Isnin, 22 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 27. Menghormati Orang Islam Dan Huraian Berkaitan Hak-Hak mereka Serta Berkasih Sayang Terhadap Mereka.

Allah ﷻ berfirman:
۞ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ۞
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa yang terhormat di sisi Allah (hurumât), maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” (QS. Al-Hajj: 22: 30)

Allah ﷻ berfirman:
۞ذَٰلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ۞
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi'ar-syi'ar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.
(QS. Al-Hajj: 22: 32)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ۞
Dan hendaklah kamu merendahkan diri kepada orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr: 15: 88)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Bab Menghormati Orang Islam Dan Huraian Berkaitan Hak-Hak mereka Serta Berkasih Sayang Terhadap Mereka.” Orang muslim mempunyai hak atas saudaranya yang muslim, bahkan ia memiliki hak yang begitu banyak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskannya dalam beberapa tempat.

Di antaranya, jika kamu bertemu dengannya hendaklah mengucapkan salam, sampaikan salam atasnya, dia berkata, “Assalamu'alaik” atau “Assalamualaikum.” Tidak boleh baginya mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, tatkala bertemu mereka saling berpaling, sebaik-baiknya mereka adalah yang memulai dengan salam. Namun, anda boleh mendiamkannya lebih dari tiga hari jika memang terdapat kemaslahatannya, bahkan anda boleh mendiamkannya lebih dari itu, apabila anda melihatnya masih melakukan kemaksiatan, dan ia belum bertaubat, lalu anda berpendapat bahwa mendiamkannya itu dapat membuatnya melakukan taubat. Kerananya, pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah mereka diberikan keringanan selama tiga hari, apabila lebih dari itu maka lihatlah sisi kemaslahatannya, jika di dalamnya terdapat kebaikan maka lakukanlah, jika tidak ada, jangalah dilakukan, walaupun ia dengan jelas melakukan kemaksiatan, apabila dalam mendiamkannya itu tidak ada kemaslahatan, maka jangan didiamkan.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa ayat, diantaranya firman Allah Ta'ala, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya.” Yakni apa yang dijadikannya terhormat berupa tempat, waktu atau pribadi seseorang, maka barangsiapa yang mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka hal itu lebih baik baginya di sisi Rabbnya. Barangsiapa yang membenci atau merusak penghormatan tempat ini, seperti dua tanah suci (Mekah dan Madinah), masjid-masjid atau seperti waktu-waktu tertentu misalnya bulan-bulan haram; Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, Rajab dan lain sebagainya, maka tanggunglah oleh dirinya sendiri dan bencilah mengagungkannya.

Termasuk dari hak seorang muslim, menghormati saudara-saudaranya sesama muslim, menempatkan mereka sesuai dengan kedudukannya, kerana seorang muslim tidak boleh menghina saudaranya yang muslim. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Cukuplah seseorang berdosa jika ia menghina saudaranya yang muslim.”

[Shahih Muslim no. 2564]

Atau ia menyakitinya lebih dari itu dengan lisannya, atau tangannya terhadap saudaranya yang muslim. Maka yang demikian itu cukuplah baginya sebagai dosa -Na'udzu Billah- Demikianlah juga menghormati apa yang Allah haramkan dalam beberapa perjanjian yang terjalin antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir, maka seseorang tidak boleh melanggar perjanjian yang terjalin antara dia dengan orang kafir.

Akan tetapi, orang-orang yang mengadakan perjanjian itu terbagi menjadi tiga bagian.

1) Orang-orang yang menyempurnakan perjanjiannya, mereka inilah yang harus kita sempurnakan perjanjiannya.

2) Mereka yang mengkhianati dan melanggar perjanjian, Allah Ta'ala berfirman,

“Maka selama mereka berlaku jujur terhadapmu, hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (QS. At-Taubah: 9: 7)

3) Orang yang tidak melanggar perjanjian, namun kita khawatir ia akan melanggar perjanjian tersebut, kita beritahukan kepada mereka bahwa tidak ada perjanjian antara kita dengan mereka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan jika engkau (Muhammad) khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berkhianat. 
(QS. Al-Anfâl: 8: 58)

Ini termasuk hak-hak Allah yang harus dikerjakan, segala sesuatu yang dimuliakan oleh Allah berupa waktu, tempat atau benda-benda, semuanya termasuk kehormatan Allah Ta'ala, maka wajib bagi seorang  muslim untuk menghormatinya. Kerana Allah Ta'ala berfirman, “Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu lebih baik baginya di sisi Tuhannya, dan firman-Nya, “Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Yang dimaksud dengan Asy-Sya'aair adalah ibadah-ibadah yang nampak, baik itu besar atau kecil, seperti thawaf di baitullah, Sa'i antara Shafa dan Marwah, adzan dan iqamat dan selain keduanya berupa syiar-syiar Islam, apabila seseorang menghormatinya, maka hal itu merupakan bukti dari ketakwaannya, kerana ketakwaan itu dapat membawa seorang hamba untuk dapat menghormati syiar-syiar Islam.

Adapun ayat yang ketiga, yaitu firman Allah Ta'ala, “Dan berendah hatilah kamu terhadap orang-orang yang beriman,” dalam ayat yang lain,

“Terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.” (QS. Asy-Syu'ara: 26: 215)

Yakni merendahkan hati kepada mereka dan bersikap lemah-lembut dalam ucapan dan perbuatan, kerana seorang mukmin dengan saudaranya saling menyayangi, sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang bersamanya,

“Bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” 
(QS. Al-Fath: 48: 29)

Firman Allah Ta'ala, “Dan berendah hatilah kamu terhadap orang yang mengikutimu dari orang-orang yang beriman.” Sebagai dalil yang menunjukkan bahwa seseorang diperintahkan untuk rendah hati kepada saudaranya walaupun ia menepati posisi yang tinggi, sebagaimana burung yang terbang tinggi dengan sayapnya, walaupun ia punya kedudukan yang tinggi, ia tetap merendahkan sayapnya dengan penuh kerendahan dan kehormatan kepada saudaranya. Ketahuilah, seseorang yang merendahkan hati kerana Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya. Seseorang bisa saja berkata, “Jika aku merendahkan hati kepada orang fakir dan aku berbicara kepadanya, atau aku merendahkan hati kepada anak-anak kecil dan berbicara kepada mereka atau yang serupa ini, maka bisa jadi ini akan merendahkan kedudukanku, menjatuhkan posisiku,” namun ini adalah was-was yang timbul dari setan dan setan masuk ke dalam jiwa setiap manusia dalam segala sesuatunya, Allah Ta'ala berfirman,

“(Iblis) menjawab, “Kerana Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS. Al-A'râf: 7: 16-17)

Setan datang kepada manusia dan berkata, “Bagaimana kamu merendahkan hati kepada orang fakir ini? Bagaimana kamu berbicara dengan Fulan? Bagaimana kamu berjalan bersama Fulan?” Akan tetapi barangsiapa yang merendahkan hati kepada Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya, walaupun ia seorang yang alim, pembesar, atau orang kaya, maka hendaknya ia rendah hati kepada orang-orang yang beriman, adapun kepada orang yang kafir, maka ia tidak boleh rendah hati kepadanya, akan tetapi wajib baginya tunduk kepada kebenaran dengan mengajaknya kepada agama Islam, jangan menghindar darinya, jangan juga merasa sombong sehingga ia tidak mengajaknya (dakwah), tetapi ia tetap mengajaknya dengan kemulian dan kehormatan, tanpa menghinakannya. Ini adalah makna firman Allah Ta'ala, “Dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang beriman.” 

Adapun ayat yang ketiga,

Allah ﷻ berfirman:
۞لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞
“Terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.” (QS. Asy-Syu'arâ: 26: 215)

Ini adalah tugas seorang muslim kepada saudaranya yang muslim, dia harus bersikap lemah lembut, dalam ucapan dan perbuatan, kerana hal ini dapat membawa pada kecintaan dan keramahan di antara manusia, keramahan dan kasih sayang ini adalah tuntutan syar'i, kerananya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal-hal yang membawa pada permusuhan dan kebencian, seperti menjual di atas penjualan seorang muslim, memberi harga di atas harga seorang muslim dan lain sebagainya yang sering terjadi di antara mereka, hanyalah Allah lah yang memberi taufik.

Allah ﷻ berfirman:
۞مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِى الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا۞
“Barangsiapa membunuh seseorang, bukan kerana orang itu membunuh orang lain, atau bukan kerana berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 32).

Hadits 222.
وَعَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا » وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang mukmin dengan mukmin yang lainnya, ibarat sebuah bangunan, masing-masing saling menguatkan satu sama lain.” Dan baginda menunjukkan menjalin jari-jarinya dengan kuat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 481, 2446 , 2026 dan Muslim no. 2585]

Penjelasan.

Telah disebutkan beberapa ayat yang menjelaskan tentang mengagungkan kehormatan seorang muslim, bersifat lemah lembut dan berbuat baik kepada mereka. Di antara ayat-ayat yang menunjukkan penghormatan tersebut adalah firman Allah Ta'ala,

“Barangsiapa membunuh seseorang, bukan kerana orang itu membunuh orang lain, atau bukan kerana berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 32)

Allah Ta'ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa seseorang yang membunuh satu jiwa bukan kerana ia membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia semuanya, kerana kehormatan seorang muslim itu satu. Barangsiapa yang melecehkan kehormatan seorang muslim, maka seakan-akan ia melecehkan kehormatan seluruh muslim. Sebagaimana seseorang yang mendustakan salah seorang rasul, maka seakan-akan ia telah mendustakan seluruh rasul. Kerananya bacalah firman Allah Ta'ala,

“Kaum Nuh mendustakan para rasul.” 
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 105)

Padahal mereka hanyalah mendustakan satu orang nabi, sesungguhnya tidaklah diutus seorang rasul sebelum Nuh, dan yang sesudah Nuh maka kaumnya tidak menjumpai. Akan tetapi, barangsiapa yang mendustakan seorang rasul, maka seakan-akan ia mendustakan seluruh rasul, dan barangsiapa yang membunuh satu jiwa yang dihormati, maka seakan-akan ia membunuh semua manusia, kerana kehormatan mereka itu satu. Barangsiapa yang  menghidupkannya yakni berupa untuk menghidupkannya serta menyelamatkannya dari bencana, maka seakan-akan ia menghidupkan semua manusia. Maksud menghidupkannya adalah menyelamatkannya dari bencana, kadang kala bencana itu datangnya bukan dari sisi manusia, tapi dari Allah Ta'ala, seperti seseorang yang mencuba memadamkan kebakaran di rumah tetangganya, ia berusaha untuk menyelamatkannya, usaha ini adalah menghidupkan jiwa. Adapun bagian yang kedua, apa yang datangnya dari manusia, seperti ada seseorang yang bermusuhan dengan orang lain dan ia ingin membunuhnya, lalu anda melerai dan melindunginya dari usaha pembunuhan, maka sekarang anda termasuk sedang menghidupkan jiwa. Barangsiapa yang melakukan hal ini, maka seakan-akan ia telah menghidupkan semua manusia. Kerana menghidupkan satu orang muslim seperti menghidupkan semua manusia. Adapun firman Allah, “Tanpa jiwa,” faedahnya bahwa barangsiapa yang membunuh jiwa kerana ia membunuh orang lain, maka dia dimaafkan dan tidak ada dosa baginya. Allah Ta'ala berfirman,

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 45)

Jika seseorang dibunuh dengan jalan yang benar, kerana ia membunuh orang lain, maka tidak ada celaan dan dosa dalam hal ini. Orang yang membunuh mewarisi harta orang yang dibunuh jika ia membunuhnya dengan jalan yang benar, dan orang yang membunuh tidaklah mewarisi harta orang yang dibunuh jika ia membunuhnya dengan jalan yang tidak benar. Kita ambil contoh seperti ada tiga orang bersaudara, dimana saudaranya yang tua membunuh saudaranya yang lebih muda secara sengaja, maka yang akan mewarisi harta saudara yang lebih muda adalah saudaranya yang pertengahan, saudaranya yang tua tidak boleh mewarisinya kerana ia telah membunuh tanpa hak. Kemudian saudaranya yang pertengahan menuntut darah saudara mudanya, maka saudaranya yang tertua dibunuh sebagai qishash. Apakah saudara yang kedua (pertengahan) mendapat waris dari saudara tertuanya, sedangkan ia telah membunuhnya? Ya, ia mewarisinya kerana ia telah membunuh dengan hak, sedangkan saudara tertua yang telah membunuh saudara mudanya tidak mendapatkan waris, kerana ia membunuhnya tanpa hak.

Membunuh dengan hak tidak ada celaan baginya dan tidak ada pengaruhnya, kerana hal itu merupakan qishash, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2: 179)

Firman Allah, “Atau kerusakan di muka bumi,  kerusakan di muka bumi bukan berarti seseorang menguasai traktor kemudian ia menghancurkan rumah meskipun tanpa dasar yang benar, hal ini walaupun berupa kerusakan, namun tidak menghalalkan darah seorang muslim. Kerusakan yang dimaksud adalah menyebarkan pemikiran yang sesat, akidah yang jelek, merampok, memperdangangkan narkoba terlarang dan lain sebagainya, inilah yang dimaksud dengan membuat kerusakan di muka bumi. Barangsiapa yang membuat kerusakan di muka bumi dengan cara seperti ini, maka darahnya halal untuk ditumpahkan, ia boleh dibunuh kerana telah menyebarkan kerusakan di muka bumi. Bahkan sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman dalam surat yang sama,

“Hukuman bagi orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara silang, atau diasingkan dari tempat kediamannya.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 33)

Berdasarkan tindak kriminalitas yang mereka lakukan. Jika besar maka dibunuh, jika kecil maka disalib, dan jika kurang (tidak mencapai) dari itu, maka dipotong kedua tangan dan kakinya dengan cara disilang yakni dipotong tangan kanan dan kaki kirinya, dan jika kejahatannya di bawahnya, maka ia harus diasingkan, baik itu dengan cara dikurung seumur hidup, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para ulama, atau dapat juga diusir dari negerinya sebagimana yang dikatakan oleh yang lain. Namun, jika dengan diasingkannya orang tersebut ke negeri yang lain tidak juga dapat mencegah dia dari kejahatannya, maka ia harus dikurung sampai mati. Kesimpulannya, bahwa orang yang membunuh seseorang yang telah membuat kerusakan di muka bumi ini, maka tidak ada celaan baginya, bahkan membunuh jiwa yang membuat kerusakan di muka bumi adalah kewajiban. Membunuh jiwa kerana ia telah membunuh orang lain tanpa hak adalah perbuatan yang dibolehkan, kecuali pendapatnya imam Malik rahimahullah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah,  jika ia membunuhnya dengan tipu muslihat maka ia wajib diqishash, yakni jika ia membunuh seseorang kerana lengah maka ia juga dibunuh walaupun wali orang yang terbunuh memaafkannya, kerana membunuh dengan tipu muslihat adalah kejelekan dan kerusakan, tidak mungkin selamat darinya. Misalnya seseorang datang untuk membunuh orang lain ketika ia sedang tidur, maka orang ini harus dibunuh dalam keadaan bagaimana pun, walaupun wali orang yang terbunuh memaafkannya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah. Semoga Allah merahmati keduanya. Ini adalah pendapat yang benar, yakni ketika seseorang membunuh dengan tipu muslihat maka haruslah orang yang membunuhnya itu dibunuh, tidak ada pilihan bagi wali yang terbunuh dalam hal ini.

Kesimpulannya Allah Ta'ala telah menjelaskan dalam ayat ini bahwasanya membunuh seorang manusia, bukan kerana orang itu (membunuh) orang lain, atau kerana membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya. Menghidupkan satu jiwa itu seperti menghidupkan seluruhnya. Ini menunjukkan sangat besarnya perkara pembunuhan. Seandainya seseorang menghitung sudah berapa banyak bani Adam yang terbunuh tanpa hak, tidaklah ia mampu menghitungnya. Dengan demikian, setiap jiwa yang terbunuh maka ditujukan kepada anak Adam pertama yang telah membunuh saudaranya sebagai tanggungan darinya, ia mendapat bagian dosa dari pelaku pembunuhan.

Anak Adam yang membunuh saudaranya kerana kedengkian. Anak Adam yang pertama adalah kembar (Qabil dan Habil). Masing-masing dari keduanya memberikan kurban, sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah, kemudian Allah menerima kurban salah satunya dan menolak kurban yang lain. Berkatalah yang kedua, -yakni yang tidak menerima kurbannya- kepada saudaranya, “Aku akan membunuhmu, kenapa Allah menerima kurbanmu dan tidak menerima kurbanku?” Dia dengki dengan keutamaan yang diberikan Allah pada saudaranya. Maka Allah Ta'ala firman kepadanya,

“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 27)

Yakni, bertakwalah kepada Allah niscaya Allah akan menerimanya darimu. Akan tetapi, orang yang mengancam saudaranya dengan pembunuhan, maka ia bukanlah orang yang bertakwa kepada Allah. Pada akhirnya, ia tetap membunuh saudaranya. Na'udzu Billah. Allah Ta'ala berfirman,

“Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk orang yang rugi. (QS. Al-Mâ'idah: 5: 30)

Kerugian dari perbuatan jelek yang telah dimulainya. Dikatakan bahwa ia membawa saudaranya yang telah ia bunuh selama empat puluh hari di pundaknya. Ia tidak mengetahui apa yang harus dilakukannya, kerana mengubur mayat belum dikenal pada waktu itu. Kemudian Allah mengutus seekor gagak yang menggali tanah dengan kukunya untuk memperlihatkannya bagaimana menyembunyikan jasad saudaranya. Ada juga yang mengatakan bahwa ada dua ekor burung gagak yang saling membunuh, salah satunya membunuh yang lain, burung yang membunuh membuat lubang di tanah untuk temannya yang dibunuh lalu menguburnya. Kemudian ia mengikuti perilaku burung tersebut lalu mengubur saudaranya. Ini adalah suatu keajaiban, bagaimana dua ekor burung gagak dapat mengajarkan pada bani Adam cara mengubur jenazah.

Kesimpulannya, bahwa setiap yang dibunuh tanpa hak, maka bagi pembunuh yang pertama mendapatkan bagian dosa. Na'udzu Billah. Demikian juga apabila seseorang membuat rencana pembunuhan setelah orang-orang merasakan keamanan, kemudian jadilah ia membunuhnya, dan lain sebagainya, selanjutnya orang-orang menjadi berani melakukan hal ini kerana mengikuti perbuatannya tersebut, maka ia akan mendapatkan bagian dosanya, kerana ia sebagai penyebab terjadinya hal tersebut. Barangsiapa yang membuat kebiasaan buruk, maka baginya dosa dan dosa orang yang melakukannya sampai hari Kiamat. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita sekalian termasuk orang yang mengajak kepada kebenaran sekaligus melakukannya. Sesungguhnya Allah Maha Dermawan lagi Mahamulia.

Hadits 223.
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ مَرَّ فِي شَيْءٍ مِنْ مَسَاجِدِنَا، أَوْ أَسْوَاقِنَا، وَمَعَه نَبْلٌ فَلْيُمْسِكْ، أَوْ لِيَقْبِضْ عَلَى نِصَالِهَا بِكفِّهِ أَنْ يُصِيبَ أَحَدًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ مِنْهَا بِشَيْءٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada (Abu Musa) ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa melewati masjid-masjid kami, atau pasar-pasar kami dan ia membawa anak panah maka hendaklah ia pegang atau ia memegang ujung mata panahnya supaya tidak mengenai salah seorang di antara orang-orang muslim, meskipun hanya sedikit.”

[Shahih Al-Bukhari no. 452, 7075 dan Muslim no. 2615]

Hadits 224.
وَعَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kecintaan mereka, kasih sayang mereka dan berlemah lembut sesama mereka seperti satu tubuh, jika salah satu anggota tubuhnya tertimpa sakit maka, seluruh anggota tubuhnya yang lain akan merasa sakit dengan tidak bisa tidur atau merasa demam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586]

Hadits 225.
وَعَنْ أَبِي هُريْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَبَّلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ ابْنَ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا، وَعِنْدَهُ الأَقْرعُ بْنُ حَابِسٍ، فَقَالَ الْأَقْرَعُ: إِنَّ لِي عَشَرةً مِنَ الْولَدِ مَا قَبَّلتُ مِنْهُمْ أَحَدًا فنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « مَن لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin Ali radhiyallahu anhuma dan di sisi baginda ada Al-Aqra bin Habis, kemudian Al-Aqra berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka itu.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya dan bersabda, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan sejumlah hadits tentang berperilaku baik kepada orang-orang muslim di antaranya hadits dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa melewati masjid-masjid kami, atau pasar-pasar kami dan ia membawa anak panah maka hendaklah ia pegang atau ia memegang ujung mata panahnya.” An-Nabl, anak panah yang ia lesatkan, ujung-ujungnya selalu runcing agar dapat menebus dan mengenai sasarannya. Jika seseorang memegangnya dengan baik, maka orang-orang akan terhindar dari terkena ujungnya tersebut, tapi jika ia biarkan begitu saja, maka bisa jadi melukai seseorang atau bisa jadi ada orang yang berlari dengan cepat kemudian melukainya, atau ada orang yang lewat sambil membawa anak panah yang terbuka tidak dipegangnya, hal ini dapat melukai mereka juga.

Seperti juga tongkat, jika seseorang membawa tongkat maka hendaklah ia membawanya secara tegak yakni menjadikan ujungnya menghadap ke atas, jangan membawanya dengan membujur, kerana dengan demikian akan menyakiti orang di belakangnya atau di depannya. Demikian juga jika ia membawa payung dan ia berada di pasar, maka angkatlah payung tersebut agar tidak menyakiti orang. Setiap sesuatu yang menyakiti seorang muslim atau dikhawatirkan dapat melukai mereka, maka hindarkanlah hal itu, kerana menyakiti seorang muslim bukanlah perkara yang ringan, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 58)

Di antara hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin Ali radhiyallahu anhuma dan di sisi baginda adalah Al-Aqra bin Habis, Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib, beliau adalah anak dari Fatimah binti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kakek beliau dari ibunya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bapaknya adalah Ali bin Abi Thalib anak paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai Al-Hasan dan Husain kerana mereka adalah cucunya, Al-Hasan lebih utama dari Al-Husain. Al-Hasan lebih utama kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut tentangnya, “Sesungguhnya anakku ini akan menjadi pemimpin dan semoga Allah menjadikannya sebagai pendamai di antara dua kelompok orang-orang muslim.

[Shahih Al-Bukhari dengan Fathul Bari, VII, hal. 463, hadits no. 4746]

Kemudian apa yang terjadi selanjutnya sesuai dengan apa yang dikatakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika terjadi fitnah pada zaman Muawiyah, dan kekhalifahan beralih kepada Al-Hasan setelah bapaknya Ali bin Thalib radhiyallahu anhu, kemudian Al-Hasan mengundurkan diri dari kekhalifahan itu, lalu menyerahkannya kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, itulah adalah bukti kebenaran perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa Salam, “Semoga Allah menjadikannya sebagai pendamai di antara dua kelompok orang-orang muslim.

Di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada Al-Aqra bin Habis, ia termasuk pembesar dari bani Tamim, biasanya pada penduduk pedalaman itu terdapat orang-orang yang berperangai keras. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencium Al-Hasan, kemudian Al-Aqra bin Habis berkata, “Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh orang anak, namun aku tidak pernah mencium satu pun dari mereka itu.” Yakni ia tidak pernah mencium mereka ketika masih kecil, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memandangnya dan bersabda, Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak disayangi.” Yakni orang yang tidak menyayangi hamba Allah, maka ia tidak akan disayangi Allah. Dapat dipahami dari hadits ini bahwa orang yang menyayangi hamba Allah, maka ia disayangi oleh Allah. Demikianlah yang disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Orang-orang yang saling berkasih sayang akan disayang oleh Dzat yang maha penyayang. Maka sayangilah penduduk bumi maka Allah yang berada diatas langit akan menyanyangi kalian.” 

[HR. Abu Dawud no. 4941 dan At-Tirmidzi no. 1924 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam as-Shahihah no. 925]

Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hendaknya seseorang menggunakan kasih sayang dalam bergaul dengan anak kecil, dan hendaknya dia mencium anak-anaknya, atau cucu-cucunya, menciuminya sebagai tanda sayang kepada mereka, juga mengikuti jejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang dilakukan oleh orang-orang yang berperangai keras dan kasar terhadap anak-anak mereka, anda menemukan mereka tidak membolehkan anak-anaknya untuk menghadiri majelis mereka, anak-anaknya tidak boleh meminta sesuatu dari mereka, apabila ia melihat anak-anaknya berada di tengah-tengah khalayak ramai, ia membentaknya, hal ini bertentangan dengan sunnah rasul dan ajaran kasih sayangnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang mengimami shalat di salah satu dari dua shalat siang hari, bisa Ashar bisa juga Zhuhur, lalu datanglah anak perempuan dari putrinya yaitu Umamah kepadanya, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggendongnya, sedangkan ia dalam keadaan mengimami shalat, jika baginda berdiri, maka baginda menggendongnya dan jika baginda sujud, maka baginda meletakkannya. Di mana akhlak-akhlak kita hari ini yang seperti akhlak rasul ini? Sekarang, jika seseorang menemukan anak kecilnya berada di masjid dia malah mengeluarkannya, ia tidak berkenan menggendongnya dalam shalat.

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang dalam keadaan sujud, datanglah Al-Hasan dan Al-Husain menaiki pundaknya, yakni menjadikan baginda sebagai tunggangan, kemudian baginda memperpanjangkan sujudnya, ketika salam baginda berkata, “Kedua anakku ini menjadikanku sebagai tunggangannya, dan aku tidak suka jika aku berdiri menyebabkan mereka berhenti dari permainannya.

[Shahih dikeluarkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (3/493), An-Nasa'i sebagaimana dalam Al-Mujtaba (1141) dan Ibnu Abi Syaibah (6/397) dan dari jalan ini Ibnu Abil Ashim meriwayatkannya dalam Al-Ahad wal Matsani (934) dari Yazid bin Harun, dari Jarir bin Hazim, dari Muhammad bin Abdullah bin Abu Ya'kub dari Abdullah bin Abu Syaddad secara marfu. Muhammad bin Abdullah adalah seorang yang tsiqah.]

Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar, kemudian Al-Hasan dan Al-Husain menghampirinya, mereka mengenakan baju baru, keduanya kelihatan senang dengan baju itu, selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dari mimbarnya, baginda menggendong keduanya di antara kedua tangannya lalu berkata, “Mahabenar Allah yang telah berfirman, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu).” (QS. At-Taghâbun: 64: 15) “Aku memandang kedua anak kecil ini sedang bergembira, maka aku tidak sabar.” 

[Hasan, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (1456), Ibnu Hibban (6038, 6039) At-Tirmidzi no. 3774, Ahmad dalam musnad-nya (5/354) dan selain mereka dari hadits Buraidah]

Yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa kurang nyaman sampai baginda turun dan menggendong keduanya. Pada yang demikian ini dan semisalnya, terdapat dalil yang menunjukkan hendaknya seseorang menyayangi anak kecil, bersikap lemah-lembut kepada mereka, semua ini adalah sebab untuk mendapatkan rahmat Allah Ta'ala, kita memohon kepada Allah agar menaungi kita semua dengan rahmat, kasih sayang dan kebaikan-Nya.

Hadits 226.
وَعَنْ عَائِشةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالِتْ: قَدِمَ نَاسٌ مِنَ الْأَعْرَابِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فَقَالُوا: أَتُقبِّلونَ صِبْيَانَكُمْ ؟ فَقَالَ: « نَعَمْ » قَالُوا: لَكِنَّا وَاللَّه مَا نُقَبِّلُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَوَ أَمْلِكُ إِنْ كَانَ اللَّهُ نَزعَ مِنْ قُلُوبِكُمْ الرَّحمَةَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Ada beberapa orang dari kalangan bangsa Arab Badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Lalu mereka bertanya, “Adakah kamu pernah mencium anak-anak kecil kamu?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya.”

Lalu mereka berkata, “Demi Allah kami tidak pernah mencium mereka.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku tidak memiliki sesuatu untuk kalian (tidak dapat berbuat sesuatu), jika Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati kamu semua?”

[Shahih Al-Bukhari no. 5998 dan Muslim no. 2317]

Hadits 227.
وَعَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ لَا يَرْحَمْهُ اللَّهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Jarir bin Abdullah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang tidak mengasihi sesama manusia, maka Allah Ta'ala juga tidak akan mengasihinya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6013, 7376 dan Muslim no. 2319]

Hadits 228.
وَعَنْ أَبِي هُريْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا صَلَّى أَحدُكُمْ للنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيهِمْ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَالْكَبِيرَ. وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. 
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seorang daripada kamu semua menjadi imam shalat kepada jemaah yang ramai, maka hendaklah dia meringankannya (tidak terlalu lama). Ini kerana mereka ada orang yang lemah, sakit dan telah berusia. Akan tetapi sekiranya dia shalat bersendirian, boleh ia panjangkan shalat itu mengikut kehendaknya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 703 Muslim no. 467]

Dalam riwayat lain di sebutkan, “Di kalangan makmum itu ada juga orang yang mempunyai keperluan (yang hendak segera diselesaikan).”

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Ada beberapa orang dari kalangan bangsa Arab Badui datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Lalu mereka bertanya, “Adakah kamu pernah mencium anak-anak kecil kamu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya.” Orang-orang Arab pedalaman sebagaimana yang kita ketahui adalah orang-orang yang keras, bengis dan kasar, apalagi para penggembala unta, mereka bengis dan kasar menjadikan hati mereka seperti batu. Kita memohon kepada Allah keselamatan. Mereka berkata, “Demi Allah kami tidak pernah mencium mereka.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Aku tidak memiliki sesuatu untuk kalian, jika Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati kamu semua?”

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan mencium anak kecil adalah tanda kasih sayang dan kelembutan kepada mereka. Di dalamnya juga terdapat dalil, bahwasanya Allah Ta'ala telah menurunkan rasa kasih sayang di hati manusia, dan ketika Allah menurunkan kasih sayang di hati manusia, maka manusia itu akan saling mengasihi dengan sesamanya, apabila dia sudah saling berkasih sayang, maka Allah pun akan menyayanginya. Sebagaimana terdapat dalam hadits yang kedua, hadits Jarir bin Abdullah radhiyallahu anhu, “Barangsiapa yang tidak mengasihi sesama manusia, maka Allah juga tidak akan mengasihinya.” Kita mohon keselamatan kepada Allah. Orang yang tidak menyayangi sesama, maka Allah tidak akan menyayanginya. Yang dimaksud sesama (manusia) di sini adalah orang-orang berkasih sayang, seperti orang-orang mukmin, Ahli Dzimmah dan sebagainya. Adapun orang-orang kafir harbi, sesungguhnya mereka tidaklah dikasihi, bahkan mereka harus diperangi, kerana Allah Ta'ala berfirman dalam menyifati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya,

“Bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” 
(QS. Al-Fath: 48: 29)

“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Taubah: 9: 73)

Allah Ta'ala menyebutkan ayat ini pada dua surat dalam Al-Qur'an dengan lafazh yang sama yaitu,

“Wahai Nabi! Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Tahrîm: 66: 9)

Allah Ta'ala menyebutkannya dalam surat At-Taubah dan surat At-Tahrim. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan.” (QS. At-Taubah: 9: 120)

Demikian juga kasih sayang terhadap binatang-binatang, sesungguhnya hal ini adalah tanda kasih sayang Allah kepada manusia, kerana jika hati manusia lembut, maka ia akan menyayangi segala sesuatu yang mempunyai ruh, jika seseorang menyayangi sesuatu yang mempunyai ruh, maka Allah akan menyayanginya. Dikatakan, “Ya Rasulullah, apakah ada pahala bagi pada hewan-hewan itu?” Baginda menjawab, “Ya, di setiap sesuatu yang memiliki jantung yang basah terdapat pahala.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 2363 Muslim no. 2244]

Di antara kasih sayangnya kepada orang-orang mukmin adalah ketika mengimami shalat, maka hendaknya ia tidak memperpanjang shalatnya, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang daripada kamu semua menjadi imam shalat kepada jemaah yang ramai, maka hendaklah dia meringankannya (tidak terlalu lama). Ini kerana mereka ada orang yang lemah, sakit dan telah berusia.” Yakni dibelakangnya ada orang-orang yang memiliki udzur, mereka yang memerlukan keringanan dalam shalat. Yang dimaksud dengan ringan adalah apa yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jadi yang dimaksud dengan ringan itu bukan ringan yang sesuai dengan hawa nafsu manusia, maka jadilah sang imam tergesa-gesa dalam shalatnya, tidak ada ketenangan. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Aku sama sekali tidak pernah shalat di belakang imam yang lebih ringan dan paling sempurna shalatnya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, dalam shalat subuh pada hari Jum'at baginda membaca, “Alif Lam Miim tanziil..” (QS. As-Sajdah: 23) secara sempurna pada rakaat yang pertama, dan “Hal Ataa 'Ala Al-Insaani” (QS. Al-Insân: 76) dengan sempurna pada rakaat yang kedua. Baginda membaca surat Ad-Dukhan dalam shalat Magrib, baginda juga membaca surat Al-Mursalat dan surat Ath-Thur, dan terkadang baginda membaca surat Al-A'raf, semua ini dikatakan yang ringan dalam shalat. Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata, “Aku sama sekali tidak pernah shalat dibelakang imam yang paling ringan dan paling sempurna shalatnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Hadits ini bukanlah dalil bagi orang-orang yang menginginkan agar para imam meringankan shalatnya dengan keringanan yang dapat mengurangi pahalanya dan bertentangan dengan sunnah. Ketahuilah, terkadang keringanan itu terjadi secara tiba-tiba, seperti yang pernah dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda masuk dalam shalat dan ingin memanjangkan shalatnya, kemudian baginda mendengar suara tangis anak kecil, lalu baginda meringankan shalatnya khawatir terjadi fitnah terhadap ibu sang anak. Jika terjadi sesuatu yang darurat yang mewajibkan seseorang untuk meringankan shalatnya, maka hendaklah ia meringankannya, akan tetapi jangan sampai mengurangi kewajiban.

Meringankan itu ada dua, yakni meringankan secara berkelanjutan, yaitu keringanan yang sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua, keringanan yang terjadi secara tiba-tiba, hal ini lebih ringan lagi, kerana ada hal yang darurat, ini juga harus sesuai dengan sunnah, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendengar tangisan anak kecil, baginda meringankannya sehingga sang ibu tidak terfitnah. Yang terpenting adalah hendaknya seseorang memperhatikan keadaan manusia dan bersikap kasih sayang.

Hadits 229.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ، وَهُوَ يُحِبُّ أَنَ يَعْمَلَ بِهِ، خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, “Jikalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu amal (ibadah), sementara baginda menyukai untuk beramal dengan itu, hal ini disebabkan baginda khawatir orang-orang akan beramal dengan itu, sehingga diwajibkan atas mereka.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1128 dan Muslim no.718]

Hadits 230.
وَعَنْهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: نَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الْوِصَالِ رَحْمَةً لَهُمْ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ؟ قَالَ: « إِنِّي لَسْتُ كَهَيئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُني رَبِّي وَيَسْقِينِي » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. 
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha juga berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka (para sahabat, kaum muslimin) dari puasa wishal (puasa yang tidak berbuka berapa hari) kerana sayang kepada mereka. 

Mereka bertanya, “Bukankah tuan mengamalkan berpuasa wishal?”

Baginda bersabda, “Sesungguhnya keadaanku tidak seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Rabb-ku.” (maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beri kekuatan seperti orang yang makan dan minum).

[Shahih Al-Bukhari no. 1964 Muslim no. 1105]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Aisyah radhiyallahu anha dalam bab, “Bersikap lemah lembut dan berkasih sayang terhadap orang-orang Muslim,” ia berkata, “Jikalau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan suatu amal (ibadah), sementara baginda menyukai untuk beramal dengan itu, hal ini disebabkan baginda khawatir orang-orang akan beramal dengan itu, sehingga di wajibkan atas mereka.” Maksudnya, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang meninggalkan amalan yang ia sukai, supaya orang-orang tidak melakukannya, kerana dikhawatirkan akan difardukan kepada mereka, sehingga memberatkan mereka.

Di antaranya, apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan pada bulan Ramadhan, baginda shalat pada malam Ramadhan, kemudian diketahui oleh para sahabat, lalu mereka berkumpul dan shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pada malam yang kedua mereka shalat lebih banyak lagi, pada malam ketiga juga lebih banyak lagi, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan shalat di masjid, selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amma Ba'du, sesungguhnya tidak dikhawatirkan atas keberadaan kalian (yakni berkumpulnya mereka), akan tetapi aku tidak menyukai jika hal ini difardhukan kepada kalian kemudian kalian lemah (untuk melakukannya).”

[Shahih Al-Bukhari no. 924, 1129 Muslim no. 761]

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan Qiyamul Lail dengan berjamaah ini, khawatir akan diwajibkan kepada umatnya, ini adalah bentuk kasih sayang baginda, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika tidak memberatkan atas umatku, maka aku akan memerintahkan mereka bersiwak di setiap shalat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 887, 7240 Muslim no. 252]

Demikian juga hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu anha ia berkata, “Suatu malam Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengakhirkan shalat hingga (hampir) habis waktu malam, dan hingga para jama’ah jama’ah yang ada di masjid tertidur. Kemudian baginda keluar untuk shalat dan bersabda, “Sesungguhnya inilah waktunya (yang paling utama) jika saja tidak memberatkan bagi umatku.”

[Shahih Muslim no. 638, Ahmad 6/150, ‘Abdurrazzaq no. 2114, Al-Baihaqi 1/450, Ibnu Khuzaimah no. 348, Ishaq bin Rahawaih dalam Al-Musnad no. 1037, dan yang lainnya].

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika baginda mengakhirkan shalat Isya, hingga berlalu sebagian malam, baginda bersabda, “Sesungguhnya inilah waktunya,yakni akhir waktunya, kemudian baginda bersabda, “Jika tidak memberatkan atas umatku,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan perbuatannya, meninggalkan perintah untuk melakukannya, kerana khawatir memberatkan umatnya.

Di antaranya juga, apa yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu anha, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang puasa wishal, puasa wishal yakni seseorang menyambung puasanya selama dua hari atau lebih tanpa berbuka, yakni berpuasa siang malam dua hari atau lebih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal ini. Akan tetapi, para sahabat memahami bahwa baginda melarangnya kerana sayang kepada mereka, bukan kerana baginda tidak menyukainya, kemudian mereka menyambungnya dan menyambungnya sampai masuk bulan Syawal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jikalau sekiranya terlambat hilal, maka aku akan tambahkan atas kalian.

[Shahih Al-Bukhari no. 1965 dan Muslim no. 1103]

Yakni aku akan biarkan kalian melakukan wishal sebagai contoh untuk menakuti mereka, supaya mereka mengetahui sakitnya lapar dan haus, sehingga mereka menghentikan wishal dari diri mereka. Yang terpenting adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka untuk puasa wishal kerana baginda sayang kepada mereka, kemudian mereka berkata, “Sesungguhnya engkau melakukan wishal, dan kami mengikuti engkau,” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya keadaanku tidak seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Rabb-ku.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 7299 dan Muslim no. 1103 dari Abu Hurairah, demikian yang dikeluarkan oleh Muslim no. 1105 dari hadits dari Aisyah.]

Yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak seperti manusia lainnya, tetapi baginda bermalam di sisi Tuhannya, Dialah yang memberinya makan dan minum. Maknanya, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat tahajjud baginda berkhalwat dengan Allah Ta'ala, berdzikir, membaca Al-Qur'an dan lainnya berupa hal-hal yang menjauhkannya dari makan dan minum. Kerana jika seseorang sudah disibukkan oleh sesuatu, ia akan lupa makan dan minum, apalagi jika hal itu merupakan sesuatu yang disukai dan disenanginya, kerananya penyair berkata tentang kekasihnya:

“Dia memiliki perkataan berupa kenangan dirimu, yang menyibukkannya dari minum dan akan menidakannya dari bekal.”

Yakni apabila ia duduk, ia selalu berbicara tentang lelaki ini, selalu mengingatnya hingga ia lupa makan dan minum. Inilah sesuatu yang benar-benar terjadi, terkadang seseorang selalu disibukkan dengan kesibukkannya sampai lupa makan dan minum. Seperti seorang pelajar yang begitu antusias dan gemar terhadap ilmunya, barangkali di perpustakaannya dia hanya sibuk membaca dari pagi sampai sore hari, sehingga ia lupa makan dan minum, barangkali ia juga lupa tidur. Demikian pula orang-orang yang mengejar dunia, dia begitu antusias tidak pernah merasa puas, barangkali dia hanya sibuk dengan draf-draf dan rekeningnya hingga ia lupa makan dan minum.

Diceritakan, ada seorang lelaki kaya raya, dia selalu sibuk dengan rekening, tulisan dan hartanya saja, sedangkan ia memiliki seorang istri, memiliki tetangga fakir yang telah berkeluarga, mereka merasakan bahwa tetangga yang fakir itu selalu bermuamalah dengan istrinya dengan baik, maka istri orang kaya itu merasa cemburu, kerana sang suami melupakan dirinya, lalu ia berkata kepada suaminya, “Tidakkah engkau melihat tetangga kita, dia pergauli istrinya dengan baik, begitu ramah dengan keluarganya.” Maka pahamlah orang kaya ini akan maksud istrinya, lalu ia memanggil orang fakir tersebut dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau adalah orang yang fakir, sangat membutuhkan harta, dan aku akan memberimu uang yang bisa kamu pergunakan untuk berdagang.” Maka ia memberinya uang untuk berdagang, sekarang orang fakir itu sibuk dengan dagangannya, ia sudah tidak lagi mempergauli keluarganya dengan baik, tidak ramah lagi dengan mereka, maka jadilah dia seperti orang kaya tadi.

Kesimpulannya, bahwa seseorang jika disibukkan oleh sesuatu yang ia sukai, ia akan melupakan segala sesuatu. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya keadaanku tidak seperti keadaan kalian. Sesungguhnya aku bermalam dalam keadaan diberi makan dan minum oleh Rabb-ku.” Apa yang diperkirakan oleh sebagian ulama bahwa yang dimaksud dengan memberi makan dan minum itu adalah memberi makan dan minum dari surga, ini tidaklah benar. Kerana sekiranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan makanan dan minuman seperti yang biasa baginda lakukan (kongkrit), maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai puasa wishal. Sebenarnya yang dimaksud dengan makan dan minum di sini adalah dzikir yang selalu dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan hati, lisan dan anggota tubuhnya. Shalawat dan salam semoga tercurahkan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti baginda dengan kebaikan sampai hari Kiamat.

Hadits 231.
وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ الْحَارِثِ بْنِ رِبْعِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنِّي لَأَقُومُ إِلَى الصَّلاَةِ، وَأُرِيدُ أَنْ أُطَوِّل فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزَ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Qatadah Al-Harits bin Rib’i radhiyallahu anhu ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya aku berdiri untuk shalat, dan aku ingin memanjangkan bacaan dalam shalat, namun aku terdengar tangisan seorang bayi. Maka aku pun meringankan shalatku kerana aku khawatir akan memberatkan akan ibunya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 707]

Hadits 232.
وَعَنْ جُنْدِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ صَلَّى صَلاَةَ الصُّبْحِ فَهُوَ فِي ذِمةِ اللَّهِ فَلاَ يَطْلُبَنَّكُمْ اللَّهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ ، فَإِنَّهُ مَنْ يَطْلُبْهُ مِنْ ذِمَّتِهِ بِشَيْءٍ يُدْرِكْهُ، ثُمَّ يَكُبُّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Jundab bin Abdullah radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang mengerjakan shalat subuh, maka ia berada dalam perlindungan (jaminan pengamanan) Allah. Maka, jangan sekali-kali Allah meminta kepada kalian sesuatu pun dari perlindungan (jaminan)-Nya. Sesungguhnya barangsiapa yang yang dituntut jaminannya oleh Allah meskipun sedikit, pasti Allah akan mendapatkannya. Kemudian dia akan mencampakkannya ke dalam neraka Jahanam.”

[Shahih Muslim no. 657]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab, “Menghormati Orang Islam Dan Huraian Berkaitan Hak-Hak mereka Serta Berkasih Sayang Terhadap Mereka,” dengan riwayat yang dinukilnya dari Abu Qatadah Al-Harits bin Rab'i radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya aku berdiri untuk shalat, dan aku ingin memanjangkan bacaan dalam shalat, namun aku terdengar tangisan seorang bayi. Maka aku pun meringankan shalatku kerana aku khawatir akan memberatkan akan ibunya.” Hadits ini merupakan contoh yang menujukkan kasih sayang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya. Sebagaimana yang disifati oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya,

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman.” (QS. At-Taubah: 9: 128)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dalam shalat jamaah dan baginda ingin memanjangkan shalatnya. Yang dimaksud memperpanjangkan di sini adalah memperpanjang seperti biasanya, bukan memperpanjangkan dengan menambah apa yang biasa baginda lakukan sebelumnya. Kemudian ketika baginda mendengar tangisan anak kecil, baginda meringkas dan meringankan shalatnya tersebut, khawatir bisa memberatkan ibunya. Kerana seorang ibu jika terdengar tangisan anaknya, ia merasa berat (tidak tega) mendengar tangisan anaknya itu, barangkali ia akan sibuk dengan hal itu daripada shalatnya, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meringankan shalatnya.

Di dalam hadits ini ada beberapa manfaat, di antaranya:

1) Rahmat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kasih sayangnya kepada umatnya.

2) Dibolehkannya perempuan-perempuan datang ke masjid untuk shalat berjamaah, hal ini selagi perempuan tersebut tidak keluar pada sisi ketidakbolehannya, seperti ia keluar dengan memakai wangi-wangian atau berhias secara mencolok, hal ini tidaklah diperbolehkan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أيما امرأةٍ أصابت بخورًا، فلا تشهدْ معنا العشاءَ الآخرةَ

“Siapapun wanita yang memakai wangi-wangian, maka janganlah ikut menghadiri shalat isya bersama kami.”

[Shahih Muslim no. 444]

3) Diperbolehkan memasukkan (membawa) anak-anak kecil ke dalam masjid jika anak-anak kecil itu bersama ibunya. Jika anak-anak kecil itu berada di luar dekat masjid, maka tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, akan tetapi begitu sulit bagi seorang perempuan yang mendengar tangisan anaknya di rumah, sedangkan ia berada di dalam masjid, zhahirnya anak-anak kecil tersebut harus berada bersama ibunya, dengan demikian, terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya membawa anak-anak kecil ke dalam masjid, tetapi dengan syarat tidak mengotori masjid dan tidak menganggu orang yang shalat. Jika mereka dikhawatirkan dapat mengotori masjid seperti mengotorinya dengan air kencing dan najis, maka mereka tidak diperbolehkan masuk ke masjid. Demikian juga jika mereka dikhawatirkan dapat mengganggu orang-orang yang sedang shalat, seperti berteriak, berlari-lari dan berisik, maka mereka juga tidak boleh masuk ke masjid. Jika mereka tidak melakukan hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah mengapa membawa mereka ke dalam masjid.

Adapun hadits, “Jauhkanlah masjid-masjid kalian dari anak-anak dan orang gila.

[Dhaif: Dhaif Al-Jami no. 2636]

Hadits ini dhaif. Sesungguhnya orang yang shalat boleh mendengarkan sesuatu yang ada di sekitarnya, ia tidak harus menutup telinganya, tetapi harus mendengarnya. Akan tetapi, jika suara yang ada di sekitarnya itu mengganggu shalatnya, maka janganlah ia shalat di sekitarnya, malah semestinya ia menjauhkannya. Seperti orang yang ingin shalat di masjid, namun di sekelilingnya terdapat perkumpulan dzikir atau membaca Al-Qur'an dan ia khawatir apabila ia berdekatan dengan mereka, hal tersebut akan mengganggu shalatnya, maka hendaklah ia menjauh. Adapun jika hal itu tidak mengganggunya, maka tidak mengapa ia mendengarnya. Berbeda dengan “Mendengarkan,” sesungguhnya orang yang shalat itu hanya mendengarkan bacaan imam. Oleh kerananya, jika kamu sedang shalat kemudian datanglah seorang yang membaca hadits atau memberikan nasehat, maka janganlah kamu menutup telingamu dan jangan pula berusaha mendengarkannya, dan jangan jadikan konsentrasimu bersamanya. Adapun jika kamu mendengarkannya tetapi kamu masih terus menjalankan shalatmu, tidak terlalu memperhatikannya, dan tidak meliriknya, maka hal ini tidaklah mengapa.

4) Di antara faedah hadits ini adalah, diperbolehkannya bagi orang yang shalat mengubah niatnya dari memperpanjang menjadi memperpendek atau sebaliknya, jika ia menemukan sebab untuk hal tersebut. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk dalam shalat, baginda berniat untuk memperpanjang shalatnya, kemudian baginda meringkasnya kerana sebab yang telah disebutkan. Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits dari Jundab bin Abdillah radhiyallahu anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar (Subuh), maka ia berada dalam perlindungan (jaminan pengamanan) Allah.” Yang dimaksud dengan shalat fajar adalah shalat yang pertama menurut sebagian para ulama, dan menurut sebagian ulama yang lain bahwa shalat yang pertama itu adalah shalat Zhuhur. Akan tetapi yang paling benar, bahwa shalat yang pertama itu adalah shalat Subuh, selanjutnya shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya. Ketika shalat Subuh datang, banyak orang-orang masih tertidur, kerananya orang-orang munafik malas untuk melaksanakannya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya shalat yang paling berat dilaksanakan oleh orang-orang munafik adalah shalat Isya dan Subuh. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.”

[Shahih Al-Bukhari no. 657 dan Muslim no. 651]

Shalat Subuh dan shalat Ashar merupakan shalat lima waktu yang paling utama, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang shalat Al-Bardain (dua waktu dingin) maka ia akan masuk surga.”

[Shahih Al-Bukhari no. 574 dan Muslim no. 635]

Yang dimaksud Al-Bardain adalah shalat Subuh dan shalat Ashar. Kerana waktu fajar adalah waktu dinginnya malam, sedangkan waktu Ashar dinginnya siang.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yabg shalat fajar,” zhahir hadits ini yaitu barangsiapa yang shalat berjamaah atau sendirian. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Maka ia berada dalam naungan (penjagaan) Allah,dalam janji-Nya. Yakni ia masuk ke dalam janji Allah, seakan-akan itu adalah janji Allah bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menimpakan keburukan padanya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka Allah tidak meminta sesuatu pun pada kalian dalam perlindungan-Nya.Yakni Allah tidak akan meninggalkan janji-Nya atas orang yang shalat Subuh bahwa orang itu berada dalam perlindungan Allah dan janji-Nya, hati-hatilah kalian jikalau Allah meminta sesuatu kepada kalian terhadap penjagaannya, kerana orang yang diminta sesuatu oleh Allah dalam penjagaannya, maka ia akan menemukannya, kemudian ia akan ditelungkupkan wajahnya di api neraka.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya menghormati orang-orang muslim yang benar dalam keislamannya dengan melaksanakan shalat Subuh, kerana shalat Subuh tidaklah dilakukan kecuali oleh orang-orang mukmin. Orang-orang munafik tidaklah menghadiri shalat berjamaah, dan selamanya mereka tidak akan shalat Subuh, shalat yang mereka lakukan hanyalah untuk mendapatkan perhatian orang lain, jika orang lain itu tidak memperhatikannya, maka mereka pun tidak mahu shalat. Shalat Subuh di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah seperti shalat Subuh di zaman kita sekarang ini, bahkan malam hari pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah malam yang begitu gelap gelita, tidak ada seorang pun yang terlihat, seseorang datang dan pergi tanpa diketahui. Akan tetapi, malam hari pada masa kita sekarang ini -Alhamdulillah- seperti keadaan di siang hari, dengan nikmat yang Allah berikan kepada kita berupa cahaya listrik, tetapi di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malam itu sangatlah gelap, tidak dapat melihat dengan jelas, dimana orang-orang munafik tidak melaksanakan shalat Subuh dan Isya berjamaah. Yang terpenting, bahwa hadits ini menunjukkan wajibnya menghormati orang-orang muslim yang membuktikan keislamannya dengan melaksanakan shalat Subuh, tidak seorang pun yang boleh menyakiti mereka.

Hadits 233.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يُسْلِمُهُ، مَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يوْمَ الْقِيامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, dia tidak boleh menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh (membiarkannya celaka). Barangsiapa yang memenuhi hajat (kebutuhan) saudaranya maka Allah akan memenuhi hajat) kebutuhan)nya. Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari Kiamat. Dan barangsiapa yang menutup aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya pada hari Kiamat.”

[Shahih Al-Bukhari no 2442, 6951 dan Muslim no. 2580]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya,” yakni dalam agama, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (QS. Ãli 'Imrân: 3: 103)

“Dan jika kamu tidak mengetahui bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama. (QS. Al-Ahzâb: 33: 5)

Persaudaraan ini merupakan persaudaraan yang paling kuat, lebih kuat daripada persaudaraan sedarah, kerana persaudaraan nasab dapat berbeda-beda tujuannya, terkadang saudaramu yang senasab menjadi musuh dan kebencianmu, hal itu terjadi di dunia dan akhirat. Allah Ta'ala berfirman,

“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 43: 67)

Persaudaraan dalam agama merupakan persaudaraan yang kokoh dan kuat di dunia dan akhirat, membawa manfaat bagi seseorang dalam kehidupannya dan sesudah kematiannya. Akan tetapi, persaudaraan seperti ini tidak mewajibkan seperti pada persaudaraan senasab berupa harta waris, kewajiban menafkahi dan lain sebagainya.

Kemudian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak boleh menzhalimi dan menyerahkannya pada musuh (membiarkannya celaka).” Yakni tidak menzhalimi hartanya, raganya, harga dirinya dan juga keluarganya, maksudnya tidak menzhaliminya dengan bentuk kezhaliman apapun. Makna menghinakannya (membuat celaka) yakni tidak menyerahkannya kepada orang yang akan menzhaliminya, ia harus membela dan melindungi dari kejahatan orang tersebut. Hal ini mencakup dua perkara:

1) Tidak menzhaliminya.

2) Tidak menyerahkannya kepada orang yang hendak menzhaliminya, akan tetapi ia harus melindungi.

Oleh kerana itu, para ulama berkata, “Seseorang wajib membela saudaranya, baik harga diri, raga maupun hartanya.” Membela harga diri maksudnya, apabila ia mendengar seseorang mencacinya dan membicarakan kejelekannya, maka wajib membelanya dari hal tersebut. Demikian pula raganya, jika ada seseorang yang ingin menyakiti saudara seimanmu, sedangkan kamu mampu untuk membelanya, maka kamu wajib membelanya. Begitu juga dengan harta, jika ada seseorang yang ingin mengambil hartanya, maka kamu pun wajib membelanya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan memenuhi hajat hamba selagi hamba itu memenuhi hajat saudaranya.261  Yakni jika kamu membantu dan memenuhi kebutuhan saudaramu, maka Allah pun akan membantu dan menolong hajatmu, sebagai balasan yang sesuai.

261[Shahih Muslim no. 2699]

Dari hal ini dapat dipahami bahwa jika seseorang menzhalimi saudaranya, maka persaudaraannya berkurang, dan jika ia menyerahkan saudaranya kepada seseorang yang ingin menzhaliminya maka persaudaraan juga berkurang. Jika ia tidak memenuhi kebutuhan saudaranya, maka ia akan kehilangan sesuatu yang sangat besar yaitu Allah yang memenuhi hajatnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan seorang muslim, maka Allah akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat.” Yang dimaksud dengan Al-Kurabu adalah sesuatu yang menyulitkan dan memberatkan seseorang, ada kesusahan dan ketidaktenangan dalam dirinya. Jika anda melapangkan kesempitan saudara anda ini, maka Allah akan melapangkan kesempitan-kesempitan anda pada hari Kiamat.

Melapangkan kesempitan itu bisa dalam beberapa hal, jika kesempitannya berupa harta benda, maka kita bisa memberikannya harta untuk menghilangkan kesempitannya tersebut. Jika kesempitannya itu bersifat maknawi, maka melapangkannya dengan cara menjaga dalam menolak kesempitan maknawi itu sampai kesempitan tersebut hilang. Jika kesempitan itu berupa kegelisahan dan kesedihan, maka berikan ia keluasan dan ketenangan, berikan ia penjelasan bahwa perkara itu hanyalah bersifat sementara, tidak akan selamanya, jelaskan juga bahwa dalam perkara ini terdapat pahala yang begitu besar, sehingga dapat mengurangi kesempitannya itu.

“Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan tutupkan aibnya di dunia dan akhirat.” Yakni menutup aibnya dan tidak menceritakannya, maka sesungguhnya Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat, dan hal ini tidaklah mutlak, di sana terdapat beberapa nash yang menunjukkan bahwa hal ini tidaklah mutlak. Terkadang menutup aib ini merupakan perintah yang terpuji, terkadang juga merupakan sesuatu yang diharamkan. Ketika kita melihat seseorang melakukan kemaksiatan, ia seseorang yang keji, gemar dalam berbuat kemaksiatan, menutupinya dari keadaan tersebut tidak akan menambah sesuatu kepadanya, kecuali keburukan, maka dalam hal ini janganlah kita menutupinya, bahkan kita harus sampaikan hal tersebut kepadanya agar ia dapat mencegahnya sehingga tercapailah apa yang dimaksud. Namun, jika keburukan tersebut tidak sirna, tetapi malah menimbulkan kekeliruan, maka yang terbaik adalah menutupinya aibnya dan tidak menjelaskannya pada seorang pun, baik pada orang yang bertanggung jawab mahupun yang lainnya. Jika kamu menutup aibnya, maka Allah akan menutup aibmu di dunia dan akhirat.

Demikian juga menutupi aib fisiknya, jika pada fisiknya itu terdapat aib, seperti luka yang membekas pada kulitnya, penyakit kusta, panau dan lain sebagainya, ia berusaha menutupinya dan tidak suka jika aibnya itu diketahui oleh orang lain, maka anda wajib menutupinya. Jika anda menutupinya, maka Allah akan menutupi aibmu di dunia dan akhirat. Demikian juga jika ia seorang yang buruk perilakunya, namun ia menampakkan dirinya di hadapan orang lain bahwa ia adalah orang yang berperilaku baik dan murah hati, sedangkan anda mengetahui bahwa ia tidaklah demikian, maka tutuplah aibnya. Barangsiapa yang menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Maksud menutupi di sini sebagaimana yang saya katakan, jika dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan oleh seseorang, maka terbagi menjadi dua bagian:

1) Dari seseorang yang begitu gemar melakukan kemaksiatan, maka kita tidak perlu menutupinya.

2) Kesalahan yang dilakukan kerana khilaf, maka ini yang harus kita tutupi. Adapun pada perkara-perkara yang lainnya, maka usaha menutupi aib itu lebih sempurna dan lebih utama. Allahlah tempat kita meminta pertolongan.

Hadits 234.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَخُونُه وَلَا يَكْذِبُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ عِرْضُهُ وَمَالُهُ وَدَمُهُ التَّقْوَى هَاهُنَا، بِحَسْبِ امْرِىٍٔ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu juga ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya, dia tidak boleh mengkhianatinya, mendustainya dan merendahkannya (membiarkannya dalam kesulitan tanpa menolongnya). Setiap muslim atas muslim yang lain adalah haram harga diri (kehormatan), harta dan darahnya. Takwa itu berada di sini, cukuplah seseorang itu dianggap telah berbuat kejahatan, jika dia menghina saudaranya sesama muslim.”

[HR. At-Tirmidzi no. 1927 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih At-Tirmidzi no. 1572]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim adalah saudara muslim yang lainnya.” Hal ini sudah kita bicarakan, persaudaraan di sini adalah persaudaraan seiman, persaudaraan yang begitu kuat dan erat dibandingkan dengan persaudaraan senasab, hal ini juga telah kita bicarakan dalam pertemuan yang lalu. Dalam hadits ini dijelaskan bahwa, “Ia tidak boleh menzhaliminya, berkhianat dan berdusta kepadanya.” Yang dimaksud tidak boleh mengkhianatinya adalah tidak mengkhianati kepercayaannya, jika ia mengamanatkan sesuatu padanya, baik harta, rahasia atau yang lainnya, maka ia tidak boleh mengkhianatinya. Khianat adalah melanggar kepercayaan seseorang. Seseorang tidak boleh mengkhianati saudaranya yang muslim walaupun dia itu mengkhianatinya, yakni jika saudara muslim itu mengkhianatimu, maka janganlah membalas dengan mengkhianatinya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ ، وَلا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanat kepada orang yang diamanatkan kepadamu, dan jangan mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”

[HR. At-Tirmidzi, no. 1264. Abu Dawud, no. 3535 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 2706, Irwa Al-Ghalil no. 2450 dan Shahih At-Tirmidzi no. 3/414]

Jikalau kita contohkan, misalnya ada seseorang yang mengkhianatimu dalam soal harta, kamu meminjamkan uang kepadanya, setelah itu ia mengkhianatinya, lalu ia berkata, “Aku tidak berutang sesuatu pun kepadamu.” Maka kamu tidak boleh mengkhianatinya juga dengan cara meminjam hartanya kemudian memungkirinya. Akan tetapi, tunaikanlah amanat itu kepadanya dan memohonlah kepada Allah akan hakmu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”

Demikian juga janganlah kamu mendustainya; jangan berbicara dusta dengannya, dusta itu haram. Apabila pengaruhnya itu lebih buruk, maka dosanya pun lebih besar. Tidak ada sesuatu yang halal dalam kedustaan. Adapun yang biasa diklaim oleh sebagian orang, dimana mereka mengatakan, “Sesungguhnya kedustaan itu ada dua macam, ada yang putih dan ada yang hitam. Yang haram itu hitam dan yang halal itu adalah yang putih.” Maka jawabannya adalah bahwa kedustaan itu semuanya hitam tidak ada yang putih; namun dosanya berlipat ganda sesuai dengan apa yang diakibatkannya. Apabila berakibat pada memakan harta seorang muslim, atau menipunya, maka dosanya itu lebih besar. Jika yang diakibatkannya berupa suatu kemudharatan, maka dosanya lebih ringan namun hal itu tetap saja haram.

Disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan rukhsoh (keringanan) dari dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada suaminya.”

[Shahih Muslim no. 2605]

Akan tetapi, banyak ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan dusta dalam hadits ini bukanlah dusta yang terang-terangan, namun hanya sebatas Tauriyah (hanya bahasa kiasan). Tauriyah juga disebut berdusta, sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam ketika orang-orang mendatanginya pada hari kiamat untuk meminta syafaatnya, sesungguhnya ia pernah berdusta tiga kali, sebenarnya baginda tidaklah berdusta hanya bersilat lidah; menampakkan sesuatu kepada lawan bicara di luar yang ia maksudkan. Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya dalam hadits ini diterangkan bahwa kedustaan itu diperbolehkan pada tiga hal,” yaitu kedustaan yang timbul di luar dari yang ia maksudkan (Tauriyah) bukan dusta yang sebenarnya. Berdasarkan hal ini, maka tidak ada kedustaan yang dikecualikan, setiap kedustaan adalah haram. Ketahuilah, bahwa kedustaan itu akan terus mengalir pada diri seseorang, sulit untuk diobati, sebagaimana dikatakan, 

“Aku mempunyai rekayasa pada orang yang mengadu domba dan tidak ada rekayasa dalam kedustaan, barangsiapa yang mereka-reka ucapannya, maka rekayasa padanya sedikit.”

Orang yang mengadu domba di antara orang lain, maka dalam hal ini saya punya rekayasa- yakni mungkin saya bisa mengalihkan dan melepaskan diri dari kejahatannya- akan tetapi orang yang berdusta akan mengatakan aku melakukan ini dan melakukan itu, namun ia berdusta, maka saya tidak dapat merekayasa jika ia mereka-reka apa yang akan diucapkannya dan sesuatu yang mau ia ucapkan, ini sesuatu yang rumi, susah untuk dihindari, kerananya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “...Jangan berdusta padanya.”

Lafazh yang lain, “Jangan menghinakannya,  jangan menghina dan menganggapnya remeh, walaupun usiamu lebih tua, lebih kaya dan lebih jenius darinya, maka janganlah menghinakannya.

Menghinakan seseorang termasuk kesombongan, Na'udzu Billah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan menghinakan manusia,264 Seorang muslim memandang saudaranya dengan pandangan kebesaran, ia menghormati dan memuliakannya. Kalangan umum mengatakan, “Hormatilah orang lain maka orang lain itu akan menghormatimu, dan hinakanlah orang lain maka orang lain itu juga akan menghinamu.” Yakni jika seseorang memandang orang lain dengan pandangan yang hina, maka mereka pun akan memandangnya dengan padangan yang hina, begitu juga sebaliknya, inilah hal yang biasa kita saksikan.

264[Shahih Muslim no. 91]

Kerananya kita temukan orang yang rendah hati, lembut dan santun ia dihormati oleh semua orang, tidak ada seorang pun yang membencinya tidak ada yang mencacinya. Sedangkan orang yang sombong, yang merendahkan orang lain, maka kamu akan mendapatinya dibenci dan dicela oleh orang lain, sekiranya tidak ada suatu keperluan padanya, niscaya tidak ada seorang pun yang mau mengajaknya bicara, kerana mereka menghinakannya.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takwa itu ada di sini,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke dadanya sebanyak tiga kali, yakni sesungguhnya ketakwaan itu ada di hati, jika hati bertakwa maka bertakwa juga anggota badan, jika hati tidak bertakwa maka anggota badan yang lain juga tidak bertakwa, ini seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.265 Jika di hati seseorang itu terdapat ketakwaan, rasa takut, dan khawatir kepada Allah Ta'ala, maka akan luruslah amal-amal lahirnya, kerana amal-amal lahiriah itu mengikuti hati.

265[Shahih Al-Bukhari no. 52 Muslim no. 1599]

Sebagian ulama, di antaranya Abu Hurairah mengibaratkan hati seperti raja yang ditaati oleh pasukannya, jika ia memerintahkan sesuatu, maka mereka pun menaatinya. Akan tetapi, sebagian ulama yang lain mengatakan, bahwa permisalan ini kurang tepat untuk sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika ia baik maka baiklah seluruh  jasad,” kerana raja walaupun ia ditaati oleh prajuritnya, namun mereka tidaklah baik sebagaimana baiknya sang raja. Tetapi hati, jika ia baik, maka baiklah seluruh jasad, jika ia bertakwa, maka bertakwalah seluruh jasad.

Ketahuilah, bahwa sebagian orang ada yang memperdebatkan hadits ini secara batil, jika kamu memerintahkan kebaikan padanya, atau melarangnya dari kemungkaran, maka ia berkata, “Di sinilah letaknya takwa,” kamu berkata kepadanya, “Jangan potong jenggot anda, kerana memotong jenggot adalah haram, memotong jenggot adalah kebiasaan orang-orang majusi dan musyrik, memelihara jenggot adalah kebiasaan para Nabi dan Rasul serta wali-wali Allah yang shalih,” jika anda mengucapkan ini, maka ia berkata, “Di sinilah letaknya takwa, di sinilah letaknya takwa,” kita katakan kepadanya, “Kamu dusta, sesungguhnya tidak ada ketakwaan dalam hatimu, jika ketakwaan dalam hatimu, pasti kamu takut kepada Allah, kerana jika hati bertakwa maka bertakwa juga seluruh anggota badan, dan jika kamu gemar dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah, maka anggota tubuh pun akan gemar melakukannya.”

Dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Takwa itu ada di sini,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke dadanya, ini menunjukkan bahwa akal itu ada di hati yang terdapat dalam dada, inilah yang sesuai dengan Al-Qur'an, Allah Ta'ala berfirman,

“Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 22: 46)

Firman-Nya, “Hati yang dengan itu mereka dapat memahami,” kemudian Dia berfirman, “Tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.”  Hati bukanlah otak, sebagaimana sangkaan sebagian orang yang bodoh, akal itu ada dalam hati, akan tetapi otak tidak diragukan lagi memang mempengaruhi kinerja seseorang, dalam gerakannya, dalam ketenangannya, namun mereka berkata, “Sesungguhnya otak itu seperti pembantu, menyiapkan sesuatu dan memasaknya, lalu menyalurkannya ke hati, selanjutnya hati memerintahkan otak untuk mengatur otot-otot dan anggota badan, maka jadilah otak ini ibarat pembantu untuk hati, tatkala menghubungkan dan menyalurkan sesuatu darinya. Segala sesuatu itu melawati hati, datang dan pergi menuju otak, kemudian otaklah yang mengerakkan badan, kerananya jika otak itu terganggu, maka kacaulah segala sesuatu.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah keburukan bagi seorang muslim menghinakan saudaranya sesama muslim,yakni tidak termasuk keburukan bagi seorang muslim kecuali jika ia menghina saudaranya, meremehkan dan merendahkannya, hal itu cukuplah menjadi dosa baginya, -Na'udzu Billah-. Dalam pengharaman ini terdapat larangan yang cukup besar; menghina saudaramu yang muslim kewajiban anda adalah menghormati dan memuliakannya yang merupakan unsur dari keislaman dan keimanan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap orang muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan harga dirinya.” Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya.” Seseorang tidak boleh menyakitinya dengan membunuh, melukai, atau lain sebagainya, “Dan hartanya,” tidak boleh mengambil hartanya merampas, mencuri, mengkhianati, ataupun mengklim harta yang bukan miliknya, dan lain sebagainya. Kamu tidak boleh mengambil harta saudaramu tanpa hak, sesungguhnya hal itu diharamkan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan harga dirinya.” Yakni anda tidak boleh mencemari harga diri seorang muslim dan membicarakannya kepada orang lain, baik ucapan anda itu benar ataupun dusta, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tengtang ghibah baginda menjawab, “Engkau menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu,” mereka bertanya,  “Ya Rasulullah, bagaimana pandanganmu jika apa yang ada pada saudaraku itu sesuai dengan apa yang aku katakan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu ada padanya, maka kamu telah mengghibahnya, dan jika apa yang kamu ucapkan itu tidak ada pada dirinya maka kamu telah mendustainya.”

[Shahih Muslim no. 2589]

Kewajiban seorang muslim adalah menghormati saudaranya baik harta, harga diri, maupun darahnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap orang muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya dan harga dirinya.” 

Hadits 235.
وَعَنْه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَلَا يبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِم لَا يَظلِمُه وٕلَا يَحْقِرُهُ وَلَا يَخْذُلُهُ. التَّقْوَى هَاهُنا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِر أَخَاهُ الْمُسْلِم. كُلَّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada (Abu Hurairah) radhiyallahu anhu juga dia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah kalian saling mendengki (hasad), janganlah saling menipu (dalam jual beli), janganlah saling membenci, janganlah membelakangi (tidak menghiraukan) dan jangan sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya. Jadilah hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah bersaudara bagi muslim yang lain tidak boleh menzhaliminya, menghinanya dan jangan merendahkannya (membiarkannya dalam kesulitan). Di sinilah letaknya takwa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan ke dadanya tiga kali. Baginda menyambung sabdanya, “Cukuplah dianggap sebagai kejelekan bagi seseorang yang menghinakan saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan harga diri (kehormatannya).”

[Shahih Muslim no. 2564]

Perkataan “An-Najasy” yakni menambah harga barang yang ia tawarkan di pasar atau tempat lainnya, sedangkan ia tidak ingin membelinya, ia hanya bertujuan untuk menipu orang lain (pembeli), perbuatan ini diharamkan.

Kata “At-Tadaabur” yakni berpaling dari seseorang dan menghindarinya dan menjadikannya seperti sesuatu yang ada di belakangnya.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian saling membenci.” Jangan kalian saling membenci satu sama yang lain. Maksud hasad adalah seseorang tidak suka jika rahmat Allah itu dianugerahkan kepada orang lain, inilah hasad. Misalnya anda tidak senang jika Allah memberi kenikmatan berupa harta kepada laki-laki ini, atau berupa anak lelaki, istri, ilmu, ibadah dan lain sebagainya yang berupa kenikmatan, baik anda itu mengharapkan hilangnya kenikmatan tersebut ataupun tidak.

Walaupun sebagian ulama ada yang berkata bahwa hasad itu mengharapkan hilangnya kenikmatan Allah atas orang lain. Hal ini termasuk hasad yang paling buruk dan paling besar. Atau hanya berupa kebencian saja atas nikmat yang Allah berikan pada seseorang, itu juga sudah termasuk hasad. Hasad merupakan perilaku orang Yahudi, barangsiapa yang hasad maka ia serupa dengan mereka. Na'udzu Billah. Allah Ta'ala berfirman,

“Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, kerana rasa dengki dalam diri mereka. (QS. Al-Baqarah: 2: 109)

Allah Ta'ala berfirman tentang mereka,

Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) kerana karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? Sungguh, Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepada mereka kerajaan (kekuasaan) yang besar.(QS. An-Nisâ: 4: 54)

Tidak ada bedanya antara kamu membenci kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada selainmu agar kenikmatan itu berpindah padamu, atau agar kenikmatan itu hilang dari saudaramu tanpa berharap pindah padamu.

Ketahuilah bahwa hasad itu menimbulkan banyak kerusakan:

1) Menyerupai orang Yahudi yang merupakan hamba Allah yang paling buruk; orang-orang yang telah Allah jadikan sebagai kera, babi, dan penyembah thaghut.

2) Buruknya jiwa orang yang menghasad, ia tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Kerana orang yang mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai saudaranya sendiri, maka ia tidak akan berbuat hasad kepada orang lain, bahkan ia gembira atas nikmat yang Allah anugerahkan kepada yang lainnya dan berkata, “Ya Allah berikan aku kenikmatan seperti dia,” sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Kerana) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. An-Nisâ: 4: 32)

3) Menentang takdir dan qadha Allah Ta'ala. Kalau bukan Allah, maka siapa yang memberi orang itu nikmat? Jika anda tidak menyukainya, berarti anda membenci qadha dan takdir Allah. Dan diketahui bahwa jika seseorang membenci qadha dan takdir Allah, berarti agamanya sedang dalam bahaya -Na'udzu Billah- kerana ia ingin bersaing dengan Tuhan seluruh alam dalam pengaturan dan keputusan-Nya.

4) Sekalipun Allah memberikan nikmat kepada hambanya, tetap saja hasad itu berkobar dalam hatinya, ia selalu berada dalam kesedihan dan kesusahan, sesungguhnya nikmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya tidaklah terhitung. Jadilah ia merugi, setiap Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya, rasa iri dalam hatinya berkobar sampai membakarnya.

5) Hasad akan memakan kebaikan, sebagaimana api memakan kayu bakar, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hindarilah kamu daripada hasad, karena hasad itu memakan segala amal kebajikan, bagaikan api memakan kayu bakar.

[HR. Abu Dawud no. 4903 dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dhaif Al-Jami' no. 2197. 2781. 3935].

6) Merintangi seseorang untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat, kerana ia selalu berpikir dalam keadaan galau, bagaimana orang ini akan mendapatkan uang? Bagaimana ia akan mendapatkan ilmu? Bagaimana ia akan mendapatkan anak? Bagaimana ia akan mendapatkan istri? Dan seterusnya, ia akan terus merasa susah dan mementingkan diri sendiri, tidak ada perhatian padanya, ia hanya mengusut kenikmatan yang Allah berikan kepada hamba-Nya, selalu bersedih dengan hal itu, Na'udzu Billah.

7) Menimbulkan keburukan yang menyempitkan dirinya, tidak suka pada kebaikan, jiwanya penuh dengan angan-angan, ia ingin menguasai segala sesuatu.

8) Hasad selamanya tidak akan dapat mengubah keputusan Allah Ta'ala. Walaupun kamu sudah melakukannya, membencinya, dan sudah berusaha menghilangkan nikmat Allah yang ada pada saudaranya, maka sesungguhnya kamu tidak akan dapat melakukan sesuatu apapun.

9) Barangkali akan menaikkan seseorang sampai pada tingkatan 'Ain (orang yang memandang dengan mata yang tertuju kepada objek baik dari jiwa pendengki maupun tidak). 'Ain yang anda namakan ini yaitu memfitnah dengan cara memandang seseorang, kerana asal 'ain bahwa jiwanya itu jahat, sarat iri dan dengki. Jika melihat sesuatu yang menakjubkan, maka ia akan melepaskannya dari jiwa yang buruk ini seperti panah sehingga mengenai mata. Jika seseorang berbuat hasad, dan dalam dirinya tertanam sifat hasad, maka hal ini akan meningkat sampai ia menjadi pelaku 'ain yaitu mereka yang menyakiti orang lain melalui pandangan matanya. Tidak diragukan lagi bahwa pada 'ain itu terdapat bahaya dan kebencian sesuai dengan mudharat yang ditimbulkan atas seseorang. Jika ia membuat mudharat harta orang lain, maka baginya dosa atas hal tersebut, atau terhadap fisik dan lingkungan mereka. Kerananya, sebagian ulama mengatakan wajib bagi pelaku 'ain untuk menanggung setiap tindakannya yang merugikan orang lain, yakni jika ia mencela seseorang, kemudian ia merusak sesuatu dari hartanya, anak-anaknya atau selainnya, maka ia harus menanggungnya, sebagaimana mereka berkata, “Seseorang yang terkenal sebagai pelaku 'ain, maka ia harus ditahan (dipenjarakan) kecuali jika ia bertaubat, ditahan agar kita terhindar dari keburukannya, kerana ia akan menyakiti dan membahayakan orang lain. Maka ia harus ditahan untuk mencegah dari keburukannya.”

10) Membawa pada perpecahan kaum muslimin, kerana orang yang hasad begitu dibenci dan dimurkai oleh masyarakat. Orang yang baik hati, yang mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri sangat dicintai oleh mereka, mereka begitu mencintainya. Kerananya kita selalu mengatakan, “Demi Allah, Fulan ini orang baik, dalam hatinya tidak ada rasa hasad, dan Fulan itu adalah orang yang hasad, penuh kedengkian, dan seterusnya.”

Inilah sepuluh kerusakan yang ditimbulkan dari hasad, dengannya kita mengetahui hikmah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana baginda bersabda, “Jangan saling mendengki,” yakni janganlah kalian saling berbuat hasad. Jika ada orang yang mengatakan, “Barangkali seseorang mendapatkan di dalam dirinya bahwa ia sangat suka melebihi orang lain dalam hal kebaikan, apakah ini juga termasuk hasad?” Jawabnya, “Ini bukanlah hasad, tetapi termasuk kompetisi dalam kebaikan, Allah Ta'ala berfirman,

“Untuk (kemenangan) serupa ini, hendaklah beramal orang-orang yang mampu beramal.” 
(QS. Ash-Shâffât: 37: 16)

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifîn: 83: 26)

Jika seseorang ingin melebihi orang lain dalam hal kebaikan, maka ini tidak termasuk hasad sedikit pun, kerana hasad membenci kebaikan atas orang lain.

Ketahuilah, bahwa hasad itu memiliki tanda-tanda, di antaranya bahwa hasad selalu menyembunyikan kelebihan orang lain, jika seseorang memiliki harta, kemudian ia menafkahkan uangnya untuk sedekah membangun masjid, memperbaiki jalan, membeli kitab, mewakafkannya untuk para penuntut ilmu dan lain-lainnya, anda akan menemukan orang yang hasad ini tatkala orang-orang membicarakan tentang kebaikan orang ini maka ia terdiam seakan-akan ia tidak pernah mendengarnya, tidak diragukan lagi bahwa dalam dirinya terdapat hasad, kerana orang yang menyukai kebaikan, ia juga suka menyebarkannya kepada orang lain. Jika anda melihat seseorang sedang berbicara tentang para pelaku kebaikan, menyifati dan memuji mereka, dan ia berkata, “Orang ini memiliki kebaikan, dia orang yang baik, dia orang yang mulia, berarti ini menunjukkan kebaikan hatinya, ia terlepas dari sifat hasad. Kita memohon kepada Allah agar melindungi kita sekalian dari sifat hasad dan kemungkaran akhlak dan perbuatan.”

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah saling menipu (menipu dalam jual beli).” An-Najasy yakni menambahkan harga pada barang dagangan saudaranya namun sebenarnya ia tidak ingin membelinya, ia hanya ingin merugikan pembeli atau memberikan manfaat kepada penjual, atau keduanya secara bersamaan. Contohnya, barang-barang dagangan dipamerkan di pasar kemudian orang-orang saling meninggikan harga, lalu datanglah seseorang, ia menawarkan harga yang tinggi, tetapi ia tidak bermaksud untuk membeli barang itu, barang dagangan itu ditawarkan dengan harga seratus, kemudian ia berkata, “Seratus sepuluh,” namun ia tidak bermaksud membelinya, ia hanya ingin meninggikan harga kepada para pembeli, atau dia hanya ingin memberikan manfaat kepada penjual atau melakukan dua maksud ini secara bersamaan, hal ini merupakan perbuatan haram tidak diperbolehkan; kerana di dalamnya terdapat unsur permusuhan. Adapun jika seseorang menambahkan harga, dan ia sangat menginginkan membeli barang tersebut, namun tatkala harga itu melambung tinggi ia malah meninggalkannya, hal ini tidaklah mengapa. Banyak sekali orang yang menaikan tawarannya kerana ia menilai bahwa harga barang itu terlalu murah, tatkala harganya sudah naik ia justru meninggalkannya, hal ini tidaklah mengapa. Seperti halnya seseorang yang ingin menaikan harga pada barang yang dibelinya, maka bertambahlah harganya sehingga melebihi harga aslinya.

Orang-orang dalam hal penambahan harga barang dagangan ada tiga macam:

1) Najasy maka ini diharamkan.

2) Ia menambahkan harganya, kerana ia memandang harganya terlalu murah, dan ia akan memperolehnya. Ia tidak ada tujuan pada barangnya, akan tetapi ketika ia memandang bahwa harga itu terlalu murah, dan ia ingin memperolehnya maka ia menambahkan harganya. Tatkala harga itu naik, ia meninggalkannya dan ini tidaklah mengapa.

3) Orang yang bermaksud pada barang dagangannya, ia ingin membeli barang tersebut, kemudian ia menambahkan harganya sampai merasa puas dan mendapatkannya, maka ini juga tidak mengapa.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan janganlah saling membenci,” yakni jangan kalian saling membenci satu sama lain, ini antara muslim dengan muslim, seseorang tidak boleh membenci saudaranya; membenci dalam hatinya, kerana ia adalah saudaranya. Akan tetapi, jika saudaranya ini termasuk orang yang berbuat maksiat dan fasik, maka ia boleh membencinya kerana kefasikannya tersebut, tidak membencinya secara mutlak, tetapi membencinya kerana kemaksiatan yang ia lakukan, dan mencintainya atas dasar keimanan yang terdapat dalam dirinya.

Merupakan hal yang biasa jika kita menemukan seorang lelaki muslim meminum minuman keras, menghisap rokok, memanjangkan pakaiannya kerana kesombongan, maka kita tidak membencinya sebagaimana kita membenci orang-orang kafir, barangsiapa yang membencinya seperti ia membenci orang kafir maka ia telah berpaling padanya. Bagaimana ia menyamakan antara orang mukmin yang fasik dengan orang kafir? Ini adalah kekeliruan besar.

Barangkali sebagian orang membenci orang mukmin yang mempunyai kefasikan melebihi bencinya kepada orang kafir, maka ini -Na'udzu Billah- bertolak belakang dengan fitrah. Orang mukmin, walau bagaimanapun keadaannya maka ia lebih baik daripada kafir. Maka anda harus membencinya kerana kemaksiatan yang ia lakukan dan menyukainya kerana keimanan yang dimilikinya. Jika anda mengatakan, “Bagaimana bisa terkumpul antara kecintaan dan kebencian dalam satu keadaan?” Jawabnya, “Mungkin, kecintaan dan kebencian terkumpul dalam satu keadaan,” apakah anda melihat bahwa seorang dokter menyebutkan kepada anda obat yang pahit dan berbau tidak sedap, namun ia berkata, “Minumlah, insya Allah kamu akan sihat,” secara mutlak anda tidak menyukai obat ini, kerana obat ini pahit dan berbau tidak sedap, akan tetapi anda menyukainya kerana ia adalah sebab untuk kesembuhan, anda juga tidak menyukainya kerana baunya yang tidak sedap dan pahit.

Demikianlah orang mukmin yang bermaksiat, jangan membencinya, akan tetapi cintailah ia dengan keimanan yang masih bersemayam di hatinya, dan bencilah atas kemaksiatan yang ada padanya. Sesungguhnya kebencianmu kepadanya tidak mengharuskanmu untuk tidak menasihatinya, seperti kamu katakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu menghadapi orang ini kerana aku tidak menyukai penampilannya.” Akan tetapi kuatkanlah jiwamu, berhubunglah dengannya dan nasihatlah, semoga Allah memberi manfaat kepadanya melalui tanganmu dan janganlah berputus asa. Berapa banyak orang yang menjauhi seseorang padahal Allah akan memberinya hidayah.

Contoh-contoh seperti ini banyak sekali, baik pada waktu kita sekarang ini maupun pada masa yang lalu. Saat sekarang ini banyak terdapat orang-orang fasik, maka Allah memberi kemudahan bagi orang yang mendakwahi mereka sehingga mereka mendapat petunjuk, bahkan mereka lebih menjadi baik dari orang yang mendakwahinya. Pada masa yang lalu juga banyak contoh yang baik. Inilah Khalid bin Walid radhiyallahu anhu, ia bergelar sebagai pedang yang selalu terhunus di kalangan orang-orang muslim. Posisinya di perang Uhud sangatlah terkenal, beliau dan pasukannya dari orang-orang Quraisy dapat menguasai orang-orang muslim dari atas gunung, dan terjadilah kekalahan dari pihak orang-orang muslim. Kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya. Selanjutnya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, termasuk orang yang sangat membenci terhadap apa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah memberinya petunjuk, maka jadilah ia salah seorang dari wali-Nya, dia menjadi orang kedua yang terbaik dari umat ini. Oleh kerana itu, janganlah berputus asa, jangan katakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu menghadapi orang ini, tidak pula memandangnya, mendengarnya dan tidak mungkin aku pergi menjumpainya.” Akan tetapi, pergilah dan jangan berputus asa, kerana hati ada di tangan Allah Ta'ala. Kita memohon kepada Allah agar menunjukkan kita semua kepada jalan yang lurus.

Jika ada orang yang mengatakan, “Kebencian itu adalah pengaruh dalam jiwa, segala sesuatu yang berkenaan dengan perasaan itu terkadang tidak dapat dikuasai oleh seseorang, seperti rasa cinta misalnya. Kecintaan, tidaklah seseorang mencintai orang lain, atau meminimalkan dan menambah kecintaannya kecuali dengan adanya beberapa sebab. Kerananya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, baginda memberikan bagian di antara para istrinya, “Ya Allah, inilah pembagianku pada perkara yang aku bisa, maka janganlah Engkau mencelaku pada perkara yang Engkau miliki, namun tidak aku miliki.266 Yakni dalam kecintaaan. Telah kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mencintai Aisyah daripada istri-istrinya yang lain, tanpa adanya prioritas. Ketika ada yang mengatakan bahwa kebencian itu adalah pengaruh dalam jiwa, seseorang tidak akan mungkin menguasainya. Jawabnya, bahwa pengaruh jiwa itu bisa didapat dengan cara berbuat. Misalnya, anda tidak menyukai seseorang kecuali dengan adanya beberapa sebab, kerana imannya, kerana kemanfaatannya untuk sesama, kerana kelakuannya yang baik, atau kerana baiknya pelayanannya kepadamu, dan lain sebagainya, jika sebab-sebab ini disebutkan maka anda akan menyukainya. Dan anda tidaklah membenci seseorang kecuali kerana beberapa sebab, jika beberapa sebab yang menimbulkan kebencian ini disebutkan maka anda akan membencinya. Berkenaan dengan hal ini, hendaklah seseorang berpaling dari sebab-sebab yang menjurus pada kebencian terhadap saudaranya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian saling membenci.” 

266[HR. Abu Dawud no. 2134, At-Tirmidzi no. 1140, Ibnu Majah no. 1971, Ibnu Hibban no. 1305 – al-Mawarid, al-Hakim (II/187), al-Baihaqi (VII/298), dan Ibnu Abi Syaibah no. 17713. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa-ul Ghalil no. 2018]

Akan tetapi, saya katakan, “Bahwa kebencian itu memiliki beberapa sebab, begitu juga dengan cinta, jika anda berpaling dari penyebab kebencian dan berusaha melupakannya maka dengan izin Allah kebencian itu akan hilang. Inilah yang diharapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sabdanya, “Janganlah kalian saling membenci.” Ini serupa dengan perkataannya kepada seseorang yang bertanya, “Ya Rasulullah, berilah aku wasiat? Baginda bersabda, “Jangan marah.Orang itu berkata lagi, “Berilah aku wasiat?” Baginda bersabda, “Jangan marah.” Ia berkata lagi, “Berilah aku wasiat?” Baginda bersabda, “Jangan marah.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangnya berkali-kali, “Jangan marah.267  Ada juga orang yang mengatakan, “Sesungguhnya kemarahan itu adalah bara api yang dilemparkan setan pada hati manusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, maka tidak ada cara untuk memadamkannya.” Kami katakan, “Ada caranya yakni lakukan sebab-sebab yang dapat menguranginya sampai emosi itu hilang.

267[Shahih Al-Bukhari no. 6116]

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah saling membelakangi.” Apakah maksud dari jangan saling membelakangi itu dalam artian yang sebenarnya? Contohnya seperti kamu duduk membelakangi orang-orang dalam suatu majelis. Ya, inilah arti membelakangi. Termasuk juga makna membelakangi adalah memutuskan pembicaraan, tatkala saudaramu sedang berbicara, kamu langsung berpaling dan meninggalkannya, ini juga termasuk dengan membelakangi. Ini adalah makna membelakangi secara hakikat. Ada juga makna membelakangi secara maknawi, yaitu berbeda pendapat, di mana setiap orang memiliki pendapat yang berbeda dengan yang lainnya, membelakangi dari segi pendapat ini juga dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Menurut saya, termasuk dari makna membelakangi yaitu hal-hal yang banyak dilakukan oleh sebagian saudara-saudara kita, jika ia telah mengucapkan salam dari shalatnya kemudian ia maju sedikit ke depan shaf seukuran sehasta atau semisalnya, ini juga termasuk membelakangi, kerana inilah sebagian orang ada yang mengadu kepada saya tentang hal ini, sebagian orang apabila telah selesai salam, ia maju sedikit kemudian ia menepati posisi antara saya dan imam, terutama jika ada pelajaran sesungguhnya ia menepati posisi antara saya di hadapan imam. Sudah maklum bahwa seseorang ketika melihat seorang guru maka ia akan lebih memperhatikan, lebih memahami dan lebih mengerti. Sebagian orang tidak menyukai hal ini, begitu juga hendaknya seseorang mempunyai kekuatan daya tangkap dan kecerdasan, sehingga ia tidak perlu maju ke depan dan membelakangi saudaranya. Jika anda bisa memberikan keluasan maka berdiri dan majulah agak menjauh dan duduklah jika anda berada di shaf pertama, dan jika anda berada di shaf yang kedua maka mundurlah, jika anda maju dan membiarkan punggungmu membelakangi mereka, maka ini merupakan bagian dari perilaku yang buruk dan termasuk membelakangi. Oleh kerana itu, dalam masalah ini dan lainnya seseorang hendaknya lebih memahami orang lain, bahkan jangan terlalu egois, berbuat apa saja yang dianggapnya baik tanpa memerhatikan orang lain, tanpa berhati-hati dengan apa yang ia perbuat.

Adapun bagian yang kelima dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan Jangan sebagian kalian menjual atas penjualan sebagian yang lainnya.” Kerana hal ini akan menyebabkan ketidaksenangan, permusuhan dan kebencian. Misalnya, seseorang pergi kepada pembeli yang membeli barang dari seorang penjual dengan harga seratus, kemudian ia berkata, “Saya akan berikan anda barang yang sama dengan harga delapan puluh,” atau saya akan memberikan kepada anda yang lebih baik dari ini dengan seratus riyal, kemudian pembeli ini kembali kepada penjual yang pertama dan membatalkan akad pembeliannya, lalu ia membelinya dari penjual yang kedua, dalam hal ini terdapat permusuhan yang nyata terhadap penjual yang pertama dan permusuhan ini menjerumuskan pada pertentangan dan kebencian di antara orang-orang muslim.

Misal membeli atas pembelian orang lain, seperti seseorang pergi kepada penjual yang menjual barang dengan harga seratus, kemudian berkata kepadanya, “Saya membeli barangmu dengan harga seratus dua puluh,” kemudian penjual ini pergi dan membatalkan jual beli, lalu ia menjualnya kepada orang yang kedua, ini juga hal yang diharamkan, kerana sama dengan makna menjual atas penjualan orang lain.

Hadits ini bersifat umum, anda tidak boleh menjual atas penjualan saudaramu, baik itu masih dalam masa memilih (khiyar) atau tidak. Sebagian ulama mengatakan, “Sesungguhnya ini sesuatu yang memungkinkan jika masih berada pada masa memilih, kerana jika sudah selesai masa memilih maka ia tidak bisa lagi membatalkan akadnya, contohnya seseorang menjual mobil kepada orang lain dengan harga sepuluh ribu riyal, kemudian ia menjadikan waktu khiyar selama tiga hari, lalu orang itu pergi kepada pembeli dan berkata, “Saya akan berikan kepada anda yang lebih baik dari ini dengan sepuluh ribu riyal,” maka akan sangat mudah bagi pembeli untuk kembali kepada penjual dan mengatakan, “Saya batalkan pembelian.” Atau seseorang pergi kepada penjual lalu berkata, “Saya mendengar anda menjual mobil kepada si fulan dengan harga sepuluh ribu riyal, bagaimana kalau saya membelinya dengan harga sebelas ribu?” Kemudian ia kembali kepada pembeli pertama lalu membatalkan akad jual beli dan menjualnya kepada yang kedua. Adapun jika sudah habis masa memilih, maka sebagian ulama ada yang mengatakan, “Tidak mengapa,” yakni setelah ia menjual dan menjadikan waktu memilih tiga hari, dan jika telah selesai tiga hari maka tidak mengapa untuk pergi kepada pembeli dan mengatakan kepadanya, “Saya akan memberikan kepadamu barang yang sama dengan harga lebih murah, atau lebih baik dengan harga yang kamu beli.” Alasan mereka, kerana pada saat ini ia tidak dapat lagi membatalkan jual belinya dikeranakan masa memilihnya sudah habis. Akan tetapi, zhahir hadits ini bersifat umum, walaupun ia tidak bisa membatalkan jual belinya dikeranakan masa memilihnya sudah habis, maka ia akan berusaha mencari sesuatu yang bisa merusak akad tersebut, atau paling tidak ia akan merasa menyesal dengan pembeliannya, dan ia menyakini bahwa penjual telah menipunya atau mempermainkannya, maka terjadilah permusuhan dan kebencian, sedangkan waktunya itu masih berdekatan, adapun jika masanya itu sudah terlewat lama maka tidaklah mengapa, kerana jika masanya sudah terlewat lama, maka termasuk sesuatu yang tidak mungkin dan sangat sulit untuk membatalkan akad.

Kesimpulannya, kita mempunyai tiga kondisi dalam hal ini:

1) Transaksi jual beli kepada saudaranya itu berada pada masa khiyar, maka ini tidak diragukan lagi keharamannya.

2) Transaksi jual beli ini terjadi setelah habisnya masa memilih dengan jangka waktu yang masih berdekatan, di sini terdapat perbedaan di kalangan para ulama, tapi yang benar adalah haram.

3) Terjadi setelah masa yang lama, misalnya sebulan, dua bulan atau lebih, hal ini tidaklah mengapa, tidak berdosa, kerana orang-orang saling bertukar barang di antara mereka dari satu sisi dan dari sisi yang lainnya.

Misalnya juga menyewa atas sewaan orang lain. Misalnya seseorang pergi kepada orang lain yang menyewa rumah dari seseorang dengan jangka waktu satu tahun seharga seribu riyal, kemudian ia berkata kepada orang itu, “Aku memiliki rumah yang lebih baik dari ini seharga delapan ratus riyal,” hal ini diharamkan, kerana ini termasuk kejahatan, seperti menjual atas jualan orang lain. Begitu juga menawar atas tawaran orang lain sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, menawar atas tawarannya. Misalnya, seseorang menawar barang kepada penjual, kemudian penjual itu merasa cocok dengannya, tinggal melangsungkan akad, misalnya ia mengatakan, “Juallah barang itu dengan harga seribu.” Kemudian penjual merasa cocok, akan tetapi sebelum akad selesai yakni ketika ia ingin menjual barang tersebut, datanglah orang lain seraya berkata, “Saya akan berikan kamu barang itu seharga seribu seratus.” Ini tidak diperbolehkan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan engkau menawar sesuatu yang ada dalam tawaran saudaramu.  

[Shahih Muslim no. 2519]

Demikian juga dengan pernikahan, jika seseorang melamar seorang gadis maka orang lain tidak boleh melamar gadis tersebut, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya.”

[Shahih Muslim no. 2519]

Semua ini adalah penghormatan terhadap hak-hak orang muslim, sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Seseorang tidak boleh melakukan kejahatan atas hak orang lain, tidak pada jual beli, sewaan, tawaran, dan tidak juga pada pernikahan dan lain sebagainya yang merupakan hak-haknya.

Terakhir sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di sinilah letaknya takwa.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan isyarat ke dadanya. Telah kita jelaskan makna ini sebelumnya bahwa takwa itu ada dalam hati, jika hati bertakwa maka bertakwalah seluruh anggota badan, dan jika hati menyimpang, maka semua anggota badan pun akan menyimpang. Naudzu Billah. Allah Ta'ala berfirman,

“Dengan cara itu mereka lebih patut memberikan kesaksiannya menurut yang sebenarnya, dan mereka takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) setelah mereka bersumpah. Bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 108)

Ketahuilah, sesungguhnya penyimpangan hati tidak akan terjadi, kecuali disebabkan oleh manusia itu sendiri. Jika seseorang menginginkan kejelekan dan tidak menginginkan kebaikan, berarti ia telah menyelewengkan hatinya. Na'udzu Billah. Allah Ta'ala berfirman,

“Maka ketika mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka.”
(QS. Ash-Shaff: 61: 5)

“Wahai Nabi (Muhammad)! Katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu, “Jika Allah mengetahui ada kebaikan di dalam hatimu, niscaya Dia akan memberikan yang lebih baik dari apa yang telah diambil darimu dan Dia akan mengampuni kamu.” (QS. Al-Anfâl: 8: 70)

Jika Allah mengetahui niat baik seorang hamba dan berkeinginan untuk melakukan kebaikan, maka Allah akan memudahkan dan menolongnya untuk hal tersebut. Allah Ta'ala berfirman,

“Maka barangsiapa memberikan (harta di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagian).” (QS. Al-Lail: 92: 5-7)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah sebagai keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya muslim.” Yakni tidak termasuk keburukan bagi seseorang kecuali ia menghina saudaranya yang muslim. Ini menunjukkan sangat besarnya dosa menghina saudaranya yang muslim. Kewajiban seorang muslim adalah memuliakan saudaranya, membesarkannya dan mempercayai kedudukan mereka dalam hatinya. Adapun menghina dan merendahkan mereka, maka yang demikian itu adalah berdosa. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muslim dengan muslim yang lainnya itu haram darahnya, hartanya dan harga dirinya.” Yakni seorang muslim haram atas muslim yang lain dalam tiga perkara ini, dalam setiap sesuatunya, kerana tiga perkara ini mencakup segala sesuatu. Darah, seperti membunuh, melukai dan sebagainya, Harga diri, seperti mengghibah, Harta, seperti memakan harta tanpa hak, memakan harta jalannya bermacam-macam, di antaranya mencuri, mengambil harta orang lain dengan paksa, mengingkari hutang, mengklaim barang orang lain dan sebagainya, semua ini hukumnya haram. Setiap muslim berkewajiban menghormati saudaranya, baik harta, darah maupun harga dirinya.

Hadits 236.
وَعَنْ أَنسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak sempurna iman seorang dari kalian, sehingga dia mencintai (sesuatu kebaikan bagi) saudaranya sebagaimana dia mencintai (kebaikan itu) untuk dirinya sendiri.”

[Shahih Al-Bukhari no. 13 Muslim no. 44]

Hadits 237.
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا » فَقَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مََظَلُومًا أَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ؟ قَالَ: « تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنَ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذلِكَ نَصْرُهْ » رَوَاهُ البُخَارِيّ.
Daripada (Anas radhiyallahu anhu) juga berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim atau terzhalimi.”

Ada seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, aku boleh menolong saudaraku jika terzhalimi, namun jika ia berbuat zhalim bagaimana aku menolongnya?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya dan melarangnya dari berbuat zhalim, itulah cara menolongnya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2443, 2444]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Anas radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak beriman salah seorang kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” Yang dimaksud dengan tidak beriman yakni tidak beriman secara benar dengan keimanan yang sempurna kecuali dengan syarat-syarat ini, yaitu ia mencintai bagi saudaranya sebagaimana ia mencintai bagi dirinya sendiri berupa kebaikan dan apa yang disukainya dalam meninggalkan keburukan. Ia membenci (keburukan) bagi saudaranya sebagaimana ia membencinya bagi dirinya, inilah dia seorang mukmin yang benar. Jika seseorang sudah memperlakukan saudaranya dengan perlakuan seperti ini, maka ia tidak mungkin menipu dan mengkhianatinya, tidak mungkin mendustainya dan menyakitinya, sebagaimana ia juga tidak suka jika diperlakukan seperti itu. Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang membenci bagi saudaranya terhadap apa yang disukai dirinya, atau ia mencintai bagi saudaranya terhadap apa yang dibenci bagi dirinya, maka ia bukanlah seorang mukmin yang sempurna imannya, ini juga menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk dosa besar jika kamu menyukai bagi saudaramu apa yang kamu benci atas dirimu atau membenci bagi saudaramu apa yang kamu sukai atas dirimu.

Berdasarkan hal ini, maka wajib bagimu wahai saudara muslim untuk mendidik jiwamu agar dapat melakukannya, yaitu mencintai bagi saudaramu sebagaimana kamu mencintai bagi dirimu sendiri hingga terwujudnya keimanan. Dan diriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa  sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dijauhkan dari api neraka dan di masukkan ke dalam surga, maka datangilah kematiannya, sedangkan ia dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir, ia suka memberikan kepada orang lain apa yang ia suka jika diberikan kepadanya.”  

[Shahih Muslim no. 1884] 

Yang pertama adalah hak Allah dan yang kedua adalah hak hamba. Kematian datang kepadamu, sedangkan kamu dalam keadaan beriman kepada Allah dan hari akhir -Kami memohon kepada Allah agar menjadikan kita seperti itu- dan ia suka memberikan saudaranya apa-apa yang disukai oleh dirinya. Adapun hadits Anas yang kedua dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim atau terzhalimi.” An-Nashru, berarti nembelanya dari orang lain. Mencegah sesuatu yang membahayakannya, “Tolonglah saudaramu, artinya, menjaganya dari apa-apa yang membahayakannya, baik ia dalam keadaan zhalim maupun terzhalimi. Seseorang berkata, “Ya Rasulullah, aku menolong saudaraku jika terzhalimi, namun jika ia zhalim bagaimana aku menolongnya?” Orang itu tidak mengatakan, “Maka aku tidak menolongnya.” Tetapi ia mengatakan, “Bagaimana aku menolongnya?” Yakni aku akan menolongnya tetapi katakan padaku bagaimana cara menolongnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau mencegahnya dan melarangnya dari berbuat zhalim, itulah cara menolongnya.” Jika kamu melihat seseorang yang ingin menyakiti orang lain, kemudian kamu mencegahnya, maka ini termasuk menolongnya, yaitu dengan cara mencegahnya. Adapun jika ia terzhalimi, maka tugasmu adalah mencegah orang yang menzhaliminya. Hadits ini menunjukkan wajibnya menolong orang yang terzhalimi, dan wajibnya menolong orang yang zhalim, seperti yang telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits 239.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ: رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضَ، وَاتِّبَاعُ الْجنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ »  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسلِمٍ: « حَقُّ الْمُسْلمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَليْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصحْ لهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللّه فَشَمِّتْهُ. وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ».
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Hak seorang muslim ke atas orang muslim yang lainnya ada lima, yaitu menjawab salam, menziarahi yang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangan dan mendoakan orang yang bersin.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1240 Muslim no. 2162]

Dalam riwayat Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Hak seorang muslim terhadap orang muslim lainnya itu ada enam perkara, yaitu apabila engkau bertemu dengannya maka berilah salam kepadanya, jikalau dia menjemputmu, maka penuhilah undangannya, jikalau dia meminta nasihat kepadamu, maka berilah nasihat kepadanya, jikalau dia bersin kemudian dia mengucapkan Alhamdulillah, maka doakanlah dia, jikalau ia sakit, ziarahilah dia dan jikalau dia meninggal dunia, maka iringilah jenazahnya.

[Shahih Muslim no. 2162]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu di dalam menjelaskan hak-hak seorang muslim atas saudaranya itu banyak sekali, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang menyebutkan yang tertentu saja sebagai bentuk perhatiannya. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada lima yaitu: Menjawab salam.” Jika ia mengucapkan salam, maka kamu wajib menjawabnya. Dalam hadits yang kedua, “Hak seorang muslim terhadap orang muslim lainnya itu ada enam perkara, yaitu apabila engkau bertemu dengannya, maka berilah salam kepadanya.”

Dua perkara ini; memulai mengucapkan salam yang diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apabila engkau bertemu dengannya, maka berilah salam kepadanya.” Menjawab salam diambil dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menjawab salam.” Memulai mengucapkan salam itu hukumnya sunnah muakkad, apabila seseorang tidak menjawab salamnya dan mengacuhkannya, maka hukumnya haram, jika lebih dari tiga hari, jika kurang dari tiga hari, maka ia boleh mengacuhkannya. Sudah dimaklumi bahwa seseorang tidaklah mengacuhkan saudaranya kecuali kerana sebab. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan mendiamkan saudaranya kurang dari tiga hari. Kerana kita ini adalah manusia yang terkadang dalam jiwa ini terdapat sesuatu, dimana seseorang tidak mampu mengucapkan salam atau menjawabnya, maka ia diberikan keringanan selama kurang dari tiga hari. Memulai salam hendaklah dimulai dari yang lebih muda kepada yang lebih tua, dari pejalan kaki kepada orang yang duduk, dari orang yang berkenderaan kepada orang yang berjalan, dan semuanya harus disesuaikan. Lafazh salam yang disyariatkan adalah seseorang mengucapkan, “Assalamu'alaika” atau “Assalamualaikum.” Kedua-keduanya boleh. Dan jawaban salam yang disyariatkan adalah, “Wa'alaikassalam.” Atau “Waalaikumussalam.” Maka jelaslah bagi kita, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hak-hak seorang muslim yang wajib bagi saudaranya adalah salam, baik menjawab ataupun memulainya. Hukum memulai salam adalah sunnah, menjawabnya adalah fardhu 'ain bagi orang yang ditujunya, dan fardhu kifayah jika ditujukan kepada jamaah. Maka cukuplah salah seorang dari mereka menjawabnya. Salam adalah kebaikan, jika seseorang melaksanakannya maka ia mendapatkan sepuluh kebaikan kerana satu kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan. Jika kamu mengucapkan salam kepada saudaramu dengan ucapan, “Assalamu'alaika.” Maka kamu akan mendapatkan sepuluh kebaikan sebagai pahala yang terjaga yang sangat kamu butuhkan daripada yang lainnya.

Kita mengetahui jika dikatakan kepada seseorang, jika kamu bertemu seseorang kemudian kamu mengucapkan salam kepadanya, maka dari setiap salam itu kamu akan mendapatkan satu Dirham, maka kamu pasti akan mendapati mereka meminta orang lain untuk mengucapkan salam kepadanya agar mendapatkan satu Dirhan tersebut. Padahal satu Dirham itu adalah sesuatu yang akan lenyap dan hilang. Sedangkan pahala dan ganjaran itu akan tetap kita temukan. - Semoga Allah menerima amal kita semua- maka renungkanlah, bagaimana orang bisa meremehkannya.

Maka yang seharusnya anda lakukan adalah apabila bertemu dengan saudaramu yang muslim maka ucapkanlah salam kepadanya, adapun yang selain Islam, maka janganlah mengucapkan salam, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah kalian memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian bertemu dengan salah satu dari mereka di jalan maka desaklah ia ke jalan yang sempit.”

[Shahih Muslim no. 2167]

Orang Yahudi, Nasrani, musyrik, atheis, murtad mereka seperti orang yang tidak shalat, orang yang melakukan bid'ah dianggap kafir dengan bid'ahnya, tidak diperbolehkan memulai salam kepada mereka ini, walaupun mereka itu adalah orang-orang terdekatmu. Akan tetapi, jika mereka mengucapkan salam kepadamu, maka jawablah seperti ucapan salam mereka, jika mereka mengucapkan, “Selamat datang,” maka jawablah, “Selamat datang,” jika mereka mengucapkan, “Assalamu'alaikum,” maka jawablah, “Assalamu-alaikum,” jika kamu ragu apakah ia mengucapkan, “Assalamu'alaikum,” atau “Assaamu ‘alaikum” (yang artinya, “Kematian atasmu”) maka katakanlah, “Wa’alaikum.” (yang artinya, “Kamu juga.”) bahkan jika tidak yakin ia mengucapkan, “Assalamualaikum,” maka katakanlah, “Wa‘alaikum.” Hal ini dikeranakan bahwa orang-orang Yahudi melewati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabat-sahabatnya, kemudian mereka mengucapkan salam kepadanya, namum mereka mengatakan, “Assaamu ‘alaikum” Dengan meng-idgham-kannya. As-Samm yakni kematian. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Sesungguhnya orang Yahudi jika mengucapkan salam kepada kalian, maka salah seorang di antara mereka hanyalah mengatakan, “Assaamu ‘alaikum.” Maka jawablah, “Wa’alaikum.”

[HR. Abu Dawud no. 5206]

Yakni jika mereka mendoakan kita dengan dengan keselamatan, maka bagi mereka keselamatan, dan jika mereka mendoakan kematian maka bagi mereka kematian. Berdasarkan firman Allah Ta'ala,

Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya.” (QS. An-Nisâ: 4: 86)

Ini termasuk keadilan. Kerananya Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah, sesungguhnya jika mereka mengatakan, “Assalamu'alaikum,” dengan kalimat yang jelas, maka ucapkanlah “Wa'Alaikumussalam.” Adapun para pelaku maksiat, jika dalam mengacuhkan mereka itu ada manfaatnya, maka acuhkanlah mereka. Manfaatnya agar mereka menghentikan kemaksiatannya. Namun jika tidak ada manfaatnya, maka haram bagi kita mengacuhkannya, kerana mereka termasuk orang-orang yang beriman, jika mereka termasuk orang-orang yang beriman maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,

“Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6077, 6237. Muslim no. 2560]

Jika membuahkan manfaat, dimana mereka dapat berhenti dari kemaksiatannya, maka kita sangat dituntut untuk mendiamkannya, bisa jadi wajib dan bisa juga sunnah. Lihatlah apa yang terjadi dari manfaat didiamkannya Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu dan dua sahabatnya ketika mereka berpaling meninggalkan perang Tabuk, udzur mereka tidak diterima. Lihatlah apa yang terjadi pada mereka berupa kekuatan iman dan kesabaran yang terjadi. Menunggu kabar gembira dari Allah Ta'ala atas apa yang mereka peroleh pahala yang begitu besar, dengannya mereka mendapatkan firman Tuhan Semesta Alam, yang sering dibaca siang dan malam oleh semua muslim hingga dalam setiap shalat. Siapakah orang yang disanjung dalam setiap shalat fardhu dan sunnah?!

“Dan terhadap tiga orang yang ditanggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” 
(QS. At-Taubah: 9: 118)

Inilah nashnya, walaupun mereka tidak disebutkan nama-namanya, akan tetapi mereka disebutkan dengan sifat-sifatnya, yang tidak disebutkan kepada selain mereka. Adapun pendapat sebagian besar para ulama tafsir dalam firman Allah Ta'ala,

“Dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) kerana mencari keridhaan Tuhannya Yang Mahatinggi Dan niscaya kelak dia akan mendapat kesenangan (yang sempurna).” (QS. Al-Lail: 92: 19-21)

Yang dimaksud di sini adalah Abu Bakar, nash ini tidak seperti nash yang didapat oleh ketiga orang ini. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendiamkan mereka selama empat puluh malam, tidak berbicara kepada mereka. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang-orang agar mereka tidak berbicara kepada tiga orang ini, sehingga tidak seorang pun yang berbicara dengan mereka. Setelah sempurna empat puluh hari, mereka diperintahkan untuk menjauhi isteri-isterinya. Ketika datang utusan kepada Ka'ab bin Malik yakni utusan yang diutus oleh Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memerintahkannya agar ia meninggalkan isterinya. Ka'ab berkata kepada utusan tersebut, “Apakah aku harus menalaknya -yakni aku siap untuk melakukan itu-, atau apa?” Utusan itu berkata, “Aku tidak tahu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memerintahkanmu untuk menjauhi isterimu selebihnya aku tidak tahu.” Lihatlah bagaimana permisalan yang besar ini, di samping ujian yang begitu besar yang tidak diragukan lagi dalam hati, tidak akan selamat dari hal tersebut kecuali orang yang dijaga oleh Allah Ta'ala. Yang terpenting, bahwa mendiamkan seseorang jika memang bermanfaat dalam mengurangi maksiat atau ia dapat bertaubat, maka itulah hal yang dituntut, tuntutan ini bisa jadi wajib bisa juga sunnah. Namun jika tidak ada manfaatnya, justru malam bertambah dalam kemaksiatan dan keingkarannya, maka janganlah didiamkan. Bagaimanapun kemaksiatan seseorang, selama statusnya masih seorang muslim, maka ia adalah orang mukmin, hanya saja kurang keimanannya.

Hak yang kedua adalah menziarahi orang sakit. Jika seseorang sakit, dan ia hanya bisa berdiam diri di rumahnya, maka kewajiban saudaranya yang muslim adalah menziarahinya, mengingatkan sesuatu yang pantas untuk diingatkannya, misalnya mengingatkan untuk bertaubat, berwasiat memperbanyak dzikir dan istighfar, membaca Al-Qur'an dan amal-amal shalih. Juga mendoakan kesembuhan untuknya seperti mengucapkan, “Tidak apa-apa, insya Allah sembuh.” Dan selainnya.

menziarahi orang sakit adalah fardu kifayah, hendaknya orang-orang muslim menziarahi saudaranya yang sakit, jika yang menjenguknya hanya satu orang, maka cukuplah hukumnya. Bahkan dapat menjadi fardu 'ain jika yang sakit itu kerabat, ketika kamu menziarahinya, maka itu merupakan penyambung silaturrahim dan menyambung silaturrahim itu hukumnya wajib.

Ketahuilah, sesungguhnya para ulama menyebutkan beberapa etika menziarahi orang yang sakit. Di antaranya, jangan banyak bertanya kepada yang sakit tentang keadaannya, tidurnya, makannya, minumnya dan lain sebagainya, kecuali jika hal ini membuatnya senang. Namun jika ia merasa terganggu dan tidak menyukai hal tersebut sebagaimana keadaan orang-orang yang sakit, maka janganlah berbicara banyak dan jangan mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan. Kerana mereka berkata, “Hendaknya jangan berkunjung terlalu lama, barangkali ia punya keperluan lain dengan keluarganya atau dirinya, namun jika yang sakit itu senang dan gembira dengan hal itu, maka anda dapat menilai sesuatu yang mengandung manfaat.”

Mereka juga mengatakan, “Sepantasnya juga jangan menziarahinya pada waktu yang biasa dipakai untuk tidur dan istirahat, seperti pada saat tidur siang, tidur malam dan selainnya, kerana hal ini akan mengganggu dan menyusahkannya, waktu yang pantas adalah waktu pagi dan petang, disesuaikan dengan keadaan.” Mereka mengatakan, “Hendaknya jangan terlalu sering menziarahinya, misalnya mengunjunginya setiap pagi dan petang, kecuali kalau memang ada keperluan.”

Kesimpulannya, bahwa seseorang yang menziarahi orang yang sakit hendaknya memerhatikan kemaslahatan orang yang sakit. Kemudian jika orang yang sakit itu punya ubat tertentu, maka hendaknya orang yang menziarahinya itu mengingatkannya ubat tersebut, kerana berubat itu adalah hal yang diperbolehkan, bahkan itu adalah sebuah sunnah, jika memang diharapkan kemanfaatannya berdasarkan prasangka yang kuat, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Berubatlah, namun janganlah berubat dengan yang haram.

[HR. At-Tirmidzi no. 3874 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam shahih Al-Jami no. 1762]

Demikian juga, hendaknya menanyakan bagaimana ia melaksanakan shalat? Kerana sebagian besar orang yang sakit tidak mengetahui tata cara shalatnya, apakah mereka harus berwudhu atau tayammum? Apakah ia shalat setiap waktunya atau dijama'? Kerana ini adalah perkara penting yang jarang diketahui oleh sebagian orang yang sakit. Sampai sebagian mereka menyangka bolehnya menjama' mengqashar, sedangkan ia masih berada di daerahnya. Inilah hal-hal yang perlu diperhatikan. Ya, jika orang yang sakit itu berada dalam perjalanan ke rumah sakit yang bukan di daerahnya, maka ia boleh menjama' atau mengqashar shalatnya. Adapun jika rumah sakit itu masih berada di daerahnya, maka ia tidak boleh mengqashar, apabila ia sulit untuk melaksanakan shalat setiap waktu, maka ia boleh menjama'nya walaupun ia berada di daerahnya sendiri, tetapi jama'nya tanpa qashar, kerana jama' dan qashar ini tidak saling berkaitan, terkadang yang disyariatkan hanya qashar saja tidak jama' dan sebaliknya disyariatkan hanya jama' tidak qashar, dan terkadang keduanya disyariatkan secara bersamaan. Orang musafir yang sulit melaksanakan shalat setiap waktunya, dimana perjalanannya itu terkadang terlalu jauh yang mensyariatkannya untuk menjama' dan qashar, sedangkan musafir yang bermukim, maka bolehnya baginya mengqashar tanpa menjama' dan jika ia menjama' maka tidaklah mengapa.

Adapun hak yang ketiga adalah mengiringi jenazah dan menguburkannya, hak seorang muslim yang wajib atas saudaranya adalah mengiringi jenazahnya dari rumah ke tempat shalat -Apakah di masjid atau di tempat lainnya- sampai ke pemakaman. Telah ditetapkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa baginda bersabda,

Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,” kemudian baginda ditanya, “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Baginda menjawab, Seperti dua gunung yang besar.” Dalam riwayat yang lain, “Yang paling kecil di antara keduanya adalah seperti gunung uhud.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 1325 dan Muslim no. 945]

Ini adalah keutamaan yang begitu agung dan pahala yang begitu besar. Ketika hadits ini sampai kepada Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, maka beliau berkata, “Kita benar-benar telah menyia-nyiakan banyak qirath.” Setelah itu tidaklah ia melihat jenazah kecuali ia mengiringinya, kerana hal ini seperti harta rampasan perang (ghanimah) seseorang bisa mendapatkan dua gunung besar hanya dengan satu amal ringan, ini adalah pahala, kapan ia akan menerimanya? Ia akan menerimanya pada hari yang sangat dibutuhkannya, di hari tidak ada dirham, tidak juga dinar dan harta dunia lainnya, para kerabat dan istrinya semuanya tidak berguna pada hari kiamat, kecuali amal shalih. Jika dia mengikuti jenazah sampai menyalatkannya, bahkan sampai pemakamannya maka baginya dua qirath yang serupa dengan dua gunung besar, yang paling kecil itu seperti gunung uhud.

Sepantasnya bagi orang yang mengikuti jenazah untuk khusyu' berpikir tentang tempat kembalinya dan berkata dalam hati, “Wahai jiwaku, tempat kembalimu seperti tempat kembalinya jenazah yang ada di atas pundak kami ini, dalam waktu dekat atau jauh, bisa jadi dalam waktu dekat.” Hendaknya ia mengingat kepergian ini, mengingat bahwa orang yang paling dekat dan paling utama dengannya dan orang yang paling mengasihinya adalah orang yang menyerahkannya sampai ke liang kotornya, menguburkan dan menutupinya serta membiarkannya di sana. Orang yang paling dekat adalah orang yang membawamu sampai ke pemakaman kemudian meninggalkanmu, lalu membiarkanmu berada di liang lahad tersebut, menyendiri dengan amal-amalmu. Jika amalmu baik maka akan dibalas dengan kebaikan, dan jika amalmu buruk maka akan dibalas dengan keburukan juga. Kerananya para ulama berkata, “Bagi orang yang mengiringi jenazah dimakruhkan berbicara tentang suatu urusan dunia, tersenyum dan mahupun tertawa.”

Demikian juga jika telah sampai di kuburan, hendaknya kamu duduk dan menunggu sampai mayat dikuburkan, hendaknya kamu juga merenungi tempat kembalimu, pemakamanmu pun akan ditunggu sebagaimana ditunggunya pemakaman orang ini. Jika ada orang-orang disekitarmu dan kamu mengatakan kepada mereka seperti apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para sahabatnya, ketika baginda keluar menghantarkan jenazah seorang lelaki Anshar sampai ke pemakaman. Ketika jenazah diletakkan di lahad Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun duduk bersama para sahabatnya, di tangannya ada Mikhsharah; sebatang kayu yang baginda pukul-pukulkan ke tanah, baginda mengambil pelajaran, berpikir dan berbicara kepada para sahabatnya tentang apa yang terjadi saat sakaratul maut dan saat dimakamkan sampai mencakup nasehat dan ihwal penyelenggaraan jenazah. Akan tetapi pada saat sekarang, nasehat ini tidak seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di beberapa tempat, seseorang berdiri menyampaikan khubah memberi nasehat kepada jamaah, hal ini tidak dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga pada zaman sahabat, akan tetapi tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersama para sahabat menunggu dimaksukannya mayat ini ke liang lahat baginda berbicara kepada mereka dengan ucapan yang bermanfaat dan sesuai bagi mereka.

Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir pada pemakaman salah seorang putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda berada di tepi kuburan dan kedua matanya berlinang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidaklah ada salah seorang di antara kalian kecuali telah dituliskan tempat duduknya berupa surga dan neraka.” Mereka bertanya, “Ya Rasululullah, apakah kita tidak perlu beramal, pasrah saja dengan apa yang telah dituliskan kepada kita?” Baginda menjawab, “Tidak, tapi beramallah, setiap sesuatu akan dimudahkan terhadap apa yang diperbuatnya, orang-orang yang bahagia akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan orang-orang berbahagia. Adapun orang-orang yang celaka maka akan dimudahkan untuk melakukan perbuatan orang-orang yang celaka.” Kemudian baginda membaca firman Allah Ta'ala,

“Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan) Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (QS. Al-Lail: 92: 5-10)

Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk golongan orang yang berbahagia, yang dimudahkan untuk memperoleh kebaikan dan menghindari kesulitan.

Jika mereka melakukan pemakaman, hendaknya ia ikut serta dalam pemakaman itu, dengan cara menuangkan tanah (ke dalam kubur) sebanyak tiga kali lalu pergi, atau jika ia mahu ia bergabung sampai acara pemakaman itu selesai, tatkala acara pemakaman sudah selesai, maka berdiamlah sejenak, jika ia seorang yang punya loyalitas dalam ilmunya, maka hendaknya ia berkata kepada orang-orang, “Mintakanlah ampunan untuk saudara kalian, dan mohonkanlah keteguhan untuknya, kerana sekarang ia akan ditanya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika telah selesai menguburkan mayat, baginda berdiam sejenak lalu bersabda,

“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian, mohonkanlah keteguhan untuknya, kerana sekarang ia akan ditanya.”

[HR. Abu Dawud no. 3221 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abu Dawud (1: 2), Misykat Al-Mashabih (1: 29)]

Ketika orang-orang sudah selesai menguburkannya, maka datanglah kepadanya dua malaikat menghampirinya untuk menanyakan tentang Tuhannya, agama dan nabinya, orang-orang yang beriman akan menjawab, “Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan nabiku adalah Muhammad,” aku memohon kepada Allah untuk menjadikan kita sekalian termasuk orang-orang yang mampu menjawab pertanyaan ini.

Adapun orang mukmin yang ragu dengan keimanannya, maka ia akan menjawab, “Ha!! aku tidak tahu, aku mendengar orang mengatakan sesuatu lalu aku mengatakannya juga,” yakni keimanan belum masuk ke dalam hatinya. -Na'udzu Billah- Maka hendaknya kamu berdiam sejenak setelah acara pemakaman selesai dan berdoa, “Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah teguhkanlah dia, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah teguhkanlah dia, Ya Allah ampunilah dia, Ya Allah teguhkanlah dia.” Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdoa, baginda berdoa tiga kali, maka berdoalah tiga kali dan tidak perlu lama-lama berdiam diri.

Tatkala semua orang sudah pergi meninggalkan mayat, sesungguhnya mayat tersebut mendengar suara terompoh mereka yang perlahan-lahan menjauhinya. Yakni ketukan sandal yang beradu dengan tanah, ketika mereka beranjak meninggalkannya, kemudian datanglah dua malaikat keduanya mendudukkan mayat tersebut lalu bertanya kepadanya tentang Tuhannya, agamanya dan nabinya. Mereka mendudukkannya di kubur, walaupun kubur itu sempit, tetapi ia tetap duduk, sebagaimana orang yang sedang tidur ia melihat dirinya berdiri, berjalan dan duduk padahal ia sedang berselimut di atas kasurnya tidak bergerak. Kerana keadaan alam barzakh itu lebih besar dari alam dunia, di sini ada beberapa perkara yang tidak dapat disesuaikan dengan keadaan dunia. Inilah dia mayat yang muslim, kuburnya dibentangkan sepanjang mata memandang, kuburan bukanlah apa-apa, luasnya tidaklah seperti mata memandang, urusan akhirat itu tidak dapat dibandingkan dengan urusan dunia. Kewajiban kita terhadap apa yang ada dalam Al-Qur'an dan apa yang dijelaskan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa urusan akhirat adalah mengucapkan, “Kami mendengarnya, kami menaatinya, kami membenarkannya, kami mengimaninya, semuanya dari sisi Tuhan kami dan Allah mampu atas segala sesuatu.” 

Hak yang keempat adalah memenuhi undangan; ini merupakan hak seorang muslim yaitu apabila diundang, maka ia wajib memenuhinya. Memenuhi undangan itu disyariatkan, tanpa ada perselisihan di antara ulama, itulah yang kami ketahui, itu pun jika yang mengundangnya seorang muslim, dan bukan seorang pelaku kemaksiatan, bukan undangan yang mengandung kemaksiatan yang sulit untuk dihapuskan. Menurut para ulama, tidaklah wajib memenuhi udangan, kecuali berupa undangan perkhawinan, apabila suami itu mengundangnya pertama kali di hari pertama. Memenuhi undangan ini wajib jika telah tercukupi syarat-syarat yang telah kami sebutkan.

Jika yang mengundang itu non muslim, maka kita tidak wajib memenuhinya, bahkan tidak disyariatkan untuk mendatanginya, kecuali jika di dalamnya terdapat kemaslahatan. Jika di dalamnya terdapat kemaslahatan seperti harapan ia akan masuk Islam, dan menundukkan hatinya maka tidaklah mengapa menjawab undangannya, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memenuhi undangan seorang Yahudi yang mengundangnya di Madinah. 

Jika yang mengundang itu seorang muslim pelaku maksiat, seperti memotong jenggot misalnya, atau merokok secara terang-terangan di pasar, dan lain sebagainya berupa kemaksiatan, maka memenuhi undangannya tidaklah wajib, akan tetapi jika dalam pemenuhan undangan itu terdapat kemaslahatan, maka penuhilah, jika tidak ada kemaslahatannya, maka dalam hal ini ada pertimbangan, jika tiada memenuhi undangannya itu terdapat kemaslahatan, dimana ia menyadari bahwa ia telah diasingkan dan orang-orang tidak memenuhi undangannya ia akan bertaubat dan kembali kepada Allah, maka janganlah memenuhi undangannya, semoga Allah memberinya hidayah. Jika tidak ada faedahnya, maka kamu boleh memilih; kalau memang mau memenuhinya maka penuhilah dan jika tidak, maka janganlah kamu memenuhinya.

Jika dalam undangan itu terdapat kemungkaran, apabila ia mampu untuk mengubahnya, maka ia wajib memenuhi undangan itu dari dua sisi: Pertama, menghilangkan kemungkaran. Kedua, memenuhi undangan saudaranya, jika undangan itu undangan pernikahan dan dilangsungkan pada hari pertama. Adapun jika dalam undangan itu terdapat kemungkaran dan kamu tidak mampu untuk mengubahnya, seperti dalam acara terdapat musik-musik yang diharamkan, maka kamu tidak boleh memenuhi undangan tersebut.

Sebagian ulama berpendapat, kecuali jika kemungkaran itu ada di tempat lain, sedangkan kamu memenuhi undangan itu di tempat yang tidak ada kemungkarannya, dan yang mengundangnya merupakan kerabatmu, apabila kamu tidak menghadirinya akan dikhawatirkan terputusnya silaturahim, maka tidaklah mengapa menghadirinya. Jika kita mendiamkan seseorang itu dapat menyebabkan dia meninggalkan kemaksiatannya, maka diamkanlah, misalnya jika ada kerabat mengundangmu dan kamu mengetahui bahwa dalam undangan tersebut terdapat sesuatu yang diharamkan, dan kamu mengucapkan kepadanya, “Saya tidak akan memenuhi undanganmu, kecuali dengan syarat tidak ada acara yang diharamkan,” jika ia menerima syaratmu itu, maka penuhilah. Akan tetapi, jika ia menolaknya, janganlah kamu memenuhinya; kerana menghadiri sesuatu yang diharamkan walaupun disertai kebencian dalam hati, tetap saja ia termasuk orang yang bergabung dengan kemaksiatan, Allah Ta'ala berfirman,

Dan sungguh, Allah telah menurunkan (ketentuan) bagimu di dalam Kitab (Al-Qur'an) bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum kamu memasuki pembicaraan yang lain. Kerana (kalau tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka.” (QS. An-Nisa: 4: 140) Inilah hukum memenuhi undangan.

Semua hak-hak yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dilaksanakan oleh setiap orang, maka akan terwujudlah kasih sayang dan kecintaan, hilanglah ganjalan berupa kebencian dan kemarahan dalam hati dan jiwa.

Hak yang kelima adalah mendoakan orang yang bersin, merupakan hak seorang muslim kepada muslim yang lain yaitu mendoakannya jika ia bersin, demikianlah riwayat yang pertama yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat yang kedua yang dikeluarkan oleh muslim, “Jika seseorang yang bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, maka doakanlah,” disyaratkan dengan ucapan hamdalah.

Jika seseorang bersin lalu mengucapkan hamdalah dan kamu mendengarnya, maka doakanlah, yakni katakanlah, “Yarhamukallah” (semoga Allah merahmatimu) dan wajib baginya mengucapkan, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum,” (semoga Allah memberimu hidayah dan memperbaiki keadaanmu). Demikian riwayat dari hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya baginda berkata dalam menjawab orang yang bersin, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 6224] 

Akan tetapi, apakah mendoakan orang yang bersin jika ia mengucapkan hamdalah itu fardhu 'ain atau fardhu kifayah? Yakni, apakah cukup satu orang dari jamaah yang mendoakannya atau semua orang yang mendengar wajib mendoakannya? Jawabnya, bahwa sebagian para ulama mengatakan, “Mendoakan orang yang bersin itu adalah fardu kifayah,” jika kita berada dalam jamaah, kemudian ada seseorang yang bersin dan ia mengucapkan hamdalah, maka cukuplah salah seorang dari kita mengucapkan,“Yarhamukallah”

Sebagian ulama yang lain ada mengatakan fardhu 'ain, yakni wajib bagi setiap orang yang mendengarkannya, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak bagi setiap orang muslim yang mendengarkannya untuk mengatakan, “Yarhamukallah.” Zhahir hadits ini mengatakan fardhu 'ain. Berdasarkan hal ini, maka setiap orang yang mendengarnya harus mengatakan,  “Yarhamukallah” dan bagi yang bersin harus mengatakan, “Yahdikumullah wa yushlih baalakum.” Yang menjawabnya cukup untuk satu orang saja, jika ia meniatkannya untuk semua, maka hal ini sudah dianggap cukup.

Jika ia bersin dan tidak mengucapkan hamdalah, maka jangan doakan “Yarhamukallah” sebagai hukuman baginya kerana tidak memuji Allah. Yakni, disebabkan ia tidak memuji Allah, maka haramlah doa itu untuknya. Jangan katakan kepadanya, “Yarhamukallah” lalu apakah perlu mengingatkannya dengan mengatakan, “Katakanlah Alhamdulilah atau tidak perlu mengingatkannya?” Jawab, di antara yang sudah dimaklumi mungkin saja ia meninggalkan mengucapkan, “Alhamdulillah” itu kerana meremehkan, mungkin juga kerana lupa, jika ia lupa maka ingatkanlah, ucapkan kepadanya, “Ucapkanlah hamdalah,” jika ia meninggalkannya kerana menyepelekan, maka kamu tidak perlu mengingatkannya, akan tetapi bagaimana saya dapat mengetahui hal tersebut? Bagaimana saya mengetahui bahwa ia lupa atau menyepelekannya? Maka zhahir hadits, “Lalu mengucapkan hamdalah,” jika ia tidak mengucapkan hamdalah maka tidak ada doa baginya dan tidak perlu mengingatkannya secara mutlak.

Barangkali nantinya kamu dapat memberitahukannya dan mengatakan kepadanya,  “Jika seseorang bersin, hendaklah ia mengucapkan hamdalah kerana bersin itu datangnya dari Allah sedangkan menguap datangnya dari setan.” Bersin menunjukkan aktivitas badan seseorang, kerananya orang setelah bersin itu merasakan lega.   

Sesungguhnya mendoakan orang yang bersin dengan ucapan “Yarhamukallah” dibatasi tiga kali, jika ia mendoakannya tiga kali yakni jika ia bersin dan mengatakan, “Alhamdulillah” maka ucapkanlah, “Yarhamukallah” kemudian ia bersin lagi mengatakan, “Alhamdulillah” maka ucapkanlah, “Yarhamukallah kemudian jika ia bersin lagi dan mengatakan, “Alhamdulillah” maka ucapkanlah, “Yarhamukallah” kemudian jika ia bersin lagi untuk yang keempat kalinya, maka katakanlah, “Semoga Allah menyembuhkanmu, sesungguhnya kamu terserang flu (selsema)280
mendoakannya dengan keselamatan, dan
menjelaskan kepadanya bahwa ia sedang sakit flu, agar ia tidak mengatakan, “Kenapa kamu tidak mengatakan, “Yarhamukallah” sebagaimana kamu katakan kepada yang pertama, “Yarhamukallah” maka jelaskanlah alasannya ketika anda mengatakan, “Semoga Allah menyembuhkanmu, sesungguhnya kamu terserang flu.”

Di dalam hadits ini terdapat peringatan untuk berusaha menjaga diri dari apa yang dapat menambah flu. Jika tidak dijaga maka sesunggguhnya flu itu biasanya tidak ada obatnya bila telah menyerang seseorang dan tidak akan hilang kecuali bila telah selesai. Akan tetapi di antara sebab-sebab yang dapat meringankannya adalah tidak sering berada pada cuaca dingin, tidak minum air dingin, dan tidak mendinginkan diri setelah merasa hangat, dialah yang menjadi dokter bagi dirinya. 

280. [Terdapat perselisihan riwayat dalam jumlah hitungan mendoakan orang yang bersin. Yakni riwayat hadits dari Salamah bin Al-Akwa' yang terdapat dalam Shahih Muslim no. 2993 dan selainnya, bahwasanya salah seorang bersin di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkatalah baginda kepada orang itu, “Yarhamukallah” kemudian ia bersin lagi, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata kepadanya, “Orang ini terserang flu,” dalam riwayat yang lain baginda mengatakan itu pada bersin yang ketiga, “Kamu terserang flu,” dalam riwayat yang lain baginda mengucapkannya pada bersin yang kedua. Al-Hafizh dalam Al-Fath (10/605), At-Tirmidzi menguatkan riwayat orang yang mengatakan pada bersin yang ketiga atas riwayat bersin kedua, kemudian beliau berkata, “Ini adalah perbedaan yang mencolok dalam lafal hadits, akan tetapi yang paling banyak adalah meninggalkan berdoa untuk orang yang bersin setelah bersin pertama, kemudian beliau berkata dalam (10/606), “Dan An-Nawawi menceritakan dari Ibnu Arabi bahwa para ulama berbeda pendapat apakah mengucapkan bagi orang berkali-kali bersinnya, “Kamu terserang flu” pada yang kedua, ketiga atau keempat, berdasarkan beberapa pendapat yang benar adalah yang ketiga, beliau berkata, “Maknanya; bahwasanyai kamu bukan orang yang mendoakannya setelah itu, kerana orang itu sedang sakit- bukan bersin yang disukai yang menyegarkan badan.”]

Kemudian yang sering diucapkan oleh sebagian orang awam, jika kamu mengucapkan kepadanya, “Yarhamukallah” di mana mereka berkata, “Yahdiina wa yahdiikumullah” ini tidak benar, kerana seseorang mengucapkan kepadamu, “Yarhamukallah” maka bagaimana bisa kamu menjawabnya dengan “Yahdiina wa yahdiikumullah” kamu mendoakan untuk dirimu sebelum mendoakannya! Ya kalau ia mengucapkan, “Yarhamunaa wa Yarhamukallah” maka ucapkanlah “Yahdiina wa yahdiikumullah” akan tetapi ia hanya mengucapkan “Yarhamukallah” sebagaimana yang diperintahkan, maka kamu pun menjawabnya sebagaimana yang diperintahkan, ucapkanlah, “Yahdiikumullah wa yushlihu baalakum.”

Disebutkan ada seorang Yahudi sedang bersin di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni ia berusaha membersinkan diri, supaya ia didoakan dengan ucapan, “Yarhamukallah” kerana mereka mengetahui bahwa baginda adalah seorang Rasul dan doanya dengan rahmat dapat membawa manfaat buat mereka, tetapi sebenarnya hal itu tidaklah bermanfaat bagi mereka, kerana orang kafir jika kalian mendoakan dengan rahmat, hal itu tidak akan bermanfaat bagi mereka, maka tidak boleh kamu mendoakannya dengan rahmat jika ia telah mati, tidak juga dengan ampunan. Allah Ta'ala berfirman,

“Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang beriman memohon ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kaum kerabatnya, setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka Jahanam.”
(QS. At-Taubah: 9: 113)

Jika dikatakan, bukanlah Nabi Ibrahim 'alaihissalam memintakan ampunan untuk bapaknya sedangkan Ibrahim itu berada di jalan yang lurus dan tauhid? Jawabnya secara jelas ada pada firman Allah Ta'ala,

“Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah kerana suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” 
(QS. At-Taubah: 9: 114)

Hadits 240.
وَعَنْ أَبِي عُمَارَةَ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسبْعٍ: أَمَرَنَا بِعِيَادَةِ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعِ الْجَنَازَةِ، وَتَشْمِيتِ الْعَاطِسِ، وَإِبْرارِ الْمُقْسِمِ، وَنَصْرِ الْمَظْلُومِ، وَإِجَابَةِ الدَّاعِي، وَإِفْشَاءِ السَّلاَمِ. وَنَهانَا عَنْ خَوَاتِيمَ أَوْ تَختُّمٍ بِالذَّهَبِ، وَعَنْ شُرْبٍ بِالفَضَّةِ، وَعَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ، وَعَنِ الْقَسِّيِّ، وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالْإِسْتَبْرَقِ وَالدِّيبَاجِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abi Umarah Al-Bara' bin 'Azib radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami tujuh perkara:

1. Memerintahkan kami untuk mengunjungi orang yang sakit. 
2.Menghantar jenazah.
3. Mendoakan orang yang bersin.
4. Menepati sumpah.
5. Menolong orang yang dizhalimi.
6. Memenuhi undangan.
7. Menyebarkan salam.

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang,

1. Memakai cincin emas.
2. Minum dengan bekas yang dibuat daripada perak.
3. Memakai mitsarah (alas duduk yang dibuat dari sutera)
4. Memakai sutera bercampur kapas.
5. Memakai sutera nipis.
6. Memakai sutera tebal.
7. Memakai sutera berkilat.

[Shahih Al-Bukhari no. 1239, 2445 Muslim no. 2066]

Dalam suatu riwayat yang lain disebutkan dalam golongan tujuh pertama, “Diperintahkan pula mengumumkan barang yang hilang.” Sebagai tambahan pada tujuh hal yang pertama.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari “Bab Hak-hak seorang muslim kepada saudaranya,” dari hadits Abi Umarah Al-Bara' bin 'Azib radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami dengan tujuh perkara dan melarang kami tujuh perkara, lima perkara yang telah diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada hadits ini telah dijelaskan dalam hadits yang lalu maka tidak perlu diulangi. Dalam hadits ini ada tambahan dari hadits yang telah lalu, yaitu sabdanya, “Menolong orang yang dizhalimi. 

Hak yang keenam dari hak-hak seorang muslim kepada saudaranya adalah menolong orang yang di zhalimi, yakni mencegah kezhaliman itu, baik kezhaliman pada harta, harga diri, atau jiwa. Seorang muslim wajib menolong saudaranya yang muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tolonglah saudaramu yang berbuat zhalim atau yang dizhalimi, Mereka berkata, “Ya Rasulullah, orang yang dizhalimi ini- yakni kami membelanya dari kezhaliman- bagaimana kami menolong orang yang zhalim?” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mencegah dia dari berbuat kezhaliman itulah cara menolongnya, 

[Shahih Al-Bukhari no. 6952]

Kerana orang yang zhalim itu terkalahkan oleh nafsunya sehingga ia berbuat zhalim, maka kamu menolong untuk mengalahkan nafsunya sehingga ia tercegah dari kezhaliman tersebut. 

Jika kamu melihat seseorang yang menzhalimi tetangganya dengan menjelek-jelekkan dan tidak adanya kepedulian terhadapnya, maka kamu wajib menolong keduanya; yang zhalim dan yang terzhalimi, pergilah kepada orang yang menzhalimi tetangganya, yang tidak peduli dengan hak-hak tetangganya, berikan ia nasihat dan jelaskan kepadanya tentang dosa dan ganjaran bagi orang-orang yang berbuat buruk kepada tetangganya, juga jelaskan tentang pahala dan balasan bagi orang yang berbuat baik kepada tetangganya, ulangi terus sampai Allah memberikan petunjuk kepadanya, lalu ia meninggalkannya. Tolonglah tetangga yang terzhalimi, kamu katakan padanya, “Aku akan menasehati tetanggamu dan berbicara padanya,” jika Allah memberikan hidayah kepadanya, maka inilah yang kita harapkan, dan jika ia tidak mendapatkannya, maka kabarkan padaku hingga aku dan kamu mengadukannya kepada hakim, kita saling membantu dalam mencegah kezhaliman orang ini.

Demikian juga jika kita mendapatkan seseorang yang benar-benar mengingkari hak saudaranya, dan kamu mengetahui bahwa ia telah mengingkarinya, sedangkan saudaranya itu punya hak yang wajib ia penuhi, maka datangilah orang yang zhalim ini; yang mengingkari hak saudaranya, nasehatilah, jelaskan kepadanya tentang siksaan bagi orang yang memakan harta orang lain dengan cara yang batil, tidak ada kebaikannya memakan harta dengan jalan batil, baik di dunia maupun di akhirat, bahkan semua itu merupakan kejelekan, sampai ia mengembalikannya kepada pemiliknya yang hak. Katakan padanya, “Aku bersamamu dan bersabarlah, marilah kita menasehatinya, marilah kita menegurnya.” Demikian seterusnya terhadap kezhaliman yang lainnya, kamu tolong saudaramu yang zhalim atau yang terzhalimi, tolonglah saudaramu yang dizhalim, yaitu dengan cara mencegahnya dari berbuat kezhaliman.

Hak yang ketujuh adalah menepati sumpah, yakni jika ia bersumpah padamu dengan sesuatu, maka tepati dan sepakatilah sumpahnya itu. Jika ia bersumpah dan berkata, “Demi Allah, aku akan berbuat ini dan itu,” maka kamu wajib menepati sumpah tersebut dan menyepakatinya, kecuali jika hal itu memudharatkanmu, misalnya jika ia bersumpah padamu agar memberitahukannya tentang isi rumahmu berupa sesuatu yang tidak kamu sukai jika orang lain mengetahuinya, maka janganlah kamu beritahukan, kerana dia sudah melampaui batas, hal ini kerana ia memintamu untuk menjelaskan sesuatu yang menjadi rahasiamu, jika ia sudah melampaui batas, maka balasan bagi orang yang melampaui batas adalah meninggalkannya dan jangan menyepakati pelanggaran tersebut.

Tetapi jika dalam sumpahnya itu tidak ada pelanggaran, maka kamu wajib menepatinya, berikan apa yang telah disumpahkannya, kecuali jika berupa kemaksiatan, apabila sumpah itu berupa kemaksiatan, maka janganlah kamu memenuhinya. Misalnya ia bersumpah jika kamu memberikannya dirham maka ia akan membelikannya rokok, hal ini tidak harus kamu penuhi, bahkan kamu tidak boleh menyetujuinya; kerana kamu akan membantunya dalam berbuat dosa dan permusuhan. Atau sumpah yang memudharatkanmu, seperti yang telah kita contohkan tentang orang yang bersumpah padamu agar kamu memberitahukan tentang rahasia rumahmu, berupa hal-hal yang tidak kamu sukai untuk diketahui oleh seseoranl

Atau ia bersumpah padamu dengan sesuatu yang membahayakanmu, misalnya ketika ia bersumpah dengan sesuatu yang membahayakanmu jika kamu setujui, seperti ia mengucapkan, “Demi Allah, jangan naik haji,” sedangkan haji itu wajib bagimu, maka janganlah kamu menaatinya, kerana di dalamnya mengandung perintah untuk meninggalkan kewajiban. Tidak ada ketaatan terhadap makluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq, atau ia bersumpah padamu untuk tidak menziarahi ibumu yang telah ia talak, sehingga terjadilah permasalahan antara dia dan ibunya, maka timbulah ketidaksukaannya, lalu ia berkata kepadamu, “Demi Allah, jangan pergi kepada ibumu.” Hal ini tidak perlu diikuti kerana termasuk perbuatan dosa, yang akan menghalangi antaramu dan menyambung silaturrahim. Silaturrahim itu wajib, berbuat baik kepada kedua orang tua pun wajib, maka janganlah kamu menurutinya.

Di antaranya juga, jika seseorang bersumpah supaya kamu tidak mengunjungi saudara-saudaramu atau paman-pamanmu, atau kerabat-kerabat yang lainnya, maka tidak perlu ditaati, jangan menepati sumpahnya, walaupun ia bapakmu, kerana silaturrahim adalah wajib, ia tidak boleh bersumpah seperti itu. Jika silaturrahim dijalankan oleh seseorang, maka Allah akan menyambungkannya, Allah telah berjanji mengenai silaturrahim, ia akan menyambungkan orang yang menyambungnya dan memutuskan orang yang memutuskannya, jika tidak ada hal-hal yang terlarang, maka yang lebih utama adalah menepatinya.

Ada satu permasalahan yaitu barangkali seseorang yang bersumpah atau barangkali juga anda yang bersumpah, ini seringkali terjadi pada tamu yang berkunjung kepadamu, ia berkata, “Demi Allah, jangan kamu menyembelih apa pun untuk saya,” kemudian anda juga bersumpah dan berkata, “Demi Allah, saya akan menyembelih ayam untukmu,” di sini siapa yang akan menepati, yang pertama atau yang kedua? Yang menepati adalah pertama, kerana haknya sudah tetap, dan kita katakan kepada orang yang kedua yaitu pemilik rumah yang telah bersumpah untuk menyembelih ayam, “Jangan kamu sembelih, bayarlah kafarat atas sumpahmu, kerana yang pertama lebih dahulu dan lebih berhak untuk ditepati.”

Di sini juga ada permasalahan yang harus dipahami dalam perkara ini, yaitu sebagian orang yang tidak mengerti apabila kedatangan tamu, maka tamu tersebut bersumpah dengan mempermainkan talak saraya berkata, “Sumpah, aku akan menalak istri-istriku -jika ia punya banyak istri- jika kamu menyembelih sesuatu untukku,” kemudian pemilik rumah berkata, “Dan aku bersumpah akan menalak istriku jika aku menyembelih sesuatu untukmu.” Ini adalah kekeliruan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bersumpah hendaklah ia bersumpah dengan nama Allah atau ia diam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2679, 6646 Muslim no. 1646]

Adapun sumpah talak, maka tidak diperbolehkan, apa dosa seorang istri hingga kamu menalaknya? Ini adalah kekeliruan yang besar.

Saya katakan kepada kalian, bahwa para mufti (pemberi fatwa) sekarang ini -termasuk saya- berfatwa bahwa sesungguhnya seseorang jika ingin bersumpah dengan talak untuk mengancam atau meyakinkan maka talaknya tidak jatuh, dan wajib baginya kafarat sumpah; yakni hukumnya adalah hukum sumpah, akan tetapi saya katakan kepada kalian, “Bahwasanya sebagian besar ulama, di antaranya para pemegang madzab yang empat, menyatakan bahwa hal ini sudah termasuk talak, jika ia tidak menunaikan apa yang dikatakannya, maka ia harus menalak istrinya, masalah ini sangat berbahaya sekali, jangan kalian menyangka bahwa seseorang jika memfatwakan sesuatu yang mudah itu maka permasalahannya pun akan mudah, akan tetapi permasalahannya sangatlah berbahaya. Jika para pemilik madzab yang empat; Al-Maliki, As-Syafi'i, Al-Hanafi dan Al-Hambali semuanya berpendapat bahwa hal ini sudah termasuk ke dalam talak, jika ia bersumpah dengan talak untuk tidak menyembelih hewan (sebagai jamuan) kemudian ia malah menyembelih, maka ia menalak istrinya. Jika kamu bersumpah dengan talak untuk menyembelih hewan (sebagai jamuan) kemudian kamu malah tidak menyembelih, maka kamu harus menalak istrimu. Menurut madzab yang empat itu ini bukanlah masalah yang ringan, dan perbedaan pendapat dalam masalah ini juga bukan sesuatu yang ringan, maka janganlah kalian menyepelekan masalah ini, kerana sangat berbahaya.

Sebagai contoh, jika kamu kembali kepada istrimu sedangkan talaknya adalah talak akhir, dan kamu menyetubuhinya, maka menurut mahzab yang empat persetubuhan kamu itu adalah persetubuhan yang diharamkan. Adapun berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa itu adalah sumpah, maka dikatakan, “Bayarlah kafarat dan halallah bagimu,” permasalahannya sungguh sangat berbahaya, kerananya kita wajib saling mencegahnya, jangan sampai kita mengatakan jika hal ini terjadi, “Pergilah ke Syaikh bin Baz atau Ibnu Utsaimin, atau orang kedua dan ketiga,” hal ini tidaklah ada manfaatnya, kerana di sana ada ulama-ulama yang lebih besar dan mulia di antara mereka ada yang berpendapat bahwa hal ini termasuk talak, jika talak ini merupakan talak akhir, maka sesungguhnya istri telah ditalak ba'in, ia tidak halal bagi suaminya, kecuali setelah menikah dengan yang lain. Saya katakan, “Ini bertujuan agar kalian tidak menyepelekan permasalah ini, kerana masalah ini adalah masalah yang sangat berbahaya, barangsiapa yang bersumpah maka hendaknya ia bersumpah dengan nama Allah, dia mengatakan, “Demi Allah.”

Kemudian saya tunjukkan kepada kalian perkara yang sangat penting, jika kalian bersumpah maka katakanlah, “Insya Allah” walaupun temanmu itu tidak mendengarnya, kerana jika kamu mengatakan, “Insya Allah” maka Allah akan memudahkan urusanmu sampai ditepatinya sumpah itu, jika diperkirakan bahwa apa yang kamu inginkan itu tidak membuahkan hasil maka tidak ada kafarat atasmu, ini adalah faedah yang besar.

Jika kamu mengatakan kepada seseorang misalnya “Demi Allah, jangan sembelih untukku,” kemudian kamu mengatakan antaramu dan hatimu, “Insya Allah,” -antaramu dan hatimu- kemudian ia menyembelih untukmu, maka tidak mengapa bagimu, tidak ada kafarat bagimu, demikian pula sebaliknya, jika kamu berkata, “Demi Allah, saya akan menyembelih,” kemudian kamu berkata, -antaramu dan hatimu- “Insya Allah,” dan rakanmu tidak mendengarnya, sesungguhnya jika kamu tidak menyembelih maka tidak ada kafarat bagimu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang bersumpah, kemudian ia mengatakan “Insya Allah,” maka ia tidak melanggar sumpah,” ini adalah faedah yang besar, maka jadikanlah ini pada lisan-lisan kalian, selamanya jadikanlah “Insya Allah,” atas lisan-lisan kalian, sehingga akan ada dua faedah: Pertama, dimudahkannya urusanmu, Kedua: Jika anda melanggar sumpah, maka tidak ada kafarat bagimu.

Adapun yang ketujuh yang di larang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Barra, di antaranya adalah memakai cincin emas. Memakai cincin emas ini khusus bagi laki-laki, mereka tidak boleh memakai emas atau memakai cincin emas, tidak juga gelang dari emas, kalung dari emas, tidak juga memakai rantai dari emas dan tidak juga memakai sesuatu di kepalanya yang terbuat dari emas, setiap emas hukumnya haram bagi laki-laki, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin emas pada seorang pria. Kemudian baginda melepaskannya lalu melemparkannya dan bersabda, “Kenapa seseorang dari kalian sengaja mengambil bara api dari neraka dan meletakkannya di tangannya?” Kemudian setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, lalu ada orang yang berkata kepada orang yang memiliki cincin tersebut, “Ambillah cincinmu. Manfaatkanlah cincin tersebut.” Orang itu menjawab, “Tidak, demi Allah saya tidak akan mengambil cincin ini selamanya, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuangnya.”

[Shahih Muslim no. 2090]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam hadits Ali bin Abi Thalib rahiyallahu anhu,

“Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya.”

[HR. An Nasa’i no. 5163, dishahihkan Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih An Nasa’i]

Adapun wanita yang memakai cincin, maka tidaklah mengapa, tidak berdosa, mereka diperbolehkan memakai cincin dari emas, begitu pula memakai kalung dari emas dan memakai sesuatu dari emas, kecuali jika berlebih-lebihan, kerana berlebih-lebihan itu merupakan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Firman Allah Ta'ala,

“Tetapi jangan berlebihan, sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” 
(QS. Al-A'râf [7]: 31]

Sebagian ulama menghikayatkan ijma (kensensus)nya para ahli ilmu atas dibolehkannya wanita memakai cincin, kalung dan lainnya yang terbuat dari emas. Adapun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang melarang emas yang diperuntukkan bagi perempuan, maka hadits-hadits tersebut bisa jadi dhaif, bisa juga syadz (cacat), maka tinggalkanlah jangan mengamalkannya, banyak hadits-hadits mutawatir yang di dalamnya terdapat pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa wanita boleh memakai emas berupa kalung dan juga cincin.

Akan tetapi, bagi perempuan  yang memiliki emas dan telah mencapai nishabnya maka ia wajib mengeluarkan zakatnya, menzakatinya setiap tahun dengan kadar yang sesuai serta mengeluarkannya sebanyak dua setengah persen, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang perempuan sedangkan di tangannya anaknya itu ada dua gelang dari emas yang cukup berat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah kamu sudah mengeluarkan zakat?” Ia berkata, “Belum,” baginda berkata, “Apakah kamu suka jika Allah membuatkan kalung untukmu dengan keduanya dari api neraka pada hari Kiamat?” Kemudian ia melepaskan keduanya dan memberikannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia berkata, “Keduanya untuk Allah dan Rasul-Nya.”

Hassan. Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam sunannya no. (1396) dikeluarkan juga dalam Al-Misykat no. (1809), Al-Irwa no. (3/296) dia juga mempunyai redaksi lain di Dhaif.]

Dalam hadits ini juga dilarang, “Meminum dengan bejana yang diperbuat dari perak,” yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita meminum dari tempat yang diperbuat dari emas, apakah minuman itu air, susu, kuah atau lainnya, yang meminumnya itu laki-laki maupun perempuan; kerana larangan memakai wadah dari emas dan perak itu mencakup perempuan dan laki-laki, tidak ada perbedaan antara tempat yang murni perak atau sepuhan dari perak, semuanya tetap haram.

Adapun tempat dari emas, maka hal itu lebih diharamkan lagi. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana baginda bersabda, “Janganlah kalian meminum dengan tempat yang diperbuat dari emas, jangan makan dari piring-piringnya, itu semua khusus bagi mereka (orang kafir) di dunia dan khusus bagi kalian di akhirat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5426, 5633 dan Muslim no. 2067]

Adapun membuat pelana, maka ia seperti bantal, yakni mengisinya dengan kapas dan menjadikan renda pada hujung-hujungnya yang diperbuat dari sutera yang diikatkan di atas kuda atau unta untuk dijadikan tempat duduk penunggangnya tempat ia beristirahat. Demikan pula Al-Qussy (sutera halus) dan selainnya, semua itu merupakan jenis sutera dan diharamkan untuk laki-laki, mereka tidak boleh memakai sutera, tidak juga duduk di atasnya, tidak juga menjadikannya hamparan (permadani) dan tidak juga menjadikannya sebagai selimut. Adapun bagi perempuan, maka mereka diperbolehkan memakai sutera, kerana mereka memerlukannya untuk berhias dan mempercantikan diri, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan apakah patut (menjadikan anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan sedang dia tidak mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 18)

Yakni, orang yang memakainya untuk hiasan, sedangkan dia tidak dapat memberi alasan yang jelas dalam pertengkaran seperti halnya kaum laki-laki, mereka tidak mempamerkan dan menonjolkan diri dengan perhiasan, kerana mereka merasa puas dengan jiwa kepahlawanannya dan kejantanan mereka daripada berhias dan mempercantikan diri dengan perhiasan-perhiasan.

Adapun bagi perempuan yang menjadikan sutera sebagai hamparan, selimut dan tempat duduknya, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada yang melarang dan mengharamkannya berdasarkan pada cakupan hadits ini, dan sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang membuat pelana dan yang serupanya, dan sebagian mereka berkata, “Sesungguhnya perempuan itu diperbolehkan memakai sutera kerana dia membutuhkannya. Adapun menjadikannya sebagai hamparan, maka bukanlah kebutuhannya untuk menjadikannya sebagai hamparan.” Pendapat ini lebih dekat dengan pendapat yang menghalalkannya secara mutlak, yakni halalnya sutera bagi perempuan secara mutlak, kerana hukum itu berkisar berdasarkan sebabnya, dengan adanya sebab atau dengan ketiadaannya.

Akhir pembicaraan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan mengumumkan barang hilang,” yakni memerintahkan mereka untuk mengumumkan barang yang hilang, yakni jika seseorang menemukan barang yang hilang, maka ia harus mengumumkannya, yakni mencari pemiliknya. Adh-Dhaallah adalah barang yang hilang berupa binatang ternak, para ulama telah membagi barang hilang ini dalam dua bagian:

1. Kelompok hewan yang tidak mungkin dimakan oleh serigala, dan lainnya yang merupakan hewan-hewan kecil yang buas maka tidak boleh menemukan hewan tersebut dan mengambilnya. Barangsiapa yang menahannya maka ia tersesat. Seperti unta atau hewan yang tidak mungkin dimakan oleh serigala dan sebagainya kerana bisa terbang seperti burung helang, merpati dan serupanya, atau kerana kecepatannya, seperti rusa atau yang serupanya.

Maka hewan yang tercegah dari serigala dan yang serupa dengannya ada tiga macam; ada yang tercegah kerana besar badan dan kekuatannya seperti unta, ada yang tercegah kerana ia bisa terbang seperti helang, merpati dan ada yang tercegah kerana kecepatan larinya seperti rusa dan serupanya, maka seseorang tidak boleh mengumumkannya, tidak boleh melindunginya bahkan ia harus mengusirnya dari kumpulan unta-untanya, dan dari merpati-merpatinya jika merpati itu mendatangi merpati peliharaannya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang unta yang hilang, maka baginda berkata, “Buat apa kamu mengurusinya, ia memiliki minuman dan sepatunya, ia menyimpan air, memakan tetumbuhan sampai ia ditemukan oleh pemiliknya.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 91, 2372, 2430, 2438 dan Muslim no. 1722]

Lafazh Ma'aha Syaqaa'uha yakni ia memenuhi perutnya dengan air. Khidzaa'uha yakni ia memiliki ladam (tapal) yang digunakannya untuk berjalan, ia bisa minum dan makan sampai ditemukan oleh pemiliknya. Maka kamu tidak boleh melindungi dan menemukannya, walaupun kamu mengharapkan kebaikan. Kecuali jika kamu berada di tempat atau daerah yang banyak perampoknya, kamu khawatir mereka akan mengambil unta tersebut dan menyembunyikannya dari pemiliknya, maka tidaklah mengapa kamu mengambilnya pada saat seperti ini, atau jika kamu mengetahui pemiliknya, maka kamu mengambilnya dan mengembalikan kepadanya, hal ini tidaklah mengapa.

2. Hewan yang tidak bisa mempertahankan diri dari binatang buas yang kecil yakni hewan yang tidak bisa melepaskan diri darinya, seperti kambing, domba, gibas atau yang serupanya, maka kamu harus mengambilnya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Binatang ini milikmu atau milik saudaramu ataukah milik serigala?” 

[Shahih Al-Bukhari no. 2372]

Akan tetapi kamu wajib mencari pemiliknya, sabda baginda, “Dia milikmu” yaitu apabila tidak diketemukan pemiliknya, “Atau milik saudaramu”  jika pemiliknya ditemukan, “Atau milik serigala”  yaitu apabila hewan ini tidak ditemukan oleh seorang pun. Maka binatang seperti ini harus diambil dan dicari pemiliknya. Jika telah berlalu satu tahun, maka hewan itu menjadi milik orang yang menemukannya. Mengumumkan barang yang hilang itu memiliki dua makna;

1. Sebagaimana yang telah kita sebutkan dan ini hukumnya wajib bagi seseorang.

2. Yang dilarang, seperti yang sering terjadi di masjid-masjid ketika seseorang mencari barangnya yang hilang di masjid, ia mengatakan, “Barangsiapa yang menemukan ini dan itu.” Atau ia mengatakan, “Wahai manusia, aku kehilangan ini dan itu, adakah orang yang menemukannya?” Maka hal ini tidak boleh dilakukan di masjid. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di masjid, maka katakanlah padanya, “Allah tidak akan mengembalikan padamu, kerana masjid tidak dibangun untuk itu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 568]

Seseorang berdiri di masjid dan berkata, “Wahai jamaah, siapa yang menemukan kambingku dan siapa yang menemukan unta kecilku, siapa yang menemukan ini dan itu.” Hal ini diharamkan, kerana masjid tidak dibangun untuk itu, kita diperintahkan untuk mendoakan orang itu dengan ucapan, “Allah tidak akan mengembalikan barang itu padamu.” Sebagaimana tatkala kita mendengar seseorang berjual beli di masjid, maka kita mendoakannya, “Allah tidak akan memberikan keuntungan pada daganganmu.” Kerana masjid-masjid itu tidak dibangun untuk jual beli.

Inilah hal-hal yang diperintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semuanya berupa kebaikan, dan hal-hal yang telah dilarang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semuanya itu merupakan kejelekan. Kerana kaidah syariat telah memerintahkan untuk berbuat kemaslahatan dan melarang berbuat kerusakan, jika dalam sesuatu itu terkumpul kebaikan dan kerusakan, maka yang dimenangkan adalah yang lebih kuat dan banyak di antara keduanya, jika kemaslahatannya lebih banyak, maka dimenangkan yang maslahat, dan jika yang lebih kuat itu kerusakan maka yang dimenangkan adalah menghindari kerusakan, apabila keduanya itu sama, maka yang dimenangkan adalah menghindari kerusakan, kerana mencegah kerusakan lebih utama daripada mengambil manfaat.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...