۞مُحَمَّدُ رَّسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّ آءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَآءُ بَبْنَهُمْ۞
“Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama sendiri (umat Islam).”
(QS. Al-Fath: 48: 29) (Sehingga habis surah)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَالَّذِيْنَ تَبَوَّءُو الدَّارَ وَاْلاْ يْمـٰنَ مِن قَبْلهِمْ يُحِبَّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ۞
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang-orang yang berhijrah ke tempat mereka.”
(QS. Al-Hasyar: 59: 9)
Hadits no. 374.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإَ ِيَمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُما، وأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلاَّ للَّهِ، وَأَنْ يَكْرَه أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga perkara, barangsiapa yang memilikinya maka ia akan merasakan manisnya iman, bahwa Allah dan Rasul-Nya lebih lebih dicintai daripada selain keduanya, tidak mencintai seseorang kecuali kerana Allah, dan membenci kembali pada kekafiran setelah diselamatkan Allah darinya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.”
[Shahih Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43]
Hadits no. 375.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: إِمَامٌ عَادِلٌ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجلَّ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مَعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ، وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ حُسْنٍ وَجَمَالٍ، فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ، فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ » مُتَّفقٌ عَلَيْه.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang mengeluarkan sedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 660, 1423, 6479,6806 dan Muslim no. 1031]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut bab, “Keutamaan cinta dan benci kerana Allah, serta ungkapan kecintaan seseorang kepada orang yang dicintainya dan apa yang dikatakannya tatkala ia mengetahui.”
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebut bab, “Keutamaan cinta dan benci kerana Allah, serta ungkapan kecintaan seseorang kepada orang yang dicintainya dan apa yang dikatakannya tatkala ia mengetahui.”
Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan beberapa dalil tentang empat masalah ini. Pertama menyebutkan firman Allah, “Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir yang (memusuhi Islam), dan sebaiknya bersikap kasih sayang serta belas kasihan sesama sendiri (umat Islam).” Yaitu Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dan orang-orang yang bersama dengannya.” Yakni para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dan sebaiknya bersikap berkasih sayang serta belas kasian sesama sendiri.” Yaitu saling menyayangi antara satu dengan yang lainnya.
“Kamu lihat mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya.” Ketika kalian melihat mereka sedang shalat, kalian mendapati dalam keadaan ruku' dan sujud, tunduk kepada Allah Ta'ala dan mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak mengharapkan sedikit pun dari harta dunia, tetapi sangat berharap karunia dan ridha-Nya. Karunia ini adalah pahala di sisi-Nya, dan ridha-Nya adalah Allah meridhai mereka.
“Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud.” Yaitu ciri-ciri mereka terlihat pada wajah-wajah mereka dari bekas sujud. Ciri-ciri ini adalah pancaran cahaya dari wajah mereka. Cahaya wajah ini memancar dari sujud mereka kepada Allah Ta'ala. Ciri ini bukan yang terlihat di kening. Barangkali tanda ini merupakan tanda kerana seringnya bersujud, tetapi yang dimaksud dengan tanda dalam ayat ini adalah cahaya yang memancar di wajah.
“Tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat.” Yaitu sifat ini terdapat dalam kitab Taurat. Allah Ta'ala mengistimewakan umat ini dengan menyebutkan sifat-sifat Rasul-Nya dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala,
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” (QS. Al-A'râf: 7: 158)
“Dan sifat-sifat mereka dalam injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya. Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penaman-penamannya kerana Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” Permisalan mereka seperti tanaman, “Yang mengeluarkan tunasnya,” yaitu tunas baru selain induknya. “Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia,” yaitu keberadaannya menguatkan dan mengokohkan induknya. “Dan tegak lurus di atas pokoknya,” yaitu tunas itu berdiri tegak dan menyamai induknya. “Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya,” yaitu para pakar tanaman terkagum dengan tanaman yang kuat ini ia memiliki induk yang dikuatkan oleh tunas-tunas kuat yang menyamainya.
“Kerana Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir,” yaitu Allah hendak membuat semua anak-anak Adam yang kafir marah dan jengkel. “Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar,” yaitu ampunan atas semua dosa yang telah diperbuat dan pahala atas amal shalih yang telah mereka usahakan.
Allah Ta'ala berfirman,
“Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin).” (QS. Al-Hasyr: 59: 9)
Mereka itulah para sahabat Anshar radhiyallahu anhum yang Allah telah meridhai mereka. “Orang-orang yang telah menempati kota,” yaitu sahabat Anshar yang telah lama tinggal di kota Madinah. “Dan iman,” keimanan yang sesungguhnya, “Sebelum mereka, sebelum kaum muhajirin, para sahabat Anshar benar-benar telah beriman sebelum kedatangan orang-orang mukmin ke kota itu, kerana keimanan (ajaran Islam) masuk ke kota Madinah sebelum hijrah. “Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka,” kerana mereka adalah saudara. Oleh kerana itu, ketika kaum Muhajirin hijrah ke Madinah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mempersaudarakan mereka menjadi satu saudara. Sehingga sebagian dari kaum Anshar merelakan setengah hartanya untuk kaum Muhajirin. “Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin),” yaitu kaum Anshar tidak memiliki perasan dengki sedikit pun dengan apa yang dianugerahkan kepada kaum Muhajirin yaitu keutamaan, perwalian dan pertolongan mereka untuk Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
“Dan mereka mengutamakan atas diri mereka sendiri,” yaitu mereka mendahulukan orang lain atas diri mereka sendiri. “Sekalipun mereka dalam kesusahan,” yaitu walaupun mereka sendiri kelaparan, mereka melaparkan diri mereka agar saudara mereka dari kaum muhajirin merasa kenyang. “Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang yang beruntung,” yaitu barangsiapa yang dijaga oleh Allah dari sifat kekikiran diri dan dimulikan, ia menginfakkan harta dan mengorbankannya serta mencintai saudaranya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka,” yaitu orang-orang yang mengikuti jejak mereka sampai hari kiamat. “Mereka berdoa, “Ya Rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman dahulu dari kami.” Mereka yang datang setelahnya mengikuti jejak mereka itu telah diridhai Allah sebagaimana firman-Nya,
“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 9: 100)
Ketiga ayat ini yaitu, “Orang-orang Muhajirin yang fakir,” “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),” “Dan orang-orang yang datang setelah mereka.” Menjelaskan orang-orang yang berhak mendapatkan harta fai' (rampasan perang) dari baitul mal, orang-orang yang berhak mendapatkan fai' itu adalah mereka yang berjumlah tiga golongan ini, di antaranya yaitu orang-orang yang datang setelah mereka yang berdoa, “Ya Rabb kami ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman dahulu dari kami.”
Imam Malik rahimahullah ditanya, “Apakah golongan Rafidhah itu berhak mendapatkan harta fai? Dia menjawab, “Mereka tidak berhak mendapatkannya, kerana mereka tidak mengatakan, “Ya Rabb kami, ampunilah kami Dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” Mereka beranggapan mayoritas sahabat radhiyallahu anhum adalah kafir kecuali sebagian kecil saja. Naudzubillah, bahkan mengkafirkan Abu Bakar, Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhum. Semoga kita mendapatkan keselamatan.
Oleh kerana itu, Imam Malik rahimahullah berkata, “Mereka tidak berhak mendapatkan fai' sedikit pun, kerana mereka tidak mengatakan, “Ya Rabb kami, ampunilah kami Dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.” Mereka mengkhususkan rahmat dan ampunan Allah, serta permintaan ampunan Dan rahmat-Nya itu hanya untuk orang-orang yang mereka anggap tidak murtad, yaitu kelompok kecil dari Ahlul bait dan dua, tiga atau sepuluh orang lain selain mereka.
Poin pokok dari ayat ini, “Mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka” yaitu mencintai sesama saudara seiman. Inilah hakikat cinta kerana Allah Ta'ala, kerana kaum Anshar dari kabilah Aus Dan Khazraj tidak memiliki hubungan nasab. Mereka bukan pulak dari keturunan Amr bin Al-Ash, tetapi permusuhan seimanlah (Ukhuwwah Imaniyyah) yang merekatkan mereka menjadi satu ikatan persaudaraan. Persaudaraan seiman ini adalah ikatan yang paling kuat, yaitu cinta dan benci kerana Allah.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”
[Shahih Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43]
“Manisnya iman” bukan seperti manisnya gula dan madu, tetapi jauh lebih manis dari itu, yaitu rasa manis yang didapati oleh seorang dalam lubuk hatinya. Kenikmatan luar biasa yang tidak ada bandingannya, hatinya penuh dengan kelapangan, gemar terhadap kebaikan, mencintai orang-orang shalih. Kenikmatan yang tidak dapat diketahui kecuali oleh orang yang merasakannya sebelah sekian lama tidak bisa menikmatinya.
“Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya” di sini disebutkan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai daripada selain keduanya, tidak dikatakan, “Allah kemudian Rasul-Nya” kerana kecintaan kepada Nabi shalallahu alaihi wa sallam itu muncul Dan mengikutinya kecintaannya kepada Allah Ta'ala.
Seseorang itu mencintai Rasul sebatas ia mencintai Allah, tatkala Allah lebih dicintainya, maka Rasul pun lebih dicintainya. Tetapi sangat disayangkan bahwa sebagian orang mencintai Rasul beserta Allah, bukan mencintai Rasul kerana Allah.
Perhatikan perbedaan ini, antara mencintai Rasul bersama Allah dan bukan mencintai Rasul kerana Allah, bagaimana? Ada seseorang yang mencintai Rasulullah melebihi cintanya kepada Allah, ini bagian dari kesyirikan. Anda mencintai Rasul kerana Allah kerana Rasulullah adalah utusan-Nya. Pada dasarnya hakikat kecintaan itu adalah kecintaan kepada Allah Ta'ala. Namun, mereka yang tertipu dalam kecintaannya kepada Rasul malah mencintai Rasul beserta Allah bukan mencintai Rasul kerana Allah, yaitu mereka menjadikan Rasulullah sebagai sekutu Allah dalam kecintaannya, bahkan mencintainya melebihi dari kecintaannya kepada Allah. Orang ini ketika disebutkan nama Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, ia merinding kerana rasa cintanya yang begitu besar, tetapi jika disebutkan nama Allah hatinya dingin tidak berpengaruh.
Apakah kecintaan ini berguna bagi seseorang? Tidak, kecintaan ini adalah syirik. Anda harus mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kecintaan anda kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam hendaknya muncul dan mengikuti kecintaan anda kepada Allah. “Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya” yaitu tidaklah anda mencintai seseorang kecuali kerana Allah, bukan kerana kedekatannya, harta, kedudukan atau kerana iming-iming Dunia, tetapi anda mencintainya kerana Allah. Kecintaan kepada kerabat dekat adalah kecintaan yang biasa dimiliki setiap orang. Bahkan hewan pun mencintai anak-anaknya, dapat kita lihat dimana induk binatang mencintai anak-anaknya sehingga besar dan mandiri, barulah mereka dilepaskan. Jika kamu memiliki kucing, cubalah perhatikan bagaimana dia menyayangi dan mencintai anak-anaknya. Ketika cuaca dingin ia membawanya ke tempat yang hangat, membawanya dengan cara digigit, tetapi bukan gigitan yang menyakiti, kerana ia memegangnya dengan kasih Dan sayang. Tatkala mereka sudah disapih dan mandiri, barulah induknya melepaskan mereka. Allah Ta'ala menanamkan rasa kasih sayang ke dalam hatinya Selama Mereka memerlukan induknya, barulah setelah itu mereka tumbuh besar seperti yang lainnya.
Kesimpulannya bahwa kecintaan kepada kerabat dekat itu adalah kecintaan yang manusiawi, tetapi jika kerabatmu itu merupakan hamba Allah yang shalih dan engkau mencintainya melebihi kecintaan yang manusiawi, maka engkau mencintainya kerana Allah. “Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.” Yaitu benci dan khawatir kembali pada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari jurang kekufuran yang dalam.
Ini sangatlah jelas, bagi orang yang dulunya kafir kemudian masuk Islam, begitu juga seorang yang sejak dilahirkan telah beragama Islam. Ia sangat benci dan khawatir kembali pada kekafiran setelah Allah menganugerahkannya pada hidayah Islam, sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api, yakni lebih baik dilemparkan ke dalam api daripada harus kembali pada kekafiran setelah keislamannya. Beginilah mayoritas keadaaan keimanan kaum muslimin, jika dikatakan kepadanya, “Kufurlah, atau anda akan kami lemparkan dari tempat yang tinggi atau kami lempar dalam api!” Tentu ia akan mengatakan, “Bakarla aku, lemparkan aku dari tempat yang tinggi, tetapi aku tetap tidak akan kufur setelah keislamanku.”
Yang dimaksud dengan murtad hakiki adalah yang muncul dari keyakinan dalam hati, sementara orang yang dipaksa kafir, kemudian ia kafir secara lahir tetapi hatinya tidak tergerak sedikit pun, maka Hal ini tidaklah merusak Keislamannya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah) kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa) tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapatkan azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan kerana mereka lebih mencintai kehidupan di dunia daripada akhirat.” (QS. An-Nahl: 16: 106-107)
Tatkala dikatakan kepada mereka, “Kamu mahu kami bunuh atau kafir!” Maka mereka menjual kehidupan akhirat dan memilih kehidupan dunia, mereka memilih kafir demi kecintaannya terhadap Dunia, Allah tidak akan memberikan petunjuk terhadap orang-orang kafir. Semoga kita mendapatkan petunjuk-Nya. “Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”
Selanjutnya Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu, bahwasanya Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Pemimpin yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allâh, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allâh.’ Dan (6) seseorang yang mengeluarkan sedekah secara sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allâh dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.”
Yang dimaksud dengan tujuh ini bukan hanya tujuh orang saja, tetapi tujuh kelompok yang jumlahnya tidak terhingga hanya Allah yang mengetahuinya.
Pada bab ini, kita tidak akan membahas tentang isi hadits ini, kerana kita telah membahasnya pada bab terdahulu. Tetapi kita akan membahas tentang masalah yang banyak disalahpahami, yaitu sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Ada tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.” Sebagian orang bodoh mengatakan bahwa naungan ini adalah naungan Dzat Allah Ta'ala sendiri. Bahwasanya Dia menaungi mereka dari terok matahari dengan Dzat-Nya, pahaman ini tentu salah dan sangat bertentangan. Seperti halnya yang dikatakan oleh orang-orang terpelajar, mereka berkata bahwa madzab Ahlussunnah memahami Nash secara zhahir. Kemudian kita sangkal, di mana letak zhahirnya? Bagaimana bisa memahami secara zhahir hadits sedangkan Rabb Ta'ala menaungi mereka dari matahari! Hal ini menunjukkan bahwa matahari itu berada di atas Allah Ta'ala. Jelas ini merupakan suatu kemungkaran, tidak ada salah seorang dari madzab Ahlussunnah pun yang mengatakannya. Tetapi permasalahan kebanyakan orang sekarang ini tatkala mereka memahami sesuatu, mereka tidak mengetahui bagaimana cara menerapkannya. Ketika memahami permasalahan, ia menyangka bahwa ia telah menguasai semua permasalahan tersebut.
Seharusnya seseorang itu mengetahui kapasitas dirinya, tidak berbicara -terutama tentang sifat-sifat Allah - kecuali berdasarkan dalil Al-Quran, hadits dan perkataan para ulama.
“Pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya” atau “Allah melindungi mereka dalam lindungan-Nya” Makna yang benar dari sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam ini adalah perlindungan yang tidak ada seorang pun yang mampu melindungi seseorang. Pada waktu itu tidak ada gedung yang dibangun, tidak ada pohon yang ditanam, tidak ada pasir dan bebatuan, dan tidak ada sesuatu pun dari semua itu. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang gunung-gunung, maka katakanlah, “Tuhanku akan menghancurkannya (pada hari Kiamat) sehancur-hancurnya, kemudian Dia akan menjadikan (bekas gunung-gunung) itu rata sama sekali, (sehingga) kamu tidak akan melihat lagi ada tempat yang rendah dan yang tinggi di sana.”
(QS. Thâhâ: 20: 105-107)
Tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungi makhluk dari sengatan matahari, baik itu berupa bangunan, pohon batu atau selainnya. Tetapi Allah Ta'ala menciptakan naungan untuk melindungi hamba-Nya yang dikendaki. “Pada hari tiada naungan kecuali naungan-Nya.” Inilah Makna hadits yang benar, tidak bisa diartikan selain ini.
Dalil dari hadits untuk bab ini adalah sabda Nabi shalallahu alaihi wa sallam, “Dua orang yang saling mencintai kerana Allah, berkumpul dan berpisah kerana Allah,” keduanya saling mencintai, yaitu cinta kerana Allah, bukan kerana harta, jabatan, nasab atau yang lainnya, tetapi murni kecintaan kerana Allah Ta'ala. Ia mencintai teman itu kerana melihatnya taat kepada Allah, menjauhi yang dilarang-Nya, ia pun mencintai kerana dasar ini. Inilah maksud dari hadits tersebut, “Keduanya saling mencintai kerana Allah.”
“Berkumpul dan berpisah kerana Allah.” Yaitu bertemu di dunia dengan kecintaan di antara keduanya, hingga maut memisahkan keduanya dan mereka tetap berpegang teguh padanya.
Hadits ini sebagai dalil bahwa orang-orang yang saling mencintai kerana Allah, hubungan mereka tidak akan pernah putus kerana urusan dunia sedikit pun. Mereka tetap saling mencintai kerana Allah hingga mati memisahkan mereka, walaupun salah satunya pernah melakukan kesalahan atau melalaikan hak yang lainnya. Hal ini tidaklah mempengaruhi mereka, sebab ia mencintainya kerana Allah Ta'ala. Bahkan ia memperbaiki kesalahan rakannya dan menjelaskan kelalaiannya, inilah nasihat yang paling sempurna nilainya. Kita memohon kepada Allah, semoga kita termasuk orang-orang yang saling mencintainya kerana Allah, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan. sungguh Allah Maha Pengasih lagi Mahamulia.
Hadits no. 376
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِي؟ الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِي ظِلِّي يَومَ لَا ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya pada hari Kiamat Allah akan berfirman, “Di manakah orang-orang yang saling mencintai kerana keagungan-Ku? Pada hari ini Aku menaungi mereka di bawah naungan-Ku pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”
[Shahih Muslim no. 2566]
Hadits no. 377.
وَعَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai. Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian mengerjakannya kalian akan saling mencintai? yaitu sebarkanlah salam diantara kalian.”
[Shahih Muslim no. 54]
Hadits no. 378
وَعَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَنَّ رَجُلاً زَارَ أَجًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى، فَأَرْصَدَ اللَّهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا » وَذَكَرَ الْحَدِيثَ إلَى قَوْلِهِ: « إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ: » رَوَاهُ مُسْلِمْ. وَقَدْ سَبَقَ بِالْبَابِ قَبْلَهَ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada sesesorang yang menziarahi ke tempat saudaranya yang berada di kampung lain kerana Allah, kemudian Allah mengutus malaikat untuk mengikutinya jejaknya (menjaganya).” Kemudian hadits itu di sebutkan sehingga pada sabdanya,
“Sesungguhnya Allah telah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai saudaramu kerana-Nya.”
[Shahih Muslim no. 2567]
Hadits ini telah disebutkan terdahulu sebelum bab ini..lihat hadits no. 361.
Hadits no. 379.
وَعَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا عَن النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ فِي الْأَنْصَارِ: « لَا يُحِبُّهُمْ إِلاَّ مُؤمِنٌ، وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلاَّ مُنَافِقٌ، مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللَّهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Al-Barra' bin 'Azib radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan mengenai sahabat Anshar,
“Tidak ada yang mencintai mereka (kaum Ansar) kecuali orang yang beriman dan tidak ada yang membenci mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang mencintai mereka (Anshar) maka Allah akan mencintainya dan barangsiapa yang membenci mereka (Anshar) maka Allah akan membencinya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 75]
Hadits no. 380.
وَعَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: الْمُتَحَابُّونَ فِي جَلاَلِي، لَهُمْ مَنَابِرُ مِنْ نُورٍ يَغْبِطُهُمْ النَّبِيُّونَ وَالشُّهَدَاءُ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Daripada Muaz radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah Ta'ala berfirman, “Barangsiapa yang saling mencintai kerana keagungan-Ku, mereka akan mendapatkan beberapa mimbar yang dibuat dari cahaya yang membuat iri (didambakan oleh) para nabi dan orang-orang mati syahid.”
[HR. At-Tirmidzi no. 2390, Ahmad no. 5/239, 328, Ibnu Hibban no. 577 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahihul Jami no. 4312]
Hadits no. 381.
وَعَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلاَنيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَالَ: دَخَلْتُ مَسْجِدَ دِمَشْقَ، فَإِذَا فَتًى بَرَّاقُ الثَّنَايَا وَإِذَا النَّاسُ مَعَهُ، فَإِذَا اخْتَلَفُوا فِي شَيءٍ، أَسْنَدُوهُ إِلَيْهِ، وَصَدَرُوا عَنْ رَأْيِهِ، فَسَأَلْتُ عَنْهُ، فَقِيلَ: هَذَا مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ هَجَّرْتُ، فَوَجَدْتُهُ قَدْ سَبَقَنِي بِالتَّهْجِيرِ، وَوَجَدْتُهُ يُصَلِّي، فَانْتَظَرْتُهُ حَتَّى قَضَى صَلاَتَهُ، ثُمَّ جِئْتُهُ مِنْ قِبَلِ وَجْهِهِ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ، ثُمَّ قُلْتُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ لِلَّهِ، فَقَالَ: آللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَللَّهِ، فَقَالَ: آللَّهِ؟ فَقُلْتُ: أَللَّهِ، فَأَخَذَنِي بِحَبْوَةِ رِدَائي، فَجَبَذَنِي إِلَيْهِ، فَقَالَ: أَبْشِرْ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولَ: « قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَجَبَتْ مَحَبَّتِي لِلْمُتَحَابِّينَ فِيَّ، وَالْمُتَجَالِسِينَ فِيَّ، وَالْمُتَزَاوِرِينَ فيَّ، وَالْمُتَباذِلِينَ فِيَّ » حَدِيثُ صَحِيحٌ رَوَاهُ مَالِكٌ فِي الْمُوَطَّإِ بإِسْنَادِهِ الصَّحِيحِ.
Daripada Abu Idris Al-Khaulani, dia berkata, “Aku memasuki Masjid Damaskus (di Syria), ternyata di dalamnya ada seorang pemuda yang giginya bersih putih dan bersinar-sinar giginya (seyuman). Dan ada orang-orang yang bersamanya, apabila mereka berselisih pendapat satu perkara, mereka sandarkan kepada pemuda itu dan menerima pendapatnya. Lalu aku bertanya tentangnya, lantas ada yang menjawab bahawa pemuda itu adalah Muaz bin Jabal radhiyallahu anhu keesokan harinya, aku bersegera ke masjid pada waktu sangat pagi, ternyata aku mendapati dia telah mendahuluiku. Aku mendapati dia sedang shalat, maka aku menunggunya sehingga dia selesai shalatnya. Lalu aku menemuinya dari arah depan seraya mengucapkan salam, aku berkata kepadanya, “Demi Allah, sungguhnya aku mencintaimu kerana Allah.”
Lalu Muaz bin Jabal bertanya, “Adakah benar kerana Allah?”
Aku menjawab, “Kerana Allah.”
Dia bertanya lagi, “Adakah benar kerana Allah?”
Aku menjawab, “Kerana Allah.”
Abu Idris berkata, “lalu dia menarik hujung serbanku dan menarik diriku ke arahnya lalu dia berkata, “Bergembiralah! Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah Ta'ala berfirman, “Wajiblah akan mendapat kasih sayang-Ku, bagi mereka yang berkasih sayang kerana-Ku, orang-orang yang duduk dimajlis kerana-Ku, orang-orang yang saling menziarahi kerana-Ku, dan orang-orang yang saling membantu kerana-Ku.”
[HR. Malik dalam Al-Muwatta no. 1711 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahihul Jami no. 4332]
Hadits no. 382.
عَنْ أَبِي كَرِيمَةَ الْمِقْدَادِ بْنِ مَعْدِ يْكَرِبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا أَحَبَّ الرَّجُلُ أَخَاهُ، فَلْيُخْبِرْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ » رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Karimah Al-Miqdad bin Ma'dikariba radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika seseorang itu mencintai saudaranya, beritahulah kepadanya bahwa dia mencintainya.”
[HR. Abu Dawud no. 5124, Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 542, Ahmad no 4/130 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Sahihah no. 417]
Hadits no. 383.
وَعَنْ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ: « يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ، إِنِّي لَأُحِبُّكَ، ثُمَّ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ: اَللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ ». حَدِيثُ صَحِيحٌ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ بإِسْنَادِِ صَحِيحِِ.
Daripada Muaz radhiyallahu anhu dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya lalu bersabda,
“Wahai Muaz, demi Allah sesungguhnya aku mencintaimu.”
Kemudian Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam menasihatiku, “Setiap kali selesai shalat jangan kamu lupa untuk membaca, “Allahumma a'inni 'ala zikrika wa syukrika wa husni ibadatika.” (Ya Allah berilah aku pertolongan untuk ingat kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu dan menyempurnakan ibadah kepada-Mu).”
[HR. Abu Dawud no. 1522, Nasa'i no. 1226 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahihul Jami no. 7969]
Hadits no. 384.
وَعَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلاً كَانَ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَأَحِبُّ هَذَا، فَقَالَ لَهُ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَأَعْلمتَهُ؟ » قَالَ: لَا قَالَ: « أَعْلِمْهُ » فَلَحِقَهُ، فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّكَ فِي اللَّه، فَقَالَ: أَحَبَّكَ الَّذِي أَحْببْتَنِي لَهُ. رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بإِسْنَادٍ صَحِيحِِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Adakah kamu sudah memberitahunya?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Beritahulah kepadanya.”
Kemudian lelaki tersebut menemui orang itu dan berkata, “Sesungguhnya aku mencintaimu kerana Allah.”
Orang itu menjawab, “Semoga Allah mencintaimu kerana kamu telah mencintaiku kerana-Nya.”
[HR. Abu Dawud no. 5125, Nasa'i no. 10010, Ahmad no. 3/140,150, Ibnu Hibban no. 571 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 3253]
Penjelasan.
Hadits-hadits ini menjelaskan tentang kecintaan. Hendaknya kecintaan seseorang itu hanya kerana Allah dan untuk Allah. Di antara hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah adalah hadits dari Nabi shallallahu'alaihi wa sallam beliau bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, kalian tidak akan masuk surga sebelum beriman, dan kalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai. Mahukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian mengerjakannya kalian akan saling mencintai? yaitu sebarkanlah salam diantara kalian.”
Hadits ini menunjukkan bahwa kecintaan itu termasuk ciri sempurnanya keimanan seseorang, keimanan seorang hamba tidak akan sempurna hingga ia mencintai saudaranya. Di antara sebab-sebab berseminya kecintaan adalah dengan menyebarkan salam kepada sesama saudara, yaitu dengan mengungkapkannya secara terang-terangan, menyampaikan salam kepada setiap orang mukmin yang ia temui, baik kenal ataupun tidak, inilah sebab-sebab kecintaan. Oleh kerana itu, jika ada seorang yang lewat lalu ia mengucapkan salam kepadamu, maka kamu senang kepadanya, dan jika ia bersikap acuh kepada kamu pun pasti tidak menyukainya, walaupun ia kerabat dekat kamu sendiri.
Setiap orang yang mencintai sesamanya, seharusnya berusaha menyemai benih yang menyebabkan berseminya kecintaan di antara sesama mukmin, kerana tidak mungkin seseorang bekerja sama dengan orang yang tidak ia cintai. Tidak mungkin ia bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan kalau tidak ada jalinan kecintaan. Oleh kerana itu, kecintaan kerana Allah itu merupakan ciri kesempurnaan iman seseorang.
Dalam hadits Muaz bin Jabal radhiyallahu Anhu, yang mana Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam mengungkapkan bahwa Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam mencintainya, juga bersabda kepada Anas ketika ia berkata kepadanya, “Aku mencintai orang itu.” Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu telah mengungkapkannya?” Hal ini menunjukkan bahwa disunnahkan jika anda mencintai seseorang kerana Allah, maka anda harus berkata, “Aku mencintaimu kerana Allah,” kerana ungkapan ini bisa membangkitkan kecintaan yang bersemi dalam hati. Sebab, jika seseorang mengetahui kalau anda mencintainya maka ia pasti mencintaimu, kerana hati ini selalu terikat walaupun tidak terungkapkan oleh kata-kata.
Sebagaimana sabda Rasullulah shallallahu' alaihi wa sallam,
“Roh itu berkelompok-kelompok yang saling mengenal itu berkumpul dan yang tidak saling mengenal berpisah.”
[Shahih Muslim no. 2638]
Ketika seseorang mengungkapkan rasa cintanya dengan ungkapan kata-kata maka akan menambah kecintaan dalam' hatinya. Seperti ungkapan, “Aku mencintaimu kerana Allah.”
Dalam hadits Mu'az, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Jangan sampai kamu meninggalkan di setiap akhir shalatmu,” artinya pada akhir setiap shalat. Keterangan lafazh hadits ini sangat jelas, yang menunjukkan bahwa seseorang hendaknya sebelum salam berdoa, “Ya Allah, tolonglah aku untuk mengingati-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah sebaik-baiknya kepada-Mu.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan