Sabtu, 13 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 14. Sederhana (Tidak Berlebihan) Dalam Beribadah.

Allah ﷻ berfirman:
۞طه۞مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ۞
Thaha, Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah. (QS. Thâhâ: 20: 1-2)

Allah ﷻ berfirman:
۞يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ۞
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 185)

Penjelasan.

Setelah Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab “Banyaknya Jalan Kebaikan.” Ia menjelaskan dalam bab ini bahwa setiap muslim wajib menunanaikan ibadah dengan seimbang. Imam An-Nawawi memberi judul bab ini “Sederhana dalam Beribadah,” maksudnya hendaknya seseorang itu seimbang dalam ibadah, tidak berlebihan dan tidak kurang. Kaedah ini berlaku bagi manusia dalam semua hal, pertengahan antara dua titik ekstrim. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta). Mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqân: 25: 67)

Begitu juga dalam menunaikan semua ketaatan, harus menggunakan kaedah ini, tidak boleh membebani diri di luar batas kemampuan. Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendapatkan infirmasi tentang tiga orang yang mana mengatakan, “Kami tidak menikah, selalu puasa tidak pernah berbuka, dan selalu shalat malam tidak pernah tidur.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di depan para sahabat, “Benarkah kalian yang telah berkata begini dan begitu? Demi Allâh! Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan paling bertakwa kepada-Nya di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku juga berbuka (tidak puasa), aku shalat (malam) dan aku juga tidur, dan aku juga menikahi wanita. Maka, barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5063. Muslim no. 1401]

Rasulullah berlepas diri dari orang-orang yang membenci sunnahnya dan membebankan dirinya dengan sesuatu di luar kemampuannya. 

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala,

Thaha, Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS. Thâhâ: 20: 1-2)

“Thaaha,” terdiri dari dua huruf yaitu tha' dan ha' huruf ini bukan nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dugaan sebagian orang, tetapi termasuk huruf hijaiyyah yang Allah memulai sebagian surah Al-Qur'an, huruf-huruf ini tidak memiliki makna, kerana Al-Qur'an turun dengan bahasa Arab, sedangkan bahasa Arab tidak menjadikan masing-masing huruf ini memiliki suatu arti, kecuali jika disusun menjadi kata.

Tetapi huruf-huruf ini memiliki maksud dan tujuan, tujuan dicantumkan huruf-huruf ini adalah sebagai mukjizat yang sangat jelas bagi orang-orang yang mendustakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ini tidak mampu membuat satu ayat pun yang semisal Al-Qur'an, sepuluh ayat atau satu surat, apalagi sepuluh surat. Walaupun demikian Al-Qur'an yang merupakan mukjizat ini tidak tersusun dari huruf-huruf yang mereka tidak mengenalnya justru semua hurufnya mereka mengenalnya. Oleh kerana itu, hampir semua surat yang diawali dengan huruf-huruf ini setelahnya disebutkan kata Al-Qur'an, misalnya dalam surat,

Alif Lam Mim, Kitab (Al-Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2: 1-2)

Firman Allah Ta'ala,

Alif Lam Mim, Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Hidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran, membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil. (QS. Âli 'Imrân: 3: 1-3)

Firman Allah Ta'ala,

Alif Lam Mim Shad. (Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad); maka janganlah engkau sesak dada kerananya, agar engkau memberi peringatan dengan (kitab) itu menjadi pelajaran bagi orang yang beriman.” (QS. Al-A'râf: 7: 1-2)

Alif Lam Ra. Inilah ayat-ayat Al-Qur'an yang penuh hikmah. (QS. Yunus: 10: 1-2)

Dengan demikian hal ini merupakan isyarat bahwa Al-Qur'an tersusun dari huruf-huruf bahasa Arab, walaupun demikian orang Arab tidak sanggup menandinginya, inilah maksud yang benar dari huruf-huruf hijaiyyah ini.

Firman Allah Ta'ala,

Kami tidak menurunkan Al-Qur'an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS. Thâhâ: 20: 2)

Yaitu Allah menurunkan Al-Qur'an ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan membuat hidup ini sengsara, tetapi untuk meraih kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Dia (Allah) berfirman, Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, maka (ketahuilah) barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, dia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” Dia berkata, Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulu dapat melihat? Dia (Allah) berfirman, Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan. Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, adzab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. 
(QS. Thâhâ: 20: 123-127)

Bukan menyebabkan kesengsaraan tetapi menghantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan demikian setiap kali umat Islam semakin berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai petunjuk, pasti akan meraih kemuliaan dan derajat yang tinggi dari semua umat manusia. Sebaliknya, jika umat ini semakin jauh dari Al-Qur'an, maka mereka juga akan semakin mundur berbanding lurus dengan jauhnya mereka dari Al-Qur'an.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ayat lain yaitu,

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
(QS. Al-Baqarah: 2: 185)

Yaitu pada hakikatnya Allah Ta'ala itu ingin memudahkan kita dengan syariat-Nya ini. Ayat ini turun berkenaan dengan puasa agar tidak muncul prasangka bahwa Allah Ta'ala mensyariatkan puasa itu untuk menyusahkan manusia. Allah Ta'ala menjelaskan bahwa Dia menginginkan kita mudah, bukan sebaliknya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,

Maka sesiapa di antara kamu yang sakit, atau dalam musafir, (bolehlah ia berbuka), kemudian wajiblah ia berpuasa sebanyak (hari yang dibuka) itu pada hari-hari yang lain.
(QS. Al-Baqarah: 2: 184)

Inilah kemudahan dari Allah Ta'ala. Dengan demikian agama Islam ini adalah agama yang mudah, indah, baik dan sangat toleran. Kita memohon kepada Allah Ta'ala semoga menganugerahkan kita semua untuk selalu berpegang teguh dengan agama Allah Ta'ala hingga ajal tiba bertemu dengan Allah Ta'ala.

Hadits no 142.
عَنْ عَاِئشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ قَالَ: مَنْ هَذِهِ ؟ قَالَتْ: هَذِهِ فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا قَالَ: « مَهُ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيْقُونَ، فَوَاللهِ لَا يَمَلُّ اللهُ حتَّى تَمَلُّوا، وَكَانَ أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَيْهِ مَا دَاوَمَ صَاحِبُهُ عَلَيْهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu ketika masuk ke rumah Aisyah dan disana terdapat seorang wanita, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah wanita ini?”

Aisyah menjawab, “Ini adalah fulanah yang terkenal dengan shalatnya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan demikian!, berbuatlah semampu kalian. Demi Allah, Allah tidak akan jemu untuk memberi balasan kalian, sehingga kalian sendiri yang akan merasa jemu. Sesungguhnya amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan secara terus menerus.”

[Shahih Al-Bukhari no. 43, 1151. Muslim no. 758]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha, dalam bab pertengahan dalam beribadah, bahwasanya Rasulullah ‘alaihi wa sallam suatu ketika masuk ke rumah Aisyah dan disana terdapat seorang wanita, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya“Siapakah wanita ini?” Aisyah radhiyallahu anha menjawab, “Ini adalah fulanah yang terkenal dengan shalatnya,” maksudnya ia banyak shalat, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Jangan demikian!, kata (مَهْ) menurut ahli nahwu termasuk isim fiil yang berarti “berhentilah!” seperti halnya (صَهْ) yang artinya, “diamlah!”

Maksudnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan wanita itu untuk berhenti beribadah berlebihan, yang akan memberatkannya, sehingga tidak bisa terus menerus demikian, kemudian baginda juga memerintahkan kita untuk menunaikan amal sesuai kemampuan kita, “Berbuatlah semampu kalian,” janganlah kalian memberatkan diri sendiri di luar batas kemampuan kalian, kerana seseorang itu jika ia membebankan dirinya lebih dari kemampuannya akan jenuh dan berhenti.

Kemudian Aisyah radhiyallahu ‘anha, mengisahkan bahwa amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang dikerjakan secara kontinyu, amalan yang sedikit tetapi terus menerus adalah lebih baik. Sebab, anda melakukannya dengan tenang, istirahat ketika masih ingin dan ketika bosan tidak meninggalkannya. Dengan demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Demi Allah, Allah tidak akan jemu untuk memberi balasan kalian, sehingga kalian merasa jemu, Allah akan tetap memberi balasan selama kalian masih terus menunaikannya.

Perkataan “Jemu” yang dipahami dari zhahir hadits ini adalah sifat Allah, tetapi bukan seperti jemunya kita, kerana kita jemu kerana letih, malas. Adapun jemu sifat Allah adalah sifat yang khusus bagi Allah Ta'ala, namun sifat ini bukan kerana letih atau malas, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, dan Kami tidak merasa letih sedikit pun.” (QS. Qâf: 50: 38)

Semua langit dan bumi beserta isinya yang kukuh ini diciptakan Allah dalam enam hari; yaitu Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis dan Jum'at. Allah Ta'ala berfirman,

Dan Kami tidak merasa letih sedikit pun.” 
(QS. Qâf: 50: 38)

Yaitu Allah tidak pernah merasa letih kerana menciptakannya dalam waktu yang singkat ini betapa besarnya ciptaan-Nya ini.

Dalam hadits ini banyak pelajaran yang dapat kita petik, di antaranya adalah hendaknya setiap suami bertanya dahulu ketika mendapatkan seseorang yang tidak ia kenal dalam rumahnya. Bisa jadi orang itu termasuk yang tidak ia senangi masuk ke rumahnya. Sebab, kebiasaan para wanita berkunjung dan berkumpul-kumpul membincangkan sesuatu yang dilarang seperti menggunjing, merumpi dan sebagainya, atau sebagian wanita menanyakan tentang suami, pekerjaan, kegiatannya, masalah anaknya dan sebagainya, mahupun dengan niat yang baik atau tidak, sehingga hal itu bisa berpengaruh pada hubungan suami istri. Oleh kerana itu, hendaknya setiap suami bertanya jika ada seseorang yang bersama istrinya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan hal itu kepada istrinya Aisyah tentang wanita itu.

leh kerana itu, hendaknya setiap suami bertanya jika ada seseorang yang bersama isterinya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan hal itu kepada istrinya Aisyah tentang wanita itu.

Pelajaran lain yang dapat kita petik adalah sebaiknya setiap orang tidak memaksakan dirinya menunaikan ketaatan di luar kemampuannya. Kerana berlebihan dalam sesuatu biasanya jemu dan merasa letih, kemudian ia meninggalkannya. Jika seseorang tetap menunaikan amal secara terus menerus walaupun sedikit itu adalah lebih baik. Sebagaimana dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar informasi bahwa Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata, “Aku akan berpuasa dan shalat malam sepanjang hidupku,” ia mengucapkan hal itu kerana kecintaannya terhadap kebaikan, kemudian hal itu sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda, “Benarkah kamu yang mengatakan demikian?” ia menjawab, “Benar wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kamu tidak akan mampu untuk menunaikannya.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk berpuasa setiap bulan tiga hari. Kemudian ia berkata, “Aku mampu untuk lebih dari itu.” Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa sehari dan berbuka dua hari, kemudian ia berkata, “Aku mampu untuk menunaikan lebih dari itu.” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tidak lebih dari ini kerana inilah puasa Nabi Daud ‘alaihis salam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1976. Muslim no. 1159]

Hadits no 143.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوْتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُوْنَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَخْبِرُوْا كَأَنَّهُمْ تَقَالَّوْهَا وَقَالُوا: أَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ. قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَأُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَصُوْمُ الدَّهْرَ أَبَدًا وَلَا أُفْطِرُ، وَقَالَ الْآخَرُ: وَأَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ: « أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا ؟ أَمَّا وَاللهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلّٰهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصلِِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّى » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Anas bin Malik radhiyallahu dia berkata, “Ada tiga orang yang datang ke rumah-rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menanyakan ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah disampaikan kepada mereka, seolah mereka menganggap ibadah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit, seraya berkata, “Terlalu jauh perbedaan kita jika dibandingkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dosa baginda telah diampuni baik yang telah lalu mahupun yang akan datang,” salah seorang di antara mereka berkata, “Saya akan shalat sepanjang malam untuk selamanya,” yang lain mengatakan, “Saya akan berpuasa dan tidak berbuka untuk selamanya,” yang lain berkata, “Saya menjauhkan diri dari perempuan dan tidak akan menikah selamanya,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda kepada mereka, “Kalian tadi yang berbicara begini dan begitu?” Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur malam, aku juga menikahi wanita, barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5063. Muslim no. 1401]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini tentang tiga orang yang datang ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada istri-istrinya tentang aktivitas Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di dalam rumah. Aktivitas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara zhahir diketahui oleh para sahabatnya, seperti yang dikerjakan di masjid, di pasar, atau di masyarakat bersama para sahabatnya. Aktivitasnya ini secara umum diketahui oleh kebanyakan sahabatnya di Madinah, tetapi yang berkaitan dengan urusan rumah tangga Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya diketahui oleh keluarganya dan para pembantunya seperti Abdullah bin Mas'ud dan Anas bin Malik radhiyallahu anhuma.

Ketiga orang itu datang ke rumah istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan bagaimana ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumahnya. Kemudian para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginformasikannya, setelah disampaikan seolah-olah mereka menganggap ibadah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedikit, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan juga berbuka, shalat malam dan juga tidur dan menikah serta bersenda gurau dengan istri-istrinya. Seolah mereka menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurang sempurna dalam menunaikan ibadah. Mereka semangat dalam melakukan kebaikan. Semangat itu tidak bisa dijadikan ukuran dalam kebaikan seseorang, tetapi ukurannya adalah syariat Islam yang benar.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dan bersabda, “Kalian tadi yang berbicara begini dan begitu? Mereka menjawab, “Benar,” kerana salah satu dari mereka berkata, “Aku akan shalat sepanjang malam untuk selamanya,” yang lain mengatakan, “Aku akan berpuasa untuk selamanya,” yang lain berkata, “Aku menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah.” Mereka semua mengaku telah mengucapkannya.

Tentu yang mereka katakan itu semua bertentangan dengan syariat, kerana perbuatan mereka itu membebani jiwa dan raga. Seseorang shalat malam selamanya tidak pernah tidur, tentunya tidak mungkin manusia menunaikannya, menyebabkan kejenuhan dan membencinya. Kerana setiap orang itu jika merasa jenuh terhadap sesuatu maka akhirnya membencinya. Begitu pula yang mengatakan, “Aku akan berpuasa untuk selamanya.” Sepanjang usianya ia berpuasa, baik musim dingin atau panas, tentu hal ini tidak sanggup manusia menunaikannya.

Yang ketiga berkata, “Aku menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah.” Hal ini juga menyalahi fitrah manusia, terutama para pemuda sangat sulit untuk meninggalkan hal ini. Oleh kerana itu membujang (tidak menikah) itu dilarang syariat, sebagaimana perkataan Utsman bin Madzun, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat melarang kita untuk membujang, kalau seandainya Rasulullah mengizinkan pasti kami akan mengebiri diri kami.”

Yang penting bahwa tipe ibadah yang mereka lakukan ini adalah menyalahi fitrah manusia dan juga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah Rasulullah memastikan mereka mengatakan hal itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah di antara kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur malam, aku juga menikahi wanita, barangsiapa yang benci terhadap sunnahku, maka ia bukan termasuk golonganku.” Maksudnya barangsiapa yang membenci cara hidupku ini dan beribadah berlebihan seperti orang-orang ini, maka bukanlah dari golonganku.

Hadits ini sebagai dalil kewajiban setiap muslim untuk bersikap tengah-tengah dalam beribadah, bahkan dalam semua hal dalam hidupnya, kerana jika kurang akan tertinggal dari banyak sunnah Nabi, sebaliknya jika berlebihan dia akan lemah dan akhirnya meninggalkannya. Dengan demikian setiap orang harus berada di tengah-tengah antara dua titik ekstrim ini. 

Oleh kerana itu terdapat sebuah hadits,

Sesungguhnya orang yang berjalan pada siang dan malam hari itu tidak ada satu kampung pun yang ia lewati dan tidak pula menyisakan punggungnya.”

[HR. Al-Baihaqi Al-Kubra no. 3/18, dinilai Dha'if oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Al-Jami no. 2022]

Ia tidak akan pernah menyelesaikan satu perjalanan pun kerana lelah dan akhirnya meninggalkannya.

Pertengahan dalam ibadah termasuk sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hendaknya jangan sampai memaksakan diri melebihi kemampuan. Tunaikan setiap amalan dengan penuh hati-hati dan terus menerus walaupun sedikit. Sebagaimana sabda Rasulullah yang lalu bahwa amalan yang paling dicintai Allah adalah yang dikerjakan secara terus menerus walaupun sedikit. Sedang-sedang saja, jangan kurang dan jangan berlebihan, kerana sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang selalu menjejaki langkah petunjuk Rasulullah bersama orang-orang yang mengikuti sunnah-sunnahnya.

Hadits no 144.
وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « هَلَكَ الْمُتَنَطِّعُونَ » قَالَهَا ثَلَاَثًا، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan (dalam melakukan sesuatu dan memberatkan dirinya). Rasulullah mengucapkan kalimat ini hingga tiga kali.”

[Shahih Muslim no. 2670]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan, binasalah orang-orang yang berlebihan, binasalah orang-orang yang berlebihan.” Mereka akan binasa dan merugi, maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam masalah agama dan duniawi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Janganlah kalian mempersulitkan diri, kerana Allah akan mempersulit kalian!”

[HR. Abu Dawud no. 4904, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Shahîhah no. 3124]

Mari kita renungkan kisah Bani Israil ketika ada seseorang yang terbunuh kemudian mereka berselisih, sehingga api fitnah hampir menyulut mereka, kemudian Nabi Musa ‘alaihissalam mengatakan kepada mereka,

Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina. (QS. Al-Baqarah: 2: 67)

Yaitu ambillah sebagian dagingnya dan pukullah kepada tubuh orang yang meninggal itu, maka ia akan mengatakan siapa yang membunuhnya, maka mereka mengatakan, “Apakah anda mempermainkan kami?” Kalau seandainya mereka menerima perintah Tuhan mereka dengan menyembelih sapi betina yang mana saja maka tujuan mereka akan tercapai tetapi mereka sombong dan akhirnya hancur, bahkan mereka mengatakan, “Mintalah kepada Tuhanmu untuk kami sapi yang bagaimana?” Kemudian setelah dijawab mereka bertanya, “Warna sapinya apa?” Tetapi setelah mereka bertanya tidak menunaikannya, mereka tidak akan menyembelihnya kecuali setelah ditekan dan hampir tidak menunaikannya.

Begitu pula berlebih-lebihan dalam beribadah, misalnya dalam shalat, puasa atau semua amalan lain, akhirnya setiap orang yang berlebihan akan binasa. Contohnya adalah orang yang sakit merasakan dirinya berpuasa sedangkan fisiknya masih memerlukan makan dan minum, padahal Allah Ta'ala memperbolehkannya untuk berbuka, orang ini juga termasuk dalam hadits di atas.

Begitu pula yang dilakukan sebagian mahasiswa yang bersemangat menuntut ilmu tauhid, setiap kali melewati ayat sifat Allah Ta'ala, mereka mencari-cari dan bertanya hal-hal diluar kemampuannya yang tidak pernah dicontohkan oleh para sahabat, tabiin, dan para imam yang mendapatkan petunjuk setelah mereka. Ada seorang yang mempermasalahkan masalah ini diluar kemampuannya maka kami mengatakan kepadanya, “Setiap yang dicontohkan oleh para sahabat ikutilah. Jika kalian tidak mampu maka tinggalkan. Semoga Allah memberi kemampuan kepada kalian. Ketahuilah bahwa jika demikian kalian hanya akan mendapatkan kesulitan dan kebingungan.”

Contohnya ada orang yang bertanya, “Allah Ta'ala itu memiliki jari-jari.” Sebagaimana dalam hadits shahih,

Sesungguhnya hati anak Adam itu berada di genggaman jari-jari Ar-Rahman sebagaimana satu hati dibolak-balikkan sesuai dengan kehendak-Nya. 

[Shahih Muslim no. 4798]

Kemudian yang berlebihan bertanya dalam masalah ini mempermasalahkan berapa jumlah jari-jari-Nya? Apakah memiliki ruas atau tidak? dan sebagainya.

Begitu pula sabda Rasulullah,

Tuhan kami turun ke langit dunia setiap malam ketika tanggal sepertiga malam terakhir.

[Shahih Al-Bukhari no. 1077. 6940]

Orang yang berlebihan lagi-lagi bertanya mempermasalahkan hadits ini, “Bagaimana Allah turun? kenapa sepertiga malam? sepertiga malam Dia berkeliling semua bumi artinya turun selalu?” Ini adalah ungkapan-ungkapan yang tidak terpuji bahkan lebih dekat dengan dosa dan kehinaan.

Masalah-masalah ini tentunya tidak membebankan kepada manusia untuk mengetahuinya, kerana ini adalah masalah ghaib, orang yang terdahulu yang lebih baik dari kita belum pernah menanyakannya, maka ketahuilah nama-nama dan sifat Allah untuk diyakini, katakan, “Kami beriman, taat, membenarkan dan meyakininya.” Sementara orang yang mencari hal-hal yang mendetailkan dalam masalah ini tentu termasuk berlebih-lebihan.

Juga sebagian orang yang menuntut ilmu yang mencampurkan rasio ke dalam dalil lafadz suatu nash. Misalnya ketika mendapatkan sesuatu dalil kemungkinan seperti ini atau itu, sehingga tujuan utama dalil itu terabaikan dan menjadi pendapat tidak kuat. Tentunya pemahaman seperti ini salah, kerana kewajiban setiap muslim adalah mengambil makna yang zahir suatu dalil, kalau setiap dalil dikatakan memiliki makna lain maka tidak ada satu pun dalil pun yang dapat digunakan sebagai dalil. Masalah-masalah rasio ini adalah angan-angan dari syaitan yang sengaja dirasukkan ke dalam hati manusia agar akidah dan imannya goyah. Na'udzubillah.

Begitu juga yang dilakukan sebagian orang yang berlebihan dalam berwudhu, ada yang mengulangi wudhunya hingga tiga kali, empat, lima atau lebih padahal wudhunya tidak bermasalah. Sebuah riwayat mengisahkan bahwa ketika Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berwudhu di bawahnya tidak terdapat banyak air kecuali hanya beberapa percikan saja, kerana menggunakan air sedikit, tetapi sekarang orang-orang yang berlebihan dalam berwudhu hingga menghabiskan banyak air mengulanginya hingga empat, lima, enam atau lebih dari itu. Hakikatnya adalah bisikan syaitan yang merasuk padanya.

Begitu pula sebagian orang yang berlebihan dalam mandi junub, sebagian disibukkan dan mempersulitkan diri dengan memasukkan air ke dalam telinga, hidung dan sebagainya. Semua ini termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, “Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan, binasalah orang-orang yang berlebihan, binasalah orang-orang yang berlebihan.” Setiap orang yang mempersulitkan dirinya dalam urusan yang Allah telah berikan toleran kepadanya, termasuk dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.

Hadits no 145.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنُ إِلَّا عَلَبَهُ فَسَدِّدُوْا وَقَارِبُوْا وَأَبْشِرُوْا، وَاسْتَعِينُوْا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ « سَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَاغْدُوْا وَرُوْحُوا، وَشَيْءٌ مِنَ الدُّلْجَةِ، الْقَصْدَ الْقَصْدَ تَبْلُغُوا. 
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baginda bersabda,

“Sesungguhnya agama (Islam) itu mudah, dan tidaklah agama itu dilakukan dengan memaksakan diri, melainkan akan mengalahkan pelakunya (tidak mampu melaksanakannya). Oleh kerana itu, lakukan ibadah itu dengan lurus (benar, bersahaja, dan tidak berlebihan), mendekatlah pada kesempurnaan (lakukanlah semaksimal mungkin jika tidak sanggup menyempurnakannya) dan bergembiralah kalian, serta pergunakanlah waktu pagi, petang serta sebagian dari waktu malam (sebagai penopang untuk beribadah kepada Allah)!” 

[Shahih Al-Bukhari no. 39]

Dalam riwayat lain juga diriwayatkan oleh Al-Bukhari disebutkan, “Lakukanlah ibadah itu dengan lurus (benar, bersahaja, dan tidak berlebihan), mendekatlah pada kesempurnaan (lakukanlah semaksimal mungkin jika tidak sanggup menyempurnakannya), pergunakanlah waktu pagi, petang dan sebagian dari waktu malam (sebagai penopang untuk beribadah kepada Allah) serta bersikaplah pertengahan (sederhana) nescaya akan sampai ke tujuan.

[Shahih Al-Bukhari no. 6463]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab “Pertengahan dalam beribadah” ini sebuah hadits daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya agama itu mudah.” Maksudnya adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang memeluknya juga mudah menjalankan syariatnya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 185)

Dan firman Allah Ta'ala ketika memerintahkan untuk berwudhu, mandi junub, tayammum ketika tidak ada halangan,

“Allah tidak ingin menyulitkan kamu. 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 6)

Allah Ta'ala berfirman,

Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj: 22: 78]

Semua dalil ini menunjukkan bahwa agama Islam ini adalah mudah. Kalau kita merenungkan lebih dalam tentang ibadah sehari-hari, shalat lima waktu ini sangat mudah terbagi dalam waktu-waktu, harus terlebih dahulu bersuci, suci badan dan hati, hendaklah seseorang itu berdoa setiap kali lepas berwudhu, antara doanya,

أَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
“Asyhadu an laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa rasuluhu, Allahummaj 'alni minat tawwabiina waj'alnii minal mutathohhiriin.”
ㅤㅤㅤㅤㅤ 
Artinya, “Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersuci.”
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ 
[HR. At-Tirmidzi, no. 55. Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini shahih]

Ia mensucikan badannya kemudian setelah itu mensucikan hatinya dengan tauhid. Kemudian shalat.

Kalau kita merenungkan kewajiban zakat yang termasuk rukun Islam ketiga sangatlah mudah. Pertama zakat ini tidak wajib kecuali untuk harta yang berkembang seperti harta perniagaan, atau yang satu hukum dengannya seperti zakat emas dan perak walaupun tidak bertambah. Adapun yang dipakai dan digunakan seperti kenderaan, rumah dan semua barang yang dipakai khususnya sendiri tidak dikenakan wajib zakat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Seorang mukmin itu tidak wajib mengeluarkan zakat pada budak dan kudanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1464]

Kewajiban zakat itu sangat sedikit, hanya dua setengah persen, membayar zakat tidak akan mengurangi harta pokok. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Tidak ada harta yang berkurang kerana mengeluarkan sedekah.”

[Shahih Muslim no. 4689]

Tetapi justru akan berkah, bertambah dan mensucikannya. 

Lihat pada syarat puasa. Allah tidak mewajibkan selama setahun atau seperempatnya, tetapi hanya satu bulan dari dua belas bulan. Orang sakit atau dalam perjalanan diperbolehkan untuk berbuka, dan jika tidak bisa puasa selamanya diperbolehkan untuk menggantinya dengan memberi makan satu orang setiap hari.

Begitu juga dengan ibadah haji yang sangat mudah untuk ditunaikan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” 
(QS. Âli 'Imran: 3: 97)

Seorang yang tidak mampu fisiknya bisa mewakili orang lain untuk menunaikannya, tetapi jika tidak mampu kedua-duanya gugurlah kewajibannya.

Kesimpulannya bahwa agama Islam ini mudah, mudah dari sumbernya, mudah kerana terdapat banyak keringanan ketika ada alasan, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu, maka shalatlah duduk, jika tidak mampu, maka shalatlah dengan berbaring.”

[Shahih Muslim no. 1050]

Maka agama ini sangat mudah untuk ditunaikan.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan tidaklah agama itu dilakukan dengan memaksakan diri, melainkan akan mengalahkan perlakunya.” Tidak ada seorang pun yang mempersulit dirinya dalam menunaikan syariat agama kecuali akan kalah dan lelah, setelah itu bosan akhirnya meninggalkannya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lalu, “Binasalah orang-orang yang berlebihan.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Oleh kerana itu lakukanlah ibadah dengan benar, kalau tidak mampu lakukanlah semaksimal mungkin dan bergembiralah kalian.” Lakukanlah segala sesuatu itu dengan benar, jika tidak bisa maka berusahalah semaksimal mungkin, dan berilah kabar gembira dengan pahala yang agung dan pertolongan dari Allah bagi orang-orang yang telah melakukan ibadah dengan benar dengan semaksimal mungkin. Hadits ini banyak disabdakan Rasulullah untuk para sahabatnya memberi kabar gembira. Dengan demikian sebaiknya setiap orang yang berusaha memberikan kabar gembira untuk saudaranya minimal dengan wajah yang ceria.

Contoh lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan informasi kepada para sahabat bahwa pada hari Kiamat nanti Allah Ta'ala berfirman, “Wahai Adam!” Adam menjawab, “Ya, aku memenuhi perintah-Mu.” Allah Ta'ala berfirman, “Keluarkanlah dari anak cucumu orang yang akan dikirim ke dalam neraka.” Adam berkata, “Ya Tuhan, beberapa orang yang akan dikirim ke dalam neraka?” Allah Ta'ala berfirman, “Dari setiap seribu orang, akan dikirim sembilan ratus sembilan puluh sembilan orang ke dalam neraka dan hanya satu orang yang masuk surga.” Hal itu membuat para sahabat merasa keberatan, maka mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah dari kami yang termasuk dari satu orang itu?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab, ”Bergembiralah kalian, sesungguhnya kalian berada di antara dua umat yang mana kebanyakan dari mereka adalah Yakjuj dan Makjuj.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, aku berharap kalian menjadi seperempat, sepertiga, bahkan setengah dari penghuni surga.” Kemudian para sahabat mengucapkan takbir sebagai ungkapan rasa kegembiraan mereka, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bergembiralah kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3099, 4372, 6049. Muslim no. 327]

Demikianlah hendaknya seseorang menggembirakan saudaranya, tetapi terkadang peringatan itu lebih sesuai bagi seseorang. Misalnya saudaranya yang lengah tidak menunaikan kewajiban atau melanggar larangan maka yang lebih sesuai baginya adalah peringatan, keduanya harus dilakukan tetapi hendaknya lebih banyak memberi kabar gembira. Misalnya ada seseorang yang banyak berbuat maksiat bahkan melakukan dosa besar, kemudian ia bertanya apakah taubatnya diterima? Maka harus dijawab “Ya,” diberi kabar gembira. Jika kembali dan taubat kepada Allah pasti Allah akan mengampuninya, sehingga ia tidak berputus asa.

Kesimpulannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Oleh kerana itu lakukanlah ibadah dengan benar, kalau tidak mampu lakukanlah semaksimal mungkin, dan bergembiralah kalian serta pergunakanlah waktu pagi, petang, serta sebagian dari waktu malam, bersikaplah pertengahan nescaya kalian akan sampai tujuan.” Maksudnya, manfaatkanlah kedua hujung hari ini dengan baik, pagi dan petang hari, dan juga sebagian malam.

“Bersikaplah pertengahan nescaya kalian akan sampai ke tujuan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin membuat permisalan perjalanan ruhiyah dengan perjalanan hakiki, kerana orang yang ingin mengadakan perjalanan biasanya mulai pada awal, petang atau sebagian waktu malam, kerana waktu-waktu ini sangat sesuai untuk memulai perjalanan, atau artinya menggunakan kedua waktu itu untuk bertasbih, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 41-42)

Begitu juga malam hari untuk shalat malam. Yang penting bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk tidak mengisi sepanjang waktu kita dengan ibadah, kerana hal itu menyebabkan kejenuhan, letih dan akhirnya meninggalkan ibadah.

Hadits no 146.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ: مَا هَذَا الْحَبْلُ ؟ قَالُوْا: هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَقَتْ بِهِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « حُلُّوْهُ، لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ، فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَرْقُدْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, “Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masjid dan menemukan tali yang terpasang antara dua tiang, kemudian baginda bertanya, “Tali apakah ini?”

Para sahabat menjawab, “Zainab yang memasangnya, jika merasa letih ketika shalat ia memegang tali itu.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lepaskan tali itu, hendaknya kalian menunaikan shalat dalam kondisi semangat, dan jika terasa letih hendaknya ia tidur.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1150. Muslim no. 784]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Anas radhiyallahu anhu dari Rasulullah ‘alaihi wa sallam bahwasanya Rasulullah masuk ke masjid dan mendapatkan tali yang terikat antara dua tiang, kemudian  bertanya, “Tali apakah ini?” Para sahabat menjawab, “Zainab yang memasangnya, jika merasa letih ketika shalat ia memegang tali itu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lepaskan tali itu, hendaknya kalian menunaikan shalat dalam kondisi semangat, dan jika terasa letih hendaknya ia tidur.”

Hadits ini sebagai dalil bahwa tidak dibolehkan seseorang berlebih-lebihan dan memaksa diri dalam beribadah di luar kemampuannya. Hendaknya seseorang menunaikan shalat selama masih semangat. Jika merasa letih hendaknya istirehat, kerana jika shalat dan fisiknya merasa letih akan menganggu konsentrasinya, letih, jenuh bahkan membenci ibadah, atau berdoa tidak sesuai dengan keinginannya, misalnya ingin berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah daku!” Bisa mungkin salah menjadi, “Ya Tuhanku jangan ampuni daku!” Kerana ia mengantuk, bisa jadi tersalah cakap. Oleh kerana itu, Rasulullah memerintahkan untuk melepas tali tersebut, dan memerintahkan untuk shalat dalam kondisi semangat dan segar, dan ketika merasa letih hendaknya ia istirehat dan tidur.

Hadits ini menyebutkan dalam ibadah shalat, tetapi kaidah ini mencakup semua aktivitas. Jangan membebani diri di luar kemampuan, tetapi perlakukan dirimu dengan lemah-lembut. Jangan terburu-buru dalam melakukan segala sesuatu. Bisa jadi keterlambatannya terdapat hikmah yang diinginkan oleh Allah Ta'ala. Jangan mengatakan, “Saya ingin memaksa diri saya.” Tetapi lakukanlah dengan penuh ketenangan dan berikanlah hak dirimu. Dengan demikian anda akan cepat sampai tujuan.

Di antaranya adalah yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa yang berusaha menelaah pelajarannya ketika mengantuk, sehingga ia meletihkan dirinya tetapi tidak mendapatkan sesuatu, kerana orang yang belajar dalam keadaan mengantuk tidak mendapatkan hasil apa-apa. Oleh kerana itu ketika seseorang mengantuk ketika membaca hendaknya istirehat untuk tidur sementara.

Hal ini umum untuk semua waktu sehabis shalat subuh, setelah shalat Ashar atau yang lainnya. Setiap kali merasa mengantuk hendaknya istirehat atau tidur. Setiap kali merasa segar dan bersemangat hendaknya bersegera menunaikan amal kebajikan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (QS. Al-Insyirâh: 94: 7-8)

Ambillah yang termudah setiap amalan sunnah, berbeda dengan yang wajib harus ditunaikan tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Adapun amalan sunnah, Allah memberikan toleransi maka jangan membebani diri di luas batas kemampuan.

Hadits no 147.
وَعَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ يُصَلِّي، فَلْيَرْقُدْ حَتَّى يَذْهَبَ عَنْهُ النَّوْمُ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا صَلَّى وَهُوَ نَاعَسٌ لَا يَدْرِي لَعَلَّهُ يَذْهَبُ يَسْتَغْفِرُ فَيَسُبُّ نَفْسَهُ « مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Jika salah seorang di antara kalian mengantuk ketika sedang shalat, hendaknya ia tidur sehingga rasa kantuknya hilang. Sebab, jika salah seorang di antara kalian shalat dalam keadaan mengantuk, maka ia tidak mengerti apa yang ia ucapkan, mungkin ia bermaksud memohon ampunan, tetapi dia justru mencela dirinya sendiri.”

[Shahih Al-Bukhari no. 212. Muslim no. 786]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian sedang shalat, hendaknya ia tidur sehingga rasa kantuknya hilang.” “mengantuk” adalah putusnya konsentrasi seseorang kerana datangnya tidur, maka dari itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan bagi orang yang mengalaminya ketika shalat hendaknya ia membatalkan shalatnya, tidak meneruskan shalatnya dalam kondisi demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memberikan alasannya dalam sabdanya, “Sebab, jika salah seorang di antara kalian shalat dalam keadaan mengantuk, maka ia tidak mengerti apa yang ia ucapkan, mungkin ia bermaksud memohon ampunan, tetapi dia justru mencela dirinya sendiri.” Mungkin ia ingin berdoa, “Ya Allah ampunilah dosa-dosaku!.” ia salah jadi mencela dirinya dengan dosa ini, atau ingin memohon surga tetapi salah menjadi neraka, ingin memohon petunjuk tetapi salah menjadi kesesatan. oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk segera tidur jika berada dalam kondisi demikian.

Pelajaran di balik masalah ini adalah bahwa setiap orang memiliki kewajiban memenuhi hak dirinya. Jika ia memaksakan dirinya untuk menunaikan suatu ibadah di luar kemampuannya berarti ia telah menzhalimi dirinya sendiri, maka wahai saudaraku janganlah lengah sehingga kurang atau berlebihan.

Hadits no 148.
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: « كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَوَاتِ، فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Abdullah Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ia berkata,

Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam banyak shalat. Shalat baginda sedang dan khutbah baginda juga sedang (tidak panjang dan juga tidak pendek).”

[Shahih Muslim no. 886]

Penjelasan.

Hadits Jabir bin Samurah radhiyallahu anhu ini menceritakan ketika ia shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Secara zhahir ia shalat Jum'at, shalat dan khutbahnya sedang, tidak pendek dan juga tidak terlalu panjang yang membosankan. Sebagaimana sebuah riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya baginda bersabda,

“Sesungguhnya panjangnya shalat seseorang dan pendek khutbahnya adalah bukti pahamnya terhadap agama.”

[Shahih Muslim no. 1437]

Ciri kefakihan agama seseorang itu dicerminkan dalam hadits ini. Pelajaran yang dapat kita ambil dari kedua hadits ini adalah hendaknya setiap muslim tidak membebani dirinya dengan menunaikan ibadah di luar kemampuannya, tetapi mengamalkan sesuai kemampuannya.

Hadits no 149.
وَعَنْ أَبِيْ جُحَيْفَةَ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: آخَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ سَلْمَانَ وَأَبِي الدَّرْدَاءِ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً فَقَالَ: مَا شَأْنُكِ؟ قَالَتْ: أَخْوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِي الدُّنْيَا. فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ فَصَنَعَ لَه طَعَامًا، فَقَالَ لَهُ: كُلْ فَإِنِّي صَائِمٌ، قَالَ: مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ، فَأَكَلَ، فَلَّمَا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ فَقَالَ لَهُ: نَمْ فَنَام، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُوْمُ فَقَالَ لَهُ: نَمْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ: قُمِ الْآنَ، فَصَلَّيَا جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ: إِنَّ لِرَبِّكَ علَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « صَدَقَ سَلْمَانُ » رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Daripada Abu Juhaifah Wahab bin Abdullah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda radhiyallahu anhuma, kemudian Salman mengunjungi rumah Abu Darda, dan ia melihat Ummu Darda (istri Abu Darda) dengan pakaian yang lusuh, lalu dia bertanya kepadanya, “Kenapa dengan kamu?”

Dia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda tidak mengambil berat lagi mengenai keperluan dunia.”

Kemudian setelah Salman datang Abu Darda membuat makanan, kemudian ia mempersilakan, “Makanlah!

Abu Darda menjawab, “Aku sedang berpuasa.”

Salman berkata, “Aku tidak akan makan sehingga engkau juga makan.”

Akhirnya Abu Darda pun ikut makan. Kemudian pada tengah malam hari, Abu Darda bangun untuk shalat lalu Salman berkata  kepadanya, “Teruskan tidur!" maka dia pun tidur lagi. Kemudian ia bangun sekali lagi dan Salman kembali memerintahkan untuk tidur, “Tidurlah!, setelah akhir malam Salman berkata, “Sekarang bangunlah!”

Kemudian keduanya shalat bersama-sama, setelah itu Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu maka berikanlah hak itu kepada pemiliknya.”

Kemudian Abu Darda menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia mencerita hal itu. Maka Rasulullah bersabda, “Salman benar.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1968, 6139]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dari riwayat Abu Juhaifah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda. Baginda membuat akad ukhuwah antara keduanya. Kerana kaum muhajirin ketika hijrah ke Madinah dipersaudarakan dengan kaum Anshar, bahkan sampai mewarisi berdasarkan akad persaudaraan ini, dan Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya,

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah.” (QS. Al-Anfaal: 8: 75)

Pada suatu hari Salman datang dan masuk rumah saudaranya Abu Darda, dia bertemu Ummu Darda berpakaian lusuh, seolah seorang wanita yang tidak mempunyai suami, kemudian ia bertanya, “Kenapa dengan kamu?” Ia menjawab, “Saudaramu, Abu Darda tidak mengambil berat lagi mengenai keperluan dunia.” Yakni meninggalkan dunia, tidak lagi pedulikan dengan keluarga, makan dan lain-lain.

Kemudian setelah Salman datang, Abu Darda membuatkan makanan, ia mempersilakan, “Makanlah!” Salman menjawab, “Aku sedang puasa.” la mengatakan hal itu kerana mengetahui keadaannya dari ucapan isterinya, kalau ia selalu berpuasa, meninggalkan dunia, makan dan sebagainya. Kemudian tengah malam Abu Darda bangun untuk shalat dan Salman berkata kepadanya, “Tidurlah!” Kemudian ia pun tidur, kemudian ia bangun sekali lagi dan Salman kembali memerintahkan untuk tidur, “Tidurlah!” Setelah akhir malam Salman bangun kemudian keduanya shalat bersama-sama.

“Shalat bersama-sama.” Dari zahir hadits ini keduanya shalat berjemaah atau masing-masing shalat sendiri. Shalat malam (sunnah) berjemaah itu diperbolehkan tetapi tidak dilakukan terus menerus, boleh jika dilakukan kadang-kadang. Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Ibnu Abbas, Hudzaifah bin Al-Yaman, Abdullah bin Mas'ub, tetapi menurut para ulama, Rasulullah  melakukannya kadang-kadang tidak terus menerus.

Setelah itu Salman berkata kepada Abu Darda, “Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak atasmu, dan dirimu memiliki hak atasmu, dan keluargamu juga memiliki hak atasmu maka berikanlah hak itu kepada pemiliknya.” Yakni ungkapan Salman ini sama halnya ungkapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amru bin Ash.

Hadits ini merupakan dalil bahwa setiap orang tidak boleh membebani dirinya dengan puasa, shalat malam, dan sebagainya, di luar kemampuannya, tetapi menunaikannya pertengahan setelah rasa letih dan lelahnya hilang

Hadits no 150.
وَعَنْ أَبِيْ مُحَمَّدِ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِوَ بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: أُخْبِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَقُوْلُ: وَاللهِ لَأَصُوْمَنَّ النَّهَارَ، وَلَأَقُوْمَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَنْتَ الَّذِي تَقُوْلُ ذَلِكَ؟ فَقُلْتُ لَهُ: قَدْ قُلتُهُ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: « فَإِنَّكَ لَا تَسْتَطِيْعُ ذَلِكَ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ، وَنَمْ وَقُمْ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، وَذَلِكَ مِثْلُ صِيَامٍ الدَّهْرِ، قُلْتُ: فَإِنِّي أُطِيْقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ: فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ، قُلْتُ: فَإِنِّي أُطُيْقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ، قَالَ: « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا، فَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ أَعْدَلُ الصِّيَامِ. 

وَفِي رِوَايَةٍ: « هُوَ أَفْضَلُ الصِّيَامِ » فَقُلْتُ: فَإِنِّي أُطِيْقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلكَ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَا أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » وَلَأَنْ أَكْوْنَ قَبِلْتُ الثَّلَاثَةَ الْأَيَّامِ الَّتِي قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَهْلِي وَمَالِى.

وَفِي رِوَايَةٍ: « أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وتَقُوْمُ اللَّيْلَ؟ » قُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ. قَالَ: « فَلَا تَفْعَلْ: صُمْ وَأَفْطِرْ، وَنَمْ وَقُمْ فَإِنَّ لِجَسَدَكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لِعَيْنَيْكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَإِنَّ لِزَوْجِكَ علَيْكَ حَقًّا، وَإِنَّ لزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصْوْمَ فِي كُلِّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، فَإِنَّ لَكَ بِكُلِّ حَسَنةٍ عشْرَ أَمْثَالِهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ صِيَامُ الدَّهْرِ » فَشَدَّدْتُ فَشُدِّدَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنّي أَجِدُ قُوَّةً، قَالَ: « صُمْ صِيَامَ نَبِيِّ اللهِ دَاوُدَ وَلَا تَزِدْ عَلَيْهِ قُلْتُ: وَمَا كَانَ صِيَامُ دَاوُدَ؟ قَالَ: « نِصْفُ الدَّهْرِ » فَكَانَ عَبْدُ اللهِ يَقُوْلُ بَعْدَ مَا كَبِرَ: يَالَيْتَنِي قَبِلْتُ رُخْصَةَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

وَفِي رِوَايَةٍ: « أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ الدَّهْرِ، وَتْقَرَأُ الْقُرْآنَ كُلَّ لَيْلَةٍ؟ » فَقُلْتُ: بَلَى يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلَمْ أُرِدْ بِذَلِكَ إِلاَّ الْخيْرَ، قَالَ: « فَصُمْ صَوْمَ نَبِيِّ اللهِ دَاوُدَ، فَإِنَّه كَانَ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَاقْرَأْ الْقُرْآنَ فِي كُلِّ شَهْرٍ » قُلْتُ: يَا نَبِيِّ اللَّهِ إِنِّي أُطِيْقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ ؟ قَالَ: « فَاقْرَأه فِي كُلِّ عِشرِيْنَ » قُلْتُ: يَا نَبِيِّ اللهِ إِنِّي أُطِيْقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ: « فَاقْرَأْهُ فِي كُلِّ عَشْرِ » قُلْت: يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنِّي أُطِيْقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ؟ قَالَ: « فَاقْرَأْهُ فِي كُلِّ سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ » فَشَدَّدْتُ فَشُدِّدَ عَلَيَّ، وَقَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّكَ لَا تَدْرِي لَعلَّكَ يَطُوْلُ بِكَ عُمُرٌ قَالَ: فَصِرْتُ إِلَى الَّذِيْ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا كَبِرْتُ وَدِدْتُ أنِّي قَبِلْتُ رَخْصَةَ نَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

وَفِي رِوَايَةٍ: « وَإِنَّ لِوَلَدِكَ علَيْكَ حَقًّا » وَفِي رَوَايَةٍ: لَا صَامَ مَنْ صَامَ الْأَبَدَ » ثَلاثًا. وَفِي رِوَايةٍ: « أَحَبُّ الصَّيَامِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى صِيَامُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى صَلاةُ دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيلِ، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَكَانَ يَصُومُ يوْمًا ويُفْطِرُ يَوْمًت، وَلَا يَفِرُّ إِذَا لَاقَى.

وَفِي رِوَايَةٍ قَالَ: أَنْكَحَنِي أَبِي امْرَأَةً ذَاتَ حَسَبٍ، وَكَانَ يَتَعَاهَدُ كَنَّتَهُ أيْ: امْرَأَةَ وَلَدِهِ فَيَسْأَلُهَا عَنْ بَعْلِهَا، فَتَقُولُ لَهُ: نِعْمَ الرَّجْلُ مِنْ رَجُلٍ لَمْ يَطَأْ لَنَا فِرَاشًا وَلَمْ يُفتِّشْ لَنَا كَنَفًا مُنْذُ أَتَيْنَاهُ، فَلَمَّا طَالَ ذَلِكَ عَلَيْهِ ذَكَرَ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ: « الْقَنِي بِهِ » فَلَقِيْتُهُ بَعْدَ ذَلِكَ فَقَالَ: « كَيْفَ تَصُوْمُ؟ » قُلْتُ: كُلَّ يَوْمٍ، قَالَ: « وَكَيْفَ تَخْتِمُ؟ » قُلْتُ: كُلَّ لَيْلَةٍ، وَذَكَرَ نَحْوَ مَا سَبَقَ وَكَانَ يَقْرَأُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ السُّبُعَ الَّذِي، يَقْرِؤهُ، يَعْرِضُهُ مِنَ النَّهَارِ لِيَكُوْنَ أَخَفَّ عَلَيْهِ بِاللَّيْلِ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَقَوَّى أَفْطَرَ أَيَّامًا وَأَحْصَى وصَامَ مِثْلَهُنَّ كَرَاهِيَّةَ أَنْ يَتْرُكَ شَيْئًا فَارَقَ عَلَيْهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
كُلُّ هَذِهُ الرِّوَايَاتِ صَحِيِحَةٌ مُعْظَمُهَا فِي الصَّحَيْحَيْنَ وَقَلِيْلٌ مِنْهَا فِي أَحَدِهِمَا.
Daripada Abu Muhammad Abdullah bin Amr Al-Ash radhiyallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberitahu tentang ucapanku, “Demi Allah, sungguh aku akan selalu berpuasa pada siang hari dan shalat sepanjang malam sepanjang hidupku.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamukah yang mengatakan demikian?”

Aku menjawab, “Benar, aku yang mengucapkannya, ayah dan ibuku menjadi tebusannya wahai Rasulullah.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup berbuat demikian! Berpuasalah dan juga berbukalah, tidurlah kemudian bangunlah untuk shalat, serta berpuasalah tiga hari dalam sebulan kerana kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat, dan itu seperti puasa sepanjang tahun.”

Kemudian aku berkata kepada Rasulullah, “Aku mampu lebih dari itu.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah sehari dan berbukalah dua hari.”

Aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalau begitu berpuasalah sehari dan berbukalah sehari, itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihissalam itulah puasa yang paling baik.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Yang sedemikian itu adalah seutama-utamanya berpuasa.” 

Kemudian aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada yang lebih utama dari itu (seperti puasa Nabi Dawud ‘alaihis salam).”

Aku berkata, “Seandainya aku dulu menerima anjuran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulan, pasti lebih aku sukai daripada keluarga dan harta bendaku.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1976, 3418. Muslim no. 1159]

Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku mendengar bahwa kamu berpuasa sepanjang hari dan shalat sepanjang malam?” Aku menjawab, “Benar, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan berbuat demikian, berpuasa dan berbukalah, tidur dan bangunlah untuk shalat, kerana sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atas dirimu, kedua matamu memiliki hak atas dirimu, isterimu memiliki hak atas dirimu dan tamumu mempunyai hak atas dirimu. Cukuplah kamu berpuasa tiga hari setiap bulan, kerana setiap satu kebaikan itu diberi balasan sepuluh kali lipat. Dan jika kamu berpuasa tiga hari setiap bulannya berarti kamu berpuasa seperti sepanjang tahun.”

Dalam riwayat lain juga disebutkan, “Aku mendengar bahwa kamu berpuasa terus menerus dan membaca Al-Qur'an sepanjang malam?”Aku menjawab, “Benar wahai Rasulullah, aku berbuat demikian hanya inginkan kebaikan.” Maka Rasulullah shallalllahu alaihi wa sallam bersabda, “Berpuasalah sebagaimana Nabi Dawud, kerana dialah yang paling banyak ibadahnya di antara manusia. Dan khatamlah Al-Qur'an itu setiap bulan sekali.” Aku berkata, “Wahai Nabiyullah, aku mampu lebih dari itu.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Khatamlah Al-Qur'an itu setiap dua puluh hari sekali.” Aku berkata, “Wahai Nabi Allah, aku mampu lebih dari itu.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Khatamlah Al-Qur'an setiap sepuluh hari sekali.” Aku berkata lagi, “Wahai Rasulullah, aku mampu lebih dari itu.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Khatamlah Al-Qur'an setiap tujuh hari sekali dan janganlah kamu berbuat lebih daripada itu.” Aku menuntut yang lebih berat maka aku diperberat, kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kamu tidak tahu, mungkin kamu dipanjangkan umurmu.” Abdullah berkata, “Maka benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, ketika sudah tua aku menyesal, kenapa dulu tidak menerima keringanan yang diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya anakmu mempunyai hak yang harus kamu tunaikan.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidak bernilai puasa orang yang berpuasa selamanya.” Rasulullah mengulangi hingga tiga kali.

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling disukai Allah adalah puasanya Nabi Dawud, shalat yang paling disukai oleh Allah ialah cara shalatnya Nabi Dawud di mana Nabi Dawud tidur sampai tengah malam dan bangun pada sepertiganya kemudian tidur lagi seperenam malam terakhir. Nabi Dawud berpuasa sehari serta berbuka sehari, dan Nabi Dawud tidak pernah lari ketika bertemu dengan musuh.”

Dalam riwayat lain juga dikatakan, Abdullah berkata, “Ayahku telah menikahkanku dengan seorang wanita bangsawan, dan ayahku selalu mengunjungi istriku dan menanyakan keadaanku, kemudian istriku menjawab, “Suamiku adalah sebaik-baik lelaki, dia belum pernah meniduriku dan tidak juga memelukku mesra semenjak berada disini.” Maka setelah selang berapa lama, ayahku pun mengadukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya Rasulullah bersabda,

“Bawalah dia ke sini.” Maka setelah itu, aku pun datang menemui Rasulullah, Rasulullah bertanya, “Bagaimana cara kamu berpuasa?” Aku menjawab, “Setiap hari.” Rasulullah bertanya lagi, “Bagaimana kamu mengkhatamkan Al-Qur'an?” Aku menjawab, “Setiap malam.” Kemudian Abdullah melanjutkan kisahnya sebagaimana riwayat yang lalu, kemudian setelah itu dia membaca Al-Qur'an dihadapan istrinya sepertujuh yang dahulu ia baca, dan sebagian dibaca pada siang hari agar lebih ringan pada malam harinya, dan agar fisiknya kuat ia tidak berpuasa beberapa hari dan menghitungnya kemudian ia berpuasa sejumlah hari itu. Sebabnya ia melakukan demikian, kerana ia tidak senang kalau meninggalkan sesuatu sejak ia berpisah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua riwayat ini berderajat shahih dan kebanyakan terdapat dalam shahih Al-Bukhari dan Muslim, hanya sedikit saja yang diriwayatkan secara terpisah.

Hadits no 151.
وَعَنْ أَبِيْ رِبْعِيٍّ حَنْظَلَةَ بْنِ الرَّبِيْعِ الأُسَيِّدِيِّ الْكَاتِبِ أَحَدِ كُتَّابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَقِيَنَيْ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَقَالَ: كَيْفَ أَنْتَ يَا حَنْظَلَةُ ؟ قُلْتُ: نَافَقَ حَنْظَلَةُ، قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ مَا تَقُوْلُ ؟ قُلْتُ: نَكُونُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُذَكِّرُنَا بِالْجَنَّةِ وَالنَّارِ كَأَنَّا رَأْيَ عَيْنٍ، فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَافَسْنَا الأَزْوَاجَ وَالأَوْلَادَ وَالضَّيْعَاتِ نَسِيْنَا كَثِيرًا قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: فَوَاللهِ إِنَّا لَنَلْقَى مِثْلَ هَذَا فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَأَبُو بَكْرٍ حَتَّى دَخَلْنَا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقُلْتُ نَافَقَ حَنْظَلةُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « وَمَا ذَاكَ ؟ » قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ نَكُوْنُ عِنْدَكَ تُذَكِّرُنَا بِالنَّارِ وَالْجَنَةِ كَأَنَّا رَأْيَ الْعَيْنِ فَإِذَا خَرَجْنَا مِنْ عِنْدِكَ عَافَسْنَا الْأَزوَاجَ وَالْأَوْلَادَ والضَّيْعَاتِ نَسِيْنَا كَثِيرًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ تَدُوْمُوْنَ عَلَى مَا تَكُوْنُوْنَ عِنْدِيْ وَفِي الذِّكْرِ لَصَافَحَتْكُمُ الْمَلائِكَةُ عَلَى فُرُشِكُمْ وَفِي طُرُقِكُمْ، وَلَكِنْ يَا حَنْظَلَةُ سَاعَةً وَسَاعَةً » ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Rib'iy Hanzhalah bin Ar-Rabi' Al-Usayyidi Al-Khatib, dia salah seorang jurutulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Pada suatu hari Abu Bakar menemuiku dan bertanya, Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?

Aku menjawab, Hanzhalah telah berbuat munafik!

Abu Bakar berkata, Maha Suci Allah, apa yang kamu katakan?

Aku menjawab, “Ketika kita bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah mengingatkan surga dan neraka seolah kita melihatnya di depan mata kepala kita! Tetapi setelah kita keluar dari Rasulullah, kita bercanda ria dengan istri, anak-anak dan harta benda, kita lupa banyak hal.”

Kemudian Abu Bakar berkata, Demi Allah aku juga merasa demikian.

Kemudian aku dan Abu Bakar bergegas menuju ke rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga kami mengadap baginda, dan aku mengatakan, Hanzhalah telah berbuat munafik wahai Rasulullah!

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, Apa maksudmu wahai Hanzhalah?

Aku menjawab, Wahai Rasulullah, ketika kami bersamamu, engkau mengingatkan surga dan neraka seolah kami melihatnya di depan mata kepala kami,  tetapi setiap kali kami keluar, kami bersenda gurau dengan isteri, anak dan harta benda, kami lupa dengan banyak hal.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, seandainya kalian tetap sebagaimana keadaan kalian di hadapanku ini, niscaya para malaikat akan berjabat tangan dengan kalian di tempat tidur kalian dan di jalan-jalan, tetapi wahai Hanzhalah itu hanya sesaat-sesaat.” Rasulullah mengulangi hingga tiga kali.

[Shahih Muslim no. 2750]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Hanzhalah radhiyallahu anhu salah seorang penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Pada suatu hari Abu Bakar radhiyallahu anhu menemuiku dan bertanya, “Bagaimana keadaanmu wahai Hanzhalah?” Aku menjawab, “Hanzhalah telah berbuat munafik!” Maksudnya dia merasa dirinya telah menjadi orang munafik, dan mengira termasuk ciri-ciri munafik. Kemudian Abu Bakar berkata, “Begitu juga aku, ketika kita bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan surga dan neraka seolah kita melihatnya di depan mata kepala kita!” Maksudnya kerana keimanan mereka yang sangat membaja, setiap yang diinformasikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seolah mereka menyaksikannya, kerana informasi dari hamba Allah yang paling benar dan paling mengetahui, adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Perkataannya, “Tetapi setelah kita keluar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita bercanda ria dengan istri, anak-anak dan harta benda, kita lupa banyak hal.” Kami bercanda dengan mereka, dan kami lupa dengan peringatan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Abu Bakar juga merasa demikian, setelah keduanya berangkat mengadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah sesampainya di sana Hanzhalah berkata, “Hanzhalah telah berbuat munafik wahai Rasulullah!” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Apa maksudmu wahai Hanzhalah?” Kemudian ia mengatakan bahwa ketika ia bersama Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan surga dan neraka seolah mereka melihatnya di depan mata kepala kerana keimanan mereka, tetapi setelah mereka keluar dari Rasulullah dan bersenda gurau dengan istri anak dan harta benda, mereka banyak terpengaruh dan mereka lupa dengan peringatan itu.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di genggaman-Nya, seandainya kalian tetap sebagaimana keadaanmu di hadapanku ini, niscaya para malaikat akan berjabat tangan dengan kalian di tempat tidurmu dan di jalan,” yaitu menghormati kalian kerana kuatnya iman kalian, kerana setiap kali keyakinan seseorang hamba bertambah kepada Allah, maka Allah akan menguatkan keimanan dan ketakwaannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.
(QS. Muhammad: 47: 17)

“Tetapi wahai Hanzhalah itu hanya sesaat-sesaat, baginda mengulanginya hingga tiga kali.” Yaitu sesaat untuk Allah, sesaat untuk keluarga dan anak-anak, dan sesaat untuk diri sendiri, sehingga memberi kesempatan istirehat pada dirinya, dan memberikan hak orang-orang yang memilikinya.

Inilah keadilan syariat Islam dan kesempurnaannya. Sesungguhnya Allah itu memiliki hak yang harus dipenuhi, diri sendiri, keluarga, tamu, sehingga manusia menunaikan semua hak yang menjadi kewajibannya, beribadah kepada Allah Ta'ala dengan tenang. Sebab, jika memberatkan dirinya maka akan merasa keberatan, lemah dan akhirnya meninggalkan banyak hak yang harus ditunaikan.

Hal ini dalam masalah ibadah dan hak diri, keluarga dan tamu. Begitu pula dalam masalah ilmu, seseorang yang penuntut ilmu dan merasa bosan kerana mengulang suatu materi, hendaknya berpindah pada materi yang lain, sehingga tidak mengalami kejenuhan. Tujuan lain adalah untuk mendapatkan ilmu yang lebih banyak. Tetapi jika merasa letih dan jenuh kemudian meninggalkannya akhirnya akan merasa benci untuk menelaah dan meneliti dan menjadi kebiasaan baginya. Allah hanya memberikan kurnia-Nya yang dikehendaki-Nya. Sungguh Dialah Maha Pemberi kurnia yang agung.

Hadits no 152.
وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِيُّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ، فَسَأَلَ عَنْهُ فَقَالُوا: أَبُو إِسْرَائِيْلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ فِي الشَّمْسِ وَلَا يَقْعُدَ، وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يتَكَلَّمَ، وَيَصُوْمَ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مُرُوهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ (وَلْيَقْعُدْ) وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dia berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah tiba-tiba ada seorang yang berdiri, kemudian baginda bertanya tentang perbuatan orang itu, lalu para sahabat menjawab “Abu Israil bernadzar untuk berdiri pada waktu panas terik dan tidak akan duduk, tidak akan berteduh, tidak akan berbicara dan dalam kondisi berpuasa.” 

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Perintahkanlah dia untuk berbicara, berteduh, duduk dan meneruskan puasanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6704]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam bab, “Tidak Berlebihan Dalam Ibadah.” Yang menjelaskan tentang nadzar seorang yang bernama Abu Israil untuk berdiri di panas terik matahari, tidak duduk, tidak berbicara dan berpuasa. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah kemudian melihat orang itu sedang berdiri di panas terik matahari, kemudian baginda bertanya tentang orang itu, dan dijelaskan tentang nadzarnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perintahkanlah dia untuk berbicara, berteduh, duduk dan meneruskan puasanya.”

Nadzar orang ini terdiri dari dua hal,

1. Yang dicintai Allah dan yang tidak. Yang dicintai contohnya adalah puasa, kerana puasa adalah ibadah, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaknya ia melakukannya.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 6202, 6206]

Sedangkan yang tidak dicintai Allah adalah berdiri di panas terik matahari tanpa berlindung, tidak duduk dan tidak berbicara (seperti di jelaskan hadits di atas), oleh kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang tersebut untuk meninggalkannya.

Hendaknya diketahui bahwa pada dasarnya nadzar itu hukumnya makruh, bahkan sebagian ulama ada yang menyatakan haram. Kerana seseorang yang bernadzar itu membebankan dirinya yang tidak Allah bebankan kepadanya. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernadzar dengan sabdanya,

“Sesungguhnya nadzar itu tidak mendatangkan kebaikan, bahkan ia muncul dari seorang yang bakhil.

[Shahih Al-Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639]

Tetapi kalau memang seseorang ditakdirkan bernadzar, maka nadzar itu terbagi menjadi tiga: Yamin (bersumpah), nadzar dalam bermaksiat, dan nadzar dalam ketaatan, Yamin adalah seseorang yang bersumpah untuk menguatkan sesuatu baik meniadakan atau menetapkan, membenarkan atau menguatkan. Misalnya, seseorang yang mendapat informasi tentang sesuatu yang tidak jelas kebenarannya dan berkata, “Jika kamu berdusta saya bernadzar untuk berpuasa satu tahun.” Tentu tujuan ungkapannya itu untuk menguatkan agar ia benar, ungkapan seperti ini disebut dengan sumpah. Begitu pula jika tujuannya adalah untuk motivasi seperti ungkapan, “Jika saya tidak melaksanakan ini, demi Allah, saya akan berpuasa setahun.” Tujuan ungkapan ini tentunya adalah memotivasi untuk melakukan sesuatu, hukumnya adalah sama dengan sumpah, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya setiap amal itu ditentukan oleh niat, dan setiap orang itu akan mendapatkan apa yang diniatkannya.

[Shahih Al-Bukhari no. 1,45. Muslim no. 1907]

2. Nadzar yang haram, seseorang yang bernadzar untuk masalah yang haram maka haram hukumnya, seperti mengatakan, “Demi Allah saya bernadzar untuk minum khamar.” Nadzar seperti ini adalah haram, maka dilarang untuk melaksanakannya, dan ia wajib mengeluarkan kafarat sumpah menurut pendapat yang lebih kuat, walaupun sebagian ulama mengatakan ia tidak wajib membayar kafarat, kerana nadzarnya automatik batal. Tetapi pendapat yang lebih kuat nadzarnya adalah sah hanya saja tidak boleh ditunaikan, misalnya seorang wanita berkata, “Saya bernadzar untuk puasa ketika sedang haid,” maka ia tidak boleh menunaikannya kerana haram seorang wanita puasa pada waktu haid, tetapi ia harus membayar kafarah sumpah.

3. Nadzar dalam ketaatan. Misalnya seseorang yang mengatakan, “Demi Allah, saya akan puasa ayamul bidh (puasa pada tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas setiap bulan hijriyah),” maka ia wajib memenuhi nadzarnya itu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaknya ia melakukannya.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 6202, 6206]

Atau mengatakan, “Demi Allah saya akan shalat dhuha dua rakaat,” maka ia wajib menunaikannya, kerana itu adalah ketaatan sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

“Barangsiapa yang bernadzar untuk menaati Allah, maka hendaknya ia melakukannya,” 

[Shahih Al-Bukhari no. 6202, 6206]

Dengan demikian, nadzar itu ada yang untuk menunaikan ketaatan dan ada yang haram. Jika nadzarnya adalah ketaatan maka wajib memenuhinya dan jika yang haram, dilarang menunaikannya. Seperti kisah orang ini yang bernadzar untuk berdiri di panas terik matahari, tidak berteduh, tidak berbicara dan dalam kondisi puasa, kemudian Rasulullah memerintahkannya untuk meneruskan puasanya kerana itu merupakan ketaatan dan meninggalkan yang lain, “Perintahkanlah dia untuk berbicara, berteduh, duduk.

Pada zaman sekarang banyak orang bernadzar, ada yang mengatakan, “Demi Allah jika penyakit saya ini sembuh, saya akan melakukan ini dan itu,” ungkapan seperti ini baik makruh atau bahkan haram. mohonlah kepada Allah kesembuhan penyakit anda tanpa harus bernadzar, tetapi jika telah terlanjur bernadzar dan Allah Ta'ala menyembuhkan penyakitnya maka nadzar itu wajib ditunaikan.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...