۞وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ۞
Allah ﷻ berfirman:
Allah ﷻ berfirman:
Allah ﷻ berfirman:
Allah ﷻ berfirman:
Allah ﷻ berfirman:
“Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh Allah Maha Mengetahui.”
۞وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ۞
“Dan sembahlah Tuhanmu, sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 15: 99)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا۞
“Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati.” (QS. Al-Muzzammil: 73: 8) Maksudnya menyendiri untuk beribadah kepada-Nya.
۞فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَلْ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ،۞
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 99: 7)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا۞
“Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.” (QS. Al-Muzzammil: 73: 20)
۞وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ۞
(QS. Al-Baqarah: 2: 273)
Dan ayat-ayat lain dalam bab ini sudah banyak di ketahui.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan “Bab bersungguh-sungguh menunaikan amal shalih,” maksudnya adalah berusaha sekuat tenaga mengekang hawa nafsu diri sendiri atau orang lain. Usaha untuk mengekang hawa nafsu diri sendiri ini sangatlah berat kerana tidak akan mampu mengekang hawa nafsu orang lain tanpa terlebih dahulu ia mengekang hawa nafsunya sendiri. Manusia perlu bersungguh-sungguh mengekang hawa nafsu ini dalam dua hal, yaitu dalam menunaikan ketaatan dan menjauhi maksiat, kerana menunaikan ketaatan itu sungguh sulit, kecuali bagi yang mendapatkan pertolongan Allah, begitu juga berusaha untuk meninggalkan maksiat. Hal ini membutuhkan kesungguhan hati, terlebih lagi bagi orang yang lemah keinginannya untuk menunaikan amal kebaikan harus memaksa dirinya untuk menunaikan perbuatan shalih.
Yang terpenting dalam hal ini adalah mengekang hawa nafsu untuk senantiasa ikhlas kerana Allah Ta'ala dalam beribadah, kerana ikhlas adalah masalah yang sangat sulit. Bahkan, sebagian ulama salaf mengatakan, “Saya tidak mengekang hawa nafsu saya untuk sesuatu, sebagaimana saya mengekangnya untuk senantiasa ikhlas.” Oleh kerana itu pahala orang-orang yang mengucapkan kalimat, “laailaaha illallah” dengan ikhlas sepenuh hati, Allah mengharamkan neraka menjilatnya.
لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Fajar (Subuh), kalau seandaiya mereka mengetahui pahala keduanya pasti mereka akan mendatanginya (berjamaah) walaupun dengan merangkak.”
[Shahih Al-Bukhari no. 657]
Menunaikan ibadah ini membutuhkan kesungguhan ekstra. Begitu juga bersungguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan haram. Kebanyakan perbuatan yang diharamkan Allah sangat berat untuk ditinggalkan bagi sebagian orang, kita mengambil dua contoh dalam hal ini:
Pertama, merokok, mayoritas orang yang menghisap asap yang berbahaya ini. Pada mulanya para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, sebagian berpendapat halal, haram, makruh, bahkan sebagian ada yang menqiyaskan dengan khamer dan dihukumi sepertinya, tetapi setelah jelas bahayanya tidak diragukan lagi bahwa hukumnya adalah haram, para dokter pun sepakat terhadap bahayanya terhadap kesihatan, bahkan menyebabkan banyak penyakit kronis yang berakibat pada kematian. Banyak kasus orang yang meninggal ketika sedang berbincang-bincang atau ketika tidur di atas ranjangnya, membawa beban yang sangat ringan, tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak dan akhirnya menemui ajalnya akibat rokok ini.
Banyaknya kasus ini menunjukkan bahwa merokok itu sangat berbahaya dan sesuatu yang membahayakan bagi manusia itu hukumnya haram. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisâ: 4: 29)
Para perokok ini biasanya sulit untuk meninggalkannya, walaupun jika berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya sedikit demi sedikit dan menjaga jarak dengan orang-orang kecanduan ini, maka lama kelamaan akan membenci bau asapnya dan dengan mudah melepaskannya, tetapi masalahnya memerlukan kemahuan yang kuat dan keimanan yang teguh.
Kedua, mencukur jenggot, hukumnya adalah haram, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.”
[Shahih Muslim no. 625]
Tidak sedikit orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan mencukur jenggotnya, kita tidak mengerti apa yang ia dapatkan? sungguh hasil yang ia petik hanyalah akumulasi maksiat yang melemahkan imannya, na'udzubillah. Kerana Ahlu Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa maksiat itu mengurangi keimanan, maka orang yang mencukur jenggotnya telah berbuat maksiat yang mengurangi imannya. Disamping itu merokok tidak menambah semangat dan merusak kesihatan, dan tidak pula menolak satu penyakit pun. Tetapi orang yang kecanduan menghisapnya merasa sulit untuk meninggalkannya, dan memerlukan kesungguhan untuk menunaikan perintah dan menjauhi larangan Allah Ta'ala, sehingga termasuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang menerangkan pahala mereka itu,
Bentuk lain dari bersungguh-sungguh terhadap orang lain adalah berjihad dengan memanggul senjata untuk melawan musuh yang terang-terangan menampakkan permusuhan terhadap Islam, seperti Yahudi, Nasrani dan lain-lain. Orang-orang Nasrani mengklaim sebagai pengikut Isa Al-Masih, padahal Isa alaihissalam terlepas dari kesesatan mereka ini, seandainya baginda keluar pasti akan memerangi mereka. Sehingga firman Allah Ta'ala,
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikankah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?”
(QS. Al-Ma' idah: 5: 116)
Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik dan yang lainnya, semuanya adalah musuh kaum muslimin yang harus diperangi sehingga kalimat Allah itu tinggi, tetapi sangat disayangkan kaum muslimin sekarang ini sangat lemah, saling bermusuhan antara satu dengan yang lainnya melebihi kepada musuhnya, oleh kerana itu para musuh mudah menguasai kita dan memperlakukan kita seperti bola di tendang kesana-sini semahunya.
Oleh kerana itu, wajib bagi kita semua kaum muslimin untuk memperhatikan masalah ini dan mempersiapkan kekuatan, kerana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan)” (QS. Al-Anfâl: 8: 60)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, sehingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 9: 29)
“Sehingga mereka membayar jizyah,” yaitu sampai mereka menyerahkan pajak. “Dengan patuh” ada dua penafsiran yaitu; pertama, mereka tunduk kepada kita kerana kekuasaan kita atas mereka, kedua, mereka masing-masing menyerahkannya langsung dengan tangan mereka baik Yahudi ataupun Nasrani, maka sebagian ulama berpendapat, “Kalau mereka mengutus seorang utusan untuk membayarkannya maka tidak boleh diterima, tetapi harus yang bersangkutan datang kepada pemimpin kaum muslimin.”
Mari kita perhatikan ayat ini, bagaimana Allah Ta'ala menginginkan kita dan betapa agungnya kedudukan Islam ini. Kita mewajibkan mereka untuk membayar pajak dan harus mereka secara langsung yang datang membayarnya, walaupun para pembesar mereka harus datang pula dan menyerahkannya kepada pemimpin kaum muslimin langsung sehingga mereka kecil di hadapan kekuatan kaum muslimin. Mereka tidak akan datang dengan bala tenteranya yang kuat dan gagah, tetapi datang dengan hina, kecil dan rendah diri.
Bagaimana kita menjawab sebagian orang yang bertanya, “Benarkah ajaran Islam seperti ini? Bukankah ini merupakan sikap egois?” Kita menjawab, “Egois itu untuk siapa? Apakah kaum muslimin ini ingin mengikuti keinginan mereka yang bertindak sewenang-wenang terhadap semua manusia? Sama sekali tidak, umat Islam adalah kaum yang paling mulia akhlaknya, kalimat Allah yang telah menciptakan mereka ini lebih tinggi, dan tidak akan tercapai kemuliaan itu terkecuali setelah kaum muslimin ini mulia kedudukannya. Tetapi kapankah kaum muslimin ini akan mencapai kemuliannya? Mereka akan mencapainya apabila berpegang teguh dengan ajaran agamanya dengan benar baik lahir mahupun batin, memahami bahwa kemuliaan itu milik Allah, rasul-Nya dan kaum mukminin.” Tetapi jika kaum muslimin masih menghinakan ajaran agamanya, tunduk dan mengekor pada musuh maka selamanya kemuliaan itu tidak akan pernah tercapai. Islam adalah agama yang benar dan tinggi, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Maka janganlah kamu lemah dan mengajak damai, kerana kamulah yang lebih unggul, dan Allah (pun) bersama kamu, dan Dia tidak akan mengurangi segala amalmu.”
Allah Ta'ala berfirman, “Tidak ada hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik kecuali dengan apa yang Aku wajibkan kepadanya,” artinya bahwa amalan wajib itu lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah, misalnya shalat lima waktu lebih dicintai Allah daripada shalat malam dan amalan sunnah lainnya, puasa Ramadhan lebih dicintai oleh Allah daripada puasa Senin dan Kamis, puasa Syawal dan sebagainya. Semua amalan wajib itu lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah.
Allah mewajibkan setiap hamba untuk melakukan amalan wajib sebagai bukti bahwa Allah lebih mencintai amalan ini, kerana Allah mencintainya maka mewajibkannya. Adapun amalan sunnah seorang hamba bebas memilih melakukannya untuk menambah fadhilah atau tidak. Jelas bahwa amalan wajib itu lebih dicintai Allah daripada yang sunnah, tetapi setan selalu ingin menggelincirkan manusia, misalnya ketika melakukan shalat malam sangat khusyu' tidak bergerak, hatinya lurus tidak menegok kanan atau kiri, tetapi ketika melakukan shalat fardu, hatinya sangat sulit untuk khusyu' banyak bergerak, terlintas godaan silih berganti. Inilah godaan setan yang menghiasi amalan sunnah terlebih amalan wajib seorang hamba. Maka perbaikilah amalan wajib kita kerana lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah.
“Hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” Ibadah sunnah itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan penyempurnaan ibadah wajib. Jika seseorang hamba memperbanyak perbuatan ini dengan tetap melakukan ibadah wajibnya dengan baik maka ia berhak meraih kecintaan Allah, sehingga Allah Ta'ala mencintainya, dan jika Allah Ta'ala telah mencintainya maka seperti firman-Nya, “Maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah,” yaitu Allah selalu mengarahkan empat anggota tubuhnya ini.
Pendengarannya; Allah selalu mengarahkan pendengarannya, sehingga tidak mendengar sesuatupun kecuali sesuatu kebaikan yang diridhai-Nya, menghindarkan diri dari mendengar hal-hal yang mengundang murka-Nya, ketika mendengar hal yang sia-sia, cepat-cepat ia berpaling darinya dan mengatakan, “Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian.”
Daripada Anas radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menceritakan yang difirmankan oleh Tuhannya Azza wa Jalla, Dia berfirman, “Jika seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku satu jengkal maka Aku mendekat padanya satu hasta dan apabila ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku mendekat padanya satu depa dan jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan maka Aku datang kepadanya dengan berjalan cepat.”
[Shahih Al-Bukhari no. 7536 dan Muslim no. 2675]
Hadits 97.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dan ayat-ayat lain dalam bab ini sudah banyak di ketahui.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan “Bab bersungguh-sungguh menunaikan amal shalih,” maksudnya adalah berusaha sekuat tenaga mengekang hawa nafsu diri sendiri atau orang lain. Usaha untuk mengekang hawa nafsu diri sendiri ini sangatlah berat kerana tidak akan mampu mengekang hawa nafsu orang lain tanpa terlebih dahulu ia mengekang hawa nafsunya sendiri. Manusia perlu bersungguh-sungguh mengekang hawa nafsu ini dalam dua hal, yaitu dalam menunaikan ketaatan dan menjauhi maksiat, kerana menunaikan ketaatan itu sungguh sulit, kecuali bagi yang mendapatkan pertolongan Allah, begitu juga berusaha untuk meninggalkan maksiat. Hal ini membutuhkan kesungguhan hati, terlebih lagi bagi orang yang lemah keinginannya untuk menunaikan amal kebaikan harus memaksa dirinya untuk menunaikan perbuatan shalih.
Yang terpenting dalam hal ini adalah mengekang hawa nafsu untuk senantiasa ikhlas kerana Allah Ta'ala dalam beribadah, kerana ikhlas adalah masalah yang sangat sulit. Bahkan, sebagian ulama salaf mengatakan, “Saya tidak mengekang hawa nafsu saya untuk sesuatu, sebagaimana saya mengekangnya untuk senantiasa ikhlas.” Oleh kerana itu pahala orang-orang yang mengucapkan kalimat, “laailaaha illallah” dengan ikhlas sepenuh hati, Allah mengharamkan neraka menjilatnya.
Tetapi, kapankah seseorang mampu merealisasi hal ini? Sungguh masalah ini sangatlah berat bahkan paling berat. Kerana sifat dasar manusia adalah ingin tinggi dan dihormati orang lain, senang dipuji dan dikatakan, “Seorang ahli ibadah, gemar menunaikan kebajikan dan sebagainya,” sehingga setan menyusup ke dalam hati kecilnya dan menggoda dalam masalah ini, dan akhirnya ia berbuat kebaikan kerana riya ingin dilihat orang lain. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang riya (beramal kerana ingin dilihat orang lain) maka Allah akan memperlihatkannya dan barangsiapa yang sum'ah (beramal kerana ingin didengar orang lain) maka Allah akan memperdengarkannya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6018, 6619]
Yaitu Allah akan membuka kebohongannya di hadapan orang lain, na'udzubillah.
Begitu juga dalam menunaikan ketaatan, memerlukan kesungguhan dalam melawan hawa nafsu, seperti puasa; menunaikan amal ibadah ini sangatlah berat kerana harus meninggalkan kebiasaan makan, minum, dan berhubungan badan. Ibadah puasa ini sangat berat kecuali bagi orang yang dimudahkan Allah untuk menunaikannya.
Sehingga bagi sebagian orang ketika bulan Ramadhan datang seolah-olah tertimpa gunung -kita berlindung kepada-Nya- kerana menganggap ibadah puasa itu berat dan meletihkan, melewati siang harinya dengan tidur dan malam harinya dengan bergadang dalam hal-hal yang tidak baik, kerana memandang berat ibadah ini, na'udzubillah.
Di antara ibadah yang membutuhkan kesungguhan ini adalah menunaikan shalat berjamaah. Banyak orang mudah menunaikan shalat di rumahnya, tetapi sangat berat menunaikannya berjamaah di masjid. Orang tersebut sangat berat untuk menunaikan ibadah ini dengan mengatakan, “Apakah saya bersabar menunaikan ibadah ini atau melaksanakan tugas ini dan itu,” dan ia mengulur-ulur waktu shalat sehingga tertinggal shalat jamaah. Rasa berat seseorang untuk menunaikan shalat berjamaah termasuk tanda-tanda orang munafik. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
[Shahih Al-Bukhari no. 6018, 6619]
Yaitu Allah akan membuka kebohongannya di hadapan orang lain, na'udzubillah.
Begitu juga dalam menunaikan ketaatan, memerlukan kesungguhan dalam melawan hawa nafsu, seperti puasa; menunaikan amal ibadah ini sangatlah berat kerana harus meninggalkan kebiasaan makan, minum, dan berhubungan badan. Ibadah puasa ini sangat berat kecuali bagi orang yang dimudahkan Allah untuk menunaikannya.
Sehingga bagi sebagian orang ketika bulan Ramadhan datang seolah-olah tertimpa gunung -kita berlindung kepada-Nya- kerana menganggap ibadah puasa itu berat dan meletihkan, melewati siang harinya dengan tidur dan malam harinya dengan bergadang dalam hal-hal yang tidak baik, kerana memandang berat ibadah ini, na'udzubillah.
Di antara ibadah yang membutuhkan kesungguhan ini adalah menunaikan shalat berjamaah. Banyak orang mudah menunaikan shalat di rumahnya, tetapi sangat berat menunaikannya berjamaah di masjid. Orang tersebut sangat berat untuk menunaikan ibadah ini dengan mengatakan, “Apakah saya bersabar menunaikan ibadah ini atau melaksanakan tugas ini dan itu,” dan ia mengulur-ulur waktu shalat sehingga tertinggal shalat jamaah. Rasa berat seseorang untuk menunaikan shalat berjamaah termasuk tanda-tanda orang munafik. Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ صَلاَةٌ أثْقَلَ عَلَى المُنَافِقِينَ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ وَالعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat Isya' dan shalat Fajar (Subuh), kalau seandaiya mereka mengetahui pahala keduanya pasti mereka akan mendatanginya (berjamaah) walaupun dengan merangkak.”
[Shahih Al-Bukhari no. 657]
Menunaikan ibadah ini membutuhkan kesungguhan ekstra. Begitu juga bersungguh-sungguh untuk meninggalkan perbuatan haram. Kebanyakan perbuatan yang diharamkan Allah sangat berat untuk ditinggalkan bagi sebagian orang, kita mengambil dua contoh dalam hal ini:
Pertama, merokok, mayoritas orang yang menghisap asap yang berbahaya ini. Pada mulanya para ulama berbeda pendapat tentang hal ini, sebagian berpendapat halal, haram, makruh, bahkan sebagian ada yang menqiyaskan dengan khamer dan dihukumi sepertinya, tetapi setelah jelas bahayanya tidak diragukan lagi bahwa hukumnya adalah haram, para dokter pun sepakat terhadap bahayanya terhadap kesihatan, bahkan menyebabkan banyak penyakit kronis yang berakibat pada kematian. Banyak kasus orang yang meninggal ketika sedang berbincang-bincang atau ketika tidur di atas ranjangnya, membawa beban yang sangat ringan, tiba-tiba jantungnya berhenti berdetak dan akhirnya menemui ajalnya akibat rokok ini.
Banyaknya kasus ini menunjukkan bahwa merokok itu sangat berbahaya dan sesuatu yang membahayakan bagi manusia itu hukumnya haram. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisâ: 4: 29)
Para perokok ini biasanya sulit untuk meninggalkannya, walaupun jika berusaha sekuat tenaga untuk melepaskannya sedikit demi sedikit dan menjaga jarak dengan orang-orang kecanduan ini, maka lama kelamaan akan membenci bau asapnya dan dengan mudah melepaskannya, tetapi masalahnya memerlukan kemahuan yang kuat dan keimanan yang teguh.
Kedua, mencukur jenggot, hukumnya adalah haram, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفُوا اللِّحَى
“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot.”
[Shahih Muslim no. 625]
Tidak sedikit orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan mencukur jenggotnya, kita tidak mengerti apa yang ia dapatkan? sungguh hasil yang ia petik hanyalah akumulasi maksiat yang melemahkan imannya, na'udzubillah. Kerana Ahlu Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa maksiat itu mengurangi keimanan, maka orang yang mencukur jenggotnya telah berbuat maksiat yang mengurangi imannya. Disamping itu merokok tidak menambah semangat dan merusak kesihatan, dan tidak pula menolak satu penyakit pun. Tetapi orang yang kecanduan menghisapnya merasa sulit untuk meninggalkannya, dan memerlukan kesungguhan untuk menunaikan perintah dan menjauhi larangan Allah Ta'ala, sehingga termasuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang menerangkan pahala mereka itu,
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-'Ankabût: 29: 69)
Adapun berjihad melawan orang lain itu terbagi menjadi dua bagian sebagian dengan ilmu dan bayaan (penjelasan) dan sebagian dengan senjata dan fisik.
Pertama, berjihad menghadapi orang-orang yang mengaku muslim tetapi bukan orang muslim, seperti orang-orang munafik, ahli bid'ah dan sebagainya. Kita tidak mungkin melawan mereka ini dengan menggunakan senjata, kerana mereka menampakkan keislaman bersama-sama kita, tetapi kita melawan mereka dengan menggunakan ilmu dan penjelasan.
Allah Ta'ala berfirman,
“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. Al-'Ankabût: 29: 69)
Adapun berjihad melawan orang lain itu terbagi menjadi dua bagian sebagian dengan ilmu dan bayaan (penjelasan) dan sebagian dengan senjata dan fisik.
Pertama, berjihad menghadapi orang-orang yang mengaku muslim tetapi bukan orang muslim, seperti orang-orang munafik, ahli bid'ah dan sebagainya. Kita tidak mungkin melawan mereka ini dengan menggunakan senjata, kerana mereka menampakkan keislaman bersama-sama kita, tetapi kita melawan mereka dengan menggunakan ilmu dan penjelasan.
Allah Ta'ala berfirman,
“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS. At-Taubah: 9: 73)
Dengan demikian, berjihad melawan orang-orang kafir itu dengan memanggul senjata sementara berjihad melawan orang-orang munafik itu menggunakan ilmu dan penjelasan.
Dengan demikian, berjihad melawan orang-orang kafir itu dengan memanggul senjata sementara berjihad melawan orang-orang munafik itu menggunakan ilmu dan penjelasan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengetahui betul, bahwa di antara para sahabatnya terdapat orang-orang munafik, tetapi baginda tidak memperbolehkan seorang pun untuk membunuh mereka, ketika ada seseorang yang ingin membunuh seorang munafik, Rasulullah melarangnya dengan bersabda:
“Agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5444]
Begitu pula para ahli bid'ah yang berlindung di bawah panji-panji Islam, kita tidak boleh memerangi mereka dengan pedang, tetapi dengan ilmu dan argumen yang kuat. Oleh kerana itu wajib bagi generasi muda Islam untuk menguatkan keilmuan, tidak seperti kebanyakan generasi sekarang yang mengkaji ilmu sebatas kulitnya saja, tidak menghujam ke dalam sanubari, menuntut ilmu hanya sekadar mendapatkan ijazah dan gelar. Hakikat ilmu adalah yang menghujam di dalam hati menyatu bersama dirinya, sehingga seseorang yang menguasai suatu disiplin ilmu tidak mendapatkan suatu masalah pun kecuali ia menjelaskannya dengan gamblang sesuai dengan dalil Al-Qur'an, sunnah dan qiyas yang benar. Maka kita harus membekali diri dengan keilmuan yang kuat.
Masyarakat sekarang ini membutuhkan keilmuan yang kuat ini, kerana bid'ah mulai menyelimuti negeri kita terutama setelah era keterbukaan ini, banyak generasi kita yang menuntut ilmu ke negeri lain dan sebaliknya banyak orang yang masuk ke negeri kita dengan membawa pemikiran dan akidah yang tidak benar, sehingga kegelapan bid'ah ini mulai menyelimuti. Hal ini membutuhkan banyak cahaya ilmu yang menerangi lorong-lorong kegelapan agar tidak terperosok ke dalam kegelapan bid'ah yang penuh dengan kemungkaran ini seperti halnya negeri-negeri lain, bahkan sampai ke tataran kufur, na'udzubillah.
Oleh kerana itu diperlukan kesungguhan kita untuk melawan para penebar bid'ah ini dengan ilmu dan argumen yang kuat. Menjelaskan kebatilan yang mereka pegang teguh dengan argumen-argumen yang kuat dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para ulama salafus shalih, para sahabat, tabiin dan para imam yang mendapatkan petunjuk setelah mereka.
“Agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad membunuh sahabatnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5444]
Begitu pula para ahli bid'ah yang berlindung di bawah panji-panji Islam, kita tidak boleh memerangi mereka dengan pedang, tetapi dengan ilmu dan argumen yang kuat. Oleh kerana itu wajib bagi generasi muda Islam untuk menguatkan keilmuan, tidak seperti kebanyakan generasi sekarang yang mengkaji ilmu sebatas kulitnya saja, tidak menghujam ke dalam sanubari, menuntut ilmu hanya sekadar mendapatkan ijazah dan gelar. Hakikat ilmu adalah yang menghujam di dalam hati menyatu bersama dirinya, sehingga seseorang yang menguasai suatu disiplin ilmu tidak mendapatkan suatu masalah pun kecuali ia menjelaskannya dengan gamblang sesuai dengan dalil Al-Qur'an, sunnah dan qiyas yang benar. Maka kita harus membekali diri dengan keilmuan yang kuat.
Masyarakat sekarang ini membutuhkan keilmuan yang kuat ini, kerana bid'ah mulai menyelimuti negeri kita terutama setelah era keterbukaan ini, banyak generasi kita yang menuntut ilmu ke negeri lain dan sebaliknya banyak orang yang masuk ke negeri kita dengan membawa pemikiran dan akidah yang tidak benar, sehingga kegelapan bid'ah ini mulai menyelimuti. Hal ini membutuhkan banyak cahaya ilmu yang menerangi lorong-lorong kegelapan agar tidak terperosok ke dalam kegelapan bid'ah yang penuh dengan kemungkaran ini seperti halnya negeri-negeri lain, bahkan sampai ke tataran kufur, na'udzubillah.
Oleh kerana itu diperlukan kesungguhan kita untuk melawan para penebar bid'ah ini dengan ilmu dan argumen yang kuat. Menjelaskan kebatilan yang mereka pegang teguh dengan argumen-argumen yang kuat dari Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan para ulama salafus shalih, para sahabat, tabiin dan para imam yang mendapatkan petunjuk setelah mereka.
Bentuk lain dari bersungguh-sungguh terhadap orang lain adalah berjihad dengan memanggul senjata untuk melawan musuh yang terang-terangan menampakkan permusuhan terhadap Islam, seperti Yahudi, Nasrani dan lain-lain. Orang-orang Nasrani mengklaim sebagai pengikut Isa Al-Masih, padahal Isa alaihissalam terlepas dari kesesatan mereka ini, seandainya baginda keluar pasti akan memerangi mereka. Sehingga firman Allah Ta'ala,
“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikankah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?”
(QS. Al-Ma' idah: 5: 116)
Apa jawaban Nabi Isa 'alaihissalam?
“Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu, “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.”
“Isa menjawab, “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu, “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu”, dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.”
(QS. Al-Ma' idah: 5: 116-117)
Nabi Isa putra Maryam 'alaihissalam menyampaikan perintah Allah Ta'ala, “Sembahlah Allah! Tuhanku dan Tuhan kalian,” tetapi mereka menyembah Nabi Isa, Maryam dan Allah, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu adalah satu di antara tiga.” Bagaimana bisa diterima klaim mereka ini, bahwa mereka adalah pengikut Nabi Isa padahal baginda berlepas diri di hadapan Allah Ta'ala.
Nabi Isa putra Maryam 'alaihissalam menyampaikan perintah Allah Ta'ala, “Sembahlah Allah! Tuhanku dan Tuhan kalian,” tetapi mereka menyembah Nabi Isa, Maryam dan Allah, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Allah itu adalah satu di antara tiga.” Bagaimana bisa diterima klaim mereka ini, bahwa mereka adalah pengikut Nabi Isa padahal baginda berlepas diri di hadapan Allah Ta'ala.
Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik dan yang lainnya, semuanya adalah musuh kaum muslimin yang harus diperangi sehingga kalimat Allah itu tinggi, tetapi sangat disayangkan kaum muslimin sekarang ini sangat lemah, saling bermusuhan antara satu dengan yang lainnya melebihi kepada musuhnya, oleh kerana itu para musuh mudah menguasai kita dan memperlakukan kita seperti bola di tendang kesana-sini semahunya.
Oleh kerana itu, wajib bagi kita semua kaum muslimin untuk memperhatikan masalah ini dan mempersiapkan kekuatan, kerana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu infakkan di jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dizhalimi (dirugikan)” (QS. Al-Anfâl: 8: 60)
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan Allah dan Rasul-Nya dan mereka yang tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang telah diberikan Kitab, sehingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 9: 29)
“Sehingga mereka membayar jizyah,” yaitu sampai mereka menyerahkan pajak. “Dengan patuh” ada dua penafsiran yaitu; pertama, mereka tunduk kepada kita kerana kekuasaan kita atas mereka, kedua, mereka masing-masing menyerahkannya langsung dengan tangan mereka baik Yahudi ataupun Nasrani, maka sebagian ulama berpendapat, “Kalau mereka mengutus seorang utusan untuk membayarkannya maka tidak boleh diterima, tetapi harus yang bersangkutan datang kepada pemimpin kaum muslimin.”
Mari kita perhatikan ayat ini, bagaimana Allah Ta'ala menginginkan kita dan betapa agungnya kedudukan Islam ini. Kita mewajibkan mereka untuk membayar pajak dan harus mereka secara langsung yang datang membayarnya, walaupun para pembesar mereka harus datang pula dan menyerahkannya kepada pemimpin kaum muslimin langsung sehingga mereka kecil di hadapan kekuatan kaum muslimin. Mereka tidak akan datang dengan bala tenteranya yang kuat dan gagah, tetapi datang dengan hina, kecil dan rendah diri.
Bagaimana kita menjawab sebagian orang yang bertanya, “Benarkah ajaran Islam seperti ini? Bukankah ini merupakan sikap egois?” Kita menjawab, “Egois itu untuk siapa? Apakah kaum muslimin ini ingin mengikuti keinginan mereka yang bertindak sewenang-wenang terhadap semua manusia? Sama sekali tidak, umat Islam adalah kaum yang paling mulia akhlaknya, kalimat Allah yang telah menciptakan mereka ini lebih tinggi, dan tidak akan tercapai kemuliaan itu terkecuali setelah kaum muslimin ini mulia kedudukannya. Tetapi kapankah kaum muslimin ini akan mencapai kemuliannya? Mereka akan mencapainya apabila berpegang teguh dengan ajaran agamanya dengan benar baik lahir mahupun batin, memahami bahwa kemuliaan itu milik Allah, rasul-Nya dan kaum mukminin.” Tetapi jika kaum muslimin masih menghinakan ajaran agamanya, tunduk dan mengekor pada musuh maka selamanya kemuliaan itu tidak akan pernah tercapai. Islam adalah agama yang benar dan tinggi, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Maka janganlah kamu lemah dan mengajak damai, kerana kamulah yang lebih unggul, dan Allah (pun) bersama kamu, dan Dia tidak akan mengurangi segala amalmu.”
(QS. Muhammad: 47: 35)
Apakah yang kalian inginkan? Bagaimana kalian minta damai dengan mereka? Bagaimana kalian merasa lemah? Padahal kalian lebih tinggi dan Allah selalu bersama kalian, tetapi kerana kita telah bergeser dari ajaran agama kita, maka posisi kita terbalik. Para generasi salafus shalih terdahulu seorang muslim yang berjalan di muka bumi merasa lebih berhak mendudukinya, kerana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 105) yaitu merasa dirinya memiliki dunia ini.
Tetapi sekarang kondisi ini berbalik, oleh kerana itu kita selalu memotivasi generasi muda untuk memahami dan berpegang teguh pada ajaran agama ini dengan benar, selalu waspada terhadap musuh-musuh Allah, memahami bahwa musuh itu sama sekali tidak akan berbuat untuk kemaslahatan kaum muslimin, tetapi berbuat untuk kemaslahatan diri mereka sendiri dan kerusakan kaum muslimin dengan berlindung di balik tabir Islam.
Kita memohon kepada-Nya untuk memuliakan kita dengan agama ini, dan memuliakan agama ini dengan kita, menjadikan kita semua termasuk para penyeru dan penolong kebenaran, menyiapkan pemimpin yang shalih untuk umat Islam ini menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hadits 95.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Apakah yang kalian inginkan? Bagaimana kalian minta damai dengan mereka? Bagaimana kalian merasa lemah? Padahal kalian lebih tinggi dan Allah selalu bersama kalian, tetapi kerana kita telah bergeser dari ajaran agama kita, maka posisi kita terbalik. Para generasi salafus shalih terdahulu seorang muslim yang berjalan di muka bumi merasa lebih berhak mendudukinya, kerana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Adz-Dzikr (Lauh Mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 105) yaitu merasa dirinya memiliki dunia ini.
Tetapi sekarang kondisi ini berbalik, oleh kerana itu kita selalu memotivasi generasi muda untuk memahami dan berpegang teguh pada ajaran agama ini dengan benar, selalu waspada terhadap musuh-musuh Allah, memahami bahwa musuh itu sama sekali tidak akan berbuat untuk kemaslahatan kaum muslimin, tetapi berbuat untuk kemaslahatan diri mereka sendiri dan kerusakan kaum muslimin dengan berlindung di balik tabir Islam.
Kita memohon kepada-Nya untuk memuliakan kita dengan agama ini, dan memuliakan agama ini dengan kita, menjadikan kita semua termasuk para penyeru dan penolong kebenaran, menyiapkan pemimpin yang shalih untuk umat Islam ini menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hadits 95.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَالَ: مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ. وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِي بِشْيءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ: وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّه، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنْيِ أَعْطَيْتَه، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيْذَنَّه » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya. Tidak ada hamba-Ku yang mendekati diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik kecuali dengan apa yang Aku wajibkan kepadanya, hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya, dan jika Aku mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah, jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkannya dan jika ia berlindung kepada-Ku, pasti Aku akan melindunginya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6502]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan, riwayat ini dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta'ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya,” “memusuhi,” artinya adalah menjauhi, lawan kata menolong.
Yang dimaksud dengan wali seperti dijelaskan dalam firman Allah Ta'ala,
“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.”
(QS. Yûnus: 10: 62-63)
Mereka itu adalah para wali Allah, yaitu “Orang-orang yang beriman,” yaitu hakikat keimanan yang menghujam dalam hati dengan menunaikan konsekuensi keimananan. “dan mereka selalu bertakwa,” menunaikan amal shalih dengan anggota badannya sebaik-baiknya, menjauhi semua larangan-Nya, seperti meninggalkan kewajiban atau melanggar yang haram, mereka memiliki keshalihan batin dengan keimanannya dan keshalihan lahir dengan ketakwaannya, mereka itulah yang berhak mendapatkan predikat Allah.
Wali Allah ini bukan orang yang mengklaim bahwa dirinya wali sebagaimana yang dilakukan para dajjal yang mengklaim di hadapan orang-orang awam, padahal hakikatnya adalah musuh Allah, na'udzubillah. Di berbagai negeri Islam banyak orang berbuat demikian, membohongi orang-orang awam, mengatakan bahwa dirinya adalah wali Allah dengan melakukan ritual-ritual ibadah yang menipu, mereka melakukan hal itu dengan tujuan materi untuk mendapatkan harta dan kedudukan agar orang-orang menghormatinya.
Kita memiliki definisi yang jelas tentang wali ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala, “Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” Orang yang memiliki kriteria inilah yang disebut dengan wali Allah.
Setiap orang yang memusuhi wali Allah berhak mendapatkan peringatan firman-Nya, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya.” Yaitu terang-terangan Aku umumkan perang kepadanya, dengan demikian orang yang memusuhi mereka ini sama halnya dengan memusuhi Allah Azza wa Jalla -kita mohon keselamatan- dan barangsiapa yang memusuhi mereka, maka ia terhina tiada kekuatan baginya.
Mereka itu adalah para wali Allah, yaitu “Orang-orang yang beriman,” yaitu hakikat keimanan yang menghujam dalam hati dengan menunaikan konsekuensi keimananan. “dan mereka selalu bertakwa,” menunaikan amal shalih dengan anggota badannya sebaik-baiknya, menjauhi semua larangan-Nya, seperti meninggalkan kewajiban atau melanggar yang haram, mereka memiliki keshalihan batin dengan keimanannya dan keshalihan lahir dengan ketakwaannya, mereka itulah yang berhak mendapatkan predikat Allah.
Wali Allah ini bukan orang yang mengklaim bahwa dirinya wali sebagaimana yang dilakukan para dajjal yang mengklaim di hadapan orang-orang awam, padahal hakikatnya adalah musuh Allah, na'udzubillah. Di berbagai negeri Islam banyak orang berbuat demikian, membohongi orang-orang awam, mengatakan bahwa dirinya adalah wali Allah dengan melakukan ritual-ritual ibadah yang menipu, mereka melakukan hal itu dengan tujuan materi untuk mendapatkan harta dan kedudukan agar orang-orang menghormatinya.
Kita memiliki definisi yang jelas tentang wali ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala, “Orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” Orang yang memiliki kriteria inilah yang disebut dengan wali Allah.
Setiap orang yang memusuhi wali Allah berhak mendapatkan peringatan firman-Nya, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku maka Aku nyatakan perang kepadanya.” Yaitu terang-terangan Aku umumkan perang kepadanya, dengan demikian orang yang memusuhi mereka ini sama halnya dengan memusuhi Allah Azza wa Jalla -kita mohon keselamatan- dan barangsiapa yang memusuhi mereka, maka ia terhina tiada kekuatan baginya.
Allah mewajibkan setiap hamba untuk melakukan amalan wajib sebagai bukti bahwa Allah lebih mencintai amalan ini, kerana Allah mencintainya maka mewajibkannya. Adapun amalan sunnah seorang hamba bebas memilih melakukannya untuk menambah fadhilah atau tidak. Jelas bahwa amalan wajib itu lebih dicintai Allah daripada yang sunnah, tetapi setan selalu ingin menggelincirkan manusia, misalnya ketika melakukan shalat malam sangat khusyu' tidak bergerak, hatinya lurus tidak menegok kanan atau kiri, tetapi ketika melakukan shalat fardu, hatinya sangat sulit untuk khusyu' banyak bergerak, terlintas godaan silih berganti. Inilah godaan setan yang menghiasi amalan sunnah terlebih amalan wajib seorang hamba. Maka perbaikilah amalan wajib kita kerana lebih dicintai Allah daripada amalan sunnah.
“Hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” Ibadah sunnah itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan penyempurnaan ibadah wajib. Jika seseorang hamba memperbanyak perbuatan ini dengan tetap melakukan ibadah wajibnya dengan baik maka ia berhak meraih kecintaan Allah, sehingga Allah Ta'ala mencintainya, dan jika Allah Ta'ala telah mencintainya maka seperti firman-Nya, “Maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah,” yaitu Allah selalu mengarahkan empat anggota tubuhnya ini.
Pendengarannya; Allah selalu mengarahkan pendengarannya, sehingga tidak mendengar sesuatupun kecuali sesuatu kebaikan yang diridhai-Nya, menghindarkan diri dari mendengar hal-hal yang mengundang murka-Nya, ketika mendengar hal yang sia-sia, cepat-cepat ia berpaling darinya dan mengatakan, “Bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian.”
Penglihatannya; Allah selalu mengarahkannya sehingga tidak melihat kecuali yang dicintai Allah, tidak pernah memandang yang diharamkan Allah.
Tangannya; Allah selalu melindungi tangannya sehingga tidak melakukan sesuatu kecuali yang diridhai-Nya.
Kakinya; begitu juga kakinya Allah mengarahkannya sehingga tidak melangkah kecuali pada kebaikan yang diridhai-Nya.
Inilah makna firman-Nya, “Maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah,” yaitu Allah Ta'ala selalu mengarahkan dan melindungi hamba dalam semua anggota tubuhnya, pendengaran, penglihatan, tangan setiap kali memegang dan kaki setiap melangkah. Jika Allah mengarahkan semua anggota tubuhnya ini, maka ia akan selalu menjaga waktunya, dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun waktunya.
Inilah makna firman-Nya, “Maka Aku menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, penglihatannya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, kakinya yang ia pergunakan untuk melangkah,” yaitu Allah Ta'ala selalu mengarahkan dan melindungi hamba dalam semua anggota tubuhnya, pendengaran, penglihatan, tangan setiap kali memegang dan kaki setiap melangkah. Jika Allah mengarahkan semua anggota tubuhnya ini, maka ia akan selalu menjaga waktunya, dan tidak menyia-nyiakan sedikit pun waktunya.
Maknanya bukan seperti yang difahami oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa Allah menyatu dengan pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya, -Allah jauh dari sifat itu- hal ini tidak mungkin. Anggota tubuh makhluk ini tidak mungkin bersatu bersama Sang Pencipta, kerana Allah berfirman dalam hadits ini, “Jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkannya dan jika ia berlindung kepada-Ku pasti Aku melindunginya.” Dibedakan antara yang memohon dan Dzat yang dimohon, yang meminta perlindungan dan Dzat yang Melindungi, keduanya dua kutub yang berbeda.
Firman Allah dalam hadits Qudsi ini, “Jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkannya,” hal ini sebagai dalil bahwa wali Allah yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah wajib dan sunnah jika ia memohon kepada-Nya pasti akan dikabulkan, hadits yang mutlaq ini di jelaskan oleh hadits-hadits yang lain yang menerangkan bahwa Allah selalu mengabulkan permohonan setiap orang yang memohon selama tidak memohon pada hal yang haram atau memutuskan silaturahim, jika memohon perbuatan dosa Allah tidak akan mengabulkannya. Tetapi wali Allah tidak akan memohon hal yang diharamkan Allah, kerana ia seorang mukmin yang bertakwa dan seorang mukmin yang bertakwa tidak akan memohon perbuatan dosa atau memutuskan silaturrahim.
Dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran:
Firman Allah dalam hadits Qudsi ini, “Jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku akan mengabulkannya,” hal ini sebagai dalil bahwa wali Allah yang mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah wajib dan sunnah jika ia memohon kepada-Nya pasti akan dikabulkan, hadits yang mutlaq ini di jelaskan oleh hadits-hadits yang lain yang menerangkan bahwa Allah selalu mengabulkan permohonan setiap orang yang memohon selama tidak memohon pada hal yang haram atau memutuskan silaturahim, jika memohon perbuatan dosa Allah tidak akan mengabulkannya. Tetapi wali Allah tidak akan memohon hal yang diharamkan Allah, kerana ia seorang mukmin yang bertakwa dan seorang mukmin yang bertakwa tidak akan memohon perbuatan dosa atau memutuskan silaturrahim.
“Dan jika ia berlindung kepada-Ku pasti Aku melindunginya.” Yaitu jika ia berlindung dan menyerahkan urusannya kepada-Ku dari kejahatan orang-orang yang jahat pasti Aku akan melindungi, mengabulkan permohonannya dan menghindarkannya dari semua yang ia khawatirkan.
Dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran:
Pertama, kebenaran perwalian Allah Ta'ala terhadap hamba, perwalian Allah ini terbagi menjadi dua macam: umum, yaitu kekuasaan-Nya terhadap semua manusia, berbuat sekehendak-Nya, semua yang mengurus dan memelihara semua manusia adalah Allah Ta'ala. Sebagaimanana firman Allah Ta'ala,
“Sehingga apabila kematian datang salah seorang di antara kamu malaikat-malaikat Kami mencabut nyawanya dan mereka tidak melalaikan tugasnya. Kemudian mereka (hamba-hamba Allah) dikembalikan kepada Allah, penguasa mereka sebenarnya.”
(QS. Al-An'âm: 6: 61-62)
Ini yang disebut dengan perwalian Allah yang mencakup semua makhluk.
Adapun perwalian Allah secara khusus seperti digambarkan dalam firman Allah Ta'ala,
“Allah perlindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, perlindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”
Adapun perwalian Allah secara khusus seperti digambarkan dalam firman Allah Ta'ala,
“Allah perlindung orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, perlindung-pelindungnya adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka adalah penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.”
(Al-Baqarah: 2: 257)
Perwalian Allah secara umum tidak berkaitan dengan usaha manusia, Allah berbuat sekehendak-Nya baik senang atau tidak, tetapi perwalian Allah secara khusus adalah tergantung dengan usaha manusia, ,yaitu yang berusaha mendapat perwalian-Nya baginya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (QS. Yûnus: 10: 63)
Di antara pelajaran dari hadits ini adalah keutamaan para wali Allah. Yaitu Allah membenci orang yang membenci mereka, bahkan memerangi mereka.
Di antara pelajarannya juga bahwa ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, haji, jihad, menuntut ilmu dan sebagainya itu lebih utama daripada ibadah sunnah. Kerana Allah berfirman, “Tidak ada hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik kecuali dengan apa yang Aku wajibkan kepadanya.”
Dan pelajaran lain juga adalah bahwa setiap hamba yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah dan disertai dengan ibadah wajib, maka ia akan mendapatkan perlindungan Allah dalam segala urusannya, sebagaimana firman Allah dalam hadits qudsi ini, “Hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.”
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa setiap orang yang ingin dicintai Allah itu sangatlah mudah bagi yang dimudahkan Allah, yaitu dengan menunaikan semua ibadah wajib dan memperbanyakkan amalan sunnah, dengan demikian akan mendapatkan kecintaan dan pertolongan Allah.
Di antara pelajaran lain adalah kebenaran anugerah Allah dan mengabulkan permohonan hamba-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi ini, “jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku melindunginya.” Penulis menyebutkannya dalam bab ini kerana jiwa manusia itu membutuhkan kesungguhan untuk menunaikan amalan-amalan wajib apalagi ditambah dengan amalan sunnah. Kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk selalu berdzikir, bersyukur dan menunaikan ibadah kepada-Nya dengan baik.
Perwalian Allah secara umum tidak berkaitan dengan usaha manusia, Allah berbuat sekehendak-Nya baik senang atau tidak, tetapi perwalian Allah secara khusus adalah tergantung dengan usaha manusia, ,yaitu yang berusaha mendapat perwalian-Nya baginya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” (QS. Yûnus: 10: 63)
Di antara pelajaran dari hadits ini adalah keutamaan para wali Allah. Yaitu Allah membenci orang yang membenci mereka, bahkan memerangi mereka.
Di antara pelajarannya juga bahwa ibadah wajib seperti shalat, puasa, zakat, haji, jihad, menuntut ilmu dan sebagainya itu lebih utama daripada ibadah sunnah. Kerana Allah berfirman, “Tidak ada hamba-Ku yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik kecuali dengan apa yang Aku wajibkan kepadanya.”
Pelajaran lain juga adalah kebenaran kecintaan Allah Ta'ala terhadap hamba-Nya. Allah Ta'ala mencintai sesuatu amalan hamba melebihi amalan lain sebagaimana mencintai hamba melebihi hamba yang lain. Allah mencintai ketaatan dan para hamba yang menunaikannya, kecintaan-Nya ini berbeda-beda sesuai dengan kebijaksanaan-Nya.
Dan pelajaran lain juga adalah bahwa setiap hamba yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah sunnah dan disertai dengan ibadah wajib, maka ia akan mendapatkan perlindungan Allah dalam segala urusannya, sebagaimana firman Allah dalam hadits qudsi ini, “Hamba-Ku masih tetap mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.”
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa setiap orang yang ingin dicintai Allah itu sangatlah mudah bagi yang dimudahkan Allah, yaitu dengan menunaikan semua ibadah wajib dan memperbanyakkan amalan sunnah, dengan demikian akan mendapatkan kecintaan dan pertolongan Allah.
Di antara pelajaran lain adalah kebenaran anugerah Allah dan mengabulkan permohonan hamba-Nya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits Qudsi ini, “jika ia memohon kepada-Ku pasti Aku melindunginya.” Penulis menyebutkannya dalam bab ini kerana jiwa manusia itu membutuhkan kesungguhan untuk menunaikan amalan-amalan wajib apalagi ditambah dengan amalan sunnah. Kita memohon kepada Allah agar menolong kita untuk selalu berdzikir, bersyukur dan menunaikan ibadah kepada-Nya dengan baik.
Hadits 96.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِيْهِ عَنْ رَبِّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: « إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَيَّ شِبْرًا تَقرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَّاعًا، وإِذَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا، وَإِذَا أَتَانِي يَمْشِي أَتيْتُهُ هَرْوَلَةً » رَوَاهُ الْبُخُارِيُّ.
[Shahih Al-Bukhari no. 7536 dan Muslim no. 2675]
Hadits 97.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ فِيْهِمَا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَاْلَفَرَاغُ » رَوَاهُ مَسْلِمٌ.
“Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu kerananya, yaitu kesihatan dan kesempatan (waktu terluang).”
[Shahih Al-Bukhari no. 6412]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abass radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu kerananya, yaitu kesihatan dan kesempatan (waktu terluang).” Dua jenis nikmat ini kebanyakan manusia tidak bisa memanfaatkannya, yaitu kesihatan dan kesempatan. Seseorang yang fisiknya sihat mampu menunaikan perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, kerana fisiknya sihat, lapang dada, dan hatinya tenang, begitu pula kesempatan jika ia memiliki sesuatu yang mencukupinya maka ia disebut memiliki kesempatan.
“Hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, “Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 99-100)
“Sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munâfiqûn: 63: 10-11)
“Pada hari ini Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa kerana lapar bukan kerana ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 3)
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti adzab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrâhîm: 14: 7)
Hadits 98.
[Shahih Al-Bukhari no. 6412]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abass radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada dua nikmat yang banyak manusia tertipu kerananya, yaitu kesihatan dan kesempatan (waktu terluang).” Dua jenis nikmat ini kebanyakan manusia tidak bisa memanfaatkannya, yaitu kesihatan dan kesempatan. Seseorang yang fisiknya sihat mampu menunaikan perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, kerana fisiknya sihat, lapang dada, dan hatinya tenang, begitu pula kesempatan jika ia memiliki sesuatu yang mencukupinya maka ia disebut memiliki kesempatan.
Seseorang yang sihat dan banyak memiliki kesihatan biasanya tidak memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya, kerana kebanyakan waktu kita ini sia-sia begitu saja, padahal kita sihat serta memiliki kesempatan. Kita tidak akan menyedari kerugian ini di dunia ini, tetapi akan merasakannya ketika dikepung oleh ajal menghadapi hari akhirat.
Dalil hal ini adalah firman Allah Ta'ala,
“Sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang shalih.” Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munâfiqûn: 63: 10-11)
Tetapi realitasnya detik-detik itu berlalu begitu saja tidak bermanfaat untuk diri sendiri ataupun orang lain, kita tidak akan menyesal kecuali setelah datang ajal, berandai-andai untuk diberi kesempatan satu detik saja untuk bertaubat, tetapi hanya hayalan belaka.
Terkadang seseorang tidak kehilangan nikmat ini atau bahkan keduanya kerana kematian, akan tetapi ia kehilangan keduanya sebelum meninggal, misalnya tertimpa penyakit yang menyebabkannya tidak menunaikan kewajiban, terkadang dadanya tidak terbuka untuk menunaikannya, atau kerana kesibukan mencari nafkah untuk keluarganya sehingga tidak menunaikan banyak kewajiban.
Oleh kerana itu, hendaknya setiap orang yang berakal memanfaatkan waktu sihat dan waktu terluang ini untuk menunaikan ketaatan kepada Allah Ta'ala semampunya. Jika ia mampu membaca Al-Qu'ran hendaknya memperbanyak membacanya, kalau tidak mampu bisa dengan memperbanyak dzikir, jika tidak mungkin bisa dengan amar makruf dan nahi mungkar, atau bahkan dengan menolong saudaranya semampunya, pintu kebaikan ini sangat terbuka sangat lebar di depannya, jangan sampai kesempatan itu hilang begitu saja. Orang yang cerdas adalah yang bisa menggunakan waktunya, waktu sihat, dan waktu terluang yang dimilikinya.
Hal ini sebagai bukti bahwa nikmat Allah itu juga berbeda-beda, sebagian lebih besar dari yang lain. Nikmat terbesar bagi seorang hamba adalah nikmat Islam, kerana majoritas manusia itu tersesat jalan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
Jika seseorang menyadari bahwa Allah telah menganugerahkan baginya nikmat yang terbesar ini, melapangkan dadanya untuk menerima Islam maka itulah nikmat yang terbesar.
Kedua adalah nikmat akal, seseorang yang fikirannya terganggu tidak bisa berbuat apa-apa, lupa terhadap keluarga bahkan dirinya. Segala puji bagi Allah atas nikmat yang agung ini.
Ketiga adalah nikmat keamanan di suatu negeri, nikmat ini sangat agung, misalnya nenek moyang kita terdahulu yang mengalami ketakutan dan ketidakstabilan di negeri ini, seperti yang kita dengar mereka setiap kali ingin shalat fajar harus membawa senjatanya, kerana takut kalau di hadang oleh orang yang membencinya. Nikmat keamanan ini tidak ada yang menyamai keagungannya kecuali nikmat Islam dan akal sihat kita.
Keempat adalah kemudahan kehidupan khususnya di negeri ini rezeki datang berbagai penjuru, sungguh ini adalah nikmat yang besar -segala puji hanya milik-Nya-. Setiap rumah penuh dengan rezeki, di atas meja makan terhidang berbagai macam hidangan, ini adalah nikmat besar yang harus kita syukuri dan meningkatkan ketaatan kita sehingga Allah menambah nikmat ini, kerana Allah Ta'ala berfirman,
Hadits 98.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتَّى تَتَفَطَّرَ قَدَمَاهُ، فَقُلْتُ لَهُ، لِمَ تَصْنَعُ هَذَا يَا رَسُوْلَ اللهِ، وقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ؟ قَالَ: « أَفَلَا أُحِبُّ أَنْ أَكُوْنَ عَبْدًا شَكُوْرًا ؟ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. هَذَا لْفْظُ الْبُخَارِى.
وَنَحْوُهُ فِي الصَّحِيْحَيِْن مِنْ رِوَايَةِ المُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ.
وَنَحْوُهُ فِي الصَّحِيْحَيِْن مِنْ رِوَايَةِ المُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ.
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat malam sehingga kedua kakinya bengkak, kemudian aku bertanya, “Wahai Rasulullah mengapa engkau berbuat demikian, sedangkan Allah telah mengampunkan semua dosa-dosamu, sama ada yang telah lepas mahupun yang akan datang?”
Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam menjawab, “Sepantasnyalah aku menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur?”
[Shahih Al-Bukhari no. 4837. Muslim no. 2820]
Seperti riwayat ini dalam Sahih Al-Bukhari dan Muslim dari riwayat Al-Mughirah bin Syu'bah.
[Shahih Al-Bukhari no. 4836 dan Muslim no. 2814]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha ini bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat malam sampai kedua kakinya bengkak, kemudian dia bertanya kepada baginda, “Wahai Rasulullah mengapa engkau berbuat demikian, sedangkan Allah telah mengampuni semua dosamu baik yang telah lampau mahupun yang akan datang?” Rasulullah menjawab, “Tidakkah sepantasnya jika aku menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur?”
Aisyah radhiyallahu 'anha, salah seorang istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling mengetahui kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rumahnya, begitu pula para istrinya yang lain, mereka itulah orang paling mengetahui apa yang diperbuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rumahnya.
Oleh kerana itu generasi awal para sahabat mengutus istri mereka untuk menanyakan kepada istri Rasulullah tentang ibadah apa yang Rasulullah lakukan di dalam rumah, di antaranya adalah selalu menunaikan ibadah shalat tahajjud. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau pertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu.” (QS. Al-Muzzammil: 73: 20)
Suatu ketika para sahabat shalat bersamanya tetapi mereka merasakan letih, sebagaimana pengalaman Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, “Pada suatu malam aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berdiri sangat lama sehingga aku berniat buruk, kemudian para sahabat lain bertanya, “Apa yang kamu niatkan wahai Ibnu Mas'ud?” Kemudian ia menjawab: “Aku ingin duduk dan meninggalkannya.”
Lima juz seperempat dengan selalu memohon setiap kali melewati ayat-ayat rahmat, berlindung setiap kali melewati ayat-ayat peringatan, dan bertasbih setiap kali melewati ayat-ayat tasbih
Betapa lamanya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Seperti inilah Rasulullah melalui malam-malamnya, dan jika Rasulullah membaca ayat yang panjang dalam rakaat maka Rasulullah juga memanjangkan sujud, dengan demikian Rasulullah lama dalam membaca ayat ruku' dan sujud.
Hal ini juga sebagai dalil bahwa semua dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah diampuni dosa-dosanya baik yang lampau mahupun yang akan datang, maka Rasulullah ketika keluar dari dunia ini telah bersih dari noda dosa.
Terkadang, Allah Ta'ala juga mengkhususkan sebagian kaum dengan mengampuni dosa-dosanya kerana telah mengamalkan suatu amal shalih seperti Ahli Badar yang jumlahnya tiga ratus lebih, di antaranya adalah Hatib bin Baltaah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar radhiyallahu anhu dalam kisahnya yang masyhur, “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Allah telah mengkhususkan Ahli Badar dengan berfirman, “Berbuat sekehendak kalian kerana dosa-dosa kalian telah diampuni.”.
[Shahih Al-Bukhari no. 2785, 2851, 4511, 5789 dan Muslim no. 4550]
Inilah keistimewaan para sahabat yang mengikuti perang Badar, Allah Ta'ala telah mengampuni dosa-dosanya.
Sahabat Hatib radhiyallahu anhu ini telah berbuat kesalahan besar, yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menyerbu orang-orang Quraisy kerana telah mengingkari perjanjian Hudaibiyyah, Hatib mengirim surat untuk penduduk Mekah yang menginformasikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangi mereka, kemudian baginda mendapat wahyu dan mengutus Ali bin Abi Thalib bersama seseorang untuk menyusul seorang wanita yang membawa surat Hatib ini, kemudian mereka mendapatkannya di sebuah taman Khakh -dekat dengan jalan menuju Mekah- ketika mendapatkannya ia ditanya, “Keluarkan surat yang akan anda kirimkan untuk penduduk Mekah?”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Allah telah mengkhususkan Ahli Badar dengan berfirman, “Berbuatlah sekehendak kalian kerana dosa-dosa kalian telah diampuni.”
Hadits ini sebagai dalil bahwa di antara keistimewaan Rasulullah adalah bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda baik yang telah lampau mahupun yang akan datang. Hal ini bisa terjadi pada sebagian sahabat seperti halnya Ahli Badar, sebagaimana ucapan sebagian ulama, “Ketahuilah bahwa di antara keistimewaan Rasulullah adalah bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa Rasulullah baik yang telah lampau mahupun yang akan datang.” Dengan demikian hadits yang menyebutkan seseorang yang melakukan sesuatu amalan akan diampuni dosanya baik yang telah lampau dan yang akan datang adalah hadits dhaif, kerana hal ini termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun suatu amalan yang mendapatkan janji, “Allah mengampuni dosanya yang telah lampau,” banyak, tetapi “dosa yang akan datang” hanya dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
Semoga kita termasuk penghuni surga-Nya ini.
Hadits 99.
Penjelasan.
“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 97: 3)
Maka Rasulullah menghidupkan malam-malam tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang shalat pada malam Lailatul Qadar dengan dasar iman dan mengharapkan pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4/217. Muslim no. 759]
Kemudian penulis menyebutkan perkataan, “Mengencang ikat pinggangnya,” ungkapan ini merupakan kiasan, yang artinya meninggalkan istri-istrinya kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam i'tikaf di dalam masjid, sementara syarat i'tikaf tidak boleh berhubung badan dengan istri, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beritikaf dalam masjid.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 187)
Dan sebagian ada yang mengartikan sungguh-sungguh dan menyingsingkan lengan bajunya dalam beribadah. Kedua makna ini tidak salah, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhubung badan dengan istri-istrinya selama baginda beri'tikaf di dalam masjid dan juga bersungguh-sungguh dalam beribadah. Inilah bentuk dari kesungguhan, setiap hamba harus berusaha sekuat tenaga untuk memanfaatkan detik-detiknya yang berharga untuk menunaikan ketaatan kepada Allah Ta'ala.
Hadits 100.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6487 Muslim no. 2823]
Dalam riwayat Muslim disebutkan lafadz “huffat” sebagai ganti dari lafadz “hujibat” dan keduanya memiliki makna yang sama (ditutupi). Maksudnya, di antara seorang hamba dengan tempat itu (surga atau neraka) ada hijab (penghalang), jika hamba itu mengerjakannya, niscaya dia memasukinya.
Penjelasan.
Maka dari itu tidak aneh jika terdapat banyak orang yang berat menunaikan shalat, terlebih pada musim dingin atau panas, ketika letih, sedang enak tidur di kasur yang empuk, shalat terasa berat, tetapi jika mampu menembus benteng yang tebal ini akan menghantarkannya masuk surga.
Begitu pula hawa nafsu manusia itu selalu mengajak pada perbuatan haram, kerana hawa nafsu manusia sangat mencintainya, tetapi jika ia mampu mengikat dan mengekangnya, itulah yang menghantarkannya masuk surga, kerana surga itu diliputi dengan berbagai macam perbuatan yang tidak menyenangkan. Begitu pula jihad di jalan Allah, sangat dibenci oleh hawa nafsu manusia. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 2: 216)
Ibadah ini sangat dibenci oleh hawa nafsu, jika jiwa seseorang mampu menembus tabir ini akan menghantarkannya menuju ke surga, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki, mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang beriman.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 169-171)
Daripada Abu Abdullah Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhuma dia berkata,
1. Tujuan utama penulis menyebutkan hadits ini adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam menunaikan ibadah, kerana baginda mengamalkan amalan yang berat ini hanya untuk meraih ridha Allah. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman dalam menggambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,
“Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.”
(QS. Al-Fath: 48: 29)
“Bacalah Az-Zahrawain (dua bunga yang indah) yaitu surat Al-Baqarah dan Ali Imran, sungguh keduanya akan datang pada hari Kiamat seolah dua awan atau dua kelompok burung pada musim panas yang menaungi orang yang membacanya.”
[Shahih Muslim no. 1337]
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Pada suatu malam, aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda berdiri sangat lama sehingga aku berniat untuk melakukan suatu keburukan.”
Kemudian ditanyakan: “Apa yang ingin kamu lakukan?”
Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: “Aku ingin duduk dan meninggalkan baginda (shalat sendirian).”
[Shahih Al-Bukhari no. 1135. Muslim no. 773]
Penjelasan.
“Ada tiga hal yang mengikuti orang yang meninggal: keluarga, harta dan amalnya, kemudian yang dua kembali (pulang bersama para penghantar jenazah) dan hanya satu yang bersamanya; keluarga dan hartanya kembali dan yang tinggal (tetap menyertainya) adalah amalnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6514. Muslim no. 2960]
Penjelasan.
“Dan hartanya mengikutinya,” para hamba sahaya ikut mengantarkannya, misalnya seorang yang kaya yang memiliki banyak hamba sahaya, “Dan amalnya juga mengikutinya,” tetapi yang dua meninggalkannya hanya satu yang ikut menemaninya yaitu amalnya, semoga Allah menunjuki kita untuk beramal shalih yang akan menemani kita semua, hanya amal shalihnya sajalah yang setia menemaninya hingga hari Kiamat.
Hadits ini terdapat dalil bahwa semua kehidupan dunia ini akan kembali meninggalkannya tidak ada satupun yang bersamanya di kubur. Harta dan anak adalah perhiasan dunia yang akan meninggalkannya, siapakah yang akan menemaninya?, hanya satu yaitu amalnya, maka dari itu wahai saudaraku hendaknya kita memprioritaskan sahabat yang akan menemani kita hingga hari kiamat, bersungguh-sungguh untuk menunaikan amal shalih yang akan setia menemani kita ketika kita ditinggalkan oleh keluarga dan anak-anak yang kita cintai.
Hubungan hadits ini dengan bab ini sangat jelas, kerana beramal shalih itu memerlukan kesungguhan, maka hendaknya setiap orang bersungguh-sungguh untuk beramal shalih yang akan tetap bersama menemaninya hingga Kiamat kelak, semoga kita mendapatkan husnul khatimah, mendapatkan pertolongan-Nya, sungguh Dialah Yang Maha Mulia.
Hadits 105.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Penjelasan.
Penjelasan.
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Mintalah sesuatu kepadaku!” untuk memberi imbalan atas kebaikannya, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia termulia, baginda pernah bersabda,
“Barangsiapa yang telah berbuat baik kepadamu, maka berilah dia imbalan.”
[Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/68), Ibnu Hibban no. 2408]
Inilah yang menjadi poin tema ini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu dengan banyak bersujud,” sedang banyak sujud itu memerlukan banyak ruku', banyak ruku' memerlukan banyak berdiri, kerana setiap rakaat shalat terdapat satu ruku' dan dua sujud, jika banyak sujud maka banyak ruku' dan berdiri.
Dalam hadits ini disebutkan banyak sujud bukan yang lain, kerana sujud bagian dari shalat yang paling mulia dan seorang hamba itu paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika sujud, seorang yang shalat sangat dekat dengan Tuhannya baik ketika berdiri, ruku' ataupun sujud, tetapi yang paling dekat adalah ketika sujud.
Hal ini sebagai dalil keutamaan sujud, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang masalah mana yang lebih afdal, memperpanjangkan berdiri dalam shalat atau ruku' dan sujud?
Sebagian berpendapat bahwa yang lebih afdal adalah memperpanjangkan berdiri dan sebagian yang lebih utama memperpanjangkan sujud dan ruku'. Tetapi yang lebih tepat adalah proporsional, tentunya berdiri lebih panjang daripada ruku' dan sujudnya, tetapi jika ingin memperpanjangkan berdiri maka hendaknya diiringi dengan memperpanjangkan ruku' dan sujud, sebaliknya jika ingin memperpendekkan berdiri hendaknya ruku' dan sujud juga tidak panjang.
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa memperbanyakkan shalat itu baik betapa pun banyaknya, terkecuali pada waktu-waktu yang terlarang, yaitu dari sejak terbit matahari hingga matahari setinggi tombak dan ketika matahari tepat berada diatas kita sehingga tergelincir, dan setelah shalat ashar hingga maghrib, tiga waktu ini seseorang dilarang untuk menunaikan shalat sunnah, kecuali ada suatu sebab, seperti tahiyyatul masjid, shalat setelah berwudhu dan sebagainya.
Hadits ini juga terdapat dalil diperbolehkannya meminta bantuan kepada seorang yang merdeka, hal ini bukan termasuk perbuatan yang aib, bahkan kalau seandainya anda berkata kepada pembantu, “Tolong ambilkan sesuatu,” atau meminta kepada tuan rumah ketika kita bertamu, “Tolong saya minta air atau kopi,” kerana hal ini bukan termasuk permintaan yang dilarang, tetapi termasuk adab kebiasaan bertamu.
Juga sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjamin seseorang masuk surga. Oleh kerana itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak bisa mengabulkan permintaan orang ini, tetapi hanya bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.” Jika ia menunaikan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini yaitu memperbanyakkan sujud maka ia akan menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga.
Hadits 107.
Penjelasan.
Penjelasan.
Dengan demikian silaturrahmi adalah salah satu sebab dipanjangkan umur seseorang, jika orang yang terbaik adalah yang panjang usia dan baik amalnya, maka hendaknya setiap orang selalu berdoa kepada Allah untuk memanjangkan usianya dan membimbingnya agar meraih predikat manusia yang terbaik ini.
Hadits ini sebagai dalil bahwa hanya sebatas panjang usia saja bukan jaminan terbaik tanpa amal shalih yang diperbuatnya, justru akan menjerumuskannya ke dalam keburukan yang sangat berbahaya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu mengira, bahwa tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat adzab yang menghinakan.” (QS Âli 'Imrân: 3: 178)
Kerana orang-orang kafir itu sengaja dilimpah rezeki, kesihatan, panjang usia, anak dan istri mereka bukan untuk menambah kebaikan bagi mereka tetapi justru menambah keburukan, na'udzubillah.
Oleh kerana itu, sebagian ulama tidak ingin didoakan panjang usia kecuali dengan ditambahkan, “Semoga Allah memanjangkan usiamu dalam ketaatan kepada-Nya.” Kerana panjang usia itu bisa jadi keburukan baginya. Semoga kita semua termasuk yang panjang usia dan baik amalnya, mendapatkan husnul khatimah. Sungguh Dialah Maha Mulia.
Hadits 109.
Daripada Anas radhiyallahu anhu ia berkata, “Pamanku Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu, tidak ikut serta pada perang Badar, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah aku tidak bisa ikut serta pada awal peperangan melawan orang-orang musyrik. Seandainya Allah mentakdirkanku untuk bisa mengikuti peperangan melawan orang-orang musyrik niscaya Allah benar-benar akan memperlihatkan apa yang aku perbuat, dan ketika perang Uhud kaum muslimin banyak yang melarikan diri, dia berkata, “Ya Allah, aku memohon ampun atas apa yang dilakukan teman-temanku, dan aku berlepas diri terhadap perbuatan orang-orang musyrik.”
Kemudian ia maju dan bertemu dengan Sa'ad bin Mu'adz ia berkata, “Wahai Sa'ad bin Mu'adz, demi Rabb Ka'bah, sungguh aku mencium aroma surga dari dekat Uhud.”
Kemudian Sa'ad berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sepertinya.”
Anas berkata, “Setelah perang usai aku menemukan pada tubuhnya delapan puluh lebih luka tikaman pedang, atau tikaman tombak, atau tusukan anak panah, kami menemukannya telah meninggal dan dicincang oleh orang-orang musyrik sehingga tidak ada satupun orang yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya dengan mengamati jari-jemarinya.”
Kemudian Anas berkata lagi, “Kami yakin bahwa ayat ini turun mengenainya.”
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 23)
[Shahih Al-Bukhari no. 2805. Muslim no. 1903]
Penjelasan.
Seperti inilah kewajiban seorang mukmin ketika sampai kepadanya sesuatu yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia bersegera menunaikannya, baik yang bersangkutan dengan kewajiban mahupun larangan.
Demikian juga gambaran para sahabat setelah turun ayat perintah untuk bersedekah, mereka memanggul harta sedekah mereka, masing-masing menyedekahkan semampunya dan membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada yang banyak dan ada yang sedikit, orang-orang munafik mengomentari setiap sahabat yang membawa harta banyak, “Orang ini sedekah kerana riya bukan kerana Allah,” dan jika ada seseorang yang sedekah sedikit, mereka berkata, “Allah tidak memerlukan sedekah sedikit ini,” ada yang membawa sedekah satu gantang, “Allah tidak memerlukan satu gantang yang kamu bawa ini.”
Mereka itulah orang-orang munafik yang menampak sesuatu yang berbeda dengan kenyataan, perhatian dan bahan pembicaraan mereka adalah mencela dan menyakiti kaum muslimin, kerana mereka adalah musuh, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan mereka akan mendapat adzab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 9: 79)
Kata “Yalmizuna” artinya mencela dan mencaci “Al-Muthawwi'in” orang-orang yang bersedekah dengan sukarela. Kata “Dan orang-orang yang tidak memperoleh untuk disedekahkan selain sekadar kesanggupannya.” bersambung dengan kata “Al-Muthawwi'in” (orang-orang yang bersedekah dengan sukarela), maksudnya mereka juga mencela orang-orang yang tidak memperoleh untuk disedekahkan selain sekadar kesanggupannya. Hadits ini sebagai dalil bahwa para sahabat radhiyallahu anhum selalu berlomba-lomba dalam kebaikan, bersungguh-sungguh menunaikan ketaatan kepada Allah.
Sebagai dalil bahwa Allah itu selalu menolong orang-orang mukmin, sebagaimana Allah Ta'ala menurunkan ayat untuk menolong kaum mukmin dari celaan orang-orang munafik. Betapa kerasnya permusuhan orang-orang munafik terhadap orang-orang mukmin, tidak ada yang selamat dari celaan dan makian mereka, sedekah banyak dicaci apalagi sedikit, tetapi hal ini diserahkan kepada Allah Ta'ala bukan kepada mereka. Oleh kerana itu, Allah menghinakan dan mengancam mereka dan mengancam dengan siksa yang pedih, “Dan untuk mereka adzab yang pedih.”
Sementara hukum masalah ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 99: 7-8)
Sedikit atau banyak amal kebaikan itu akan dipetik oleh setiap yang menanamnya begitu pula dengan keburukan, masing-masing akan mendapatkan balasannya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang yang bersedekah senilai satu biji kurma dari penghasilan yang baik -Allah tidak menerima kecuali yang baik- maka Allah akan menerimanya dengan Tangan Kanan-Nya, kemudian merawatnya sebagaimana salah seorang di antara kalian merawat anak kudanya sehingga tumbuh membesar seperti gunung.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1321]
Kita bisa membandingkan antara satu biji kurma dengan gunung, sungguh tidak terbayangkan dan tidak menyamai sedikit pun, Allah memberi balasan amalan hamba baik yang banyak mahu pun yang sedikit, tetapi yang perlu kita perhatikan adalah keikhlasan dalam beramal, jangan mengharap balasan dari selain Allah, selain itu juga harus mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah.
Hadits 111.
Daripada Said bin Abdul Aziz, daripada Rabi'ah bin Yazid daripada Abu Idris Al-Khaulani, daripada Abu Dzarr Jundub bin Junadah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda menceritakan apa yang difirman oleh Allah Ta'ala:
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi. Wahai hamba-Ku setiap kalian adalah tersesat kecuali Aku yang beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku beri petunjuk kalian. Wahai hamba-Ku kalian semua kelaparan kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian. Wahai hamba-Ku, kalian semua tidak berpakaian kecuali orang yang aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua. Wahai hamba-Ku, kalian semua selalu berbuat dosa, baik pada malam hari atau siang hari dan Aku adalah Dzat Yang Mengampuni segala dosa, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni kalian semua. Wahai hamba-Ku sesungguhnya kalian semua tidak akan dapat berbuat sesuatu yang merugikan-Ku atau menguntungkan-Ku. Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal itu tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berada di satu tempat kemudian mereka memohon kepada-Ku semua niscaya Aku kabulkan permohonan masing-masing, dan apa yang berada di sisi-Ku tidak akan berkurang kecuali seperti halnya sebatang jarum yang dicelupkan ke dalam samudra yang luas. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal perbuatanmu. Aku mencatat semuanya, kemudian Aku akan membalasnya. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu hendaknya tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri.”
Said berkata, “Abu Idris setiap kali menyampaikan hadits ini dia akan berlutut.”
Kami meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ia berkata, “Penduduk Syam tidak memiliki hadits yang lebih mulia dari hadits ini.”
[Shahih Muslim no. 2577]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu dalam bab ini, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Rasulullah menceritakan apa yang difirmankan oleh Allah dan seterusnya. Hadits ini menurut ahli hadits disebut dengan hadits Al-Qudsi atau hadits Al-Ilahi, adapun yang berasal dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut dengan hadits Nabawi.
“Sesungguhnya darah, harta, kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari, bulan dan negeri kalian ini, tidakkah telah aku sampaikan?” Para sahabat menjawab, “Benar.” Baginda bersabda, “Ya Allah saksikanlah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 65, 102, 1623, 1625 dan Muslim no. 3180]
Ketiga hal ini adalah darah, harta dan kehormatan.
Haram berbuat kezhaliman di antara sesama manusia ini pertama dalam masalah darah, haram hukumnya menumpahkan darah baik membunuh atau melukai, mematahkan tulang dan sejenisnya.
Bahkan mematahkan tulang orang yang telah meninggal pun dilarang seperti halnya dalam kondisi hidupnya, sebagaimana yang disinyalir dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan demikian orang yang meninggal itu juga dihormati dan tidak boleh diambil salah satu bagian anggota tubuhnya, kerana ia merupakan amanat yang pada hari kiamat akan dibangkitkan dengan semua anggota tubuhnya, dengan demikian tidak boleh diambil salah satu anggota tubuhnya.
Dengan demikian para ulama madzhab Hambali rahimahullah berpendapat tidak boleh mengambil sesuatu dari anggota tubuh orang yang telah meninggal dunia, walaupun ia berwasiat untuk itu, kerana orang yang telah meninggal itu terhormati sebagaimana kondisi hidupnya, ketika kita mengambil suatu bagian atau mematahkan mayit maka termasuk tindakan haram dan berdosa.
Seorang yang telah meninggal tidak boleh mendonorkan anggota tubuhnya kepada orang lain, kerana bagian-bagian tubuhnya itu merupakan amanat, tidak halal bertindak yang menyia-nyiakannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
(QS. An-Nisâ: 4: 29)
Amr bin Ash radhiyallahu anhu menafsirkan ayat ini dengan seseorang yang junub ketika cuaca yang sangat dingin ia takut membahayakan dirinya jika harus mandi, kemudian hal ini dimasukkan ke dalam ayat ini. Kejadian itu terjadi ketika Amr bin Ash berada dalam suatu peperangan dan junub padahal malam itu sangat dingin kemudian ia bertayammum kemudian mengimami para sahabat, kemudian setelah pulang, ia menginformasikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda bertanya kepada Amr, “Apakah kamu mengimami para sahabat pada saat sedang junub?” (yaitu belum mandi). Ia menjawab, “Wahai Rasulullah aku mengingat firman Allah,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisâ: 4: 29)
“Aku takut cuaca dingin, maka aku bertayammum.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan menyetujinya dalam mengambil kesimpulan ayat. Baginda tidak menyatakan arti ayat ini bukan seperti itu.
Dengan demikian, setiap yang membahayakan jiwa hukumnya adalah haram sebagaimana firman Allah ini, sepertinya halnya merokok yang membahayakan kesehatan dan juga hal-hal lain yang berbahaya, hal ini diharamkan kerana untuk menjaga tubuh manusia yang mulia ini. Sabda Rasulullah, “Darah kalian” artinya adalah menumpahkan darah yang menyebabkan kematian ataupun yang tidak, seperti melukai, mematahkan tulang dan sebagainya.
Sabda Rasulullah, “Harta-harta kalian,” Allah Ta'ala mengharamkan seseorang mengambil harta saudaranya tanpa alasan yang benar, baik merampas, mencuri, mencopet, khianat, manipulasi, dusta dan yang semisalnya, semuanya haram demi menjaga harta ini. Dengan demikian, orang-orang yang berdagang dengan memanipulasi barang dagangannya adalah haram, semua keuntungan yang didapatnya haram, maka orang yang berjual beli dengan memanipulasi ini telah melanggar dua larangan:
Pertama, menyulut api permusuhan antara sesama saudara kaum muslimin, kerana mengambil harta mereka dengan cara yang tidak dibenarkan.
Kedua, mereka termasuk orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas tangan dari mereka, alangkah buruknya suatu barang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari pemiliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang curang maka bukan dari golonganku.”
[Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Iman no 101]
“Barangsiapa yang mengikis tanah orang lain dengan cara yang tidak benar, maka pada hari kiamat Allah akan kalungkan kepadanya tujuh bumi.”
[Shahih Muslim no. 1610]
Sebagian ahli tafsir mengatakan, “Pada hari Kiamat orang yang suka menggunjingkan saudaranya akan diberikan mayit kemudian dipaksa untuk memakannya, tentunya merasa jijik tetapi dipaksa untuk memakannya sebagai siksaan baginya.” Na' udzubillah.
Maka ghibah, mencoreng kehormatan saudara seiman- adalah haram, sebagaimana riwayat dari Abu Dawud bahwasanya pada malam Isra' Mi'raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan orang-orang yang memiliki kuku dari tembaga yang mencabik-cabik muka dan dadanya sendiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Jibril siapakah mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan mencoreng kehormatan mereka.”
Seseorang yang merusak kehormatan saudaranya maka amal kebaikannya akan diambil di akhirat kelak. Oleh kerana itu, para ulama salaf terdahulu ketika ada yang membicarakan aibnya ia memberikan hadiah kepada orang yang menggunjingnya, (mengumpat), kemudian orang tersebut terheran-heran bagaimana mungkin ia memberi hadiah kepada orang yang menggunjingnya? Ia mengatakan, “Kerana engkau telah memberiku hadiah amal shalih yang tetap selamanya, sementara aku hanya memberimu hadiah yang akan habis di dunia, ini sebagai upah atas hadiah yang engkau berikan kepadamu.” Inilah pamahaman para ulama salaf.
Sungguh menggunjing hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar, apalagi menggunjingkan para pemimpin dan ulama, kerana menggunjing mereka itu lebih berat daripada yang lainnya. Menggunjing para ulama menyebabkan sebagian orang meragukan ilmu yang disampaikannya, sehingga akan membahayakan keberlangsungan agama ini, sementara menggunjingkan para pemimpin itu menyebabkan krisis kepercayaan sehingga menyebabkan masyarakat tidak menaatinya, ketika itu terjadi, maka akan terjadi kekacauan. Tidak akan tercipta ketenangan dan kebahagiaan suatu masyarakat jika kekacauan mengancam mereka dan orang-orang yang bodoh menguasai mereka. Semoga Allah menjaga kita semua dari Murka-Nya, sungguh Dia Mahamulia.
“Wahai hamba-Ku setiap kalian adalah tersesat kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya aku beri petunjuk kalian.” Tersesat bingung tidak mengetahui kebenaran dan juga enggan menerimanya. Orang-orang yang tersesat itu ada dua macam:
-Sebagian kelompok bingung tidak mengetahui kebenaran seperti kaum Nasrani, mereka itu tersesat kebingungan tidak mengetahui kebenaran, kecuali setelah Rasulullah diutus dan kebanyakan mereka mengetahui kebenaran tetapi menolaknya, mereka ini tidak ada bedanya dengan kaum Yahudi kerana mereka mengetahui kebenaran tetapi menolaknya.
-Sebagian mengetahui kebenaran tetapi tidak mahu menerimanya, mereka ini seperti kaum Yahudi, kerana mereka itu mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikutinya.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu.”
(QS. Fushshilat: 41: 17)
Allah menjelaskan hidayah kepada mereka tetapi mereka lebih menyukai buta dan tersesat daripada petunjuk dan hidayah. Semua orang itu tersesat melainkan yang ditunjuki Allah Ta'ala.
Tetapi apa petunjuk Allah terhadap kelompok yang tersesat tidak mengetahui petunjuk? Allah menjelaskan kebenaran kepada mereka, Allah mewajibkan atas dirinya untuk memberikan petunjuk ini kepada mereka, maka semua makhluk telah mendapatkan petunjuk ini yaitu keterangan yang jelas.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk.” (QS. Al-Lail: 92: 12)
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya di turunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia.”
Allah Ta'ala menyebutkan kedua kata ini, “Lapar dan telanjang” setelah menyebutkan kata “Petunjuk,” kerana petunjuk adalah konsumsi hati dengan iman dan ilmu, sementara anggota tubuh yang lainnya dengan amal shalih. Adapun makanan, minuman dan pakaian adalah konsumsi tubuh ini, kerana fisik ini tidak akan sehat kecuali dengan makanan dan dilindungi oleh pakaian. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Wahai hamba-Ku kalian semua adalah lapar kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian.”
Sungguh Maha Benar Allah Ta'ala, kita semua adalah lapar kecuali yang diberi makan oleh Allah, seandainya Allah tidak menyediakan apa yang menjadi kebutuhan kita, pasti kita semua akan binasa, sebagaimana firman Allah Ta'ala menjelaskan hal ini dalam surat Al-Waqi'ah,
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 63-64)
Jawabannya, Engkaulah wahai Tuhanku yang menanamnya, kerana Allah Ta'ala berfirman,
“Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat dan kering; maka kamu akan heran tercengang, (sambil berkata), “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian, bahkan kami tidak mendapat hasil apa-apa.” (QS. Al-Wâqi'ah: 56: 65-67)
Mari kita perhatikan bagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat dan kering.” Allah Ta'ala tidak berfirman, “Kalau seandainya Kami kehendaki, benar-benar Kami tidak menumbuhkannya,” kerana kalau setelah menyaksikan tanamannya tumbuh dengan baik hatinya merasa senang, tetapi setelah dihancurkan dan kering maka sangat menyedihkannya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat dan kering,” bukan “Kalau seandainya Kami kehendaki, benar-benar Kami tidak menumbuhkannya.”
Taubat yang sungguh-sungguh itu memenuhi lima syarat:
1. Ikhlas kerana Allah Ta'ala, tidak ada niat riya, sum'ah dan tidak pula untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, tetapi murni untuk taubat dan kembali kepada Allah. Ikhlas adalah syarat semua amal, di antara amal shalih adalah taubat kepada Allah Ta'ala.
“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nûr: 24: 31)
2. Menyesali apa yang telah ia kerjakan, sedih dan mengakui kesalahan yang telah ia perbuat, tetapi jika belum merasakan penyesalan setelah melakukan kesalahan maka belum masuk kategori taubat.
3. Meninggalkan kesalahannya secara totalitas, tidak termasuk kategori taubat orang yang masih melakukan perbuatan dosanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.”
“Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka atau kedatangan Tuhanmu atau sebagian tanda-tanda dari Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah “Tunggulah! Kami pun menunggu.”
(QS. Al-An'âm: 6: 158)
Inilah lima syarat taubat yang tidak akan diterima kecuali dengannya, maka hendaknya kita bersegera bertaubat kepada Allah dan kembali sebelum kesempatan itu tertutup, jika kita taubat nashuha (sebenarnya) niscaya Allah akan menerima dan mengangkat kita pada derajat yang lebih tinggi.
Mari kita renungkan bagaimana Nabi Adam 'alaihissalam ketika dilarang untuk makan buah Khuldi, kemudian setan menggodanya dan akhirnya melanggar larangan ini, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.”
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau pertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu.” (QS. Al-Muzzammil: 73: 20)
Terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat hampir sepanjang malam, setengah malam, dan terkadang sepertiga malam, kerana Rasulullah memberikan hak istirehat dirinya dengan beribadah kepada Tuhannya. Rasulullah memulai shalat antara dua pertiga malam dan pertengahannya, terkadang pertengahan atau sepertiganya sesuai dengan kondisi Rasulullah, Rasulullah berdiri shalat hingga kakinya bengkak kerana lamanya berdiri.
Suatu ketika para sahabat shalat bersamanya tetapi mereka merasakan letih, sebagaimana pengalaman Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, “Pada suatu malam aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah berdiri sangat lama sehingga aku berniat buruk, kemudian para sahabat lain bertanya, “Apa yang kamu niatkan wahai Ibnu Mas'ud?” Kemudian ia menjawab: “Aku ingin duduk dan meninggalkannya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1067]
Maksudnya Ibnu Mas'ud ingin duduk kerana tidak kuat bersabar seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Khudzaifah Al-Yaman radhiyallahu anhu pernah shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca surah Al-Baqarah, An-Nisa dan Ali Imran, kira lima juz seperempat sekaligus, ia berkata, “Setiap kali melewati ayat-ayat rahmat, Rasulullah memohon, setiap kali melewati ayat tasbih, Rasulullah bertasbih dan setiap kali melewati ayat-ayat peringatan, Rasulullah berlindung dengan demikian, Rasulullah membaca ayat-ayat ini dengan tartil.”
Lima juz seperempat dengan selalu memohon setiap kali melewati ayat-ayat rahmat, berlindung setiap kali melewati ayat-ayat peringatan, dan bertasbih setiap kali melewati ayat-ayat tasbih
Betapa lamanya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam! Seperti inilah Rasulullah melalui malam-malamnya, dan jika Rasulullah membaca ayat yang panjang dalam rakaat maka Rasulullah juga memanjangkan sujud, dengan demikian Rasulullah lama dalam membaca ayat ruku' dan sujud.
Misalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam pada musim dingin pada jam dua belas, kerana Rasulullah shalat pada sekitar dua pertiga malam maka berarti kira-kira Rasulullah shalat selama tujuh jam, bayangkan betapa lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam? Kerana Rasulullah mampu bersabar dan menekan nafsunya dan bersabda, “Tidakkah sepantasnya jika aku menjadi seorang hamba yang selalu bersyukur?”
Hal ini menunjukkan bahwa bersyukur itu dengan menunaikan ketaatan kepada Allah Ta'ala. Setiap kali seseorang bertambah ketaatannya kepada Allah maka bertambah pula bersyukurnya kepada-Nya. Makna hakikat syukur itu bukanlah seseorang yang lidahnya basah dengan ucapan syukur Alhamdulillah saja, tetapi yang menjadi pembicaraan kita di sini adalah syukur dalam bentuk amalan yaitu dengan menunaikan ketaatan sekuat tenaga.
Hal ini juga sebagai dalil bahwa semua dosa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu telah diampuni dosa-dosanya baik yang lampau mahupun yang akan datang, maka Rasulullah ketika keluar dari dunia ini telah bersih dari noda dosa.
Terkadang, Allah Ta'ala juga mengkhususkan sebagian kaum dengan mengampuni dosa-dosanya kerana telah mengamalkan suatu amal shalih seperti Ahli Badar yang jumlahnya tiga ratus lebih, di antaranya adalah Hatib bin Baltaah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar radhiyallahu anhu dalam kisahnya yang masyhur, “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Allah telah mengkhususkan Ahli Badar dengan berfirman, “Berbuat sekehendak kalian kerana dosa-dosa kalian telah diampuni.”.
[Shahih Al-Bukhari no. 2785, 2851, 4511, 5789 dan Muslim no. 4550]
Inilah keistimewaan para sahabat yang mengikuti perang Badar, Allah Ta'ala telah mengampuni dosa-dosanya.
Sahabat Hatib radhiyallahu anhu ini telah berbuat kesalahan besar, yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menyerbu orang-orang Quraisy kerana telah mengingkari perjanjian Hudaibiyyah, Hatib mengirim surat untuk penduduk Mekah yang menginformasikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mendatangi mereka, kemudian baginda mendapat wahyu dan mengutus Ali bin Abi Thalib bersama seseorang untuk menyusul seorang wanita yang membawa surat Hatib ini, kemudian mereka mendapatkannya di sebuah taman Khakh -dekat dengan jalan menuju Mekah- ketika mendapatkannya ia ditanya, “Keluarkan surat yang akan anda kirimkan untuk penduduk Mekah?”
Wanita itu menjawab, “Aku tidak membawanya,” mereka mendesaknya dan memaksanya kalau tidak akan diperiksa, kemudian wanita itu mengeluarkan surat itu dari terompahnya, dan ternyata surat itu dari Hatib untuk penduduk Mekah, kemudian mereka kembali menghadap Rasulullah, kemudian Umar meminta Rasulullah untuk membunuh Hatib ia berkata, “Orang ini munafik, ia akan memberitahu rahsia kita kepada musuh.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Allah telah mengkhususkan Ahli Badar dengan berfirman, “Berbuatlah sekehendak kalian kerana dosa-dosa kalian telah diampuni.”
Kalau tidak demikian maka perbuatan ini termasuk pengkhianatan dan dosa besar.
Oleh kerana itu halal bagi pemimpin umat Islam ketika mendapatkan mata-mata dari orang kafir yang bertugas mengumpulkan rahsia kaum muslimin untuk membunuhnya walaupun ia seorang mukmin, kerana ia telah berbuat kerusakan di muka bumi, maka bagi pemimpin kaum muslimin wajib membunuhnya kerana betapa besarnya kerusakan yang diakibatkan, tetapi jika terdapat dalil lain yang menghalanginya untuk diberlakukan hukuman tersebut seperti Ahli Badar.
Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Apakah anda tidak mengetahui bahwa ia adalah seorang muslim.” Tetapi baginda bersabda, “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Allah telah mengkhususkan Ahli Badar.”
Oleh kerana itu halal bagi pemimpin umat Islam ketika mendapatkan mata-mata dari orang kafir yang bertugas mengumpulkan rahsia kaum muslimin untuk membunuhnya walaupun ia seorang mukmin, kerana ia telah berbuat kerusakan di muka bumi, maka bagi pemimpin kaum muslimin wajib membunuhnya kerana betapa besarnya kerusakan yang diakibatkan, tetapi jika terdapat dalil lain yang menghalanginya untuk diberlakukan hukuman tersebut seperti Ahli Badar.
Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Apakah anda tidak mengetahui bahwa ia adalah seorang muslim.” Tetapi baginda bersabda, “Apakah kalian tidak mengetahui bahwa Allah telah mengkhususkan Ahli Badar.”
Hadits ini sebagai dalil bahwa di antara keistimewaan Rasulullah adalah bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa baginda baik yang telah lampau mahupun yang akan datang. Hal ini bisa terjadi pada sebagian sahabat seperti halnya Ahli Badar, sebagaimana ucapan sebagian ulama, “Ketahuilah bahwa di antara keistimewaan Rasulullah adalah bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa Rasulullah baik yang telah lampau mahupun yang akan datang.” Dengan demikian hadits yang menyebutkan seseorang yang melakukan sesuatu amalan akan diampuni dosanya baik yang telah lampau dan yang akan datang adalah hadits dhaif, kerana hal ini termasuk keistimewaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, adapun suatu amalan yang mendapatkan janji, “Allah mengampuni dosanya yang telah lampau,” banyak, tetapi “dosa yang akan datang” hanya dimiliki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
Kaidah ini sangat penting bagi para penuntut ilmu, jika terdapat hadits yang menyebutkan demikian maka hadits itu adalah dhaif, hadits ini tidak benar kerana khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini juga sebagai dalil keutamaan Qiyamullail dan memperpanjangkan shalat. Allah Ta'ala memuji hamba-hamba-Nya yang shalat malam dengan panjang, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.”
(QS. As-Sajdah: 32: 16) yaitu menjauhi tempat tidur, “Dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap,” setiap kali ingat dosa-dosanya, dia takut dan setiap kali ingat luasnya rahmat Allah, dia berharap.
“Mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap.” (QS. As-Sajdah: 32: 16), takut ketika mengingat dosa mereka.
“Dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 32: 17), semoga kita termasuk di antaranya.
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya.”
(QS. As-Sajdah: 32: 16) yaitu menjauhi tempat tidur, “Dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap,” setiap kali ingat dosa-dosanya, dia takut dan setiap kali ingat luasnya rahmat Allah, dia berharap.
“Mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap.” (QS. As-Sajdah: 32: 16), takut ketika mengingat dosa mereka.
“Dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 32: 17), semoga kita termasuk di antaranya.
Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya bukan bergadang di depan televisi, bermain kartu atau membicara aib orang lain dan sebagainya, tetapi mereka berdoa dan beribadah dengan mengharap rahmat dan takut siksa-Nya. “Serta mereka menafkahkan apa yang telah Kami berikan.”
“Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 32: 17)
Apakah yang disembunyikan bagi mereka ini? Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits Qudsi, bahwasanya Allah Ta'ala berfirman,
“Aku telah mempersiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang shalih pahala yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah didengar pendengaran dan belum pernah terbayang oleh benak manusia.”
Semoga kita termasuk penghuni surga-Nya ini.
Hadits 99.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: « كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, Rasulullah senantiasa menghidupkan malam harinya, membangunkan keluarganya, bersungguh-sungguh (dalam beribadah) dan mengencangkan ikat pinggangnya (tidak berhubungan intim dengan istri).”
[Shahih Al-Bukhari no. 2024 dan Muslim no. 1174]
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ummul Mukminin Aisyah binti Abu Bakar radhiyallahu anhu mengenai kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sepuluh malam hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah mengencangkan ikat di pinggangnya, menghidupkan malam harinya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah dan menyingsingkan lengan bajunya.
Sebagaimana yang telah kita bahas pada bab yang lalu bahwa Rasulullah shalat malam hingga kakinya bengkak, kerana Rasulullah shalat lebih dari setengah, setengah atau sepertiga malam, adapun pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah, tentu setelah berbuka puasa, makan malam, shalat Isya' dan amalan-amalan yang termasuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, artinya bukan semua malam Rasulullah dalam shalat, buktinya bahwa Shafiyyah binti Hayy bin Akhthab mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbincang setelah shalat Isya'. Semua yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam-malam itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, baik dengan shalat atau bersiap-siap untuk shalat.
Hal ini sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, tidak shalat malam hingga subuh kecuali pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, kerana untuk menjaga malam Lailatul Qadar, sebab malam Lailatul Qadar ini terdapat pada sepuluh malam terakhir pada bulan Ramadhan, apalagi pada tujuh terakhir. Pada malam Lailatul Qadar Allah menetapkan apa yang terjadi pada malam itu. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. Al-Qadr: 97: 3)
“Barangsiapa yang shalat pada malam Lailatul Qadar dengan dasar iman dan mengharapkan pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4/217. Muslim no. 759]
Kemudian penulis menyebutkan perkataan, “Mengencang ikat pinggangnya,” ungkapan ini merupakan kiasan, yang artinya meninggalkan istri-istrinya kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam i'tikaf di dalam masjid, sementara syarat i'tikaf tidak boleh berhubung badan dengan istri, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beritikaf dalam masjid.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 187)
Dan sebagian ada yang mengartikan sungguh-sungguh dan menyingsingkan lengan bajunya dalam beribadah. Kedua makna ini tidak salah, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhubung badan dengan istri-istrinya selama baginda beri'tikaf di dalam masjid dan juga bersungguh-sungguh dalam beribadah. Inilah bentuk dari kesungguhan, setiap hamba harus berusaha sekuat tenaga untuk memanfaatkan detik-detiknya yang berharga untuk menunaikan ketaatan kepada Allah Ta'ala.
Hadits 100.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اَلْمُؤْمِنُ اَلْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ. اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ. وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أََنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرُ اللهُ، َوَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ » . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan amalan yang bermanfaat bagi dirimu dan mohonlah (bantuan) kepada Allah dan janganlah kamu lemah. Jika tertimpa sesuatu padamu janganlah kamu mengucapkan, “Seandainya aku berbuat begini akan terjadi begini dan begitu,” tetapi ucapkanlah, “Apa yang telah ditentukan dan dikehendaki Allah pasti terjadi,” kerana sesungguhnya kata, “seandainya,” itu membuka perbuatan (tipu daya) setan.”
[Shahih Muslim no. 2664]
Penjelasan.
[Shahih Muslim no. 2664]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah.” “Seorang mukmin yang kuat” maksudnya adalah kuat iman bukan kuat fisiknya, kerana kekuatan fisik itu akan berbahaya bagi dirinya jika digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, kekuatan fisik ini tidak bisa dikatakan baik atau buruk dengan sendirinya, jika digunakan untuk kebaikan di dunia dan akhirat akan baik, tetapi jika digunakan untuk bermaksiat kepada Allah akan buruk.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang mukmin yang kuat.” Maksudnya adalah kuat iman, kerana kata kuat menerangkan sifat sebelumnya yaitu iman. Sebagaimana ungkapan “seorang laki-laki yang kuat,” yaitu kuat sifat kejantanannya, begitu juga seorang mukmin yang kuat yaitu kuat imannya. Kerana seorang mukmin yang kuat iman dengan imannya ia akan menunaikan kewajiban dan menambahnya dengan amalan-amalan sunnah, sedangkan seorang yang lemah iman tidak akan menyebabkannya menunaikan kewajiban, tetapi justru menyia-nyiakan perintah Allah.
“Lebih baik” yaitu lebih baik daripada seorang mukmin yang lemah dan lebih dicintai Allah daripada seorang mukmin yang lemah, kemudian baginda bersabda, “Masing-masing terdapat kebaikan,” yaitu baik seorang mukmin yang kuat iman atau yang lemah, keduanya terdapat kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal ini agar tidak mengira bahwa seorang mukmin yang lemah iman itu tidak memiliki kebaikan, tentu ia lebih baik daripada orang kafir.
Ungkapan ini menurut ahli ilmu Balaghah disebut dengan “Al-Ihtiraz” yaitu suatu ungkapan yang seolah memiliki suatu arti yang bukan maksudnya, kemudian menjelaskan makna yang dimaksud setelahnya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
Juga firman Allah Ta'ala,
“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, kerana (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 78-79)
Seolah-olah ayat ini memberi pesan, bahwa Nabi Dawud 'alaihissalam memiliki kekurangan, kemudian Allah Ta'ala berfirman, “dan keduanya Kami berikan hikmah dan ilmu.”
Begitu juga firman Allah Ta'ala,
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga).”
Sabda baginda, “Bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan amalan yang bermanfaat bagi dirimu,” ini merupakan wasiat Rasulullah untuk umatnya, sebuah wasiat yang komprehensif, artinya bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Amalan yang bermanfaat ini berlawanan dengan amalan yang madharat, kerana amalan manusia itu terbagi menjadi tiga macam: sebagian bermanfaat, sebagian berbahaya dan sebagian tidak bermanfaat dan juga tidak berbahaya.
Orang cerdas memperhatikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, giat menunaikan amalan yang bermanfaat baginya. Betapa banyak orang yang menyia-nyiakan waktunya tidak bermanfaat sedikitpun, bahkan membahayakan dirinya dan agamanya, orang seperti ini pantas kita katakan orang yang tidak memperdulikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kerana kebodohan atau kerana meremehkan. Orang yang cerdas itu adalah yang menerima nasihat yang berharga ini, selalu berusaha menunaikan setiap amalan yang bermanfaat bagi dirinya baik untuk agama ataupun dunianya.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَلُوا اللَّهَ كُلَّ شَيءٍ حَتَّى الشِّسعَ
“Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun.”
[HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/42, Al-Albani berkata, “mauquf jayyid” dalam Silsilah Adh Dha’ifah no. 1363]
Artinya tidak pernah melupakan Allah walaupun hal yang sepele, setiap kali ingin wudhu, shalat, musafir, meletakkan sesuatu lalu memohon pertolongan kepada Allah, kerana tanpa pertolongan-Nya keinginannya tidak akan terwujud. “Dan jangan lemah,” yaitu teruslah selalu beramal jangan sampai lemah dan pesimis, katakanlah, “Jalan masih panjang dan pekerjaan masih banyak,” selama kamu yakin bahwa keputusanmu itu lebih bermanfaat bagimu maka mohonlah pertolongan Allah dan janganlah pesimis dan lemah.
Menjelaskan hadits ini memerlukan berjilid-jilid buku, kerana mengandung banyak gambaran dan masalah. Misalnya seseorang yang menuntut ilmu dengan memulai mengkaji satu buku yang menurutnya bermanfaat baginya, tetapi setelah seminggu atau sebulan dia mulai bosan dan mulai mencari-cari buku lain, orang ini telah memohon pertolongan kepada Allah dan rajin melakukan kegiatannya tetapi ia lemah dan cepat bosan tidak meneruskan kajiannya, kerana makna “jangan lemah,” jangan meninggalkan pekerjaanmu, selama masih yakin bermanfaat.
Oleh kerana itu orang ini tidak mendapatkan sesuatu padahal telah menghabiskan waktunya, kerana ia tidak konsisten membaca kitab. Bahkan dalam masalah kecil, seseorang yang mencari suatu masalah dalam suatu kitab, kemudian mulai membuka-buka dan mendapatkan sesuatu masalah lain kemudian membacanya, kemudian mendapatkan masalah lain dan membacanya lagi, sampai akhirnya lupa tujuan awalnya membuka buku itu hingga waktunya habis. Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam masalah ini, tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan, yang benar adalah langsung mencari apa yang diagendakannya. Misalnya ketika seseorang ingin mencari biografi dalam kitab Al-Ishabah (biografi para perawi) karya Ibnu Hajar rahimahullah, kemudian mulai membuka-buka buku itu dan mendapatkan biografi sahabat lain dan membacanya, begitu seterusnya hingga waktunya habis, dan akhirnya tujuan utamanya tidak tercapai, hal ini sama halnya menyia-nyiakan waktu.
[HR. Ahmad dalam Musnad-nya (5/450), Ibnu Majah dalam Shahih-nya no. 1231]
Riwayat ini sebagai dalil, bahwa seseorang itu wajib memulai yang lebih penting terlebih dahulu, menunaikan agenda utamanya agar waktu tidak terbuang sia-sia.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “jangan lemah” yaitu malas sehingga kamu berhenti bekerja padahal telah dimulai, teruslah beramal jangan pernah berhenti, kerana jika kamu meninggalkannya dan berpindah pada aktifitas lain kemudian kamu tinggalkan lagi dan memulai pekerjaan yang lain, tidak akan selesai semua.
Kemudian baginda bersabda, “Jika tertimpa sesuatu janganlah kamu mengucapkan, “Seandainya aku berbuat begini akan terjadi begini dan begitu,” yaitu setelah berusaha sekuat tenaga, memohon pertolongan Allah, dan selalu bersabar menunaikannya. Tetapi jika ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan maka jangan sampai mengatakan ungkapan ini, kerana telah berusaha sekuat tenaga, walaupun menghabiskan semua usia kalau Allah tidak berkehendak tidak akan terjadi.
Seseorang yang telah berusaha sekuat tenaga tetapi hasilnya tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan maka ia harus menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah, kerana ia telah menunaikan yang telah ditakdirkan kepadanya, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika tertimpa sesuatu,” yaitu setelah berusaha sekuat tenaga dan memohon pertolongan kepada-Nya Azza wa Jalla, maka jangan mengatakan, “seandainya aku berbuat begini akan terjadi begini dan begitu.” Semoga Allah Ta'ala mencurahkan balasan kepada Nabi kita yang telah menjelaskan masalah ini, dengan sabda Rasulullah, “Kerana sesungguhnya kata, “Seandainya” itu membuka perbuatan setan.”
Yaitu berbagai bisikan, kesedihan dan perasaan menyesal, bahkan sampai mengatakan, “Seandainya aku berbuat demikian pasti akan terjadi demikian,” jangan sampai terucap ungkapan seperti ini kerana urusan telah selesai dan tidak mungkin kembali lagi, kerana telah tercatat di Lauhul mahfuzh sebelum langit dan bumi ini tercipta lima puluh ribu tahun dan pasti akan terjadi demikian betapa pun kita berusaha untuk merubahnya.
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sungguh, Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hûd: 11: 107)
Tidak ada sesuatu makhluk pun yang dapat merubah takdir-Nya ini. Yang kita harus ketahui adalah bahwa Allah tidak akan berbuat sesuatu pun kecuali terdapat hikmah baik terlihat atau tersembunyi di balik itu, dalilnya adalah firman Allah,
“Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insân: 76: 3)
Allah menjelaskan bahwa kehendak-Nya ini diiringi dengan hikmah dan ilmu, betapa banyak takdir yang tidak diinginkan oleh manusia tetapi akibatnya adalah yang terbaik baginya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 2: 216)
Banyak kejadian yang menguatkan ayat Al-Qur'an ini, sebagaimana kejadian beberapa tahun yang silam, ketika pesawat mulai lepas landas menuju Jeddah dari Riyadh yang membawa lebih tiga ratus orang, salah seorang calon penumpang pesawat itu ketiduran di ruang tunggu hingga tertinggal pesawat, orang ini sangat menyesal kenapa sampai tertinggal pesawat, kemudian Allah menakdirkan pesawat itu terbakar dan semua penumpangnya meninggal, Maha Suci Allah bagaimana Allah menyelamatkan satu orang ini dari maut, pertama ia menyesal tertinggal pesawat tetapi akhirnya baik baginya.
Pertama, tidak berusaha sekuat tenaga memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, tetapi menyia-nyiakannya siang dan malam pada masalah-masalah yang tidak bermanfaat, menghabiskan usianya dengan sia-sia.
Kedua, jika ditakdirkan usahanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia menyesal dan mengatakan, “Seandainya aku melakukan begini pasti akan terjadi begini dan begitu,” sikap ini tidak dibenarkan, yang benar adalah kerjakan sesuatu yang menjadi tugasmu kemudian setelah itu serahkan urusannya kepada Allah Ta'ala. Apabila ada seseorang yang menanyakan bagaimana saya berargumen dengan takdir, bagaimana saya mengatakan, “Apa yang telah ditentukan dan dikehendaki Allah pasti terjadi?” Jawabannya benar, ini adalah argumen dengan takdir pada tempatnya yang dibenarkan, oleh kerana itu Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Pena itu diangkat (tidak ditulis dosa dan pahala) dari tiga hal...”
[Hadits Shahih, lihat Shahih Al-Jami' no. 3512, 3514, 3513]
Tidak aneh jika Rasulullah ingin menguji Ali bagaimana ia menjawab, jawabannya dengan takdir ini merupakan argumen yang dibenarkan, kerana ia melakukan suatu hal diluar keinginannya, apakah orang yang tidur itu bisa bangun kalau tidak dibangunkan Allah? maka jawabannya ini merupakan argumen yang benar.
Berargumen dengan takdir itu dilarang jika diniatkan untuk terus berbuat maksiat dan menghindarkan diri dari cacian. Misalnya seseorang yang diingatkan, “Wahai fulan shalatlah berjamaah!” ia menjawab, “Kalau Allah memberiku hidayah pasti aku shalat berjamaah,” orang yang mencukur jenggotnya, “Jangan mencukur jenggot!” ia menjawab, “Kalau Allah memberiku hidayah pasti aku tidak mencukurnya,” atau orang yang merokok, “Kalau Allah memberiku hidayah pasti aku akan berhenti merokok,” jawaban ini tidak dibenarkan kerana ia berargumen dengan takdir untuk berkelit dan terus berbuat maksiat.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.” (QS. Al-Hadîd: 57: 10)
“Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkah (hartanya) dan berperang sesudah itu.” Seolah ungkapan ini mengandung arti bahwa yang lain tidak memiliki kebaikan, “Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.”
“Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkah (hartanya) dan berperang sesudah itu.” Seolah ungkapan ini mengandung arti bahwa yang lain tidak memiliki kebaikan, “Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.”
Juga firman Allah Ta'ala,
“Dan (ingatlah kisah) Dawud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, kerana (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 78-79)
Seolah-olah ayat ini memberi pesan, bahwa Nabi Dawud 'alaihissalam memiliki kekurangan, kemudian Allah Ta'ala berfirman, “dan keduanya Kami berikan hikmah dan ilmu.”
Begitu juga firman Allah Ta'ala,
“Tidaklah sama antara orang beriman yang duduk (yang tidak turut berperang) tanpa mempunyai udzur (halangan) dengan orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan derajat orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk (tidak ikut berperang tanpa halangan). Kepada masing-masing, Allah menjanjikan (pahala) yang baik (surga).”
(QS. An-Nisâ: 4: 95)
Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan masing-masing terdapat kebaikan,” yaitu seorang mukmin yang kuat iman dan yang lemah, tetapi yang kuat itu lebih baik dicintai Allah.
Di sini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan masing-masing terdapat kebaikan,” yaitu seorang mukmin yang kuat iman dan yang lemah, tetapi yang kuat itu lebih baik dicintai Allah.
Sabda baginda, “Bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan amalan yang bermanfaat bagi dirimu,” ini merupakan wasiat Rasulullah untuk umatnya, sebuah wasiat yang komprehensif, artinya bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Amalan yang bermanfaat ini berlawanan dengan amalan yang madharat, kerana amalan manusia itu terbagi menjadi tiga macam: sebagian bermanfaat, sebagian berbahaya dan sebagian tidak bermanfaat dan juga tidak berbahaya.
Orang cerdas memperhatikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, giat menunaikan amalan yang bermanfaat baginya. Betapa banyak orang yang menyia-nyiakan waktunya tidak bermanfaat sedikitpun, bahkan membahayakan dirinya dan agamanya, orang seperti ini pantas kita katakan orang yang tidak memperdulikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kerana kebodohan atau kerana meremehkan. Orang yang cerdas itu adalah yang menerima nasihat yang berharga ini, selalu berusaha menunaikan setiap amalan yang bermanfaat bagi dirinya baik untuk agama ataupun dunianya.
Hadits yang mulia ini kita harus jadikan panutan baik dalam masalah dunia mahupun agama, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan amalan yang bermanfaat bagi dirimu.” Nasihat ini mencakup segala sesuatu yang bermanfaat, baik bagi agama mahupun dunia. Jika manfaat keduanya bertentangan maka agamanya yang didahulukan, kerana jika agamanya baik maka dunianya pun baik, tetapi jika dunianya yang baik sementara agamanya rusak maka keduanya akan hancur.
“Amalan yang bermanfaat bagi dirimu,” mencakup maslahat agama dan dunia, jika keduanya bertentangan maka didahulukan maslahat agamanya. Hadits ini menjelaskan suatu kaidah jika ada dua manfaat yang bertentangan maka didahulukan manfaat yang lebih tinggi, kerana mencakup manfaat yang dibawahnya, kaidah ini termasuk dalam makna hadits ini.
Misalnya, jika kita perlu bersilaturrahim dengan saudara atau dengan paman keduanya sama-sama perlu, tetapi tidak mungkin melakukan keduanya, maka didahulukan silaturrahim dengan saudara, kerana lebih baik dan bermanfaat. Atau shalat berjamaah di antara dua masjid keduanya sama-sama jauh, tetapi yang satu lebih banyak jamaahnya maka didahulukan masjid ini. Seperti isyarat hadits ini, “Amalan yang bermanfaat bagi dirimu,” jika ada dua maslahat yang satunya lebih banyak maka yang lebih banyak didahulukan.
Begitu juga sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus melakukan pelanggaran, sementara ada alternatif yang lebih ringan maka harus memilih yang lebih ringan. Dalam hal yang dilarang didahulukan yang lebih ringan sementara dalam hal perintah didahulukan yang lebih banyak.
Begitu juga sebaliknya, jika seseorang terpaksa harus melakukan pelanggaran, sementara ada alternatif yang lebih ringan maka harus memilih yang lebih ringan. Dalam hal yang dilarang didahulukan yang lebih ringan sementara dalam hal perintah didahulukan yang lebih banyak.
“Dan mohonlah pertolongan kepada Allah,” alangkah indahnya sabda baginda ini setelah, “Bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan amalan yang bermanfaat bagi dirimu,” kerana seorang yang cerdas, menggunakan akal sehatnya akan mencari yang lebih bermanfaat untuk dirinya, atau ia tertipu oleh hawa nafsunya dan lupa memohon pertolongan kepada Allah. Kebanyakan orang sombong tidak ingat kepada Allah dan lupa memohon pertolongan-Nya, jika dirinya memiliki kelebihan ia sombong dan lupa pertolongan Allah, oleh kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah untuk menunaikan amalan yang bermanfaat bagi dirimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah.” Janganlah lupa untuk memohon pertolongan Allah walaupun dalam masalah yang sepele.
Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَلُوا اللَّهَ كُلَّ شَيءٍ حَتَّى الشِّسعَ
“Mintalah kepada Allah bahkan meminta tali sendal sekalipun.”
[HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/42, Al-Albani berkata, “mauquf jayyid” dalam Silsilah Adh Dha’ifah no. 1363]
Artinya tidak pernah melupakan Allah walaupun hal yang sepele, setiap kali ingin wudhu, shalat, musafir, meletakkan sesuatu lalu memohon pertolongan kepada Allah, kerana tanpa pertolongan-Nya keinginannya tidak akan terwujud. “Dan jangan lemah,” yaitu teruslah selalu beramal jangan sampai lemah dan pesimis, katakanlah, “Jalan masih panjang dan pekerjaan masih banyak,” selama kamu yakin bahwa keputusanmu itu lebih bermanfaat bagimu maka mohonlah pertolongan Allah dan janganlah pesimis dan lemah.
Menjelaskan hadits ini memerlukan berjilid-jilid buku, kerana mengandung banyak gambaran dan masalah. Misalnya seseorang yang menuntut ilmu dengan memulai mengkaji satu buku yang menurutnya bermanfaat baginya, tetapi setelah seminggu atau sebulan dia mulai bosan dan mulai mencari-cari buku lain, orang ini telah memohon pertolongan kepada Allah dan rajin melakukan kegiatannya tetapi ia lemah dan cepat bosan tidak meneruskan kajiannya, kerana makna “jangan lemah,” jangan meninggalkan pekerjaanmu, selama masih yakin bermanfaat.
Oleh kerana itu orang ini tidak mendapatkan sesuatu padahal telah menghabiskan waktunya, kerana ia tidak konsisten membaca kitab. Bahkan dalam masalah kecil, seseorang yang mencari suatu masalah dalam suatu kitab, kemudian mulai membuka-buka dan mendapatkan sesuatu masalah lain kemudian membacanya, kemudian mendapatkan masalah lain dan membacanya lagi, sampai akhirnya lupa tujuan awalnya membuka buku itu hingga waktunya habis. Sebagaimana fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam masalah ini, tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan, yang benar adalah langsung mencari apa yang diagendakannya. Misalnya ketika seseorang ingin mencari biografi dalam kitab Al-Ishabah (biografi para perawi) karya Ibnu Hajar rahimahullah, kemudian mulai membuka-buka buku itu dan mendapatkan biografi sahabat lain dan membacanya, begitu seterusnya hingga waktunya habis, dan akhirnya tujuan utamanya tidak tercapai, hal ini sama halnya menyia-nyiakan waktu.
Oleh kerana itu sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memulai dengan urusan yang lebih penting yang diagendakan, sebagaimana ketika Itban bin Malik mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata, “Aku memohon engkau mengunjungi rumahku dan shalat pada mushalla yang aku khususkan untuk shalat di rumah,” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang bersama para sahabat dan sesampainya di rumah Itban mereka dipersilahkan masuk, dan ternyata Itban telah menghidangkan makanan untuk mereka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memulai dengan makan terlebih dahulu tetapi bersabda, “Di mana tempat yang engkau inginkan kami shalat di sana?” Kemudian ia menunjukkannya kepadanya, kemudian baginda shalat dan baru duduk untuk makan.
[HR. Ahmad dalam Musnad-nya (5/450), Ibnu Majah dalam Shahih-nya no. 1231]
Riwayat ini sebagai dalil, bahwa seseorang itu wajib memulai yang lebih penting terlebih dahulu, menunaikan agenda utamanya agar waktu tidak terbuang sia-sia.
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “jangan lemah” yaitu malas sehingga kamu berhenti bekerja padahal telah dimulai, teruslah beramal jangan pernah berhenti, kerana jika kamu meninggalkannya dan berpindah pada aktifitas lain kemudian kamu tinggalkan lagi dan memulai pekerjaan yang lain, tidak akan selesai semua.
Kemudian baginda bersabda, “Jika tertimpa sesuatu janganlah kamu mengucapkan, “Seandainya aku berbuat begini akan terjadi begini dan begitu,” yaitu setelah berusaha sekuat tenaga, memohon pertolongan Allah, dan selalu bersabar menunaikannya. Tetapi jika ternyata tidak sesuai dengan yang diinginkan maka jangan sampai mengatakan ungkapan ini, kerana telah berusaha sekuat tenaga, walaupun menghabiskan semua usia kalau Allah tidak berkehendak tidak akan terjadi.
Seseorang yang telah berusaha sekuat tenaga tetapi hasilnya tidak sesuai dengan apa yang ia inginkan maka ia harus menyerahkan semua urusan hanya kepada Allah, kerana ia telah menunaikan yang telah ditakdirkan kepadanya, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Jika tertimpa sesuatu,” yaitu setelah berusaha sekuat tenaga dan memohon pertolongan kepada-Nya Azza wa Jalla, maka jangan mengatakan, “seandainya aku berbuat begini akan terjadi begini dan begitu.” Semoga Allah Ta'ala mencurahkan balasan kepada Nabi kita yang telah menjelaskan masalah ini, dengan sabda Rasulullah, “Kerana sesungguhnya kata, “Seandainya” itu membuka perbuatan setan.”
Yaitu berbagai bisikan, kesedihan dan perasaan menyesal, bahkan sampai mengatakan, “Seandainya aku berbuat demikian pasti akan terjadi demikian,” jangan sampai terucap ungkapan seperti ini kerana urusan telah selesai dan tidak mungkin kembali lagi, kerana telah tercatat di Lauhul mahfuzh sebelum langit dan bumi ini tercipta lima puluh ribu tahun dan pasti akan terjadi demikian betapa pun kita berusaha untuk merubahnya.
Oleh kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tetapi ucapkan, “apa yang telah ditentukan dan dikehendaki Allah pasti terjadi.” Maksudnya adalah takdir dan qadha Allah, apa yang dikehendaki pasti Dia mengerjakannya sebagaimana firman-Nya,
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sungguh, Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Hûd: 11: 107)
Tidak ada sesuatu makhluk pun yang dapat merubah takdir-Nya ini. Yang kita harus ketahui adalah bahwa Allah tidak akan berbuat sesuatu pun kecuali terdapat hikmah baik terlihat atau tersembunyi di balik itu, dalilnya adalah firman Allah,
“Sungguh, Kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (QS. Al-Insân: 76: 3)
Allah menjelaskan bahwa kehendak-Nya ini diiringi dengan hikmah dan ilmu, betapa banyak takdir yang tidak diinginkan oleh manusia tetapi akibatnya adalah yang terbaik baginya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 2: 216)
Banyak kejadian yang menguatkan ayat Al-Qur'an ini, sebagaimana kejadian beberapa tahun yang silam, ketika pesawat mulai lepas landas menuju Jeddah dari Riyadh yang membawa lebih tiga ratus orang, salah seorang calon penumpang pesawat itu ketiduran di ruang tunggu hingga tertinggal pesawat, orang ini sangat menyesal kenapa sampai tertinggal pesawat, kemudian Allah menakdirkan pesawat itu terbakar dan semua penumpangnya meninggal, Maha Suci Allah bagaimana Allah menyelamatkan satu orang ini dari maut, pertama ia menyesal tertinggal pesawat tetapi akhirnya baik baginya.
Jika anda telah berusaha sekuat tenaga dan menyerahkan urusan kepada Allah, tetapi hasilnya tidak sesuai yang anda inginkan maka jangan menyesal, jangan mengatakan, “Seandainya aku melakukan begini pasti akan terjadi begini dan begitu,” kerana ungkapan ini membuka pintu berbagai bisikan, penyesalan dan menambah keruh masalah, kerana yang telah berlalu biarlah berlalu, tinggal menyerahkan urusan kepada Allah Yang Maha Perkasa, tetapi katakan, “Apa yang telah ditentukan dan dikehendaki Allah pasti terjadi.”
Demi Allah, kalau kita berjalan mengikuti rambu-rambu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sungguh sangat nikmat dan tenang, tetapi kebanyakan manusia memiliki banyak tipe:
Demi Allah, kalau kita berjalan mengikuti rambu-rambu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sungguh sangat nikmat dan tenang, tetapi kebanyakan manusia memiliki banyak tipe:
Pertama, tidak berusaha sekuat tenaga memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya, tetapi menyia-nyiakannya siang dan malam pada masalah-masalah yang tidak bermanfaat, menghabiskan usianya dengan sia-sia.
Kedua, jika ditakdirkan usahanya tidak sesuai dengan yang diharapkan, ia menyesal dan mengatakan, “Seandainya aku melakukan begini pasti akan terjadi begini dan begitu,” sikap ini tidak dibenarkan, yang benar adalah kerjakan sesuatu yang menjadi tugasmu kemudian setelah itu serahkan urusannya kepada Allah Ta'ala. Apabila ada seseorang yang menanyakan bagaimana saya berargumen dengan takdir, bagaimana saya mengatakan, “Apa yang telah ditentukan dan dikehendaki Allah pasti terjadi?” Jawabannya benar, ini adalah argumen dengan takdir pada tempatnya yang dibenarkan, oleh kerana itu Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan Tuhanmu kepadamu (Muhammad); tidak ada tuhan selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mempersekutukan-(Nya).” (QS. Al-An'âm: 6: 107)
Orang-orang musyrik mengatakan bahwa kemusyrikan mereka itu atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi berargumen dengan takdir untuk terus dalam maksiat itu haram tidak diperbolehkan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan adzab Kami.” (QS. Al-An'âm: 6: 148)
Sementara diperbolehkan berargumen dengan takdir pada tempatnya. Pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah Ali bin Thalib radhiyallahu anhu dan anaknya Fatimah radhiyallahu 'anha dan keduanya sedang tidur, kemudian baginda bersabda untuk keduanya, “Apa yang menghalangi kalian untuk shalat malam?” Kemudian Ali bin Thalib menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh jiwa kita berada di tangan Allah, jika Dia berkehendak pasti kita bangun.” Kemudian Rasulullah keluar rumah dengan menepuk pahanya seraya membaca firman Allah Ta'ala,
Orang-orang musyrik mengatakan bahwa kemusyrikan mereka itu atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta'ala, tetapi berargumen dengan takdir untuk terus dalam maksiat itu haram tidak diperbolehkan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan adzab Kami.” (QS. Al-An'âm: 6: 148)
Sementara diperbolehkan berargumen dengan takdir pada tempatnya. Pada suatu malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjungi rumah Ali bin Thalib radhiyallahu anhu dan anaknya Fatimah radhiyallahu 'anha dan keduanya sedang tidur, kemudian baginda bersabda untuk keduanya, “Apa yang menghalangi kalian untuk shalat malam?” Kemudian Ali bin Thalib menjawab, “Wahai Rasulullah, sungguh jiwa kita berada di tangan Allah, jika Dia berkehendak pasti kita bangun.” Kemudian Rasulullah keluar rumah dengan menepuk pahanya seraya membaca firman Allah Ta'ala,
“Tetapi manusia adalah memang yang paling banyak membantah.” (QS. Al-Kahfi: 18: 54)
Hal ini termasuk membantah, tetapi bantahan Ali ini pada tempatnya. Kerana orang yang tidur itu tidak ada dosa baginya, sebagaimana yang dilakukan orang yang sadar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Hal ini termasuk membantah, tetapi bantahan Ali ini pada tempatnya. Kerana orang yang tidur itu tidak ada dosa baginya, sebagaimana yang dilakukan orang yang sadar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Pena itu diangkat (tidak ditulis dosa dan pahala) dari tiga hal...”
[Hadits Shahih, lihat Shahih Al-Jami' no. 3512, 3514, 3513]
Tidak aneh jika Rasulullah ingin menguji Ali bagaimana ia menjawab, jawabannya dengan takdir ini merupakan argumen yang dibenarkan, kerana ia melakukan suatu hal diluar keinginannya, apakah orang yang tidur itu bisa bangun kalau tidak dibangunkan Allah? maka jawabannya ini merupakan argumen yang benar.
Berargumen dengan takdir itu dilarang jika diniatkan untuk terus berbuat maksiat dan menghindarkan diri dari cacian. Misalnya seseorang yang diingatkan, “Wahai fulan shalatlah berjamaah!” ia menjawab, “Kalau Allah memberiku hidayah pasti aku shalat berjamaah,” orang yang mencukur jenggotnya, “Jangan mencukur jenggot!” ia menjawab, “Kalau Allah memberiku hidayah pasti aku tidak mencukurnya,” atau orang yang merokok, “Kalau Allah memberiku hidayah pasti aku akan berhenti merokok,” jawaban ini tidak dibenarkan kerana ia berargumen dengan takdir untuk berkelit dan terus berbuat maksiat.
Tetapi jika seseorang tergelincir ke dalam kesalahan dan bertaubat kepada Allah dengan menyesalinya, kemudian ia berkata, “Sungguh ini adalah takdirku, aku akan memohon ampunan-Nya,” argumen ini adalah benar, kerana ia taubat dengan sungguh-sungguh kepada-Nya.
Hadits 101.
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ، وَحُجِبَتِ الْجَنَّةُ بَالْمَكَارِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَفِي رِوَايَةِ لِمُسْلِمٍ: حُفَّتْ بَدَلَ حُجِبَتْ وَهُوَ بِمَعْنَاهُ: أَيْ: بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا هَذَا الْحِجَابُ، فَإِذَا فَعَلَهُ دَخَلَهَا.
“Neraka itu tertutup (dikelilingi) dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai hal yang dibenci.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6487 Muslim no. 2823]
Dalam riwayat Muslim disebutkan lafadz “huffat” sebagai ganti dari lafadz “hujibat” dan keduanya memiliki makna yang sama (ditutupi). Maksudnya, di antara seorang hamba dengan tempat itu (surga atau neraka) ada hijab (penghalang), jika hamba itu mengerjakannya, niscaya dia memasukinya.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka itu tertutup dengan berbagai kesenangan dan surga itu tertutup dengan berbagai ketidaksenangan.” Dalam riwayat disebutkan dengan lafadz, “hujibat” yang artinya diliputi dengannya, neraka itu diliputi dengan bermacam-macam perbuatan yang menyenangkan dan sebaliknya surga itu diliputi dengan bermacam-macam perbuatan yang tidak menyenangkan, “Berbagai kesenangan” ini maksudnya adalah setiap perbuatan yang jiwa manusia lebih cenderung padanya tanpa berfikir, merenung lebih dalam atau mempertimbangkan agama dan etika.
Misalnya zina adalah syahwat kemaluan -na'udzubillah-, setiap jiwa manusia cenderung padanya, seorang menerjang batasan ini akan menyebabkannya terperosok pada neraka. Minum khamer itu sangat disukai hawa nafsu manusia, oleh kerana itu syariat Islam memberikan hukuman keras bagi yang melakukannya, seorang yang menerobos batas ini maka menyebabkannya masuk neraka, na'udzubillah.
Begitu pula cinta harta termasuk syahwat manusia yang menggiurkan, seorang yang mencuri harta orang lain kerana motif kecintaannya terhadap harta maka ia telah mengoyak batas ini dan mencampakkan dirinya pada jurang neraka, na'udzubillah.
Begitu pula menipu agar harga barangnya tinggi, termasuk hawa nafsu yang menyebabkan dirinya masuk neraka. Cinta popularitas dan ingin dipuji adalah hawa nafsu yang jika tergiur melakukannya akan menyebabkan robeknya batas antara dia dan neraka dan mencampakkannya ke dalamnya. Tetapi obat syahwat manusia yang selalu memerintahkannya pada perbuatan buruk ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelahnya yaitu, “Dan surga itu tertutup dengan berbagai ketidaksenangan.” Yaitu diliputi dengan perbuatan yang tidak disenangi oleh jiwa manusia, kerana jiwa manusia yang selalu mengajak pada keburukan itu mencintai keburukan dan membenci kebenaran. Seseorang yang mampu bersabar memaksa jiwanya melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak menyenangkan ini akan menghantarkannya ke dalam surga.
Maka dari itu tidak aneh jika terdapat banyak orang yang berat menunaikan shalat, terlebih pada musim dingin atau panas, ketika letih, sedang enak tidur di kasur yang empuk, shalat terasa berat, tetapi jika mampu menembus benteng yang tebal ini akan menghantarkannya masuk surga.
Begitu pula hawa nafsu manusia itu selalu mengajak pada perbuatan haram, kerana hawa nafsu manusia sangat mencintainya, tetapi jika ia mampu mengikat dan mengekangnya, itulah yang menghantarkannya masuk surga, kerana surga itu diliputi dengan berbagai macam perbuatan yang tidak menyenangkan. Begitu pula jihad di jalan Allah, sangat dibenci oleh hawa nafsu manusia. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu tidak menyenangkan bagimu. Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 2: 216)
Ibadah ini sangat dibenci oleh hawa nafsu, jika jiwa seseorang mampu menembus tabir ini akan menghantarkannya menuju ke surga, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki, mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang beriman.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 169-171)
Begitu juga amar makruf dan nahi munkar sangat berat bagi hawa nafsu kita, kebanyakan orang tidak menyukainya dengan berdalih, “untuk apa saya susah-susah mengganggu orang lain,” tetapi jika ia mampu menaklukkan hawa nafsunya ini akan menjadi sebab masuk surga, dan semua amalan yang diperintahkan Allah itu tidak disenangi oleh hawa nafsu kita, maka paksalah dirimu agar masuk surga.
Menjauhi perbuatan maksiat itu sangat berat dan memerlukan kesungguhan, terlebih jika sesuatu yang sangat menggoda, jika kita mampu meredam untuk meninggalkan maksiat ini sungguh akan menghantarkan kita pada surga. Seorang pemuda yang tinggal di negeri kafir yang sangat liberal, setiap orang bebas melakukan apa saja, di depannya para wanita cantik sementara dia masih muda belum bernikah, tentu akan sangat berat untuk menjauhi perbuatan zina, kerana semua tersedia di depannya, tetapi jika ia mampu mengekang hawa nafsunya pasti akan menjadi jambatan emas menuju ke surga Allah.
Kesimpulannya bahwa neraka itu diliputi dengan hal-hal yang menyenangkan, dan sebaliknya surga diliputi dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Bersungguh-sungguhlah menunaikan hal-hal yang dicintai Allah walaupun berat, ingatlah jika kita memaksakan diri menunaikan ketaatan maka lama-kelamaan akan mencintainya dan menjadi kebiasaan, bahkan merasa enggan untuk meninggalkannya.
Sebagian orang merasa berat dan sulit untuk menunaikan shalat berjamaah. Rasanya berat sekali untuk memulainya. Tetapi, lama-kelamaan shalat berjamaah menjadi ibadah yang mengasyikkan baginya. Jika dilarang untuk meninggalkannya, pasti tidak akan menuruti. Oleh sebab itu, paksalah dirimu pada permulaan untuk menunaikannya, insya Allah, selanjutnya akan menjadi kebiasaan yang menyenangkan. Semoga Allah menolong kita semua untuk selalu berdzikir, bersyukur dan beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.
Hadits 102.
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافَتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ يَرْ كَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ يَرْ كَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا، يَقْرُأُ مُتَرَسِّلًا إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيْهَا تَسْبِيْحٌ سَبَّحَ، وإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ، ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُوْلُ: « سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ » فَكَانَ رُكُوعُهُ نَحْْوًا مِنْ قِيَامِهِ ثُمَّ قَالَ: « سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ » ثُمَّ قَامَ قِيَامًا طَوِيْلًا قَرِيْبًا مِمَّا رَكَعَ، ثُمَّ سَجَدَ فَقَالَ: « سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى » فَكَانَ سُجُودُهُ قَرِيْبًا مِنْ قِيَامِهِ ». رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Suatu malam aku shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesudah membaca Al-Fatihah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca surat Al-Baqarah, hati kecil aku berkata, “Mungkin Rasulullah akan ruku, setelah seratus ayat,” tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap meneruskannya, kemudian hati kecilku mengatakan lagi, “Mungkin Rasulullah akan menyelesaikannya dalam satu rakaat,” tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap meneruskannya, kemudian hati kecil aku mengatakan lagi, “Rasulullah mungkin akan ruku' setelah selesai,” tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca lagi surat An-Nisa hingga selesai, kemudian membaca lagi surat Ali Imran hingga selesai. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membacanya dengan tartil, jika menemukan ayat tasbih, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membaca tasbih, jika menemukan ayat permohonan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memohon, jika menemukan ayat perlindungan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berlindung.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ruku' dan membaca, “Subhaanallah Rabiyal Azhiim,” (Maha Suci Allah Tuhanku Yang Maha Agung) yang lamanya hampir sama dengan berdirinya, kemudian Rasulullah bangkit dari ruku' dan mengucapkan, “Samiallahu liman hamidah,” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya, Wahai Tuhan kami, hanya bagi Mu segala puji), dan kemudian Rasulullah berdiri lama hampir seperti ruku'nya, kemudian Rasulullah sujud dan mengucapkan, “Subhaanallah Rabiyal A'la,” (Maha Suci Allah Tuhanku Yang Maha Luhur), lama sujudnya hampir sama dengan berdirinya.”
[Shahih Muslim no. 772]
Penjelasan.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhuma bahwasanya ia pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu malam, kerana terkadang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama Hudzaifah, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas radhiyallahu anhum. Tetapi biasanya baginda shalat malam sendirian, kerana shalat malam tidak disyariatkan berjamaah kecuali bulan Ramadhan, tetapi tidak masalah ditunaikan secara berjamaah kadang-kadang sebagaimana dalam hadits ini.
Ia berkata, “Sesudah membaca Al-Fatihah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat Al-Baqarah, hati kecilku berkata, “Mungkin Rasulullah akan ruku' setelah seratus ayat,” tetapi Rasulullah tetap meneruskannya, kemudian hati kecilku mengatakan lagi, “Mungkin Rasulullah akan menyelesaikannya dalam satu rakaat,” tetapi Rasulullah tetap meneruskannya, kemudian hati kecilku mengatakan lagi, “Mungkin Rasulullah akan ruku' setelah selesai,” tetapi Rasulullah membaca surat An-Nisa hingga selesai, kemudian membaca lagi surat Ali Imran hingga selesai. Rasulullah membacanya dengan tartil tidak tergesa-gesa, jika menemukan ayat tasbih, Rasulullah membaca tasbih, jika menemukan ayat permohonan, Rasulullah memohon, jika menemukan ayat perlindungan, Rasulullah berlindung.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan antara bacaan Al-Qur'an, dzikir dan tadabbur. Tentunya orang yang memohon ketika membaca ayat-ayat permohonan, berlindung ketika membaca ayat-ayat perlindungan, bertasbih ketika membaca ayat-ayat tasbih, adalah meresapi dan merenungkan apa yang ia baca, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui ayat-ayat ini dalam satu rakaat, tiga surat yang panjang; Al-Baqarah, An-Nisa, Ali Imran lebih dari lima juz, merenungkan dan meresapi apa yang baginda baca, mohon perlindungan ketika melewati ayat-ayat ancaman, memohon kasih sayang ketika melewati ayat-ayat rahmat, dan bertasbih ketika melewati ayat-ayat tasbih.
Dengan demikian betapa lama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri? Tentu sangat lama sekali, oleh kerana itu Rasulullah berdiri shalat malam sehingga kakinya bengkak.
Bahkan Ibnu Mas'ud yang masih muda shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri shalat malam sangat lama sekali, sehingga aku berniat buruk, kemudian para sahabat bertanya apa keinginanmu itu? Ia menjawab, “Aku ingin duduk dan meninggalkannya,” betapa pun ia masih muda tidak kuat kerana lamanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dalam shalat malam.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baru ruku' setelah selesai membaca ketiga surat yang panjang ini, kemudian membaca, “Subhaanallah Rabiyal Azhiim” (Maha Suci Allah Tuhanku Yang Maha Agung) dan ruku'nya juga panjang hampir sama dengan berdirinya, kemudian Rasulullah bangkit dari ruku' dan berdiri lama setelah ruku' dan mengucapkan “Samiallahu liman hamidah” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya, wahai Tuhan kami, hanya bagi-Mu segala puji) dan lamanya hampir sama dengan lama ruku'nya, kemudian Rasulullah sujud dan mengucapkan, “Subhaanallah Rabiyal A'la” (Maha Suci Allah, Tuhanku Yang Maha Luhur), yang lamanya hampir sama dengan berdirinya.
Demikianlah lama shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu proporsional, jika Rasulullah berdiri lama maka lama juga dalam ruku', sujud, bangkit dari ruku', duduk di antara dua sujud. Sebaliknya jika Rasulullah membaca surat pendek, maka juga tidak lama ruku', sujud, berdirinya agar shalatnya proposional. Demikianlah gambaran shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dalam shalat wajib mahupun shalat sunnah.
Dalam hadits ini terdapat beberapa pelajaran:
“Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.”
(QS. Al-Fath: 48: 29)
2. Diperbolehkan berjamaah dalam shalat malam, tetapi tidak selalu, hanya sesekali kecuali di bulan Ramadhan, sedangkan pada bulan Ramadhan disunnahkan berjamaah.
3. Disunnahkan dalam shalat malam untuk memohon ketika membaca ayat rahmat, seperti ketika membaca ayat yang menyebutkan surga, berhenti dan memohon, “Ya Allah jadikan daku termasuk penghuninya, Ya Allah aku mohon surga-Mu,” dan jika melewati ayat yang menyebutkan neraka, berhenti dan berlindung, “Aku berlindung darinya, aku berlindung dari siksa neraka,” jika melewati ayat tasbih yaitu ayat yang mengagungkan Allah, berhenti dan bertasbih dan mengagungkannya. Hal ini disunnahkan dalam shalat malam adapun dalam shalat wajib boleh melakukannya tetapi bukan sunnah, tidak dilarang dan juga tidak diperintahkan, berbeda dalam shalat malam lebih utama melakukannya, berlindung pada ayat-ayat perlindungan, memohon pada ayat-ayat rahmat, dan bertasbih pada ayat-ayat tasbih.
4. Diperbolehkan mendahulukan sebagian surat atas yang lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendahulukan surat An-Nisa' sebelum surah Ali Imran, urutan ini setahun sebelum baginda wafat, baginda mendahulukan surat Ali Imran daripada surah An-Nisa' oleh kerana itu para sahabat menyusun seperti ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan antara surat Al-Baqarah dan Ali Imran dalam sabda baginda:
“Bacalah Az-Zahrawain (dua bunga yang indah) yaitu surat Al-Baqarah dan Ali Imran, sungguh keduanya akan datang pada hari Kiamat seolah dua awan atau dua kelompok burung pada musim panas yang menaungi orang yang membacanya.”
[Shahih Muslim no. 1337]
Yang penting bahwa urutan yang terakhir adalah mendahulukan surat Ali Imran daripada surah An-Nisa'.
5. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertasbih dan mengulang-ulangnya, kerana Hudzaifah radhiyallahu anhu mengatakan, “Rasulullah membaca “Subhaanallah Rabiyal Azhiim,” (Maha suci Allah Yang Maha Agong) sangat lama dan membaca “Subhaanallah Rabiyal A'la,” (Maha suci Allah Tuhan Yang Maha Luhur) sangat lama dan tidak membaca bacaan yang lain.”
Hal ini menunjukkan berapapun banyak anda mengulang tasbih ketika ruku' dan sujud tetap merupakan sunnah, selain itu Rasulullah juga memperbanyak bacaan,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ اْغْفِرْ لِيْ
“Maha Suci Engkau, Ya Allah ampunilah aku,” dan baginda juga membaca doa,
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَائِكَةِ وَالرُّوْحِ
“Maha Suci Allah Tuhan para malaikat dan Ar-Ruuh (Jibril).”
Setiap dzikir dan doa yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disunnahkan untuk dibaca dalam shalat. Kita memohon kepada Allah semoga kita mendapatkan anugerah untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik zahir mahupun batin, menolong kita dalam mengharungi kehidupan dunia ini hingga akhirat kelak, sungguh Dia-lah Maha Mulia.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ اْغْفِرْ لِيْ
“Maha Suci Engkau, Ya Allah ampunilah aku,” dan baginda juga membaca doa,
سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّ الْمَلاَائِكَةِ وَالرُّوْحِ
“Maha Suci Allah Tuhan para malaikat dan Ar-Ruuh (Jibril).”
Setiap dzikir dan doa yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disunnahkan untuk dibaca dalam shalat. Kita memohon kepada Allah semoga kita mendapatkan anugerah untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik zahir mahupun batin, menolong kita dalam mengharungi kehidupan dunia ini hingga akhirat kelak, sungguh Dia-lah Maha Mulia.
Hadits 103.
عَنْ اِبْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً، فَأَطَالَ الْقِيَامَ حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سُوْءٍ! قِيْلَ: وَمَا هَمَمْتَ بِهِ؟ قَالَ: هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Kemudian ditanyakan: “Apa yang ingin kamu lakukan?”
Maka dia (Ibnu Mas'ud) menjawab: “Aku ingin duduk dan meninggalkan baginda (shalat sendirian).”
[Shahih Al-Bukhari no. 1135. Muslim no. 773]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah yang menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, ia adalah salah satu yang membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehari-hari seperti mempersiapkan bantal dan siwak. Pada suatu malam, ia shalat malam bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat lama. Sebagaimana pada pembahasan yang lalu bahwa baginda shalat malam hingga kakinya bengkak dan terkadang pecah-pecah telapak kakinya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Hudzaifah bahwa baginda membaca tiga surah yang panjang dalam satu rakaat; Al-Baqarah, An-Nisa' dan Ali Imran.
Hadits 104.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Begitu juga ketika Ibnu Mas'ud shalat bersamanya sangat lama bahkan ia sampai berniat buruk, yaitu ingin melakukan sesuatu yang tidak lazim dilakukan, kemudian para sahabat bertanya, “Apa yang anda inginkan wahai Abu Abdullah?” Ibnu Mas'ud menjawab, “Aku ingin duduk dan meninggalkannya.” Padahal Ibnu Mas'ud adalah pemuda, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kuat melakukannya kerana baginda adalah orang yang paling banyak beribadah dan paling bertakwa kepada Allah. Dalam hadits ini sebagai dalil disunnahkan memperpanjangkan rakaat shalat malam, jika ia melakukannya berarti ia mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tetapi jika anda memperpanjangkan dalam berdiri maka sunnahnya juga memperpanjangkan ruku', sujud, duduk antara dua sujud, bangkit dari ruku' kerana itu adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalatnya proporsional, jika memperpanjangkan berdirinya maka memperpanjangkan rukun yang lainnya, sebaliknya jika tidak lama berdiri, baginda juga tidak lama dalam rukun yang lain.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « يَتْبَعُ الْمَيْتَ ثلَاثَةٌ: أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ اِثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدٌ: يَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ، وَيَبْقَى عَمَلُهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Ada tiga hal yang mengikuti orang yang meninggal: keluarga, harta dan amalnya, kemudian yang dua kembali (pulang bersama para penghantar jenazah) dan hanya satu yang bersamanya; keluarga dan hartanya kembali dan yang tinggal (tetap menyertainya) adalah amalnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6514. Muslim no. 2960]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits dari Anas radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal yang mengikuti orang yang meninggal: keluarga, harta dan amalnya, kemudian yang dua kembali (pulang bersama para pengantar jenazah) dan hanya satu yang bersamanya; keluarga dan hartanya kembali dan yang tinggal (tetap menyertainya) adalah amalnya.” Sungguh benar sabda Rasulullah ini, keluarga hanya mengantarkanmu ke kuburan, sungguh hinanya kehidupan dunia ini, orang yang paling mencintaimu menguburkanmu dan menjauhkanmu dari mereka, bahkan seandainya dibayar, mereka enggan jasadmu tetap bersama mereka, orang yang paling engkau cintai mereka menguburkanmu dan kembali meninggalkanmu.
Hadits ini terdapat dalil bahwa semua kehidupan dunia ini akan kembali meninggalkannya tidak ada satupun yang bersamanya di kubur. Harta dan anak adalah perhiasan dunia yang akan meninggalkannya, siapakah yang akan menemaninya?, hanya satu yaitu amalnya, maka dari itu wahai saudaraku hendaknya kita memprioritaskan sahabat yang akan menemani kita hingga hari kiamat, bersungguh-sungguh untuk menunaikan amal shalih yang akan setia menemani kita ketika kita ditinggalkan oleh keluarga dan anak-anak yang kita cintai.
Hubungan hadits ini dengan bab ini sangat jelas, kerana beramal shalih itu memerlukan kesungguhan, maka hendaknya setiap orang bersungguh-sungguh untuk beramal shalih yang akan tetap bersama menemaninya hingga Kiamat kelak, semoga kita mendapatkan husnul khatimah, mendapatkan pertolongan-Nya, sungguh Dialah Yang Maha Mulia.
Hadits 105.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اَلْجَنَّةُ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang di antara kalian dari tali sandalnya, dan begitu juga neraka seperti itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6488]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini dari Ibnu Mas'ud radhiyallhu anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga itu lebih dekat kepada salah seorang di antara kalian dari tali sandalnya...” “Tali sandal.” Ini adalah kiasan yang artinya sangat dekat dengan yang memakainya. Kerana bisa jadi satu kata menyebabkan masuk surga, mengucapkan satu kata yang diridhai Allah Ta'ala tanpa mengira bahwa satu kata itu mengantarkannya masuk surga.
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”
“Tidak perlu kamu meminta maaf, kerana kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (kerana telah taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) kerana sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 9: 66)
Hadits 106.
Sementara hadits ini lebih umum dari itu, kerana memperbanyak ketaatan itu termasuk sebab masuknya seseorang ke dalam surga, hal ini tidak sulit bagi sesiapa yang dimudahkan Allah. Seorang mukmin yang dilapangkan hatinya untuk menerima Islam menunaikan shalat dengan khusyu' tenang, menjaga shalat, menunaikan zakat, berpuasa, haji menunaikan amal kebaikan dan menjauhi larangan-larangan Allah baik ucapan mahupun tindakan, kerana dekat dengannya.
Tidak sedikit orang yang dadanya sempit menerima Islam sehingga berat menunaikan ketaatan, sulit meninggalkan kemaksiatan sehingga surga itu tidak lebih dekat dengan tali sandalnya, na'udzubillah.
Begitu pula bagian kedua dari peringatan hadits ini yaitu neraka, “Dan begitu juga neraka seperti itu,” yaitu dekat dari tali sandalnya, kerana bisa jadi seseorang mengucapkan satu kata yang tidak ia sadari dan ternyata ucapan itu menyebabkan murka Allah sehingga menggelincirkannya ke dalam neraka selama bertahun-tahun. Betapa banyak kata yang terucap dari seseorang tanpa ia sadari, ternyata menyebabkannya masuk ke neraka Jahannam. Semoga kita mendapatkan keselamatan.
Mari kita perhatikan kata-kata orang munafik pada perang Tabuk ketika mereka berbincang-bincang, “Bagaimana pendapat kalian tentang para qari kita yang mereka itu hanya mencari isi perut, pendusta dan paling takut bertemu dengan musuh.” Yang mereka maksud adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat baginda, tujuan mereka hanya mencari perut hingga gendut kerana banyak makan, berdusta, dan takut bertemu musuh, tidak bertahan tetapi lari terbirit-birit. Seperti inilah ungkapan orang-orang munafik tentang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Demikian Allah Ta'ala berfirman,
(QS. At-Taubah: 9: 65)
Mereka berkelit, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja,” maka Allah Ta'ala berfirman, “Katakanlah (Wahai Muhammad) “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok.”
“Tidak perlu kamu meminta maaf, kerana kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (kerana telah taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) kerana sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 9: 66)
Allah Ta'ala menjelaskan bahwa mereka itu telah kafir setelah beriman kerana menghina Allah, ayat-ayat-Nya dan juga Rasul-Nya. Oleh kerana itu wajib bagi setiap orang untuk selalu memperhatikan setiap kata yang terucap dan memelihara lisannya. Semoga kita semua teguh memegang kebenaran dan terhindar dari dosa.
عَنْ أَبِي فِرَاسٍ رَبِيْعَةَ بْنِ كَعْبٍ الْأَسْلَمِيِّ خَادِمِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمِنْ أَهْلِ الصُّفَّةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنْتُ أَبِيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَآتِيْهِ بِوَضُوْئِهِ، وَحَاجَتِهِ فَقَالَ: « سَلْنِي » فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ، فَقَالَ: « أَوَ غَيْرَ ذَلِكَ؟ » قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ، قَالَ: فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرةِ السُّجُودِ. » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Firas Rabi'ah bin Ka'ab Al-Aslami, pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan termasuk dari ahlu Suffah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah bermalam bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian aku menyediakan air untuk Rasulullah berwudhu dan keperluan Rasulullah yang lain. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku!”
Aku menjawab, “Aku berharap agar bisa bersamamu di surga.”
Rasulullah bertanya, “Adakah permintaan yang lain?”
Aku menjawab, “Itu saja wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.”
[Shahih Muslim no. 489]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut riwayat dari Rabi'ah bin Malik Al-Aslami radhiyallahu anhu, ia adalah salah seorang pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari orang yang merdeka, di antaranya adalah: Rabi'ah bin Malik dan Ibnu Mas'ud, mereka memiliki kemuliaan dengan melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia termasuk Ahli Suffah, yaitu orang-orang yang hijrah ke Madinah yang tidak memiliki tempat tinggal, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan mereka di pojok masjid Nabawi, jumlah mereka terkadang mencapai delapan puluh orang dan terkadang kurang dari itu, para sahabat memberi mereka makanan, susu serta sedekah.
Pada suatu ketika ia membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyediakan air wudhu dan keperluan yang lain. Kata “wadhu” artinya adalah air wudhu sedangkan “wadhu” adalah berwudhu. Adapun keperluan Rasulullah tidak diterangkan di sini, tetapi maksudnya adalah setiap keperluan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia membantunya.
Pada suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Mintalah sesuatu kepadaku!” untuk memberi imbalan atas kebaikannya, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia termulia, baginda pernah bersabda,
“Barangsiapa yang telah berbuat baik kepadamu, maka berilah dia imbalan.”
[Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2/68), Ibnu Hibban no. 2408]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ingin memberinya imbalan dengan sabdanya, “mintalah kepadaku!” maksudnya mintalah yang menjadi kebutuhanmu!, pada umumnya orang mengira kalau sahabat ini akan meminta harta, tetapi cita-citanya sangat tinggi, yaitu, “Aku berharap agar bisa bersamamu di surga,” sebagaimana aku bersamamu di dunia ini. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Adakah permintaan yang lain?” Yang kira-kira aku sanggup memenuhinya? Kemudian ia menjawab, “Itu saja wahai Rasulullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu dengan banyak bersujud.”
Inilah yang menjadi poin tema ini bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu dengan banyak bersujud,” sedang banyak sujud itu memerlukan banyak ruku', banyak ruku' memerlukan banyak berdiri, kerana setiap rakaat shalat terdapat satu ruku' dan dua sujud, jika banyak sujud maka banyak ruku' dan berdiri.
Dalam hadits ini disebutkan banyak sujud bukan yang lain, kerana sujud bagian dari shalat yang paling mulia dan seorang hamba itu paling dekat dengan Tuhannya adalah ketika sujud, seorang yang shalat sangat dekat dengan Tuhannya baik ketika berdiri, ruku' ataupun sujud, tetapi yang paling dekat adalah ketika sujud.
Hal ini sebagai dalil keutamaan sujud, tetapi para ulama berbeda pendapat tentang masalah mana yang lebih afdal, memperpanjangkan berdiri dalam shalat atau ruku' dan sujud?
Sebagian berpendapat bahwa yang lebih afdal adalah memperpanjangkan berdiri dan sebagian yang lebih utama memperpanjangkan sujud dan ruku'. Tetapi yang lebih tepat adalah proporsional, tentunya berdiri lebih panjang daripada ruku' dan sujudnya, tetapi jika ingin memperpanjangkan berdiri maka hendaknya diiringi dengan memperpanjangkan ruku' dan sujud, sebaliknya jika ingin memperpendekkan berdiri hendaknya ruku' dan sujud juga tidak panjang.
Hadits ini juga sebagai dalil bahwa memperbanyakkan shalat itu baik betapa pun banyaknya, terkecuali pada waktu-waktu yang terlarang, yaitu dari sejak terbit matahari hingga matahari setinggi tombak dan ketika matahari tepat berada diatas kita sehingga tergelincir, dan setelah shalat ashar hingga maghrib, tiga waktu ini seseorang dilarang untuk menunaikan shalat sunnah, kecuali ada suatu sebab, seperti tahiyyatul masjid, shalat setelah berwudhu dan sebagainya.
Hadits ini juga terdapat dalil diperbolehkannya meminta bantuan kepada seorang yang merdeka, hal ini bukan termasuk perbuatan yang aib, bahkan kalau seandainya anda berkata kepada pembantu, “Tolong ambilkan sesuatu,” atau meminta kepada tuan rumah ketika kita bertamu, “Tolong saya minta air atau kopi,” kerana hal ini bukan termasuk permintaan yang dilarang, tetapi termasuk adab kebiasaan bertamu.
Juga sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjamin seseorang masuk surga. Oleh kerana itu, Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak bisa mengabulkan permintaan orang ini, tetapi hanya bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu itu dengan banyak bersujud.” Jika ia menunaikan wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini yaitu memperbanyakkan sujud maka ia akan menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga.
Hadits 107.
عَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ وَيُقَالُ: أَبُوْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُوْدِ، فَإِنَّكَ لَنْ تَسْجُدَ للهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيْئَةً. » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Abdullah, ada juga yang mengatakan Abu Abdurrahman Tsauban, mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah kamu memperbanyak sujud, sesungguhnya tidaklah engkau bersujud walau hanya sekali kepada Allah, kecuali Dia akan mengangkatmu satu derajat dan menghapuskan dirimu satu kesalahan.”
[Shahih Muslim no. 488]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Tsauban mantan budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kamu memperbanyak sujud, sesungguhnya tidaklah engkau bersujud walau hanya sekali kepada Allah, kecuali Dia akan mengangkatmu satu derajat dan menghapuskan dirimu satu kesalahan.”
Hadits ini seperti yang sebelumnya yaitu hadits Rabi'ah bin Malik Al Aslamiy ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku berharap agar bisa bersamamu di surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu dengan banyak bersujud.”
Hadits ini sebagai dalil bahwa setiap muslim hendaknya memperbanyakkan sujud, sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa banyak sujud berarti memperbanyak ruku', berdiri, duduk, kerana setiap dalam rakaat terdapat dua sujud dan satu ruku', tidak mungkin kita sujud dalam satu rakaat, tiga atau empat sujud, dengan demikian banyak sujud berarti memperbanyak ruku', berdiri dan juga duduk di antara dua sujud.
Daripada Abu Shafwan Abdullah bin Busr Al-Aslami radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Hadits ini seperti yang sebelumnya yaitu hadits Rabi'ah bin Malik Al Aslamiy ia berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku berharap agar bisa bersamamu di surga.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bantulah aku untuk mengabulkan permintaanmu dengan banyak bersujud.”
Hadits ini sebagai dalil bahwa setiap muslim hendaknya memperbanyakkan sujud, sebagaimana yang telah kita sebutkan bahwa banyak sujud berarti memperbanyak ruku', berdiri, duduk, kerana setiap dalam rakaat terdapat dua sujud dan satu ruku', tidak mungkin kita sujud dalam satu rakaat, tiga atau empat sujud, dengan demikian banyak sujud berarti memperbanyak ruku', berdiri dan juga duduk di antara dua sujud.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan pahalanya, orang yang memperbanyak sujud akan mendapat dua keutamaan yang besar:
1. Allah akan mengangkat derajatnya setiap kali sujud, baik derajat di sisi-Nya mahupun di mata sesama manusia, begitu pula setiap kali mengerjakan amal shalih Allah akan mengangkat satu derajat.
2. Allah akan menghapuskan satu kesalahan, seseorang itu akan mendapatkan kesempurnaan dengan terhindarnya sesuatu yang ia tidak senangi dan meraih yang ia cintai, mencintai derajat yang tinggi dan membenci setiap kesalahan, jika keduanya telah didapatkan tentunya telah meraih apa yang dicita-citakan dan terhindar dari yang ia khawatirkan.
Hadits 108.
عَنْ أَبِي صَفْوَانَ عَبْدِ اللهِ بْنَ بُسْرٍ الأَسلَمِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَيْرُ النَّاسِ مَنْ طَالَ عُمْرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya.”
[HR. At.Tirmidzi no. 2329, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah no. 1836]
Penjelasan.
Hadits Abu Shafwan Abdullah bin Busr Al-Aslami radhiyallahu anhu ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya baik amal perbuatannya.” Inilah tipe manusia yang terbaik, kerana setiap amal yang ia perbuat akan menambah kedekatannya kepada Allah Ta'ala, oleh kerana itu sebaik-baik manusia adalah yang diberi anugerah dua hal ini. Masalah usia ini di tangan Allah Ta'ala, manusia tidak memiliki hak sedikit pun, tetapi masalah baik dan tidaknya amalan manusia memiliki hak, kerana Allah menciptakan akal dan menurunkan kitab suci, menjelaskan Islam dengan jelas dengan dalil yang kuat. Setiap orang mampu untuk berbuat yang terbaik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginformasikan bahwa menyambung silaturrahmi itu termasuk di antara amal shalih yang menyebabkan panjang umur seseorang, seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya hendaknya menyambung silaturrahim.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1925, 5527. Muslim no. 4638, 4639]Dengan demikian silaturrahmi adalah salah satu sebab dipanjangkan umur seseorang, jika orang yang terbaik adalah yang panjang usia dan baik amalnya, maka hendaknya setiap orang selalu berdoa kepada Allah untuk memanjangkan usianya dan membimbingnya agar meraih predikat manusia yang terbaik ini.
Hadits ini sebagai dalil bahwa hanya sebatas panjang usia saja bukan jaminan terbaik tanpa amal shalih yang diperbuatnya, justru akan menjerumuskannya ke dalam keburukan yang sangat berbahaya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir itu mengira, bahwa tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka lebih baik baginya. Sesungguhnya tenggang waktu yang Kami berikan kepada mereka hanyalah agar dosa mereka semakin bertambah; dan mereka akan mendapat adzab yang menghinakan.” (QS Âli 'Imrân: 3: 178)
Oleh kerana itu, sebagian ulama tidak ingin didoakan panjang usia kecuali dengan ditambahkan, “Semoga Allah memanjangkan usiamu dalam ketaatan kepada-Nya.” Kerana panjang usia itu bisa jadi keburukan baginya. Semoga kita semua termasuk yang panjang usia dan baik amalnya, mendapatkan husnul khatimah. Sungguh Dialah Maha Mulia.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: غَابَ عَمِّيْ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ قِتَالِ بَدْرٍ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ غِبْتُ عَنْ أَوَّلِ قِتَالٍ قَاتَلْتَ الْمُشْرِكِيْنَ، لَئِنِ اللهُ أَشْهَدَنِي قِتَالَ الْمُشْرِكِيْنَ لَيُرِيَنَّ اللهُ مَا أَصْنَعُ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ انْكَشَفَ الْمُسْلِمُوْنَ فَقَالَ: اللَّهُمَّ أَعْتَذِرُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلاَءِ يَعْنِي أَصْحَابَهُ وَأَبْرَأُ إِلَيْكَ مِمَّا صَنَعَ هَؤُلاَءِ يَعْنِي الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَاسْتَقْبَلَهُ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ، فَقَالَ: يَا سَعْدُ بْنَ مُعُاذٍ الْجَنَّةُ وَرَبِّ الْكَعْبَةِ، إِنِّى أَجِدُ رِيْحَهَا مِنْ دُوْنِ أُحُدٍ. قَالَ سَعْدٌ: فَمَا اسْتَطَعْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا صَنَعَ، قَالَ أَنَسٌ: فَوَجَدْنَا بِهِ بِضْعًا وَثَمَانِيْنَ ضَرْبَةً بِالسَّيْفِ، أَوْ طَعْنَةً بِرُمْحٍ، أَوْ رَمْيَةً بِسَهْمٍ، وَوَجَدْنَاهُ قَدْ قُتِلَ وَمَثَّلَ بِهِ الْمُشَّرِكُونَ فَمَا عَرَفَهُ أَحَدٌ إِلاَّ أُخْتُهُ بِبَنَانِهِ. قَالَ أَنَسٌ: كُنَّا نَرَى أوْ نَظُنُّ أَنَّ هَذِهِ الْآيَةَ نَزَلَتْ فِيْهِ وَفِي أَشْبَاهِهِ: [مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ] [الأحزاب: ٢٣] إِلَى آخِرِهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Kemudian ia maju dan bertemu dengan Sa'ad bin Mu'adz ia berkata, “Wahai Sa'ad bin Mu'adz, demi Rabb Ka'bah, sungguh aku mencium aroma surga dari dekat Uhud.”
Kemudian Sa'ad berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak mampu berbuat sepertinya.”
Anas berkata, “Setelah perang usai aku menemukan pada tubuhnya delapan puluh lebih luka tikaman pedang, atau tikaman tombak, atau tusukan anak panah, kami menemukannya telah meninggal dan dicincang oleh orang-orang musyrik sehingga tidak ada satupun orang yang mengenalinya kecuali saudara perempuannya dengan mengamati jari-jemarinya.”
Kemudian Anas berkata lagi, “Kami yakin bahwa ayat ini turun mengenainya.”
“Di antara orang-orang mu'min itu ada orang-orang yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 23)
[Shahih Al-Bukhari no. 2805. Muslim no. 1903]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu tentang pamannya, Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu bahwa pamannya itu tidak bersama Rasulullah ketika pada perang Badar, kerana perang Badar Rasulullah keluar dengan tujuan bukan untuk berperang tetapi ingin mencegat kabilah Quraisy dan hanya bersama sekitar tiga ratus beberapa puluh saja, para sahabat membawa tujuh puluh unta dan dikawal oleh beberapa kuda, banyak sahabat radhiyallahu anhu yang tidak mengikutinya kerana tujuan utamanya bukan untuk berperang, baginda keluar dengan jumlah yang sedikit.
Kemudian Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu ia menjelaskan bahwasanya ia tidak ikut pada awal peperangan kaum muslimin melawan orang-orang musyrik, dengan mengatakan, “Seandainya Allah menakdirkan aku untuk bisa mengikuti peperangan melawan orang-orang musyrik, niscaya Allah benar-benar akan memperlihatkan apa yang aku perbuat.”
Ketika gendang perang Uhud dibunyikan berselang setahun lebih setelah itu, para sahabat ikut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada mulanya peperangan dikuasai oleh kaum muslim, tetapi setelah kelompok pemanah meninggalkan tempat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap tinggal disana, turun dari bukit, dengan cepat pasukan musyrikin menguasai bukit itu dan berbalik menguasai mereka, sehingga pasukan kaum muslimin kelam kabut. Pada waktu itu Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu maju dan berkata, “Ya Allah, aku memohon ampun atas apa yang dilakukan teman-temanku, dan aku berlepas diri terhadap perbuatan orang-orang musyrik.”
Kemudian ia maju dan bertemu dengan Sa'ad bin Mu'adz dan ia bertanya, “Hendak ke mana engkau?” Ia menjawab, “Wahai Sa'ad bin Mu'adz, demi Rabb Ka'bah, sungguh aku mencium aroma dari dekat Uhud,” ini adalah penciuman yang nyata bukan khayalan kerana karamah Allah Ta'ala, sahabat ini benar-benar mencium aroma surga sebelum syahid, ia menerobos maju ke barisan musuh sehingga terbunuh sebagai syahid.
Ia syahid dan di tubuhnya terdapat sebanyak delapn puluh lebih luka, bekas tikaman pedang atau tusukan tombak dan panah, sehingga kulitnya tercabik-cabik dan tidak ada yang mengenalinya kecuali saudarinya dari jari-jarinya. Kaum muslimin mengetahui bahwa Allah telah menurunkan firman-Nya,
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).”
Daripada Abu Mas'ud Uqbah bin Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu anhu ia berkata,
“Setelah turun ayat yang memerintahkan sedekah, kami memanggul harta sedekah kami, ada seseorang yang datang dengan membawa harta sedekah yang sangat banyak, kemudian orang-orang munafik berkata, “Orang itu sedekah kerana riya.” Kemudian datang orang lain yang bersedekah satu sha' (gantang), kemudian orang-orang itu berkata, “Sungguh Allah tidak membutuhkan harta sedekah satu segantang.” Maka turunlah firman Allah Ta'ala,
Ketika gendang perang Uhud dibunyikan berselang setahun lebih setelah itu, para sahabat ikut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada mulanya peperangan dikuasai oleh kaum muslim, tetapi setelah kelompok pemanah meninggalkan tempat yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap tinggal disana, turun dari bukit, dengan cepat pasukan musyrikin menguasai bukit itu dan berbalik menguasai mereka, sehingga pasukan kaum muslimin kelam kabut. Pada waktu itu Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu maju dan berkata, “Ya Allah, aku memohon ampun atas apa yang dilakukan teman-temanku, dan aku berlepas diri terhadap perbuatan orang-orang musyrik.”
Kemudian ia maju dan bertemu dengan Sa'ad bin Mu'adz dan ia bertanya, “Hendak ke mana engkau?” Ia menjawab, “Wahai Sa'ad bin Mu'adz, demi Rabb Ka'bah, sungguh aku mencium aroma dari dekat Uhud,” ini adalah penciuman yang nyata bukan khayalan kerana karamah Allah Ta'ala, sahabat ini benar-benar mencium aroma surga sebelum syahid, ia menerobos maju ke barisan musuh sehingga terbunuh sebagai syahid.
Ia syahid dan di tubuhnya terdapat sebanyak delapn puluh lebih luka, bekas tikaman pedang atau tusukan tombak dan panah, sehingga kulitnya tercabik-cabik dan tidak ada yang mengenalinya kecuali saudarinya dari jari-jarinya. Kaum muslimin mengetahui bahwa Allah telah menurunkan firman-Nya,
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Dan di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya).”
(QS. Al-Ahzâb: 33: 23)
Tentunya sahabat yang mulia ini dan yang sepertinya termasuk yang dimaksud dalam ayat ini, kerana mereka telah membenarkan apa yang dijanjikan Allah kepadanya, dan Anas bin An-Nadhar berkata, “Demi Allah, niscaya Allah benar-benar akan memperlihatkan apa yang aku perbuat,” kemudian ia melakukannya, ia telah mempersembahkan dirinya syahid, yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun kecuali yang mendapat karunia-Nya.
Hadits ini sebagai dalil yang berkenaan dengan bab ini, yaitu kesungguhan seseorang untuk menunaikan ketaatan kepada Allah, Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu telah melakukan usaha ini dengan berjihad yang tertinggi, ia bertekad maju menerobos barisan musuh setelah barisan kaum muslimin porak peranda sehingga ia terbunuh sebagai syahid.
Tentunya sahabat yang mulia ini dan yang sepertinya termasuk yang dimaksud dalam ayat ini, kerana mereka telah membenarkan apa yang dijanjikan Allah kepadanya, dan Anas bin An-Nadhar berkata, “Demi Allah, niscaya Allah benar-benar akan memperlihatkan apa yang aku perbuat,” kemudian ia melakukannya, ia telah mempersembahkan dirinya syahid, yang tidak mampu dilakukan oleh seorang pun kecuali yang mendapat karunia-Nya.
Hadits ini sebagai dalil yang berkenaan dengan bab ini, yaitu kesungguhan seseorang untuk menunaikan ketaatan kepada Allah, Anas bin An-Nadhar radhiyallahu anhu telah melakukan usaha ini dengan berjihad yang tertinggi, ia bertekad maju menerobos barisan musuh setelah barisan kaum muslimin porak peranda sehingga ia terbunuh sebagai syahid.
Hadits 110.
عَنْ أَبِيْ مَسْعُودٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْروٍ الأَنْصَارِيِّ الْبَدَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الصَّدَقَةِ كُنَّا نُحَامِلُ عَلَى ظُهُورِنَا. فَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ كَثِيْرٍ فَقَالُوا: مُرَاءٍ، وَجَاءَ رَجُلٌ آخَرُ فَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ فَقَالُوْا: إنَّ اللهَ لَغَنِيٌّ عَنْ صَاعِ هَذَا، فَنَزَلَتْ { الَّذِيْنَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِيْنَ لَا يَجِدُونَ إِلاَّ جُهْدَهُمْ } [ التوبة ٧٩ ] الآية. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Setelah turun ayat yang memerintahkan sedekah, kami memanggul harta sedekah kami, ada seseorang yang datang dengan membawa harta sedekah yang sangat banyak, kemudian orang-orang munafik berkata, “Orang itu sedekah kerana riya.” Kemudian datang orang lain yang bersedekah satu sha' (gantang), kemudian orang-orang itu berkata, “Sungguh Allah tidak membutuhkan harta sedekah satu segantang.” Maka turunlah firman Allah Ta'ala,
“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberi sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya.”
(QS. At-Taubah: 9: 79)
[Shahih Al-Bukhari no. 1425. Muslim no. 1018]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut riwayat dari Abu Mas'ud bin Amr radhiyallahu anhu ia berkata setelah turun ayat yang memerintahkan sedekah. Sedekah adalah memberikan harta dengan suka rela untuk orang-orang miskin kerana mencari ridha Allah.
Disebut sedekah kerana seseorang memberikan hartanya kerana Allah Ta'ala sebagai bukti kejujurannya, kerana setiap orang mencintai harta, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 89: 20)
Yaitu mencintainya berlebihan, kerana sesuatu yang sangat dicintai itu biasanya tidak dibelanjakan kecuali untuk sesuatu yang ia cintai, maka seseorang menginfakkannya untuk mencari ridha Allah sebagai bukti kejujuran imannya.
Setelah turun ayat ini para sahabat radhiyallahu anhum berlomba-lomba untuk bersedekah dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini lah tipe para sahabat, ketika turun ayat yang memerintahkan sesuatu mereka berlomba-lomba untuk menunaikannya, sebaliknya ketika turun ayat yang melarang sesuatu mereka juga berlomba-lomba untuk meninggalkannya. Dengan demikian ketika turun ayat yang mengharamkan khamer dan informasi itu sampai kepada kaum Anshar yang sedang minum-minum langsung mereka meninggalkannya, kemudian mereka mengeluarkan gentong-gentong persediaan khamer mereka dan menumpahkan di pasar-pasar sehingga pasar-pasar mereka becek terkena khamer.
[Shahih Al-Bukhari no. 1425. Muslim no. 1018]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut riwayat dari Abu Mas'ud bin Amr radhiyallahu anhu ia berkata setelah turun ayat yang memerintahkan sedekah. Sedekah adalah memberikan harta dengan suka rela untuk orang-orang miskin kerana mencari ridha Allah.
Disebut sedekah kerana seseorang memberikan hartanya kerana Allah Ta'ala sebagai bukti kejujurannya, kerana setiap orang mencintai harta, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 89: 20)
Yaitu mencintainya berlebihan, kerana sesuatu yang sangat dicintai itu biasanya tidak dibelanjakan kecuali untuk sesuatu yang ia cintai, maka seseorang menginfakkannya untuk mencari ridha Allah sebagai bukti kejujuran imannya.
Setelah turun ayat ini para sahabat radhiyallahu anhum berlomba-lomba untuk bersedekah dan menyerahkannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini lah tipe para sahabat, ketika turun ayat yang memerintahkan sesuatu mereka berlomba-lomba untuk menunaikannya, sebaliknya ketika turun ayat yang melarang sesuatu mereka juga berlomba-lomba untuk meninggalkannya. Dengan demikian ketika turun ayat yang mengharamkan khamer dan informasi itu sampai kepada kaum Anshar yang sedang minum-minum langsung mereka meninggalkannya, kemudian mereka mengeluarkan gentong-gentong persediaan khamer mereka dan menumpahkan di pasar-pasar sehingga pasar-pasar mereka becek terkena khamer.
Seperti inilah kewajiban seorang mukmin ketika sampai kepadanya sesuatu yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya, maka ia bersegera menunaikannya, baik yang bersangkutan dengan kewajiban mahupun larangan.
Demikian juga gambaran para sahabat setelah turun ayat perintah untuk bersedekah, mereka memanggul harta sedekah mereka, masing-masing menyedekahkan semampunya dan membawanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada yang banyak dan ada yang sedikit, orang-orang munafik mengomentari setiap sahabat yang membawa harta banyak, “Orang ini sedekah kerana riya bukan kerana Allah,” dan jika ada seseorang yang sedekah sedikit, mereka berkata, “Allah tidak memerlukan sedekah sedikit ini,” ada yang membawa sedekah satu gantang, “Allah tidak memerlukan satu gantang yang kamu bawa ini.”
Mereka itulah orang-orang munafik yang menampak sesuatu yang berbeda dengan kenyataan, perhatian dan bahan pembicaraan mereka adalah mencela dan menyakiti kaum muslimin, kerana mereka adalah musuh, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan mereka akan mendapat adzab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 9: 79)
Kata “Yalmizuna” artinya mencela dan mencaci “Al-Muthawwi'in” orang-orang yang bersedekah dengan sukarela. Kata “Dan orang-orang yang tidak memperoleh untuk disedekahkan selain sekadar kesanggupannya.” bersambung dengan kata “Al-Muthawwi'in” (orang-orang yang bersedekah dengan sukarela), maksudnya mereka juga mencela orang-orang yang tidak memperoleh untuk disedekahkan selain sekadar kesanggupannya. Hadits ini sebagai dalil bahwa para sahabat radhiyallahu anhum selalu berlomba-lomba dalam kebaikan, bersungguh-sungguh menunaikan ketaatan kepada Allah.
Sebagai dalil bahwa Allah itu selalu menolong orang-orang mukmin, sebagaimana Allah Ta'ala menurunkan ayat untuk menolong kaum mukmin dari celaan orang-orang munafik. Betapa kerasnya permusuhan orang-orang munafik terhadap orang-orang mukmin, tidak ada yang selamat dari celaan dan makian mereka, sedekah banyak dicaci apalagi sedikit, tetapi hal ini diserahkan kepada Allah Ta'ala bukan kepada mereka. Oleh kerana itu, Allah menghinakan dan mengancam mereka dan mengancam dengan siksa yang pedih, “Dan untuk mereka adzab yang pedih.”
Sementara hukum masalah ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Maka barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 99: 7-8)
Sedikit atau banyak amal kebaikan itu akan dipetik oleh setiap yang menanamnya begitu pula dengan keburukan, masing-masing akan mendapatkan balasannya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang yang bersedekah senilai satu biji kurma dari penghasilan yang baik -Allah tidak menerima kecuali yang baik- maka Allah akan menerimanya dengan Tangan Kanan-Nya, kemudian merawatnya sebagaimana salah seorang di antara kalian merawat anak kudanya sehingga tumbuh membesar seperti gunung.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1321]
Kita bisa membandingkan antara satu biji kurma dengan gunung, sungguh tidak terbayangkan dan tidak menyamai sedikit pun, Allah memberi balasan amalan hamba baik yang banyak mahu pun yang sedikit, tetapi yang perlu kita perhatikan adalah keikhlasan dalam beramal, jangan mengharap balasan dari selain Allah, selain itu juga harus mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah.
Hadits 111.
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ، عَنْ رَبِيْعَةَ بْنِ يَزِيْدَ، عَنْ أَبِي إِدْرِيْسَ الخَوْلاَنِيِّ، عَنْ أَبِيْ ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جُنَادَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْه، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْمَا يَرْوِى عَنِ اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَّهُ قَالَ: « يَا عِبَادِي إِنِِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُوْنِيْ أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَائِعٌ إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِي أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِيْ إِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا، فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِيْ إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضَرِّيْ فَتَضُرُّوْنِي، وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي، يَا عِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أوَّلَكُمْ وَآخِرِكُمْ، وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِيْ شَيئًا، يَا عِبَادِيْ لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئََا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، قَامُوْا فِي صَعِيْدٍ وَاحِدٍ، فَسَألُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِيْ إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمِدِ الله، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلَا يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ ». قَالَ سَعِيِْدٌ: كَانَ أَبُو إِدْرِيسْ إِذَا حَدَّثَ بِهَذَا الْحَدِيثِ جَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَرَوِّينَا عَنَ الإْمَامِ أَحَمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ: لَيْسَ لِأَهْلِ الشّامِ حَدِيْثٌ أَشْرفَ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ.
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi. Wahai hamba-Ku setiap kalian adalah tersesat kecuali Aku yang beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya Aku beri petunjuk kalian. Wahai hamba-Ku kalian semua kelaparan kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian. Wahai hamba-Ku, kalian semua tidak berpakaian kecuali orang yang aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua. Wahai hamba-Ku, kalian semua selalu berbuat dosa, baik pada malam hari atau siang hari dan Aku adalah Dzat Yang Mengampuni segala dosa, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni kalian semua. Wahai hamba-Ku sesungguhnya kalian semua tidak akan dapat berbuat sesuatu yang merugikan-Ku atau menguntungkan-Ku. Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal itu tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berada di satu tempat kemudian mereka memohon kepada-Ku semua niscaya Aku kabulkan permohonan masing-masing, dan apa yang berada di sisi-Ku tidak akan berkurang kecuali seperti halnya sebatang jarum yang dicelupkan ke dalam samudra yang luas. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal perbuatanmu. Aku mencatat semuanya, kemudian Aku akan membalasnya. Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu hendaknya tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri.”
Said berkata, “Abu Idris setiap kali menyampaikan hadits ini dia akan berlutut.”
Kami meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ia berkata, “Penduduk Syam tidak memiliki hadits yang lebih mulia dari hadits ini.”
[Shahih Muslim no. 2577]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari radhiyallahu anhu dalam bab ini, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Rasulullah menceritakan apa yang difirmankan oleh Allah dan seterusnya. Hadits ini menurut ahli hadits disebut dengan hadits Al-Qudsi atau hadits Al-Ilahi, adapun yang berasal dari ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebut dengan hadits Nabawi.
Hadits Qudsi ini menyebutkan, “Wahai hamba-ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku,” maksudnya Allah tidak pernah menzhalimi seseorang dengan menambah catatan keburukan yang ia tidak kerjakan atau mengurangi catatan kebaikan yang telah ia kerjakan, tetapi Dia-lah Allah Ta'ala Hakim Yang Adil, semua perbuatan-Nya untuk hamba itu ada dua, yaitu memberikan karunia dsn keadilan, memberikan karunia bagi yang menunaikan kebaikan, dan memberikan keadilan bagi yang berbuat keburukan,tidak ada yang ketiga yaitu kezhaliman.
Adapun kebaikan yang telah dikerjakan oleh seseorang hamba Allah, Allah akan membalasnya dengan sepuluh kali lipat, barangsiapa yang berbuat kebaikan maka mendapatkan balasan sepuluh kali lipat tetapi barangsiapa yang berbuat keburukan tidak mendapatkan balasan kecuali seperti yang ia kerjakan, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberikan pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al-An'âm: 6: 160)
Mereka tidak dizhalimi dengan dicurangi kebaikannya dan tidak pula ditambahkan perbuatan keburukan yang telah ia kerjakan, bahkan Allah Ta'ala berfirman:
“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan sedang dia (dalam keadaan) beriman, maka dia tidak khawatir dan perlakuan zhalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya.” (QS. Thâhâ: 20: 112)
“Dzulma” dengan ditambahkan keburukan padanya dan “Hadhma” dikurangi kebaikan yang telah ia kerjakan. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku,” terdapat dalil bahwa Allah Ta'ala mengharamkan dan mewajibkan atas dirinya, di antara yang diwajibkan atas dirinya adalah Rahmat-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 54)
Di antara yang diharamkan atas diri-Nya adalah kezhaliman, kerana Allah berbuat sesuatu sekehendak-Nya, sebagaimana juga mewajibkan dan mengharamkan sesuatu kepada hamba-Nya, kerana Dia mutlak memiliki hukum yang sempurna.
Firman-Nya dalam hadits ini, “Dan Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Yaitu haram saling menzhalimi antara satu dengan yang lainnya, kata “menjadikan” ini termasuk syar'i (Kehendak Allah yang belum tentu terjadi), kerana kata menjadikan yang di nisbatkan Diri Allah itu ada dua macam; Kauni (Kehendak Allah yang pasti terjadi) seperti firman-Nya:
“Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba': 78: 10-11) dan Syar'i seperti firman Allah Ta'ala:
“Allah tidak pernah mensyariatkan adanya Bahirah, Sa'ibah, Washilah dan Ham.”
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 103)
“Tidak menjadikan” artinya tidak mensyariatkan, kerana orang-orang arab kala itu melakukannya. Begitu juga hadits ini “Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian,” yaitu syar'i bukan kauni, kerana kezhaliman itu terjadi di antara sesama manusia.
“Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian,” kezhaliman antara sesama manusia itu ada tiga macam sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah pada haji wada'.
Adapun kebaikan yang telah dikerjakan oleh seseorang hamba Allah, Allah akan membalasnya dengan sepuluh kali lipat, barangsiapa yang berbuat kebaikan maka mendapatkan balasan sepuluh kali lipat tetapi barangsiapa yang berbuat keburukan tidak mendapatkan balasan kecuali seperti yang ia kerjakan, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberikan pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al-An'âm: 6: 160)
Mereka tidak dizhalimi dengan dicurangi kebaikannya dan tidak pula ditambahkan perbuatan keburukan yang telah ia kerjakan, bahkan Allah Ta'ala berfirman:
“Dan barangsiapa mengerjakan kebaikan sedang dia (dalam keadaan) beriman, maka dia tidak khawatir dan perlakuan zhalim (terhadapnya) dan tidak (pula khawatir) akan pengurangan haknya.” (QS. Thâhâ: 20: 112)
“Dzulma” dengan ditambahkan keburukan padanya dan “Hadhma” dikurangi kebaikan yang telah ia kerjakan. Dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman atas diri-Ku,” terdapat dalil bahwa Allah Ta'ala mengharamkan dan mewajibkan atas dirinya, di antara yang diwajibkan atas dirinya adalah Rahmat-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Tuhanmu telah menetapkan sifat kasih sayang pada diri-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 54)
Di antara yang diharamkan atas diri-Nya adalah kezhaliman, kerana Allah berbuat sesuatu sekehendak-Nya, sebagaimana juga mewajibkan dan mengharamkan sesuatu kepada hamba-Nya, kerana Dia mutlak memiliki hukum yang sempurna.
Firman-Nya dalam hadits ini, “Dan Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Yaitu haram saling menzhalimi antara satu dengan yang lainnya, kata “menjadikan” ini termasuk syar'i (Kehendak Allah yang belum tentu terjadi), kerana kata menjadikan yang di nisbatkan Diri Allah itu ada dua macam; Kauni (Kehendak Allah yang pasti terjadi) seperti firman-Nya:
“Dan Kami menjadikan malam sebagai pakaian dan Kami menjadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba': 78: 10-11) dan Syar'i seperti firman Allah Ta'ala:
“Allah tidak pernah mensyariatkan adanya Bahirah, Sa'ibah, Washilah dan Ham.”
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 103)
“Tidak menjadikan” artinya tidak mensyariatkan, kerana orang-orang arab kala itu melakukannya. Begitu juga hadits ini “Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian,” yaitu syar'i bukan kauni, kerana kezhaliman itu terjadi di antara sesama manusia.
“Aku jadikan kezhaliman itu haram di antara kalian,” kezhaliman antara sesama manusia itu ada tiga macam sebagaimana yang diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika khutbah pada haji wada'.
“Sesungguhnya darah, harta, kehormatan kalian adalah haram atas kalian, sebagaimana haramnya hari, bulan dan negeri kalian ini, tidakkah telah aku sampaikan?” Para sahabat menjawab, “Benar.” Baginda bersabda, “Ya Allah saksikanlah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 65, 102, 1623, 1625 dan Muslim no. 3180]
Ketiga hal ini adalah darah, harta dan kehormatan.
Haram berbuat kezhaliman di antara sesama manusia ini pertama dalam masalah darah, haram hukumnya menumpahkan darah baik membunuh atau melukai, mematahkan tulang dan sejenisnya.
Bahkan mematahkan tulang orang yang telah meninggal pun dilarang seperti halnya dalam kondisi hidupnya, sebagaimana yang disinyalir dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan demikian orang yang meninggal itu juga dihormati dan tidak boleh diambil salah satu bagian anggota tubuhnya, kerana ia merupakan amanat yang pada hari kiamat akan dibangkitkan dengan semua anggota tubuhnya, dengan demikian tidak boleh diambil salah satu anggota tubuhnya.
Dengan demikian para ulama madzhab Hambali rahimahullah berpendapat tidak boleh mengambil sesuatu dari anggota tubuh orang yang telah meninggal dunia, walaupun ia berwasiat untuk itu, kerana orang yang telah meninggal itu terhormati sebagaimana kondisi hidupnya, ketika kita mengambil suatu bagian atau mematahkan mayit maka termasuk tindakan haram dan berdosa.
Seorang yang telah meninggal tidak boleh mendonorkan anggota tubuhnya kepada orang lain, kerana bagian-bagian tubuhnya itu merupakan amanat, tidak halal bertindak yang menyia-nyiakannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
(QS. An-Nisâ: 4: 29)
Amr bin Ash radhiyallahu anhu menafsirkan ayat ini dengan seseorang yang junub ketika cuaca yang sangat dingin ia takut membahayakan dirinya jika harus mandi, kemudian hal ini dimasukkan ke dalam ayat ini. Kejadian itu terjadi ketika Amr bin Ash berada dalam suatu peperangan dan junub padahal malam itu sangat dingin kemudian ia bertayammum kemudian mengimami para sahabat, kemudian setelah pulang, ia menginformasikan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda bertanya kepada Amr, “Apakah kamu mengimami para sahabat pada saat sedang junub?” (yaitu belum mandi). Ia menjawab, “Wahai Rasulullah aku mengingat firman Allah,
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh Allah Maha Penyayang kepadamu.”
(QS. An-Nisâ: 4: 29)
“Aku takut cuaca dingin, maka aku bertayammum.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa dan menyetujinya dalam mengambil kesimpulan ayat. Baginda tidak menyatakan arti ayat ini bukan seperti itu.
Dengan demikian, setiap yang membahayakan jiwa hukumnya adalah haram sebagaimana firman Allah ini, sepertinya halnya merokok yang membahayakan kesehatan dan juga hal-hal lain yang berbahaya, hal ini diharamkan kerana untuk menjaga tubuh manusia yang mulia ini. Sabda Rasulullah, “Darah kalian” artinya adalah menumpahkan darah yang menyebabkan kematian ataupun yang tidak, seperti melukai, mematahkan tulang dan sebagainya.
Sabda Rasulullah, “Harta-harta kalian,” Allah Ta'ala mengharamkan seseorang mengambil harta saudaranya tanpa alasan yang benar, baik merampas, mencuri, mencopet, khianat, manipulasi, dusta dan yang semisalnya, semuanya haram demi menjaga harta ini. Dengan demikian, orang-orang yang berdagang dengan memanipulasi barang dagangannya adalah haram, semua keuntungan yang didapatnya haram, maka orang yang berjual beli dengan memanipulasi ini telah melanggar dua larangan:
Pertama, menyulut api permusuhan antara sesama saudara kaum muslimin, kerana mengambil harta mereka dengan cara yang tidak dibenarkan.
Kedua, mereka termasuk orang-orang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas tangan dari mereka, alangkah buruknya suatu barang yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari pemiliknya. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang curang maka bukan dari golonganku.”
[Hadits Riwayat Muslim, kitab Al-Iman no 101]
Seperti halnya yang dilakukan oleh sebagian orang yang merubah sertifikat tanah tetangganya untuk mengeruk harta dengan menghalalkan segala cara. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengikis tanah orang lain dengan cara yang tidak benar, maka pada hari kiamat Allah akan kalungkan kepadanya tujuh bumi.”
[Shahih Muslim no. 1610]
Pada hari Kiamat ia akan memakai kalung seberat tujuh bumi, na'udzubillah, ia akan membawa beban tersebut pada hari Mahsyar, kerana orang itu telah berbuat zhalim. Di antara kezhaliman adalah tidak mengakui hutang yang menjadi kewajibannya, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, walaupun ia menang di pengadilan manusia bukan berarti menang di pengadilan Allah kelak, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan berselisih dan mengadukan masalah kepadamu, bisa jadi sebagian kalian lebih pintar mengutarakan argumennya dari yang lain, kemudian aku akan memenangkannya. Sesungguhnya aku memutuskan perkara hanyalah berdasarkan apa yang aku dengar, barangsiapa yang aku menangkan tetapi sebenarnya menjadi hak saudaranya, sesungguhnya aku telah memotongkan untuknya bara api neraka untuknya, maka hendaknya meminimalisir atau memperbanyak.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2483, 6452, 6634 dan Muslim no. 3231]
Jangan mengira kerana menang di pengadilan manusia akan selamat dari pengadilan Allah di akhirat kelak, tidak demikian, kerana hakim itu menetapkan hukum sesuai dengan yang ia dengar, ia tidak mengetahui yang ghaib, tetapi Yang Maha Mengetahui yang ghaib tetap akan menuntutnya pada hari Kiamat kelak.
Begitu juga seseorang yang mengambil suatu harta orang lain dengan mengklaim miliknya, mencari-cari bukti dan dengan kesaksian palsu dan akhirnya diputuskan miliknya, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, masalah seperti ini sangat banyak, yang semuanya adalah haram jika dengan cara yang tidak benar. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Begitu juga kehormatan seorang muslim itu terlindungi, tidak halal membicarakan aib saudaranya, menggunjingnya (mengumpat) dalam setiap majlis, bahkan termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.”
(QS. Al-Hujurât: 49: 12)
Lihatlah urutan dalam ayat ini, jauhilah kebanyakan prasangka, kerana prasangka seseorang muslim kepada saudaranya itu bagian dari mencari-cari keburukan. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Dan jangan mencari-cari kesalahan!” jika ia telah mencari-cari kesalahan maka selanjutnya ia akan menggunjingnya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain,” kemudian berfirman, “Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2483, 6452, 6634 dan Muslim no. 3231]
Jangan mengira kerana menang di pengadilan manusia akan selamat dari pengadilan Allah di akhirat kelak, tidak demikian, kerana hakim itu menetapkan hukum sesuai dengan yang ia dengar, ia tidak mengetahui yang ghaib, tetapi Yang Maha Mengetahui yang ghaib tetap akan menuntutnya pada hari Kiamat kelak.
Begitu juga seseorang yang mengambil suatu harta orang lain dengan mengklaim miliknya, mencari-cari bukti dan dengan kesaksian palsu dan akhirnya diputuskan miliknya, hal ini termasuk memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, masalah seperti ini sangat banyak, yang semuanya adalah haram jika dengan cara yang tidak benar. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Maka janganlah kalian saling menzhalimi.” Begitu juga kehormatan seorang muslim itu terlindungi, tidak halal membicarakan aib saudaranya, menggunjingnya (mengumpat) dalam setiap majlis, bahkan termasuk dosa besar, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain.”
(QS. Al-Hujurât: 49: 12)
Lihatlah urutan dalam ayat ini, jauhilah kebanyakan prasangka, kerana prasangka seseorang muslim kepada saudaranya itu bagian dari mencari-cari keburukan. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Dan jangan mencari-cari kesalahan!” jika ia telah mencari-cari kesalahan maka selanjutnya ia akan menggunjingnya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Dan janganlah menggunjingkan satu sama lain,” kemudian berfirman, “Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.”
Sebagian ahli tafsir mengatakan, “Pada hari Kiamat orang yang suka menggunjingkan saudaranya akan diberikan mayit kemudian dipaksa untuk memakannya, tentunya merasa jijik tetapi dipaksa untuk memakannya sebagai siksaan baginya.” Na' udzubillah.
Maka ghibah, mencoreng kehormatan saudara seiman- adalah haram, sebagaimana riwayat dari Abu Dawud bahwasanya pada malam Isra' Mi'raj Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan orang-orang yang memiliki kuku dari tembaga yang mencabik-cabik muka dan dadanya sendiri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai Jibril siapakah mereka itu?” Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (menggunjing) dan mencoreng kehormatan mereka.”
Seseorang yang merusak kehormatan saudaranya maka amal kebaikannya akan diambil di akhirat kelak. Oleh kerana itu, para ulama salaf terdahulu ketika ada yang membicarakan aibnya ia memberikan hadiah kepada orang yang menggunjingnya, (mengumpat), kemudian orang tersebut terheran-heran bagaimana mungkin ia memberi hadiah kepada orang yang menggunjingnya? Ia mengatakan, “Kerana engkau telah memberiku hadiah amal shalih yang tetap selamanya, sementara aku hanya memberimu hadiah yang akan habis di dunia, ini sebagai upah atas hadiah yang engkau berikan kepadamu.” Inilah pamahaman para ulama salaf.
Sungguh menggunjing hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar, apalagi menggunjingkan para pemimpin dan ulama, kerana menggunjing mereka itu lebih berat daripada yang lainnya. Menggunjing para ulama menyebabkan sebagian orang meragukan ilmu yang disampaikannya, sehingga akan membahayakan keberlangsungan agama ini, sementara menggunjingkan para pemimpin itu menyebabkan krisis kepercayaan sehingga menyebabkan masyarakat tidak menaatinya, ketika itu terjadi, maka akan terjadi kekacauan. Tidak akan tercipta ketenangan dan kebahagiaan suatu masyarakat jika kekacauan mengancam mereka dan orang-orang yang bodoh menguasai mereka. Semoga Allah menjaga kita semua dari Murka-Nya, sungguh Dia Mahamulia.
“Wahai hamba-Ku setiap kalian adalah tersesat kecuali yang Aku beri petunjuk, maka mohonlah petunjuk kepada-Ku niscaya aku beri petunjuk kalian.” Tersesat bingung tidak mengetahui kebenaran dan juga enggan menerimanya. Orang-orang yang tersesat itu ada dua macam:
-Sebagian kelompok bingung tidak mengetahui kebenaran seperti kaum Nasrani, mereka itu tersesat kebingungan tidak mengetahui kebenaran, kecuali setelah Rasulullah diutus dan kebanyakan mereka mengetahui kebenaran tetapi menolaknya, mereka ini tidak ada bedanya dengan kaum Yahudi kerana mereka mengetahui kebenaran tetapi menolaknya.
-Sebagian mengetahui kebenaran tetapi tidak mahu menerimanya, mereka ini seperti kaum Yahudi, kerana mereka itu mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikutinya.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan adapun kaum Tsamud, mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk itu.”
(QS. Fushshilat: 41: 17)
Allah menjelaskan hidayah kepada mereka tetapi mereka lebih menyukai buta dan tersesat daripada petunjuk dan hidayah. Semua orang itu tersesat melainkan yang ditunjuki Allah Ta'ala.
Tetapi apa petunjuk Allah terhadap kelompok yang tersesat tidak mengetahui petunjuk? Allah menjelaskan kebenaran kepada mereka, Allah mewajibkan atas dirinya untuk memberikan petunjuk ini kepada mereka, maka semua makhluk telah mendapatkan petunjuk ini yaitu keterangan yang jelas.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sesungguhnya Kamilah yang memberi petunjuk.” (QS. Al-Lail: 92: 12)
“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya di turunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 185) Petunjuk Allah itu umum untuk semua manusia.
Tetapi hidayah yang kedua disebut hidayah taufik untuk menerima kebenaran, hidayah inilah yang dikhususkan Allah untuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, petunjuk Allah itu terbagi menjadi dua macam:
1. Hidayah penjelasan untuk semua manusia, Allah mewajibkan atas diri-Nya, menjelaskan mana yang benar dan mana yang batil bagi manusia.
2. Petunjuk taufik, yaitu petunjuk Allah untuk seseorang menerima kebenaran dan mengamalkannya, kerana membenarkan ajaran yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya. Petunjuk ini khusus untuk hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Tipe manusia dalam masalah ini terbagi menjadi tiga bagian:
a) Orang yang mendapatkan keduanya, Allah mengajarinya dan juga memberinya petunjuk untuk menerima kebenaran.
b) Orang yang tidak mendapatkan keduanya, tidak memiliki ilmu dan tidak pula beribadah.
c) Orang yang mendapatkan hidayah irsyad (berupa penjelasan yang benar dan yang baik) tetapi tidak mendapatkan hidayah taufik, bagian inilah yang terburuk di antara ketiganya.
Yang penting Allah Ta'ala berfirman, “Kalian semua adalah tersesat” yaitu yang tidak mengetahui kebenaran, tidak pula ada yang menerimanya melainkan orang yang Allah beri hidayah kepadanya, “Maka mohonlah petunjuk kepada-Ku,” jika kalian memohonnya niscaya Allah akan mengabulkan dan memberi petunjuk kebenaran kepada kalian.
Oleh kerana itu, jawab syarat dalam, “Mohonlah petunjuk kepada-Ku” adalah “Niscaya Aku akan mengabulkannya,” tandanya adalah kata, “Ahdikum” adalah jazm, kapan saja kalian meminta hidayah dari Allah dengan benar dan terus menerus maka niscaya Allah akan memberi petunjuk.
Kebanyakan kita berpaling dari hal ini, atau beribadah tetapi tidak memahami dan meresapinya, tidak bersungguh-sungguh dalam memohon petunjuk kepada-Nya, maka yang harus kita lakukan adalah selalu memohon petunjuk-Nya, setiap hari kita memohon dalam shalat kita, “Ya Rabb ampunilah aku, curahkan rahmat-Mu dan tunjuki diriku.” Bahkan mengulang-ulangi kalimat ini dalam setiap shalat.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya.” (QS. Al-Fâtihah: 1: 6-7)
Shalat yang dilakukan setiap hari tetapi tidak khusyu', lewat begitu saja tidak membekas kerana tidak merenunginya.
Yang perlu kita ingat bahwa kita tidak sabar dalam memohon kepada-Nya, baik petunjuk berupa bimbingan mahupun taufik, maka dari itu kita harus selalu memohon petunjuk kepada-Nya selalu.
“Maka mohonlah petunjuk kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya,” hadits ini mengandung makna hakiki dan majazi, makna majazi maksudnya adalah petunjuk menuju agama Allah Ta'ala dan makna hakiki maksudnya seperti seseorang yang tersesat di suatu tempat, kemudian memohon petunjuk kepada Allah, oleh kerana itu Allah berfirman tentang Nabi Musa 'alaihissalam,
“Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan, dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.”
Tetapi hidayah yang kedua disebut hidayah taufik untuk menerima kebenaran, hidayah inilah yang dikhususkan Allah untuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan demikian, petunjuk Allah itu terbagi menjadi dua macam:
1. Hidayah penjelasan untuk semua manusia, Allah mewajibkan atas diri-Nya, menjelaskan mana yang benar dan mana yang batil bagi manusia.
2. Petunjuk taufik, yaitu petunjuk Allah untuk seseorang menerima kebenaran dan mengamalkannya, kerana membenarkan ajaran yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya. Petunjuk ini khusus untuk hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.
Tipe manusia dalam masalah ini terbagi menjadi tiga bagian:
a) Orang yang mendapatkan keduanya, Allah mengajarinya dan juga memberinya petunjuk untuk menerima kebenaran.
b) Orang yang tidak mendapatkan keduanya, tidak memiliki ilmu dan tidak pula beribadah.
c) Orang yang mendapatkan hidayah irsyad (berupa penjelasan yang benar dan yang baik) tetapi tidak mendapatkan hidayah taufik, bagian inilah yang terburuk di antara ketiganya.
Yang penting Allah Ta'ala berfirman, “Kalian semua adalah tersesat” yaitu yang tidak mengetahui kebenaran, tidak pula ada yang menerimanya melainkan orang yang Allah beri hidayah kepadanya, “Maka mohonlah petunjuk kepada-Ku,” jika kalian memohonnya niscaya Allah akan mengabulkan dan memberi petunjuk kebenaran kepada kalian.
Oleh kerana itu, jawab syarat dalam, “Mohonlah petunjuk kepada-Ku” adalah “Niscaya Aku akan mengabulkannya,” tandanya adalah kata, “Ahdikum” adalah jazm, kapan saja kalian meminta hidayah dari Allah dengan benar dan terus menerus maka niscaya Allah akan memberi petunjuk.
Kebanyakan kita berpaling dari hal ini, atau beribadah tetapi tidak memahami dan meresapinya, tidak bersungguh-sungguh dalam memohon petunjuk kepada-Nya, maka yang harus kita lakukan adalah selalu memohon petunjuk-Nya, setiap hari kita memohon dalam shalat kita, “Ya Rabb ampunilah aku, curahkan rahmat-Mu dan tunjuki diriku.” Bahkan mengulang-ulangi kalimat ini dalam setiap shalat.
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya.” (QS. Al-Fâtihah: 1: 6-7)
Shalat yang dilakukan setiap hari tetapi tidak khusyu', lewat begitu saja tidak membekas kerana tidak merenunginya.
Yang perlu kita ingat bahwa kita tidak sabar dalam memohon kepada-Nya, baik petunjuk berupa bimbingan mahupun taufik, maka dari itu kita harus selalu memohon petunjuk kepada-Nya selalu.
“Maka mohonlah petunjuk kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya,” hadits ini mengandung makna hakiki dan majazi, makna majazi maksudnya adalah petunjuk menuju agama Allah Ta'ala dan makna hakiki maksudnya seperti seseorang yang tersesat di suatu tempat, kemudian memohon petunjuk kepada Allah, oleh kerana itu Allah berfirman tentang Nabi Musa 'alaihissalam,
“Dan ketika dia menuju ke arah negeri Madyan, dia berdoa lagi, “Mudah-mudahan Tuhanku memimpin aku ke jalan yang benar.”
(QS. Al-Qashash: 28: 22)
Yaitu jalan lurus yang membawanya ke arah tujuan tanpa kesulitan, sebagaimana orang-orang pada zaman dahulu ketika tersesat mereka memohon petunjuk kepada Allah Ta'ala, dengan berkata, “Wahai Tuhanku, tunjukilah aku pada jalan yang benar,” mereka melakukan hal itu kerana memerlukan dua petunjuk Allah ini, yaitu petunjuk jalan dalam arti hakiki atau majazi.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan firman Allah ini, “Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah lapar, kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian. “Wahai hamba-Ku kalian semua adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua.”
Yaitu jalan lurus yang membawanya ke arah tujuan tanpa kesulitan, sebagaimana orang-orang pada zaman dahulu ketika tersesat mereka memohon petunjuk kepada Allah Ta'ala, dengan berkata, “Wahai Tuhanku, tunjukilah aku pada jalan yang benar,” mereka melakukan hal itu kerana memerlukan dua petunjuk Allah ini, yaitu petunjuk jalan dalam arti hakiki atau majazi.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan firman Allah ini, “Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah lapar, kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian. “Wahai hamba-Ku kalian semua adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua.”
Allah Ta'ala menyebutkan kedua kata ini, “Lapar dan telanjang” setelah menyebutkan kata “Petunjuk,” kerana petunjuk adalah konsumsi hati dengan iman dan ilmu, sementara anggota tubuh yang lainnya dengan amal shalih. Adapun makanan, minuman dan pakaian adalah konsumsi tubuh ini, kerana fisik ini tidak akan sehat kecuali dengan makanan dan dilindungi oleh pakaian. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Wahai hamba-Ku kalian semua adalah lapar kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian.”
Sungguh Maha Benar Allah Ta'ala, kita semua adalah lapar kecuali yang diberi makan oleh Allah, seandainya Allah tidak menyediakan apa yang menjadi kebutuhan kita, pasti kita semua akan binasa, sebagaimana firman Allah Ta'ala menjelaskan hal ini dalam surat Al-Waqi'ah,
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 63-64)
Jawabannya, Engkaulah wahai Tuhanku yang menanamnya, kerana Allah Ta'ala berfirman,
“Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat dan kering; maka kamu akan heran tercengang, (sambil berkata), “Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian, bahkan kami tidak mendapat hasil apa-apa.” (QS. Al-Wâqi'ah: 56: 65-67)
Mari kita perhatikan bagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat dan kering.” Allah Ta'ala tidak berfirman, “Kalau seandainya Kami kehendaki, benar-benar Kami tidak menumbuhkannya,” kerana kalau setelah menyaksikan tanamannya tumbuh dengan baik hatinya merasa senang, tetapi setelah dihancurkan dan kering maka sangat menyedihkannya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Sekiranya Kami kehendaki, niscaya Kami hancurkan sampai lumat dan kering,” bukan “Kalau seandainya Kami kehendaki, benar-benar Kami tidak menumbuhkannya.”
“Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 68-69)
Yaitu menurunkan air hujan dari awan, “Apakah Kami yang menurunkannya?” kerana air yang kita minum itu berasal dari awan yang diturunkan Allah dari langit ke bumi, kemudian menjadi air sungai, kemudian manusia mengurusnya dari dalam bumi dengan alat-alat yang telah Allah sediakan, seandainya Allah menghendaki air ini membanjiri bumi pasti akan merusak segala sesuatu di atasnya, tetapi Allah menghendaki bumi ini menyerap air dan mengeluarkan kembali melalui mata air, sehingga manusia dapat memanfaatkannya.
“Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”
Allah Ta'ala adalah yang menurunkan air hujan, kalau seandainya semua manusia di muka bumi ini berkumpul untuk menurunkan air dari langit pasti tidak akan mampu, Dialah yang menurunkannya dengan kekuasaan dan Rahmat-Nya, dengan demikian kita tidak mampu makan dan minum sedikitpun kecuali dengan bantuan Allah Ta'ala, dengan demikian Dia berfirman, “Kalian semua adalah lapar kecuali yang Aku beri makan kepadanya, maka mohonlah makan kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi makan kepada kalian.” Memohon makanan kepada Allah itu dengan cara berdoa dan bekerja, berdoa kepada-Nya untuk mencurahkan makanan dan rezeki kepada kita, adapun dengan tindakan ada dua hal:
Pertama, beramal shalih, kerana beramal shalih merupakan sebab diperluaskannya rezeki, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 68-69)
Yaitu menurunkan air hujan dari awan, “Apakah Kami yang menurunkannya?” kerana air yang kita minum itu berasal dari awan yang diturunkan Allah dari langit ke bumi, kemudian menjadi air sungai, kemudian manusia mengurusnya dari dalam bumi dengan alat-alat yang telah Allah sediakan, seandainya Allah menghendaki air ini membanjiri bumi pasti akan merusak segala sesuatu di atasnya, tetapi Allah menghendaki bumi ini menyerap air dan mengeluarkan kembali melalui mata air, sehingga manusia dapat memanfaatkannya.
“Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?”
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 68-69)
Pertama, beramal shalih, kerana beramal shalih merupakan sebab diperluaskannya rezeki, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.”
(QS. Al-A'râf: 7: 96)
“Dan sekiranya Ahli Kitab itu beriman dan bertakwa; niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan mereka dan mereka tentu Kami masukkan ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan.”
“Dan sekiranya Ahli Kitab itu beriman dan bertakwa; niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan mereka dan mereka tentu Kami masukkan ke dalam surga-surga yang penuh kenikmatan. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan.”
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 65-66)
“Dari atas mereka” maksudnya dari berbagai buah dan pepohonan, “Dan dari bawah mereka” artinya dari berbagai tanaman, keduanya adalah sebab rezeki Allah.
Kedua, Berusaha bekerja mencari rezeki seperti menggarap sawah, menggali sumur, menanam tanaman dan lain-lain. Dengan demikian memohon makanan dari Allah itu dengan dua cara; yaitu dengan memanjatkan doa dan dengan perbuatan. Dengan perbuatan ada dua cara; yaitu dengan amal shalih dan usaha kongkrit secara materi, seperti menggarap sawah, menggali shmur dan sebagainya.
“Maka mohonlah makanan dari-Ku,” firman Allah Ta'ala ini adalah ungkapan syarat dan jawabnya adalah, “Niscaya Aku akan mengabulkannya,” artinya jika anda memohon makan kepada Allah pasti Allah akan memberi makan kepadamu, tetapi memohon rezeki kepada-Nya ini perlu berbaik sangka kepada-Nya, yaitu berbaik sangka jika kamu memohon rezeki kepada-Nya niscaya Dia akan mengabulkannya. Adapun memohon kepada-Nya dengan hati yang lalai atau menunaikan usaha dengan bersandar kepada kemampuannya saja, maka tidak akan mampu dan mengalami kegagalan, na'udzubillah. Tetapi mohonlah rezeki kepada-Nya dengan ikhlas kerana-Nya semata.
“Dari atas mereka” maksudnya dari berbagai buah dan pepohonan, “Dan dari bawah mereka” artinya dari berbagai tanaman, keduanya adalah sebab rezeki Allah.
Kedua, Berusaha bekerja mencari rezeki seperti menggarap sawah, menggali sumur, menanam tanaman dan lain-lain. Dengan demikian memohon makanan dari Allah itu dengan dua cara; yaitu dengan memanjatkan doa dan dengan perbuatan. Dengan perbuatan ada dua cara; yaitu dengan amal shalih dan usaha kongkrit secara materi, seperti menggarap sawah, menggali shmur dan sebagainya.
“Maka mohonlah makanan dari-Ku,” firman Allah Ta'ala ini adalah ungkapan syarat dan jawabnya adalah, “Niscaya Aku akan mengabulkannya,” artinya jika anda memohon makan kepada Allah pasti Allah akan memberi makan kepadamu, tetapi memohon rezeki kepada-Nya ini perlu berbaik sangka kepada-Nya, yaitu berbaik sangka jika kamu memohon rezeki kepada-Nya niscaya Dia akan mengabulkannya. Adapun memohon kepada-Nya dengan hati yang lalai atau menunaikan usaha dengan bersandar kepada kemampuannya saja, maka tidak akan mampu dan mengalami kegagalan, na'udzubillah. Tetapi mohonlah rezeki kepada-Nya dengan ikhlas kerana-Nya semata.
“Wahai hamba-Ku kalian semua adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua.”
Kalian semua adalah telanjang tidak memakai pakaian, kecuali orang yang Kami beri pakaian, kerana setiap orang yang lahir ke muka bumi ini dalam keadaan telanjang tidak memakai selembar kain pun, tidak pula bulu yang menutupinya seperti halnya hewan. Inilah kebijaksanaan dari Allah Ta'ala.
Di antara kebijaksanaan-Nya ini, adalah kita keluar dari perut ibu dalam kondisi telanjang, tidak ada sesuatu pun yang menutupi kulit kita, agar kita merenungkan kalau kita membutuhkan pakaian secara fisik sebagaimana kita juga memerlukan amal shalih untuk menutupi aurat kita secara maknawi, kerana ketakwaan itu adalah pakaian, sebagaimna firman Allah Ta'ala,
“Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.”
(QS. Al-A'râf: 7: 26)
Maka lihatlah diri kita! Pasti kita memerlukan pakaian untuk menutupi aurat tubuh ini, begitu pula kita memerlukan pakaian secara maknawi, yaitu amal shalih sehingga menutupi auratnya. Sebagaimana para pengungkap takbir mimpi berkata bahwa seorang yang bermimpi tidak berpakaian itu memerlukan banyak istighfar, kerana itu merupakan indikasi kurang ketakwaannya, sebab ketakwaan juga pakaian mereka.
Yang penting bahwa kita semua adalah telanjang kecuali dengan pakaian dari Allah Ta'ala. Alhamdulillah, Allah telah menganugerahkan berbagai macam pakaian yang menutupi aurat kita, terlebih pada negara-negara kaya yang mendapatkan ujian dari Allah dengan melimpahkannya harta dunia, sungguh harta merupakan fitnah yang sangat mengancam umat ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Demi Allah bukan kefakiran kalian yang aku khawatirkan tetapi yang aku khawatir dengan dunia kalian, kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, kemudian harta dunia itu menghancurkan kalian sebagaimana menghancurkan mereka itu.”
Kalian semua adalah telanjang tidak memakai pakaian, kecuali orang yang Kami beri pakaian, kerana setiap orang yang lahir ke muka bumi ini dalam keadaan telanjang tidak memakai selembar kain pun, tidak pula bulu yang menutupinya seperti halnya hewan. Inilah kebijaksanaan dari Allah Ta'ala.
Di antara kebijaksanaan-Nya ini, adalah kita keluar dari perut ibu dalam kondisi telanjang, tidak ada sesuatu pun yang menutupi kulit kita, agar kita merenungkan kalau kita membutuhkan pakaian secara fisik sebagaimana kita juga memerlukan amal shalih untuk menutupi aurat kita secara maknawi, kerana ketakwaan itu adalah pakaian, sebagaimna firman Allah Ta'ala,
“Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.”
(QS. Al-A'râf: 7: 26)
Maka lihatlah diri kita! Pasti kita memerlukan pakaian untuk menutupi aurat tubuh ini, begitu pula kita memerlukan pakaian secara maknawi, yaitu amal shalih sehingga menutupi auratnya. Sebagaimana para pengungkap takbir mimpi berkata bahwa seorang yang bermimpi tidak berpakaian itu memerlukan banyak istighfar, kerana itu merupakan indikasi kurang ketakwaannya, sebab ketakwaan juga pakaian mereka.
Yang penting bahwa kita semua adalah telanjang kecuali dengan pakaian dari Allah Ta'ala. Alhamdulillah, Allah telah menganugerahkan berbagai macam pakaian yang menutupi aurat kita, terlebih pada negara-negara kaya yang mendapatkan ujian dari Allah dengan melimpahkannya harta dunia, sungguh harta merupakan fitnah yang sangat mengancam umat ini sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Demi Allah bukan kefakiran kalian yang aku khawatirkan tetapi yang aku khawatir dengan dunia kalian, kalian berlomba-lomba mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang sebelum kalian, kemudian harta dunia itu menghancurkan kalian sebagaimana menghancurkan mereka itu.”
[Hadits shahih, sebagaimana yang telah dibahas]
Dengan demikian, harta itu merupakan ujian yang memerlukan kesabaran untuk menunaikan kewajibannya dan bersyukur atas karunia besar ini.
Yang penting saya mengatakan bahwa Allah Ta'ala telah menganugerahkan pakaian kepada kita semua, seandainya bukan kerana-Nya pasti tidak akan terjadi. Kalau kita menengok banyak orang di berbagai negeri, masih banyak orang yang tidak berpakaian, atau bahkan menutupi auratnya dengan dedaunan. Maka siapakah yang memberi pakaian kalian? Dialah Allah, dengan demikian Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku kalian semua adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua.” Seperti halnya, “Mohonlah makan dari-Ku niscaya Aku akan memberimu makan kepada kalian,” mohon pakaian ini dengan ucapan dan perbuatan, memohon kepada Allah untuk memberi pakaian, setelah memohon pakaian tubuh ini maka mohonlah pakaian untuk menutupi aurat ruh kita, dengan memohon petunjuk untuk selalu menunaikan ketaatan.
Adapun memohon pakaian dengan perbuatan ada dua bentuk:
1. Dengan amal shalih.
2. Dengan menjalankan usaha secara kongkrit yang mendatangkan pakaian, seperti membuat pabrik-pabrik tekstil dan selainnya.
Hubungan antara makanan, pakaian dan petunjuk sangat erat, kerana makanan adalah konsumsi tubuh yang menjaga kesehatan dari dalam, muncul rasa lapar dan dahaga kerana kosongnya makanan dan minuman di dalam pencernaan, sementara pakaian adalah konsumsi tubuh untuk melindunginya dari luar dan petunjuk menutupi hati dan jiwa manusia dari noda dan dosa. Kemudian Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua selalu berbuat dosa baik pada malam hari atau siang hari dan Aku adalah Dzat Yang Mengampuni segala dosa, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni kalian semua.”
Ini juga merupakan kesempurnaan nikmat Allah untuk hamba-Nya, Allah menawarkan kepada semua hamba untuk selalu memohon ampunan dan taubat kepada-Nya, “Kalian semua selalu berbuat dosa baik pada malam hari atau siang hari dan Aku adalah Dzat Yang Mengampuni segala dosa.” Yaitu semua dosa seperti kemusyrikin, kufur dan semua dosa besar atau kecil semua diampuni Allah Ta'ala, tetapi setelah manusia memohon ampunan kepada-Nya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Maka mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian semua.”
Memohon ampunan tidak hanya sekadar mengatakan, “Ya Allah ampunilah aku!” tetapi memerlukan taubat yang sungguh-sungguh kepada Allah Azza wa Jalla.
Dengan demikian, harta itu merupakan ujian yang memerlukan kesabaran untuk menunaikan kewajibannya dan bersyukur atas karunia besar ini.
Yang penting saya mengatakan bahwa Allah Ta'ala telah menganugerahkan pakaian kepada kita semua, seandainya bukan kerana-Nya pasti tidak akan terjadi. Kalau kita menengok banyak orang di berbagai negeri, masih banyak orang yang tidak berpakaian, atau bahkan menutupi auratnya dengan dedaunan. Maka siapakah yang memberi pakaian kalian? Dialah Allah, dengan demikian Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku kalian semua adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mohonlah pakaian kepada-Ku niscaya Aku akan memberi pakaian kepada kalian semua.” Seperti halnya, “Mohonlah makan dari-Ku niscaya Aku akan memberimu makan kepada kalian,” mohon pakaian ini dengan ucapan dan perbuatan, memohon kepada Allah untuk memberi pakaian, setelah memohon pakaian tubuh ini maka mohonlah pakaian untuk menutupi aurat ruh kita, dengan memohon petunjuk untuk selalu menunaikan ketaatan.
Adapun memohon pakaian dengan perbuatan ada dua bentuk:
1. Dengan amal shalih.
2. Dengan menjalankan usaha secara kongkrit yang mendatangkan pakaian, seperti membuat pabrik-pabrik tekstil dan selainnya.
Hubungan antara makanan, pakaian dan petunjuk sangat erat, kerana makanan adalah konsumsi tubuh yang menjaga kesehatan dari dalam, muncul rasa lapar dan dahaga kerana kosongnya makanan dan minuman di dalam pencernaan, sementara pakaian adalah konsumsi tubuh untuk melindunginya dari luar dan petunjuk menutupi hati dan jiwa manusia dari noda dan dosa. Kemudian Allah berfirman, “Wahai hamba-Ku, kalian semua selalu berbuat dosa baik pada malam hari atau siang hari dan Aku adalah Dzat Yang Mengampuni segala dosa, maka mohonlah ampunan kepada-Ku niscaya Aku akan mengampuni kalian semua.”
Ini juga merupakan kesempurnaan nikmat Allah untuk hamba-Nya, Allah menawarkan kepada semua hamba untuk selalu memohon ampunan dan taubat kepada-Nya, “Kalian semua selalu berbuat dosa baik pada malam hari atau siang hari dan Aku adalah Dzat Yang Mengampuni segala dosa.” Yaitu semua dosa seperti kemusyrikin, kufur dan semua dosa besar atau kecil semua diampuni Allah Ta'ala, tetapi setelah manusia memohon ampunan kepada-Nya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Maka mohonlah ampunan kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni kalian semua.”
Memohon ampunan tidak hanya sekadar mengatakan, “Ya Allah ampunilah aku!” tetapi memerlukan taubat yang sungguh-sungguh kepada Allah Azza wa Jalla.
Taubat yang sungguh-sungguh itu memenuhi lima syarat:
1. Ikhlas kerana Allah Ta'ala, tidak ada niat riya, sum'ah dan tidak pula untuk mendekatkan diri kepada selain Allah, tetapi murni untuk taubat dan kembali kepada Allah. Ikhlas adalah syarat semua amal, di antara amal shalih adalah taubat kepada Allah Ta'ala.
“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nûr: 24: 31)
2. Menyesali apa yang telah ia kerjakan, sedih dan mengakui kesalahan yang telah ia perbuat, tetapi jika belum merasakan penyesalan setelah melakukan kesalahan maka belum masuk kategori taubat.
3. Meninggalkan kesalahannya secara totalitas, tidak termasuk kategori taubat orang yang masih melakukan perbuatan dosanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
“Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 135)
Adapun orang yang mengaku bertaubat tetapi tetap melakukan perbuatan dosanya, maka orang itu berdusta dan merendahkan Allah Ta'ala. misalnya seseorang yang mengatakan, “Saya taubat dari perbuatan menggunjing (mengumpat) orang lain,” tetapi setiap kali duduk di dalam majlis ia tetap melakukannya, maka taubat orang itu dusta, seseorang yang mengatakan taubat dari riba tetapi ia masih melakukan transaksi ribawi, maka taubat orang itu dusta, orang yang taubat dari mendengar musik tetapi tetap mendengarkannya, maka taubatnya dusta,seseorangyang taubat dari bermaksiat kepada Rasulullah kerana memotong jenggot, tetapi ia memotongnya maka taubatnya dusta, begitu pula semua taubat jika tetap melakukannya maka taubatnya adalah dusta belaka, tidak diterima di sisi-Nya.
Di antara usaha untuk taubat dari dosa yang berkaitan dengan hak orang lain adalah mengembalikan kezhaliman kepada yang berhak, jika menzhalimi sejumlah harta maka ia harus mengembalikannya kepada yang berhak, jika orang itu telah meninggal maka hendaknya mengembalikan kepada ahli warisnya, jika ia tidak lagi mengetahui ahli warisnya, lupa atau tidak mungkin lagi ditemukan seperti telah kembali ke negerinya maka ia harus mengeluarkan sedekah dengan niat untuk diberikan kepada yang berhak.
Tetapi jika kezhalimannya itu adalah ghibah dan orang yang digunjingkan itu telah mengetahui, maka ia harus mendatanginya dan meminta maaf dan hendaknya orang yang digunjingkannya itu memaafkannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 13)
Jika ia tidak rela kerana digunjingkan kecuali dengan sejumlah uang maka ia wajib memberikan permintaannya itu, sehingga ia memaafkan dan menghalalkannya.
Begitu pula jika maksiat itu berupa makian sehingga terjadi pukulan, maka cara taubatnya adalah dengan mendatanginya dan meminta maaf serta kesediaannya untuk membalas atau memaafkannya, yang penting taubat dari dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia harus meminta dihalalkan, baik kezhaliman harta badan dan kehormatan.
4. Berkeinginan kuat untuk tidak mengulangi perbuatannya, tetapi jika ia masih ada keinginan untuk mengulanginya jika ada kesempatan, orang ini bermain-main, tetapi jika ia telah berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya kemudian di luar kemampuannya ia mengulangi kembali perbuatannya maka tidak mengurangi nilai taubatnya sedikit pun, tetapi memerlukan taubat lagi untuk memperbaharui taubatnya yang lampau.
5. Masih terbuka pintu taubat baginya jika waktunya telah habis maka taubatnya diterima, yaitu ketika datang ajal. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertaubat sekarang.”
Adapun orang yang mengaku bertaubat tetapi tetap melakukan perbuatan dosanya, maka orang itu berdusta dan merendahkan Allah Ta'ala. misalnya seseorang yang mengatakan, “Saya taubat dari perbuatan menggunjing (mengumpat) orang lain,” tetapi setiap kali duduk di dalam majlis ia tetap melakukannya, maka taubat orang itu dusta, seseorang yang mengatakan taubat dari riba tetapi ia masih melakukan transaksi ribawi, maka taubat orang itu dusta, orang yang taubat dari mendengar musik tetapi tetap mendengarkannya, maka taubatnya dusta,seseorangyang taubat dari bermaksiat kepada Rasulullah kerana memotong jenggot, tetapi ia memotongnya maka taubatnya dusta, begitu pula semua taubat jika tetap melakukannya maka taubatnya adalah dusta belaka, tidak diterima di sisi-Nya.
Di antara usaha untuk taubat dari dosa yang berkaitan dengan hak orang lain adalah mengembalikan kezhaliman kepada yang berhak, jika menzhalimi sejumlah harta maka ia harus mengembalikannya kepada yang berhak, jika orang itu telah meninggal maka hendaknya mengembalikan kepada ahli warisnya, jika ia tidak lagi mengetahui ahli warisnya, lupa atau tidak mungkin lagi ditemukan seperti telah kembali ke negerinya maka ia harus mengeluarkan sedekah dengan niat untuk diberikan kepada yang berhak.
Tetapi jika kezhalimannya itu adalah ghibah dan orang yang digunjingkan itu telah mengetahui, maka ia harus mendatanginya dan meminta maaf dan hendaknya orang yang digunjingkannya itu memaafkannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 13)
Jika ia tidak rela kerana digunjingkan kecuali dengan sejumlah uang maka ia wajib memberikan permintaannya itu, sehingga ia memaafkan dan menghalalkannya.
Begitu pula jika maksiat itu berupa makian sehingga terjadi pukulan, maka cara taubatnya adalah dengan mendatanginya dan meminta maaf serta kesediaannya untuk membalas atau memaafkannya, yang penting taubat dari dosa yang berkaitan dengan hak sesama manusia harus meminta dihalalkan, baik kezhaliman harta badan dan kehormatan.
4. Berkeinginan kuat untuk tidak mengulangi perbuatannya, tetapi jika ia masih ada keinginan untuk mengulanginya jika ada kesempatan, orang ini bermain-main, tetapi jika ia telah berkeinginan kuat untuk tidak mengulanginya kemudian di luar kemampuannya ia mengulangi kembali perbuatannya maka tidak mengurangi nilai taubatnya sedikit pun, tetapi memerlukan taubat lagi untuk memperbaharui taubatnya yang lampau.
5. Masih terbuka pintu taubat baginya jika waktunya telah habis maka taubatnya diterima, yaitu ketika datang ajal. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Saya benar-benar bertaubat sekarang.”
(QS. Yûnus: 10: 90-91)
Oleh kerana itu, ketika Fir'aun tenggelam ia berkata,
“Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yûnus: 10: 90-91)
Kesempatan untuk bertaubat telah habis, oleh kerana itu setiap manusia hendaknya bersegera bertaubat kepada Allah, kerana ia tidak mengetahui kapan ajal menjemputnya, betapa banyak orang yang meninggal tiba-tiba tak terduga, hendaknya bersegera taubat kepada Allah sebelum kesempatannya tertutup.
Begitu pula kesempatan taubat ini tertutup jika matahari telah terbit dari barat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menginformasikan bahwa matahari itu bergerak di atas bumi dengan izin Allah. Jika suatu saat nanti matahari menghilang dan sujud di bawah Arsy Allah Ta'ala, meminta izin kepada Allah, maka jika Allah memberikan izin, ia akan tetap pada peredarannya. Tetapi, jika tidak maka ia diperintahkan kembali sekehendaknya, Kemudian ia kembali dengan izin Allah dan perintah-Nya. Lalu, matahari muncul dari barat dan kala itu semua manusia akan beriman dan bertaubat kepada Allah. Tetapi, hal itu tidak bermanfaat sedikit pun bagi mereka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
Oleh kerana itu, ketika Fir'aun tenggelam ia berkata,
“Aku percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).” Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Yûnus: 10: 90-91)
Kesempatan untuk bertaubat telah habis, oleh kerana itu setiap manusia hendaknya bersegera bertaubat kepada Allah, kerana ia tidak mengetahui kapan ajal menjemputnya, betapa banyak orang yang meninggal tiba-tiba tak terduga, hendaknya bersegera taubat kepada Allah sebelum kesempatannya tertutup.
Begitu pula kesempatan taubat ini tertutup jika matahari telah terbit dari barat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menginformasikan bahwa matahari itu bergerak di atas bumi dengan izin Allah. Jika suatu saat nanti matahari menghilang dan sujud di bawah Arsy Allah Ta'ala, meminta izin kepada Allah, maka jika Allah memberikan izin, ia akan tetap pada peredarannya. Tetapi, jika tidak maka ia diperintahkan kembali sekehendaknya, Kemudian ia kembali dengan izin Allah dan perintah-Nya. Lalu, matahari muncul dari barat dan kala itu semua manusia akan beriman dan bertaubat kepada Allah. Tetapi, hal itu tidak bermanfaat sedikit pun bagi mereka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Yang mereka nanti-nantikan hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka atau kedatangan Tuhanmu atau sebagian tanda-tanda dari Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu. Katakanlah “Tunggulah! Kami pun menunggu.”
(QS. Al-An'âm: 6: 158)
Inilah lima syarat taubat yang tidak akan diterima kecuali dengannya, maka hendaknya kita bersegera bertaubat kepada Allah dan kembali sebelum kesempatan itu tertutup, jika kita taubat nashuha (sebenarnya) niscaya Allah akan menerima dan mengangkat kita pada derajat yang lebih tinggi.
Mari kita renungkan bagaimana Nabi Adam 'alaihissalam ketika dilarang untuk makan buah Khuldi, kemudian setan menggodanya dan akhirnya melanggar larangan ini, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan telah durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilih dia, maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.”
(QS. Thâhâ: 20: 121-122)
Kemudian Nabi Adam ‘alaihissalam bertaubat dan mendapatkan derajat yang lebih tinggi sebelumnya, kerana maksiat itu membuatnya malu dan kembali kepada Allah dan kedudukannya lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Kemudian Nabi Adam ‘alaihissalam bertaubat dan mendapatkan derajat yang lebih tinggi sebelumnya, kerana maksiat itu membuatnya malu dan kembali kepada Allah dan kedudukannya lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Ketahuilah bahwa Allah itu sangat bahagia dengan taubat seorang hamba mukmin, melebihi bahagianya seseorang yang sedang bepergian dengan membawa bekal makanan dan minuman menyeberangi padang sahara, kemudian ia kehilangan kendaraannya dan mencari-carinya tetapi tidak mendapatkannya, kemudian ia tidur di bawah pohon menunggu kematian, tiba-tiba Allah mendatangkan untanya, kemudian ia mengambilnya dan berkata,
“Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu,” ia salah mengucapkan kerana sangat bahagia.
[Shahih Muslim no. 4932]
Ia ingin mengatakan, “Ya Allah Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu” ia salah mengucapkan kerana sangat bahagianya, kerana setiap orang jika sangat bahagia biasanya tidak menyadari apa yang ia katakan, begitu pula jika sangat marah, Allah lebih senang dengan taubat hambanya yang mukmin daei pada orang ini.
Firman Allah Ta'ala, “Wahai hamba-Mu, sesungguhnya kalian semua tidak akan dapat berbuat sesuatu yang merugikan-Ku atau menguntungkan-Ku,” Allah Ta'ala tidak membutuhkan hamba-Nya, ketaatan dan maksiat mereka tidak memberikan mudharat atau manfaat sedikit pun untuk Allah.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sesikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 56-58)
Allah Ta'ala tidak mengambil manfaat atau mendapatkan mudharat dari hamba-Nya, kerana Dia tidak membutuhkan makhluknya, tetapi Allah menciptakan makhluk kerana hikmah yang dikehendaki-Nya, Allah menciptakan hamba untuk beribadah kepada-Nya, kemudian menjanjikan orang-orang yang taat dengan pahala dan orang-orang yang bermaksiat dengan siksaan, dengan hikmah-Nya juga Allah Ta'ala menciptakan surga dan neraka, Allah Ta'ala berfirman, “Akulah yang bertanggung jawab memenuhi kalian berdua, neraka harus penuh, begitu pula surga.” Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
(QS. Hûd: 11: 119)
Dengan demikian, Allah Ta'ala tidak mengambil manfaat dengan ketaatan para hamba, begitu pula tidak berpengaruh dengan maksiat para hamba, tidak ada seorang pun yang dapat membahayakan-Nya, siapa pun dia.
Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman setelah itu, “Seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun.” Seandainya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian baik manusia dan jin mereka bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, hal itu tidak akan menambah kekuasaan Allah sedikit pun, kerana kekuasaan Allah itu bukan untuk orang-orang yang taat ataupun orang-orang yang melanggar.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun.” Seandainya semua jin dan manusia baik yang terdahulu mahupun yang kemudian mereka semua bermaksiat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan Allah sedikit pun, Allah Ta'ala berfirman,
“Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridhai kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 39: 7)
Kekuasaan Allah Ta'ala tidak akan berkurang dengan maksiat hambanya dan tidak pula bertambah dengan ketaatan hamba, kerana kekuasaan Allah itu tetap eksis bagaimana pun keadaannya.
Ketiga kalimat ini merupakan dalil bahwa Allah itu Maha Kaya, Maha Sempurna Kekuasaan-Nya, tidak berpengaruh dan tidak pula mengambil manfaat dari seseorang, kerana Dia Maha Kaya, tidak membutuhkan seorang pun.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berada di satu tempat kemudian mereka memohon kepada-Ku semua niscaya Aku kabulkan permohonan masing-masing, dan apa yang berada di sisi-Ku tidak akan berkurang kecuali seperti halnya sebatang jarum yang dicelupkan ke dalam samudra yang luas.” Firman-Nya merupakan bukti kekuasaan Allah Ta'ala dan Kesempurnaan Kekayaan-Nya, seandainya orang-orang yang terdahulu dan kemudian, baik jin dan manusia, berkumpul di suatu tempat kemudian mereka semua memohon kepada Allah, betapa pun besarnya permintaan mereka niscaya Allah akan mengabulkan permintaan mereka semua, dan hal itu tidak mengurangi Kekuasaan Allah sedikit pun, kerana Allah itu maha Mulia Maha Pencipta Maha Kaya Maha Suci dan Maha Tinggi.
“Kecuali seperti halnya sebatang jarum yang dicelupkan ke dalam samudra yang luas.” Jarum yang kecil itu dimasukkan ke dalam luasnya samudra, kemudian diangkat kembali, berapa banyakkah samudera yang luas itu berkurang? Sungguh tidak akan menguranginya sedikit pun, tidak menyamainya sedikit pun, kerana Allah Ta'ala sangat luas Kekayaan-Nya, Maha Mulia dan Maha Tinggi.
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal perbuatanmu. Aku mencatat semuanya, kemudian Aku akan membalasnya.” Semua manusia itu tergantung dengan amalnya, Allah akan menghitung semua amal ibadahnya, dan pada hari Kiamat, Allah akan membalasnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
“Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu,” ia salah mengucapkan kerana sangat bahagia.
[Shahih Muslim no. 4932]
Ia ingin mengatakan, “Ya Allah Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu” ia salah mengucapkan kerana sangat bahagianya, kerana setiap orang jika sangat bahagia biasanya tidak menyadari apa yang ia katakan, begitu pula jika sangat marah, Allah lebih senang dengan taubat hambanya yang mukmin daei pada orang ini.
Firman Allah Ta'ala, “Wahai hamba-Mu, sesungguhnya kalian semua tidak akan dapat berbuat sesuatu yang merugikan-Ku atau menguntungkan-Ku,” Allah Ta'ala tidak membutuhkan hamba-Nya, ketaatan dan maksiat mereka tidak memberikan mudharat atau manfaat sedikit pun untuk Allah.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sesikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 56-58)
Allah Ta'ala tidak mengambil manfaat atau mendapatkan mudharat dari hamba-Nya, kerana Dia tidak membutuhkan makhluknya, tetapi Allah menciptakan makhluk kerana hikmah yang dikehendaki-Nya, Allah menciptakan hamba untuk beribadah kepada-Nya, kemudian menjanjikan orang-orang yang taat dengan pahala dan orang-orang yang bermaksiat dengan siksaan, dengan hikmah-Nya juga Allah Ta'ala menciptakan surga dan neraka, Allah Ta'ala berfirman, “Akulah yang bertanggung jawab memenuhi kalian berdua, neraka harus penuh, begitu pula surga.” Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah tetap, “Aku pasti akan memenuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.”
(QS. Hûd: 11: 119)
Dengan demikian, Allah Ta'ala tidak mengambil manfaat dengan ketaatan para hamba, begitu pula tidak berpengaruh dengan maksiat para hamba, tidak ada seorang pun yang dapat membahayakan-Nya, siapa pun dia.
Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman setelah itu, “Seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun.” Seandainya orang-orang yang terdahulu dan yang kemudian baik manusia dan jin mereka bertakwa seperti orang yang paling bertakwa di antara kalian, hal itu tidak akan menambah kekuasaan Allah sedikit pun, kerana kekuasaan Allah itu bukan untuk orang-orang yang taat ataupun orang-orang yang melanggar.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun.” Seandainya semua jin dan manusia baik yang terdahulu mahupun yang kemudian mereka semua bermaksiat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan Allah sedikit pun, Allah Ta'ala berfirman,
“Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridhai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridhai kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar: 39: 7)
Kekuasaan Allah Ta'ala tidak akan berkurang dengan maksiat hambanya dan tidak pula bertambah dengan ketaatan hamba, kerana kekuasaan Allah itu tetap eksis bagaimana pun keadaannya.
Ketiga kalimat ini merupakan dalil bahwa Allah itu Maha Kaya, Maha Sempurna Kekuasaan-Nya, tidak berpengaruh dan tidak pula mengambil manfaat dari seseorang, kerana Dia Maha Kaya, tidak membutuhkan seorang pun.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Wahai hamba-Ku, seandainya orang yang pertama dan yang terakhir, manusia dan jin, mereka berada di satu tempat kemudian mereka memohon kepada-Ku semua niscaya Aku kabulkan permohonan masing-masing, dan apa yang berada di sisi-Ku tidak akan berkurang kecuali seperti halnya sebatang jarum yang dicelupkan ke dalam samudra yang luas.” Firman-Nya merupakan bukti kekuasaan Allah Ta'ala dan Kesempurnaan Kekayaan-Nya, seandainya orang-orang yang terdahulu dan kemudian, baik jin dan manusia, berkumpul di suatu tempat kemudian mereka semua memohon kepada Allah, betapa pun besarnya permintaan mereka niscaya Allah akan mengabulkan permintaan mereka semua, dan hal itu tidak mengurangi Kekuasaan Allah sedikit pun, kerana Allah itu maha Mulia Maha Pencipta Maha Kaya Maha Suci dan Maha Tinggi.
“Kecuali seperti halnya sebatang jarum yang dicelupkan ke dalam samudra yang luas.” Jarum yang kecil itu dimasukkan ke dalam luasnya samudra, kemudian diangkat kembali, berapa banyakkah samudera yang luas itu berkurang? Sungguh tidak akan menguranginya sedikit pun, tidak menyamainya sedikit pun, kerana Allah Ta'ala sangat luas Kekayaan-Nya, Maha Mulia dan Maha Tinggi.
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya itu semua adalah amal perbuatanmu. Aku mencatat semuanya, kemudian Aku akan membalasnya.” Semua manusia itu tergantung dengan amalnya, Allah akan menghitung semua amal ibadahnya, dan pada hari Kiamat, Allah akan membalasnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
(QS. Az-Zalzalah: 99: 7-8)
“Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu hendaknya tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” Kerana ia sendiri yang telah berbuat kesalahan, ia sendiri yang enggan berbuat kebaikan. Maka jika telah berbuat kebaikan hendaknya memuji Allah kerana Dialah yang menunjukinya untuk berbuat kebaikan dan menganugerahkan pahala di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi).”
“Maka barangsiapa yang mendapatkan kebaikan hendaknya memuji Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu hendaknya tidak menyalahkan kecuali dirinya sendiri.” Kerana ia sendiri yang telah berbuat kesalahan, ia sendiri yang enggan berbuat kebaikan. Maka jika telah berbuat kebaikan hendaknya memuji Allah kerana Dialah yang menunjukinya untuk berbuat kebaikan dan menganugerahkan pahala di akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi).”
(QS. Al-An'âm: 6: 160)
Hadits ini sungguh sangat agung, para ulama banyak menerangkan dan menyimpulkan hukum dan pelajaran darinya, di antaranya adalah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau menerangkan hadits ini dalam satu kitab tersendiri. Maka hendaknya kita merenungi dan memikirkannya, apalagi ungkapan yang terakhir ini, yaitu setiap manusia akan diberi balasan sesuai dengan amalnya, yang baik mendapatkan balasan baik sebaliknya yang buruk juga akan mendapatkan balasan keburukan. Inilah kaitan Imam An-Nawawi rahimahullah mencantumkan hadits ini dalam bab mujahadah, setiap orang harus berusaha sekuat tenaga untuk beramal shalih sehingga mendapatkan balasan di sisi Allah Ta'ala.
Hadits ini sungguh sangat agung, para ulama banyak menerangkan dan menyimpulkan hukum dan pelajaran darinya, di antaranya adalah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau menerangkan hadits ini dalam satu kitab tersendiri. Maka hendaknya kita merenungi dan memikirkannya, apalagi ungkapan yang terakhir ini, yaitu setiap manusia akan diberi balasan sesuai dengan amalnya, yang baik mendapatkan balasan baik sebaliknya yang buruk juga akan mendapatkan balasan keburukan. Inilah kaitan Imam An-Nawawi rahimahullah mencantumkan hadits ini dalam bab mujahadah, setiap orang harus berusaha sekuat tenaga untuk beramal shalih sehingga mendapatkan balasan di sisi Allah Ta'ala.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan