Sunday, April 21, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 26. Haram Melakukan Kezhaliman Dan Tuntutan Mengembalikan Hak Orang Yang Pernah Dizhalimi.

Allah ﷻ berfirman:
۞مَا لِلظّالِمينَ مِنْ حَمِيمٍ وَلَا شَفِيعٍ يُطَاعُ۞
“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zhalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” 
(QS. Ghafir: 40: 18)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَا لِلظّالِمينَ مِنْ نَصِيرٍ۞
“Dan bagi orang-orang yang zhalim itu tidak ada seorang pun penolong baginya. 
(QS. Al-Hajj: 23: 71)

Adapun hadits-hadits tentang hal ini di antaranya adalah hadits dari Abu Dzar radhiyallahu anhu yang telah diketengahkan pada akhir bab Al-Mujahadah.

Hadits 203.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اِتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَاتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مـَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكَوْا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوْا مَحَارِمَهُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Takutlah kalian pada kezhaliman, kerana kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat, takutlah kalian pada kekikiran, kerana kekikiran itu telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian, mendorong mereka untuk menumpahkan darah mereka.”

[Shahih Muslim no. 2578]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab, “Bab haramnya kezhaliman dan perintah untuk mengembalikan hak-hak orang yang terzhalimi.” Yakni kepada pemiliknya. Bab ini mencakup dua perkara, pertama, haramnya kezhaliman. Kedua, wajib mengembalikan hak-hak orang yang terzhalimi. Ketahuilah, bahwa zhalim itu adalah kekurangan, Allah Ta'ala berfirman,

“Kedua kebun itu menghasilkan buahnya, dan tidak berkurang (buahnya) sedikit pun.” 
(QS. Al-Kahfi: 18: 33)

Yakni tidaklah berkurang sedikit pun. Kekurangan itu bisa saja dikeranakan keberanian dalam melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan bagi manusia, bisa juga dengan sikap melalaikan kewajiban yang diwajibkan kepadanya. Kerananya, kezhaliman itu berkisar pada dua perkara ini, adakalanya meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman.

Kezhaliman itu ada dua: Kezhaliman yang berhubungan dengan hak-hak Allah dan kezhaliman yang berhubungan dengan hak-hak hamba. Kezhaliman yang paling besar adalah kezhaliman yang berhubungan dengan hak-hak Allah yaitu mempersekutukan Allah dengan sesuatu. Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditanya, “Dosa apa yang paling besar?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab, “Engkau menjadikan lawan (bandingan) bagi Allah sedangkan Dia menciptakanmu.”202 Selanjutnya adalah kezhaliman berupa dosa-dosa besar dan kezhaliman berupa dosa-dosa kecil.

202. [Shahih Muslim no. 2578]

Adapun kezhaliman pada hak-hak Allah, ini berkisar pada tiga perkara, yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam khutbah haji wada, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan harga diri kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4477, 4761 dan Muslim no. 86]

Kezhaliman pada jiwa adalah kezhaliman pada darah, yaitu dengan cara melanggar hak orang lain, menumpahkan darah, melukai mahupun yang serupanya. Kezhaliman dalam harta, yaitu dengan cara melanggar dan menzhalimi hak orang lain pada hartanya, bisa jadi dengan tidak menunaikan kewajiban, bisa juga dengan melakukan keharaman, bisa juga dengan cara mencegah orang yang diwajibkan atasnya, atau melakukan tindakan keharaman atas harta orang lain. Adapun kezhaliman dalam harga diri, mencakup kejahatan pada orang lain seperti berbuat zina, liwat (homoseksual), menuduh dan lain sebagainya.

Setiap kezhaliman dengan segala bentuknya diharamkan, seorang yang zhalim tidak akan menemukan orang yang akan menolongnya di hadapan Allah, Allah Ta'ala berfirman,

“Tidak ada seorang pun teman setia bagi orang yang zhalim dan tidak ada baginya seorang penolong yang diterima (pertolongannya).” 
(QS. Al-Mu'min: 40:18)

Yakni, pada hari kiamat, orang zhalim tidak akan menemukan teman yang akan menyelamatkannya dari siksa Allah, dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafaat yang diterima syafaatnya, kerana ia terusir disebabkan oleh kezhaliman, kezhaliman dan permusuhannya. Allah Ta'ala berfirman, “Tidaklah ada penolong bagi orang-orang yang zhalim,” Yakni tidak menemukan penolong yang menolongnya, dan mengeluarkannya dari adzab Allah pada hari itu.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah terhadap kezhaliman,” Yakni waspadalah terhadap kezhaliman. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Takutlah terhadap kezhaliman,” Jangan kalian menzhalimi seseorang, tidak pada diri kalian, tidak juga pada orang lain, “Kerana sesungguhnya kezhaliman itu adalah kegelapan pada hari kiamat,” kerana pada hari kiamat tidak ada cahaya, kecuali orang yang diberi cahaya oleh Allah. Adapun orang yang tidak diberi cahaya oleh Allah, maka tidak ada cahaya baginya. Seorang muslim akan mendapatkan cahaya sesuai dengan kadar keimanannya, namun jika ia berbuat zhalim, maka hilanglah cahayanya sesuai dengan kezhaliman yang ia lakukan, kerana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Takutlah pada kezhaliman kerana kezhaliman adalah kegelapan pada hari kiamat.

Termasuk dari kezhaliman adalah penangguhan oleh orang kaya, yakni ia tidak melaksanakan kewajiban terhadap sesama, sementara ia mampu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Penundaan orang kaya adalah kezhaliman.

[Shahih Al-Bukhari no. 2447 dan Muslim no. 2579]

Betapa banyak orang yang menunda hak-hak manusia, tatkala datang kepadanya orang yang mempunyai hak, dan dia berkata, “Wahai fulan, berikanlah hakku,” maka ia menjawab, “Besok,” kemudian ia datang pada keesokkan harinya, lalu ia menjawab lagi, “Lusa,” dan demikian seterusnya. Kezhaliman ini akan menjadi kegelapan baginya pada hari kiamat.

Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Takutlah kalian terhadap sifat kikir,” yakni kikir yang terlalu tamak terhadap harta, “Maka kekikiran inilah yang telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.Kerana ketamakan terhadap harta -kita memohon keselamatan dari Allah- mengharuskan manusia untuk mencari harta dengan segala cara, baik halal mahupun haram, bahkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “...Membawa mereka..” yakni membawa orang-orang sebelum kalian, “Untuk menumpahkan darah menghalalkan yang telah diharamkan kepada mereka,” seorang yang kikir akan menumpahkan darah, jika ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan kecuali dengan darah. Sebagaimana yang terjadi pada orang-orang yang kikir, menjadi perampok jalanan, membunuh orang, mengambil harta mereka, mengambil unta mereka, demikian juga membuat kekacauan di dalam rumah-rumah mereka, menerjang hijab-hijab rumah orang lain untuk mengambil harta mereka dengan kekuatan dan paksaan. Maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikan peringatan dari dua perkara ini: dari kezhaliman dan kekikiran. Kezhaliman adalah melanggar hak orang lain, dan kikir adalah tamak terhadap apa yang ada pada orang lain, maka semua hal itu diharamkan, kerana Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya,

“Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
(QS. Al-Hasyr: 59: 9)

Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa yang tidak dipelihara dari kekikiran dirinya, maka dia mendapat keuntungan. Orang beruntung adalah orang yang dijaga oleh Allah dari kekikiran dirinya. Kita memohon keselamatan kepada Allah agar kita dilindungi dari kezhaliman dan menjaga kita dari kekikiran dan kejahatan diri.

Hadits 204.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاء ِمِنَ الشَّاةِ الْقَرْنَاء » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Semua hak itu pasti akan dipenuhi pada Hari kiamat kelak. Sehingga kambing yang di tanduk diberi haknya menanduk semula kambing yang menanduknya ketika hidup di dunia.”

[Shahih Muslim no. 2582]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua hak itu pasti akan di penuhi pada Hari kiamat kelak. Sehingga kambing yang di tanduk diberi haknya menanduk semula kambing yang menanduknya ketika hidup di dunia.”

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah, baginda adalah orang yang jujur lagi dipercaya dengan tanpa menggunakan lafazh sumpah, baginda bersumpah bahwa hak-hak akan ditunaikan kepada pemiliknya pada hari kiamat, tidak ada satu hak pun yang disia-siakan. Hak anda yang tidak ditunaikan di dunia akan ditunaikan di akhirat nanti, sampai kambing yang tidak bertanduk pun akan ditunaikan qishasnya dari kambing yang bertanduk. Lafazh Al-Jalhaa adalah kambing yang tidak bertanduk, dan lafazh Al-Qarnaa adalah kambing yang memiliki tanduk. Biasanya jika kambing yang bertanduk itu menyeruduk kambing yang tidak memiliki tanduk, hal itu sangatlah menyakitinya; kerana itu, jika telah datang hari kiamat, maka Allah Ta'ala akan menyelesaikan antara keduanya, kambing yang bertanduk akan diqishas dari yang tidak bertanduk, ini adalah binatang yang tidak berakal dan tidak punya pemahaman, namun Allah Ta'ala menghukumi dan mengadilinya. Allah Ta'ala ingin memperlihatkan kepada hamba-Nya akan kesempurnaan keadilan-Nya sampai pada binatang sekali pun, maka bagaimana dengan bani Adam?!

Hadits 205.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: كُنَّا نَتَحدَّثُ عَنْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ، وَالنَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَظْهُرِنَا، وَلَا نَدْرِي مَا حَجَّةُ الْوَدَاعِ، حَتَّى حَمِدَ اللَّهَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَثْنَى عَليْهِ ثُمَّ ذَكَرَ الْمَسِيحَ الدَّجَالَ فَأَطْنَبَ فِي ذِكْرِهِ، وَقَالَ: « مَا بَعَثَ اللَّهُ مِنْ نَبيٍّ إلَّا أَنْذَرَهُ أُمَّتهُ: أَنْذَرَهُ نُوحٌ وَالنَّبِيُّونَ مِنْ بَعْدِهِ، وَإنَّهُ إنْ يَخْرُجْ فِيكُمْ فَمَا خُفِيَ عَليْكُمْ مِنْ شَأْنِهِ فَلَيْسَ يَخْفِي عَلَيْكُمْ، إِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْورَ، وَإِنَّهُ أَعْوَرُ عَيْن الْيُمْنَى، كَأَنَّ عيْنَهُ عِنبَةٌ طَافِيَةٌ. ألاَ إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا، فِي شَهْرِكُم هَذَا أَلَا هَلْ بَلَّغْتُ؟ » قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: « اَللَّهُمَّ اشْهَدْ ثَلاَثًا وَيْلَكُمْ أَوْ: وَيْحَكُمْ، اُنْظُرُوا: لَا تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ، وَرَوَى مُسْلِم بَعْضَهُ.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada suatu masa kami pernah berbicara tentang haji wada, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di antara kami. Kami tidak mengetahui apakah sebenarnya yang dimaksudkan dengan haji wada' itu. Sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan menyanjung Allah, kemudian menceritakan mengenai Al-Masih Dajjal dengan panjang lebar, baginda bersabda,

“Tidak ada seorang nabi pun yang diutus Allah melainkan memberikan peringatan perihal Dajjal kepada umatnya. Nabi Nuh 'alaihissalam dan nabi-nabi selepasnya juga telah memberi peringatan akan perihal Dajjal kepada umatnya. Apabila Dajjal keluar di tengah-tengah kamu semua, maka apa pun sifat yang disembunyikannya, niscaya terungkap bagi kamu semua. “Sesungguhnya tuhanmu tidak cacat (buta) tetapi Dajjal itu buta matanya sebelah kanan, dan seakan-akan matanya terkeluar seperti buah anggur. Ingatlah sesungguhnya Allah telah haramkan darah (saling membunuh) dan mengambil harta secara zalim sebagaimana haramnya pada harini ini di negeri ini, bulan ini. Ingatlah bukankah aku telah menyampaikanya?”

Para sahabat menjawab, “Ya,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Ya Allah saksikanlah,” “Ya Allah saksikanlah.” Saksikanlah! berhati-hati dan Ingatlah jangan kamu semua murtad (keluar dari islam) selepas ketiadaanku lagi, dan janganlah diantara kamu saling berbunuhan sesama sendiri.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3057, 4402 dan Muslim no. 169]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Kami berbicara tentang haji wada.”  Haji wada' adalah haji yang dilaksanakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ke sepuluh hijriyah, baginda pada saat itu mengungkapkan perpisahannya kepada manusia, baginda bersabda, “Barangkali aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini.” Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah melaksanakan haji setelah hijrah kecuali hanya satu kali ini saja. Disebutkan bahwa sebelum hijrah baginda sudah melaksanakan haji dua kali, akan tetapi yang zhahir Wallahu'alam, bahwa baginda banyak berhaji, kerana baginda berada di kota Mekah. Pada satu musim, baginda keluar mengajak orang-orang dan kabilah-kabilah kepada agama Allah Ta'ala, maka dikecualikan bahwa baginda keluar tetapi tidak melakukan haji. Yang terpenting bagi kita bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan haji pada akhir umurnya yaitu pada tahun kesepuluh Hijriyah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak melaksanakan haji sebelum itu setelah hijrahnya. Yang demikian itu kerana kota Mekah masih berada di tangan orang-orang Quraisy sampai tahun kedelapan Hijriyah kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menaklukkannya pada bulan Ramadhan tahun kedelapan Hijriyah. Setelah itu baginda keluar menuju kota Thaif, selanjutnya baginda memerangi kaum Tsaqif dan terjadilah perang Thaif yang terkenal itu. Baginda lalu kembali dan singgah di Al-Ji'ranah, kemudian baginda melakukan umrah pada malam harinya, tidak banyak orang-orang mengetahui baginda, setelah itu baginda kembali ke kota Madinah yaitu pada tahun kedelapan Hijriyah.

Pada tahun kesembilan Hijriyah, banyak duta-duta yang datang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari setiap pelosok, maka baginda tetap berada di kota Madinah untuk menyambut para duta sehingga tidak memberatkan mereka untuk mencarinya. Jadi, ketika para duta ini datang ke kota Madinah mereka langsung menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak lelah untuk mencari baginda ke kiri dan ke kanan. Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berhaji pada tahun kesembilan ini, kerana baginda menemui duta-duta tersebut, ini dari satu sisi. Dari sisi yang lain, masih pada tahun kesembilan, orang-orang kafir berhaji bersama kaum muslimin, kerana mereka tidak dilarang masuk ke kota Mekah, setelah itu, baru mereka dilarang masuk ke kota Mekah. Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis (kotor jiwa), kerana itu janganlah mereka mendekati Masjidil Haram setelah tahun ini.” (QS. At-Taubah: 9: 28)

Muadzin Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan bahwa tidak dibolehkannya orang-orang musyrik berhaji sesudah tahun ini, orang-orang musyrik tidak boleh thawaf di Ka'bah dalam keadaan telanjang. Pemimpin orang-orang pada saat haji itu -maksud saya haji tahun kesembilan- adalah Abu Bakar radhiyallahu anhu, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengikutkannya dengan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu pada tahun kesepuluh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan bahwa baginda akan menunaikan haji, maka seketika itu juga datanglah orang-orang dari Madinah jumlahnya mencapai seratus ribu, sedangkan orang-orang muslim secara keseluruhannya berjumlah seratus dua puluh empat ribu. Yakni sedikit sekali orang-orang muslim yang tidak mengikuti haji, mereka melasanakan haji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang disebut dengan haji wada', kerana dalam haji tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam perpisahan kepada umatnya dengan ucapannya, “Barangkali aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini.  Demikian kejadiannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sekembalinya ke Madinah pada bulan Rabiul Awwal yakni setelah baginda melaksanakan hajinya tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati bulan Muharram, Safar dan dua belas hari bulan Rabiul Awwal.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhubah pada haji wada' ini di hadapan ramai orang, baginda berkhubah di padang Arafah dan di Mina, baginda menyebutkan tentang Al-Masih Ad-Dajjal dan keadaannya sebagai hal (perkara) yang besar, baginda memperingatkan dari Dajjal dengan peringatan yang sangat keras dan baginda juga melakukan hal ini ketika di Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan Dajjal dan memperingatkan darinya dengan peringatan yang sangat keras sehingga para sahabat berkata, “Kami menyangka bahwa Dajjal itu ada sekarang di pelepah-pelepah kurma yakni sudah datang dan masuk, kerana sangat kuatnya peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian baginda mengabarkan bahwa tidak ada seorang nabi pun (yang diutus oleh Allah) kecuali ia memperingatkan Dajjal pada kaumnya. Setiap para nabi memperingatkan kaumnya dari Dajjal, menakut-nakuti kaumnya dari Dajjal dan mereka juga menjelaskan Dajjal adalah hal (perkara) yang besar pada kaumnya.

Sesungguhnya para nabi memperingatkan kaumnya tentang Dajjal meskipun Allah Ta'ala mengetahui bahwa keberadaan Dajjal itu hanya ada pada akhir dunia, ini dilakukannya supaya mereka memiliki perhatian dalam masalah ini, menjelaskan tentang bahayanya, dan semua agama memperingatkan tentangnya, kerana Dajjal ini -semoga Allah melindungi kita semua dari fitnahnya dan semisalnya- datang kepada orang-orang, mengajak mereka untuk menyembahnya, dan berkata kepada mereka, “Akulah tuhan kalian, jika kalian mahu, aku akan perlihatkan kepada kalian bahwa aku adalah tuhan kalian,” maka ia memerintahkan langit, kemudian ia berkata, “Hujanlah kamu,” kemudian langit pun menurunkan hujan, kemudian ia memerintahkan kepada bumi, “Tumbuhlah kamu,” maka bumi pun tumbuh dengan rerumputan, jika mereka menentang perintahnya, maka ia perintahkan bumi agar menjadi tandus, dan memerintahkan langit agar tidak menurunkan hujan, sehingga jadilah manusia mengikutinya, tidak diragukan lagi bahwa hal ini merupakan bahaya yang sangat besar, terutama orang-orang yang berada di daerah pedalaman, mereka tidak mengerti kecuali hanya air dan rerumputan, maka orang-orang banyak mengikutinya, kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah. Namun demikian, Dajjal mempunyai tanda-tanda yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang pendusta.

Di antara tanda-tanda tersebut yaitu tertulis di antara kedua matanya lafazh Kaafir (kaaf, faa, raa) yang hanya bisa dibaca oleh orang-orang mukmin saja, walaupun ia tidak mengerti bacaan, dan sulit dibaca oleh orang kafir walaupun ia orang yang pandai membaca, kerana tulisan ini bukan tulisan biasa, sesungguhnya ia adalah tulisan Ilahiyah dari Allah Ta'ala.

Di antara tanda-tanda juga adalah mata kanannya buta, sedangkan Allah Ta'ala tidaklah buta matanya, Allah memiliki sifat kesempurnaan, tidak ada kekurangan pada sifat-sifat-Nya dari sisi mana pun. Adapun Dajjal, dia itu buta, mata kanannya seperti buah anggur yang berputar-putar, ini adalah tanda-tanda yang konkret dan jelas, setiap orang pasti mengetahuinya. Jika ada yang mengatakan, jika memang ia memiliki tanda yang konkret, maka bagaimana orang-orang dapat terfitnah dengannya? Kita katakan, bahwa Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya,

“Tidaklah bermanfaat tanda-tanda (kebesaran Allah) dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang yang tidak beriman.” (QS. Yûnus: 10: 101)

Yaitu orang-orang yang disesatkan Allah, tidak ada manfaatnya bagi mereka tanda-tanda kesesatan sebagai peringatan, dan tanda-tanda pertunjuk sebagai kabar gembira. Mereka tidak mengambil manfaat dari tanda-tanda Allah, begitu juga dari bukti-bukti keesaan dan ketuhanan-Nya, walaupun tanda-tanda itu jelas. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa tanda-tanda ini tidaklah samar bagi seseorang, dan baginda menjelaskan dalam hadits yang lain, jika Dajjal ini keluar, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada di antara mereka, baginda pasti mengalahkannya (dengan bukti) tanpa bantuan umat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengalahkannya, menyingkap penyimpangan dan kesesatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dan jika Dajjal keluar dan aku tidak ada bersama kalian, maka orang-orang akan menjadi pelindung jiwanya masing-masing dan Allahlah pengganti diriku bagi tiap-tiap orang muslim.”

[Shahih Muslim no. 5228]

Maka bertawakallah kepada Allah. Kesimpulannya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan tentang Dajjal dengan peringatan yang sangat keras, dan baginda mengabarkan bahwa Dajjal Al-Akbar akan keluar pada akhir zaman, dia akan menetap di bumi selama empat puluh hari saja, tetapi hari pertamanya itu seperti satu tahun (dua belas bulan). Matahari tetap di pertengahan langit selama enam bulan, dari timur ke barat, dia tidak tenggelam pada masa yang panjang ini, dia tenggelam dan keadaan menjadi malam selama enam bulan, ini adalah hari pertama. Hari keduanya seperti satu bulan, dan hari ketiganya seperti satu Jum'at dan hari-hari yang lainnya seperti hari biasanya ada tujuh hari, dan tiga puluh harinya seperti hari-hari biasa.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hadits ini kepada para sahabat, mereka tidak dapat membayangkan bagaimana matahari bisa bertahan selama satu tahun tidak berputar di atas bumi, sedangkan dia berputar di atas bumi setiap 24 jam, kekuasaan Allah Ta'ala melampaui itu semua, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Para sahabat biasanya tidak bertanya tentang permasalahan alam semesta dan takdir, kerana mereka semua mengetahui takdir Allah Ta'ala, tetapi mereka bertanya tentang perkara-perkara yang menjadi perhatian mereka yaitu berupa perkara-perkara syar'i. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kepada mereka bahwa satu hari itu seperti setahun, mereka berkata, “Ya Rasulullah, satu hari seperti setahun, apakah kami cukup melaksanakan satu shalat (shalat sehari dalam hitungan 24jam).” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, tapi disesuaikan dengan kadar.” Yakni perkirakan antara dua shalat dan shalatlah. Misal, jika telah terlihat waktu Subuh, maka kita laksanakan shalat Subuh, jika telah habis waktu antara Subuh dan tergelincirnya matahari, maka kita laksanakan shalat Zhuhur, walaupun matahari masih berada di awal timur, kerana matahari tetap pada kedudukannya selama enam bulan, maka kita perkirakan shalat selama itu. Jadi, kita shalat pada hari pertama (kemunculan Dajjal) dengan shalat selama setahun, dan berpuasa sebulan dan kita perkirakan masanya, demikian juga zakat, bisa jadi sebagian orang membuat teka-teki, “Harta yang belum terlewat baginya kecuali sehari, maka wajib zakat” (yakni pada masa muncul Dajjal). Begitu juga pada hari kedua, kita perkirakan shalat selama satu bulan, hari ketiga dengan satu minggu dan setelah itu kembali seperti hari-hari biasa. Dan pada ilham Allah yang diberikan kepada sahabat agar mereka menanyakan permasalahan ini sebagai pelajaran, kerana sekarang ini ditemukan di utara dan selatan bumi, dimana matahari terbenam selama enam bulan, dan terbit selama enam bulan, jika tidak ada hadits ini, mungkin orang-orang akan mendapat kesulitan, bagaimana mereka harus shalat, bagaimana mereka berpuasa. Akan tetapi, sekarang kita bisa merealisasikan hadits ini dalam kondisi mereka yang seperti itu, kita katakan, Bagi mereka yang mataharinya hanya ada selama enam bulan sekali, maka mereka harus memperkirakan waktu shalatnya, sebagaimana yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatya pada hari-hari munculnya Dajjal.

Hadits 206.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنَ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ » مُتفقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang berbuat zhalim mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah (milik orang lain), maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2453, 3295 Muslim no. 1612]

Hadits 207.
وَعَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ‏:‏ قَالَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسلَّمَ:‏ « إِنَّ اللهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِم فَإذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ، ثُمَّ قَرَأَ‏:‏ ‏{‏وَكَذَ ٖلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَىٰ وَهِيَ ظَـٰلِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ‏}‏. مُتَّفَقٌ عَلَيهِ‏‏‏.‏
Daripada Abu Musa radhiyallah anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya Allah menangguhkan siksaan kepada orang yang zhalim, tetapi apabila datang siksaan-Nya, maka dia tidak akan dapat menghindarinya.” Kemudian baginda membaca ayat,

“Dan begitulah seksa Tuhanmu apabila Dia menyeksa (penduduk) negeri-negeri yang melakukan kezhaliman. Sesungguhnya, siksa-Nya sangat pedih, sangat keras. (QS. Hud: 11: 102)

[Shahih Al-Bukhari no. 4868 dan Muslim no. 2583]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menukil riwayat dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berbuat zhalim mengambil hak orang lain walaupun hanya sejengkal tanah (milik orang lain), maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapis bumi.” Hadits ini mencakup satu macam dari berbagai macam kezhaliman, yaitu kezhaliman dalam hal pertanahan. Kezhaliman dalam hal tanah ini termasuk dosa yang paling besar, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dilaknat orang yang merubah batasan tanah.

[Shahih Muslim no. 1978]

Para ulama berkata, “Yang dimaksud dengan Manarul Ardhi adalah batasan tanah, kerana lafazh ini diambil dari kata, Al-Minwar yaitu tanda. Jika seseorang mengubah batasan tanah ini, dengan memasukkan sesuatu dari tanahnya ini ke dalam tanah orang lain, maka ia termasuk orang yang dilaknat dengan lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maksud dari laknat adalah terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah.

Bentuk adzab lain yang disebutkan dalam hadits ini, jika seseorang menzhalimi sejengkal tanah, maka ia akan ditimpakan tujuh bumi pada hari kiamat, kerana memang bumi berlapis tujuh, sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah dan sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an dengan isyarat pada firman-Nya,

“Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. 
(QS. Ath-Thalâq: 65: 12)

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa persamaan di sini bukanlah persamaan pada bentuk, kerana antara langit dan bumi ada perbedaannya, seperti adanya jarak antara keduanya, langit jauh lebih besar dibanding bumi, lebih luas dan lebih agung, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami). (QS. Adz-Dzâriyât: 51: 47)

Yakni dengan kekuatan, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Kami membangun di atas kamu tujuh (langit) yang kokoh. (QS. An-Naba': 78: 12)

Seseorang jika melakukan kezhaliman sejengkal tanah, maka ia akan ditimpakan dengan tujuh bumi pada hari kiamat, yakni Allah jatuhkan di atas pundaknya -Na'udzu Billah- ia akan membawanya di hadapan manusia dan di hadapan seluruh alam, dihinakan pada hari kiamat. Sabdanya, “walaupun hanya sejengkal tanah, ini bukan untuk membatasi, tapi untuk melebih-lebihkan, yakni jika ia mengambil di bawah ukuran itu, maka ia juga akan ditimpakannya. Namun, orang Arab menyebutkan permisalan ini untuk melebih-lebihkan, yakni walaupun ia mengambil sedikit saja, maka ia tetap ditimpakan adzab itu pada hari kiamat.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki tanah, berarti ia juga memiliki bagian bawahnya sampai yang terdalam, sampai lapisan yang ketujuh. Maka tidak boleh bagi seseorang untuk membuat terowongan di dalam tanahnya kecuali dengan izinnya misalnya engkau memiliki tanah, jaraknya tiga meter antara engkau dengan tetanggamu,  kemudian tetanggamu menginginkan untuk membuat terowongan di antara dua tanah ini dan melewati bagian bawah tanahmu, maka tidak ada hak baginya melakukan hal tersebut, kerana anda yang memiliki tanah dan apa yang berada di bawahnya sampai lapisan yang ketujuh. Sebagaimana udara juga milikmu sampai ke langit, maka tidak boleh seseorang membangun atas di atas tanahmu kecuali dengan izinmu, kerananya para ulama berkata, “Udara itu mengikuti tempatnya, dan tempatnya juga sampai pada tujuh lapis tanah, berarti orang memiliki bagian atas dan bagian bawah tanah, tidak ada orang yang boleh berlaku semena-mena dalam hal ini.”

Ahli ilmu berkata, “Jika tentanggamu punya pohon, kemudian dahan-dahan menjulur ke tanahmu, maka pemilik pohon harus mengalihkannya dari tempatmu, jika tidak bisa maka harus dipotong, kecuali dengan izin dan pernyataan darimu, kerana udaranya milikmu dan dia mengikuti tempatnya.”

Adapun hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya Allah menangguhkan siksaan kepada orang yang zhalim, tetapi apabila datang siksaan-Nya, maka dia tidak akan dapat menghindarinya.” Lafazh Yumli Lahu artinya ditangguhkan padanya sampai ia terus berbuat kezhaliman -Na'udzu Billah- kemudian tidak disegerakan adzab baginya, ini adalah bencana. -Kita memohon kepada Allah untuk menghindarkan kita dan kalian - Termasuk bentuk istidzraj yakni menangguhkan manusia dalam kezhalimannya, tidak diadzab secepatnya, sehingga menumpuklah kezhaliman ada manusia, kemudian jika Allah sudah mengambilnya, maka tidak ada yang luput dari-Nya. Allah akan mengambilnya dengan kekerasan yang tidak terkalahkan, kemudian baginda membaca firman Allah Ta'ala,

“Dan begitulah seksa Tuhanmu apabila Dia menyeksa (penduduk) negeri-negeri yang melakukan kezhaliman. Sesungguhnya, siksa-Nya sangat pedih, sangat keras. (QS. Hud: 11: 102)

Maka bagi orang-orang yang berbuat zhalim, janganlah menipu dirinya sendiri dan tidak juga dengan penangguhan Allah atasnya, sebab ini adalah musibah di atas musibah, kerana jika seseorang yang zhalim itu langsung diadzab dengan kezalimannya, maka barangkali ia akan ingat menerima nasehat dan meninggalkan kezhaliman, namun jika dengan penangguhan itu ia masih tetap berbuat dosa atau justru bertambah kezhalimannya maka akan bertambahlah siksaannya -kita berlindung kepada Allah diambil dengan kekerasan- sehingga jika Allah Ta'ala mengambilnya, maka tidak akan luput dari-Nya. Kita memohon kepada Allah agar memberikan kita semua i'tibar dengan ayat-ayat-Nya dan melindungi kita dari kezhaliman diri kita dan kezhaliman orang lain, sesungguhnya Dialah Tuhan yang Maha Pemurah lagi Mulia.

Hadits 208.
وَعَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ: بَعَثَنِي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَاب، فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَة أَنْ لَا إِلَهَ إلاَّ اللَّه، وَأَنِّي رَسُول اللهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوْا لِذَلِكَ، فَأَعْلِمهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَومٍ وَلَيْلَةٍ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذلِكَ، فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ، فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذلِكَ، فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ. وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Mu'adz radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku dan kemudian baginda bersabda,

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi sesuatu kaum dari Ahli kitab, jika engkau sudah bertemu dengan mereka, maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka menaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang fakir miskin mereka. Jika mereka telah menaatimu dalam hal itu, maka hendaknya kamu tidak mengambil harta-harta kesayangan (pilihan) mereka. Dan takutlah terhadap doa orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doanya dan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1496 Muslim no. 19]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku ke Yaman. Pengiriman Mu'adz ini terjadi pada bulan keempat dari tahun kesepuluh Hijriyah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke negeri Yaman yang penduduknya adalah ahli kitab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sesuatu kaum dari Ahli kitab.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kabar kepadanya agar ia benar-benar siap dalam menghadapi mereka, kerana orang yang akan berbantahan dengan Ahli Kitab, ia harus memiliki hujjah yang lebih banyak dan lebih kuat dibandingkan apa yang ada pada pihak musyrik, kerana orang musyrik itu jahil, sedangkan orang Ahli Kitab mereka memiliki ilmu pengetahuan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepadanya tentang kondisi mereka, agar bisa menempati kedudukan mereka dan akan berbantahan dengan mereka dengan cara yang lebih baik.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pengarahan kepadanya bahwa yang pertama kali harus didakwahkan adalah kalimat tauhid dan risalah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Maka ajaklah mereka untuk bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,” yakni tidak ada tuhan yang berhak kecuali Allah Ta'ala, kerana Dialah yang berhak untuk disembah dan yang selainnya tidaklah berhak untuk disembah, bahkan merupakan ibadah yang batil. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Demikianlah, kerana sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang sebenarnya dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya Allah. Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.” 
(QS. Luqmân: 31: 30)

Muhammad adalah utusan Allah,” yakni Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan yang diutus Allah kepada manusia dan jin, juga menjadi penutup semua risalah, barangsiapa yang tidak beriman dengan hal ini, maka ia termasuk penduduk neraka.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  berkata kepadanya, “Jika mereka menaatimu dalam hal itu,” yakni mereka bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad sebagai utusan Allah, “Maka ajarkanlah mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam,  yakni Zhuhur, Ashar, Magrib, Isya dan Subuh, tidak ada shalat yang wajib kecuali lima ini. Shalat-shalat sunnah rawatib bukanlah kewajiban, begitu juga dengan shalat witir dan shalat Dhuha. Adapun shalat Ied dan khusuf (gerhana matahari), menurut pendapat yang paling kuat, bahwa hukum kedua shalat tersebut wajib, kerana keduanya dikerjakan lantaran ada sebab yang khusus bagi keduanya.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Jika mereka menaatimu dalam hal itu, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin mereka.”  yakni adalah zakat, zakat adalah sedekah wajib pada harta, diambil dari hartanya orang-orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin. Yang dimaksud kaya di sini adalah orang yang memiliki nishab zakat, bukan kaya harus mempunyai harta yang banyak, tetapi setiap orang yang sudah memiliki nisab, maka ia adalah orang yang kaya, walaupun ia tidak mempunyai kecuali satu nisab, maka ia adalah orang kaya. Ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam“Diberikan kepada orang-orang miskin mereka,” yakni diberikan kepada orang-orang yang ada di negeri itu, kerana orang miskin di negeri itu lebih layak menerima sedekah dari penduduk negerinya.

Kerananya, ada orang yang salah mengirim sedekah mereka ke negeri yang jauh, sementara di negeri mereka sendiri ada yang lebih membutuhkan, yang demikian itu haram bagi mereka. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin mereka.” Yakni orang yang terdekat lebih layak menerima kebaikan, kerana orang yang terdekat lebih mengetahui harta yang ada pada diri anda, mereka juga mengetahui bahwa anda adalah orang kaya. Jika mereka tidak mendapatkan manfaat dari kekayaan anda, maka akan terjadi dalam hati mereka rasa kebencian dan permusuhan. Bukan anda yang menjadi penyebabnya, mungkin ketika anda mengeluarkan zakat ke negeri yang lain itu mereka melihatnya, sementara mereka sangat membutuhkannya, bisa jadi nantinya mereka melakukan permusuhan terhadapmu dan merusakan hartamu. Kerana itu merupakan hikmah bahwa selagi di negeri anda masih terdapat orang yang membutuhkan, maka janganlah anda alihkan zakat anda itu ke negeri yang lain.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Jika mereka menaatimu dalam hal itu,” yakni melaksanakan dan menyetujui, “Maka hendaknya kamu tidak mengambil harta-harta kesayangan (pilihan) mereka.Yakni janganlah engkau mengambil harta-harta mereka yang baik, tetapi ambillah yang pertengahan, jangan engkau menzhalimi dan dizhalimi. Takutlah pada doanya orang-orang yang dizhalimi, sesungguhnya jika engkau mengambil harta-harta mereka yang mahal, maka engkau melakukan kezhaliman kepada mereka, bisa saja mereka berdoa dengan sesuatu yang membahayakanmu. Takutlah doa-doa mereka kerana tidak ada penghalang antara doanya dan Allah, doa tersebut langsung naik kepada Allah dan dikabulkan oleh-Nya. Inilah yang menjadi dalil yang diambil dari hadits ini, yaitu dalam bab yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, bahwa manusia wajib untuk menghindari doa-doanya orang yang terzhalimi.

Hadits ini mengandung beberapa manfaat, di antaranya ada yang berhubungan dengan bab ini ada juga yang tidak berhubungan dengan bab ini. Maka hendaknya kita untuk mengetahui bahwasanya Al-Kitab dan As-Sunnah diturunkan sebagai hakim dalam hal yang diperselisihkan oleh manusia dan hukum-hukum syariat dari lafazh-lafazh yang ditunjukinya, baik secara mantuq (dalil yang diucapkan) secara mafhum (dalil yang di pahami dari nash) atau juga berupa isyarat, Allah Ta'ala mengunggulkan sebagian manusia atas sebagian yang lain dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Kerananya ketika Abu Juhaifah bertanya kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu, “Apakah Rasulullah menjanjikan sesuatu kepadamu?” Dia menjawab, “Tidak, kecuali pemahaman yang Allah berikan kepada orang yang Dia kehendaki terhadap Kitabullah dan apa yang terdapat di dalam shahifah (hadits yang ditulis di lembaran) ini.” Ali radhiyallahu anhu menjelaskan kepadanya apa yang ada di dalam shahifah tersebut. Beliau berkata, “Akal, pembebasan tawanan, dan tidak dibunuh seorang muslim kerana membunuh orang kafir.”214

214.[Shahih Al-Bukhari no. 111, 3047, 6903, 6915]

Yang menjadi dalil dari ucapannya adalah, “Kecuali pamahaman yang diberikan Allah terhadap Kitab-Nya.” Oleh kerananya manusia berbeda-beda, hendaknya para penuntut ilmu itu benar-benar berupaya mengungkap manfaat-manfaat dan hukum-hukum dari nash Al-Qur'an dan As-Sunnah, kerana inilah sumber yang ditentukan, maka pengambilan hukum dari keduanya sama dengan kedudukan seseorang yang mengambil air, kemudian ia menuangkannya ke dalam sebuah wadah, ada yang mengambil sedikit, ada juga yang mengambilnya banyak. Hadits yang mulia ini menjelaskan tentang Mu'adz bin Jabal radhiyallahu anhu, dengan apa dia diutus oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penduduk Yaman, di sini terdapat beberapa faedah:

1). Wajibnya mengutus da'i yang menyeru ke jalan Allah. Ini merupakan tugas penguasa, wajib baginya mengutus para da'i ke setiap tempat, kerana setiap tempat membutuhkan dakwah. Oleh kerana itu, dia harus mengirimkan orang-orang yang berdakwah di jalan Allah, kerana hal ini merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan petunjuk baginda untuk mengirim utusan yang menyeru kepada agama Allah.

Di antara faedahnya, hendaklah orang yang akan dikirim itu diberitahukan tentang keadaan orang-orang yang akan didakwahinya, sehingga ia bisa mempersiapkan diri, dan menempatkan posisinya sesuai dengan keadaan mereka, sehingga dia tidak mendatangi mereka tanpa persiapan, yang pada akhirnya ia tidak bisa menjawab setiap keragu-keraguan yang datang dari mereka, dan ini adalah musibah yang besar atas dakwah. Seorang da'i harus mempunyai persiapan dengan apa yang akan dia sampaikan kepada orang-orang yang didakwahi, agar ia tidak mendatangkan perkara yang membingungkan, sehingga ia menjadi lemah dan terputus, seketika ini dakwah akan mendapatkan bencana.

Di antara faedahnya juga, bahwa materi pertama yang harus disampaikan adalah syahadat bahwa, Lā ʾilāha ʾillallāh wa Anna Muḥammadan Rasūlullāh, ini dilakukan sebelum yang lainnya. Janganlah katakan kepada orang kafir ketika anda mendakwahi mereka, “Tinggalkanlah khamer,” tinggalkanlah zina, tinggalkan riba.” Ini adalah sesuatu kekeliruan, dahulukan yang lebih utama, kemudian lanjutkan dengan yang lainnya. Hal pertama yang harus disampaikan adalah tauhid dan risalah, kemudian barulah rukun-rukun agama, itulah yang terpenting.

Di antara faedahnya juga, apabila orang yang didakwahi itu paham terhadap apa yang disampaikan, maka dalam hal ini tidak perlu kepada penjelasan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada mereka, kerana mereka mengetahui maknanya, lisan mereka adalah lisan Arab. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang hal ini kepada orang yang tidak mengetahui maknanya, maka kita wajib memberikan penjelasan, kerana jika mereka tidak mengerti, maka kata tersebut tidak ada faedahnya. Kerananya tidaklah diutus seorang rasul kecuali dengan lisan kaumnya dan bahasa mereka, sehingga ia bisa menjelaskannya kepada mereka. Misal, ketika berbicara kepada orang yang tidak mengerti makna, Lā ʾilāha ʾillallāh maka harus kita jelaskan maknanya, kita katakan bahwa maknanya adalah tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, setiap sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil, seperti firman Allah,

“Demikianlah, kerana sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) yang sebenarnya dan apa saja yang mereka seru selain Allah adalah batil. Dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahatinggi, Mahabesar.”  
(QS. Luqmân: 31: 30)

Demikian juga, “Anna Muhammadan Rasulullah (bahwa Muhammad adalah Rasulullah)” tidak cukup bagi seseorang mengucapkannya dengan lisan atau ia dengar dengan telinganya, tanpa ia pahami di dalam hati, maka hendaknya dijelaskan makna bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka hendaklah dikatakan misalnya, “Muhammad adalah seorang lelaki yang diutus Allah dari bani Hasyim, baginda diutus untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, yang diutus dengan hidayah dan agama yang hak, menjelaskan kepada manusia setiap kebaikan mengajak mereka kepada hal tersebut, menjelaskan kepada mereka setiap keburukan dan memperingatkan mereka dari hal tersebut, dialah Rasulullah, wajib membenarkan apa yang baginda kabarkan, manaati setiap apa yang baginda perintahkan, dan meninggalkan setiap apa yang baginda larang.”

Menjelaskan kepadanya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang Rasul bukan tuhan, bukan seorang pendusta, tetapi baginda adalah seorang hamba yang tidak disembah, seorang utusan yang tidak bisa didustakan. Menjelaskan juga kepadanya bahwa dua kalimat syahadat ini adalah kunci Islam, tidaklah sah suatu ibadah, kecuali dengan bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Di antara faedah hadits ini juga, bahwa perkara yang paling penting sesudah dua kalimat syahadat adalah shalat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mereka menaatimu dalam hal itu, maka ajarkanlah mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu dalam sehari semalam. Di antaranya juga bahwa shalat witir tidaklah diwajibkan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkannya, tidak menyebutkan kecuali yang lima waktu saja, ini adalah pendapat yang kuat dari para ulama. Di antara para ulama ada yang mengatakan bahwa witir itu wajib, di antara mereka juga ada yang merinci dan berkata, “Barangsiapa yang terbiasa wirid dan shalat di malam hari, maka shalat witir wajib baginya, dan barangsiapa yang tidak punya, maka shalat witir tidaklah wajib.” Yang benar bahwa witir tidaklah wajib secara mutlak, kerana sekiranya wajib, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

Di antara faedah hadits ini juga, bahwa zakat hukumnya wajib, dan merupakan salah satu dari kewajiban-kewajiban dalam Islam. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga dari rukun-rukun Islam, dan rukun kedua setelah syahadat, kerananya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin mereka.”  

Di antara faedah hadits ini bahwa zakat itu wajib pada harta, tidak pada tanggungan, tetapi yang benar bahwa zakat itu wajib pada harta dan ada hubungannya dengan tanggungan. Berdasarkan atas hal ini terdapat beberapa faedah:

Di antaranya, jika kita katakan bahwa zakat itu wajib pada tanggungan, maka gugurlah kewajiban zakat atas orang yang mempunyai hutang, kerana kedudukan hutang adalah tanggungan. Jika kita katakan bahwa kedudukan zakat adalah tanggungan, misalnya seseorang mempunyai hutang seribu sementara di tangannya ada seribu, maka tidak wajib atasnya zakat kerana ada dua hak yang saling bertentangan, maka yang benar bahwa zakat itu wajib pada harta, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

“Ambillah zakat dari harta mereka.” 
(QS. At-Taubah: 9: 103)

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini, “Maka  beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat.”  Namun, zakat itu ada hubungannya dengan tanggungan, dalam artian bahwa jika zakat itu diwajibkan dan manusia mengabaikannya, berarti ia akan menanggung zakat tersebut.

Di antara manfaat hadits ini juga, bahwa zakat tidak diwajibkan bagi seorang yang miskin, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin mereka.” Akan tetapi, siapakah orang kaya itu? Apakah orang yang memiliki uang bermilyar-milyar? Orang kaya yang dimaksud dalam bab ini adalah orang yang memiliki nisab (batasan harta yang ditentukan oleh syariat yang mewajibkan seseorang untuk mengeluarkan zakat). Jika orang memiliki nisab, maka ia termasuk orang kaya maka wajib atasnya zakat. Walaupun terkadang ia miskin dari satu sisi, tapi ia kaya jika dilihat dari sisi kewajiban zakat atasnya.

Di antara faedah hadits ini, bahwa zakat disalurkan kepada orang-orang miskin di negerinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin mereka.”  Zakat tidak boleh dikeluarkan dari negerinya kecuali dengan sebab, tetapi selama di negerinya itu masih terdapat orang-orang yang berhak, maka mereka lebih utama dari yang lainnya. Sebagian ulama mengharamkan dikeluarkannya zakat dari suatu negeri jika di dalamnya masih terdapat orang yang memerlukan, berdalil dengan hadits ini, kerana orang-orang miskin di negeri itu bergantung pada uluran tangan orang-orang kaya mereka. Orang kaya jika mengeluarkan zakat ke luar negeri, bisa jadi menyakiti orang-orang miskin mereka, mereka berkata, “Kalian telah mencegah hak kami,” sehingga mereka menguasainya dengan cara merusak dan merampas. Tidak diragukan lagi, kelirulah seseorang yang mengeluarkan zakat hartanya ke negeri yang jauh, sedangkan di negerinya masih ada orang-orang yang berhak, kerana orang yang lebih dekat itu lebih utama untuk diperlakukan baik. Yang dimaksud dalam hadits ini adalah zakat, yakni menyerahkan bagian yang Allah Ta'ala wajibkan dalam zakat harta.

Menyerahkan harta merupakan bukti kebenaran pengorbanannya, sebab harta sangat dicintai oleh jiwa, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan kamu mencintai harta dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 89: 20)

Seseorang tidak akan menyerahkan apa yang ia cintai kecuali untuk sesuatu yang lebih ia cintai. Jika seorang lelaki atau wanita menyerahkan hartanya meskipun ia cinta terhadap harta tersebut, maka ini menunjukkan bahwa kecintaannya terhadap apa yang ada di sisi Allah lebih besar dibandingkan kecintaannya terhadap harta, ini merupakan bukti kebenaran iman. Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Diambil dari orang-orang kaya di antara mereka untuk diberikan kepada orang miskin mereka,” sebagai dalil yang menunjukkan bahwa pemimpin wajib mengambil zakat dari orang yang memang diwajibkan atasnya, kemudian menyalurkannya kepada orang yang berhak, dan jika ia telah melakukan ini maka lepaslah tanggungjawabnya.

Akan tetapi, jika seseorang berkata, “Saya tidak percaya, orang yang mengambil zakat ini dia akan memainkannya dan menyalurkannya bukan pada orang yang berhak.” Maka kita katakan kepadanya, “Jika anda sudah menunaikan zakat, berarti anda sudah terlepas dari tanggungjawab, baik zakat itu nantinya ditunaikan kepada yang berhak ataupun tidak.” Namun, Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Jika anda melihat bahwa pemimpin tidak menyalurkannya kepada yang berhak, maka janganlah anda berikan kecuali jika ia meminta kepadamu dan memaksamu dengan itu, maka ketika itu lepaslah tanggungjawabmu.” Berdasarkan hal ini, maka tidak mengapa seseorang menyembunyikan hartanya jika orang yang mengambil zakat itu tidak menyalurkannya kepada yang berhak, dengan tujuan ia ingin menunaikan zakat itu melalui dirinya sendiri.

Jika diperkirakan bahwa penanggungjawabnya itu misalnya mengambil lebih banyak dari yang wajib, maka hal itu adalah kezhaliman dan tidaklah halal baginya, tugas pemilik harta hanyalah mendengarkan dan menaatinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

“Maka dengarkanlah dan taatilah walaupun ia memukul pundak kamu dan mengambil hartamu.” 

[Shahih Muslim no. 1847]

Jika diperkirakan bahwa penanggungjawabnya itu misalnya mengambil harta zakat kurang dari yang wajib, maka wajib bagi orang yang memiliki harta untuk mengeluarkan sisa kewajibannya, dan janganlah mengatakan, “Ia sudah mengambilnya dariku, maka bebaslah kewajibanku,” kerana jika ia wajib mengeluarkan seribu, kemudian diambil darinya dengan delapan ratus, maka wajib baginya mengeluarkan sisa yang dua ratusnya.

Di antara faedah hadits ini, bahwasanya boleh menyalurkan zakat hanya pada satu golongan dari golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Golongan penerima zakat itu ada delapan golongan yaitu, fakir miskin, amil (petugas) zakat, muallaf, budak (hamba), orang-orang yang berutang, orang yang berjuang di jalan Allah dan Ibnu sabil (orang yang dalam perjalanan). Jika seseorang menunaikannya pada salah satu golongan saja, berarti ia telah bebas dari kewajibannya. Bahkan jika ia berikan pada satu orang di antara golongan-golongan tersebut, berarti ia telah menunaikannya. Misalnya seseorang memberikan seluruh zakatnya kepada satu orang fakir miskin, maka tidaklah mengapa. Jika diperkirakan misalnya seseorang memiliki hutang besar seratus ribu riyal dan zakat yang anda keluarkan sebesar seratus ribu riyal, kemudian anda melunasi hutangnya tersebut, berarti anda telah menunaikannya.

Firman Allah Ta'ala,

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir.” (QS. At-Taubah 9: 60)

Ayat ini hanya menjelaskan tentang penyaluran saja (kepada delapan golongan tersebut). Anda tidak wajib memberikan kepada tiap-tiap golongan yang delapan ini, anda juga tidak wajib memberikan tiga orang dari setiap kelompok, bahkan jika anda menunaikannya hanya kepada satu orang pun di antara kelompok orang ini, berarti anda telah menunaikan kewajibannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits.

Manfaat yang diambil dari hadits ini juga, bahwa zakat diserahkan pada negerinya, yakni di negeri tempat zakat itu dikeluarkan. Hal itu telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya zakat tidak boleh dikeluarkan pendistribusiannya dari negeri tempat zakat itu dikeluarkan, kecuali jika di sana terdapat kemaslahatan atau hajat yang lebih besar. Adapun jika negeri itu masih ada yang berhak, maka tidak boleh dikeluarkan ke negeri lain, tetapi harus ditunaikan di negeri tersebut. Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan diharamkannya kezhaliman, bahwasanya tidak boleh bagi orang yang memungut zakat mengambil zakat itu lebih banyak dari yang wajibnya, kerananya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan Mu'adz dengan sabdanya, “Maka hendaknya kamu tidak mengambil harta-harta kesayangan (pilihan) mereka.” Lafazh Al-Kara'im itu adalah jamak dari Kariimah artinya yang baik dan disenangi. Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa doa orang yang terzhalimi pasti dikabulkan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan takutlah terhadap doa orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doanya dan Allah.” Dalam hadits ini juga terdapat dalil wajibnya seseorang menghindari kezhaliman dan takut terhadap doa orang yang terzhalimi, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita dengan hal tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan takutlah terhadap doa orang yang terzhalimi, karena sesungguhnya tidak ada penghalang antara doanya dan Allah.”

Hadits 209.
وَعَنْ أَبِي حُمَيْدٍ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَال‏َ:‏ اِسْتَعْمَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنَ الْأزدِ يُقَالُ لَهُ‏ اِبْنُ اللُّتْبِيَّةِ عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ‏:‏ هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا أُهْدِيَ إِلَيَّ، فَقَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ‏:‏ « أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِيَ اللهُ، فَيَأْتِي فَيَقُولُ‏:‏ هَذَا لَكُمْ، وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ إِلَيَّ، أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيْهِ أَوْ أُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّةٌ إِنْ كَانَ صَادِقًا، وَاللهِ لَا يأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إلَّا لَقِىَ اللهَ تَعَالَى، يَحْمِلْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَا أَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ، أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رُؤِيَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ فَقَالَ:‏ ‏« ‏اَللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ‏ » ثَلاَثًا، ‏مُتَّفَقٌ عَلَيْه‏ِ‏‏.‏
Daripada Abu Humaid Abdurrahman bin Sa'idi radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempekerjakan seorang laki-laki dari Al-Ajdi yang bernama Ibnu Al-Lutbiyyah untuk memungut zakat. Setelah dia datang, dia mengiranya dan berkata, “Ini untuk kamu (harta zakat) dan ini hadiah untukku.” Maka berdirilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar, lalu memuji Allah dan menyanjung-Nya, setelah itu baginda bersabda,

Amma ba'du, sesungguhnya aku telah mempekerjakan seseorang di antara kalian atas hal dikuasakan Allah kepadaku. Setelah datang dari tugasnya, dia berkata, “Ini untuk kamu (zakat harta) dan ini hadiah untukku. Apakah jika ia duduk di rumah ayah dan ibunya, dia akan datang hadiah padanya, jika dia memang berkata benar?” Demi Allah, janganlah di antara kalian mengambil sesuatu tanpa hak kecuali ia akan bertemu dengan Allah, dan dia akan memikul sesuatu (yang diambil itu) pada hari Kiamat. Sungguh, aku tidak ingin melihat salah seorang di antara kalian yang bertemu Allah dengan memikul seekor unta yang bersuara (melenguh), atau seekor sapi yang menguak, atau kambing yang mengembik.” Kemudian baginda mengangkat kedua tangannya sehingga terlihat putihnya kedua-dua belah bawah lengan baginda, kemudian baginda bersabda,

“Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan.” Baginda mengucapkan sebanyak 3 kali.

[Shahih Al-Bukhari no. 2597 Muslim no. 1832]

Hadits 210.
وَعَنْ أَبِي هُرِيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ، مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مِنْ شَيْءٍ، فَلْيتَحَلَّلْهُ مِنْه الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَملٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقدْرِ مَظْلِمتِهِ، وَإنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيٌّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda,

Barangsiapa berbuat zhalim kepada saudaranya baik berkenaan dengan harga dirinya, atau sesuatu, maka hendaknya ia meminta dihalalkan pada hari ini sebelum ia tidak lagi mempunyai dinar ataupun dirham, jika ia mempunyai amal shalih maka akan diambil darinya sesuai dengan kezhalimannya, dan jika ia tidak mempunyai kebaikan, maka akan diambil dari kejahatan orang yang dizhalimi dan dipikulkan kepadanya.

[Shahih Al-Bukhari no. 2449, 6534]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukinya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berbuat zhalim kepada saudaranya baik berkenaan dengan harga dirinya, atau sesuatu, maka hendaknya ia meminta dihalalkan pada hari ini sebelum ia tidak lagi mempunyai dinar ataupun dirham..,” yakni pada hari kiamat. Jika ia masih berada di dunia, maka masih memungkinkan baginya untuk meminta maaf dari kezhaliman yang ia lakukan kepada orang yang dizhaliminya, akan tetapi di akhirat, tidak ada lagi amalan kecuali amal shalih. Pada hari kiamat orang yang zhalim akan diqishas bagi orang yang dizhaliminya berupa amal kebaikannya, kebaikan yang menjadi modalnya pada hari itu akan diambil, jika masih tersisa amal kebaikannya itu. Bila telah habis, maka diambilah kejelekan dari orang yang dizhaliminya lalu dilimpahkan kepadanya -Na'udzu Billah- maka bertambahlah kejelekan amalnya.

Zhahir hadits ini menunjukkan wajibnya bagi seseorang meminta penghalalan dari kezhaliman yang ia lakukan kepada saudaranya sampai dalam masalah harga diri, baik yang ia ketahui ataupun tidak, kerana kezhaliman itu bisa pada jiwa, harta atau pada harga diri, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, harga diri kalian haram atas kalian.”218. 

218. [Telah ditakhrij sebelumnya di dalam Ash-Shahihain]

Jika kezhaliman terjadi pada jiwa, seperti ia telah berbuat kriminal kepadanya, atau ia memukul sehinggal melukainya, atau memotong salah satu anggota badan seseorang, atau juga ia membunuhnya, maka ia harus meminta penghalalan darinya, mungkin dengan cara qishash dari pihak yang terzhalimi, atau dengan memberikan tanggungan, jika tidak ada qishash maka ia boleh memilih diyat.

Adapun jika kezhalimannya itu terhadap harta, maka ia harus mengembalikan hartanya, jika ia mengambil harta orang lain, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya, jika orang itu tidak ia temukan atau tidak mengetahui tempatnya, maka ia bersedekah dengan nama orang tersebut, sesungguhnya Allah Ta'ala mengetahui dan akan menyampaikannya kepada pemilik yang hak. Jika pemilik hak itu sudah meninggal, maka ia harus menyampaikannya kepada ahli warisnya, kerana harta setelah pemiliknya meninggal, maka berpindah kepada ahli warisnya, kerananya ia harus menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika ia tidak mengetahui mereka dan tidak mengetahui keberadaan mereka, maka ia bersedekah atas nama mereka, Allah mengetahui mereka dan memberikan hak-hak mereka.

Adapun jika kezhalimannya terhadap harga diri, misalnya ia mencaci seseorang dalam sebuah majlis atau membicarakan keburukannya, maka ia harus meminta penghalalan kepadanya jika ia mengetahui bahwa ia memang telah mencaci orang tersebut, lalu ia pergi kepadanya dan berkata, “Sesungguhnya aku telah berbuat ini dan itu, dan aku datang kepadamu untuk meminta maaf,” jika ia memaafkannya, maka ini adalah nikmat dari Allah bagi semuanya, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang yang zhalim.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 40)

Jika ia tidak memaafkan, maka berilah ia harta, yakinkan ia dengan harta sampai ia mahu memaafkan, jika ia tetap menolak, maka Allah mengetahui bahwa taubat orang yang zhalim ini adalah taubat yang sebenar-benarnya, dan Allah akan meridhai orang yang dizhalimi pada hari kiamat. Sebagian ulama berkata dalam masalah kezhaliman terhadap harga diri ini, jika orang yang terzhalimi itu tidak mengetahuinya, maka tidak perlu memberitahukannya, bahwasanya ia telah mencacinya pada suatu majlis dan ia telah bertaubat, maka ia tidak perlu memberitahukannya, akan tetapi cukup baginya beristighfar serta mendoakan orang tersebut, memujinya dengan kebaikan di majlis tempat ia mencacinya, dengan demikian ia sudah meminta penghalalan kepada orang tersebut.

Hadits 211.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌمَا عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ‏:‏ « اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ، وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ » ‏‏مُتَّفَقٌ عَلَيْه‏.
Daripada Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Seorang muslim adalah yang orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya, sedangkan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.

[Shahih Al-Bukhari no. 10, 6484 Muslim no. 41]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah yang orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya, sedangkan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.”

Al-Muslim diucapkan dengan makna yang banyak, di antara maknanya adalah orang yang menyerahkan diri, orang yang menyerahkan dirinya kepada orang lain disebut seorang muslim, di antaranya terdapat pada salah satu dari dua tafsir firman Allah Ta'ala,  

“Orang-orang Arab Badui berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, “Kami telah tunduk (Islam).” (QS. Al-Hujurât: 49: 14)

Yakni katakanlah oleh kalian, “Kami berserah diri, maka kami tidak akan membunuh kalian.” Dan tafsir yang kedua dalam ayat ini, sesungguhnya yang dimaksud dengan Islam adalah menyerahkan diri kepada Allah Ta'ala, inilah yang benar.

Makna yang kedua, Islam diucapkan atas lima prinsip, yang dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril ketika ia bertanya kepadanya tentang Islam, baginda mengatakan, “Bahwa engkau bersaksi tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan haji ke baitullah.

[Shahih Al-Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40]

Islam juga diucapkan untuk makna selamat, yakni selamatnya orang lain dari kejelekannya, maka dikatakan, “Aslama,” yakni ia masuk dalam keselamatan, menjadi keselamatan bagi orang lain, di mana ia tidak menyakiti mereka, di antaranya adalah hadits ini, “Seorang muslim adalah yang orang-orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya,” orang-orang muslim selamat dari lisannya, ia tidak mencaci mereka, tidak melaknat mereka dan tidak menggunjing mereka, tidak mengadu domba di antara mereka, tidak  melakukan sesuatu keburukan dan kerusakan di antara mereka, ia betul-betul menjaga lisannya, menjaga lisan adalah hal yang sangat berat dilakukan oleh manusia, hal ini merupakan perkara yang sangat sulit bagi seseorang yang terkadang begitu gampang mengucapkan lisannya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu'adz bin Jabbal, “Apakah kamu mahu aku kabarkan orang yang mampu itu semua?” Aku berkata, “Ya, sudah tentu ya Rasulullah.” Kemudian baginda mengarahkan ke lisannya dan berkata, “Jagalah lisan ini,” Aku berkata, “Ya, Rasulullah, apakah kami akan disiksa dengan sebab apa yang kami katakan? Yakni apakah kami diperhitungkan dengan apa yang kami katakan?” Maka baginda bersabda, “Bersedihlah ibumu dengan kematianmu wahai Mu'adz, apakah manusia dilemparkan ke neraka atas wajah-wajahnya saja -atau baginda berkata, atas pundak-pundak mereka kecuali kerana apa yang dihasilkan oleh lisan-lisan mereka.” 

[Shahih Al-Jami' no. 5136]

Lisan adalah anggota tubuh yang paling berbahaya bagi manusia dan kerananya maka jadilah manusia, sesungguhnya anggota tubuh seperti kedua tangan, kedua kaki dan kedua mata semua anggota tubuh ini mengingkari lisannya. Demikian juga kemaluan, kerana pada kemaluan itu terdapat syawat nikah, dan lisan mempunyai syahwat untuk berbicara, sangat sedikit orang yang bisa selamat keduanya.

Orang muslim adalah yang orang-orang muslim lainnya selamat dari kejahatan lisannya, yakni orang yang menahan lisannya jangan sampai menyakiti mereka, tidaklah ia menyebutkan mereka kecuali dengan kebaikan, tidak mencela, tidak menggunjing, tidak mengadu domba dan tidak memprovokasi orang lain, maka dia adalah seorang muslim, jika ia mendengar keburukan, maka ia menjaga lisannya, tidaklah seperti yang dilakukan oleh sebagian orang, jika ia mendengar kata-kata jelek pada saudaranya, ia begitu gembira, kemudian ia mulai menyebarkannya dan mengumumkannya, maka orang ini bukanlah seorang muslim.

kedua, orang muslim yang selamat dari kejahatan tangannya, ia tidak memukulnya atau melukainya, atau mengambil hartanya, atau yang lainnya. Ia menjaga tangannya, tidak mengambil kecuali apa yang menjadi haknya secara syar'i, tidak melukai seseorang, jika terkumpul pada seseorang keselamatan manusia dari kejahatan tangan dan lisannya, maka ia adalah seorang muslim.

Ketahui dari hadits ini, sesungguhnya seseorang yang tidak membuat orang lain selamat dari lisan dan tangannya, maka ia bukanlah seorang muslim. Barangsiapa yang tidak memiliki perhatian kepada hamba-hamba Allah kecuali hanya membuat isu, memakan daging dan harga diri mereka, maka orang ini bukanlah seorang muslim. Demikian juga orang yang tidak memiliki perhatian kecuali hanya membuat aniaya kepada mereka, dengan cara memukul, mengambil harta mereka dan selainnya yang berkaitan dengan kejahatan tangannya, maka ia bukanlah seorang muslim. Demikianlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan, kabar ini bukan sekadar untuk diketahui saja, akan tetapi untuk kita ketahui dan kita amalkan, kalau tidak demikian, maka apa faedahnya ucapan yang tanpa diamalkan. Kerananya, jika anda ingin menjadi seorang muslim yang benar maka jagalah lisan dan tangan anda agar tidak menyakiti muslim yang lain, sehingga anda menjadi muslim yang sebenar-benarnya. Saya memohon kepada Allah agar mencukupi dan menjaga kalian, menyehatkan dan memaafkan kami, sesungguhnya Dialah yang Mahadermawan bagi Mahamulia.

Hadits 212.
وَعَنْهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ‏:‏ كَانَ عَلَى ثَقَلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ كِرْكَرَةُ، فَمَاتَ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهَ وَسَلَّمَ:‌‏ « هُوَ فِي النَّار‏ِ » فَذَهَبُوا يَنْظُرُونَ إِلَيْهِ فَوَجَدُوا عَبَاءَةً قَدْ غَلَّهَا. ‏رَوَاهُ الْبُخَارِي‏ُّ.
Daripada Abdullah bin Amr bin Al-'Ash radhiyallahu anhu, ia berkata,

Ada seorang laki-laki membebani (perasaan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang laki-laki itu bernama Kirkirah, kemudian dia meninggal dunia. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang itu,

“Dia ada di neraka.” Maka sahabat-sahabat pun pergi untuk melihat keadaannya dan mereka menemukan bahwa ia telah mengambil kain (baju, burdah) dari ghanimah yang belum dibagikan.

[Shahih Al-Bukhari no. 3074]

Hadits 213.
وَعَنْ أَبي بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَاواتِ وَالْأَرْضَ: السَّنَةُ اثْنَا عَشَر شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ: ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقعْدَة، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجُبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَي وَشَعْبَانَ، أَيُّ شَهْرٍ هَذَا؟ » قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَم، فَسَكَتَ حَتَّى ظنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ، قَالَ: أَلَيْسَ ذَا الْحِجَّةِ؟ قُلْنَا: بَلَى: قَالَ: « فَأَيُّ بَلَدٍ هَذَا؟ » قُلْنَا: اَللَّهُ وَرسُولُهُ أَعْلَمُ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْر اسْمِهِ. قَالَ: « أَلَيْسَ الْبَلْدَةَ؟ » قُلْنَا: بَلَى. قَالَ: « فَأَيُّ يَومٍ هَذَا؟ » قُلْنَا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلمُ، فَسَكَتَ حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّهُ سَيُسَمِّيهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ. قَالَ: « أَلَيْسَ يَوْمَ النَّحْرِ؟ » قُلْنَا: بَلَى. قَالَ: « فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ، كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، وَسَتَلْقَوْنَ رَبَّكُم فَيَسْأْلُكُمْ عَنْ أَعْمَالِكُمْ، أَلاَ فَلاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ، أَلاَ لِيُبَلّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ، فَلَعلَّ بَعْضَ مَنْ يَبْلُغُهُ أَنْ يَكُونَ أَوْعَى لَهُ مِنَ بَعْضِ مَنْ سَمِعَهُ » ثُمَّ قَالَ: « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ، أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ؟ » قُلْنَا: نَعَمْ، قَالَ: « اَللَّهُمْ اشْهدْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Bakrah Nufai' bin Al-Harits radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda,

“Sesungguhnya zaman benar-benar beredar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu terdiri dari dua belas bulan, empat bulan di antaranya adalah bulan haram (mulia), tiga bulan di antaranya berurutan, yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, dan Muharram, dan satu bulan lagi Rajab Mudhar yang berada menyendiri di antara Jumadil Akhir dan Sya'ban. 

Baginda bersabda, “Bulan apa sekarang ini?” 

Kami berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sampai kami menyangka bahwa baginda akan menamakannya dengan selain namanya (nama yang baru).

Baginda bersabda, “Bukankah sekarang bulan Dzul Hijjah?” 

Kami berkata, “Benar.” 

Baginda bersabda, “Negeri apakah ini?” 

Kami berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian baginda diam, sampai kami menyangka baginda akan menamakannya dengan selain namanya (nama baru). 

Baginda bersabda, “Bukankah negeri ini Tanah Haram?” 

Kami berkata, “Benar.” 

Baginda bersabda, “Hari apa ini?” 

Kami berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian baginda diam, sampai kami menyangka baginda akan menamakannya dengan selain namanya (nama baru). 

Baginda bersabda, “Bukankah hari ini adalah hari Nahr?” 

Kami berkata, “Benar.” 

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, harga diri kalian haram atas kalian, seperti haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini, kalian akan bertemu dengan tuhan kalian, maka kalian akan ditanya tentang amal-amal kalian, janganlah kalian kembali sesudahku menjadi orang-orang kafir, sebagian kalian memukul leher sebagian yang lain (saling membunuh). Ingatlah hendaknya orang yang hadir mengabarkan kepada yang tidak hadir, bisa jadi orang yang disampaikan (diberitahu) lebih paham dari orang-orang yang mendengarnya langsung.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, bukankah aku sudah menyampaikannya?” Ketahuilah, bukankah aku sudah menyampaikannya?” 

Kami berkata, “Ya.” 

Baginda bersabda, “Ya Allah, saksikanlah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3197, 4406, 4662 Muslim no. 1679]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Bakrah Nufai' bin Al-Harits radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan mereka pada hari Nahr, yaitu pada haji wada'. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  memberitahukan kepada mereka bahwa zaman terus bergilir seperti keadaan di hari Allah menciptakan langit dan bumi, yakni walaupun zaman telah berubah dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah, mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, yakni menjadikan bulan-bulan haram pada bulan-bulan yang lain, mereka menghalalkan bulan yang haram dan mengharamkan bulan yang halal, akan tetapi bertepatan pada tahun itu bahwa penundaan ini sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh Allah Ta'ala, yakni pada bulan haram.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jumlah bulan itu ada dua belas bulan, yakni Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, Rabiuts-Tsani, Jumadil-Ula, Jumadits- Tsani, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Dzu Qa'dah dan Dzul Hijjah. Inilah dua belas bulan yang telah Allah jadikan sebagai bulan bagi hamba-hamba-Nya sejak Dia menciptakan langit dan bumi. Orang-orang pada masa Jahiliyyah menghalalkan bulan Muharram dan mengharamkan bulan Shafar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, bahwa di antara dua belas bulan ini ada empat bulan haram, tiga antaranya berurutan dan satu menyendiri. Tiga yang berurutan adalah Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah dan Muharram. Allah Ta'ala menjadikan bulan ini sebagai bulan haram diharamkan pada bulan ini berperang, seseorang tidak boleh menyakiti orang lain, kerana bulan-bulan ini adalah bulan perjalanan manusia dalam menunaikan ibadah haji dan ini merupakan hikmah Allah Ta'ala.

Yang benar bahwa peperangan tetap diharamkan, hal itu belum dinasakh (dihapus) sampai sekarang, sesungguhnya haram memulai peperangan pada bulan-bulan haram tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan bulan Rajab di antara dua Jumadil Akhir dan Sya'ban,”  yaitu bulan keempat, mereka pada zaman Jahiliyah menunaikan haji pada bulan ini, mereka menjadikan bulan Rajab sebagai bulan untuk menunaikan umrah dan tiga bulan yang lainnya sebagai bulan untuk menunaikan haji, maka jadilah bulan ini diharamkan, haram di dalamnya untuk berperang, sebagaimana juga diharamkan pada bulan Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah dan Muharram, jadi, bulan-bulan dalam setahun yang Allah jadikan pada hamba-Nya adalah dua belas bulan, empat bulan di antaranya diharamkan, sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur'an yaitu Dzul Qa'dah, Dzul Hijjah, Muharram dan Rajab.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Bulan apa ini? Negeri apa ini? dan hari apa ini?”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya demikian untuk menghadirkan perhatian dan konsentrasi mereka, kerana perkara ini adalah perkara yang sangat besar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Bulan apa ini?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kerana mereka menjauhkan diri dari bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang bulan, padahal bulan itu sesuatu yang jelas yaitu Dzulhijjah. Namun, sebagai adab mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka tidak mengatakan bahwa ini adalah bulan Dzulhijjah, kerana hal itu sudah jelas. Bahkan termasuk dari adab mereka, mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam sebentar, kerana seseorang ketika berbicara kemudian diam, maka akan menimbulkan perhatian, apa yang membuatnya diam? Dan ini adalah cara untuk mengungkapkan sesuatu. Sesungguhnya seseorang jika melihat orang lain di sekitarnya tidak memperhatikannya, maka ia akan terdiam sampai mereka kembali memperhatikannya, kerana pembicaraan jika terus berlangsung, maka akan terjadi kelengahan bagi orang yang mendengarnya, namun jika ia berhenti, maka akan menimbulkan perhatian mereka, kenapa ia berhenti berbicara?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiam, maka Abu Bakrah mengatakan, “Sehingga kami menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menamakannya dengan nama lain.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ini bulan Dzulhijjah? Para sahabat menjawab, “Benar.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Ini negeri apa?” Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Padahal mereka tahu bahwa negeri yang dimaksud adalah Mekah, tetapi kerana adab dan penghormatan mereka terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mereka tidak mengatakan, “Ini sesuatu yang sudah diketahui ya Rasulullah buat apa engkau menanyakannya?” Tetapi mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sampai kami menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menamakannya dengan nama lain. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah Al-Baldah?” Al-Baldah adalah nama lain dari nama kota Mekah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Hari apa ini?” Mereka mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Seperti jawaban mereka pertama kali. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda lagi, “Bukankah hari ini hari Nahar (hari raya Qurban)?Para sahabat menjawab, “Benar.” Mereka mengetahui bahwa Mekah adalah tanah Haram, bahwa bulan Dzulhijjah itu bulan haram dan hari Nahar itu adalah hari haram, yakni semuanya haram dan dihormati.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan harga diri kalian itu haram, seperti haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian ini.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memastikan pengharaman ketiga hal tersebut, yakni darah, harta dan harga diri, semuanya itu dihormati. Darah ini mencakup jiwa dan hal-hal yang ada kaitan dengannya, harta mencakup yang sedikit dan yang banyak, harga diri mencakup zina, liwat (homoseksual) dan tuduhan palsu, dapat juga mencakup ghibah, mencela dan cacian. Maka tiga hal ini diharamkan bagi seorang muslim untuk merusaknya dari saudaranya sesama muslim. Tidaklah halal darah seseorang muslim untuk ditumpahkan kecuali dengan salah satu dari yang tiga ini, yaitu laki-laki atau perempuan yang sudah menikah melakukan zina, membunuh jiwa dengan jiwa dan orang yang meninggalkan agamanya yaitu yang memisahkan diri dari jamaah.

Harta juga diharamkan, tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan keridhaan hatinya, Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu.
(QS. An-Nisâ: 4: 29)

Harga diri juga diharamkan, tidak boleh bagi seorang muslim memfitnah saudaranya, menuduhnya, bahkan jika seseorang menuduh orang yang Iffah (selalu menjaga dirinya) yang jauh tuduhannya itu, misalnya ia mengatakan, “Wahai penzina.” Atau, “Engkau penzina.” Atau, “Engkau pelaku liwat,” atau yang selainnya, maka ia harus mendatangkan empat saksi yang menyaksikan perzinaan itu secara jelas. Jika tidak, maka penuduh ini akan diancam dengan tiga hukuman, yakni hukuman yang pertama, dia dicambuk dengan delapan puluh kali cambuk. Yang kedua persaksiannya tidak diterima selamanya, jika ia bersaksi di pengadilan maka persaksiannya ditolak, baik itu persaksian tentang harta atau persaksian tentang darah, atau persaksian bahwa ia melihat hilal atau persaksian yang lainnya, semuanya harus ditolak di pengadilan. Yang ketiga ia dianggap seorang yang fasik walaupun dulunya ia seorang yang adil, ia tidak boleh menikahkan anak perempuannya, saudari perempuannya dan tidak boleh menjadi imam bagi orang muslim menurut sebagian besar ulama, tidak boleh juga dijadikan sebagai wali yang mengurusi perkara orang muslim, sebab ia telah menjadi fasik. Inilah ancaman bagi orang yang menuduh orang lain dengan tuduhan zina dan liwat, kecuali ia sanggup menghadirkan empat orang saksi, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, 

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Oleh kerana mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang dusta.”
(QS. An-Nûr: 24: 12)

Walaupun misalnya orang ini merupakan orang yang paling jujur, jika memang ia tidak mampu mendatangkan empat orang saksi, maka ia dicambuk sebanyak delapan puluh kali.

Kerananya ada empat orang dari laki-laki yang bersaksi kepada seorang lelaki yang berbuat zina yaitu pada masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhu, dia mendatangkan para saksi dan bertanya kepada mereka. Umar berkata kepada saksi yang pertama, “Apakah kamu menyaksikan ia berzina?” Kemudian ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kamu menyaksikan kemaluannya masuk kedalam vaginanya dan hilang seperti hilangnya tutup celak ke dalam botol celaknya?” Ia berkata, “Ya.” Kemudian datang saksi yang kedua. Ia berkata, “Ya.” Kemudian didatangkanlah saksi yang ketiga, maka ia mengatakan, “Ya.” Kemudian didatangkanlah saksi yang keempat, lalu ia terdiam dan berkata, “Aku tidak menyaksikan ia berzina, tetapi aku melihat perkara yang mungkar.” Kemudian ia berkata lagi, “Aku melihat seorang laki-laki dengan seorang perempuan bergerak-gerak seperti bergeraknya orang yang sedang berjima tetapi aku tidak bersaksi.” Kemudian Umar mencambuk tiga orang yang pertama dengan delapan puluh cambukan dan membebaskan orang yang keempat.

Harga diri merupakan sesuatu yang sangat dihormati, keranaya sebagaimana yang kalian dengar, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.” (QS. An-Nûr: 24: 4)

Ini adalah hukuman yang pertama“Dan janganlah kalian terima persaksiannya selama-lamanya.” Ini adalah ancaman yang kedua, “Mereka inilah orang-orang fasik,” Ini adalah ancaman yang ketiga. Kemudian Allah Ta'ala berfirman,

“Kecuali mereka yang bertaubat setelah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. An-Nûr: 24: 4)

Yakni, mereka tidaklah fasik, tetapi dengan syarat bertaubat dan memperbaiki diri, tidak cukup dengan mengucapkan, “Saya bertaubat,” sampai kita menyaksikan apakah orang ini telah memperbaiki dirinya atau belum?

Kerananya pantaslah bagi orang yang kondisinya seperti ini ditekankan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya yang mulia ini, dalam persaksian para sahabat pada hari Nahar di Mina. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta kalian, dan harga diri kalian diharamkan atas kalian, sebagaimana haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Ketahuilah, janganlah kalian kembali setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagaimana kalian saling membunuh sebagian yang lain.” Kerana jika orang-orang muslim saling membunuh satu sama lainnya, maka kafirlah mereka, kerana tidak dihalalkan darah orang muslim kecuali jika ia telah menjadi kafir. Orang muslim tidak mungkin menghunuskan senjata terhadap saudaranya, akan tetapi tidak ada seorang pun yang menghunuskan senjatanya kepada orang muslim kecuali orang itu kafir. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyifati orang-orang muslim, jika mereka saling bunuh-membunuh, maka mereka itu kafir. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah, janganlah kalian kembali setelahku menjadi orang-orang kafir, sebagaimana kalian saling membunuh sebagian yang lain.”

Masalah ini berdasarkan pada dalil-dalil yang ada, di dalamnya terdapat beberapa perincian, bahwa orang yang membunuh orang muslim maka ia halal untuk dibunuh,  kerana ia telah membunuh tanpa izin syar'i sehingga ia kafir, keluar dari agama. Jika ia membunuhnya kerana ada persepsi (takwil) atau bertujuan untuk menguasai kepemimpinan atau kerajaan, maka tidaklah dikafirkan dengan kafir murtad, tetapi ia kafir yang tidak mengeluarkannya dari Islam. Dalil tentang hal ini adalah firman Allah Ta'ala,

“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, kerana itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih).” (QS. Al-Hujurât: 49: 9-10)

Inilah penghimpunan antara ayat ini dan hadits. Maka dikatakan, jika orang-orang muslim membunuh, masing-masing mereka menghalalkan darah saudaranya, maka ia telah kafir. Namun, jika ia membunuhnya untuk mendapatkan kekuasaan, atau membela kesukuan, atau juga kerana fanatisme, dan yang serupanya, maka ia tidak dikafirkan dengan kafir murtad tetapi kafir yang tidak mengeluarkannya dari Islam, hendaklah ia bertaubat dan beristighfar. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah telah aku sampaikan, apakah telah aku sampaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada sahabat radhiyallahu anhum, mereka berkata, “Ya,” yakni engkau telah menyampaikannya. Renungkanlah, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulangnya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah sampai kepada satu masyarakat yang begitu besar dan melimpah ruah di padang Arafah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada mereka dengan mengatakan, “Apakah telah aku sampaikan?”  Mereka mengatakan, “Ya.” Kemudian Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jarinya ke atas dan menjatuhkan pandangannya kepada manusia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya Allah, saksikanlah atas mereka bahwa aku telah menyampaikan kepada mereka.”  Dan demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaksi kepada Tuhannya bahwa baginda telah menyampaikan pada umatnya, dan mereka juga telah menyatakannya pada hari Nahar.

Dan kita bersaksi kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya dan orang-orang yang kita dengar dari hamba-Nya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan sesuatu yang sangat jelas, telah menyampaikan amanat, telah menunaikan risalah dan telah memberikan nasehat kepada umat ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meninggalkan kebaikan kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkannya kepada umat ini, dan tidaklah ada keburukan kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberi peringatan darinya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah meninggalkan umatnya pada tempat yang terang benderang dan tidak ada satu perkara pun dari perkara agama dan dunia yang dibutuhkan oleh umatnya, kecuali telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan. Tetapi yang keliru adalah dari orang yang menyampaikan kabarnya, dialah yang terkadang lalai dalam memahaminya, terkadang juga ia mempunyai niat buruk, lalu ia mengharamkan yang baik, terkadang juga terdapat sebab-sebab yang lainnya, hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah menyampaikannya dengan sempurna.

Para sahabat radhiyallahu anhum semuanya telah menyampaikan apa yang mereka dengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak menyembunyikan satu sunnah pun, mereka telah menyampaikan apa yang datang dari wahyu dan tidak menyembunyikannya sedikit pun, maka datanglah syariat -segala puji bagi Allah- dengan kesempurnaan dari segala sisinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikannya dari Tuhannya, kemudian disampaikan oleh para sahabat radhiyallahu anhum, kemudian oleh para Tabi'in dari orang-orang sebelum mereka, dan seterusnya sampai pada saat ini kita sekarang -segala puji bagi Allah.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar orang yang hadir itu menyampaikannya kepada orang yang tidak hadir, yakni orang yang menyaksikan dan mendengar khutbahnya agar menyampaikannya kepada sebagian umat yang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa barangkali orang yang disampaikan itu lebih dapat memahami perkataannya dibandingkan orang yang mendengarkan, wasiat ini datangnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu wasiat bagi orang yang hadir pada saat itu, dan wasiat bagi orang yang mendengarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari kiamat. Maka, apabila kita mendengar satu hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib menyampaikannya kepada umat.

Kita ditugaskan untuk menyampaikan, kita dilarang menjadi seperti orang Yahudi yang dibebankan Kitab Taurat, kemudian mereka tidak mahu menanggungnya. Allah menyifati mereka dengan sejelek-jeleknya sifat sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (QS. Al-Jumu'ah: 62: 5)

Keledai jika memikul kitab, maka hal itu tidaklah bermanfaat baginya. Jika memang keledai yang memikul kitab itu tidak dapat memanfaatkannya, maka orang yang membawa Al-Qur'an dan As-Sunnah lalu tidak dapat memanfaatkannya, ia seperti keledai yang memikul kitab. Kita memohon kepada Allah agar memberikan rezeki ilmu yang bermanfaat dan amal shalih kepada kita sekalian.

Faedah yang diambil dari hadits ini, peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya dari saling membunuh, namun sangatlah disayangkan bahwa hal tersebut terjadi di antara mereka, telah terjadi fitnah pada masa Utsman bin Affan radhiyallahu anhu sampai pada hari ini, dan fitnah ini masih terus berlansung di antara manusia, tapi terkadang dapat menyulut ke tempat yang lebih meluas lagi, dan terkadang-kadang terjadi ditempat tertentu.

Kewajiban seorang muslim adalah berusaha menghindari pertumpahan darah saudaranya semampunya. Ya, jika seseorang dicoba pada dirinya dengan adanya seorang perampok yang mengancam jiwanya atau hartanya atau kehormatannya, maka ia wajib mempertahankan dirinya, tetapi dengan seringan mungkin, jika perampok itu tidak mahu menyerah kecuali dengan cara dibunuh, maka bunuhlah dia, jika ia telah membunuhnya, maka si perampok akan dimasukkan ke dalam neraka. Jika orang yang mempertahankan diri itu terbunuh, maka dia mati syahid. Seperti yang diterangkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lalu.

Dalam hadits ini terdapat peringatan terhadap harga diri orang-orang muslim, bahwasanya tidak boleh bagi seorang muslim mencemarkan harga diri saudaranya, baik itu benar ataupun dusta. Jika ia benar maka ia telah melakukan ghibah, dan jika ia berdusta maka ia telah mencemarkan harga dirinya. Jika anda melihat pada saudaranya anda sesuatu yang anda kritisi dalam ibadahnya, akhlaknya, atau muamalahnya, maka anda harus menasehatinya. Ini adalah kewajiban anda, menasehatinya baik secara lisan mahupun tulisan, maka dengan ini lepaslah tanggung jawab anda.

Akan tetapi, disini terdapat sesuatu yang diharuskan, yakni jika anda ingin menasehatinya melalui tulisan, maka hendaknya menyebutkan nama anda, jangan takut dan jangan jadi pengecut, sebutkanlah dari Fulan untuk saudaranya Fulan bin Fulan...Assalamualaikum warahmatullahi wa Barakaatuh, Amma ba'du...maka saya memberikan koreksi atas anda pada hal ini dan itu. Dengan tujuan jika ia tahu nama anda, maka ia akan mengundang atau mendatangi anda untuk membicarakan permasalahan yang ada.

Adapun jika anda pengecut, melemparkan dari balik tembok, maka ini tidaklah pantas bagi seorang muslim, ini bukanlah sebuah nasehat, kerana kamu akan tetap menanggungnya dalam hatimu atas hal yang kamu anggap keliru pada dirinya. Dan dia akan tetap dan terus pada apa yang ia lakukan, kerana orang yang menulis nasehat padanya tidak berada di hadapannya sehingga dia dapat menjelaskan cara pandangnya, menafsirkan cara pandangnya dengan cara pandang yang lainnya. Maka tetaplah keburukan dan kesalahan itu sebagaimana adanya. Tetapi jika ia menuliskan namanya, maka ia akan berterima kasih atas nasehatnya itu, dan barangkali ia dapat berdialog dengannya, menjelaskan apa yang ada pada dirinya, sehingga salah seorang di antara mereka merasa puas dengan pendapat orang lain.

Hadits 214.
وَعَنْ أَبي أُمَامَةَ إِيَاسِ بْنِ ثَعْلَبَةَ الْحَارِثِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِيءٍ مُسْلِمٍ بِيَمِيْنِهِ فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ » فَقَالَ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيْرًا يَا رَسُولَ الله؟ فَقَالَ: « وَإِنْ قَضِيْبًا مِنْ أَرَاكٍ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Umamah lyas bin Tsa'labah Al-Haritsi radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa yang mengambil secara zalim hak seorang muslim dengan cara bersumpah palsu, maka Allah mewajibkan neraka untuknya dan mengharamkan surga atasnya.

Kemudian seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, walaupun hanya perkara itu benda yang kecil?

Baginda menjawab, “Walaupun ia hanya kayu siwak.”

[Shahih Muslim no. 137]

Hadits 215.
وَعَنْ عَدِيِّ بْنِ عَمِيرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَقُولَ: « مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ، كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » فَقَامَ إَلَيْهِ رَجُلٌ أَسْودُ مِنَ الأَنْصَارِ، كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ قَالَ: « وَمَالَكَ؟ » قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: « وَأَنَا أَقُولُهُ الْآن: مَنِ اسْتعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِيءْ بِقَلِيلِهِ وَكَِثيرِهِ، فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِِىَ عَنْهُ انْتَهَى » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Adi bin Amirah radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Barangsiapa daripada kamu yang dilantik untuk melaksanakan sesuatu tugasan, kemudian dia menyembunyikan daripada kami walaupun hanya sebatang jarum, atau sesuatu yang lebih kecil daripada itu, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan) yang pada hari Kiamat kelak, dia akan bawa.

Kemudian seorang lelaki hitam dari Ansar berdiri sambil berkata, “Wahai Rasulullah, kalau begitu aku akan lepaskan tugas yang pernah tuan serahkan kepada aku!.

Baginda bertanya, “Mengapa wahai saudara?

Lelaki itu menjawab, “Aku telah mendengar bahawa tuan pernah bersabda seperti ini dan seperti ini.

Baginda bersabda, “Sekarang aku menyampaikan bahwa barangsiapa di antara saudara-saudara sekalian yang aku berikan tugas atas suatu amal hendaklah dia serahkan hasil sama ada sedikit atau banyak. Apa-apa yang diberikan kepada saudara, ambilah, dan apa-apa yang dilarang, jangan diambil.

[Shahih Muslim no. 1833]

Hadits 216.
وَعَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ أَقْبَلَ نَفرٌ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: فُلاَنٌ شَهِيدٌ، وَفُلاَنٌ شهِيدٌ، حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ فَقَالُوا: فلُاَنٌ شَهِيدٌ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « كَلاَّ إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّها أَوْ عَبَاءَةٍ » رَوُاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Umar bin Khattab radhiyallahu anhu, dia berkata,

“Ketika berlaku perang Khaibar, ada beberapa sahabat datang berjumpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Fulan mati Syahid, “Fulan mati syahid.” Sehingga mereka menyebut nama seorang lagi, “Fulan mati syahid.”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu tidak benar sama sekali, sesungguhnya aku melihatnya di neraka kerana dia mengambil sehelai pakaian daripada hasil harta rampasan perang.”

[Shahih Muslim no 114]

Hadits 217.
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْحَارِثِ بْنِ رِبْعِيِّ رَضُيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَامَ فِيهمْ، فَذَكَرَ لَهُمْ أَنَّ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْإِيمَانَ بِاللَّهِ أَفْضَلُ الْأَعْمَالِ، فَقَامَ رَجلٌ فَقَال: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْت إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، تُكَفِّرُ عَنِي خَطَايَاىَ؟ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « نَعَمْ إِنْ قُتِلْتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقْبِلٌ غيْرَ مُدْبِرٍ » ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كَيْفَ قُلْتَ؟ » قَالَ: أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَتُكَفرُ عَنِّي خَطَايَاي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ، مُقبِلٌ غَيْرَ مُدْبِرٍ، إِلَّا الدَّيْن فَإِنَّ جِبْرِيلَ قَالَ لِي ذَلِكَ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Qatadah Al-Harits bin Rib'i radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa suatu ketika baginda bersama para sahabat, lalu baginda bersabda,

Sesungguhnya jihad fi sabilillah serta dan beriman kepada Allah itu adalah amalan paling utama.”

Maka seorang lelaki berdiri bertanya, “Wahai Rasulullah bagaimana jika aku terbunuh dalam jihad fi sabililah, adakah dosa-dosaku akan diampunkan?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya,” jika kamu terbunuh di jalan Allah, sabar dan mengharap pahala, mara ke hadapan dan tidak lari ke belakang.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa yang kamu tanyakan tadi?

Lelaki itu mengulangi pertanyaan, “Bagaimana jika aku terbunuh dalam jihad fi sabilillah, apakah dosa-dosaku akan diampunkan?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, jika kamu sabar dan mengharap pahala, mara ke hadapan dan tidak lari ke belakang kecuali sekiranya kamu mempunyai hutang. Begitulah apa yang disampaikan Jibril kepadaku.”

[Shahih Muslim no. 1885]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam penjelasan keutamaan jihad di jalan Allah dan mati syahid. Jihad di jalan Allah adalah puncak Islam yang paling tinggi, sebagaimana yang dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mati syahid di jalan Allah akan menghapus segala sesuatu kecuali hutang, demikian jika ia mengambil harta rampasan perang maka ia tidak dikatakan syahid.

Burdah adalah salah satu dari jenis pakaian, dan iba'ah juga (jenis pakaian) yang sudah dikenal. Ghallaha yakni yang ia sembunyikan, ia merampasnya dari harta orang-orang kafir pada waktu petang, kemudian ia menyembunyikannya untuk dirinya sendiri, maka ia akan diadzab di neraka Jahannam dengan sebab itu, hilanglah darinya sifat yang mulia yaitu syahid, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu tidak benar sama sekali.” Yakni ia bukan mati syahid, kerana ia menyembunyikan sesuatu yang ringan, maka terhempaslah pahala syahidnya dan jadilah ia di neraka. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatnya itu.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 161)

Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan tidak sepantasnya kita menghukumi seseorang bahwa ia mati syahid, walaupun ia terbunuh dalam pertempuran antara orang-orang muslim dan orang-orang kafir, kita jangan mengatakan, “Fulan mati syahid,” kerana kemungkinan ia menyembunyikan harta rampasan perang atau barang lainnya, walaupun ia hanya menyembunyikan sepersen uang, atau satu buah paku, maka akan hilang gelar syahidnya. Kemungkinan juga niatnya itu tidak benar, misalnya ia berniat perang supaya terkenal, atau menginginkan posisi tertentu. Kerananya ditanyakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang berperang dengan sangat berani, berperang untuk ketenaran, berperang jihad di jalan Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berperang untuk menegakkan kalimat Allah, maka ia di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 123, 2810, 3126, 7458 dan Muslim no. 1905, 1904]

Niat merupakan perkara batin yang tidak diketahui kecuali Allah. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada orang yang terluka di jalan Allah, maka Allah mengetahui orang yang terluka di jalan-Nya,” terkadang kita menyangka bahwa ia terbunuh di jalan Allah, sedangkan kita tidak mengetahuinya secara pasti, hanya Allah-lah yang mengetahui orang yang terluka di jalan-Nya. “Melainkan dia akan datang pada hari kiamat dengan darah yang berwarna darah (merah) sedangkan baunya seharum kasturi.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5533]

Kerananya, Imam Al-Bukhari rahimahullah menerjemahkan dalam kitab shahihnya, ia berkata, Bab larangan mengatakan, “Fulan Syahid.” Yakni janganlah kita  memastikannya dengan mengatakan, “Fulan Syahid,” kecuali jika telah dipastikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau disebutkan dari sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan baginda telah menetapkannya, maka pada saat seperti ini boleh menghukuminya dengan kesyahidan secara pasti, jika tidak, maka jangan mensyahidkan seseorang secara pasti. Di zaman kita sekarang ini, gelar syahid sangatlah mudah, setiap orang memberikan gelar ini, sampai jika ia terbunuh, sedangkan kita mengetahui bahwa ia terbunuh kerana membela fanatisme dan kesukuannya, dan kita juga tahu tentang keadaannya bahwa ia bukanlah seorang laki-laki yang mukmin. Namun demikian, tetap saja mereka mengatakan, “Fulan Syahid.”

Umar radhiyallahu anhu telah melarang untuk mengatakan bahwa Fulan syahid. Umar radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhhya kalian mengatakan, “Fulan Syahid, Fulan terbunuh di jalan Allah,” barangkali dia melakukan ini dan itu, yakni dapat saja ia menyembunyikan harta rampasan perang. Akan tetapi ucapkanlah, “Barangsiapa yang terbunuh atau mati di jalan Allah, maka ia syahid secara umum.” Adapun ucapan, “Fulan Syahid,” walaupun ia terbunuh dalam peperangan dengan darah yang berceceran, maka jangan katakan syahid. Hanya Allah yang mengetahui keadaannya, terkadang di dalam hatinya ada sesuatu yang tidak kita ketahui. Kemudian kita mensyahidkan atau tidak mensyahidkan, jika ia syahid di sisi Allah, maka ia syahid walaupun kita tidak mengatakan bahwa ia syahid, dan jika orang itu tidak syahid di sisi Allah, maka ia bukanlah seorang syahid walaupun kita mengatakan bahwa ia syahid. Kerana hendaklah kita mengatakan, “Kita mengharapkan semoga Fulan menjadi syahid.” Atau kita mengucapkan secara umum, “Barangsiapa terbunuh di jalan Allah, maka ia syahid.” Dan ucapan-ucapan yang serupa dengan ini.

Adapun hadits yang kedua, di dalamnya terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya mati syahid itu jika seseorang terbunuh di jalan Allah dalam keadaan sabar, mengharapkan pahala dari Allah, berhadapan dengan musuhnya dan tidak membelakanginya (pantang mundur), maka yang demikian ini akan menghapuskan kesalahan-kesalahan dan kejelekan-kejelekannya kecuali hutang. Jika ia berhutang, maka hutangnya tidaklah gugur dengan kesyahidannya, kerana hutang itu adalah hak manusia, dan hak manusia itu harus dipenuhi.

Dalam hadits ini juga terdapat dalil tentang besarnya perkara hutang. Tidaklah sepantasnya seseorang menganggap remeh hal ini. Namun sangat disayangkan, di zaman sekarang ini kita begitu meremehkan masalah hutang. Banyak kita temukan sebagian orang yang membeli sesuatu yang sebenarnya ia tidak begitu memerlukannya, bahkan hanya sebagai barang pelengkap saja, ia membelinya dengan tanggungan kredit atau lain sebagainya, dan ia tidaklah memperdulikan hal ini. Terkadang juga kita menemukan seseorang yang fakir membeli mobil dengan harga delapan puluh ribu riyal atau lebih, padahal ia dapat saja membeli mobil dengan harga dua puluh ribu riyal, semua ini terjadi kerana rendahnya pemahaman dalam agama, dan lemahnya keyakinan. Jagalah, jangan sampai membeli sesuatu dengan jalan kredit, walaupun kita sangat memerlukannya. Hematlah sehemat mungkin agar terjatuh dari hutang. Kita meminta kepada Allah agar kita menjaga kita dari hal-hal yang dimurkai-Nya dan melepaskan kita dari hutang kepada-Nya dan kepada hamba-Nya.

Hadits 218.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ؟ » قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ. فَقَالَ: « إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقيامَةِ بِصَلإةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ، وَيَأْتِي وَقَدْ شَتَمَ هَذَا، وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا، وَسَفَكَ دَمَ هذَا، وَضَرَبَ هَذَا، فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْه، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ » رٕوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kamu, siapakah orang yang muflis itu?”

Para sahabat menjawab, “Menurut kami, orang yang muflis di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan harta kekayaan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya umatku yang muflis adalah orang yang pada hari Kiamat datang dengan membawa amalan shalat, puasa dan zakat tetapi dia selalu mencaci, menuduh dan memakan harta orang lain serta membunuh dan menyakiti orang lain. Maka itu disebabkan itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang daripada mereka (yang dizhalimi) sehingga pahalanya habis, sedangkan tuntutan kesalahannya masih banyak yang belum dipenuhi. Kemudian, selepas pahala amalannya telah habis, maka sebagian dosa setiap orang dari mereka (orang yang dizhalimi) diambil dan ditanggungkan kepada orang yang menganiaya, sehingga akhirnya dia dicampakan ke dalam neraka.”

[Shahih Muslim no. 2581]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu, siapakah orang yang muflis itu?” Pertanyaan di sini adalah untuk pemberitahuan, kerana orang yang memahaminya terkadang memahami hal itu dengan kejahilan, dia tidak mengerti, maka ia bertanya kepada yang lainnya. Terkadang memahaminya untuk memperingatkan lawan bicaranya terhadap apa yang disampaikannya, atau untuk menetapkan hukum. Contoh kedua sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika baginda ditanya tentang penjualan kurma basah dengan kurma kering, baginda bersabda, 
“Apakah ia akan berkurang jika telah mengering.231 yakni kurma basah. Mereka menjawab, “Ya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya.

231[Shahih Ibnu Majah no. 1835, dishahihkan Syaikh Al-Bani rahimahullah di dalam Al-Irwa no. 1352 hadits jual beli.]

Adapun dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberitahukan kepada para sahabat tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, atau mereka tidak mengetahui maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kamu, siapakah orang yang muflis itu?” mereka menjawab, “Menurut kami, orang yang muflis di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan harta kekayaan.” Yakni orang yang tidak memiliki uang dan harta benda. Orang yang muflis itu adalah orang yang fakir. Inilah makna muflis yang dikenal di tengah masyarakat. Jika mereka berkata, “Siapa yang muflis?” Yakni orang yang tidak memiliki uang, tidak memiliki harta benda, bahkan ia orang yang fakir. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,  “Sesungguhnya umatku yang muflis adalah orang yang pada hari Kiamat datang dengan membawa amalan shalat, puasa dan zakat,” dalam riwayat yang lain, “Orang yang datang dengan kebaikan seperti gunung.”  Yakni ia datang dengan kebaikan yang banyak, ia memiliki peninggalan kebaikan, namun ia sering mencaci ini, memukul ini, mengambil harta ini dan menumpahkan darah. Yakni ia sering melakukan kejahatan kepada orang lain dengan beragam kejahatan, dan orang-orang yang dijahati olehnya ingin mengambil hak mereka darinya. Hak yang tidak mereka ambil di dunia, akan mereka ambil di akhirat. Maka dilaksanakanlah qishash bagi mereka darinya, orang yang satu akan mengambil kebaikannya begitu juga orang yang lain, dengan keadilan dan qishash yang benar. Jika kebaikannya telah habis, maka diambillah dari keburukan orang-orang itu dan dilemparkan kepadanya kemudian ia dilemparkan ke nereka. Na'uzubillah. Habislah kebaikannya. Pahala shalatnya habis, pahala zakatnya habis, pahala puasanya habis, semua kebaikannya habis. Maka diambillah dari keburukan orang-orang yang dizhaliminya dan dilemparkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam api neraka. Na'uzubillah. Benarlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa inilah sebenarnya orang yang muflis. Adapun orang yang muflis di dunia, maka sesungguhnya dunia itu datang dan pergi, boleh jadi sekarang orang itu fakir kemudian ia menjadi kaya raya, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, orang yang benar-benar muflis adalah orang yang muflis dari kebaikannya yang sudah susah payah ia dapatkan, sedangkan di hadapannya hari Kiamat yang akan menyaksikannya, kemudian diambillah kebaikannya untuk fulan dan fulan.

Dalam hadits ini juga terdapat peringatan terhadap kezhaliman kepada makhluk. Sesungguhnya seseorang wajib melaksanakan hak orang lain selagi ia hidup dan sebelum matinya. Sehingga qishash itu terjadi di dunia dengan sesuatu yang dapat ia lakukan. Adapun di akhirat, maka di sana tidak ada dinar mahupun dirham, sehingga ia tidak dapat menebus jiwanya, di sana tidak ada yang lain kecuali kebaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka itu disebabkan itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada setiap orang daripada mereka (yang dizhalimi) sehingga pahalanya habis,” Jika kebaikannya telah habis, maka diambillah keburukan orang-orang itu, kemudian dilemparkan kepadanya lalu ia pun dilemparkan ke dalam neraka. Tetapi hadits ini tidaklah menunjukkan bahwa ia akan kekal di neraka, tetapi ia diadzab sesuai dengan keburukan orang lain yang dilemparkan kepadanya. Setelah itu, ia akan ditempatkan ke surga, kerana orang-orang mukmin tidaklah kekal di neraka. Akan tetapi ingatlah, bahwa panasnya neraka itu begitu dahsyat, seseorang tidak akan sabar berada di neraka walaupun hanya sekejap. Yang sekarang ini adalah api dunia, maka bagaimana dengan api akhirat? Semoga Allah melindungi kita sekalian dari adzab neraka.

Hadits 219.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ، وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ، فَأَقْضِيَ لَهُ بِنَحْو مَا أَسْمَعُ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ النَّارِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ .
Daripada Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa sama seperti kalian dan kalian akan mengadukan persoalan kalian kepadaku. Bisa jadi, sebagian kalian lebih pandai dalam memberikan hujjah (argumentasi) dari sebagian yang lain, maka aku mengadili berdasarkan dengan apa yang aku dengar, maka barangsiapa yang telah aku putuskan baginya dengan hak saudaranya, maka berarti aku telah memberikan baginya potongan dari api neraka.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6967, 7169 Muslim no. 1713]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab, “Haramnya kezhaliman dan kewajiban mengembalikan sesuatu yang dizhalimi kepada pemiliknya.” Riwayat dari Ummu Salamah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa sama seperti kalian dan kalian akan mengadukan persoalan kalian kepadaku. Bisa jadi, sebagian kalian lebih pandai dalam memberikan hujjah (argumentasi) dari sebagian yang lain, maka aku mengadili berdasarkan dengan apa yang aku dengar, maka barangsiapa yang telah aku putuskan baginya dengan hak saudaranya, maka berarti aku telah memberikan baginya potongan dari api neraka.”

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia biasa seperti kita, bukanlah malaikat. Tetapi baginda adalah manusia yang membutuhkan apa yang dibutuhkan manusia sesuai dengan tabiat kemanusiaan. Bahkan baginda bisa merasa lapar dan merasa haus, merasa dingin dan merasa panas, tidur dan bangun, makan dan minum, ingat dan lupa, mengetahui dan tidak mengetahui sebagian yang lain, seperti manusia seutuhnya. Kerananya baginda bersabda, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa seperti kalian.  Demikianlah Allah Ta'ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan kepada manusia, Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Mahaesa.” 
(QS. Al-Kahfi: 18: 110) Yakni, aku bukanlah Tuhan yang disembah, bukan pula Tuhan yang dapat memberi manfaat dan mudharat, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat memberikan manfaat dan mudharat bagi dirinya.

Dengan ini terputuslah semua keserupaan orang-orang yang menghubungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  dari sesuatu yang disembah, dimintai untuk menghilangkan kemudharatan atau mendatangkan kebaikan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki semua hal itu. Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa menolak mudharat mahupun mendatangkan kebaikan kepadamu.” Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya. (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.” (QS. Al-Jinn: 72: 21-23)

Sekiranya Allah menimpakan kepadaku sesuatu yang buruk, maka tidak ada seorang pun yang mampu menghindarkannya dariku.

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya aku ini hanyalah manusia biasa sama seperti kalian.” Merupakan pembuka bagi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya, Kalian akan mengadukan persoalan kalian kepadaku. Bisa jadi, sebagian kalian lebih pandai dalam memberikan hujjah dari sebagian yang lain.” Yakni, jika aku seorang manusia seperti kalian, maka sesungguhnya aku tidak mengetahui mana di antara kalian yang benar dan mana di antara kalian yang batil. Yakni, kalian akan berhukum kepadaku pada hal-hal yang kalian perselisihkan. Sebagian kalian lebih mengetahui atas sebagian yang lain dengan hujjahnya, yakni lebih fasih, lebih hebat berbicara. Dikatakan, “Fulan mempunyai hujjah yang hebat, Fulan pandai berdebat, lebih kuat hujjahnya dari yang lain.” Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Lalu dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.” (QS. Shâd: 38: 23) Yakni, mengalahkanku dalam hal berbicara dan berdebat. Maka demikianlah maka lafazh Al-Hana artinya lebih jelas, lebih fasih, dan lebih terang. 

Terkadang anda menemukan dua orang yang saling menggugat di depan hakim, salah satunya pandai berbicara, mempunyai argumen, hujjah, kekuatan dan pandai berdebat, sedangkan yang kedua tidaklah seperti itu, walaupun hukum ada di pihaknya. Maka hakim akan memenangkan orang yang pertama, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka aku mengadili berdasarkan dengan apa yang aku dengar.”

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka aku mengadili berdasarkan dengan apa yang aku dengar,” keluasan yang sangat besar bagi para hakim, bahwa mereka tidak dibebani dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi dia hanya memutuskan berdasarkan bukti yang ada padanya, jika mereka keliru, maka pahala bagi mereka, jika mereka benar maka baginya dua pahala, tidak dibebani lebih dari itu, bahkan mereka tidak boleh menghukumi sesuatu yang berbeda dengan kenyataan, kerana jika mereka menghukuminya berbeda dengan kenyataan, maka akan menimbulkan kekacauan, keraguan dan tuduhan, dan dikatakan bahwa hakim memutuskan perkara bertentangan dengan kenyataan dikeranakan beberapa sebab.

Kerana hakim wajib memutuskan dengan sesuatu yang nyata (nampak), sedangkan perkara yang batin itu urusan Allah Ta'ala. Jika seseorang mengaku bahwa ia mempunyai uang seratus riyal pada orang lain, kemudian orang yang mengaku ini mendatangi hakim dengan dua orang saksi, maka hakim harus menetapkan seratus riyal itu dalam tanggungan si tertuduh, walaupun ada keraguan pada saksi, kecuali apabila ia berada dalam keraguan, maka wajib menelitinya, akan tetapi jika tidak terdapat kerancuan yang jelas, maka wajib ia memutuskannya, walaupun besar kemungkinan bahwa perkara itu berbeda dengan hal yang ada, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam, Maka aku mengadili berdasarkan dengan apa yang aku dengar.

Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan kepada hakim yang tidak menghukumi dengan kebenaran, dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang telah aku putuskan baginya dengan hak saudaranya, maka berarti aku telah memberikan baginya potongan dari api neraka.” Yakni hendaknya keputusan hakim itu tidak membolehkan yang haram, jika seorang hakim memutuskan untuk orang yang salah berdasarkan kenyataan dakwaan, maka sesungguhnya yang demikian itu tidak halal baginya atas apa yang telah ia hukumi kepadanya, bahkan semakin menambah dosanya, kerana ia menjadi orang yang menyampaikan kebatilan dengan cara yang batil, maka dosanya akan lebih besar ketimbang orang yang mengambil keputusan tidak dengan jalan ini.

Dalam hadits ini terdapat peringatan yang sangat keras bagi orang yang menghukumi tanpa ada bukti kuat di tangannya, kendati apapun perkaranya, walaupun orang itu adalah kerabat yang paling dekat. Para ulama rahimahullah berbeda pendapat, apakah hakim boleh memutuskan dengan pengetahuan (ilmu)nya atau tidak? Ada yang mengatakan tidak boleh, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maka aku mengadili berdasarkan dengan apa yang aku dengar,” kerana jika ia memutuskan dengan pengetahuannya, maka akan menimbulkan tuduhan, kerana pengetahuan bukan sesuatu yang zhahir yang dapat diketahui oleh setiap orang sehingga ia bisa menghukumi dengan hal tersebut. Sebagian ulama lagi mengatakan, “Bahkan harus menghukumi dengan pengetahuannya.” Yang lainnya mengatakan, “Bahkan ia harus menunda apabila ada bukti yang bertentangan dengan pengetahuannya.”

Yang benar bahwa ia tidak boleh menghukumi dengan pengetahuannya kecuali pada masalah-masalah khusus, misalnya ketika ia menghukumi dengan pengetahuannya berdasarkan hujjah dua orang yang bersengketa di pengadilan. Misalnya, jika ada dua orang yang saling menggugat di hadapannya, lalu ia menyatakan salah satu dari mereka itu benar, kemudian setelah ia bertukar pikiran, menimbang dan memutuskan, ia mengingkari apa yang dinyatakannya pertama kali, maka di sini ia boleh menghukumi dengan pengetahuannya di pengadilan. Contoh lain, jika terdapat perkara yang masyhur, yakni sudah diketahui khalayak bahwa kepemilikan ini adalah waqaf umum untuk orang-orang muslim, atau terkenal bahwa itu adalah milik fulan, berita ini sudah tersebar di kalangan masyarakat, maka di sini seorang hakim boleh menghukumi dengan pengetahuannya, kerana tuduhan dalam keadaan seperti ini tidak terjadi, hakim tidak akan dituduh dengan sesuatu, dan tidak mungkin seseorang berani menghukumi dengan pengetahuannya dan dia keliru, kerana perkara ini adalah perkara yang terkenal.

Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah adanya perincian, jika tidak, maka keputusannya harus berdasarkan kenyataan yang ada bukan atas dasar pengetahuan sang hakim. Jika ada sesuatu yang bertentangan dengan pengetahuannya, maka alihkan permasalahan itu kepada hakim yang lain, dan ia menjadi salah satu dari saksi yang ada, misalnya seseorang mengaku memiliki seratus riyal pada orang lain, kemudian orang yang dituduh mengingkarinya, dan hakim mengetahui dengan tetapnya uang seratus riyal itu pada orang yang tertuduh, maka ia tidak boleh menghukuminya dengan pengetahuannya dan tidak boleh menghukumi dengan sesuatu yang berbeda dengan pengetahuannya, tetapi ia katakan, “Saya alihkan perkara ini kepada hakim yang lain, dan saya menjadi saksi untukmu wahai yang menuduh,” maka beralihlah perkara ini kepada hakim yang lain, kemudian hakim yang pertama menjadi saksi, dan hakim yang kedua memutuskannya berdasarkan sumpah orang yang menuduh dan saksi dari hakim yang pertama.

Hadits 220.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَنْ يَزَالَ الْمُؤمِنُ فِي فُسْحَةٍ مِنْ دِينِهِ مَا لَمْ يُصِبْ دَمًا حَرَامًا » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Seorang mukmin itu senantiasa berada dalam kelapangan agamanya, selagi ia tidak menumpahkan darah yang haram.

[Shahih Al-Bukhari no. 6862]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat yang dinukilnya dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin itu senantiasa berada dalam kelapangan agamanya, selagi ia tidak menumpahkan darah yang haram.” Yakni selagi ia tidak membunuh seorang mukmin atau kafir dizimmi atau orang yang dilindungi, inilah darah-darah yang diharamkan, yakni ada empat kelompok: Darah seorang muslim, darah kafir dzimmi, darah orang yang mengadakan perjanjian, darah orang yang dilindungi. Yang paling mulia adalah darah seorang mukmin, adapun darahnya orang kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam) maka tidaklah diharamkan. Jika seseorang mengalirkan darah yang haram, maka akan sempitlah agamanya yakni dadanya akan merasa sempit dengan agamanya sehingga ia keluar darinya -Nau'udzu Billah- dan ia mati dalam keadaan kafir.

Inilah rahasia dalam firman Allah Ta'ala,

“Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisâ: 4:93)

Inilah lima balasannya: -Na'udzu Billah- Neraka Jahannam, kekal di dalamnya, kemurkaan Allah, laknat-Nya dan disiapkan adzab yang sangat besar baginya, ini bagi orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja. Kerana jika ia membunuh seorang mukmin dengan sengaja, berarti ia sudah mengalirkan darah yang diharamkan, agamanya akan menjadi di sempit, sempit dadanya, sehingga ia benar-benar keluar dari agamanya, dan jadilah ia penghuni neraka yang kekal selamanya.

Dalam hadits ini terdapat dalil, bahwa mengalirkan darah yang diharamkan adalah dosa besar, tidak ada keraguan dalam hal ini, bahwa membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah tanpa hak adalah dosa besar. Akan tetapi, apabila ia bertaubat dari pembunuhan ini, apakah taubatnya sah? Mayoritas ulama menyatakan bahwa taubatnya sah, berdasarkan keumuman ayat,

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat. (Yakni) akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Furqân: 25: 68-70)

Di sini terdapat nash yang menunjukkan bahwa orang yang bertaubat dari membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah, kecuali dengan hak, kemudian ia beriman dan beramal shalih, maka sesungguhnya Allah akan menerima taubatnya,

Allah Ta'ala berfirman,

“Katakan, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 39: 53)

Akan tetapi, dengan apa taubatnya? Membunuh orang mukmin secara sengaja berkaitan dengan tiga hak. Hak yang pertama adalah hak Allah, hak yang kedua adalah hak orang yang terbunuh, dan hak yang ketiga adalah hak wali yang terbunuh.

Adapun berkenaan hak Allah, jika ia bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya, tidak ada keraguan dalam hal ini. Adapun hak orang yang terbunuh, ia memiliki hak padanya dan sekarang ia sudah terbunuh, tidak mungkin untuk minta kehalalan kepadanya di dunia. Akan tetapi, apakah taubatnya menjadikan Allah menanggung hak orang yang terbunuh sehingga tertunaikanlah haknya, atau ia menjadikannya sebagai qishash pada hari Kiamat nanti?

Ini adalah permasalahan yang perlu dicermati, di antara para ulama ada yang mengatakan bahwa hak orang yang terbunuh tidak jatuh dengan taubat, karana syarat taubat adalah mengembalikan barang yang dizhalimi kepada pemiliknya dan orang yang sudah terbunuh tidak mungkin dikembalikan barang yang dizhalimi kepadanya, kerana ia sudah terbunuh, maka orang yang membunuhnya harus dihukum dengan pembalasan pada hari Kiamat. Akan tetapi, zhahir ayat yang telah kita sebutkan pada surat Al-Furqan menunjukkan bahwa Allah menerima taubatnya secara sempurna, dan sesungguhnya Allah Ta'ala, tatkala mengetahui benarnya taubat seorang hamba, maka Dia akan menanggung hak orang yang dibunuhnya.

Adapun hak wali yang terbunuh, maka ini harus diselesaikan, kerana seseorang punya kemampuan untuk menyelesaikannya, dengan cara menyerahkan diri kepada mereka, dan berkata, “Aku telah membunuh saudara kalian, maka perbuatlah apa yang kalian mahu,” pada saat seperti ini, wali orang yang terbunuh boleh memilih di antara empat perkara, yakni memaafkannya secara cuma-cuma atau membunuhnya sebagai qishash, bisa juga dengan meminta diyat darinya, atau mengajaknya berdamai dengan sebuah perdamaian, minimal dengan satu diyat atau lebih, hal ini diperbolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.

Jika hak wali orang yang terbunuh itu tidak gugur kecuali dengan diyat yang lebih, di sini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama, di antaranya mereka ada yang mengatakan, “Tidak mengapa mereka membuat perdamaian melebihi satu diyat, kerana hal itu adalah hak mereka, jika mahu mereka boleh mengatakan, “Kami bunuh,” dan jika mahu mereka juga boleh mengatakan, “Kami tidak memaafkan kecuali dengan sepuluh diyat.” Inilah yang populer dari mazhab Imam Ahmad rahimahullah, bahwasanya boleh mengatakan perdamaian sebagai pengganti dari qishash lebih dari satu diyat. Alasannya sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa hak itu ada pada mereka, yakni para wali orang yang terbunuh, alasannya sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa hak itu adalah milik mereka, yakni bagi wali orang yang terbunuh, boleh menahan pengguguran hak mereka, kecuali dengan harta yang bisa memuaskan hati mereka.

Kerananya kami katakan, “Taubatnya orang yang membunuh dengan sengaja adalah sah, dengan ayat yang kami sebutkan dari surat Al-Furqan yang merupakan ayat khusus tentang pembunuhan, sedangkan ayat yang kedua lebih umum.”

“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 39: 53) in

Hadits ini menunjukkan betapa besarnya perkara pembunuhan, sesungguhnya hal itu termasuk dosa besar -Naudzu Billah- dan seseorang yang membunuh dengan sengaja dikhawatirkan berubah agamanya.

Hadits 221.
وَعَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ عَامِرٍ الْأَنْصَارِيَّةِ، وَهِيَ امْرَأَةُ حَمْزَةَ رَضَيَ اللَّهُ عَنْهُ وَعَنْهَا، قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « إِنَّ رِجَالاً يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقِّ فَلهُمُ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Khaulah binti 'Amir Al-Anshariyyah radhiyallahu 'anha, dia adalah istri Hamzah. Wanita ini berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya orang-orang yang melakukan transaksi pada harta Allah (harta milik kaum Muslimin) dengan jalan yang tidak benar, maka bagi mereka neraka pada hari Kiamat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3118]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Khaulah istri Hamzah bin Abdul Muthalib radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan transaksi pada harta Allah dengan jalan yang tidak benar, maka bagi mereka neraka pada hari Kiamat.” Ini juga menunjukkan haramnya kezhaliman pada harta yang tidak adil.

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yatahawwadhuna...” Dalil yang menunjukkan bahwa mereka mempergunakannya dengan sembarangan tanpa berlandaskan pada syar'i, merusakan harta dengan membelanjakannya pada hal yang mudharat, seperti membelanjakan hartanya untuk rokok, membeli narkoba, membeli minuman yang memabukkan, atau lain sebagainya, demikian juga mereka mengambilnya dengan jalan mencuri, merampas, dan selainnya, mereka juga mendapatkannya dengan pengakuan-pengakuan yang batil, seperti mengaku-ngaku harta yang bukan miliknya dengan pengakuan dusta, dan sebaginya.

Yang penting, bahwa setiap orang yang membelanjakan hartanya tanpa berdasarkan pada hukum syar'i, -baik itu harta miliknya atau milik orang lain -maka baginya siksa neraka pada hari Kiamat -Naudzu Billah- kecuali jika ia bertaubat dan mengembalikan harta yang diambil dengan cara yang batil kepada pemiliknya, bertaubat dari harta yang ia pergunakan pada hal-hal yang diharamkan, seperti rokok, minuman keras, dan lain sebagainya, barangsiapa yang bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah, Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur'an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedangkan kamu tidak menyadarinya, agar jangan ada orang yang mengatakan, Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedangkan aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah),” atau (agar jangan) ada yang berkata, “Sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku, tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa, (agar jangan) ada yang berkata ketika ia melihat adzab, “Sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang yang berbuat baik.” Sungguh, “Sebenarnya telah datang keterangan-keterangan-Ku telah datang kepadamu, lalu kamu mendustakannya malah kamu menyombongkan diri dan termasuk orang-orang yang kafir.” (QS. Az-Zumar: 39: 53-59)

Dalam hadits ini juga peringatan bagi orang yang menghabiskan hartanya pada sesuatu yang tidak bermanfaat dan tenggelam dalam hal tersebut, kerana harta Allah jadikan sebagai penopang (tongkat) bagi manusia untuk kemasalahatan agama dan dunia mereka, jika dihabiskan pada sesuatu yang tidak bermanfaat, maka seperti orang yang menyia-nyiakan harta Allah pada sesuatu yang tidak dibenarkan.

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...