Saturday, April 20, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 25. Perintah Menunaikan Amanat.

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا۞
Sesungguhnya, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada menyerahkan yang berhak menerimanya.(QS. An-Nisa: 4: 58)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab “Perintah Menunaikan Amanat.” Amanat, diucapkan dalam beberapa makna yang berbeda, diantaranya apa yang diamanatkan Allah kepada hamba-Nya berupa ibadah yang Dia perintahkan kepada mereka, ibadah ini adalah amanat yang Dia titipkan kepada hamba-Nya. Di antaranya juga adalah amanat harta, yaitu titipan yang diberikan kepada seseorang agar menjaganya untuk pemiliknya. Demikian juga harta-harta yang lain yang ada di tangan seseorang, demi kemaslahatannya sendiri, atau demi kemaslahatannya pemiliknya. Yang demikian itu, bahwa amanat yang berada di tangan seseorang, bisa jadi untuk kemaslahtan pemiliknya atau kemaslahtan orang yang dititipi, atau kemaslahtan keduanya.

Adapun yang pertama adalah titipan, titipan yang ada pada orang lain. Misalnya anda katakan, “Ini jam tanganku, aku titipkan kepadamu jagalah untukku.” Atau “Ini ada beberapa dirham, jagalah untukku,” dan yang serupanya. Ini adalah titipan yang dititipkan dan tetap berada ditangan orang lain, demi kemaslahatan pemiliknya. Adapun untuk kemaslahatan orang yang dititipnya, maka itu disebut dengan pinjaman. Misalnya seseorang memberimu sesuatu sebagai pinjaman, baik itu berupa bejana, tempat tidur, jam tangan atau mobil, maka barang ini tetap berada di tanganmu untuk kemaslahatanmu. Adapun kemaslahatan untuk pemiliknya dan orang yang memegangnya secara bersamaan, seperti barang yang disewakan, maka kemaslahatannya untuk bersama. Misalnya kamu menyewa sebuah mobil dariku dan kamu mengambilnya, kemudian memanfaatkannya untuk menunaikan hajatmu, sedangkan aku mengambil manfaatnya dari pembayaran sewanya, begitu pula rumah, toko dan sebagainya, semua itu adalah amanat.

Di antara makna amanat juga yaitu kekuasaan. Ini merupakan tanggungjawab besar, baik itu kekuasaan yang umum mahupun kekuasaan khusus. Seorang presiden misalnya, sebagai pimpinan tertinggi sebuah negara, maka ia sebagai pemegang amanat umat, baik untuk kemaslahatan agama mereka mahupun kemaslahatan dunia mereka, begitu juga terhadap harta mereka yang terdapat dalam baitul mal, janganlah menyia-nyiakannya, jangan menginfakkannya pada sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi orang-orang muslim dan lain sebagainya. Ada juga bentuk amanat yang lain, seperti amanat para menteri di departemennya masing-masing, amanat gubernur di wilayahnya masing-masing, amanat seorang hakim dalam persidangannya dan amanat seseorang di dalam keluarganya. Yang penting, amanat itu merupakan bab yang sangat luas yang intinya ada dua perkara:

1) Amanat dalam hak-hak Allah yaitu amanat seorang hamba yang beribadah kepada Allah.

2) Amanat dalam hak-hak manusia, dan ini banyak sekali. Kami telah memberikan isyarat, dan semuanya adalah perintah bagi manusia untuk ditunaikannya. Allah Ta'ala berfirman,

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. An-Nisa: 4:58) 

Renungilah makna ayat ini “Sungguh, Allah menyuruhmu.” Ini adalah bentuk perintah yang menunjukkan kekuatan dan kekuasaan. Tidak hanya dikatakan, “Tunaikan amanat.” Dia tidak juga mengatakan, “Sesungguhnya Aku perintahkan kalian.” Tetapi Dia berfirman, “Sesungguhnya, Allah menyuruhmu.” Yakni memerintahkan dengan sifat ketuhanan-Nya yang sangat agung, memerintahkan kalian agar menunaikan amanat kepada pemiliknya, Dia membuat pesan ini pada tempat yang ghaib, sebagai pengagungan terhadap kedudukan-Nya, kerana itulah hal ini diperintahkan. Ini seperti ucapan seorang penguasa -dan Allah lebih mulia dari contoh tersebut-, “Sesungguhnya seorang gubernur memerintahkan kalian, seorang raja memerintahkan kalian, maka ucapan ini lebih berpengaruh dan lebih kuat daripada ucapan, “Sesungguhnya aku memerintahkan kalian.” Demikian yang dijelaskan oleh para ulama balaghah (ahli bahasa Arab).

“Menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” Dan sudah seharusnya menunaikan amanat kepada pemiliknya. Perintah untuk menjaganya, tidak mungkin menunaikan amanat tersebut kepada ahlinya kecuali dengan cara menjaganya agar tidak rusak dan terabaikan, menjaganya dengan penuh perhatian sehingga tidak terjadi kerusakan mahupun penyia-nyiaan, sehingga dapat mengembalikan amanat tersebut kepada pemiliknya.

Menunaikan amanat merupakan tanda-tanda keimanan. Setiap anda menjumpai seseorang yang dapat dipercayai terhadap sesuatu yang di amanatkan kepadanya, melaksanakannya dengan sempurna, maka ketahuilah, bahwa ia memiliki keimanan yang kuat, dan tatkala anda menjumpai seseorang yang berkhianat, maka ketahuilah, bahwa ia adalah orang yang lemah imannya. Di antara amanat adalah sesuatu yang berada di antara seseorang dan pemiliknya berupa perkara khusus yang tidak harus diketahui oleh seorang pun, maka tidak diperbolehkan bagi si pemilik memberitahukan hal tersebut. Jika ada seseorang memberikan amanat kepada kamu dengan ucapan yang diucapkannya, kemudian ia berkata kepadamu, “Ini adalah amanat, tidak halal bagimu untuk mengabarkannya kepada orang lain, walaupun orang itu paling dekat denganmu.” Sama saja apakah ia berwasiat kepadamu agar tidak memberitahukannya kepada orang lain, atau dapat diketahui dari situasi yang ada bahwa ia tidak suka jika hal itu diketahui orang lain. Kerananya para ulama berkata, “Jika seseorang berkata kepadamu dengan suatu pembicaraan, kemudian ia menoleh ke kiri dan ke kanan, berarti ini adalah amanat.” Kenapa? Kerana keadaanya menoleh ke kiri dan ke kanan berarti ia khawatir jika hal itu didengar oleh orang lain, berarti ia juga tidak suka apabila ada orang lain mengetahuinya. Apabila kamu diberikan amanat seperti ini, maka tidak boleh bagimu untuk menyebarkannya.

Di antaranya juga adalah apa yang terjadi antara seorang lelaki dengan istrinya berupa perkara-perkara khusus, kerana orang yang paling buruk kedudukkannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seorang lelaki yang bersenggama dengan istrinya, setelah itu ia membeberkan rahasia isterinya dan menceritakan apa yang telah mereka lakukan berdua. Maka tidak boleh diperbolehkan bagi seseorang menceritakan apa yang terjadi di antara mereka berdua kepada orang lain. Banyak sekali para pemuda bodoh yang sangat senang menyebutkan hal-hal yang khusus ini pada perkumpulan mereka, salah seorang di antara mereka berkata, “Sesungguhnya aku melakukan ini dan itu pada istriku.” Berupa perkara yang tidak disukai istrinya untuk diketahui oleh orang lain. Begitu pula bagi setiap orang yang berakal yang punya perasaan, tentunya ia tidak suka apabila ada seseorang yang mengetahui apa yang terjadi di antara ia dan istrinya. Oleh kerana itu, kita wajib menjaga amanat, hal pertama yang harus kita jaga adalah amanat yang ada di antara kita dengan Allah, kerana hak Allah adalah hak yang paling besar, setelah itu melaksanakan hak hamba yang terdekat lalu yang terdekat. Allahlah yang memberi taufik.

                                      -----------

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا۞
Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-ganang; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu sangat zhalim dan sangat jahil.” (QS. Al-Ahzab: 33: 72)

Penjelasan.

Pembicaraan tentang amanat yang mencakup hak-hak Allah dan hak hamba sudah kita ketengahkan, bahwa amanat itu bermacam-macam dan di antaranya telah kami sebutkan, kita juga telah berbicara tentang firman Allah Ta'ala,

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”
(QS. An-Nisa: 4:58) 

Kemudian Allah berfirman dalam ayat yang sama, “...Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.” Allah Ta'ala memuji apa yang dinasehatkannya kepada kita berupa perintah dan larangan, yaitu perintah yang harus kita lakukan dan larangan yang harus kita tinggalkan. Kemudian Allah mengakhiri dengan firman-Nya, “...Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.” Mendengar apa yang kalian katakan dan melihat apa yang kalian lakukan. Allah mengakhiri ayat ini dengan menyebutkan dua nama-Nya yang mulia, yang mencakup kesempurnaan pendengaran Allah dan penglihatan-Nya, ini menunjukkan sebuah ancaman, Dia mengancam orang-orang yang tidak menegakkan amanat kepada pemiliknya.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala,

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-ganang; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya, manusia itu sangat zhalim dan sangat jahil.” (QS. Al-Ahzab: 33: 72)

Allah menawarkan amanat, yakni beban dan komitmen terhadap yang wajib, Allah menawarkannya kepada langit, bumi dan gunung, namun semuanya menolak untuk memikulnya, kerana bebannya begitu berat, dimana langit, bumi dan gunung khawatir menyia-nyiakannya. Jika seseorang berkata, “Bagaimana Allah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung, padahal ia adalah benda mati yang tidak memiliki akal, tidak punya rasa?” Jawabnya bahwa setiap benda mati jika dinisbahkan kepada Allah, maka ia berakal, bisa memahami dan bisa mengerjakan perintah, tidakkah anda melihat firman Allah yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ketika menciptakan pena, maka Allah berfirman, “Tulislah.” Allah berbicara kepada pena, sedangkan pena merupakan benda mati, pena pun menjawab “Apa yang harus aku tulis?” kerana perintahnya bersifat global, tidak mungkin melaksanakan perintah yang global, kecuali ada penjelasannya, Allah Ta'ala berfirman, “Tulislah apa yang ada sampai hari kiamat.”196 Maka pena itu menulis segala yang ada sampai hari Kiamat atas perintah Allah, ini adalah perintah, beban sekaligus komitmen.

[196. Shahih dikeluarkan oleh Ath-Thayalisi (577), dari jalannya At-Tirmidzi meriwayatkan (2155, 3319), dari Abdul Wahid bin Salim bin Atha' bin Abi Rabbah, dari Al-Walid bin Ubadah bin Ash-Shamit, dari bapaknya radhiyallahu anhu secara marfu]

Di sini Allah Ta'ala menjelaskan, bahwa Dia menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung, namun mereka semua menolak untuk memikulnya, lalu Allah berfirman,

“Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh. 
(QS. Fushshilat: 41: 11)

Allah berbicara kepada keduanya dengan perintah, Dia berkata, “Datanglah kalian berdua dengan ketaatan atau dengan keterpaksaan,” maka keduanya mengatakan, “Kami berdua akan datang dengan ketaatan.” Bumi dan langit memahami firman Allah, melaksanakannya, kemudian berkata, “Kami datang dengan ketaatan,” sementara para pelaku maksiat dari bani Adam berkata, “Kami dengar dan kami bermaksiat.

Amanat diemban oleh manusia, bagaimana ia mengembannya? Diemban dengan dua perkara, yakni akal dan rasul. Akal yang diberikan Allah, kemudian memberikannya kepada manusia sebagai keutamaan. Para rasul adalah mereka yang diutus oleh Allah Ta'ala kepada manusia, menjelaskan kepada manusia tentang yang hak dan yang batil, sehingga tidak ada alasan bagi mereka. Walaupun demikian, Dia menyifati manusia sebagai makhluk yang lalim dan bodoh. Para ulama berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksudkan dengan manusia di sini, apakah ia bermakna umum atau khusus untuk orang kafir saja? sebagian ulama berpendapat, “Lafazh manusia ini khusus untuk orang kafir, mereka ini zhalim dan jahil, sedangkan orang mukmin, mereka memiliki ilmu, keadilan, hikmah dan petunjuk.” Sebagian lagi berpendapat bahwa lafazh ini bermakna umum maksudnya, adalah manusia yang dipandang menurut tabiatnya. Adapun yang beriman, maka sesungguhnya Allah telah menganugerahkan hidayah kepada mereka, dengan ini mereka dikecualikan, bagaimana pun juga jika seseorang menunaikan amanat, maka hilanglah sifat kezhaliman dan kebodohan pada dirinya, sebagaimana firman Allah,

“Lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat jahil.” 
(QS. Al-Ahzab: 33: 72)

Hadits 199.
عَنْ أَبِي هُريْرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَف، وَإذَا اؤْتُمِنِ خَانَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tanda orang munafik ada tiga, yaitu jika ia berbicara ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari, dan jika ia diberi amanat ia berkhianat.”

Dalam riwayat lain, “Sekalipun orang itu berpuasa dan shalat dan mengaku bahawa dirinya adalah seorang Muslim.”

[Shahih Al-Bukhari no. 22, 2682 dan Muslim no. 59]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika ia berbicara ia berdusta, jika ia berjanji ia mengingkari, dan jika ia diberi amanat ia berkhianat, sekalipun orang itu berpuasa dan shalat dan mengaku bahwa dirinya adalah seorang Muslim.” Lafazh ayat di sini berarti ciri, sebagaimana firman Allah,

“Apakah tidak (cukup) menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?” 
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 197)

Yakni apakah mereka tidak punya tanda atas kebenaran sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, keabsahan syariatnya bahwa Al-Quran ini adalah kebenaran, “Dan ini diketahui oleh ulama bani Israil,” mereka mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamlah memberi kabar gembira yang diberitahukan oleh Nabi Isa Alaihissalam, 

“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut keturunan mereka dalam kapal yang penuh muatan.” 
(QS. Yâsîn: 36: 41)

Ayat yakni tanda, orang munafik itu ada tiga. Yang dimaksud dengan munafik adalah orang yang merahasiakan keburukan dan menampakkan kebaikan, di antaranya dengan menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keislaman. Asal kata munafik diambil dari kata Naafiqaa' Al-Yarbuu' Al-Yarbuu atau dinamakan juga Al-Jarbuu yakni menggalikannya lubang di tanah dan membuatkannya liang tempat ia masuk kemudian ia menggali lagi satu lubang untuk tembusan keluar, namun tembusannya itu samar sehingga tidak diketahui. Apabila salah satu yang ada di pintu itu melubangi, ia akan menembus lubang yang ada di bawah itu dengan kepalanya lalu kabur darinya. Begitu juga munafik, ia menampakkan kebaikan dan menyembunyikan keburukan, menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. 

Kemunafikan telah nampak pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah perang Badar, ketika banyak para pemimpin Quraisy yang terbunuh di perang Badar, sehingga kemenangan ada di pihak orang Islam, nampaklah kemunafikan, orang-orang munafik ini menampakkan dirinya bahwa ia adalah muslim, padahal sebenarnya mereka itu kafir, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, 

“Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama kamu, kami hanya berolok-olok. (QS. Al-Baqarah: 2: 14)

“Allah akan memperolok-olokkan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” (QS. Al-Baqarah: 2: 15)

Allah Ta'ala juga berfirman tentang mereka,

“Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta.” 
(QS. Al-Munâfiqûn: 63: 1)

Mereka menguatkan ucapan mereka dengan persaksian dan dengan lafazh “Inna” dan huruf Laam, Allah Ta'ala berfirman,

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.” 
(QS. Al-Munâfiqûn: 63: 1)

Allah bersaksi dengan kesaksian yang lebih kuat bahwa mereka benar-benar berdusta dalam perkataan mereka, “Kami mengakui bahwa benar-benar Rasul Allah.” Padahal, sebenarnya mereka tidak mengakui bahwa Muhammad adalah Rasulullah, namun niat mereka yang buruk itu diketahui oleh Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.

Orang-orang munafik memiliki tanda-tanda yang akan diketahui oleh orang yang diberikan firasat dan cahaya di dalam hati oleh Allah, orang munafik diketahui oleh orang yang mengikuti gerak-geriknya. Terdapat tanda-tanda yang jelas dan tidak perlu menggunakan firasat, di antaranya, adalah tiga sifat yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

1) “Jika ia berbicara ia berdusta...” misalnya ia mengucapkan, “Fulan melakukan ini dan itu,” namun jika anda perhatian ternyata ia berdusta, kerana Fulan ini tidaklah melakukan apa-apa. Jika anda ketahui bahwa orang itu berdusta, maka ketahuilah bahwa dalam hatinya terdapat cabang kemunafikan.

2) “...Jika ia berjanji ia mengingkari...” dia berjanji kepadamu namun berkhianat, misalnya ia berkata, “Saya akan datang ke rumahmu pada jam tujuh pagi,” tapi ternyata ia tidak datang, atau ia mengatakan, “Saya akan datang ke rumahmu besok setelah Zhuhur,” namun ia tidak datang juga. Ia berkata, “Saya akan berikan kamu ini dan itu,” tapi ia tidak memberikanmu apa-apa. Dia inilah sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “...Jika ia berjanji ia mengingkari...” Orang mukmin jika ia berjanji, maka ia akan menepatinya, sebagaimana firman Allah,

“Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji.” (QS. Al-Baqarah: 2: 177)

Tetapi orang munafik itu berjanji kepadamu dan menipumu. Jika engkau menemukan seseorang yang selalu mengingkari janjinya, tidak memenuhinya, maka ketahuilah bahwa di dalam hatinya terdapat cabang dari kemunafikan. 
Na'udzu Billah.

3). “...Jika ia beri amanat ia berkhianat...Inilah yang dijadikan dalil dari hadits dalam bab ini. Orang munafik jika kamu mengamatinya untuk menjaga harta, maka ia akan mengkhianatinya. Jika ia diberikan amanat untuk menjaga rahasia di antaramu, maka ia pun akan khianat. Jika diberikan amanat pada keluargamu ia juga khianat, jika diberikan amanat dalam hal jual-beli ia berkhianat kepadamu, sebagaimana jika kamu berikan ia amanat untuk menjaga sesuatu ia juga khianat padamu. Na'udzu Billah. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam hatinya terdapat cabang dari cabang-cabang kemunafikan. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan dua perkara dengan hadits ini,

1). Memperingatkan kita dari sifat-sifat tercela, di antaranya tanda-tanda kemunafikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir bahwa Nifaq 'Amali akan berhujung pada Nifaq I'tiqadi. Maka jadilah seseorang itu munafik dengan Nifaq I'tiqadi, ia keluar dari agama Islam, sedang ia tidak menyadarinya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada kita agar mewaspadai hal tersebut.

2). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan kita untuk tidak bersifat dengan sifat ini, kita mengetahui bahwa orang munafik itu menipu dengan mempermainkan kita, mengelabui kita dengan tutur katanya yang manis, kerananya lawan dari sifat ini adalah tanda dari keimanan. Orang mukmin jika ia berjanji maka ia akan menunaikannya, orang mukmin jika diberi amanat ia menunaikan amanat tersebut dalam bentuk yang sebaik-baiknya, inilah yang disebut orang mukmin, ketika berbicara ia jujur dalam pembicaraannya, ia mengabarkan sesuatu yang memang benar-benar terjadi.

Namun sangat disayangkan, banyak sekali orang yang bodoh di antara kita jika kamu berjanji kepadanya, dia akan mengatakan, “Perjanjian Inggris atau perjanjian Arab?” Yakni bahwa orang Inggris selalu menepati janjinya, sedangkan orang Arab tidak, tanpa diragukan lagi bahwa dia telah dibodohi dan ditipu oleh orang-orang kafir ini, orang-orang Inggris ada yang muslim dan ada juga yang mukmin, akan tetapi sebagian besar mereka adalah kafir. Mereka memenuhi janji bukan untuk mencari ridha Allah, akan tetapi mereka ingin membaguskan eksistensi mereka di antara orang-orang yang ada dengan tujuan untuk membuat tipu daya terhadap mereka. Pada hakikatnya, orang mukminlah yang senantiasa menunaikan janji dengan sempurna, kerana jika kamu ingin ketegasan, maka katakan kepada temanmu “Kamu berjanji kepadaku, dengan perjanjian orang mukmin atau perjanjian orang munafik?” Nah itulah yang paling benar. Barangsiapa yang memenuhi janjinya, maka ia adalah seorang mukmin, dan barangsiapa yang mengingkari janjinya, maka dalam dirinya terdapat unsur kemunafikan.

Hadits 200.
وَعَنْ حُذُيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: حَدَّثَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حَدِيْثَيْنَ قَدْ رَأَيْتُ أَحَدَهُمَا، وَأَنَا أَنْتَظِرُ الآخَرَ: حَدَّثَنَا أَنَّ اْلأَمَانَةَ نَزَلَتْ فِي جَذْرِ قُلُوبِ الرِّجَالِ، ثُمَّ نَزَلَ الْقُرآنُ فَعَلِمُوْا مِنَ الْقُرْآنِ، وَعَلِمُوْا مِنَ السُّنَّةِ، ثُمَّ حَدَّثَنَا عَنْ رَفْعِ الْأَمَانَةِ فَقَالَ: « يَنَـامُ الرَّجُلُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الْأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ الْوَكْتِ، ثُمَّ يَنَامُ النَّوْمَةَ فَتُقْبَضُ الْأَمَانَةُ مِنْ قَلْبِهِ، فَيَظَلُّ أَثَرُهَا مِثْلَ أَثَرِ الْمَجْلِ، كَجَمْرٍ دَحْرَجْتَهُ عَلَى رِجْلِكَ، فَنَفَطَ فَتَرَاهُ مُنْتَبَرًا وَلَيْسَ فِيهِ شَيءٌ » ثُمَّ أَخَذَ حَصَاةً فَدَحْرَجَهَا عَلَى رِجْلِهِ، فَيُصْبِحُ النَّاسُ يَتَبَايَعُوْنَ، فَلاَ يَكَادُ أَحَدٌ يُؤَدِّي الْأَمَانَةَ حَتَّى يُقَالَ: إِنَّ فِي بَنِي فَلاَنٍ رَجُلاً أَمِيْنًا، حَتَّى يُقَالَ لِلرَّجُلِ: مَا أَجْلَدَهُ مَا أَظْرَفَهُ، مَا أَعْقَلَهُ، وَمَا فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلِ مِنَ إِيْمَانٍ. وَلَقَدْ أَتَى عَلَيَّ زَمَانٌ وَمَا أُبَالِي أَيُّكُمْ بَايَعْتُ، لَئِنْ كَانَ مُسْلِمًا لَيَرُدَّنَّهُ عَليَّ دِيْنُهُ، وَلَئِنْ كَانَ نَصْرَانِيًّا أَوْ يَهُودِيًّا لَيَرُدَّنَّهُ عَلَيَّ سَاعِيه، وَأَمَّا الْيَوْمَ فَمَا كُنْتُ أُبَايُعُ مِنْكُمْ إِلَّا فُلَانًا وَفُلَانًا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Huzaifah bin Al-Yamani radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami tentang dua hadits, salah satunya telah pernah aku ketahui dan aku menunggu yang satunya lagi. Baginda menceritakan kepada kami, “Sesungguhnya amanah itu turun di lubuk hati manusia, kemudian turunlah Al-Qur'an maka mereka mengetahui amanah dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Kemudian baginda menceritakan kepada kami tentang diangkat (dicabut)nya amanah. Baginda bersabda, “Seseorang sedang tidur sebentar, maka dicabutlah amanah itu dari hatinya, sehingga bekasnya masih tinggal satu titik, kemudian dia tidur lagi sekejap kemudian diambil lagi amanah dari hatinya, maka bekasnya seperti bekas tangan yang melepuh atau seperti bara api yang kamu gelinding pada kakimu yang menimbulkan bekas, maka kamu melihatnya melepuh dan tidak ada sesuatu padanya.” Kemudian baginda mengambil batu kerikil dan menggulungnya pada kakinya.

Pada waktu pagi manusia saling berbaiat, maka hampir tidak ada yang menunaikan amanah sampai dikatakan, “Sesungguhnya di bani fulan ada seorang lelaki yang amanah, sampai dikatakan terhadap orang itu, “Betapa kuatnya ia, betapa ia sangat memenuhi janjinya dan betapa pintarnya ia, padahal dalam hatinya tidak ada sedikit pun keimanan.

Huzaifah pula berkata, “Sesungguh akan datang kepadaku suatu zaman, aku pun tidak peduli siapa diantara kalian yang membaiatku, jika ia seorang muslim maka agamanya akan mengembalikan ia kepadaku, dan jika ia seorang nasrani atau yahudi, maka walinya akan mengembalikannya padaku, adapun hari ini, tidaklah aku membaiat kalian kecuali Fulan dan Fulan.

[Shahih Al-Bukhari no. 6497, 7086 dan Muslim no. 143]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menceritakan kepada kami tentang dua hadits, salah satunya telah pernah aku ketahui dan aku menunggu yang satunya lagi.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita kepada sahabatnya dengan sesuatu yang baginda pandang sesuai. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menceritakan sesuatu kepada seseorang
maka sesungguhnya cerita itu untuknya dan untuk umatnya sampai hari kiamat. Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu anhu dikatakan seorang pemegang rahasia, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kepadanya kelompok orang munafik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui mereka, kemudian baginda mengabarkan mereka kepada Hudzaifah, mereka berjumlah tiga belas orang lelaki, baginda menyebutkan nama mereka masing-masing. Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu kerana sangat takutnya kepada Allah, ia menjumpai Hudzaifah, kemudian ia bertanya kepadanya, “Semoga Allah menunjukimu Hudzaifah, apakah Rasulullah menyebutkan namaku kepadamu beserta nama-nama orang munafik yang baginda sebutkan?” Inilah dia Umar bin Al-Khaththab, orang yang paling mulia, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu anhu, dia orang kedua setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada umat ini. Dia memiliki keyakinan dan kedudukan yang sangat agung sebagaimana diketahui, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentangnya, “Jika ada orang di antara kalian yang menjadi pembicara, maka dialah Umar.198

198.[Shahih Al-Bukhari no. 3469 dan no. 3689]

Yakni jika ada di antara kalian yang selalu condong pada kebenaran maka dialah Umar, baginda memujinya dan mengakui kesesuaiannya pada kebenaran. Keimanannya sangatlah dikenal dan masyhur, dengan demikian ia berkata, “Semoga Allah menunjukimu Hudzaifah, apakah Rasulullah menyebutkan namaku kepadamu beserta nama-nama orang munafik yang baginda sebutkan?” Hudzaifah menjawab, “Tidak, aku tidak akan memberikan rekomendasi kepada seseorang setelahmu.”

Hudzaifah radhiyallahu anhu menyebutkan apa yang dibicarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang diangkatnya amanat dari hati seseorang, maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “...Sesungguhnya amanah itu turun di lubuk hati manusia,” yakni di dasar hatinya, kemudian Allah menurunkan Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menetapkan, dan menguatkan dasar ini. Al-Qur'an dan As-Sunnah datang untuk menguatkan fitrah yang telah Allah ciptakan, mereka mengetahui dari kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, sehingga bertambahlah keimanan dan kekuatan untuk menunaikan amanat.

Namun, pada bagian kedua dari hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa amanat ini akan segera diangkat dari hati setiap orang -Na'udzu Billah- diangkat, sehingga jadilah mereka saling berbicara, “Sesungguhnya di bani fulan ada seorang laki-laki yang dapat dipercaya?” Yakni sesungguhnya kamu hampir-hampir tidak mendapatkan seorang laki-laki yang dapat dipercaya dalam satu kabilah, dan sisa dari mereka ini semuanya berkhianat, mereka tidak menunaikan amanat.

Pada masa sekarang ini orang-orang menyaksikan akan kebenaran sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini jika diperlihatkan kepadamu laki-laki satu per satu sampai mencapai bilangan seratus atau bahkan lebih, maka tidak ditemukan seorang pun yang menunaikan amanat, sebagaimana mestinya bagi hak-hak Allah, tidak juga pada hak manusia. Terkadang kamu menemukan seseorang yang terpercaya dalam menjaga hak Allah, menunaikan shalat, membayar zakat, puasa, berhaji, banyak berdzikir kepada Allah, bertasbih, tetapi kalau dalam masalah harta ia tidaklah dapat dipercayai, jika ia diwakilkan untuk menjadi pegawai negeri misalnya, maka ia mengabaikannya, kehadirannya tidaklah rutin dan selalu terlambat, ia keluar sebelum habis waktu, menyia-nyiakan hari-hari dengan kesibukan yang khusus, tidak peduli, di masjid anda menemukannya berada pada barisan paling depan, dalam sedekah, puasa, dalam haji, namun pada sisi yang lain ia tidaklah amanat.

Demikian juga anda mendapatkan seseorang yang mengerjakan shalat, puasa, haji, bersedekah, namun ia tidak dapat dipercaya pada bidang kerjanya. Ia mengetahui bahwa tidak dibenarkan seorang pegawai melakukan transaksi jual beli, atau membuka tempat untuk jual beli, tetapi ia tidak peduli, ia tetap membuka tempat perbelanjaan, bisa dengan namanya secara jelas, atau atas nama yang dipinjamkannya dari yang lain, atau atas nama orang asing yang ditempatkannya di tempat pertokoannya ini dan lain sebagainya, lalu ia berdusta, berkhianat kepada negara, memakan harta dengan cara yang batil, inilah makanan haram yang mencegah terkabulnya doa. Na'udzu Billah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “...Sesungguhnya Allah itu baik tidak menerima kecuali yang baik,199  sesungguhnya Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para Rasul.

199.[Shahih Muslim no. 1015]

Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 2: 172)

“Allah berfirman, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mu'minûn: 23: 51)

Kemudian disebutkan seorang lelaki yang sedang melakukan perjalanan jauh, rambutnya tidak beraturan, penuh debu, ia menengadahkan tangannya ke langit, ia mengatakan, “Ya tuhanku, ya tuhanku,” sedangkan makanannya haram, minumannya haram diberi makanan haram, maka sebagaimana itu dapat diterima (doanya)?”
 
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka bagaimana dapat diterima (doanya).” Yakni sangatlah jauh bagi Allah untuk mengabulkan doa orang ini, rambutnya berantakan dan berdebu, ia menengadahkan tangannya ke langit dan berucap, “Ya tuhanku, ya tuhanku.” Kerananya, Allah sangatlah jauh untuk menerima doanya itu, kerana ia memakan yang haram. Inilah seharusnya seorang pegawai dalam memenuhi perjanjian kerjanya, ia dilarang untuk mengadakan perdagangan, setiap usaha yang didapatinya dari penjualan tersebut adalah haram dan dibenci Allah. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian. Kita katakan kepada orang yang seperti ini, “Kamu sekarang boleh memilih! Jika kamu ingin tetap menjadi pengawai, maka tinggalkanlah perdagangan tersebut, dan jika kamu melihat bahwa perdagangan itu lebih menguntungkan bagimu dan lebih banyak mendatangkan manfaat, maka tinggalkan kepegawaianmu ini.”

Allah Ta'ala berfirman,

“Penuhilah janji-janji.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 1)

Dan penuhilah janji, kerana janji itu pasti dimintai pertanggungjawabnya (QS. Al- Isrâ: 17: 34)

Banyak orang beralasan dan berkata, “Bagaimana kalian melarangku berdagang, sedangkan di sana ada para menteri yang menjualbelikan tanah dan mereka mempunyai perusahaan-perusahaan yang besar.” Kita katakan, “Jika seseorang tersesat, maka kesesatannya itu bukanlah sebuah petunjuk yang diikuti, jika mereka tersesat dan berbuat zhalim dengan apa yang mereka lakukan, maka kamu tidaklah ikut-ikutan tersesat, semisalnya ia mengatakan, “Peraturan ini datang dari tangan-tangan mereka, merekalah yang telah menetapkannya, maka bagaimana mungkin mereka, menentangnya?” Maka kita katakan, “Perhitungan mereka diserahkan kepada Allah, mereka akan menjadi orang pertama yang merasakan kesedihan dan kerugian, atas apa yang telah mereka lakukan di hari Kiamat nanti, tidak ada harta yang dapat menolong mereka, tidak ada lagi pembantu dan pengawal yang dapat menjaga mereka, tidak ada lagi keturunan dan kerabat yang dapat menolongnya.” Maka kamu janganlah menjadikan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan orang-orang itu sebagai dalil pembenaran dalam bermaksiat kepada Allah, tetapi hendaknya kamu menunaikan perjanjian yang telah kamu adakan dengan lain. Jika orang lain itu menyimpang dari perjanjiannya, maka janganlah kamu ikut-ikutan menyimpang.

Hadits 201.
وَعَنْ حُذَيْفَةَ وَأَبِي هُرَيْرةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا، قَالاَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَجْمَعُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى النَّاسَ فَيُقُومُ الْمُؤمِنُونَ حَتَّى تَزْلَفَ لَهُمُ الْجَنَّةُ، فَيَأْتُونَ آدَمَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِ، فَيَقُولُونَ: يَا أَبَانَا اسْتَفْتِحْ لَنَا الْجَنَّةَ، فَيَقُولُ: وَهَلْ أَخْرَجَكُمْ مِنَ الْجنَّةِ إِلَّا خَطِيئَةُ أَبِيكُمْ، لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ، اِذْهَبُوا إِلَى ابْنِي إِبْرَاهِيمَ خَلِيل اللَّهِ، قَالَ: فَيَأتُونَ إبْرَاهِيمَ، فَيَقُولُ إبْرَاهِيمُ: لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ إِنَّمَا كُنْتُ خَلِيلًا مِنْ وَرَاءَ وَرَاءَ، اعْمَدُوا إِلَى مُوسَى الَّذي كَلَّمهُ اللَّهُ تَكْلِيمًا، فَيَأْتُونَ مُوسَى، فَيَقُولُ: لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ، اذْهَبُوا إِلَى عِيسَى كَلِمَةِ اللَّهِ وَرُوحِهِ فَيَقُولُ عَيسَى: لَسْتُ بِصَاحِبِ ذَلِكَ. فَيَأْتُونَ مُحَمَّدًا صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَقُومُ فَيُؤْذَنُ لَهُ، وَتُرْسَلُ الْأَمَانَةُ وَالرَّحِمُ فَيَقُومَانِ جَنْبَتَي الصَّرَاطِ يَمِينََا وَشِمَالاً، فَيَمُرُّ أَوَّلُكُمْ كَالْبَرْقِ » قُلْتُ: بِأَبِي وَأُمِّي، أَيُّ شَيءٍ كَمَرِّ الْبَرْقِ؟ قَالَ: « أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ يَمُرُّ ويَرْجِعُ فِي طَرْفَةِ عَيْنٍ؟ ثُمَّ كَمَرِّ الرِّيحِ ثُمَّ كَمَرِّ الطَّيْرِ؟ وَأَشَدُّ الرِّجالِ تَجْرِي بهمْ أَعْمَالُهُمْ ، ونَبيُّكُمْ قَائِمٌ عَلَى الصرِّاطِ يَقُولُ: رَبِّ سَلِّمْ، حَتَّى تَعْجِزَ أَعْمَالُ الْعَبَادِ، حَتَّى يَجِئَ الرَّجُلُ لَا يَسْتَطِيعُ السَّيْرَ إلَّا زَحْفًا، وَفِي حَافَتَي الصِّر⁦َ⁩اطِ كَلاَلِيبُ مُعَلَّقَةٌ مَأْمُورَةٌ بأَخْذِ مَنْ أُمِرَتْ بِهِ، فَمَخْدُوشٌ نَاجٍوَ مُكَرْدَسٌ فِي النَّارِ » وَالَّذِي نَفْسُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ إِنَّ قَعْرَ جَهنَّم لَسَبْعُونَ خَريفًا. رَوَاهُ مُسْلِمٌ. 
Daripada Hudzaifah dan Abu Hurairah radhiyallahu anhu keduanya berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di akhirat kelak Allah Ta'ala akan mengumpulkan semua manusia. Lalu orang mukmin bangkit, dan surga telah didekatkan kepada mereka. Mereka mendatangi Nabi Adam 'alaihissalam seraya berkata, “Wahai bapa kami, mohonlah agar pintu surga segera dibukakan untuk kami.” Nabi Adam 'alaihissalam menjawab, “Aku tidak layak meminta perkara ini untuk kamu semua, bukankah yang mengeluarkan kamu semua dari surga disebabkan kesalahanku?” Pergilah berjumpa anakku Nabi Ibrahim Khalilullah (kekasih Allah).”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu Nabi Ibrahim 'alaihissalam menjawab, “Aku tidak layak meminta perkara ini untuk kamu semua, aku hanyalah seorang kekasih yang mana masih ada beberapa orang kekasih lagi, Pergilah kepada Nabi Musa 'alaihissalam yang pernah di ajak berbicara oleh Allah dalam satu perbualan.”

Maka mereka pun pergi berjumpa Nabi Musa 'alaihissalam, namun baginda juga berkata, “Aku tidak layak meminta perkara ini untuk kamu semua, pergilah kepada Nabi Isa 'alaihissalam yang telah diciptakan dengan kalimah Allah dan di tiupkan roh daripada-Nya.

Tetapi Nabi Isa 'alaihissalam juga menolak seraya berkata, Aku tidak layak meminta perkara ini untuk kamu semua. Maka mereka pun pergi berjumpa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian baginda berdiri dan dibenarkan membuat permohonan. Maka diutuslah amanah dan silaturahim hingga keduanya berdiri di kanan dan kiri jambatan (sirat) yang menghubungkan surga. Lalu orang yang paling cepat daripada kalangan kamu semua ketika itu dengan melalui jambatan itu adalah seperti kilat.

Aku (Abu Hurairah) berkata, “Demi ayah dan ibuku, Apakah yang dimaksudkan sepantas kilat?” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidakkah kamu melihat bagaimana kilat itu berlalu dan kembali lagi sekelip mata? Kemudian ada yang melepasi jambatan tersebut sepantas hembusan angin, ada juga sepantas burung yang terbang, dan ada juga orang yang berlari dengan laju di atasnya di sebabkan oleh amal kebajikannya. Ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di jambatan itu dan berdoa, “Wahai Tuhanku selamatkan dia. Selamatkanlah dia.” Sehingga tibalah giliran hamba-hamba yang amalannya sangat sedikit, mereka bergerak perlahan dengan pelbagai cara. Ada yang merangkak, sedangkan di kanan dan kiri jambatan ada terdapat rangkaian besi tajam yang tergantung dan akan mengambil setiap orang yang diperintahkan untuk diambil, sehingga ada orang selamat tapi jasadnya tercedera, dan ada pula orang yang akhirnya terjatuh ke dalam api neraka.” Dan demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya masa yang di ambil supaya tiba di dasar api neraka itu ibarat perjalanan selama tujuh puluh tahun lamanya.

[Shahih Muslim no. 195]

Perkataan, 'وَرَاءَ وَرَاءَ artinya 'aku tidak mencapai derajat yang setinggi itu'. Ini adalah kata-kata yang disebutkan untuk menyatakan tawadhu'. Makna ini telah saya (Imam An-Nawawi) kupas dalam Syarah Shahih Muslim, Wallāhu a'lam.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Hudzaifah dan Abu Hurairah radhiyallahu anhuma dalam hadits syafaat, hal itu kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijanjikan Tuhannya akan ditempatkan pada tempat yang terpuji, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS.Al-Isrâ: 17: 79)

Jika ada kalimat 'Asaa, dari Allah maka maknanya wajib (harus), sedangkan jika dari seorang hamba, maka maknanya pengharapan yang sangat, jika anda mengatakan, “Semoga Allah memberikan hidayah kepadaku,” atau “Semoga Allah mengampuniku,” “Semoga Allah merahmatiku,” maka ini adalah pengharapan. Adapun jika Allah berfirman dengan (عسى) maka ini adalah janji, kerananya mereka mengatakan bahwa lafazh 'Asaa bagi Allah adalah wajib, seperti firman-Nya,

“Maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya.” (QS. An-Nisâ: 4: 99)

Dan firman-Nya, “Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 52)

Allah Ta'ala menjanjikan kepada Nabi-Nya untuk menempatkan baginda pada tempat yang terpuji, yakni tempat yang dipuji oleh orang-orang yang pertama dan orang-orang yang terakhir, demikian itu dari beberapa segi di antaranya hadits syafaat. Sesungguhnya manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan telanjang tanpa sehelai benang pun, hufaatan yakni tidak memakai sandal, uraatan telanjang tidak memakai baju, kemudian ghurlah yaitu tidak dikhitan yakni jika mereka sudah dikhitan sewaktu di dunia, maka mereka kembali pada hari kiamat dalam keadaan seperti semula, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 104)

Allah mengumpulkan semua makhluk sementara matahari berada di atas mereka seukuran 1 mil, huru-hara yang begitu besar, mereka menyaksikan gunung-gunung beterbangan seperti awan, seperti debu yang bertebaran, memberikan rasa takut kepada mereka yang tidak terkirakan, sehingga sebagian di antara mereka berkata kepada sebagian yang lain, “Apakah kalian tidak meminta seseorang yang dapat memberikan syafaat kepada kita di sisi Allah?” Maka mereka pergi kepada Nabi Adam 'alaihissalam untuk meminta syafaat, lalu Nabi Adam 'alaihissalam menyebutkan kesalahan yang terjadi pada dirinya. Kesalahan yang terjadi pada Nabi Adam 'alaihissalam adalah bahwasanya Allah Ta'ala berkata kepada dirinya dan kepada istrinya ketika mereka berada di surga,

“Dan makanlah dengan nikmat (berbagai makanan) yang ada di sana sesukamu. (Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah: 2: 35)

Sebuah pohon yang telah ditentukan oleh Allah, tidak ada manfaatnya kita mengetahui jenis pohon tersebut, kerananya kita tidak mengetahui jenis pohon ini, apakah pohon zaitun, anggur atau kurma, kita tidak mengetahuinya, yang wajib adalah kita menyamarkannya sebagaimana Allah menyamarkannya. Sekiranya ada manfaat dalam menentukan jenisnya, maka tentunya Allah telah menjelaskan kepada kita. Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi Adam 'alaihissalam dan Hawa,

“(Tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 35)

Maka datanglah setan menghampiri keduanya, memberikan rasa was-was kepada mereka, menunjukkan mereka pada tipuannya, setan bersumpah pada keduanya bahwa dia termasuk dari yang memberi nasehat. Demikianlah yang dilakukannya terhadap Bani Adam, menipu mereka, merayu mereka, memberikan rasa was-was pada diri mereka, dan bersumpah kepada mereka bahwa sesungguhnya dia adalah seorang penasehat padahal ia adalah pendusta.

Yang menjadi dalil hadits ini, bahwa Nabi Adam 'alaihissalam menyebutkan kesalahan dirinya dan istrinya yaitu ketika mereka memakan buah yang dilarang oleh Allah bagi keduanya, akan tetapi Nabi Adam 'alaihissalam bertaubat kepada Allah dari hal tersebut, kemudian Allah memerintahkannya untuk turun ke bumi bersama istrinya, maka turunlah keduanya ke bumi dan terlahirlah generasi-generasi berikutnya. Di antara mereka ada yang menjadi syuhada, menjadi para rasul, para nabi, menjadi orang-orang shalih dan di antara mereka juga ada yang selain itu semua, di antara mereka ada pelaku kerusakan, kekafifan, kemunafikan, atheis, dan kesesatan.

Ketika manusia mendatangi Adam 'alahissalam dalam situasi yang begitu dahsyat ini, maka dia memberikan alasan kerana tidak dapat menolong mereka dan menyebutkan kesalahan yang menyebabkannya keluar dari surga.

Adapun kisah yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, tentang sebab keluarnya Nabi Adam 'alaihissalam dan Hawa dari surga, dan bahwasanya Hawa tengah mengandung, maka datanglah setan kepadanya dan berkata, “Namakanlah anak ini dengan Abdul Harits atau aku akan jadikan baginya tanduk, kemudian keluar dari perutmu dan merobeknya.” Maka keduanya menolak untuk menaatinya, kemudian datang lagi setan kepada mereka untuk kedua kalinya, tetapi keduanya tetap menolak untuk menaatinya, kemudian datang lagi setan untuk yang ketiga kalinya, dan dia menemukan keduanya sangat mencintai anaknya dan menamakannya Abdul Harits, dan Ibnu Abbas menjadikannya sebagai penafsiran firman Allah Ta'ala,

“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu, dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami istri) bermohon kepada Allah; Rabbnya seraya berkata, “Sesungguhnya jika Engkau memberi anak yang sempurna tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur. Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna, maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang dianugerahkan-Nya kepada keduanya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” 
(QS. Al-A'râf: 7: 189-190)

Sesungguhnya kisah ini adalah kisah dusta, tidaklah benar. Andaikata memang kisah itu benar dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, maka sesungguhnya Ibnu Abbas termasuk dari orang-orang yang dikenal mengambil cerita-cerita dari Bani Israil, sehingga kisah ini adalah kisah Israiliyat.

Kita mengetahui dari penjelasan hadits syafaat dan segala sesuatu yang menetapkan kemaksuman para nabi, bahwa perbuatan ini selamanya tidaklah benar dari Nabi Adam 'alaihissalam, kerana perbuatan itu adalah perbuatan syirik, sedangkan kesyirikan tidak mungkin terjadi pada diri para nabi. Nabi Adam 'alaihissalam mengemukakan alasan kerana tidak dapat memberikan syafaat, kemudian manusia mendatangi Nuh 'alaihissalam, baginda adalah rasul pertama yang diutus oleh Allah ke bumi, orang-orang berbicara kepadanya dengan keutamaannya ini, mereka berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah rasul pertama yang diutus oleh Allah ke bumi, maka syafaatilah kami di sisi Tuhanmu.” Lalu Nuh 'alaihissalam mengemukakan alasan, bahwasanya ia pernah meminta sesuatu kepada Tuhannya yang ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya, yaitu ketika ia berkata,

“Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”
(QS. Hûd: 11: 45)

Nabi Nuh 'alaihissalam memiliki anak yang ingkar kepadanya, anak seorang rasul tetapi ia mengingkari kerasulannya, Na'udzu Billah. Kerana nasab tidaklah bermanfaat bagi manusia, anak seorang alim tidak semestinya menjadi seorang alim, bahkan bisa jadi ia seorang yang bodoh, demikian juga anak seorang yang suka ibadah, tidak semestinya menjadi seorang yang suka ibadah, bisa jadi ia seorang yang fasik atau penjahat, anak seorang rasul tidak mesti menjadi mukmin, bahkan anak Nabi Nuh 'alaihissalam ini merupakan salah satu anaknya yang kufur, ketika ayahnya (Nuh) berkata kepadanya,

“Wahai anakku! Naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.
(QS. Hûd: 11: 42)

Kemudian ia menjawab dengan ucapan,

“Dia (anaknya) menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” (Nuh) berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Maha Penyayang.” Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka dia (anak itu) termasuk orang yang ditenggelamkan.”
(QS. Hûd: 11: 43)

Maka Nuh 'alaihissalam memberikan alasan bahwa ia telah meminta sesuatu yang ia tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Bagi orang yang memberikan syafaat hendaknya tidak ada penghalang antara dia dan orang yang disyafaatinya itu, kerana jika di antara seorang pemberi syafaat dengan orang yang diberikan syafaat itu terdapat penghalang, maka bagaimana mungkin ia dapat memberikan syafaat? Hendaknya ada hubungan kuat yang tidak ternodai sedikit pun antara orang yang memberi syafaat dengan orang yang disyafaatinya, walaupun sebenarnya Nuh 'alaihissalam, begitupun Adam 'alaihissalam, telah dipilih oleh Allah kemudian ia bertaubat, maka Allah mengampuni mereka. Akan tetapi, kerana kesempurnaan martabat dan ketinggian kedudukan mereka, maka mereka menjadikan dosa yang telah diampuni ini sebagai pencegah dari syafaat. Semua ini adalah pengagungan terhadap Allah Ta'ala, serta kerana adanya perasaan malu darinya. Kemudian mereka menemui Nabi Ibrahim kekasih Allah Ta'ala, lalu baginda beralasan dan berkata, “Sesungguhnya aku telah berdusta kepada Dzat Allah dengan tiga kedustaan.” Kedustaan-kedustaan yang dikatakan baginda bukanlah kedustaan yang sebenarnya, kerana baginda telah membuat takwil, dan takwil itu bukanlah kedustaan, namun kerana baginda sangat mengagungkan Allah Ta'ala, maka baginda pun melihat hal ini sebagai pencegah untuk memberi syafaat, yakni untuk mendatangkan syafaat bagi seseorang.

Kemudian mereka mendatangi Musa 'alaihissalam dan berkata, “Sesungguhnya Allah telah berbicara kepadamu dan Allah telah menuliskan Taurat untukmu dengan Tangan-Nya.” Lalu baginda memberikan alasan bahwa baginda telah membunuh jiwa yang tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Demikian itu kerana sesungguhnya Musa 'alaihissalam adalah seorang yang sangat kuat, kemudian pada suatu hari baginda melewati dua orang yang sedang berkelahi, yang satu dari bangsa baginda, yakni dari Bani Israil, dan yang satunya lagi dari musuhnya yakni dari keluarga Fir'aun bangsa Qibti. Kemudian orang yang dari kelompoknya itu meminta bantuan kepada baginda untuk mengalahkan musuhnya, yakni meminta bantuan kepada baginda untuk menolongnya dan membantunya dari orang tersebut, kemudian Musa 'alaihissalam memukulnya, yakni memukul musuhnya itu, lalu baginda membinasakannya, yakni membunuhnya dengan sekali pukulan, kerana baginda adalah orang yang sangat kuat sekali. Kemudian baginda berkata,

“Ini adalah perbuatan setan. Sungguh, dia (setan itu) adalah musuh yang menyesatkan.”
(QS. Al-Qashash: 28: 15)

Pada keesokan harinya, ia mendapati kembali teman yang ditemuinya kemarin itu sedang bertengkar dengan orang lain lagi. Allah Ta'ala berfirman,

“Tiba-tiba orang yang kemarin meminta pertolongan berteriak meminta pertolongan kepadanya. Musa berkata kepadanya, “Engkau sungguh, orang yang nyata-nyata sesat.” (QS. Al-Qashash: 28: 18)

Yakni, kemarin kamu telah berselisih dengan seseorang dan sekarang kamu berselisih kembali dengan orang lain, maka seketika itu juga Musa memukul musuh temannya itu, lalu orang Israil itu berkata kepadanya,

“Apakah engkau bermaksud membunuhku, sebagaimana kemarin engkau membunuh seseorang?” (QS. Al-Qashash: 28: 19)

Orang-orang mencari siapa sebenarnya yang telah membunuh orang yang kemarin meninggal, teringatlah mereka pada keluarga Fir'aun itu, kemudian orang-orang itu mengabarkan bahwa Musa lah yang membunuhnya. Yang menjadi dalil dalam hal ini bahwa Musa 'alaihissalam beralasan kepada makhluk pada hari kiamat, sesungguhnya ia telah membunuh jiwa yang tidak diperintahkan untuk membunuhnya. Kemudian mereka pergi mendatangi Isa 'alaihissalam, lalu berkata kepadanya, “Engkau adalah kalimat Allah dan Ruh-Nya.” Yang bermaksud dengan kalimat Allah, bahwa Isa 'alaihissalam diciptakan dengan kalimat Allah, dan Ruh-Nya yakni ia adalah salah satu ruh dari ruh-ruh yang telah diciptakan oleh Allah. Kemudian baginda juga memberi alasan, tetapi baginda tidak menyebutkan dosa ataupun sesuatu yang menyatakan alasannya itu. Kemudian baginda menyemangati mereka agar datang kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata, “Pergilah kepada Muhammad, dia adalah hamba yang sudah diampuni dosanya yang telah lalu dan yang akan datang.” Kemudian mereka mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu baginda berdiri dan baginda diizinkan, selanjutnya baginda memberikan syafaat kepada manusia sehingga selesailah di antara mereka.

Dalam hadits yang disebutkan oleh Iman An-Nawawi rahimahullah ini, bahwasanya amanat dan silaturrahim itu berdiri di dua sisi sirath, sirath adalah jembatan yang memanjang, berada di atas jahannam. Para ulama berselisih pendapat tentang jembatan ini, apakah jembatan ini luas atau sempit? Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa jembatan ini lebih tipis daripada rambut dan lebih tajam daripada pedang, akan tetapi manusia dapat melintas di atasnya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa terhadap segala sesuatu.

Di atas jembatan ini ada anjing-anjing yang menggigit manusia sesuai dengan amal perbuatan mereka, di antara manusia ada yang digigitnya dan dilemparkan ke neraka, di antara mereka ada yang melewatinya begitu cepat seperti kilat yang menyambar, di antara mereka juga ada yang melewatinya seperti menaiki unta, ada juga yang melewatinya seperti angin, sesuai dengan derajat dan amalan mereka, amal perbuatan mereka akan berjalan membawanya. Setiap orang yang di dunia ini bersegera dengan komitmennya di jalan Allah dan mengikuti syariat-Nya, maka di atas shirath ini ia menjadi orang yang paling cepat melintasnya. Dan barangsiapa yang lambat (bermalas-malasan) dalam mengikuti syariat-Nya di dunia ini, maka perjalanannya di atas shirath pun akan lambat. Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari itu adalah, “Ya Allah, selamatkan, selamatkan.” Setiap orang mengkhawatirkan jiwanya, kerana permasalahannya tidaklah ringan tetapi sangat keras sekali, sesungguhnya manusia pada saat itu sangatlah khawatir dan takut, sampai orang-orang muslim dapat melewati shirath dan menuju ke surga. Di antara mereka ada yang terpeleset dan masuk ke dalam neraka jahanam dan diadzab berdasarkan amalnya.

Adapun orang-orang kafir tulen, mereka tidaklah menaiki dan melewati shirath ini, akan tetapi mereka langsung dibawa ke neraka jahannam sebelum menaiki shirath ini. Mereka langsung dibawa ke neraka jahannam secara sekelompok, sesungguhnya yang menaiki shirath ini hanyalah orang-orang mukmin saja, namun di antara mereka ada yang memiliki dosa dan tidak diampuni, maka ia akan terjatuh ke dalam neraka jahannam dan akan di adzab oleh Allah sesuai dengan amalnya. Wallāhu a'lam.

Hadits 202.
وَعَنْ أَبِي خُبَيْبٍ - بَضَمِّ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: لَمَّا وَقَفَ الزُّبَيْرُ يَوْمَ الْجَمَلِ دَعَانِي فَقُمْتُ إِلَى جَنْبِهِ، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ إِنَّهُ لَا يُقْتَلُ الْيَوْمَ إِلَّا ظَالِمٌ أَوْ مَظْلُومٌ، وَإِنِّي لَاأُرَنِي إِلَّا سَأُقْتَلُ الْيَومَ مَظْلُومًا، وَإِنَّ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّي لَدَينْيِ أَفَتَرَى دَيْنَنَا يُبْقِى مِنْ مَالِنَا شَيْئًا؟ ثُمَّ قَالَ: بعْ مَالَنَا وَاقْضِ دَيْنِي، وَأَوْصَى بِالثُّلُثِ، وَثُلُثِهُ لِبَنِيهِ، يَعْنِي لِبَنِي عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ ثُلُثُ الثُّلُثِ. قَالَ: فَإِنْ فَضَلِ مِنْ مَالِنَا بَعْدَ قَضَاءِ الدَّيْنِ شَيءٌ فثُلُثُهُ لِبَنِيكَ، قَالَ هِشَامٌ: وَكَانَ وَلَدُ عَبْدِ اللَّهِ قَدْ وَازَى بَعْضَ بَنِي الزَّبَيْرِ خُبَيبٍ وَعَبَّادٍ، وَلَهُ يَوْمَئذٍ تَسْعَةُ بَنينَ وَتِسْعُ بَنَاتٍ. قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَجَعَلَ يُوصِينِي بِدَيْنِهِ وَيَقُولُ: يَا بُنَيَّ إِنْ عَجزْتَ عَنْ شَيءٍ مِنْهُ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ بِمَوْلاَيَ. قَالَ: فَوَاللَّهِ مَا دَريْتُ مَا أَرَادَ حَتَّى قُلْتُ: يَا أَبَتِ مَنْ مَوْلَاكَ؟ قَالَ: اللَّهُ. قَالَ: فَوَاللَّهِ مَا وَقَعْتُ فِي كُرْبَةٍ مِنْ دَيْنِهِ إِلَّا قُلْتُ: يَا مَوْلَى الزُّبَيْرِ اقْضِ عَنْهُ دَيْنَهُ، فَيَقْضِيَهُ. قَالَ: فَقُتِلَ الزُّبَيْرُ وَلَمْ يَدَعْ دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِلَّا أَرَضِينَ، مِنْهَا الْغَابَةُ وَإِحْدَى عَشَرَةَ دَارً بِالْمَدِينَةِ، وَدَارَيْنِ بِالْبَصْرَةِ، وَدَارًا بِالْكُوفَة وَدَارًا بِمِصْرَ. قَالَ: وَإِنَّمَا كَانَ دَيْنُهُ الذَّي كَانَ عَلَيْهِ أَنَّ الرَّجُلَ يَأْتَيهِ بِالْمَالِ، فَيَسْتَودِعُهُ إِيَّاهُ، فَيَقُولُ الزُّبيْرُ: لَا وَلَكنْ هُوَ سَلَفٌ إِنِّي أَخْشَى عَلَيْهِ الضَّيْعةَ. وَمَا ولِيَ إِمَارَةً قَطُّ وَلَا جِبَايةً وَلَا خَرَاجًاوَلَا شَيْئًا إِلا أَنْ يَكُونَ فِي غَزْوٍ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَوْ مَعَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضَيِ اللَّهُ عَنْهٌمَ، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَحَسَبْتُ مَا كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الدَّيْنِ فَوَجَدْتُهُ أَلْفَيْ أَلْفٍ وَمِائَتَيْ أَلْفٍ، فَلَقِيَ حَكِيمُ بْنُ حِزَامٍ عَبْدَ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ: يَا ابْنَ أَخِي كَمْ عَلَى أَخِي مِنَ الدَّيْنِ؟ فَكَتَمْتُهُ وَقُلْتُ: مِائَةُ أَلْفٍ. فَقَالَ حَكِيمٌ: وَاللَّهِ مَا أَرَى أَمْوَالَكُمْ تَسعُ هَذِهِ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: أَرَأَيْتُكَ إِنْ كَانَتْ أَلْفَي أَلْفٍ؟ وَمِائَتَيْ أَلْفٍ؟ قَالَ: مَا أَرَاكُمْ تُطِيقُونَ هَذَا، فَإِنْ عَجَزْتُمْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَاسْتَعِينُوا بِي . قَالَ: وكَانَ الزُّبَيْرُ قَدِ اشْتَرَى الْغَابَةَ بِسَبْعِينَ وَمِائَة أَلْفٍ، فَبَاعَهَا عَبْدُ اللَّهِ بِأْلف ألفٍ وَسِتِّمِائَةِ أَلْفٍ، ثُمَّ قَامَ فَقَالَ: مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ شَيْءٌ فَلْيُوافِنَا بِالْغَابَةِ، فَأَتَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، وَكَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ أَرْبعُمِائةِ أَلْفٍ، فَقَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ: إِنْ شِئْتُمْ تَرَكْتُهَا لَكُمْ؟ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا، قَالَ فَإِنْ شِئْتُمْ جَعَلْتُمْوهَا فِيمَا تُؤخِّرُونَ إِنْ أَخَّرْتُمْ، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَا، قَالَ: فَاقْطَعُوا لِي قِطْعَةً، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: لَكَ مِنْ هَاهُنَا إِلَى هَاهُنَا. فَبَاعَ عَبْدُ اللَّهِ مِنْهَا فَقَضَى عَنْهُ دَيْنَه، وَوَفَّاهُ وَبَقِيَ مِنْهَا أَرْبَعةُ أَسْهُمٍ وَنِصْفٌ، فَقَدِم عَلَى مُعَاوِيَةَ وَعَنْدَهُ عَمْرُو بْنُ عُثْمَانَ، وَالْمُنْذِرُ بْنُ الزُّبيْرِ، وَابْن زَمْعَةَ. فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ: كَمْ قَوَّمَتِ الْغَابَةُ؟ قَالَ: كُلُّ سَهْمٍ بِمِائَةِ أَلْفٍ قَالَ: كَمْ بَقِي مِنْهَا؟ قَالَ: أَرْبَعَةُ أَسْهُمٍ وَنِصْفٌ، فَقَالَ الْمُنْذرُ بْنُ الزَّبَيْرِ: قَدْ أَخَذْتُ مِنْهَا سَهْمًا بِمائَةِ أَلْفٍ، وَقَالَ عَمْرُو بنُ عُثْمَان: قَدْ أَخَذْتُ مِنْهَا سَهْمًا بِمِائَةِ أَلْفٍ. وَقَالَ ابْن زمْعَةَ: قَدُ أَخَذْتُ مِنْهَا سَهْمًا بِمِائَةِ أَلْفٍ، فَقَالَ مُعَاوِيةُ: كَمْ بَقِيَ مِنْهَا؟ قَالَ: سَهْمٌ وَنِصْفُ سَهْمٍ، قَالَ: قَدْ أَخَذْتُهُ بِخَمْسِينَ وَمِائَةِ أَلْفٍ. قَالَ: وبَاعَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ نَصِيبَهُ مِنْ مُعَاوِيَةَ بسِتِّمِائَةِ أَلْفٍ. فَلَمَّا فَرَغََ ابْنُ الزُّبَيْرِ مِنْ قََضَاءِ دَيْنِهِ قَالَ بَنُو الزُّبَيْرِ: اِقْسِمْ بَيْنَنَا مِيرَاثَنَا. قَالَ: وَاللَّهِ لَا أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ حَتَّى أَنَادِيَ بِالْمَوْسِمِ أَرْبَع سِنِينَ: أَلاَ مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيَّرِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَلْنَقْضِهِ. فَجَعَلَ كُلُّ سَنَةٍ يُنَادِي فِي الْمَوسِمِ، فَلَمَّا مَضَى أَرْبَعُ سِنِينَ قَسَمَ بَيْنَهُمْ وَدَفَعَ الثُّلُثَ وَكَانَ لِلزُّبَيْرِ أَرْبَعُ نِسْوةٍ، فَأَصَابَ كُلَّ امْرَأَةٍ أَلْفُ أَلْفٍ وَمِائَتَا أَلْفٍ، فَجَمِيعُ مَالِهِ خَمْسُونَ أَلْفِ أَلْفٍ وَمِائَتَا أَلْف. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Khubaib Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata, “Ketika ayah ku (Az-Zubair) menyertai perang Jamal, dia memanggilku, maka aku berdiri di sisinya. Dia berkata, Wahai anakku, ketahuilah bahwa tidaklah ada yang terbunuh pada hari ini sama dia seorang yang zhalim ataupun dia seorang yang dianiaya (dizhalimi). Dan seseungguhnya aku tidak melihat diriku akan terbunuh hari ini melainkan sebagai orang yang dizhalimi, dan sesungguhnya perkara yang paling merisaukan aku adalah hutang-hutangku. Apa pendapatmu adakah nilai hutang itu melebihi nilai harta kita? Dia berkata lagi, Wahai anakku, oleh itu juallah semua harta kita dan bayarlah hutang-hutangku. Kemudan ayahku (Az-Zubair) mewasiatkan satu pertiga daripada hartanya dan satu pertiga lagi untuk cucunya, yaitu untuk Bani Abdullah bin Az-Zubair. Dia berkata lagi, Jika ada lebihan daripada harta kita selepas melunaskan semua hutangku maka harta itu berilah kepada anakmu. 

Hisyam berkata, Dan sebagian daripada anak-anak Abdullah seusia dengan sebagian anak-anak Az-Zubair yaitu Khubaib dan Abbad. Ketika itu Abdullah mempunyai sembilan anak lelaki dan sembilan anak perempuan.”

Abdullah berkata, Ayahku (Az-Zubair) telah berwasiat kepadaku tentang hutang-hutangnya dan berkata, Az-Zubair, “Wahai anakku, jika kamu tidak mampu untuk melunaskan hutang-hutangku maka mintalah bantuan kepada majikanku.

Abdullah berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa yang dia maksudkan lalu aku bertanya, Wahai ayahku, siapakah majikanmu?

Az-Zubair menjawab, “Allah.”

Abdullah berkata, “Demi Allah tidaklah aku menghadapi kesulitan dalam melunaskan hutangnya melainkan aku berdoa, Ya maulā zubair, iqdi anhu dainahu' (Wahai yang menguasai Az-Zubair, lunaskanlah hutangnya). Maka Allah pun memudahkan urusan aku melunaskannya.”  (Seterusnya Abdullah berkata),  Tidak lama kemudian Az-Zubair radhiyallahu anhu terbunuh dan tidak meninggalkan satu dinar atau satu dirham pun kecuali beberapa bidang tanah yang salah satunya ialah Ghabah (tanah yang terkenal di Madinah) serta sebelas rumah di Madinah, dua rumah di Bashrah, sebuah rumah di Kufah, dan sebuah rumah lagi di Mesir.”

Abdullah berkata, “Hutang yang menjadi tanggungannya adalah di sebabkan ketika ada seseorang yang datang kepadanya dengan membawa harta dan diamanahkan untuk menjaganya.”

Az-Zubair lalu berkata, “Jangan begitu, tetapi anggaplah ia sebagai pinjamanku (yang nanti akan aku bayar) kerana aku risau akan hilang.” Sebenarnya dia tidak memiliki jawatan apa pun dan tidak juga sebagai pemungut hutang atau apa-apa jawatan yang lain melainkan dia selalu menyertai peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar atau Utsman.

Abdullah bin Az-Zubair berkata, “Kemudian aku mengira hutang-hutang ayahku yang berjumlah sebanyak 2,200,000.” Hakim bin Hizam datang berjumpa Abdullah bin Az-Zubair seraya berkata, Wahai anak saudaraku, berapa banyak hutang saudaraku?

Abdullah merahasiakan jumlah sebenar dan berkata, “Seratus ribu.”

Maka Hakim berkata, “Demi Allah, aku mengira harta kamu tidak akan cukup untuk melunaskan semua hutang-hutang ini.

Maka Abdullah berkata kepadanya, “Apa pandanganmu sekiranya aku katakan jumlah hutang ayahku sebanyak 2,200,000?

Hakim berkata, “Aku percaya kamu tetap tidak akan mampu melunaskannya. Sekiranya kamu tidak mampu mintalah bantuan kepada aku.

Urwah berkata, “Dahulu Az-Zubair membeli tanah di Ghabah itu berharga 170,000 lalu Abdullah menjualnya dengan harga 1,600,000. Kemudian dia memberitahu kepada orang ramai dan berkata,  Sesiapa yang memberi hutang kepada ayahku, terimalah bayarannya dengan keluasan tanah Ghabah yang mana nilainya sama dengan hutang itu.” Maka Abdullah bin Ja'far datang kepadanya kerana Az-Zubair berhutang kepadanya sebanyak 400,000 seraya berkata kepada Abdullah, “Sekiranya kamu mahu, wang bayaran itu aku serahkan kepada kamu.”

Abdullah berkata, “Tidak.

Abdullah bin Ja'far berkata lagi, “Atau sekiranya kamu mahu menangguhkan pembayarannya, bolehlah kamu tangguhkan dahulu.

Abdullah berkata, “Tidak.”

Abdullah bin Ja'far berkata lagi, “Jika begitu, gantilah dengan sebagian tanah Ghabah.”

Abdullah berkata, “Tanah dari batas ini sehingga batas ini adalah milik kamu.

Maka Abdullah menjual sebagian dari tanah itu sehingga dapat melunaskan hutang tersebut dan masih berbaki empat setengah bagian. Lalu dia berjumpa Muawiyah yang ketika itu bersama-sama Muawiyah ada Amr bin usman, Al-Munzir bin Az-Zubair dan Ibnu Zam'ah.

Muawiyah bertanya kepadanya, “Berapakah nilai tanah Ghabah itu?

Abdullah menjawab, “Setiap bagian bernilai 100,000.

Muawiyah bertanya lagi, “Berapa bagian lagi yang tinggal?

Abdullah berkata, “Empat setengah bagian.

Al-Munzir bin Az-Zubair berkata, “Aku telah mengambil bagianku bernilai 100,000.”

Amr bin Usman berkata, “Aku mengambil bagianku  bernilai 100,000.

Ibnu Zam'ah berkata, “Aku juga mengambil bagianku bernilai 100,000.

Muawiayah bertanya lagi, “Jadi berapa bagian lagi yang tinggal?

Abdullah berkata, “Satu setengah bagian.”

Muawiyah berkata, “Aku mengambilnya dengan membayar 150,000.”

Abdullah berkata, “Abdullah bin Ja'far menjual bagiannya kepada Muawiyah dengan harga 6000,000.”

Selepas Abdullah bin Az-Zubair melunaskan hutang-hutang ayahnya, maka anak-anak Az-Zubair yang lain berkata, “Bagikanlah warisan harta pusaka untuk kami.”

Abdullah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan membagikannya kepada kamu semua sebelum aku mengumumkan pada musim-musim haji selama empat tahun yaitu sesiapa yang meminjamkan kepada ayahku hendaklah berjumpa denganku dan aku akan melunaskan hutang tersebut.”

Kemudian Abdullah mengumumkan pada setiap musim haji. Selepas empat tahun (empat kali musim haji) dia membagikannya kepada adik-beradiknya, dan meninggalkan satu pertiga. Dan Az-Zubair mempunyai empat orang istri, setiap istri Az-Zubair diberikan 1,200,000. Dengan itu semua harta milik Az-Zubair berjumlah 50,2000,000.

[Shahih Al-Bukhari no. 3129]

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...