya akan sangat mempengaruhi perilakunya. Sehingga darahnya bergejolak dan matanya memerah, dan ia ingin membalas dendam. Jika ia mampu menahan amarahnya, maka dia akan tenang.  Inilah yang menjadi sebab masuk surga.

Ketahuilah bahwa marah itu bagaikan bara yang setan lemparkan ke dalam hati anak Adam. Jika ia sudah masuk ke dalamnya, maka ia akan membakarnya. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita tentang sesuatu yang bisa mematikan bara itu. Di antaranya dengan membaca taawudz. Jika seseorang merasa amarahnya bergejolak, maka hendaklah ia mengucapkan,

أَعُوْذُ باللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

“A’-uudzu billahi minas syaithanir rajiim.”

(Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).

Di antara terapi meredam amarah adalah merubah posisi ketika marah. Ketika seseorang marah, hendaknya ia duduk jika sebelumnya dalam keadaan berdiri dan berbaring jika sebelumnya ia duduk. Yakni, ia merendahkan posisinya. Jika ia berdiri hendaknya duduk dan jika ia duduk hendaknya berbaring.

Di antara terapi meredam amarah yang lain adalah dengan berwudhu, hal ini dapat menetralisir kemarahan. Jika kamu merasa marah, maka lakukanlah ini sebagaimana yang telah di tunjukkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga kemarahan itu hilang darinya. Betapa banyak orang yang mengatakan, “Aku marah kemudian aku mentalak istriku dengan talak tiga,” bahkan bisa jadi ketika ia marah ia memukul anak-anaknya dengan pukulan yang keras sebagai bentuk luapan kemarahannya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Orang-orang yang mampu menahan amarahnya,” mereka dipuji kerana mampu menahan amarahnya ketika kemarahan menimpanya.

“Dan orang-orang yang memaafkan manusia,” yakni jika ada orang yang berperilaku buruk kepadanya, maka ia memaafkan mereka. Seseorang yang mampu memaafkan dan berbuat baik maka akan mendapat pahala di sisi Allah. Allah memutlakkan ampunan kepadanya, akan tetapi Dia menjelaskan dalam firman-Nya,

“Tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 40)

Memaafkan di sini tidaklah mendatangkan kebaikan, kecuali jika di dalamnya ada kebaikan. Jika ada orang yang berbuat jelek kepadamu dengan penentangan dan permusuhan atas hamba-hamba Allah, maka yang utama adalah tidak memaafkannya, dan mengambil hakmu, kerana jika engkau memaafkannya maka akan bertambah kerusakannya. Adapun jika seseorang berbuat kesalahan padamu dengan kesalahan yang kecil, sedikit permusuhannya dan terjadi jarang atasmu, maka yang terbaik adalah memberi maaf.

Di antara yang sering terjadi pada hari ini adalah kejadian kecelakaan kenderaan. Sebagian orang cepat memaafkan terhadap perilaku kriminal, maka ini kuranglah baik. Yang terbaik adalah hendaknya memperhatikan faktor penyebabnya, apakah pengemudi ini orang yang ngawur dan terburu-buru, tidak peduli dengan hamba Allah, dan tidak peduli dengan peraturan lalu lintas?! Maka yang seperti ini tidak perlu dikasihi, justru ambillah hakmu secara sempurna. Adapun jika orang itu terkenal pelan, takut kepada Allah, sangat jauh dari menyakiti seseorang, mematuhi peraturan, akan tetapi peristiwa ini terjadi kerana kelalaian yang sifatnya manusiawi, maka memaafkan lebih utama, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 40). Maka dalam kasus seperti ini, harus lebih memandang kepada kemaslahatan ketika memaafkan.

Kemudian setelah Allah Ta'ala berfirman,

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa,” “(Yaitu)” orang yang berinfak, baik di waktu lapang mahupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 133-134) kecintaan Allah kepada hamba-Nya ini adalah tujuan setiap orang. Setiap orang yang beriman maka tujuannya adalah mendapatkan cinta dari Allah. Inilah tujuan setiap mukmin, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 31) dalam ayat ini tidak disebutkan, “Ikutilah aku, dan jujurlah ucapanmu” akan tetapi diikuti dengan firman-Nya: “maka Allah akan mencintai kalian” kerana inti dari semuanya adalah Allah mencintaimu. Aku memohon kepada Allah semoga menjadikanku dan kalian termasuk orang yang dicintai Allah.

Adapun orang yang berbuat baik dalam firman-Nya, “dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” yang dimaksud adalah orang-orang yang berbuat baik dalam beribadah, dan juga berbuat baik kepada hamba Allah.

Orang yang berbuat baik dalam beribadah kepada Allah, telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kedudukan mereka di dalam sabda baginda ketika ditanya oleh Jibril tentang ihsan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihatmu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 48, 4404 Muslim no. 10, 11]

Yakni engkau menyembah Allah dengan hati yang hadir seakan-akan engkau melihat Tuhanmu dan engkau menginginkan sampai kepada-Nya, dan jika tidak dapat kamu lakukan, maka sesungguhnya Allah melihatmu, maka sembahlah Dia dengan penuh rasa takut dan khawatir, inilah tingkatan di bawah tingkatan yang pertama. Tingkatan pertama adalah menyembah Allah kerana didorong rasa cinta dan kerinduan dan tingkatan kedua menyembah Allah kerana rasa takut dan khawatir.

Adapun berbuat baik kepada hamba Allah yaitu dengan bergaul kepada mereka dengan baik, baik dalam ucapan, perbuatan, pemberian, menahan diri dari menyakiti orang lain dan sebagainya. Hingga dalam ucapan, hendaknya kamu bergaul dengan baik kepada mereka.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghotmatan, maka balaslah penghormatan itu dengan lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya.” (QS. An-Nisâ: 4: 86) yakni, jika kamu tidak mengucapkan salam terlebih dahulu, maka balaslah dengan jawaban yang lebih baik, bukan dengan jawaban yang lebih sedikit dari apa yang ia ucapkan. Maka dari itu, banyak para ulama berkata, “Jika seorang muslim mengucapkan, “As-Salamu Alaikum wa Rahmatullah,” maka ucapkanlah, “As-Salamu Alaikum wa Rahmatullah” dan ini adalah jawaban yang paling pendek, jika ditambah dengan kata wabarakaatuh maka akan lebih baik. Kerana dalam ayat di atas Allah Ta'ala berfirman, “Dengan ucapan yang lebih baik darinya.” Allah Ta'ala memulainya dengan yang lebih baik darinya, kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Atau balaslah dengan yang serupa.” Begitu juga ketika seseorang mengucapkan salam kepadamu dengan suara yang jelas dan terang, maka wajib bagimu untuk membalasnya dengan suara yang jelas dan terang pula. Kerana kebanyakan orang atau sebagian dari mereka, jika kamu mengucapkan salam kepadanya maka ia menjawab salammu dengan suara yang sangat pelan hingga hampir tidak terdengar. Atau terkadang kamu tidak mendengar jawaban salamnya.

Ini adalah tindakan yang salah. Kerana ini menyangkut balasan (jawaban) yang sepadan. Ini berbeda dengan apa yang diperintahkan oleh Allah. Demikian juga termasuk berbuat baik dengan perbuatan adalah membantu orang lain dan menolong mereka dalam perkara-perkara mereka. Setiap kamu membantu seseorang berarti kamu telah berbuat baik kepadanya. Baik membantu mereka dengan harta, sedekah, hadiah, hibah dan lain sebagainya. Ini termasuk perbuatan ihsan.

Di antara bentuk ihsan adalah jika kamu melihat saudaramu berbuat dosa, maka menjelaskan kepadanya tentang hal tersebut dan melarangnya. Kerana ini merupakan perbuatan ihsan yang paling tinggi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim mahupun yang dizalimi.”

Kemudian ada seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana cara menolong orang yang berbuat zhalim?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat zhalim, maka sesungguhnya  engkau telah menolongnya.”

[Shahih Al-Bukhari, no. 6952; Muslim, no. 2584]

Jika kamu mencegah seseorang berbuat zhalim berarti kamu telah menolongnya dan berbuat baik padanya. Yang terpenting seyogyanya bagimu untuk membantu orang lain jika mereka membutuhkan.

Renungkan ayat ini, “Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. Maka berbuat baiklah sesuai dengan kemampuanmu.

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzhalimi diri diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya.” 
(QS. Âli 'Imran: 3: 135)

Firman Allah Ta'ala, “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji” kata “fahisyahberarti perbuatan keji dan termasuk perbuatan dosa besar seperti zina, minum khamr, membunuh dan sebagainya. Setiap yang dicela maka itu adalah fahisyah.

“Atau menganiaya diri sendiri” yakni melakukan dosa-doaa kecil yang lebih ringan dari fahisyah.

“Mereka ingat akan Allah” yakni mereka mengingat akan keagungan-Nya dan acaman-Nya, kemudian mereka juga mengingat rahmat, ampunan dan pahalanya. Mereka mengingat dari dua sisi.

Pertama: Dari sisi keagungan Allah, ancaman dan kekuasaan-Nya sehingga mereka merasa takut dan khawatir kemudian mereka beristighfar.

Kedua: Dari sisi rahmat dan penerimaan taubat, maka mereka termotivasi untuk bertaubat dan beristigfar kepada Allah. Kerananya Allah Ta'ala berfirman, “Mereka mengingat Allah dan beristighfar dengan dosa-dosanya.” Di antara yang paling utama dari ucapan istighfar adalah sayyidul istighfar.

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ

“ALLOHUMMA ANTA ROBBI LAA ILAHA ILLA ANTA, KHOLAQTANI WA ANA ‘ABDUKA WA ANA ‘ALA ‘AHDIKA WA WA’DIKA MASTATHO’TU. A’UDZU BIKA MIN SYARRI MAA SHONA’TU, ABUU-U LAKA BINI’MATIKA ‘ALAYYA, WA ABUU-U BI DZANBI, FAGHFIRLIY FAINNAHU LAA YAGHFIRUDZ DZUNUUBA ILLA ANTA.”

“Ya Allah, Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau).” 

[Shahih Al-Bukhari, no. 6306]

Allah Ta'ala berfirman, “Dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 135)

Yakni, tidak ada seorang pun yang dapat mengampuni dosa kecuali Allah. Sekiranya semua umat -dari yang pertama hingga yang akan datang- dari jin dan malaikat berkumpul untuk mengampuni dosa seseorang, maka mereka tidak mampu mengampuni, kerana tidak ada yang mengampuni kecuali Allah Ta'ala.

Namun, kita harus selalu memohon ampunan kepada Allah untuk kita dan saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dalam keadaan iman. Kerana tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Allah. 

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 135) Yakni, mereka tidak meneruskan kemaksiatan dan kezhaliman mereka kerana mereka mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat dan kezhaliman. Dalam ayat ini ada dalil yang menunjukkan bahwa tetap melakukan kemaksiatan dan kezhaliman padahal kita tahu, maka itu termasuk perkara-perkara besar walaupun dalam dosa-dosa kecil. Maka dari itu, para ulama berpendapat jika seseorang melakukan dosa kecil secara terus menerus, jadilah dosa kecil itu menjadi besar.

Di antaranya adalah kebohongan yang dilakukan oleh sebagian orang yang mencukur jenggot. Kita dapati mereka mencukur jenggotnya terus menerus kerana alasan keindahan dan ketampanan. Sesungguhnya ini adalah perbuatan yang tercela dan jelek. Kerana setiap sesuatu yang dihasilkan dari sebuah kemaksiatan maka tidak ada kebaikan di dalamnya, bahkan termasuk dalam keburukan. Orang-orang yang terus menerus berbuat maksiat walaupun itu kecil, maka akan menjadi dosa besar. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian.

Orang yang seperti ini -suka mencukur jenggotnya-, setiap hari ketika ingin keluar menuju ke pasar atau ke tempat kerjanya, ia akan bercermin terlebih dahulu. Jika ia menemukan satu rambut saja di dagunya, maka ia berusaha untuk menghilangkannya dan memotongnya. Tidak diragukan lagi, ini merupakan bentuk maksiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita harus takut dengan dosa yang kecil ini. Kerana setan akan menjerumuskan kita melalui pintu ini kepada dosa yang lebih besar. 

Allah Ta'ala berfirman,

“Balasan bagi mereka ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Dan (itulah) sebaik-baik pahala bagi orang-orang yang beramal.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 136). Ya Allah, jadilah kami termasuk orang-orang yang berbuat baik dan berilah balasan pahala atas amal itu kepada kami wahai Tuhan semesta alam.

Adapun hadits-hadits dalam masalah ini adalah: 

Hadits 87.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « بَادِرُوْا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا، وْيُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal (shalih) sebelum datangnya fitnah (bencana) yang menyerupai malam yang gelap gulita. Sehingga seseorang pada waktu pagi hari ia beriman dan petangnya ia menjadi kafir. Atau seseorang pada waktu petang ia beriman, tetapi waktu pagi ia menjadi kafir. Orang itu rela menjual agamanya dengan sedikit keuntungan dunia.

[Shahih Muslim no. 118]

Penjelasan.

Penulis (Imam An-Nawawi rahimahullah) berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal,” yakni, bersegeralah kalian untuk melakukannya. Yang dimaksud dengan amal-amal shalih adalah setiap amal yang dilakukan oleh seseorang ikhlas kerana Allah dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Amal shalih adalah amal yang dibangun atas dua perkara: ikhlas kerana Allah Ta'ala dan mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah perwujudan dari syahadat “Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah(tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).

Adapun amal yang tidak ikhlas, maka tidak dikatakan sebagai amal shalih. Seperti seseorang yang shalat, namun ia riya dengan shalatnya. Maka amalnya tidak diterima walaupun ia telah menyempurnakan syarat, rukun, kewajiban, sunnah, thuma' ninah dan memperbaiki seluruhnya sesempurna mungkin secara lahir. Akan tetapi, amal ini tidak diterima kerana bercampur dengan syirik. Seseorang yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah tidak akan menerima amal itu. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Allah Ta'ala berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu.” Yakni, jika seseorang menyekutukan-Ku maka Aku tidak membutuhkan sekutunya itu.

Di tempat lain, Allah juga berfirman dalam hadits Qudsinya,

“Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang di dalamnya ia mempersekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku akan meninggalkannya dan juga sekutunya.”

[Shahih Muslim no. 5300]

Demikian juga dengan seseorang ikhlas dalam amalnya, tetapi ia melakukannya dengan amalan bid'ah tidak sesuai dengan apa yang telah disyariatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka amalnya tidak diterima walapun ia seorang yang ikhlas, walaupun ia menangis dan khusyu, semua itu tidak akan bermanfaat baginya. Kerana perbuatan bid'ah telah disifati oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


“Sesungguhnya setiap sesuatu yang baru (dalam agama) diada-adakan adalah bid'ah dan setiap bid'ah itu sesat.

[Shahih Al-Jami' no 2549, 4369]

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersegeralah kalian untuk melakukan amal-amal.” Yakni amal-amal shalih, yaitu amal yang dilakukan ikhlas kerana Allah dan sesuai dengan syariat-Nya. Inilah yang disebutkan dengan amal shalih.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kerana akan terjadi fitnah (bencana) yang menyerupai malam yang gelap gulita.” Baginda mengabarkan bahwa akan terjadi fitnah yang menyerupai malam yang gelap gulita. Yakni, keadaan menjadi sangat gelap, tidak tampak cahaya. Orang-orang tidak mengetahui ke mana mereka harus pergi sehingga mereka bingung dan tidak tahu ke mana mesti harus melangkah. Semoga Allah melindungi kita semua dari fitnah dan bencana ini.

Di antara fitnah yang lain adalah syubhat dan syahwat. Fitnah syubhat adalah fitnah yang terjadi kerana faktor kebodohan. Seperti apa yang dilakukan oleh para pelaku bid'ah yang membuat bid'ah di dalam akidah mereka yang tidak disyariatkan Allah. Atau para perlaku bid'ah yang telah melakukan kebid'ahan, baik dalam ucapan ataupun perbuatannya yang tidak disyariatkan Allah. Maka, terkadang ada orang yang diuji dengan bencana ini sehingga tersesat kerana syubhat itu.

Di antaranya juga yang terjadi dalam transaksi jual beli dalam perkara-perkara syubhat (samar, meragukan) yang jelas hukumnya bagi orang yang beriman dan samar bagi orang yang sesat. Oleh kerana itu, akan kamu dapati orang-orang yang melakukan transaksi yang jelas-jelas diharamkan, kerana di dalam hatinya terdapat gejolak dosa, maka perkara yang jelas haram itu disamarkan menjadi syubhat, sehingga menganggapnya sebagai amal yang baik, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,


Katakanlah (Muhammad) “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya. 
(QS. Al-Kahfi: 18: 103-104). Mereka inilah orang-orang yang rugi. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian.

Di samping fitnah itu terjadi kerana syubhat dan juga terjadi kerana syahwat. Seseorang mengetahui bahwa sesuatu itu haram. Akan tetapi kerana nafsunya menguasai dirinya dan mendorongnya untuk melakukannya, maka ia tidak peduli bahkan tetap melakukannya. Dia tahu bahwa sesuatu itu wajib, tetapi kerana nafsunya mendorongnya untuk bermalas-malasan maka ia meninggalkan kewajiban tersebut. Inilah fitnah yang ditimbulkan kerana syahwat (hawa nafsu).

Di antara fitnah syahwat ini yang paling besar adalah fitnah zina dan homoseksual. Inilah fitnah yang paling berat yang terjadi di umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku tidak meninggalkan fitnah setelahku -sepeninggalku- yang lebih berbahaya atas kaum laki-laki yang lebih besar dari fitnah yang timbul dari kaum wanita.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4706 dan Muslim no. 4923]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berhati-hatilah terhadap kaum wanita, kerana sesungguhnya fitnah yang pertama menimpa Bani Israil adalah kerana wanita.”

[Shahih Muslim no. 4925]

Pada zaman kita sekarang, -di masyarakat kita- ada orang-orang yang mengajak kepada perbuatan yang hina ini dengan berbagai macam cara. Mereka mengemasnya dengan berbagai macam nama dan dalih untuk mengelabui agar seseorang mengikutinya dan keinginannya tercapai. Ada di antara mereka yang mencela wanita yang memakai kerudung dan mengajak mereka untuk keluar dari rumah mereka bergabung dengan para lelaki dan tempat kerja, sehingga terjadilah ikhtiath, keburukan dan bencana. Akan tetapi, kita memohon kepada Allah semoga tipu daya mereka terbongkar dan para pemimpin kita menghakimi mereka serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu yang menjadi sebab keburukan dan kehancuran di negeri ini. Kami memohon kepada Allah Ta'ala agar memberikan taufik kepada pemerintah kita sehingga mereka diberi petunjuk menuju jalan kebaikan dan memotivasi mereka dalam kebaikan.

Sesungguhnya fitnah yang menimpa Bani Israil adalah kerana masalah wanita. Ini adalah fitnah yang sangat besar. Pada saat sekarang, banyak orang-orang yang senang mengeksploitasi kaum wanita dan menjadikan mereka seperti gambar, patung, hiasan dan sebagainya yang bisa dinikmati dan tempat melampiaskan nafsu orang-orang fasik dan hina. Mereka bisa melihat wanita-wanita itu setiap saat. Akan tetapi dengan kekuasaan Allah dan doa orang-orang muslim akan dapat menjaga dan melindungi mereka dari keburukan ini. Sehingga jadilah kaum wanita di seluruh penjuru dunia Islam dalam keadaan terhormat dan terjaga seperti yang telah difitrahkan Allah kepada mereka.

Yang terpenting, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam m
emperingatkan kita dari fitnah-fitnah ini yang adanya seperti malam gelap gulita. Sehingga seseorang di pagi hari ia beriman dan petang harinya ia menjadi kafir. Dalam satu hari ia menjadi murtad. Pagi ia beriman, petang ia menjadi kafir. Mengapa ini bisa terjadi? kerana ia menjual agamanya dengan keuntungan dunia yang sangat kecil. Sesungguhnya kekayaan dunia itu tidak hanya harta saja. Akan tetapi meliputi harta kedudukan, jabatan, perempuan dan lain-lainnya. Setiap kesenangan di dunia ini adalah kekayaan. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia, padahal di sisi Allah ada harta yang banyak.” (QS. An-Nisâ: 4: 94) maka apa yang ada di dunia maka itu adalah sesuatu yang kecil.

Maka mereka pada waktu pagi beriman dan petangnya harinya menjadi kafir. Atau pada waktu petang beriman dan pada waktu pagi harinya kafir. Mereka itu menjual agama mereka dengan keuntungan dunia yang sangat sedikit (murah). Kita memohon kepada Allah untuk melindungi kita dan kalian dari fitnah-fitnah ini.

Betapa agungnya apa yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Jika kalian bertasyahhud -yakni tasyahud akhir- hendaklah kalian berlindung kepada Allah dari empat hal, Rasulullah mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari adzab jahanam, adzab kubur, fitnah kehidupan dan kematian dan fitnah Dajjal.”

[Shahih Muslim no. 588]

Kami meminta kepada Allah agar menguatkan kita dengan perkataan yang teguh dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Hadits 88.
عَنْ أَبِي سِرْوَعَةَ - بِكَسْرِ السِّيْنِ الْمُهْمَلَةِ وَفَتْحِهَا - عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ رَضِيِ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِيْنَةِ الْعَصْرَ، فَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ مُسْرِعًا فَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ إِلَى بَعْضِ حُجَرِ نِسَائِهِ، فَفَزعَ النَّاسُ مِنْ سُرْعَتهِ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ، فَرَأَى أنَّهُمْ قَدْ عَجِبُوا مِنْ سُرْعَتِهِ، قَالَ: « ذَكَرْتُ شَيْئًا مِنْ تِبْرٍ عِنْدَنَا، فَكَرِهْتُ أَنْ يَحْبِسَنِي، فأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: كُنْتُ خَلَّفْتُ فِي الْبَيْتِ تِبْرًا مِنَ الصَّدقَةِ، فَكَرِهْتُ أَنْ أُبَيِّتَهُ ».
Daripada Abu Sirwa'ah -atau Abu Sarwa'ah- Uqbah bin Harits radhiyallahu anhu, ia berkata,

“Aku pernah shalat Ashar di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di kota Madinah. Selepas memberi salam, Rasulullah cepat-cepat bangkit melangkahi barisan (pundak) para sahabat menuju ke kamar salah seorang istrinya. Para sahabat terkejut melihat Rasulullah tergesa-gesa. Setelah itu, Rasulullah keluar. Rasulullah melihat para sahabat yang heran oleh sikap tergesa-gesa Rasulullah tadi. Maka Rasulullah shallalahu alaihi wa sallam bersabda,

Aku teringat dengan sepotong emas yang ada pada kami dan aku tidak ingin terganggu kerananya, maka aku menyuruh untuk membagi-bagikannya.

[Shahih Al- Bukhari no. 851]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku meninggalkan sepotong emas di rumah yang harus aku sedekahkan, maka aku tidak ingin emas itu menginap di tempatku.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukil dari Uqbah bin Al-Harits radhiyallahu anhu. Pada suatu hari, dia shalat Ahsar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Setelah selesai shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tergesa-gesa keluar masjid dengan melangkahi barisan para sahabat menuju ke kamar salah seorang istrinya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam keluar. Nabi shallaahu alaihi wa salam heran dengan sikap para sahabat yang keheranan melihatnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka tentang sebab dari sikapnya seraya bersabda, “Aku teringat dengan sepotong emas yang ada pada kami, dan aku tidak ingin terganggu kerananya, maka aku menyuruh untuk membagi-bagikannya,” yakni yang wajib untuk dibagikan.


Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan perintah untuk bersegera melakukan kebaikan dan tidak menunda-nundanya. Kerana seseorang yang tidak mengetahui kapan kematian akan datang kepadanya sehingga hilanglah kesempatan baginya untuk berbuat baik. Hendaknya seseorang itu bersikap cerdas dan beramal untuk sesuatu setelah kematian dan tidak bermalas-malasan. Jika seseorang dalam urusan dunianya begitu terburu-buru mengambil kesempatan, maka begitu juga seharusnya dengan urusan akhirat, bahkan harus lebih dari itu.

Allah Ta'ala berfirman,

“Sedangkan kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa.” 
(QS. Al-A'lâ: 87: 16-19)

Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling cepat melakukan kebaikan, dan Rasulullah juga perlu beramal sebagaimana orang lain memerlukannya. Maka dari itu, Rasululah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seseorang tidak akan masuk ke dalam surga kerana amalnya.  

Mereka berkata, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” 

Baginda menjawab, “Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadaku.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5986, 5241 dan Muslim no. 5036. 5037]

Ini berkenaan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apalagi dengan kita.

Dalam hadits ini juga ada dalil yang menunjukkan bolehnya melangkahi pundak-pundak orang-orang yang berada di shaf setelah shalat, apalagi jika ada keperluan. Hal ini kerana setelah salam, orang-orang tidak perlu berlama-lama tinggal di tempat shalatmya. Bahkan, hendaknya mereka segera membubarkan diri. Hal ini berbeda dengan melangkahi pundak-pundak (shaf) sebelum shalat, maka dilarang, kerana dapat menyakiti orang jamaah lainnya. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotong khutbah Jum'atnya ketika melihat seseorang yang melangkahi pundak-pundak dalam shaf seraya bersabda, “Duduk!, sesungguhnya kamu menyakiti.”

[HR. Abu Dawud no. 1118. Ibnu Majah no. 1115 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah no. 923]

Di dalam hadits ini, ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seperti manusia biasa yang punya sifat lupa. Terkadang Nabi shallallahu alaihi wa sallam terlupa terhadap sesuatu. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa lupa dengan sesuatu yang telah Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketahui sebelumnya, maka sangat wajar jika Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang belum Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketahui sebelumnya. Sebagimana Allah Ta'ala berfirman

“Katakanlah (wahai Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak (pula) mengetahui perkara-perkara ghaib, dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 50) Maka, Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk memberi khabar kepada semua makhluk bahwa Rasulullah tidak mengetahui tentang alam ghaib, juga bukan malaikat.

Dalam hadits ini juga ada dalil yang mematahkan anggapan bagi orang-orang yang datang ke kuburan Rasulullah untuk meminta kepadanya agar menyelesaikan masalah dan meringankan bebannya dengan berdoa kepada baginda. Sesungguhnya mereka adalah musuh-musuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan termasuk orang-orang yang dicintai. Kerana, jika baginda masih hidup, pasti akan meminta mereka untuk bertaubat. Jika mereka mahu bertaubat maka akan dimaafkan, dan jika tidak mahu, maka baginda akan memerangi mereka kerana mereka adalah orang-orang musyrik. Seseorang tidak boleh untuk berdoa kepada selain Allah, entah berdoa kepada malaikat yang terdekat kepada Allah, ataupun kepada seorang nabi yang diutus. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menjaga tauhid dan merealisasikan ibadah kepada Allah. Maka baginda tidak mengetahui alam yang ghaib, bisa saja lupa dengan apa yang diketahui sebelumnya, butuh makanan, minuman, pakaian, keamanan dari musuh. Dan pada perang Uhud, baginda memakai dua pakaian baju besi kerana takut terkena senjata.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga seperti manusia biasa. Semua hukum yang berlaku pada manusia juga berlaku padanya. Maka dari itu, Allah Ta'ala berfirman, “Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku ini malaikat.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 50) 

Maka renungkanlah sifat-sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah juga manusia biasa sepertimu. Jika Rasulullah tidak mengatakan, “seperti kamusebenarnya sudah cukup dengan ucapan Rasulullah, “Aku manusia biasakerana dari sini dapat diketahui bahwa Rasulullah adalah manusia biasa. Akan tetapi Rasulullah mengatakan, “seperti kamu maksudnya tidak berbeda dengan kamu, kecuali wahyu, seperti yang difirmankan Allah Ta'ala, “Yang diwahyukan kepadaku, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa.”

Di dalam hadits ini, juga ada dalil menunjukkan bahwa amanah adalah sesuatu yang penting dan agung. Jika seseorang tidak bersegera menunaikannya, maka terkadang akan terganggu olehnya. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku teringat sepotong emas dan aku tidak ingin terganggu kerananya.” Jika seperti itu dalam amanah, begitu juga dalam masalah hutang. Hendaknya seseorang segera melunasinya jika ia sudah mampu, kecuali jika orang yang menghutanginya memberikan toleransi kepadanya maka tidak mengapa ia mengakhirkannya. Adapun jika orang yang menghutangi tidak memberikan toleransi kepadanya, maka hendaklah ia segera membayarnya.

Para ulama berkata, “Sesungguhnya kewajiban haji akan gugur bagi orang yang memiliki hutang hingga ia menunaikannya, kerana hutang adalah masalah besar.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum diberi banyak kemenangan oleh Allah, jika didatangkan kepadanya seseorang yang meninggal maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apakah ia memiliki hutang?” Jika mereka menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mahu menyalatkannya. Dan jika mereka mengatakan, “Iya.” (punya hutang). Maka baginda bertanya, “Apakah ada yang akan membayarkannya?” Jika mereka mengatakan, “Iya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maju menyalatinya. Tetapi jika mereka menjawab, “Tidak.” Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mahu menyalatinya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mahu menyalati mayat yang memiliki hutang.

Pada suatu hari didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang laki-laki dari Anshar yang meninggal untuk dishalatkan. Maka baginda maju dan bersabda, “Apakah ia memiliki hutang?” Mereka berkata, “Iya, wahai Rasulullah, ia mempunyai hutang tiga dinar dan tidak ada yang membayarnya.” Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam mundur dan bersabda, “Shalatilah teman kalian ini.” Maka berubahlah wajah orang-orang. Mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mahu menyalatinya? Maka majulah Abu Qatadah radhiyallahu anhu dan berkata, “Wahai Rasulullah, akulah yang menanggung hutangnya.” Maka majulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyalatinya.

[Shahih Al-Bukhari no. 2133, 4952, 2225 Muslim no. 3040]

Namun sangat disayangkan, pada zaman sekarang ini banyak sekali orang yang berhutang dan sebenarnya ia mampu untuk membayarkan tetapi mereka mengulur-ulurnya dalam pembayarannya. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pernundaan pembayaran hutang bagi orang yang kaya adalah kezhaliman.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2125, 2126, 2225 dan Muslim no. 2924]

Ketahuilah, Sesungguhnya hakekat hutang itu bukan yang dipahami oleh orang-orang, yaitu orang yang mengambil barang dengan harga yang lebih besar dari harga aslinya. Akan tetapi, hutang itu adalah setiap tanggungan yang menjadi tanggung jawabmu dan harus ditunaikan, seperti pinjaman, sewa rumah, sewa mobil dan segala sesuatu yang menjadi tanggunganmu. Maka, termasuk hutang bagimu yang harus disegerakan pembayarannya seperti halnya hutang.

Di dalam hadits ini juga ada dalil bolehnya mewakilkan kepada seseorang dalam pembagian. Membagikan sesuatu yang wajib untuk dibagikan kepada orang-orang. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka aku menyuruh untuk membagi-bagikannya.” Hal ini menunjukkan bahwa mewakilkan dalam pembagian itu boleh. Begitu juga dalam perwakilan hak dalam setiap hak Allah, seperti pelaksanaan haji, zakat, dan hak-hak kemanusiaan lainnya, seperti jual beli dan sebagainya.

Kesimpulannya terpenting dari hadits ini bahwa kita harus bersegera melakukan kebaikan dan tidak meremehkannya. Ketahuilah, sesungguhnya jika kamu membiasakan dirimu menganggap remeh, maka kamu akan terbiasa dan hal itu. Dan jika kamu membiasakan diri untuk segera berbuat kebaikan, maka kamu juga akan terbiasa dengannya.

Saya memohon kepada Allah agar menolong saya dah kalian untuk selalu mengingat-Nya, bersyukur kepada-Nya dan beribadah dengan baik.

Hadits 89.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ: أَرَأَيْتَ إِنْ قُتلِْتُ فَأَيْنَ أَنَا؟ قَالَ: « فِي الْجَنَّةِ » فَأَلْقَى تَمَرَاتٍ كُنَّ فِي يَدِهِ، ثُمَّ قَاتَلَ حَتَّى قُتِلَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu, ia berkata, “Seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Uhud (sedang berkecamuk), “Apakah engkau tahu, di mana tempatku jika aku terbunuh?”

Baginda menjawab, “Di surga.”

Kemudian orang itu melemparkan biji-biji kurma yang ada di tangannya, lalu ia maju berperang sehingga akhirnya dia terbunuh.

[Shahih Al-Bukhari no. 4046. Muslim no. 1899]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilkan dari Jabir radhiyallahu anhu dari ayahnya sesungguhnya ada seseorang lelaki yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari perang Uhud, “Apakah engkau tahu, di mana tempatku jika aku terbunuh?” Baginda menjawab, “Di Surga.”  Kemudian orang itu melemparkan biji-biji kurma yang ada di tangannya, lalu ia maju berperang sehingga akhirnya dia terbunuh.”

Di dalam hadits ini terdapat banyak pelajaran:

Pertama, terdapat dalil bahwa para sahabat sangat bergegas dalam melakukan amal-amal shalih dan tidak menunda-nundanya. Inilah keadaan mereka, kerananya mereka memiliki kemuliaan di dunia dan akhirat.

Hadits ini diperkuatkan dengan hadits yang lain yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Ied. Kemudian baginda turun dan menghadap kepada kaum wanita dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. Maka para wanita itu mengambil kalung-kalung dan cincin-cincinnya, lalu meletakkan ke baju Bilal untuk dikumpulkan dan diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak mengakhirkan sedekah bahkan mereka bersedekah dengan perhiasan-perhiasannya.

Kedua, Orang yang berjuang di jalan Allah akan berada di surga. Akan tetapi siapa yang disebut dengan orang yang berjuang di jalan Allah? Orang yang berjuang di jalan Allah adalah orang yang berjuang untuk meninggikan kalimat Allah. Bukan perjuangan kerana menjaga diri, supaya dikatakan pemberani atau kerana riya dan sebagainya. Akan tetapi berjuang untuk meninggikan kalimat Allah.

Adapun orang yang berperang kerana alasan nasionalisme seperti orang yang berperang untuk bangsa Arab misalnya, mereka ini bukanlah orang-orang yang syahid. Kerana orang yang berperang untuk membela kaum Arab bukanlah berperang di jalan Allah, kerana itu termasuk perjuangan nasionalisme.

Demikian juga orang yang berjuang supaya dikatakan pemberani. Yakni yang mendorongnya berjuang adalah keberaniannya. Kerana biasanya orang yang disifati dengan sifat tertentu oleh kaum, ia akan senang melakukannya. Kerana itu, berjuang semacam ini bukanlah disebutkan dengan berjuang di jalan Allah.

Demikian juga orang yang berjuang kerana riya supaya dilihat kedudukannya, bahwa ia adalah seorang pejuang untuk melawan musuh-musuh orang kafir, maka ia bukanlah disebutkan dengan berjuang di jalan Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang seseorang yang berjuang kerana nasionalisme yang tinggi supaya dikatakan pemberani, atau riya' -supaya dilihat kedudukannya-, maka manakah yang disebutkan dengan berjuang di jalan Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang berjuang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dialah orang yang berjuang di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 120, 599, 2894, 6904 dan Muslim no. 3524, 3525, 3526]

Ketiga, Di dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan kegigihan para sahabat untuk bertanya segala urusan. Kerananya, lelaki itu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan merupakan kebiasaan mereka tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam -kerana mereka mengambil manfaat dirinya ilmu dan amal. Kerana seseorang yang mengetahui syariat berarti Allah telah menganugerahkan ilmu kepadanya, jika ia mengamalkannya maka itu adalah sebuah kenikmatan yang besar.

Beginilah para sahabat radhiyallahu anhum. Mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum syariat untuk mereka amalkan. Berbeda dengan kebanyakan orang hari ini. Sesungguhnya mereka bertanya tentang hukum-hukum syariat dan ketika mereka mengetahuinya mereka meninggalkannya dan melemparkannya serta tidak melakukannya. Seakan-akan mereka tidak menginginkan dari ilmu kecuali hanya sebatas pengetahuan saja. Ini pada hakikatnya adalah kerugian yang sangat jelas. Kerana orang yang meninggalkan amal setelah mengetahuinya, maka orang bodoh lebih baik dari mereka. Jika ada yang berkata, “Jika kami melihat seseorang yang berjuang dan mereka berkata, “Kami berjuang membela Islam, berperang untuk Islam.” Kemudian salah seorang di antara mereka terbunuh apakah kita mempersaksikan bahwa ia syahid?

Jawabannya: Tidak, kita tidak menganggapnya mati syahid kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Tidaklah seseorang yang terluka -dan hanya Allah yang tahu siapa yang terluka di jalan-Nya- kecuali ia datang pada hari kiamat dengan luka-luka yang mengeluarkan darah, warnanya warna merah, tetapi baunya bau misik.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5107]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan hanya Allah yang mengetahui orang-orang yang terluka di jalan-Nya.” Menunjukkan bahwa perkara ini bergantung dengan niat yang tidak diketahui oleh kita tetapi diketahui di sisi Allah.

Pada suatu hari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu berkhutbah, ia berkata, “Wahai manusia, sesungguhnya kalian mengatakan, “Si Fulan syahid, Si Fulan syahid.” Padahal bisa jadi ia berperang kerana terpaksa. Maka janganlah kamu mengatakan demikian tetapi katakanlah, “Barangsiapa yang terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Jangan mengatakan kesyahidan seseorang secara khusus kecuali yang disaksikan -dikatakan- langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia mati syahid. Adapun selain ini, maka ucapkanlah ucapan secara umum, “Barangsiapa terbunuh di jalan Allah maka ia syahid.” Atau mengatakan, “Kita berharap semoga dia termasuk dalam golongan para syuhada.” Dan ungkapan lainnya yang semisal.

Hadits 90.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا؟ قَالَ: « أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيْحٌ شَحِيْحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلْ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الْحُلُقُومَ قُلْتَ: لِفُلاَنٍ كَذَا وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Seorang lelaki telah datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bertanya, Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling besar pahalanya?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Kamu bersedekah pada saat dirimu sihat, kikir, takut fakir, sedangkan kamu berangan-angan menjadi kaya. Oleh itu, janganlah kamu menunda-nunda untuk bersedekah sehingga ruh sampai di tenggorokan. Maka, kamu baru berkata, Ini untuk si fulan dan ini untuk si fulan sekalian.” Padahal harta itu sudah menjadi milik si fulan.

[Shahih Al-Bukhari no. 1419. Muslim no. 1032]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam hadits yang dinukil dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu bersedekah pada saat dirimu sihat, kikir, takut fakir, sedangkan kamu berangan-angan menjadi orang kaya. Oleh itu, janganlah kamu menunda-nunda untuk bersedekah sehingga ruh sampai di tenggorokan. Maka, kamu baru berkata: “Ini untuk si fulan dan ini untuk si fulan sekalian.” Padahal harta itu sudah menjadi milik si fulan.”

Imam An-Nawawi rahimahullah meletakkan hadits ini pada bab, Anjuran untuk segera melakukan mengerjakan kebaikan dan tidak menunda-nundanya. Sesungguhnya seorang laki-laki yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian bertanya, “Sedekah apakah yang paling besar pahalanya?” Dia tidak bertanya tentang jenis sedekah yang paling utama, dan tidak pula tentang jumlahnya. Akan tetapi dia menanyakan waktu yang paling utama untuk bersedekah dari pada waktu yang lainnya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu bersedekah pada saat dirimu sihat dan kikir,” maksudnya badanmu sihat dan jiwamu kikir. Kerana apabila manusia sihat badannya, maka ia akan kikir dengan hartanya, berangan-angan hidup kekal, dan takut fakir. Namun, apabila ia sakit, maka dunia seakan tiada arti baginya dan menjadi murah baginya, maka ia akan mudah untuk bersedekah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu bersedekah pada saat kamu sihat, kikir, takut fakir sedangkan kamu berangan-angan menjadi kaya.”

Dalam riwayat yang lain disebutkan, “Kamu takut fakir, berangan-angan menjadi kaya.” Tetapi, riwayat yang pertama lebih bagus.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu berangan-angan kekal, maksudnya, kerana keadaanmu sihat maka kamu berangan-angan untuk kekal dan hidup selamanya. Kerana orang yang sihat menganggap bahwa kematian itu masih jauh, sekalipun ia bisa datang dengan tiba-tiba. Berbeda dengan orang yang sakit, maka seakan-akan kematian itu terasa dekat dengannya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu takut fakir” maksudnya, kamu dalam keadaan fakir sepanjang hidupmu. Kerana, manusia itu takut fakir apabila hidupnya lama dan apa yang dimilikinya sudah habis. Maka, dalam keadaan seperti ini waktu yang lebih utama bagimu untuk bersedekah, yakni dalam keadaan sihat dan kikir.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu menunda-nunda,” maksudnya, janganlah menunda-nunda untuk bersedekah. “Sehingga ruh sampai di tenggorokan. Maka, kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk si fulan sekian.” Yakni, hingga kematian datang kepadamu, dan kamu mengetahui bahwa kamu akan meninggalkan dunia. Lalu kamu baru mengatakan bahwa harta ini untuk disedekahkan kepada si fulan dalam jumlah sekian, “Padahal harta itu sudah menjadi milik si fulan.” Maksudnya, harta itu telah menjadi milik orang lain (ahli warisnya). Kerana, apabila seseorang meninggal dunia, maka harta yang di milikinya berpindah kepada orang lain (ahli warisnya) dan tidak sesuatu pun yang tersisa untuknya.

Hadits ini memberikan petunjuk kepada manusia, bahwa sepatutnya ia menyegerakan sedekah sebelum kematian datang kepadanya, kerana apabila ia bersedekah pada saat datangnya ajal, maka sedikit sekali keutamaannya jika dibanding dengan bersedekah pada waktu sihat dan kikir.

Hadits ini juga memberikan petunjuk bahwa jika manusia berbicara pada saat menjelang kematiannya, maka perkataannya bisa dianggap jika ia dalam keadaan sadar. Akan tetapi, apabila ia dalam keadaan tidak sadar maka perkataannya tidak dianggap. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Sehingga ruh sampai di kerongkongan. Maka kamu baru berkata, “Untuk si fulan sekalian, untuk si fulan sekalian, padahal harta itu sudah menjadi milik si fulan.”

Hadits ini juga memberikan petunjuk bahwa ruh itu keluar dari bawah dan naik sampai ke atas badan kemudian dicabut. Kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sehingga ruh sampai di tenggorakan.” 

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Maka kalau begitu mengapa (tidak mencegah) ketika (nyawa) telah sampai di kerongkongan, dan kamu ketika itu melihat.” 
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 83-84)

Maka anggota tubuh manusia yang pertama kali mati adalah bagian bawahnya, ruhnya keluar naik ke atas hingga sampai di kerongkongan, kemudian dicabut oleh malaikat maut. Kita memohon kepada Allah agar kita semua mati dalam kebaikan dan kebahagiaan.

Hadits 91.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ سَيْفًا يَوْمَ أُحُدٍ فَقَالَ: « مَنْ يَأْخُذُ مِنِّي هَذَا؟ فَبَسَطُوا أَيْدِيَهُمْ، كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ يَقُولُ: أَنَا أَنَا. قَالَ: « فَمَنْ يَأَخُذُهُ بِحَقِّهِ؟ فَأَحْجَمِ الْقَومُ فَقَالَ أَبُو دُجَانَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَا آخُذُهُ بِحَقِّهِ، فَأَخَذَهُ فَفَلَقَ بِهِ هَامَ الْمُشْرِكِينَ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebilah pedang pada saat perang Uhud, kemudian baginda bersabda, “Siapakah di antara kamu semua yang ingin mengambil pedang ini dariku?” 

Maka para sahabat mengangkat tangannya dan berkata, “Saya, saya.” 

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bersedia mengambilnya dengan memenuhi haknya?” 

Maka semua orang terdiam. lalu Abu Dujanah berkata, “Saya akan mengambilnya dengan memenuhi haknya.” Kemudian Abu Dujanah mengambil pedang itu dan memenggal leher orang-orang musyrik.”

[Shahih Muslim no. 2470]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam hadits yang dinukil dari Anas radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebuah pedang pada perang Uhud, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Siapakah di antara kamu semua yang ingin mengambil pedang ini dariku?” Maka para sahabat mengangkat tangannya dan berkata, “Saya, saya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Siapa yang bersedia mengambilnya dengan memenuhi haknya?” Maka semua orang terdiam. Lalu Abu Dujanah segera memberikan isyarat dengan mengacungkan tangannya seraya berkata, “Saya akan mengambilnya dengan memenuhi haknya.”  Kemudian ia mengambilnya dan memenggal leher orang-orang musyrik.”

Dalam hadits ini Anas radhiyallahu anhu mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam perang Uhud yang merupakan salah satu peperangan besar yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uhud adalah nama sebuah gunung yang berada di dekat kota Madinah. Peperangan ini terjadi kerana orang Quraisy mengalami kekalahan besar pada saat perang Badar dengan terbunuhnya para pemimpin dan pembesar mereka. Mereka ingin membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka datang ke Madinah untuk memerangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabat ketika mengetahui kedatangan mereka. Sebagian sahabat ada mengusulkan cadangan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap tinggal di Madinah. Kerana dengan cara ini, ketika orang-orang Quraisy memasuki kota Madinah, mereka dapat menyerangnya dari dalam rumah. Sebagian mereka juga ada yang mengusulkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, agar para pemuda dan orang-orang yang tidak ikut dalam perang badar untuk keluar menghadapi orang-orang Quraisy. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahnya dan mengenakan baju perang. Lalu keluar dan memerintahkan para sahabat untuk keluar memerangi orang-orang Quraisy di gunung Uhud. Selanjutnya mereka bertemu di Uhud. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyusun pasukannya dengan sangat tertib, dan menempatkan lima puluh pasukan pemanah yang bertempat di atas gunung di bawah pimpinan Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka, “Jangan kalian bergeser dari tempat kalian, tetaplah di tempat kalian baik kita menang mahupun kalah.” 

Maka takala dua pasukan bertempur, orang-orang musyrik kalah dan melarikan diri. Kaum muslimin mengumpulkan harta rampasan. Para pasukan panah yang berada di atas gunung berseru, “Turunlah! Kita mengambil dan mengumpulkan harta rampasan.” Maka pemimpin mereka mengingatkan mereka dengan pesan yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap pada posisi, baik menang ataupun kalah. Akan tetapi, mereka mengira bahwa perintah itu sudah tidak berlaku kerana mereka melihat orang-orang musyrik melarikan diri, hanya sedikit yang masih berada di medan pertempuran.

Maka tatkala pasukan berkuda orang-orang Quraisy melihat gunung Uhud tiada pasukan panah, mereka kembali menyerang kaum muslimin dari belakang, maka terjadilah apa yang telah ditakdirkan oleh Allah yan Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Mahaagung dan Maha Tinggi. Kaum muslimin yang mati syahid ada tujuh puluh orang, di antaranya Hamzah bin Abdul Muththalib, paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi gelar asadullah wa asadu rasulullah  (harimau Allah dan harimau Rasul-Nya)

Ketika kaum muslimin ditimpa musibah yang sangat besar mereka berkata, “Mengapa kita ini bisa kalah, padahal kita bersama dengan Rasulullah dan kita adalah tentera Allah. Sedangkan mereka (orang-orang kafir Quraisy) bersama dengan setan, dan mereka adalah tentera setan?”

Maka Allah Ta'ala berfirman,

“Dan mengapa kamu (heran) ketika ditimpa musibah (kekalahan pada Perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan musibah dua kali lipat (kepada musuh-musuhmu pada perang badar) kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) darimu sendiri.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 165) Yakni, kalian sendirilah penyebabnya, sebab kalian telah melanggar perintah Rasulullah. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mengabaikan perintah Rasul setelah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 152) Yakni, kamu mendapatkan apa yang kamu benci.

Kekalahan yang terjadi ini mengandung beberapa hikmah yang agung, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah dalam surah Âli 'Imrân. Al-Hafidz Ibnu Qayim rahimahullah memberikan keterangan yang indah dalam kitab Zaadul Al-Ma'ad tentang hikmah yang dapat dipetik dari peperangan ini.

Yang jelas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sebuah pedang kemudian bertanya kepada para sahabatnya, “Siapakah di antara kamu semua yang ingin mengambil pedang ini dariku?”  Maka para sahabat mengangkat tangannya dan berkata, “Saya, saya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang bersedia mengambilnya dengan memenuhi haknya?”  Maka para sahabat terdiam. Mereka tidak mengetahui haknya, mereka takut kalau haknya sangat berat sehingga mereka tidak mampu untuk menunaikannya. Sementara mereka telah mengambil pedang itu di atas janji kepada Rasulullah. Akan tetapi, Allah memberikan taufik kepada Abu Dujanah radhiyallahu anhu, maka ia pun berkata, “Saya yang akan mengambilnya dengan memenuhi haknya.” Maka ia mengambilnya dengan memenuhi haknya, yakni menggunakan untuk berperang dan memenggal leher orang-orang musyrik.

Hadits ini memberi petunjuk kepada kita untuk menyegerakan berbuat kebajikan dan tidak menundanya, disertai dengan memohon pertolongan kepada Allah. Kerana apabila seorang hamba memohon pertolongan Allah dan berbaik sangka kepada-Nya, maka Allah akan menolongnya. 

Banyak di antara manusia yang memperbanyak berbuat ibadah atau menganggap bahwa ibadah adalah perkara yang sangat agung sehingga ia memberatkannya. Mintalah pertolongan kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Jika kamu meminta pertolongan kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya, niscaya kamu akan masuk dalam wilayah yang diridhai Allah. Dan berikan kabar gembira dengan kebaikan, niscaya Allah akan menolongmu, sebagaimana yang telah difirmankan,

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalâq: 65: 3)

Dalam hadits ini juga memberi petunjuk tentang bagusnya kepimpinan dan suri tauladan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Rasulullah tidak pernah secara khusus menunjuk seseorang untuk berperang, akan tetapi Rasulullah memerintahkannya secara umum. Demikianlah seharusnya seorang pemimpin, hendaknya ia tidak pilih kasih kepada seseorang (rakyatnya), tetapi harus bersikap adil kepada semuanya. Kerana sikap pilih kasih itu akan dapat menimbulkan perpecahan dan kesatuan umat. Jika ada seseorang yang memiliki kelebihan dari yang lain, kemudian ia diberi sewenang atau memegang amanah berkaitan dengan kelebihan yang ia miliki, maka hal ini diperbolehkan, akan tetapi harus dijelaskan terlebih dahulu kepada umat berkaitan dengan tugas dan amanah yang dibebankan kepadanya, sehingga tidak menimbulkan fitnah.

Hadits 92.
عَنْ الزُّبَيْرِ بْنِ عَدِيِّ قَالَ: أَتَيْنَا أَنَسَ بْنْ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَشَكَوْنَا إلَيْهِ مَا نَلْقَى مِنَ الْحَجَّاجِ فَقَالَ: « اصْبِرُوا فَإِنَّهُ لَا يَأْتِي زَمَانٌ إِلاَّ وَالَّذِي بَعْدَهُ شَرٌ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ » سَمِعْتُه مِنْ نَبيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ الُبُخَارِيُّ. 
Daripada Zubair bin Adi ia berkata, “Kami mendatangi Anas bin Malik radhiyallahu anhu, kemudian kami mengadu kepadanya tentang apa yang kami rasakan dari (kekejaman) Al-Hajjaj. Selanjutnya Anas berkata, “Bersabarlah kalian, sesungguhnya tidak akan datang sesuatu masa kepada kalian kecuali yang lebih buruk darinya sehingga kalian menemui Tuhan kalian (meninggal dunia).” Aku mendengar hal itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7068]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam hadits yang dinukil dari Az-Zubair bin Adi sesungguhnya mereka datang kepada Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia adalah pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia diberi umur yang panjang dan masih hidup hingga tahun 90 hijrah. Dia mengetahui tentang sebagian fitnah semasa hidupnya. Pada saat itu orang-orang datang mengadu kepadanya perihal kekejaman yang mereka rasakan dari Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi salah seorang penguasa Bani Umayyah. Dia terkenal sebagai seorang penguasa yang zhalim, penumpah darah, kejam dan diktator.

Dialah yang mengepung kota Mekah untuk memerangi Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu anhu dan melempari tombaknya sehingga terkena Ka'bah sebagian dari bangunannya rusak. Dia juga menganiaya orang-orang awam, sehingga mereka datang mengadu kepada Anas bin Malik radhiyallahu anhu. Maka dia mengatakan kepada mereka, “Bersabarlah kalian.” Dia menyuruh mereka untuk bersabar atas kezhaliman dan kekejaman pemimpin mereka. Kerana terkadang seorang pemimpin itu berbuat zhalim kepada manusia kerana disebabkan kezhaliman mereka itu sendiri. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,


Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadikan teman bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al-An'ân: 6: 129)

Apabila kamu melihat seorang pemimpin berbuat zalim kepada manusia, baik dalam harta mahupun badannya, atau menghalangi mereka untuk berdakwah di jalan Allah, atau pun lainnya. Maka, renungkanlah tentang keadaan manusia yang dizhalimi itu, tentu akan kamu dapati bahwa fitnah (musibah) itu pada dasarnya berasal dari manusia itu sendiri. Mereka itu telah menyimpang, sehingga Allah memberikan kepada mereka seorang pemimpin yang zhalim.

Disebutkan, bahwa khalifah Bani Umayyah -saya kira Abdul Malik bin Marwan- mengumpulkan orang-orang besar dalam kaumnya kerana ia mendengar bahwa mereka membicarakan tentang keburukan pemerintahannya. Maka ia berkata kepada mereka, “Wahai manusia, apakah kalian menginginkan kami menjadi pemimpin kalian seperti Abu Bakar dan Umar?” Kemudian mereka menjawab, “Ya, kami menginginkan seperti itu.” Dia berkata, “Jadilah kalian seperti orang-orang yang dipimpin oleh Abu Bakar dan Umar, maka kami akan menjadi pemimpin kalian sebagaimana Abu Bakar dan Umar.”


Maksudnya, sesungguhnya manusia itu tergantung dari agama penguasanya, apabila pemimpin menzhalimi manusia, maka biasanya hal itu disebabkan kerana perbuatan manusia itu sendiri.

Dan telah datang seorang lelaki dari kalangan Al-Khawarij kepada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu seraya berkata, “Mengapa manusia mencelamu dan mereka tidak mencela Abu Bakar dan Umar?” Ali bin Thalib menjawab, “Kerana pengikut Abu Bakar dan Umar adalah aku dan orang-orang seperti aku, dan pengikutku adalah kamu dan orang-orang sepertimu.” Maksudnya, apabila manusia berbuat kezhaliman, maka mereka akan dikuasai oleh pemimpin yang zhalim.

Kerana itu, Anas mengatakan, “Sabarlah kalian!” Itulah yang harus dilakukan. Manusia harus bersabar dalam kesempitan mahupun keluasan, janganlah kamu mengira bahwa semua perkara itu datang dengan mudah. Suatu keburukan barangkali datang dengan tiba-tiba dan pergi dengan cepat. Akan tetapi hal ini semacam ini tidak menunjukkan kepada kebaikan. Kita harus bersabar dan menyelesaikan segala urusan dengan bijaksana, sabar dan berhati-hati.

Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 200) Jika kamu ingin keberhasilan maka inilah jalannya.

Kemudian Anas bin Malik berkata, “Sesungguhnya tidak akan datang suatu zaman kecuali yang lebih buruk darinya sehingga kalian menemui tuhan kalian (meninggal dunia). Aku mendengar hal itu dari Nabi kalian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tidak ada suatu zaman, kecuali lebih buruk dari sebelumnya. Yakni, lebih buruk dalam hal agamanya. Keburukan ini bukan berarti keburukan secara mutlak dan umum, tetapi terkadang buruk pada hal tertentu dan baik pada hal yang lain.

Namun, tatkala kekayaan manusia itu bertambah dan setiap kemudahan diperoleh, maka terbuka peluang akan terjadi keburukan bagi mereka. Kerana kekayaanlah yang menghancurkan manusia. Dan ketika manusia melihat kemewahan dan kenikmatan pada jasadnya, maka ia akan lupa dengan kenikmatan hatinya. Maka sebagian besar keinginannya adalah memberikan kenikmatan pada jasadnya yang nantinya akan dimakan ulat dan busuk. 


Dan inilah yang disebut dengan bencana yang membahayakan manusia pada saat ini. Dan hampir pada saat ini setiap orang mengatakan, “Mana istana kita? Apa mobil kita? Mana tempat tidur kita? Mana makanan kita?” Bahkan, orang yang belajar ilmu pun ikut-ikutan seperti itu. Mereka mempelajari ilmu untuk mendapatkan upah atau kedudukan semata. Padahal, manusia itu untuk tujuan yang mulia. Sedangkan dunia dan kenikmatannya hanya sebagai sarana.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa setiap manusia wajib untuk menggunakan harta dengan baik, seperti menggunakan keledai untuk tunggangan dan menggunakan tandas untuk buang air besar mahupun kecil.

Maka mereka itulah orang-orang yang mengetahui harta dan mengetahui kedudukannya. Janganlah kamu menjadikan harta sebagai puncak keinginanmu. Jika kamu tidak menaikinya, maka harta yang akan menaikimu. Sehingga yang menjadi puncak keinginanmu adalah dunia. 

Kerana itu kami katakan, “Sesungguhnya manusia setiap kali terbuka baginya pintu dunia dan mereka melihatnya, maka mereka akan menderita kerugian akhirat sejauh mana mereka mendapatkan keuntungan di dunia.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku takutkan pada kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan adalah jika dunia terbuka untuk kalian, lalu kalian berlomba-lomba (bersaing) sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sebelum kalian, sehingga dunia akan membinasakan kalian sebagaimana halnya dunia telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.

[Shahih Al-Bukhari no 2924. Muslim no 5261]

Sungguh benar apa yang telah disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa dunia inilah yang mencelakakan manusia saat ini, kerana mereka berlomba-lomba untuk mendapatkannya, dan seakan-akan keberadaan mereka di dunia ini diciptakan untuknya (dunia), bukan dunia yang diciptakan untuk mereka. Sehingga mereka sibuk dengan sesuatu yang diciptakan untuk mereka, bukan berusaha sebagaimana agar dunia mengejar mereka. Ini kenyataan yang ada. Memang, dunia telah terbalik. Naudzubillah.

Dalam hadits ini mengandung perintah untuk bersabar terhadap para pemimpin sekalipun mereka itu berbuat zhalim dan aniaya, kerana kamu dan mereka memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah Ta'ala. Kelak mereka akan menjadi lawanmu pada hari Kiamat, jika mereka menzhalimimu. Janganlah kamu mengira bahwa kezhaliman yang ada di dunia akan pergi begitu saja tanpa ada pertanggungjawabannya. Kerana hak makhluk akan ditunaikan pada hari Kiamat. Maka kamu akan duduk bersama mereka di hadapan Allah Ta'ala untuk diadili dengan seadil-adilnya. Bersabarlah dan tunggulah kelapangan, maka kamu akan memperoleh ketenangan jiwa dan ketetapan hati. Menunggu kelapangan merupakan ibadah kepada Allah. Jika kamu menunggu kelapangan dari Allah, maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketahuilah, sesungguhnya pertolongan itu ada bersama dengan kesabaran, jalan keluar itu ada bersama dengan kesulitan dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2516, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami no. 6806]

Dalam hadits ada suatu peringatan tentang buruknya zaman. Bahwa zaman itu selalu berubah kepada kondisi yang lebih buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari bersabda kepada sahabatnya,

Barangsiapa di antara kalian yang masih hidup, diberi umur panjang, maka dia akan melihat perselisihan yang sangat banyak.

[HR. Abu Dawud no. 4607. At-Tirmidzi no. 2676, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 37]


Saya kira, jarak antara kita hidup kita dengan orang-orang sebelum kita itu pendek. Akan tetapi kita lihat adanya banyak perbedaan dari waktu ke waktu dari tahun ke tahun.

Telah bercerita kepada saya orang yang dapat dipercayai, bahwasanya dulu masjid jami' ini ketika dikumandang adzan untuk shalat fajar, shaf pertama penuh, manusia datang ke masjid untuk shalat tahajjud. Akan tetapi, sekarang ini dimana orang-orang yang shalat tahajjud itu? Sungguh, sangat sedikit.

Kondisi telah berubah. Dulu, kamu lihat jika salah seorang dari mereka keluar rumah untuk mencari rezeki, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Seperti burung yang pergi dalam keadaan lapar dan pulang dengan perut yang kenyang.”

[HR. Ahmad (1/30), At-Tirmidzi no. 2344, Ibnu Majah no. 4164, dan Ibnu Hibban no. 402, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310]

Jika datang waktu pagi, ia mengucapkan, “Ya Allah, berilah aku rezeki.” Hatinya hanya bergantung kepada Allah, maka Allah pun memberinya rezeki. Adapun sekarang ini, banyak manusia yang lupa tentang hal ini, mereka bersandar kepada selain Allah. Barangsiapa yang bersandar kepada sesuatu -selain Allah-, maka Allah wakilkan dia kepadanya.

Alhamdulillah, pada akhir-akhir ini Allah membukakan hati sebagian pemuda sehingga mereka giat menuju kepada Allah. Beberapa tahun yang lalu, hampir tidak kamu jumpai para pemuda berada di masjid. Namun sekarang sebagian besar yang ada di masjid adalah para pemuda. Ini merupakan karunia dan nikmat dari Allah. Semoga mereka di masa depan memiliki masa depan yang cerah dan cemerlang. Kita harus yakin, jika generasi pemuda yang baik, maka mereka akan tumbuh menjadi para pemimpin yang baik pula.

Kita berharap kepada saudara-saudara kita yang ada di negara lain, semoga Allah berikan kepada mereka kebaikan dan istiqamah dalam menegakkan kebenaran sehingga dapat meluruskan para pemimpin mereka. Dan kami nasihatkan kepada mereka, “Bersabarlah kalian, sesungguhnya pemimpin kalian akan menjadi baik jika kalian jadi baik. Jika generasi suatu bangsa baik, maka pemimpin mereka dengan sendirinya akan menjadi baik.”

Hadits 93.
عَنْ أَبِي هُرَيٍرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ سَبْعًا، هَلْ تَنْتَظِرُونَ إلاَّ فَقْرًا مُنْسِيًا، أَوْ غِنًى مُطْغِيًا أَوْ مَرَضًا مُفسِدًا أَوْ هَرَمًا مُفْنِّدًا أَوْ مَوْتًا مُجْهِزًا أَوِ الدَّجَّالَ فَشَرُّ غَائِبٍ يُنتَظَرُ، أَوْ السَّاعَةَ فَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal sebelum datang tujuh perkara. Apakah kalian menanti kefakiran yang dapat melupakan, atau kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan, atau sakit yang dapat merusak, tua renta yang melemahkan, kematian yang mengakhiri segalanya, atau menunggu datangnya Dajjal, sedangkan ia adalah sejelek-jelek sesuatu yang ditunggu, atau menunggu datangnya hari Kiamat, sedangkan Kiamat adalah sesuatu yang amat berat dan amat menakutkan.

[HR. At-Tirmidzi no. 2306, dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Al-Jami no. 2315]

Penjelasan.

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada kita dalam beberapa hadits yang menunjukkan perintah untuk segera melakukan amal shalih. Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat kepada beberapa perkara yang seharusnya manusia segera melakukannya dan harus selalu mengingatkannya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal sebelum datang tujuh perkara.” Maksudnya, tujuh perkara yang mengelilingi manusia yang dikhawatirkan akan menimpanya, di antaranya adalah kefakiran. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian menanti kefakiran yang dapat melupakan, atau kekayaan yang dapat menimbulkan kesombongan.Yakni, berkaitan dengan rezeki manusia berada pada dua keadaan, kadang-kadang Allah memberikan kekayaan, harta, anak, istri, kediaman, kedudukan dan lainnya. Jika ia melihat dirinya dalam kondisi kaya seperti ini, ia akan sombong dan tidak mahu beribadah kepada Allah. Kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Sekali-sekali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-'Alaq: 96: 6-7)

Setelah itu Allah menjelaskan dengan firman-Nya,

“Sungguh, hanya kepada Tuhanmulah tempat kembali(mu).” (QS. Al-'Alaq: 96: 8)

Yakni, sekalipun kamu sangat kaya dan memiliki kedudukan yang sangat tinggi, sesungguhnya tempat kembalimu kepada Allah. 

Kita menyaksikan bahwa kekayaan menjadi penyebab kerusakan. Kamu dapati seseorang ketika dalam fakir, ia taat kepada Allah, patuh, rendah hati dan tidak sombong. Akan tetapi apabila ia diberikan Allah harta, ia akan sombong dan bongkak. Naudzubillah.

Atau sebaliknya, kefakiran yang dapat melupakan,  fakir adalah keadaan seseorang yang tidak memiliki harta. Kefakiran sering melalaikan manusia dari banyak kebaikan kerana sibuk mencari rezeki. Ia melupakan perkara-perkara dalam hidupnya. Inilah yang kita saksikan. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan manusia dari dua kondisi ini; baik kekayaan yang dapat menjadikannya sombong atau pun kefakiran yang melupakan. 

Maka apabila Allah memberikan kekayaan kepada seorang hamba kemudian ia tidak sombong, dan ketika diberikan kemiskinan ia tidak lalai, ibadahnya tekun, akhlaknya lurus, maka ini merupakan kenikmatan dan kebahagiaan dunia.

Kebahagiaan dunia bukan ditentukan kerana banyaknya harta semata. Sebab, harta itu terkadang menjadikan seseorang menjadi sombong. Maka dari itu, renungkanlah firman Allah Ta'ala berikut,

Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki mahupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” 
(QS. An-Nahl: 16: 97)

Allah Ta'ala tidak berfirman, “Barangsiapa yang melakukan amal shalih baik dari laki-laki dan perempuan, maka sungguh akan kami lapangkan rezekinya dan kami berikan kepadanya harta yang banyak.”Akan tetapi Allah berfirman, “Niscaya kami berikan kehidupan yang baik.” Entah dengan harta yang banyak atau pun dengan harta yang sedikit.

“Sesungguhnya ada di antara hamba-Ku, jika Aku berikan kekayaan kepadanya niscaya kekayaan itu akan merusaknya. Dan ada pula sebagian dari hamba-Ku, jika Aku berikan kepadanya kefakiran niscaya kefakiran itu akan merusaknya.”

[Hadits ini dan sejenisnya terdapat dalam Dhaif Al-Jami karangan Al-Alammah Syaikh Al-AlBani, hal no. 75]

Dan inilah yang terjadi pada sebagian manusia. Ada orang yang kefakirannya itu lebih baik baginya, dan ada juga yang kekayaannya lebih baik baginya. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan agar berhati-hati dari kekayaan yang membuat sombong dan kefakiran yang melupakan.

Yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sakit yang dapat merusak. Yakni, sakit dapat merusak keadaan manusia. Jika seseorang sihat, maka kamu akan mendapatinya dalam keadaan lapang dada, baik hati dan lembut. Tetapi apabila ia sakit, maka hati tertutup, dunianya sempit dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Kerana sakit yang dideritanya, terkadang menimbulkan banyak kerusakan pada dirinya. Ia menjadi tidak senang dengan orang lain dan tidak perhatian dengan keluarganya. Hal ini disebabkan kerana ia sakit dan jiwanya lelah. Maka dari itu sakit dapat merusakan keadaan seorang. 

Manusia tidak selalu dalam keadaan sihat dan sakit senantiasa menunggunya setiap saat. Banyak sekali manusia pada pagi harinya dalam keadaan sihat, petangnya menjadi lemah dan sakit atau sebaliknya. Maka dari itu wajib bagi manusia untuk menyegerakan berbuat amal shalih, kerana ditakutkan akan datang hal-hal buruk semacam itu.

Yang keempat, “tua renta yang melemahkan.”  Apabila manusia sudah lanjut usia ia akan dikembalikan seperti pada masa kecil. Yakni dikembalikan seperti pada masa kanak-kanaknya. Pada seseorang yang pada masa mudanya dikenal sebagai orang yang cerdas, hendaklah ia berhati-hati kerana nanti akan kembali seperti pada masa kanak-kanaknya. Bahkan, mungkin lebih parah dari kanak-kanak. Kerana kanak-kanak belum memiliki akal sehingga ia tidak mengerti tentang sesuatu, tetapi seorang lelaki yang telah berakal dan faham segala sesuatu kemudian dikembalikan seperti pada masa kanak-kanak, tentu saja, keadaan seperti ini lebih berat baginya.

Maka dari itu, orang tua yang dikembalikan kepada masa kanak-kanaknya tentu akan lebih merepotkan keluarganya daripada kanak-kanak. Kerana mereka dulunya memiliki akal. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah dari penyakit ketuaan (pikun).

Kita memohon kepada Allah supaya melindungi kita semua dari penyakit pikun. Kerana apabila seseorang pikun, maka ia akan lelah dan merepotkan orang lain. Jika manusia diuji dengan penyakit pikun ini, banyak dari mereka yang mengharapkan kematian, baik dengan lisan mahu pun hati.

Yang kelima, kematian yang mengakhiri segalanya.” Yakni, semua manusia akan mati dan kematian akan datang tanpa diundang. Ada manusia yang mati di tempat tidur, ada yang mati saat bekerja atau di mana-mana saja. Apabila manusia mati, maka semua amalnya terputus sebagai mana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Apabila matinya anak Adam maka amalnya terputus kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.

[Shahih Muslim no. 3084]

Maka segeralah beramal shalih sebelum kematian datang menjemput.

Yang keenam, “atau menunggu datangnya Dajjal, sedangkan ia adalah sejelek-jelek sesuatu yang di tunggu. Kata “dajjal” merupakan bentuk sighah mubalaghah dari kata “ad-dajl” artinya dusta.

Dajjal adalah seorang lelaki yang diutus Allah pada akhir zaman yang mengaku sebagai tuhan, ia melancarkan fitnahnya ini selama empat puluh hari dan satu hari sama dengan satu tahun. Ada yang sehari seperti satu bulan, sehari seperti seminggu dan sehari seperti hari hari biasa. Akan tetapi Allah memberikan kemampuan yang tidak diberikan pada yang lain, sehingga Dajjal itu bisa memerintah langit untuk menurunkan hujan, menyuruh bumi untuk menumbuhkan tanaman, memerintah bumi menjadi gersang, dan memerintahkan langit sehingga tidak menurunkan hujan. Dajjal mengaku memiliki surga dan neraka, tetapi semua itu bohong. Sebenarnya, surga adalah neraka dan neraka adalah surga. 

Dajjal salah satu matanya buta. Matanya seperti biji anggur yang menonjol, dan di antara kedua matanya terdapat tulisan “kafir” (كافر) (lafadz yang ada dalam hadits seperti ini (ك، ف، ر) yang bisa dibaca oleh setiap orang mukmin, baik yang bisa membaca mahupun yang tidak, dan tidak bisa dibaca oleh orang munafik dan orang kafir, sekalipun ia pandai membaca dan menulis. ini merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah.

Untuk mengatasi Dajjal ini, Allah mengutus Nabi Isa bin Maryam 'alaihissalam, maka Isa bin Maryam turun dari langit kemudian membunuhnya, sebagaimana yang diterangkan beberapa hadits pada bab, Luddun fii Falistin Hatta Yuqdha Alaih (Pertempuran yang dasyat di Palestina). 

Kesimpulannya, sesungguhnya Dajjal itu merupakan kejahatan yang menunggu dan bencananya sangat besar. Oleh itu, pada setiap shalat kita mengucapkan,

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari adzab kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal,” 

[Shahih Muslim no. 588]

Doa ini dikhususkan, kerana inilah fitnah yang paling besar yang terjadi dalam kehidupan manusia.

Yang ketujuh, “Menunggu datangnya hari Kiamat.” Maksudnya, waktu terjadinya kematian secara massal, dan saat itu merupakan waktu yang amat dahsyat dan pahit. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Bahkan hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” 
(QS. Al-Qamar: 54: 46)

Inilah tujuh perkara yang diingatkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyuruh kita untuk menyegerakan tujuh amalan ini. Maka, segeralah wahaji saudaraku muslim untuk mengerjakan amal shalih sebelum kamu kehilangan waktu. Walaupun kamu sekarang dalam keadaan giat, sihat dan mampu, tetapi terkadang datang kepadamu suatu masa di mana kamu tidak mampu dan tidak kuasa melakukan amal kebajikan. Maka biasakanlah dirimu untuk melakukan amal shalih. Apabila kamu membiasakan diri melakukan amal shalih, maka akan mudah bagimu untuk melakukannya. Tetapi jika kamu membiasakan diri dengan kemalasan dan manja, maka kamu akan lemah dan tidak mampu melakukan amal shalih. Kita berdoa kepada Allah semoga Allah menolong kita untuk selalu berdzikir, bersyukur, dan melakukan ibadah dengan baik kepada-Nya.

Hadits 94.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ خَيْبَرَ: « لَأُعْطِيَنَّ هَذِهِ الرَّايَةَ رَجُلًا يُحِبُّ اللهَ وَرَسُولَهُ، يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ » قَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: مَا أَحٍبَبْتُ الْإِمَارَةَ إلاَّ يَوْمَئذٍ، فَتَسَاوَرْتُ لَهَا رَجَاءَ أَنْ أُدْعَى لَهَا، فَدَعَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، فَأَعْطَاهُ إِيَّاهَا، وَقَالَ: « اِمْشِ وَلَا تَلْتَفِتْ حَتَّى يَفْتَحَ اللهُ عَلَيْكَ » فَسَارَ عَلَيٌّ شَيْئًا، ثُمَّ وَقَفَ وَلَمْ يَلْتَفِتْ فَصَرَخَ: يَا رَسُولَ اللهِ، عَلَى مَاذَا أُقَاتِلُ النَّاسَ؟ قَالَ: «قَاتِلْهُمْ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إلَهَ إلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ فَقَدْ مَنَعُوا مَنْكْ دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إلاَّ بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika perang Khaibar baginda bersabda,

“Sungguh akan aku berikan panji (bendera) ini kepada seseorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah akan memberikan kemenangan melalui kedua tangannya.” 

Umar bin Al-Khaththab berkata, “Aku tidak pernah menginginkan jabatan -menjadi pemimpin- (di medan perang) kecuali pada hari itu. Maka aku pun menampakkan diri dengan harapan semoga aku dipanggil untuk menerima panji itu. Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib dan menyerahkan panji itu kepadanya, lalu bersabda, “Majulah kehadapan dan janganlah kamu menoleh ke belakang sehingga Allah memberikan kemenangan kepadamu.” 

Kemudian Ali radhiyallahu anhu bergerak beberapa langkah kemudian berhenti tetapi tidak menoleh kebelakang dan teriak, “Wahai Rasulullah, atas dasar apakah aku memerangi manusia?” Baginda menjawab, “Perangilah mereka, sehingga mereka mahu bersaksi, bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah. Apabila mereka telah berbuat demikian, terpeliharalah harta dan darah mereka kecuali dengan haknya, ada pun niat sebenar mereka adalah diserah kepada Allah.”

[Shahih Muslim no. 2405]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam hadits yang dinukil dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada perang Khaibar, Sungguh akan aku berikan panji (bendera) ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.  Dalam lafadz lain, “Dan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya.

Khaibar adalah benteng dan pertanian milik orang-orang yahudi, jaraknya dari Madinah kira-kira 100 mil ke barat daya. Ditakluk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikenal dalam sejarah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat perdamaian dengan mereka agar supaya mereka tetap tinggal di sana sebagai petani dengan cara bagi hasil, mereka mendapat separuh dan kaum muslimin juga mendapat separuh dari penghasilan. Mereka tetap tinggal di sana sehingga mereka di usir pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Al-Khathtab, mereka di usir ke Syam di daerah Azra'at.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh akan aku berikan panji ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Panji yang dimaksudkan adalah bendera yang dibawa oleh panglima perang agar pasukan yang berada di belakangnya mendapatkan petunjuk. Dan sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Seorang laki-laki” adalah bentuk kata yang masih umum sehingga tidak diketahui siapa yang dimaksudkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamUmar bin Al-Khaththab berkata, “Aku tidak mahu menjadi pemimpin (di medan) kecuali pada hari itu,” dengan harapan dia mendapatkan apa yang telah disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka aku mengajukan diri untuk itu, pada malam itu manusia tidak tidur, mereka berdebat, saling menyebutkan aib dan kekurangan mereka dan terjadi pertentangan di antara mereka dengan harapan bendera tersebut diberikan kepadanya. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib anak pamannya, mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah ia mengadukan kedua matanya,” maksudnya matanya sakit. Kemudian Rasulullah memanggilnya dan meludahi kedua matanya, maka matanya menjadi sembuh seakan tidak sakit, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kepadanya bendera seraya berkata, “Majulah kehadapan dan janganlah kamu menoleh ke belakang sebelum Allah memberikan kemenangan kepadamu.”

Maka ia melakukannya, dan ketika berjalan beberapa langkah ia berhenti, namun ia tidak menoleh ke belakang kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadanya, “Janganlah kamu menoleh ke belakang,” kemudian ia berseru dengan suara yang keras, “Wahai Rasulullah atas dasar apa aku memerangi mereka?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Perangilah mereka sehingga mereka mahu bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah.” Kalimat ini merupakan kalimat yang agung, sekiranya ditimbang dengan langit dan bumi, maka tentu akan lebih berat. Kerana kalimat ini, seseorang yang kufur bisa menjadi Islam. Kerana pintu Islam adalah syahadat (bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah). Jika mereka melakukan persaksian itu, maka tidak boleh diperangi, kerana darahnya tidak halal, kecuali dengan haknya. Yaitu dengan hak “laailaha illallah” atau yang mengikuti kalimat tersebut. Kerana laailaha illallah bukan sekadar lafadz yang diucapkan manusia dengan lisannya, tetapi ia memiliki syarat dan beberapa hal yang harus dipenuhi. 

Kerana itu dikatakan kepada sebagian ulama salaf, “Bukankah kunci surga itu kalimat laailaaha illallah?” Maka beliau menjawab, “Ya, kunci surga itu kalimat laa ilaaha illallah, tetapi butuh adanya pengamalan kerana kunci itu membutuhkan gigi.”

Sungguh benar apa yang dikatakan penulis rahimahullah, “Kunci itu membutuhkan gigi, kalau kamu datang membawa kunci yang tidak memiliki gigi maka kunci itu tidak dapat membukakan sesuatu untukmu.” Jadi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “kecuali dengan haknya” mencakup segala sesuatu yang diingkari manusia dengan ucapan laailaaha illallah. Maka, orang kafir, sekalipun ia mengucapkan laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah, tetapi ia melakukan sesuatu kekufuran, maka kalimat ini tidak akan bermanfaat baginya.

Kerana itu, orang-orang munafik mengatakan, “Laa ilaaha illallah,” jika kamu melihat mereka, maka kamu pasti kagum dengan tubuh, keadaan dan bentuk mereka, seakan-akan mereka adalah orang-orang mukmin yang sempurna imannya. Mereka datang kepada Rasulullah dengan mengatakan kepada baginda, “Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar utusan Allah.” Perkataan mereka dikuatkan dengan tiga kata penguat, yaitu, kami bersaksi (nasyhadu), sesungguhnya (inna), benar-benar (lam) pada kata 'laRasulullah'. Maka Allah Yang Maha Perkasa dan Mahamulia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” (QS. Al-Munâfiqûn: 63: 1)

Allah Ta'ala menjawab kesaksian atas kesaksian mereka. Allah bersaksi bahwa orang-orang munafik benar-benar berbohong, dan Allah menegaskan kebohongan mereka dalam perkataan mereka, “Kami bersaksi sesungguhnya engkau benar-benar utusan Allah,” dengan tiga penegasan, tetapi tidak setiap orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah terlindungi darah dan hartanya, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengecualian “kecuali dengan haknya.”

Ketika ada orang Arab yang enggan untuk membayar zakat, maka Khalifah Abu Bakar bersiap-siap untuk memerangi mereka. Sebagian sahabat berkata kepadanya, “Bagaimana engkau memerangi mereka, sedangkan mereka mengucapkan laa ilaaha illallah?” Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, aku akan memerangi mereka yang memisahkan antara shalat dan zakat.” Kerana zakat merupakan hak harta. Dan sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kecuali dengan haknya.” Kemudian Abu Bakar memerangi mereka dan menang.

Kesimpulannya, bahwa tidak setiap orang yang mengucapkan laailaha illallah terpelihara darah dan hartanya, tetapi ia wajib memberikan haknya. Oleh kerana itu, ulama mengatakan, “Kalau ada desa yang meninggalkan adzan dan iqamah, maka mereka tidak dikafirkan tetapi mereka diperangi dan dihalalkan darah mereka sehingga mereka melaksanakan adzan dan iqamah.” Walaupun adzan dan iqamah bukan termasuk rukun Islam, tetapi keduanya merupakan hak dari Islam. Mereka mengatakan, “Kalau sekiranya mereka meninggalkan shalat ied misalnya, walaupun shalat ied bukan shalat lima waktu yang diwajibkan, kalau mereka meninggalkan shalat ied, maka mereka wajib diperangi, diperangi dengan pedang dan senjata api sehingga mereka melakukan shalat ied, sekalipun shalat ied hukumnya fardu kifayah atau sunnah menurut sebagian ulama atau fardu 'ain menurut pendapat yang kuat.” Tetapi pendapat yang menyatakan bolehnya memerangi orang Islam, bertujuan agar mereka tunduk terhadap syiar-syiar Islam, kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini bersabda“kecuali dengan haknya.”

Dalam hadits ada petunjuk yang menjelaskan bahwa manusia boleh mengucapkan, “Saya akan melakukan begini di masa yang akan datang, sekalipun ia tidak mengucapkan insya Allah, tetapi harus mengetahui perbedaan antara orang yang memberikan kabar apa yang ada di hatinya dan orang yang memberikan kabar bahwa ia akan melakukan,” maksudnya ingin melaksanakan.

Adapun yang pertama maka tidak apa-apa jika mengucapkan, “Saya akan melakukan tanpa mengucapkan insya Allah, kerana ia memberikan kabar apa yang ada di hatinya.” Adapun yang kedua sesungguhnya ia ingin melakukan, maksudnya menginginkan pekerjaan tersebut benar-benar terjadi. Maka dalam hal ini ia tidak mengatakan kecuali diikat dengan al-masyiah (insya Allah).

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, “Aku pasti melakukan itu besok pagi,” kecuali (dengan mengatakan), Insya Allah.” (QS. Al-Kahfi: 18: 24)

Maka ada perbedaan antara orang yang memberikan kabar dari apa yang ada di hatinya dengan orang yang mengatakan, “Sesungguhnya saya akan melakukan besok.” Kata “besok” bukan untukmu, barangkali kamu meninggal sebelum besok, mungkin ada halangan dan rintangan lain, mungkin kamu masih hidup tetapi Allah memalingkan keinginanmu darinya, sebagaimana yang banyak terjadi, banyak sekali yang ingin benar-benar dikerjakan manusia besok, atau pada akhir siang, kemudian Allah berpalingkan keinginannya.

Kerana itu dikatakan kepada sebagian orang Arab Badui. Mereka memiliki jawaban yang cemerlang, “Bagaimana kamu mengetahui tuhanmu?” Salah satu di antara mereka menjawab, “Bekas (telapak) kaki menunjukkan adanya orang yang berjalan, kotoran unta menunjukkan adanya unta, langit memiliki bintang-bintang, bumi mempunyai jalan-jalan luas, lautan memiliki gelombang, bukankah hal itu semua menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat?” Allahu Akbar, orang Badui yang tidak tahu, tetapi ia mencari petunjuk melalui akalnya. [310] Tidaklah perkara-perkara besar ini menunjukkan adanya khalik yang menciptakan? Ya, demi Allah.

Kemudian yang lain ditanya, “Dengan apa kamu mengetahui tuhanmu?” Ia menjawab, “Dengan batalnya keinginan yang kuat dan cita-cita?” Bagaimana hal ini bisa? Manusia mempunyai keinginan kuat terhadap sesuatu kemudian batal keinginannya tanpa ada suatu sebab yang jelas, jadi siapa yang membatalkannya? Yang membatalkan keinginan yang kuat tersebut adalah Dzat yang pertama kali menitipkannya, yaitu Allah Azza wa Jalla dan Dia memalingkan cita-cita, sekiranya manusia bercita-cita terhadap sesuatu, pertama-tama diberikan cita-cita itu kemudian dipalingkan.

Kerana itu kami mengatakan, “Sesungguhnya dalam hadits ini ada petunjuk bagi manusia, hendaknya ia mengatakan, “Saya akan mengerjakan begini,” sebagai suatu kabar apa yang ada di hati, tidak sungguh-sungguh untuk melakukannya, kerana masa yang akan datang adalah milik Allah. Tetapi jika kamu memberi kabar apa yang ada di hatimu maka yang demikian itu tidak apa-apa.

-------------------------

Catatan.

[310] (Syaikh rahimahullah menghendaki dengan fitrahnya, kalau tidak tidak dengan fitrah, maka sesungguhnya akal saja tanpa fitrah yang dianugerahkan kepada manusia, tidak berguna sama sekali. Atas dasar inilah dapat diketahui rusaknya ungkapan lisan yang terkenal, “Tuhan kita bisa dikenali dengan akal...” tetapi kita mengetahui tuhan kita dengan hidayah yang diberikan kepada kita, bukan akal kita.)


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...