Isnin, 8 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 9. Memikirkan Kekuasaan Allah, Fananya Dunia, Kesulitan-Kesulitan Di Akhirat, Pengendalian Dan Pendidikan Jiwa, Serta Membimbingnya untuk Istiqamah.

Allah ﷻ berfirman:
۞قُلْ إِنَّمَا أَعِظُكُمْ بِوَاحِدَةٍ أَنْ تَقُومُوا لِلَّهِ مَثْنَىٰ وَفُرَادَىٰ ثُمَّ تَتَفَكَّرُوا۞
“Aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja, yaitu agar kamu mengadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian agar kamu fikirkan (tentang Muhammad).” (QS. Saba: 34: 46)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ۞الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ۞
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari adzab neraka.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 190-191)

Allah ﷻ berfirman:
۞أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ۞وَإِلَى السَّمَاءِ كَيْفَ رُفِعَتْ۞وَإِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْ۞وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ۞فَذَكِّرْ إِنَّمَا أَنْتَ مُذَكِّرٌ۞
“Maka tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung, bagaimana di tegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan? Maka berilah peringatan, kerana sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan.” 
(QS. Al-Ghâsyiyah: 88: 17- 21)

Allah ﷻ berfirman:
۞أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرُوا۞
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di bumi, sehingga mereka dapat memperhatikan.” (QS. Muhammad: 47: 10)

Masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang bab ini. Sedangkan di antara hadits yang menjelaskan tentang masalah ini adalah hadits berikut:

“Orang yang cerdas adalah orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2469, dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Jami Ash-Shagir no. 4305]

Penjelasan.

Tafakkur adalah berkonsentrasi untuk berfikir dan merenungkan suatu masalah hingga menghasilkan suatu kesimpulan atau hikmah darinya. Allah telah memerintahkan kepada hamba-Nya dan memotivasi mereka untuk bertafakkur terhadap kitab-Nya, supaya dapat mencapai tujuan luhur, keimanan dan keyakinan.

Firman Allah Ta'ala, “Katakanlah, “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu satu hal saja.” (QS. Saba': 34: 46) yakni, wahai Muhammad katakanlah kepada semua manusia, “Aku tidak memberikan nasihat kepada kalian kecuali dengan satu hal saja, jika kalian mengerjakannya maka kalian akan mendapatkan apa yang kalian harapkan dan selamat dari hal yang menakutkan.” Nasihat itu adalah -firman Allah- “Yaitu supaya kamu mengadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kamu fikirkan.” (QS. Saba': 34: 46)

“Supaya kamu mengadap Allah,” dengan ikhlas kepada-Nya, lalu kamu melaksanakan ketaatan kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepada kamu dengan penuh keikhlasan, kemudian renungkanlah. Jika kalian melaksanakannya, maka ini akan menjadi nasihat yang sangat berguna.

Pada ayat ini ada isyarat yang menunjukkan bahwa jika seseorang melaksanakan sesuatu pekerjaan, hendaklah ia memikirkan apa yang ia lakukan amal itu; apakah ia telah melaksanakannya sesuai dengan yang diperintahkan, mengurangi, atau menambah. Apa amal yang dilakukan itu dapat menyucikan hati dan membersihkan jiwa atau tidak. Jangan seperti orang yang melakukan kesalehan sebagai rutinitas sehari-hari tanpa pernah merenungkannya. Oleh itu, renungkanlah ibadah yang telah kamu lakukan, seberapa jauh pengaruhnya terhadap hatimu dan keistiqamahanmu.

Misalnya dalam ibadah shalat. Berkenaan dengan ini.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 45)

“Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 45)

Maka, hendaklah kita berfikir, apakah jika kita shalat akan menambah kekuatan dan semangat kita dalam melakukan amal shalih, ataukah tidak.

Yang terjadi bahwa ini tidak ada kecuali sedikit kalau dikaitkan dengan manusia sendiri dan sangat jarang lagi kalau dihubungkan dengan pribadi-pribadi manusia. Disebutkan dalam hadits dari Hudzaifah radhiyallahu anhu,

“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika diliputi oleh suatu perkara maka baginda langsung shalat.”

[Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Abi Dawud no. 1171]

Yakni jika ada perkara penting dan merisaukannya baginda langsung shalat.

Demikian pula firman Allah Ta'ala, “Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 45) lihatlah shalatmu, apakah kamu jika shalat, kamu mendapatkan jiwamu membenci kemungkaran dan kemaksiatan atau shalat tidak memberikan faedah dalam hal ini.

Jika kamu sudah mengetahui perkara-perkara ini maka kamu akan mengetahui hasil dari suatu amal shaleh, dan kamu mendapatkan nasihat dari petunjuk yang diberi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Contah lain dalam masalah zakat, yaitu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya kepada orang-orang yang telah diperintahkan Allah. Allah telah menjelaskan faedah zakat sebagaimana dalam firman-Nya,

“Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.”
(QS. At-Taubah: 9: 103) jika kamu telah menunaikan zakat maka lihatlah apakah zakat telah mensucikanmu dari akhlak-akhlak yang tercela dan dosa? Apakah hartamu telah bersih?

Banyak orang menunaikan zakat, seakan-akan adalah hutang yang harus dilunasi, sehingga hatinya tidak menyukainya, tidak merasa bahwa harta itu dapat membersihkannya, dan mensucikan jiwanya. Begitu pula dan amal-amal lain.

Ini adalah nasihat yang agung jika seseorang ternasihati dengannya maka akan bermanfaat baginya dan akan baik keadaannya. Kita memohon kepada Allah semoga Dia memperbaiki amal-amal dan keadaan kita. Kemudian penulis (Imam An-Nawawi) menyebut firman Allah Ta'ala,

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 190-191)

Ini adalah ayat pertama dari sepuluh ayat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membacanya ketika terbangun dari tidur untuk shalat malam. Maka seyogyanya seseorang jika bangun tidur untuk shalat malam agar membaca ayat ini sampai akhir surah Ali Imran sepuluh ayat yang terakhir. Firman-Nya, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berakal.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 190) yakni dari segi besarnya, luasnya, agungnya dan lain sebagainya dari hal-hal yang Allah titipkan kepada keduanya dari makhluk-makhluk yang semuanya memiliki tanda-tanda keagungan Allah. Di dalam bintang-bintang ada tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, di dalam matahari ada tanda dari tanda-tanda kekuasaan Allah, demikian pula bulan, pepohonan, lautan, sungai-sungai dan dalam setiap apa yang telah diciptakan Allah di langit dan bumi ada tanda-tanda yang besar yang menunjukkan kesempurnaan keesaan-Nya dan juga atas kekuasaan-Nya juga atas kesempurnaan kasih sayang-Nya, atas kesempurnaan hikmahnya, di seluruh langit dan kesatuan bumi, kerana langit itu ada tujuh, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah Ta'ala di dalam beberapa ayat,

“Allah yang menciptakan tujuh langit.” 
(QS. Ath-Thalâq: 65: 12).

“Katakanlah, “Siapakah Tuhan yang memiliki langit yang tujuh dan yang memiliki 'Arsy yang agung” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 86)

Adapun bumi maka Allah tidak menyebutkan dalam Al-Qur'an kecuali dengan kesatuannya, kerana yang dimaksud adalah jenisnya yang mencakup seluruh bumi dan Allah telah mengisyaratkan hal itu dalam Surah Ath-Thalaq sampai pada bumi yang tujuh seperti firman Allah Ta'ala,

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi.” 
(QS. Ath-Thalâq: 65: 12) yakni dalam hitungan tidak dalam penciptaan dan besar, bahkan langit lebih besar dari bumi dengan berlipat-lipat akan tetapi bumi seperti langit dalam hitungan dan dijelaskan dalam sunnah secara jelas tentang hal ini seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang mengambil sejengkal dari bumi kerana kezhaliman maka ia akan ditimpakan pada hari kiamat dengan tujuh lapis bumi.”

[Shahih Muslim no. 3020]

Firman Allah Ta'ala, “Dan silih bergantinya malam dan siang.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 190)

Yakni perbedaan antara siang dan malam dapat dilihat dari berbagai sisi:

Yang pertama: dari segi bahwa malam itu gelap dan siang itu terang, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami), kemudian Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang benderang.” 
(QS. Al-Isrâ: 17: 12)

Yang kedua: perbedaan keduanya dari segi panjang dan pendek, terkadang malam lebih panjang dan terkadang siang lebih panjang dan terkadang sama. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Allah (kuasa) memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam.” (QS. Al-Hajj: 22: 61) bisa jadi waktu malam masuk ke waktu siang dan sebaliknya, hal inilah yang menyebabkan perbedaan (lama) antara keduanya.

Yang ketiga: Perbedaan keduanya dalam hal panas dan dingin, terkadang dingin dan terkadang panas.

Yang keempat: Dari segi subur dan kering terkadang dunia ini kering, panas bertahun-tahun dan terkadang subur bersemi dan luas.

Yang kelima: Perbedaan keduanya dalam masa perang dan damai, terkadang dunia ini berkecamuk perang, terkadang pula dalam keadaan damai, terkadang menang menjadi mulia dan terkadang kalah terhina, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran).” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 140)

Barangsiapa yang merenungi perbedaan malam dan siang maka ia akan menemukan tanda-tanda kebesaran Allah Ta'ala yang tidak akan dapat dijangkau oleh akal-akal.

Firman-Nya, “Sebagai tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir,” yakni tanda-tanda yang jelas yang menunjukkan kewahdaniatan (kemahaesaan) Allah dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, kemulian-Nya, ilmu-Nya, rahmat-Nya dan tanda-tanda kekuasaan yang lainnya. Firman-Nya, “Sebagai tanda-tanda bagi orang-orang yang berfikir,” yakni bagi orang-orang yang mempergunakan akalnya.

Kata “albab” bentuk jamak dari lubbun yaitu akal, ulul albab berarti yang memiliki akal. Demikian itu kerana akal itu merupakan inti manusia. Tanpa akal manusia hanya seperti kulit tanpa isi, isi yang pokok pada manusia adalah akalnya. Oleh kerana itu akal disebut intisari. Maka manusia yang tidak memiliki akal maka ia akan disebut kulit. 

Akan tetapi apa yang dimaksud dengan akal? Apakah yang dimaksud dengan akal adalah kecerdasan?

Jawabnya, bukan, kecerdasan itu berbeda dengan akal. Terkadang seseorang yang cerdas namun gila dalam tingkah lakunya. Maka akal adalah yang mencegah dari tingkah laku jelek walaupun ia bukan yang cerdas. Jika seseorang dikarunia Allah, akal dan kecerdasan maka sempurnalah nikmat atasnya. Terkadang ada orang yang cerdas tapi tidak berakal dan sebaliknya.

Semua orang kafir walaupun mereka cerdas, namun mereka bukanlah orang yang berakal, Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang-orang yang tidak mengerti.” 
(QS. Al-Anfâl: 8: 22)

Setiap orang yang bertingkah laku dengan tingkah laku yang jelek maka dia bukanlah orang yang berakal. Ulul Albab (orang yang berakal) adalah orang-orang yang berakal yang berfikir tentang penciptaan langit dan bumi, melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dan merenunginya, serta menjadikannya bukti yang mengokohkan tanda-tanda kekuasaan Allah. Mereka inilah orang-orang yang memiliki akal dan mereka inilah ulu Albab, maka hendaklah kamu terus berusaha memikirkan alam semesta disertai dengan tadabbur. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman dalam mensifati orang-orang yang berakal, “(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring.” (QS. Âli 'Imran: 3: 191) yakni mengingat Allah dalam setiap keadaannya.

Dzikir kepada Allah itu ada dua, dzikir yang mutlak di setiap waktu inilah yang selalu disyariatkan kepada manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada seseorang dan ia berkata kepadanya, “Sesungguhnya syariat-syariat Islam begitu banyak atasku dan sesungguhnya aku sudah tua maka berwasiatlah kepadaku.”

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah lisanmu selalu basah dengan dzikir kepada Allah.” 

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengingat Allah dalam setiap keadaannya.”

[Shahih Muslim no. 558]

Maka dzikir kepada Allah di sini bersifat mutlak tidak dibatasi dengan jumlah, bahkan sesuai dengan kegiatan seseorang.

Yang kedua dzikir yang dibatasi dengan jumlah atau keadaan tertentu dan ini banyak sekali, di antaranya dzikir-dzikir shalat dalam ruku', dalam sujud, setelah salam, dzikir masuk rumah dan keluar rumah, dzikir naik kenderaan dan lain-lain yang disyariatkan oleh Allah Ta'ala kepada hamba-Nya, supaya ia selalu ingat kepada Allah.

Di antaranya juga dzikir mahu tidur dan bangun tidur. Yang terpenting bahwa Allah telah mensyariatkan kepada hamba-Nya yang membuat mereka menjaga dzikir-dzikir tersebut, mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring.

Ketahuilah bahwa dzikir juga ada dua cara: 

Pertama; dzikir tam (sempurna), yaitu dzikir terus menerus dilakukan seseorang dengan hati dan lisannya. 

Kedua: dzikir naqis (tidak sempurna) yaitu dzikir yang dilakukan dengan lisan sedang hatinya lalai. Ada orang yang berdzikir kepada Allah sedang hatinya entah kemana; ingat ke tokonya, mobilnya, jual belinya, akan tetapi ia tetap mendapat pahala walaupun dengan keadaan ini. Akan tetapi dzikir yang sempurna yaitu berdzikir dengan hati dan lisan. Terkadang dzikir dengan hati lebih bermanfaat bagi seseorang daripada hanya sekadar melafazkan dzikir. Jika seseorang berfikir dengan jiwa dan hatinya tentang tanda-tanda kekuasaan Allah baik yang kauniyah mahupun syar'iyyah, dengan segala kemampuannya maka ia akan mendapatkan kebaikan yang banyak.

Firman-Nya, “Dan mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi” kemudian mereka berkata,

“Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia.” (QS. Âli' Imrân: 3: 191) yakni mereka berfikir tentang penciptaan langit dan bumi, kenapa Allah menciptakannya, bagaimana Dia menciptakannya dan lain sebagainya. Kemudian ia mengucapkan dengan hati dan lisannya, “Ya Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia” pasti dalam penciptaan langit dan bumi ada tujuan yang terpuji, maka segala puji bagi Allah dengan penciptaan ini.

Tidaklah penciptaan langit dan bumi ini sia-sia. Manusia tidak diciptakan hanya untuk makan dan minum dan bersenang-senang sebagaimana bersenang-senangnya hewan. 

Allah Ta'ala berfirman,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” 
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 56)

“Ya Tuhan kami tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia” maka orang-orang yang menyangka penciptaan langit dan bumi ini hanya sia-sia, mereka itulah penduduk neraka.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu kerana mereka akan masuk neraka.” (QS. Shâd: 38: 27)

Setiap orang yang menyangka bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya ini hanya untuk diadakan dan dibinasakan tanpa ada tujuan dan tempat kembali maka mereka itu telah kafir. Manusia pasti meninggal dan mereka akan dihisab dan akan dibangkitkan kembali, selanjutnya akan masuk surga atau neraka. Kami memohon kepada Allah untuk menjadikan kami dan kalian termasuk penduduk surga dan menjauhkan kita dari neraka.

Dan firman-Nya, “Maha suci Engkau,pensucian kepada-Mu dari penciptaan langit dan bumi ini dengan sia-sia.

“Maka lindungilah kami dari adzab neraka,yakni mereka bertawasul kepada Allah dengan memuji kepada-Nya dengan sifat-sifat yang sempurna, agar dijauhkan dari neraka. Menjauhkan dari adzab neraka itu ada dua macam, pertama; engkau menjaga dirimu dari dosa-dosa kepada Allah, kerana dosa-dosa itu adalah sebab masuk neraka.

Yang kedua; Allah menganugerahkan kepadamu taubat dan melepaskan diri dari dosa, kerana manusia pasti berdosa akan tetapi pintu taubat selalu terbuka.

Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya.” (QS. Az-Zumar: 39: 53) walau bagaimanapun kamu berbuat kemaksiatan, jika kamu kembali kepada Allah dengan bertaubat kepada-Nya, maka Allah akan menerima taubatmu, akan tetapi jika maksiat berhubungan dengan hak-hak anak adam. Maka terlebih dahulu harus meminta dibebaskan dari haknya, bisa jadi dengan membayarkannya, atau meminta halal kepadanya, kerana hak anak adam tidak akan diampunkan sebagaimana hak Allah. 

Namun demikian jika kamu tidak dapat menemukan temanmu, tidak mengenalnya, atau tidak dapat melunasinya, kerana sangat banyak sekali, maka Allah akan mengetahui niatmu bahwa kamu jujur dalam pertaubatanmu, maka Allah akan menanggungkannya untukmu pada hari kiamat dan temanmu akan meridhaimu. 

Allah Ta'ala berfirman,

“Maka tidaklah mereka memperhatikan unta, bagaimana diciptakan? Dan langit, bagaimana ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan? Dan bumi bagaimana dihamparkan. (QS. Al-Ghâsyiyah: 88: 17-20)

“Apakah mereka tidak memperhatikan, ini termasuk bab motivasi untuk meneliti pada empat perkara ini, tentang unta coba renungkanlah bagaimana Allah menciptakannya dengan bentuk yang besar ini sehingga mampu membawa barang yang berat, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan ia mengangkut beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. 
(QS. An-Nahl: 16: 7) Unta yang besar dan kuat ini telah Allah tundukkan kepada hamba-Nya, sampai anak kecil pun mampu mengendalikannya pada apa yang ia inginkan, padahal kalau saja unta itu memberontak maka tidak ada orang yang dapat mengalahkannya, kerana termasuk hal yang disyariatkan jika seseorang menaiki punggungnya untuk mengucapkan,

“Mahasuci (Allah) yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya.” 
(QS. Az-Zukhruf: 43: 13) kata “muqrinin. yakni bermakna mampu, kerana kekuatan manusia itu adalah yang serupa dengannya, yakni kita tidak mampu mengendalikannya kalau bukan kerana Allah menundukkan unta itu kepada kita.

Allah Ta'ala telah menundukkan unta kepada hamba-Nya; di antaranya untuk menunggangnya dan dimakan dagingnya. Bagi mereka pada binatang itu ada manfaat; mereka bisa gunakan untuk makan, kulitnya, lemak, dan bulunya boleh jadikan untuk keperluan lain-lain, dan masih banyak tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada unta itu.

Firman-Nya, “Dan kepada langit bagaimana ia diangkat, langit yang besar diangkat oleh Allah Ta'ala dengan sangat tinggi tidak ada makhluk yang bisa menjangkaunya, sampai jin tidak mampu dengan kekuatan yang dimilikinya.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sesungguhnya kami (jin) dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri dengar (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa (mencoba) mencuri dengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya). 
(QS. Al-Jinn: 72: 9)

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Kami menjadikan langit sebagai atap untuk terpelihara. (QS. Al-Anbiyâ: 21: 32) Bagaimana Allah mengangkatnya langit yang besar ini tanpa satu pun penyangga,

Allah Ta'ala berfirman,

“Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat. 
(QS. Ar-Ra'd: 13: 2) yakni kalian lihat bahwa langit diangkat tanpa penyangga, maka renungkanlah.

Di langit ini ada tanda-tanda kekuasaan Allah yang banyak sekali yang diangkat dengan sangat tinggi, dan di antara langit itu ada planet, bintang dan sebagainya.

Firman-Nya, “Dan lihatlah gunung bagaimana ia ditegakkan,” jikalau seluruh makhluk berkumpul dengan segala kekuatan yang mereka miliki, tentu tidak akan dapat membuat yang semisal dengannya. 

Pada zaman sekarang terdapat alat-alat jentera yang berat, tetap jika mereka ingin menghancurkan sesuatu tidak dapat menghancurkannya kecuali sesuatu yang sangat kecil dengan kerja yang sangat berat. Bagaimana jika menghancurkan gunung yang keras, maka wajib bagi kita merenungi bagaimana Allah menegakkannya.!!

Allah Ta'ala tegakkan dengan hikmah yang begitu besar, kerana Allah menegakkannya dengan maslahat yang sangat besar. Di antaranya, gunung itu sebagai pasak yang menetapkan bumi dan menjaganya dari goncangan, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak menggoyangkan kamu.” (QS. Luqmân: 31: 10) yakni bumi akan tergoncang, kalau Allah Ta'ala tidak memasaknya dengan gunung-gunung, seperti perahu di tengah lautan yang diterpa gelombang besar, akan tetapi Allah Ta'ala menjadikan bumi tenang dengan gunung tersebut, tidak bergoncang dan tidak mengganggu penduduknya. Gunung ini dapat menguatkan cuaca, menahan kencangnya angin pada beberapa wilayah, menghindari dari cuaca dingin yang datang dari arah kutub dan menjaga dari teriknya matahari. Begitu juga dilembahnya ada tanda-tanda kebesaran Allah Ta'ala dengan tumbuhnya tumbuhan, lembah-lembah dan barang-barang tambang yang sangat banyak, kerana Allah Ta'ala berfirman, “Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan.” (QS. Al-Ghâsyiyah: 88: 19) Firman-Nya, “Dan bagaimana ia dihamparkan.” (QS. Al-Ghâsyiyah: 88: 20)

Allah Ta'ala menjadikan bumi terhampar dan ditundukkan kepada hamba-Nya, dapat diberdayakan oleh makhluk-Nya, di mana tanahnya tidak terlalu lembek sehingga tidak ada yang bisa berdiam di atasnya dan tidak juga terlalu keras sehingga tidak dapat dimanfaatkan. Namun, Allah jadikan tanahnya gembur, dapat ditanami dan terhampar sehingga manusia dapat memanfaatkan permukaannya dengan apa yang Allah mudahkan bagi mereka untuk mengambil manfaat. Bumi ini juga terhampar berbentuk oval, yakni menyerupai bola yang bulat tetapi ia agak sedikit menonjol dalam arah utara selatan. Kerana jika seseorang naik pesawat terbang menuju ke arah barat dengan jalur yang lurus maka ia akan pulang persis pada tempat pesawat itu berangkat (take off). Ini menunjukkan bahwa bumi ini bulat. Kerana seseorang akan sampai dari hujung ke hujungnya. Hal ini ditunjukkan oleh Allah Ta'ala berfirman,

“Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh, dan apabila bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong. 
(QS. Al-Insyiqâq: 84: 1- 4) dan ini terjadi pada hari kiamat.

Maka firman Allah Ta'ala, “Apabila bumi diratakan,(QS. Al-Insyiqâq: 84: 3) ini menunjukkan bahwa bumi bukanlah memanjang tetapi dihamparkan kerana luasnya yang begitu besar. Maka, tidak nampak adanya kemiringan dengan bentuk bulatnya. Dengan empat perkara inilah Allah memotivasi kita untuk memperhatikan dengan mata kepala dan mata hati sehingga kita dapat menunjukkan apa yang ditunjukan oleh kebesaran Allah dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya dan rahmat-Nya.

Firman Allah Ta'ala, “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan.” 
(QS. Muhammad: 47: 10). Penulis tidak menyempurnakan ayat ini kerana ayat ini terdapat di berbagai macam surat di dalam kitab Allah. Di dalam banyak ayat ini, Allah memotivasikan hamba-Nya untuk berjalan di muka bumi, kemudian memperhatikan apa yang pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum mereka di antaranya Allah Ta'ala berfirman,

“Maka apakah mereka tidak pernah mengadakan perjalanan di bumi, sehingga dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah membinasakan mereka, dan bagi orang-orang kafir akan menerima (nasib) yang serupa itu.” (QS. Muhammad: 47: 10). Allah Ta'ala memerintahkan untuk melakukan perjalanan dan ini terbagi menjadi dua yaitu perjalanan dengan telapak kaki dan dengan perjalanan dengan hati.

1. Adapun perjalanan dengan telapak kaki adalah seseorang berjalan di muka bumi dengan kedua kakinya atau dengan kenderaan baik itu unta, mobil, pesawat atau lain-lainnya sehingga dia dapat melihat apa yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir dan bagaimana keadaan mereka.

2. Adapun perjalanan dengan hati yaitu dengan merenungi cerita-cerita yang telah dinukil dari berita-berita mereka.

Dan kitab yang paling shahih, benar dan bermanfaat yang menceritakan kabar-kabar orang terdahulu adalah kitab Allah Azza wa Jalla sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.” 
(QS. Yûsuf: 12: 111)

Al-Qur'an dipenuhi dengan cerita orang-orang terdahulu yang mendustakan para rasul dan para pendukung rasul, Allah menjelaskan akibat perbuatan mereka. Oleh kerana itu, seyogyanya bagi seseorang ketika ia membaca ayat-ayat yang menceritakan tentang orang-orang terdahulu untuk bertanya makna dan tafsirannya, sehingga ia benar-benar memahaminya sebagaimana juga yang terdapat di dalam As-Sunnah dari cerita orang-orang terdahulu. Maka dalam hal ini banyak sekali hadits-hadits yang bermanfaat yang jika itu shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ia termasuk kabar yang paling benar yang dinukilkan. Adapun yang diceritakan oleh para pakar sejarah, maka perlu hati-hati, kerana kebiasaan kitab-kitab sejarah, ini tidak memiliki dasar dan sanad tetapi hanya berupa cerita-cerita yang beredar di antara manusia, sehingga wajib untuk berhati-hati dan seseorang mengikutinya dengan pelan-pelan. Kemudian kabar-kabar yang diceritakan selain dari Al-Qur'an dan As-Sunnah itu terbagi menjadi tiga:

Pertama, Apa yang dikuatkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah tentang kebatilannya, maka wajib kita tolak dan jelaskan kekeliruan dan kebohongannya, sehingga manusia dapat memahaminya.

Kedua, Apa yang dikuatkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah bahwa cerita ini diterima maka ini harus diterima.

Ketiga, Apa yang tidak dikuatkan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah maka dalam hal ini kita berdiam diri kerana umat-umat yang telah lalu dengan kita tidak ada sanad yang bersambung, sehingga kita dapat mengetahui kebenaran apa yang dinukilnya tersebut. Akan tetapi yang dinukilkan dari cerita-cerita israiliyat perlu diperhatikan dan harus berdiam diri untuk tidak menolaknya dan tidak juga menerimanya. Inilah keadilannya.

Kemudian penulis memberi isyarat kepada hadits yang telah lalu yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan nafsunya dan berbuat sesuatu setelah kematian dan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti nafsunya dan berangan-angan kepada Allah dengan angan-angan yang banyak.

[HR. At-Tirmidzi no. 2459, dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Jami Ash-Shagir no. 4305]

Orang yang cerdas itu adalah orang yang kuat selalu memperhatikan dan mengambil kesempatan. Dialah yang memperbaiki agama dan jiwanya, mengintrospeksi diri dengan melihat apakah ia telah meninggalkan kewajiban, apakah ia melakukan hal yang diharamkan dan apa yang telah ia lakukan dari kewajibannya dan kenapa ia meninggalkan keharaman sampai jiwanya menjadi baik.

Adapun orang yang lemah maka ia adalah orang yang selalu mengikuti hawa nafsunya. Apa yang diinginkan oleh nafsunya maka ia kerjakan dan apa yang dibenci nafsunya maka ia tinggalkan, itu sesuai dengan syariat Allah atau tidak. Inilah orang yang lemah dan betapa banyak hari ini orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya, tidak peduli mereka telah menyelisihi Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kita memohon kepada Allah untuk memberikan kepada kita dan mereka hidayah.

Dan sabda baginda, “Dan dia berangan-angan kepada Allah dengan angan-angan yang banyak.Kemudian dia berkata, “Aku akan beristigfar kepada Allah, aku akan beristiqamah setelah ini, aku akan melaksanakan kewajiban-kewajibanku nanti, aku akan meninggalkan perbuatan ini nanti.” Atau dia berkata, “Allah akan memberiku hidayah.” Ketika kamu menasehatinya maka ia berkata, “Mintakanlah kepada Allah untukku hidayah.” Dan ucapan-ucapan seperti ini, adalah orang yang lemah. Sementara orang yang cerdas adalah orang yang rajin beramal, bersungguh-sungguh, selalu menginstrospeksi dirinya dan ia memiliki kekuatan dalam melaksanakan perintah Allah dan menegakkan agama Allah sehingga memungkinkan baginya untuk melawan nafsunya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman tentang istri raja Al-Aziz,

“Dan aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan), kerana sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” 
(QS. Yûsuf: 12: 53)

Kita memohon kepada Allah untuk mengasih sayangi kita dan kalian dengan rahmat-Nya dan menolong kita untuk selalu mengingat Allah, bersyukur kepada-Nya dan beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...