۞أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ۞
(QS. Al-Hadîd: 57: 16)
Allah ﷻ berfirman:
۞ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَىٰ آثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا۞
Allah ﷻ berfirman:
۞وَلَا تَكُونُوا كَالَّتِي نَقَضَتْ غَزْلَهَا مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ أَنْكَاثًا۞
Allah ﷻ berfirman:
۞وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ۞
Adapun hadits-hadits yang penulis (Imam An-Nawawi rahimahullah) sebutkan di antaranya hadits daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Amalan ibadah yang paling dicintai Allah adalah ibadah yang dikerjakan terus menerus (istiqamah) oleh perlakunya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6465]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab, “Menjaga Amalan-Amalan” maksudnya adalah amal shalih. Setelah menyebutkan bab, “Sederhana (Tidak Berlebihan) Dalam Beribadah,” yang mana setiap muslim harus beramal sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penulis menyebutkan bab ini yaitu menjaga amal shalih dan ketaatan, kerana kebanyakan orang terlalu bersemangat dalam menunaikan amal shalih sehingga cepat jenuh dan akhirnya berhenti.
Semoga Allah menguatkan kita semua untuk selalu berpegang pada kebenaran, menunjuki kita pada jalan dakwah dan orang-orang yang mengusungnya.
Hadits no 153.
Daripadai Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang tertidur tidak membaca hizbnya (bacaan wirid yang biasa dibaca) atau bacaan lain pada waktu malam kemudian ia membacanya pada waktu antara shalat Subuh dan Zhuhur, maka ia dicatat seolah-olah membacanya pada waktu malam.”
[Shahih Muslim no. 747]
Penjelasan.
Dalilnya adalah riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tertidur atau sakit Rasulullah shalat pada siangnya dua belas rakaat, Rasulullah mengqadha'nya antara shalat subuh dan shalat Zhuhur. Ada banyak lagi hadits yang menjelaskan tidak adanya shalat setelah shalat Subuh setelah terbit matahari setinggi sekitar satu tombak yang mengkhususkan keumuman hadits ini. Tetapi menurut sebagian ulama, hadits umum tersebut tidak dikhususkan oleh hadits khusus ini, kerana qadha' itu dilakukan bila-bila saja ketika teringat, sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang tertidur atau lupa belum shalat hendaknya menunaikannya ketika ingat, tidak ada kafarat baginya kecuali itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 562. Muslim no. 1102]
Dari hadits ini pula kita bisa mengambil pelajaran bahwa setiap muslim hendaknya selalu menjaga amalan baik, tidak meninggalkan sesuatu amalan sunnah bagi yang lupa. Jika mampu agar mengqadha'nya, tetapi jika tidak mungkin untuk mengqadha'nya maka hukumnya telah gugur. Hal ini seperti seseorang masuk masjid belum melakukan shalat sunnah tetapi telah duduk dalam waktu yang lama maka ia tidak wajib mengqadha'nya kerana shalat ini hukumnya sunnah terikat dengan sebab, jika lupa maka hukumnya telah gugur. Semua amalan yang hukumnya terikat dengan sebab jika sebabnya hilang maka hukumnya gugur kecuali amalan yang wajib seperti shalat lima waktu. Tetapi ibadah yang terikat dengan waktu diperbolehkan untuk mengqadha'nya setelah waktunya berlalu sebagaimana riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu pula jika seseorang tertinggal puasa tiga hari setiap bulan (Ayyamul bidh) misalnya, maka ia dianjurkan untuk mengqadha'nya setelah itu, boleh di awal, tengah atau akhirnya. Namun, yang lebih utama adalah pada hari-hari itu juga, yaitu ketiga belas, empat belas dan lima belas.
Hadits no 154.
Daripada Abdullah bin Amr Al-Ash radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai Abdullah, janganlah seperti fulan dahulu, dia bangun malam tetapi kemudian meninggalkan shalat malam.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 1159]
Hadits no 155.
Daripada Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tertinggal shalat malam kerana sakit atau yang lainnya maka Rasulullah shalat pada siang harinya dua belas rakaat.”
[Shahih Muslim no. 746]
Penjelasan
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dari riwayat dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda kepadaku, “Wahai Abdullah, janganlah seperti fulan dahulu, dia bangun malam tetapi kemudian meninggalkan shalat malam,” dalam bab “Menjaga Amal Shalih” ia tidak berhenti melakukannya hingga akhir hayat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abdullah bin Amru bin Al-Ash agar tidak seperti si fulan. Dalam hadits ini tidak disebutkan nama, kemungkinan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerana tidak ingin menyebutkan nama seseorang, atau kemungkinan juga dari perawi Abdullah bin Amru agar aib orang ini tidak diketahui oleh perawi, atau juga dari perawi setelah Abdullah bin Amru.
Yang lebih penting adalah masalah utama yang terkandung di dalamnya, bukan nama yang bersangkutan. Inilah metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin melarang sesuatu tidak menyebutkan seseorang tetapi bersabda, “Kenapa suatu kaum melakukan ini itu...”
Rasulullah tidak menyebutkan nama seseorang dan ini terdapat dua hikmah yang utama:
Pertama. rahasia orang yang bersangkutan.
Kedua, Kemungkinan orang yang bersangkutan akan berubah dan setelah berubah tidak lagi mendapatkan stigma itu, kerana yang menggenggam hati itu hanya Allah Ta'ala yang berubah setiap saat.
Misalnya, “Sungguh saya melihat seseorang berbuat fasik...” Janganlah seperti si fulan yang mencuri, minum khamar, berzina...” kerana kemungkinan orang ini akan berubah dan tidak menyandang label buruk ini, maka lebih baik tidak disebutkan nama dan merahasiakannya.
[Shahih Al-Bukhari no. 2996]
Begitu pula jika meninggalkannya kerana udzur maka disunnahkan ia mengqadha'nya.
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tertinggal shalat malam kerana sakit atau yang lainnya, Rasulullah shalat pada siangnya dua belas rakaat, kerana baginda witir dengan sebelas rakaat. Jika baginda tertinggal shalat malam kerana tertidur atau yang lainnya Rasulullah mengqadha' shalat ini, tetapi menunaikannya dengan jumlah yang genap. Jika biasa shalat witir tiga rakaat maka menggantinya dengan empat, jika witirnya lima maka menggantinya enam, jika witir tujuh maka menggantinya dengan delapan, jika witirnya sembilan maka menggantinya dengan sepuluh, jika witirnya sebelas maka menggantinya dengan dua belas sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini sebagai dalil bahwa ibadah sunnah yang terikat dengan waktu, jika waktunya telah berlalu kerana suatu udzur (adanya halangan) maka lebih utama diqadha', Adapun ibadah yang terikat dengan suatu sebab maka ketika sebabnya hilang maka tidak disyariatkan qadha'. Misalnya adalah shalat sunnah wudhu', jika seseorang berwudhu disunnahkan shalat dua rakaat, tetapi jika lupa dan teringat setelah beberapa lama maka hukumnya telah gugur. Begitu pula jika seseorang masuk masjid langsung duduk dan teringat setelah lama, maka hukumnya telah gugur, kerana ibadah yang terikat dengan sebab harus ditunaikan sesuai dengan sebab itu jika keduanya terpisah maka hukumnya gugur.
[Shahih Al-Bukhari no. 6465]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab, “Menjaga Amalan-Amalan” maksudnya adalah amal shalih. Setelah menyebutkan bab, “Sederhana (Tidak Berlebihan) Dalam Beribadah,” yang mana setiap muslim harus beramal sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Penulis menyebutkan bab ini yaitu menjaga amal shalih dan ketaatan, kerana kebanyakan orang terlalu bersemangat dalam menunaikan amal shalih sehingga cepat jenuh dan akhirnya berhenti.
Biasanya hal ini banyak dialami oleh para pemuda, kerana usia ini memiliki semangat kuat tetapi tidak stabil. Tidak sedikit orang yang bersemangat beribadah tetapi cepat jenuh dan bermalas-malasan. Oleh kerana itu, hendaknya setiap muslim harus sederhana dalam ibadah dalam beribadah dan selalu memeliharanya. Menjaga ketaatan ini merupakan bukti kecintaannya terhadap amal shalih. Dan sebaik-baik amal adalah yang dilakukan terus menerus walaupun sedikit, jika seseorang mampu menjaga amal shalihnya terus menerus, hal itu bukti kecintaannya pada amal kebaikan.
Imam An-Nawawi rahimahullah banyak menyebutkan firman Allah Ta'ala,
“Dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya.”
(QS. Al-Hadîd: 57: 27), yaitu mereka tidak kontinu dan menjaganya, tetapi mengabaikannya.
Firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras.”
Imam An-Nawawi rahimahullah banyak menyebutkan firman Allah Ta'ala,
“Dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkan kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya.”
(QS. Al-Hadîd: 57: 27), yaitu mereka tidak kontinu dan menjaganya, tetapi mengabaikannya.
Firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras.”
(QS. Al-Hadîd: 57: 16)
Yakni, setelah berlalu masa yang sangat lama dengan mengerjakan suatu amal, hati mereka menjadi keras dan meninggalkan amal shalih, na'udzubillah. Dengan demikian setiap muslim harus menjaga amal shalih, jangan bermalas-malasan tetapi terus menerus memeliharanya hingga ajal menjemputnya. Hal ini bukan hanya dalam hal beribadah tetapi juga dalam segala aktivitas, hendaknya setiap orang itu memiliki visi yang jelas dalam hidupnya, tidak berubah setiap saat kecuali jika telah jelas amalannya adalah salah. Selama belum jelas bahwa apa yang dikerjakan itu salah hendaknya tetap terus menerus menunaikannya, tetapi ia harus yakin bahwa setiap langkahnya itu benar, tidak berhenti melangkah kecuali jelas kesalahannya.
Sebagian orang tidak memahami prinsip ini, setiap hari visi dan misinya berubah, sehingga waktu menggilasnya dan tidak ada satupun aktivitas yang tercapai. Sebagaimana sebuah riwayat dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu bahwasanya ia berkata, “Barangsiapa yang diberi anugerah sesuatu yang baik hendaknya ia tetap komitmen padanya.” Ungkapan yang penuh makna, yaitu jika seseorang dapat melakukan suatu aktivitas yang baik maka hendaknya tetap menunaikannya, tidak surut darinya walaupun satu langkah, sehingga tidak menyia-nyiakan waktu berlalu tanpa hasil apa-apa.
Yakni, setelah berlalu masa yang sangat lama dengan mengerjakan suatu amal, hati mereka menjadi keras dan meninggalkan amal shalih, na'udzubillah. Dengan demikian setiap muslim harus menjaga amal shalih, jangan bermalas-malasan tetapi terus menerus memeliharanya hingga ajal menjemputnya. Hal ini bukan hanya dalam hal beribadah tetapi juga dalam segala aktivitas, hendaknya setiap orang itu memiliki visi yang jelas dalam hidupnya, tidak berubah setiap saat kecuali jika telah jelas amalannya adalah salah. Selama belum jelas bahwa apa yang dikerjakan itu salah hendaknya tetap terus menerus menunaikannya, tetapi ia harus yakin bahwa setiap langkahnya itu benar, tidak berhenti melangkah kecuali jelas kesalahannya.
Sebagian orang tidak memahami prinsip ini, setiap hari visi dan misinya berubah, sehingga waktu menggilasnya dan tidak ada satupun aktivitas yang tercapai. Sebagaimana sebuah riwayat dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu bahwasanya ia berkata, “Barangsiapa yang diberi anugerah sesuatu yang baik hendaknya ia tetap komitmen padanya.” Ungkapan yang penuh makna, yaitu jika seseorang dapat melakukan suatu aktivitas yang baik maka hendaknya tetap menunaikannya, tidak surut darinya walaupun satu langkah, sehingga tidak menyia-nyiakan waktu berlalu tanpa hasil apa-apa.
Semoga Allah menguatkan kita semua untuk selalu berpegang pada kebenaran, menunjuki kita pada jalan dakwah dan orang-orang yang mengusungnya.
Hadits no 153.
وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضُيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ مِنَ اللَّيْلِ، أَوْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ مَا بَيْنَ صَلَاةِ الْفَجِْرِ وَصَلَاةِ الظُّهْرِ، كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Barangsiapa yang tertidur tidak membaca hizbnya (bacaan wirid yang biasa dibaca) atau bacaan lain pada waktu malam kemudian ia membacanya pada waktu antara shalat Subuh dan Zhuhur, maka ia dicatat seolah-olah membacanya pada waktu malam.”
[Shahih Muslim no. 747]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah membawakan riwayat dari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tertidur tidak membaca hizbnya (bacaan wirid yang biasa dibaca) atau bacaan lain pada waktu malam kemudian ia membacanya pada waktu antara shalat Subuh dan Zhuhur, maka ia dicatat seolah-olah membacanya pada waktu malam.” Yaitu seolah-olah shalat pada waktu malam. Hadits ini sebagai dalil bagi seseorang yang biasa memelakukan suatu ibadah untuk selalu menjaganya, walaupun setelah waktunya telah berlalu.
Al-hizb artinya bagian dari sesuatu, misalnya hizbun naas artinya kelompok dari manusia. Seseorang yang memiliki kebiasaan melakukan amal shalih pada malam hari, kemudian tidak sempat melakukannya maka disyariatkan untuk mengqadha'nya antara shalat Subuh dan shalat Zhuhur, maka seolah ia melakukannya pada malam hari. Tetapi jika pada malam harinya seseorang shalat witir maka pada siang harinya dia menggenapkannya. Jika biasa witir tiga rakaat maka menggenapkannya menjadi empat, jika biasa witir lima rakaat maka menggenapkannya menjadi enam, jika biasa witir tujuh maka menggenapkannya menjadi delapan dan seterusnya.
Dalilnya adalah riwayat dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tertidur atau sakit Rasulullah shalat pada siangnya dua belas rakaat, Rasulullah mengqadha'nya antara shalat subuh dan shalat Zhuhur. Ada banyak lagi hadits yang menjelaskan tidak adanya shalat setelah shalat Subuh setelah terbit matahari setinggi sekitar satu tombak yang mengkhususkan keumuman hadits ini. Tetapi menurut sebagian ulama, hadits umum tersebut tidak dikhususkan oleh hadits khusus ini, kerana qadha' itu dilakukan bila-bila saja ketika teringat, sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang tertidur atau lupa belum shalat hendaknya menunaikannya ketika ingat, tidak ada kafarat baginya kecuali itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 562. Muslim no. 1102]
Dari hadits ini pula kita bisa mengambil pelajaran bahwa setiap muslim hendaknya selalu menjaga amalan baik, tidak meninggalkan sesuatu amalan sunnah bagi yang lupa. Jika mampu agar mengqadha'nya, tetapi jika tidak mungkin untuk mengqadha'nya maka hukumnya telah gugur. Hal ini seperti seseorang masuk masjid belum melakukan shalat sunnah tetapi telah duduk dalam waktu yang lama maka ia tidak wajib mengqadha'nya kerana shalat ini hukumnya sunnah terikat dengan sebab, jika lupa maka hukumnya telah gugur. Semua amalan yang hukumnya terikat dengan sebab jika sebabnya hilang maka hukumnya gugur kecuali amalan yang wajib seperti shalat lima waktu. Tetapi ibadah yang terikat dengan waktu diperbolehkan untuk mengqadha'nya setelah waktunya berlalu sebagaimana riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu pula jika seseorang tertinggal puasa tiga hari setiap bulan (Ayyamul bidh) misalnya, maka ia dianjurkan untuk mengqadha'nya setelah itu, boleh di awal, tengah atau akhirnya. Namun, yang lebih utama adalah pada hari-hari itu juga, yaitu ketiga belas, empat belas dan lima belas.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ اليِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: « يَا عَبْدَ اللهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ، كَانَ يَقُوْمُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْل » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
[Shahih Al-Bukhari no. 1142 dan Muslim no. 1159]
Hadits no 155.
وَعَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنْ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ، صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَى عَشْرَةَ رَكْعَةً » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
[Shahih Muslim no. 746]
Penjelasan
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dari riwayat dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallambersabda kepadaku, “Wahai Abdullah, janganlah seperti fulan dahulu, dia bangun malam tetapi kemudian meninggalkan shalat malam,” dalam bab “Menjaga Amal Shalih” ia tidak berhenti melakukannya hingga akhir hayat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada Abdullah bin Amru bin Al-Ash agar tidak seperti si fulan. Dalam hadits ini tidak disebutkan nama, kemungkinan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerana tidak ingin menyebutkan nama seseorang, atau kemungkinan juga dari perawi Abdullah bin Amru agar aib orang ini tidak diketahui oleh perawi, atau juga dari perawi setelah Abdullah bin Amru.
Yang lebih penting adalah masalah utama yang terkandung di dalamnya, bukan nama yang bersangkutan. Inilah metode Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin melarang sesuatu tidak menyebutkan seseorang tetapi bersabda, “Kenapa suatu kaum melakukan ini itu...”
Rasulullah tidak menyebutkan nama seseorang dan ini terdapat dua hikmah yang utama:
Pertama. rahasia orang yang bersangkutan.
Kedua, Kemungkinan orang yang bersangkutan akan berubah dan setelah berubah tidak lagi mendapatkan stigma itu, kerana yang menggenggam hati itu hanya Allah Ta'ala yang berubah setiap saat.
Misalnya, “Sungguh saya melihat seseorang berbuat fasik...” Janganlah seperti si fulan yang mencuri, minum khamar, berzina...” kerana kemungkinan orang ini akan berubah dan tidak menyandang label buruk ini, maka lebih baik tidak disebutkan nama dan merahasiakannya.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Abdullah, janganlah seperti fulan dahulu dia bangun malam tetapi kemudian meninggalkan shalat malam.” Larangan ini bagi yang mengamalkan amal shalih kemudian meninggalkannya kerana benci padanya, tetapi jika meninggalkannya kerana udzur, jikalau memungkinkan untuk diqadha' maka ia mengqadhanya dan kalau tidak insya Allah, Allah memaafkannya. Sebagaimana sebuah riwayat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan maka ditulis baginya, sebagaimana ia beramal ketika sihat dan bermukim.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2996]
Begitu pula jika meninggalkannya kerana udzur maka disunnahkan ia mengqadha'nya.
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tertinggal shalat malam kerana sakit atau yang lainnya, Rasulullah shalat pada siangnya dua belas rakaat, kerana baginda witir dengan sebelas rakaat. Jika baginda tertinggal shalat malam kerana tertidur atau yang lainnya Rasulullah mengqadha' shalat ini, tetapi menunaikannya dengan jumlah yang genap. Jika biasa shalat witir tiga rakaat maka menggantinya dengan empat, jika witirnya lima maka menggantinya enam, jika witir tujuh maka menggantinya dengan delapan, jika witirnya sembilan maka menggantinya dengan sepuluh, jika witirnya sebelas maka menggantinya dengan dua belas sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini sebagai dalil bahwa ibadah sunnah yang terikat dengan waktu, jika waktunya telah berlalu kerana suatu udzur (adanya halangan) maka lebih utama diqadha', Adapun ibadah yang terikat dengan suatu sebab maka ketika sebabnya hilang maka tidak disyariatkan qadha'. Misalnya adalah shalat sunnah wudhu', jika seseorang berwudhu disunnahkan shalat dua rakaat, tetapi jika lupa dan teringat setelah beberapa lama maka hukumnya telah gugur. Begitu pula jika seseorang masuk masjid langsung duduk dan teringat setelah lama, maka hukumnya telah gugur, kerana ibadah yang terikat dengan sebab harus ditunaikan sesuai dengan sebab itu jika keduanya terpisah maka hukumnya gugur.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan