۞أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ۞
Ibnu Abbas dan muhaqqiq berkata, “Makna -ayat di atas- adalah, “Bukankah Kami telah memanjangkan usiamu sehingga enam puluh tahun?” Penafsiran semacam ini diperkuat dengan hadits yang akan kami sebutkan nanti.
Ada yang berpendapat bahwa makna, “delapan belas tahun.” Ada juga yang mengatakan empat puluh tahun. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Kalabi dan Masruq, dan juga dinukil oleh Ibnu Abbas. Mereka meriwayatkan bahwa jika ada salah seorang penduduk Madinah yang telah menginjak usia empat puluh tahun, dia akan menyendiri untuk beribadah. Ada juga yang mengatakan baligh.
Firman Allah Ta'ala, “Dan datang kepadamu pemberi peringatan.” menurut Ibnu Abbas dan jumhur, pemberi peringatan itu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun menurut Ikrimah, Ibnu Uyainah dan ulama lainnya adalah uban (rambut yang memutih).
Penjelasan.
“Sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amal penduduk surga sehingga antara dia dan surga tinggal satu jengkal, tetapi takdir mendahuluinya sehingga ia mengamalkan amalan penghuni neraka kemudian ia memasukinya, dan salah seorang di antara kalian mengerjakan amal penghuni neraka sehingga antara dia dengan tinggal satu jengkal, tetapi takdir mendahuluinya sehingga ia mengerjakan amalan penghuni surga kemudian ia memasukinya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2969, 3085, 6105, 6900. Muslim no. 4781]
Dengan demikian kita dianjurkan untuk memanjatkan doa yang di ajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِي آخِرَهُ ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَوَاتِمَهُ
“Ya Allah jadikan sebaik-baik umurku adalah akhirnya dan sebaik-baik amalku pada akhir hayatku.”
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih,
“Barangsiapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.”
[HR. Abu Dawud no. 3116, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621]
Seharusnya setiap hamba walaupun usianya panjang tetap memperbanyak amal shalih, begitu pula seorang pemuda juga harus memperbanyak amal shalih, kerana tidak ada yang mengetahui sampai di mana usianya, bisa jadi ajal menjemputnya ketika masih muda, atau setelah lanjut usia, tetapi tentunya orang lanjut usia lebih dekat dengan kematian daripada pemuda, kerana ia lebih dekat dengan penghujung usianya.
Seharusnya setiap hamba walaupun usianya panjang tetap memperbanyak amal shalih, begitu pula seorang pemuda juga harus memperbanyak amal shalih, kerana tidak ada yang mengetahui sampai di mana usianya, bisa jadi ajal menjemputnya ketika masih muda, atau setelah lanjut usia, tetapi tentunya orang lanjut usia lebih dekat dengan kematian daripada pemuda, kerana ia lebih dekat dengan penghujung usianya.
Kemudian penulis menyebutkan firman Allah Ta'ala,
“Bukankah Kami memanjangkan umurmu untuk dapat berfikir bagi orang mahu berfikir?” (QS. Fâthir: 35: 37)
Huruf “maa” ini jenisnya nakirah dan yang disifati, artinya, “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mahu berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?”
Para ulama berbeda pendapat tentang umur ini, sebagian ada yang berpendapat enam puluh tahun, delapan belas tahun, empat puluh tahun dan sebagian ada yang berpendapat usia baligh.
Ayat ini umum, mereka semua telah diberikan kesempatan umur untuk mengingat bagi yang mengingat, setiap orang berbeda-beda, bisa jadi seseorang mengingat pada usia kurang dari delapan belas tahun atau setelah itu sesuai petunjuk yang datang kepadanya, lingkungan yang baik baginya atau yang buruk, yang penting ayat ini sebagai peringatan bagi mereka, “Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi yang mau berfikir.”
Ayat ini dalil bahwa setiap kali usia seseorang itu bertambah maka ia lebih berhak untuk mengingat Allah dan bertaubat.
“Dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan.” Maksudnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata ini adalah umum termasuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para rasul yang sebelumnya, mereka semua adalah pemberi peringatan.
Kewajiban setiap orang adalah memanfaatkan usia lanjutnya, untuk memperbanyak ketaatan kepada Allah Ta'ala, terlebih menunaikan kewajiban, istighfar dan memuji-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.”
(QS. An-Nashr: 110: 1-3)
Surat ini menurut sebagian ulama adalah akhir surat yang turun kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Terdapat kisah yang menakjubkan dari surat ini, yaitu ketika orang-orang Anshar bertanya kepada Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab, “Kenapa engkau lebih dekat dengan Abdullah bin Abbas daripada para pemuda kami, padahal ia sama-sama masih muda?” Umar menempatkan orang sesuai dengan ilmu dan agamanya, kerana Amirul Mukminin lebih dekat dengan orang yang berilmu dan beragama.
Hendaknya seperti inilah setiap orang dalam bersahabat, yaitu mendahulukan orang-orang yang lebih berilmu dan beragama, karib kerabat tentunya lebih berhak tetapi orang yang lebih berilmu dan agama itu lebih diprioritaskan daripada yang lainnya. Yang penting bahwa orang-orang Anshar itu bertanya kepada Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab, “Kenapa engkau lebih dekat dengan Abdullah bin Abbas daripada para pemuda kami?”
Umar bin Al-Khaththab menjawab, “Nanti akan aku jawab.”
Kemudian pada suatu hari ia mengumpulkan para sahabat dan menanyakan kepada mereka tentang firman Allah Ta'ala,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.”
(QS. An-Nashr: 110: 1-3)
Mereka menjawab, “Sesungguhnya Allah berfirman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika pertolongan datang, kota Mekah dibuka, maka bertasbihlah, kerana Dia adalah Maha Menerima taubat hamba-Nya,” yaitu mereka semua mentafsirkan ayat ini sesuai dengan zhahirnya.
Kemudian Umar bertanya, “Bagaimana menurutmu wahai Ibnu Abbas?”
Ibnu Abbas menjawab, “Sesungguhnya surah ini menerangkan tentang kedekatan ajal Rasulullah.”
Ibnu Abbas radhiyallahu anhu memahami ayat ini sangat menakjubkan, yaitu ketika datang pertolongan itu engkau telah menunaikan kewajiban yang engkau laksanakan, tutuplah usiamu dengan memohon ampunan dan memuji Allah Ta'ala,
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Setelah ayat ini turun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak istighfar dan rukuk dan sujudnya,
.سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَاَللَّهمَّ اغْفِرْ لِي
“Subhaanakallahumma Robbanaa Wa Bihamdika Allahummagh-Firli.”
“Mahasuci Allah Ya Tuhan Kami dan segala puji bagi-Mu Ya Allah ampunilah aku.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4967. Muslim no. 484]
Maka perbanyaklah rukuk dan sujud sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ رَضِي اللهُ عَنْهُ، عَنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِىءٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَغَ سِتِّيْنَ سَنةً » رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ.
قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ: لَمْ يَتْركْ لَهُ عُذْرًا، إِذْ أَمْهَلَهُ هذِهِ الْمُدَّةَ. يُقَالٌ: أَعْذَرَ الرَّجُلُ إِذَا بَلَغَ الْغَايَةَ فِي الْعُذْرِ .
قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَاهُ: لَمْ يَتْركْ لَهُ عُذْرًا، إِذْ أَمْهَلَهُ هذِهِ الْمُدَّةَ. يُقَالٌ: أَعْذَرَ الرَّجُلُ إِذَا بَلَغَ الْغَايَةَ فِي الْعُذْرِ .
“Allah tidak lagi menerima udzur (alasan) dari seseorang, setelah Dia menangguhkan umurnya hingga mencapai enam puluh tahun.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6419]
Para ulama berpendapat, “Maknanya, Allah tidak akan memberi alasan kepadanya (pada hari Kiamat kelak), kerana Dia telah memberikan kesempatan waktu yang cukup lama kepadanya (dan juga memberikan kekuatan kepadanya untuk beramal). Dikatakan, “Seseorang tidak lagi menerima alasan jika kesempatan yang diberikannya telah mencapai batas akhir.”
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tidak lagi menerima udzur (alasan) dari seseorang, setelah Dia menangguhkan umurnya hingga mencapai enam puluh tahun.” Artinya, Allah Ta'ala jika memberi kesempatan usia kepada seseorang sehingga enam puluh tahun, maka tidak ada argumen lagi baginya, kerana ia hidup selama enam puluh tahun banyak mengetahui ayat Allah, apalagi jika ia hidup dalam negeri Islam, tentu merupakan argumen yang kuat tidak ada lagi alasan baginya jika bertemu dengan Allah kelak.
Seandainya usianya dipendekkan hanya lima belas tahun atau dua puluh tahun misalnya, bisa jadi ia memiliki alasan belum sempat mengkaji ayat-ayat Allah, tetapi jika ia diberi kesempatan hingga enam puluh tahun, maka tidak ada alasan baginya, kerana manusia itu dituntut sejak usia baligh, sejak itu ia diberi tanggung jawab oleh Allah.
Maka kewajiban seseorang adalah mempelajari syariat Allah Ta'ala sesuai kebutuhannya, misalnya jika ia perlu berwudhu maka ia wajib belajar bagaimana cara berwudhu; ingin shalat, wajib belajar bagaimana cara shalat. Jika ia memiliki harta, wajib mengetahui nishab hartanya, dan berapa yang harus ia keluarkan, jika ingin puasa, wajib belajar bagaimana ia berpuasa dan apa saja yang membatalkan puasa. Jika ingin haji, wajib belajar bagaimana ia menunaikan haji dan umrah dan apa saja larangan dalam ihram. Jika ia ingin jual beli maka harus mengetahui hukum riba, bentuk-bentuknya, syarat-syarat jual beli emas dengan emas, emas dengan perak. Jika ia penjual makanan maka ia harus mengetahui bagaimana ia menjual makanan, mengenali sifat-sifat curang yang dilarang dan sebagainya.
Yang penting seseorang yang mencapai usia enam puluh tidak ada lagi alasan baginya sama sekali, setiap orang wajib mempelajari syariat yang ia butuhkan dalam semua syariat: shalat, zakat, puasa, haji, jual beli, wakaf dan yang lain sesuai kebutuhannya.
Hadits ini sebagai dalil bahwa Allah Ta'ala memiliki alasan ketika hendak menghukum hamba-Nya, kerana Allah telah menganugerahkan akal dan pemahaman, mengutus rasul, dan risalah yang abadi hingga hari Kiamat kelak, kerana risalah-risalah yang dahulu adalah terbatas untuk kaumnya saja, dan kerana setiap Rasul yang datang itu menghapuskan risalah yang sebelumnya.
Adapun umat ini Allah telah mengutus kepadanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para Nabi dan menjadikan ayat-ayat-Nya yang mulia ini kekal selamanya, kerana ayat-ayat para Nabi terdahulu mati dengan wafatnya para Nabi, tidak ada yang tersisa kecuali kenangan.
Adapun ayat-ayat Al-Qur'an yang diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kekal hingga hari Kiamat, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan mereka (orang-orang kafir Mekah) berkata, “Mengapa tidak diturunkan mukjizat-mukjizat dari Tuhannya?” Katakanlah (Muhammad) “Mukjizat-mukjizat itu terserah kepada Allah. Aku hanya seorang pemberi peringatan yang jelas. Apakah tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur'an) yang dibacakan kepada mereka?” (QS. Al-'Ankabût: 29: 50-51)
Kitab Al-Qur'an adalah cukup bagi orang yang membaca, merenungkan, memikirkan, menggali maknanya, mengambil manfaat dan pelajaran dari kisah-kisah di dalamnya. Sungguh dengan kitab Al-Qur'an ini cukup baginya.
Tetapi yang menjadikan kita tidak meresapi ayat-ayat Al-Qur'an ini kerana kita tidak membacanya dengan merenungkan dan mengambil pelajaran darinya, bahkan mayoritas kaum muslimin membacanya sekadar untuk mendapatkan berkah dan pahala saja.
Kewajiban kita adalah membaca Al-Qur'an dengan merenungkan dan mengambilnya sebagai pelajaran yang berharga sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Kitab (Al-Qur'an) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sihat mendapat pelajaran.”
(QS. Shâd: 38: 29)
Hadits 113.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يُدْخِلُنِى مَعَ أَشْيَاخِ بَْدْرٍ، فَكأَنَّ بَعْضَهُمْ وَجَدَ فِي نَفْسِهِ فَقَالَ: لِمَ يَدْخُلُ هَذِا مَعَنَا وَلَنَا أَبْنَاءٌ مِثْلُهُ؟ فَقَالَ عَمَرُ: إِنَّهُ مَنْ حَيْثُ علِمْتُمْ، فَدَعَانِى ذَاتَ يَوْمٍ فَأَدْخَلَنِى مَعَهُمْ، فَمَا رَأَيْتُ أَنَّهُ دَعَانِى يَوْمئِذٍ إِلاَّ لِيُرِيهُمْ قَالَ: مَا تَقُوْلُونَ فِي قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى: { إذَا جَآءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ} [اَلنَّصْرُ:١] فَقَالَ بَعضُهُمْ: أُمِرْنَا نَحْمَدُ اللَّهَ ونَسْتَغْفِرُهُ إذَا نَصَرَنَا وَفَتَحَ عَلَيْنَا. وَسَكَتَ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يقُلْ شَيْئًا فَقَالَ لِى: أَكَذَلِكَ تَفُولُ يَابْنَ عَبَّاسِِ؟ فَقُلْتُ: لَا. قَالَ: فَمَا تَقُولُ؟ قُلْتُ: هُوَ أَجَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَعْلَمَه لَهُ قَالَ: { إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ} وَذَلِكَ عَلَامَةٌ أَجَلِكَ { فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتغْفِرْهُ إِنَّه كَانَ تَوَّابًا} [ اَلنَّصْرُ: ٣ ] فَقَالَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا أَعْلَمُ مِنْهَا إلَّا مَا تَقُولُ. رَوَاهُ الْبُخَارِىَّ.
Kemudian pada suatu hari, Umar kembali mengundangku dan mengikutikanku dengan mereka, dan menurutku Umar mengundangku kala itu untuk menunjukkan kelebihanku kepada mereka, kemudian Umar bertanya, “Bagaimana pendapat kalian tentang firman Allah.”
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (QS. An-Nashr: 110: 1)
Sebagian mereka berkata, “Kita diperintahkan untuk memuji Allah, memohon ampunan jika kita menang dan dibukakan sebuah kota untuk kita,” sebagian mereka diam tidak mengatakan sesuatu.
Kemudian Umar bertanya kepadaku, “Apakah seperti itu wahai Ibnu Abbas?”
Kemudian aku menjawab, “Tidak.”
Umar bertanya, “Kalau tidak, bagaimana menurut pendapatmu?”
Aku menjawab, “Ayat ini merupakan isyarat dekatnya ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Allah memberi tahukannya kepada baginda, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,” itu adalah tanda dekatnya ajalmu. “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 110: 1-3)
Maka Umar berkata, “Aku tidak mengetahui penafsiran ini kecuali yang seperti engkau katakan ini.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4970]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma bahwasanya suatu ketika Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu mengundangnya bersama-sama sahabat senior yang pernah mengikuti perang Badar. Di antara kebiasaan Umar radhiyaalahu anhu adalah bermusyawarah dengan para sahabat yang berilmu setiap mendapatkan masalah, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 159)
Musyawarah yang disyariatkan dalam Islam bukanlah dengan membentuk badan permusyawaratan yang ikut serta memerintah, tetapi setiap kali seorang pemimpin mendapatkan permasalahan meminta pertimbangan orang-orang yang berilmu dan amanah untuk bermusyawarah mengenai suatu masalah. Beginilah kebiasaan Umar radhiyallahu anhu yang sangat baik, beliau meminta pertumbangan para sahabat dalam masalah-masalah syariat dan politis, ia mengundang Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma bersama para sahabat senior ahli Badar, kala itu Abdullah usianya masih belia dibanding dengan mereka, kemudian mereka menyangsikannya, “Bagaimana Umar mengundang Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma bersama para sahabat senior dan mereka juga memiliki anak seusia dengannya, tetapi tidak ada yang diundang?”
Kemudian Umar ingin memperlihatkan kelebihan Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma yang memiliki ilmu dan kecerdasan. Kemudian Umar mengundang mereka dan juga Abdullah bin Abbas, kemudian Umar menanyakan kepada mereka surat ini,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.”
(QS. An-Nashr: 110: 1-3)
Mereka terbagi menjadi dua kelompok, sebagian diam dan sebagian berkata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kita jika datang pertolongan dan kemenangan untuk memohon ampunan dan bertasbih,” tetapi Umar radhiyallahu anhu ingin mengetahui apa yang terkandung di balik ayat ini, bukan makna yang tersurat dalam lafazh zhahirnya. Kemudian ia bertanya kepada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Bagaimana pendapatmu wahai Ibnu Abbas?” Ia menjawab, “Ayat ini adalah isyarat dekatnya ajal Rasulullah, Allah menganugerahkan kepadanya, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan,” yaitu dibukanya kota Mekah, kerana itu adalah tanda ajalnya, “Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.”
(QS. An-Nashr: 110: 1-3)
Maka Umar berkata, “Aku tidak mengetahui penafsiran ini kecuali yang anda katakan ini.” Dengan demikian terlihatlah kelebihan Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma.
Hadits ini sebagai isyarat, sebaiknya setiap orang cerdas dalam memahami setiap kandungan sebuah ayat, bisa jadi zhahir ayat itu mudah dan jelas difahami, tetapi kandungan ayat yang diinginkan oleh Allah itulah yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang, memerlukan pemahaman yang hanya dimiliki oleh seorang yang dikehendaki oleh Allah Ta'ala.
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya.” Bertasbih kepada Allah diiringi dengan pujian, kata “ba” ini artinya “Bersama.” Kerana tasbih yang diiringi dengan pujian ini menunjukkan kesempurnaan-Nya, dan kesempurnaan-Nya itu tidak akan tercapai kecuali dengan meniadakan “cacat” dan menetapkan sifat “Sempurna” bagi Allah. Meniadakan sifat “cacat” bagi Allah ini diambil dari firman-Nya “Mahasuci Engkau,” kerana tasbih artinya adalah meniadakan semua sifat cacat bagi-Nya, sementara menetapkan sifat sempurna difahami dari firman Allah “Dengan memuji Tuhanmu,” kerana kata Al-Hamdu ini merupakan sifat terpuji dan sempurna. Bukan yang difahami di kalangan sebagian ulama bahwa “Al-Hamdu” sama artinya “Ats-Tsana” pujian yang baik dan sebagian mengatakan pujian apa saja yang baik, dalil masalah ini adalah hadits Qudsi,
“Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku membagi shalat itu menjadi dua yaitu antara Aku dan hamba-Ku -maksudnya adalah surah Al-Fatihah-jika hamba-Ku berkata, { الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ } (segala puji bagi Allah) maka Allah berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku,” dan jika ia berkata, { الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ } (Yang Maha Pemurah dan Penyayang) Allah berfirman, “Hamba-Ku memuja-Ku..”
[Shahih Muslim no. 598]
Hadits Qudsi ini membedakan antara Al-Hamdu dan Ats-Tsana. Yang penting jika seseorang menyebutkan tasbih dan Al-hamdu maka ia telah menetapkan sifat kesempurnaan bagi Allah dan menghilangkan sifat cacat bagi-Nya. Firman Allah Ta'ala “Maka mohonlah ampun kepada-Nya,” artinya mintalah ampunan dari Allah, “Al-Maghfirah” artinya adalah menghukum suatu dosa dan menutupinya, makna ini bersumber dari makna etimologi yaitu kata “Al-Maghfar” artinya tameng (topi besi) yang diletakkan di atas kepala seseorang ketika perang untuk melindungi dari anak panah, dengan demikian arti kata “Al-Maghfirah” adalah penjaga dan pelindung.
“Dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” Allah memiliki sifat “Banyak menerima taubat.” kata ini adalah bentuk shighah mubalaghah yang artinya banyak menerima taubat hamba-Nya.
Allah Ta'ala Maha Menerima taubat hamba-Nya baik taubat yang lalu dan yang akan datang, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.”
(QS. At-Taubâh: 9: 118)
Taubat yang terdahulu maksudnya Allah menerima taubat yang telah ia lakukan dan yang akan datang maksudnya Allah akan selalu menerima taubat bila-bila saja ia bertaubat. Taubat itu memiliki lima syarat:
1. Ikhlas kerana Allah Ta'ala.
2. Menyesali dosa-dosa yang ia telah ia kerjakan.
3. Meninggalkan segala dosa yang telah ia perbuat pada waktu itu juga.
4. Berkeinginan kuat tidak ingin mengulanginya.
5. Bertaubat sebelum tertutup pintunya, jika bertaubat setelah pintunya tertutup maka tidak akan diterima.
Seperti bertaubat ketika datang ajalnya, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, “Aku benar-benar bertaubat sekarang.”
(QS. An-Nisâ: 4: 18)
Pada waktu itu taubat tidak lagi diterima, oleh kerana itu taubat Fir'aun tidak diterima setelah dirinya tenggelam, Allah Ta'ala berfirman,
“Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerosakan.” (QS. Yunus: 91)
Begitu juga setelah matahari terbit dari barat, kala itu manusia beriman tetapi tidak diterima, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
Begitu juga setelah matahari terbit dari barat, kala itu manusia beriman tetapi tidak diterima, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
“Tidak berguna lagi iman seseorang yang belum beriman sebelum itu, atau (belum) berusaha berbuat kebajikan dengan imannya itu.”
(QS. Al-An'âm: 6: 158)
Oleh kerana itu, hendaknya setiap orang memperbanyak dzikir ini dalam ruku' dan sujudnya,
.سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَاَللَّهمَّ اغْفِرْ لِي
“SUBHAANAKALLOHUMMA ROBBANAA WA BIHAMDIKA ALLOHUMMAGH-FIRLII.”
(artinya: Mahasuci Engkau, Ya Allah, Rabb kami, dengan memuji-Mu, Ya Allah, ampunilah aku)
[Shahih Al-Bukhari no. 4967. Muslim no. 484]
Ini adalah doa sekaligus dzikir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak doa dan dzikir ini pada ruku' dan sujudnya setelah turun ayat ini.
[Shahih Al-Bukhari no. 4967. Muslim no. 484]
Ini adalah doa sekaligus dzikir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak doa dan dzikir ini pada ruku' dan sujudnya setelah turun ayat ini.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: مَا صَلَّى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً بَعْدَ أَنْ نَزَلَتْ علَيْهِ { إذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ والْفَتْحُ } إلاَّ يَقُوْلُ فِيْهَا: « سُبْحَانَكَ رَبَّنَا وَبِحمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ فِي الصَّحِيْحَيْن عَنْهَا: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُودِهِ: « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ ربَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهمَّ اغْفِرْ لِي » يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ: « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إلَيْكَ » قَالَتْ عَائِشَةُ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ الَّتي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُوٍلُهَا ؟ قَالَ: « جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِيْ إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا { إذَا جَاءَ نَصْرُ اللِّهِ والْفَتْحُ } إِلَى آخر السَّوْرَة.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: « سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ. أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إلَيْه » قَالْتُ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، أَسْتغْفِر اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ؟ فَقَالِ: « أَخْبَرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِيْ فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبحَمْدِهِ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأتُوبُ إلَيْهِ: فَقَدْ رَأَيْتُها: { إذَا جَاءَ نَصْرُ اللِّهِ والْفَتْحُ } فَتْحُ مَكَّةَ، { وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِي دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ توَّابًا }
وَفِي رِوَايَةٍ فِي الصَّحِيْحَيْن عَنْهَا: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ فِي رُكُوْعِهِ وَسُجُودِهِ: « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ ربَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهمَّ اغْفِرْ لِي » يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ أَنْ يَقُوْلَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ: « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وبِحَمْدِكَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إلَيْكَ » قَالَتْ عَائِشَةُ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا هَذِهِ الْكَلِمَاتُ الَّتي أَرَاكَ أَحْدَثْتَهَا تَقُوٍلُهَا ؟ قَالَ: « جُعِلَتْ لِي عَلَامَةٌ فِي أُمَّتِيْ إِذَا رَأَيْتُهَا قُلْتُهَا { إذَا جَاءَ نَصْرُ اللِّهِ والْفَتْحُ } إِلَى آخر السَّوْرَة.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: « سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ. أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إلَيْه » قَالْتُ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَاكَ تُكْثِرُ مِنْ قَوْلِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ، أَسْتغْفِر اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ ؟ فَقَالِ: « أَخْبَرَنِي رَبِّي أَنِّي سَأَرَى عَلَامَةً فِي أُمَّتِيْ فَإِذَا رَأَيْتُهَا أَكْثَرْتُ مِنْ قَوْلِ: سُبْحَانَ اللَّهِ وَبحَمْدِهِ، أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأتُوبُ إلَيْهِ: فَقَدْ رَأَيْتُها: { إذَا جَاءَ نَصْرُ اللِّهِ والْفَتْحُ } فَتْحُ مَكَّةَ، { وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُوْنَ فِي دِيْنِ اللهِ أَفْوَاجًا، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ توَّابًا }
(QS. An-Nashr: 110: 1).
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sentiasa membaca doa ini di dalam shalatnya, “Mahasuci Engkau ya Allah dengan memuji-Mu, ya Allah ampunilah aku.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4967. Muslim no. 484]
Dalam riwayat di dalam kitab Ash-Shahihain dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyakkan berdoa dalam ruku' dan sujudnya, “Mahasuci Engkau ya Allah dengan memuji-Mu, ya Allah ampunilah aku.” Baginda mengamalkan apa yang Allah perintahkan di dalam Al-Qur'an.
Dalam riwayat Muslim sebelum wafat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak mengucapkan, “Mahasuci Engkau ya Allah dengan memuji-Mu, ya Allah ampunilah aku dan aku bertaubat kepada-Mu.”
Maka Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah doa apa yang selalu engkau bacakan itu?”
Baginda bersabda, “Aku diberi tanda tentang umatku, apabila aku melihatnya aku banyak mengucapkan doa itu, “yaitu, Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 110: 1-3)
Dalam riwayat Muslim bahwasanya Rasulullah memperbanyak ucapan, “Mahasuci Allah dengan segala puji baginya, aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.”
Aisyah radhiyallahu 'anha, berkata, “Wahai Rasulullah aku melihatmu banyak membaca doa ini, “Mahasuci Allah dengan segala puji baginya, aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.”
Baginda menjawab, “Tuhanku telah memberitahu kepadaku sesungguhnya aku akan melihat suatu tanda pada umatku, ketika aku melihatnya maka aku memperbanyakkan membaca doa ini, “Mahasuci Allah dengan segala puji baginya, aku mohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.” Dan sesungguhnya aku telah melihatnya,
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (QS. An-Nashr: 110: 1) yaitu ditaklukkannya kota Mekah.
“Dan engkau melihat manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha Penerima Taubat.”
(QS. An-Nashr: 110: 2-3)
Hadits 115.
Hadits 115.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ تَابَعَ الْوَحْيَ عَلَى رَسُوْلِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ وَفَاتِهِ، حَتَّى تُوُفِّى أَكْثَرَ مَا كَانَ الْوَحْيُ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
[Shahih Al-Bukhari no. 4982. Muslim no. 3016]
Hadits 116.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يُبْعَثُ كُلُّ عَبْدٍ عَلَى مَا مَاتَ عَلَيْهِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Setiap hamba Allah itu akan dibangkitkan dari kuburnya sama seperti keadaan ketika ia meninggal.”
[Shahih Muslim no. 2878]
[Shahih Muslim no. 2878]
Tiada ulasan:
Catat Ulasan