Hadits no. 347.
“Yang berhak mengimamkan suatu kaum adalah orang yang paling pandai dalam membaca Al-Quran. Jika bacaan mereka sama, maka orang yang paling memahami tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika pemahaman dalam sunnahnya sama, maka orang yang terlebih dahulu berhijrah. Jika hijrah mereka sama, maka orang yang lebih tua umurnya. Dan janganlah seseorang mengimamkan yang lain di daerah kekuasan lain, dan jangan pula seorang itu duduk rumah orang lain itu di atas duduknya (orang lain tadi) kecuali dengan izinnya.”
[Shahih Muslim no. 673]
Dalam riwayat lain disebutkan, “Maka yang lebih dahulu masuk islam.” Sebagai ganti (kalimat), “Maka yang lebih tua usianya.” Dalam riwayat lain disebutkan, Yang berhak menjadi imam suatu kaum adalah orang yang paling fasih bacaan Al-Qur'annya, dan yang paling dahulu berhijrah, jika dalam berhijrah mereka pun sama, maka yang lebih tua umurnya.”
[Shahih Muslim no. 673, Abu Dawud no. 582, Ibnu Majah no. 980]
Hadits no. 348.
عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِي الصَّلاَةِ وَيَقُولُ: « اِسْتَوُوا وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُوا الْأَحْلاَمِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلونَهُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Mas'ud bin Amr Al-Badri Al-Anshari radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bahu kami menjelang shalat seraya bersabda,
“Luruskanlah shaf kalian, dan janganlah kalian berselisih, maka nescaya akan berselisih hati kalian Hendaklah yang belakangku orang yang tua yang dan memiliki pengetahuan, kemudian orang yang sesudah mereka kemudian orang yang sesudah mereka.”
[Shahih Muslim no. 432]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab, “Menghormati Para Ulama, Orang Tua, Orang Terhormat, Mendahulukan Mereka Atas Yang Lainnya, Menjunjung Tinggi Majlis Mereka Serta Mempamerkan Kedudukan Mereka.” Yaitu makna yang berkaitan dengan kandungan tema ini.
Yang dimaksud dengan para ulama adalah ulama yang memahami syariat Islam. Mereka adalah pewaris Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kerana ulama adalah pewaris para nabi dan semua nabi tidak tidak mewariskan dinar dan dirham. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak meninggalkan sesuatu untuk putrinya; Fatimah dan pamannya; Abbas, kerana para nabi tidaklah mewariskan sesuatu kecuali ilmu.
Ilmu adalah syariat Allah, barangsiapa yang memilih ilmu ini berarti ia telah mengambil bagian sempurna dari warisan para ulama.
Jika para nabi harus diagungkan, dimuliakan dan dihormati, maka orang-orang yang mewarisinya juga harus demikian. Oleh kerananya, Imam An-Nawawi rahimahullah membuat satu bab yang berkaitan dengan masalah yang sangat urgen ini.
Menghormati para ulama berarti menghormati syariat, kerana mereka adalah pembawa panji-panjinya. Merendahkan para ulama berarti menghinakan syariat, kerana jika para ulama terhina di mata manusia, maka syariat yang dibawanya pun akan terhina, tidak akan bernilai lagi di hadapan mereka. Jadilah setiap orang itu mencela dan merendahkan mereka dan akhirnya syariat Allah ini akan hilang dari muka bumi.
Sebagaimana pula para pemimpin dan para penguasa, mereka juga harus dihormati, dimulikan dan ditaati sesuai dengan aturan syariat. Kerana jika mereka dihina dan dilecehkan di hadapan publik maka citra mereka akan rendah, dan negara akan menjadi kacau bilau tanpa adanya keamanan, pemerintah tidak memiliki kekuatan untuk mengendalikannya.
Dua kelompok ini yaitu para ulama dan pemimpin jika dilecehkan di depan publik, maka akan merusakan syariat ini. Kekacauan akan terjadi di mana-mana, keamanan tidak lagi terjamin, setiap orang mengklaim sebagai ulama dan pemimpin, yang akhirnya syariat dan negara yang menyangganya akan hilang. Oleh kerana itu, Allah memerintahkan kita untuk menaati para penguasa, baik dari para ulama ataupun pemimpin, sebagaimana firman Allah Ta‘ala,
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kami.” (QS. An-Nisâ: 4: 59)
Kita ambil contoh, jika para ulama dan pemimpin tidak dihormati, sesungguhnya orang-orang itu apabila mendengar sesuatu dari ulama mereka mengatakan, “Ini masalah kecil, pendapat ulama itu bertentangan.” Atau mengatakan, “Ini masalah kecil, mereka tahu dan kita juga tahu.” Sebagaimana yang kita dengar dari orang-orang yang bodoh ketika pendapatnya disanggah dan dikatakan kepada mereka, “Ini ucapan Imam Ahmad bin Hambal, Imam Syafi'i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, atau ucapan Sufyan dan sebagainya.” Mereka berkata, “Ya, mereka itu manusia biasa dan kami juga manusia biasa.” Tetapi terdapat perbedaan di antara mereka dengan yang lainnya. Anda siapa? Sehingga anda berani, dengan ucapan, buruknya pemahaman, minimnya ilmu pengetahuan dan kelalaian anda dalam berijtihad menjadikan diri anda sebagai lawan terhadap para pemimpin ini!
Jika orang-orang sudah berani merendahkan para ulama, maka setiap orang akan mengatakan, “Akulah orang yang alim, piawai, lebih paham, aku adalah lautan yang tidak bertepi, selama orang alim itu masih terhina,” maka setiap orang akan mengatakan sesuai keinginannya, memberi fatwa seenaknya dan syariat Islam akan terkoyak-koyak disebabkan apa yang diperbuat oleh orang-orang bodoh ini.
Begitu juga para pemimpin, jika seseorang ditanyakan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemimpin, ia berkata, “Jangan menaatinya, kerana dia berbeda dengan yang ini dan yang itu.” Saya katakan, “Kalaupun ia berbeda dengan yang ini dan yang itu, maka ia yang akan memikul dosanya. Anda diperintahkan untuk mendengar dan taat, walaupun mereka meminum khamer atau tenggelam dalam alunan musik, atau yang lainnya. Selama kita tidak melihatnya dengan jelas melakukan kekufuran, maka kita masih tetap wajib menaatinya, betap pun mereka berbuat fasik dan zhalim.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Dengar dan taatlah (terhadap pemimpin) walaupun ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu.”
[Shahih Muslim no. 1847]
“Dengar dan taatilah (pemimpin kalian) sungguh kalian hanya berkewajiban menunaikan tugas kalian dan mereka berkewajiban menunaikan tugas mereka.”
[Shahih Muslim no. 1846]
Adapun orang yang menginginkan pemimpinannya seperti Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum, maka hal itu tidaklah mungkin. Jadilah kita rakyat seperti pada masa itu, jadilah sahabat atau seperti mereka sehingga para pemimpin itu seperti para pemimpin sahabat.
Rakyat yang kita saksikan sekarang ini kebanyakan menyia-nyiakan kewajiban dan melanggar keharaman, lalu mereka menginginkan pemimpinnya seperti Khulafaurrasyidin, sungguh sangat jauh. Tetapi kita harus menunaikan kewajiban kita yaitu mendengar dan mentaati, walaupun mereka berbuat kesewenang-wenangan dan lalai dalam menjalankan tugas mereka. Mereka menanggung atas apa yang wajib bagi mereka dan kita juga menanggung atas apa yang wajib bagi kita.
Jika keduanya tidak dihormati, maka eksistensi dunia dan akhirat ini akan sirna. Kita mohon keselamatan kepada Allah.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengambil dalil firman Allah Ta'ala,
“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 39: 9)
“Apakah sama,” yaitu tidak sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui, kerana orang yang bodoh itu memiliki sifat rendah, sementara orang yang mengetahui itu memiliki sifat mulia. Oleh kerana itu, jika kita katakan kepada orang awam, “Kamu bodoh,” ia marah dan berusaha mengingkarinya. Hal itu menunjukkan bahwa kebodohan itu merupakan aib dan kerendahan, setiap orang berusaha menghindarinya, sedangkan ilmu adalah kebaikan. Tidaklah sama antara orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui selama-lamanya.
Seorang yang berilmu beribadah kepada Allah dengan mata hatinya, ia mengetahui bagaimana ia berwudhu, shalat, menyucikan jiwa, berpuasa, haji, berbakti kepada kedua orang tua, dan bagaimana ia menyambung silaturrahim.
Orang yang berilmu menerangi manusia, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana?” (QS. Al-An'âm: 6: 122)
Keduanya tidak mungkin sama, orang yang mengetahui adalah cahaya yang akan menerangi, Allah akan mengangkat derajetnya. Sementara orang yang bodoh selalu bergantung pada orang lain, tidak berguna bagi dirinya dan orang lain. Bahkan kalau mengeluarkan fatwa ia menyesatkan diri dan orang lain. Jadi, tidaklah sama antara orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui.
Selanjutnya Imam An-Nawawi menyebutkan hadits Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Yang berhak mengimamkan suatu kaum adalah orang yang paling pandai dalam membaca Al-Quran. Jika bacaan mereka sama, maka orang yang paling memahami tentang sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika pemahaman dalam sunnahnya sama, maka orang yang terlebih dahulu berhijrah. Jika hijrah mereka sama, maka orang yang lebih dahulu masuk Islam.” Yaitu yang paling dahulu masuk Islam, dalam lafazh lain, “sinnan” yaitu yang paling tua usianya.
Hal ini menunjukkan bahwa ulama itu didahulukan daripada yang lainnya. Diprioritaskan orang yang paling mengetahui Kitabullah, kemudian orang yang mengetahui sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan tidaklah diprioritaskan dalam masalah agama kecuali orang yang terbaik dalam memahaminya.
Ini menunjukkan untuk memprioritaskan yang paling utama dalam mengimami, ini di luar imam yang bertugas rutin. Tetapi jika ada imam yang bertugas rutin, walaupun ada orang yang lebih baik darinya ia tetap yang berhak. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dan janganlah seseorang mengimami di daerah kekuasaan orang lain,” imam masjid yang biasa bertugas itu berkuasa dalam masjidnya. Bahkan sebagian ulama berkata, “Seorang yang maju menjadi imam jamaah tanpa seizin imam yang biasa bertugas maka shalatnya batal, wajib mengulangi shalatnya.” Kerana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang cara ini, dan larangan menuntut batalnya suatu amal.
Hadits no. 349
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهِ قَالَ: قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لِيَلِني مِنْكُمْ أُولُوا الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ » ثَلاَثًا « وإِيَّاكُمْ وَهَيْشَاتِ الْأَسْوَاقِ » رَوَاهُ مُسْلِمُ .
Daripada Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaknya yang ada di belakangku (ketika shalat) adalah orang-orang dewasa dan orang yang cerdas (paham agama). Kemudian orang-orang yang berada di bawah mereka. Dan janganlah kalian semua bercampur dan mengangkat suara seperti di pasar.”
[Shahih Muslim no. 432/ 123]
Hadits no. 350
وَعَنْ أَبِي يَحْيَى وَقيلَ: أَبِي مُحَمَّدِِ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَة بِفَتْحِ الْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ وَإِسْكَانِ الثَّاءِ الْمُثْلَثَةِ الْأَنْصَارِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: انْطَلَقَ عَبْدُ اللَّهِ بنُ سَهْلٍ وَمُحَيِّصَةُ بْنُ مَسْعُودٍ إِلَى خَيْبَرَ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ صُلْحٌ، فَتَفَرَّقَا. فَأَتَى مُحَيِّصَةُ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَهْلٍ وَهُوَ يَتَشَحَّطُ فِي دَمِهِ قَتِيلاً، فَدَفَنَهُ، ثُمَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَانْطَلَقَ عَبْدُ الرَّحْمنِ بْنُ سَهْلٍ وَمُحَيِِّصَةُ وَحُوَيِّصَةُ ابْنَا مَسْعُودٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَهَبَ عَبْدُ الرَّحْمنِ يَتَكَلَّمُ فَقَالَ: « كَبِّرْ كَبِّرْ » وَهُوَ أَحْدَثُ الْقَوْمِ، فَسَكَت، فَتَكَلَّمَا فَقَالَ: « أَتَحْلِفُونَ وَتَسْتَحِقُّونَ قَاتِلَكُمْ؟ » وَذَكَرَ تَمَامَ الْحَدِيثِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Yahya, ada yang mengatakan Abu Muhammad Sahl bin Abu Hatsmah Al-Anshari radhiyallahu anhu dia berkata, “Abdullah bin Shal dan Muhayyishah bin Mas'ud pergi ke Khaibar pada masa itu ada perjanjian, kemudian keduanya berpisah. Tatkala Muhayyishah mendatangi tempat Abdullah bin Sahl, didapatinya dia mati terbunuh berlumuran darah, maka Muhayyishah langsung menguburkannya. Setelah itu, dia berangkat ke Madinah. Setelah itu Abdurrahman bin Sahl, Muhayyishah dan Huwayyishah (putera Ibnu Mas'ud) juga berangkat ke Madinah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberitahu peristiwa itu. Kemudian Abdurrahman memulakan bicara, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulukan orang tua, dahulukan orang tua.” Sebab etika itu Abdurrahman yang paling muda berbanding dengan mereka yang ada. Maka dia pun diam, lalu Muhayyishah dan Huwayyishah memulakan kata-kata. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kamu mahu bersumpah dan menuntut hak kepada pembunuhnya?”
Selanjutnya perawi hadits ini menceritakan secara lengkap.
[Shahih Al-Bukhari no. 3173 Muslim no. 1669]
Hadits no. 351.
وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَجْمَعُ بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ يَعْنِي فِي الْقَبْرِ، ثُمَّ يَقُولُ: « أَيُّهُمَا أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ؟ » فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إلَى أَحَدِهِمَا قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan dua orang yang mati terbunuh dalam perang Uhud di dalam satu liang kubur, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Mana diantara keduanya paling banyak hafalan Al-Quran?” Tatkala ada seseorang yang menunjuk kepada salah satunya, maka Rasulullah mendahulukan orang yang paling banyak hafalan Al-Qurannya itu untuk di masukkan ke dalam liang lahad.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1343]
Hadits no. 352.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌما أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أَرَانِي فِي الْمَنَامِ أَتَسَوَّكُ بِسِوَاكٍ، فَجَاءَنِي رَجُلاَنِ، أَحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الْآخَرِ، فَنَاوَلْتُ السِّوَاكَ الْأَصْغَرَ، فَقِيلَ لِي: كَبِّرْ، فَدَفَعْتُهُ إِلَى الْأَكْبَرِ مِنْهُمَا » رَوَاهُ مُسْلِمُ مُسْنَدًا وَالْبُخَارِيُّ تَعْلِيقًا.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku sedang bersugi dengan satu siwak. Tiba-tiba datang padaku dua orang lelaki, salah seorang dari mereka itu, ada yang lebih tua. Lalu aku berikan siwak itu kepada yang muda, Tetapi ada orang berkata kepadaku, “Dahulukanlah yang lebih tua!” Lalu aku berikan kepada yang lebih tua dari keduanya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim secara musnad dan diriwayatkan pula Imam Bukhari secara ta'liq.
[Shahih Al-Bukhari no. 246 dan Muslim no. 19/2271]
Hadits no. 353.
وَعَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ مِنْ إِجْلاَلِ اللَّهِ تَعَالَى إِكْرَامَ ذِى الشَّيْبةِ الْمُسْلِمِ، وَحَامِلِ الْقُرآنِ غَيْرِ الْغَالِي فِيهِ، وَالْجَافِي عَنْهُ وَإِكْرَامَ ذِي السُّلْطَانِ الْمُقْسِطِ » حَدٓيثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ.
Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya tanda Allah memuliakan sesorang Islam yang mempunyai uban usianya, dan orang yang pandai tentang Al-Quran (hafal) tanpa melampui batas ketentuan (dalam membaca) dan tidak pula mengabaikannya serta memuliakan penguasa yang adil termasuk mengagungkan kehormatan Allah.”
[HR. Abu Dawud no. 4843 dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahihul Jami no. 2199]
Hadits no. 354.
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيِهِ، عَنْ جَدِّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا، وَيَعْرِفْ شَرَفَ كَبِيرِنَا » حَدِيثٌ صَحِيحٌ رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحُ،
Daripada Amr bin Syuaib daripada bapanya daripada datuknya radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidak termasuk golonganku, orang yang tidak menyayangi yang lebih muda dan tidak mahu menghormati orang yang lebih tua.”
[Shahih Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 355, 358, 363. Abu Dawud no. 4943. At-Tirmidzi no. 1920 Ahmad no. 2/185 dinilai sahih oleh Syaikh Albani dalam Sahihul Jami no. 5444]
Dalam riwayat Abu Dawud di sebutkan, “Hak orang yang lebih tua daripada kita.”
Hadits no. 355.
وَعَنْ مَيْمُونِ بْنِ أَبِي شَبِيبٍ رَحَمَهُ اللَّهُ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا مَرَّ بِهَا سَائِلٌ، فَأَعْطَتْهُ كِسْرَةً، وَمرَّ بِهَا رَجُلٌ عَلَيْهِ ثِيَابٌ وَهَيْئَةٌ، فَأَقْعَدَتْهُ، فَأَكَلَ فَقِيلَ لَهَا فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَنْزِلُوا النَّاسَ مَنَازِلَهُمْ » رَوَاهُ أبُو دَاوُدَ. لَكِنْ قَالَ: مَيْمُونُ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ.
Daripada Maimun bin Abu Syabib dia berkata, bahwa seorang peminta sedekah melewati Aisyah radhiyallahu anha, lalu dia memberi potongan roti. Setelah itu ada lagi seorang lelaki yang berpakaian rapi dan berkedudukan mendatangi Aisyah, lalu Aisyah menyuruhnya duduk dan memberinya jamuan makan. Maka Aisyah pun ditanya tentang perlakuannya itu dan Aisyah menjawab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Layanlah manusia sesuai dengan kedudukannya.”
[HR. Abu Dawud no. 4943 dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Da'ifah no. 1894.] “Maimun itu belum pernah menemui Aisyah.”
Hadits ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam permulaan kitab sahihnya secara ta’liq, (tidak disebutkan sanadnya), dia berkata, “Dan disebutkan dari Aisyah radhiyallahu anha bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita supaya kita menempatkan manusia itu sesuai dengan kedudukannya.” Imam Hakim Abu Abdillah menyebutkan ini dalam kitabnya Ma’rifatu ‘ulumil hadits dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits sahih.
Hadits no. 356.
وَعَنِ ابْنِ عبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَدِمَ عُيَيْنَةُ بْنُ حِصْنٍ، فَنَزَلَ عَلَى ابْنِ أَخِيهِ الْحُرِّ بْنِ قَيْسٍ، وَكَانَ مِنَ النَّفَرِ الَّذِينَ يُدْنيهِمْ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَكَانَ القُرَّاءُ أَصْحَابَ مَجْلِسِ عُمَرَ وَمُشَاوَرَتِهِ، كُهُولًا كَانُوا أَوْ شُبَّانًا، فَقَالَ عُيَيْنَةُ لِابْنِ أَخِيهِ: يَا ابْنَ أَخِي لَكَ وَجْهٌ عِنْدَ هَذَا الْأَمِيرِ، فَاسْتَأْذِنْ لِي عَلَيْهِ، فَاسْتَأَذَنَ لَهُ، فَأَذِنَ لَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَلَمَّا دَخَلَ: قَالَ هِي يَا ابْنَ الْخَطَّابِ: فَوَاللَّه مَا تُعْطِينَا الْجَزْلَ، وَلَا تَحْكُمُ فِينَا بِالعَدْلِ، فَغَضِبَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى هَمَّ أَنْ يُوقِعَ بِهِ، فَقَالَ لَهُ الْحُرُّ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: { خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَـٰهِلِينَ } وَإنَّ هَذَا مِنَ الْجَاهِلِينَ. وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى. رَوَاهُ الْبخَارِيَّ.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dia berkata, bahwa Uyainah bin Hishn datang dan singgah menemui anak saudaranya yaitu Al-Hurr bin Qais, dan dia termasuk di antara orang yang terdekat dengan Umar radhiyallahu anhu. Ketika itu para ahli pembaca Al-Quran itu dijadikan sahabat dalam majlis Umar serta orang-orang yang diajak bermusyawarah bersamanya, baik orang tua mahupun para pemuda. Uyainah berkata kepada anak saudaranya, “Wahai anak saudaraku, kamu ada kedudukan di sisi Amirul Mukminin, lalu mintalah izin untukku agar aku dapat menemuinya.”
Lantas Al-Hurr bin Qais meminta izin untuk Uyainah. Tatkala Uyainah sudah menemui Umar dan dia berkata, “Wahai Ibnul Khattab, demi Allah, kamu belum memberi pemberian yang banyak kepada kami, dan belum juga engkau berbuat adil di antara kami.” Umar secara spontan marah hingga dia hampir-hampir hendak memukulnya, namun Al-Hurr berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin, Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi-Nya,
“Ambilah kemaafan dan suruhlah dengan yang baik, dan berpalinglah daripada orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A'raf: 7: 199) Dan sesungguhnya ini tergolong dari kalangan orang-orang jahil.” Demi Allah, Umar tidak jadi melakukan hukuman itu ketika Al-Hurr membaca ayat tersebut kepadanya. Umar adalah orang yang selalu memegang teguh kitabullah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4642, 7286]
Hadits no. 357.
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ سَمُرَةَ بنِ جُنْدَبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَقَدْ كُنْتُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم غُلامََا، فَكُنْتُ أَحفَظُ عَنْهُ، فَمَا يَمْنَعُنِي مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ أَنَّ هَهُنَا رِجَالاً هُمْ أَسَنُّ مِنِِّي. مُتَّفَقُ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Sa'id Samurah bin Jundub radhiyallahu anhu dia berkata, “Pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, aku masih muda. Aku selalu hafal apa yang datang daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah tidak mencegahku berbicara, kecuali jika di sana ada orang yang lebih tua daripadaku.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1331, 1332 dan Muslim no. 964]
Hadits no. 358.
وَعَنْ أَنَسِِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: فَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا أَكْرَمَ شَابُّ شَيْجًا لِسنِّهِ إِلاَّ قَيَّضَ اللهُ لَهُ مَنْ يُكْرِ مُهُ عِنْدَ سِنَِّهِ » رَوَاهُ التِِّرْ مَذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثُ غَرِيبٌ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah orang muda menghormati orang yang lebih tua kerana umurnya melainkan Allah akan menjadikan untuknya orang yang menghormatinya kerana umurnya (di masa tuanya).”
[HR. At-Tirmidzi no. 2022 dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Ad-Da'ifah no. 304]
Penjelasan.
Hadits-hadits ini senada dengan bab yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah, yaitu, “Memuliakan para ulama dan Orang Tua, Orang Terhormat, Mendahulukan Mereka Atas Yang Lainnya, Menjunjung Tinggi Majlis Mereka Serta Mempamerkan Kedudukan Mereka.” Di antaranya adalah hadits Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya yang ada di belakangku (ketika shalat) adalah orang-orang dewasa dan orang yang cerdas (paham agama).” Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali, “Janganlah kalian semua bercampur dan mengangkat suara seperti di pasar.”
“Hendaknya yang ada di belakangku,” menggunakan huruf “Lam,” perintah, artinya dalam shalat jamaah hendaklah yang menempati shaf pertama itu adalah orang-orang yang dewasa dan yang cerdas.
Dewasa, artinya orang-orang yang telah mencapai usia baligh, “orang-orang yang cerdas,” adalah berakal dan pintar. Dengan demikian orang yang paling berhak menempati shaf pertama adalah orang-orang yang cerdas berakal mencapai usia baligh; kerana kriteria ini lebih paham perkataan atau perbuatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam daripada anak-anak atau yang lemah akal. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menempati shaf yang terdekat dengan imam.
Hadits ini tidak berarti bahwa tidak ada yang boleh berdiri di belakang imam kecuali orang-orang yang telah dewasa dan yang cerdas, di mana kita menolak anak-anak berada pada shaf pertama. Hal ini tidak diperbolehkan. Kita tidak boleh melarang anak-anak untuk berada di shaf pertama kecuali mereka akan membuat kegaduhan dalam shalat. Jika tidak mengganggu maka orang yang lebih dahulu ke tempat itu lebih berhak menempatinya.
Ada perbedaan antara ungkapan, “Tidak ada yang boleh berdiri belakangku kecuali orang-orang yang telah dewasa dan cerdas (paham agama).” Dan “Hendaknya yang ada di belakangku (ketika shalat) adalah orang-orang dewasa dan orang yang cerdas (paham agama).” Ungkapan kedua adalah himbauan bagi orang-orang yang telah berusia baligh dan berakal cerdas untuk menempati shaf pertama, sedangkan yang pertama adalah larangan bagi orang yang belum berusia baligh dan yang tidak berakal cerdas untuk menempati shaf pertama.
Oleh kerana itu, kita mengatakan bahwa orang yang melarang anak-anak menempati shaf pertama adalah salah, kerana melarang orang yang berhak untuk mendapatkan haknya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
ُ.مَنْ سَبَقَ إلىَ مَا لَمْ يَسْبِقْ إلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَه
“Barangsiapa yang mendahulukan sesuatu sebelum seorang muslim mendahuluinya maka itu adalah haknya.”
[Hadits Dhaif menurut Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Dhaif Al-Jami no. 5622]
Dari sisi lain sikap mereka memakruhkan anak-anak pergi ke masjid itu menyebabkan mereka enggan pergi dan mencintai masjid. Di samping itu, hal ini biasanya meninggalkan kesan yang tidak enak pada jiwa anak, kerana banyak dampak yang ditimbulkannya, maka kami berpendapat jangan melarang anak-anak berada di shaf pertama.
Jika kita melarang mereka dari shaf pertama justru akan menyebabkan mereka bermain-main, kerana jika mereka dikhususkan dalam suatu shaf sebagaimana kata sebagian pendapat, pasti akan menyebabkan mereka bermain-main dan membuat gaduh di masjid. Tetapi jika anak-anak ini bercampur dengan orang-orang dewasa maka hal ini akan lebih aman dari kegaduhan dengan mengumpulkan mereka pada shaf pertama.
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Hendaknya di belakangku orang-orang dewasa dan cerdas (paham agama).” Dari sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini terdapat pelajaran bahwa dekat dengan imam itu diperintahkan, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya di belakangku.” Yakni berada di belakangku.
Dengan demikian kita katakan, Jika shaf sebelah kanan imam itu lebih jauh, dan shaf yang kiri itu lebih dekat dengan imam, maka shaf yang kiri itu lebih utama daripada shaf sebelah kanan, kerana lebih dekat dengan imam. Sebagaimana pada zaman dahulu ketika seorang imam bersama dua orang makmum, maka makmum berdiri di sebelah kanan dan kiri imam, tidak berdiri di sebelah kanan semua, kerana menjaga agar lebih dekat dengan imam.
Tetapi hal tersebut sudah dinasakh (dihapuskan), jadilah imam apabila ada dua orang yang bermakmum maka mereka berdiri dibelakangnya. Namun, tatkala menjadikan salah satu dari mereka di kanan dan kiri imam itu bukan berarti bahwa yang sebelah kanan lebih utama secara mutlak, bahkan lebih utama daripada yang sebelah kiri jika ia lebih dekat dengan imam. Jika tidak maka sebelah kiri dan lebih dekat dengan imam adalah lebih utama.
Dalam hadits mimpi yang dialami oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggosok gigi dengan kayu siwak, kemudian ada dua orang yang datang, Rasulullah shallahu alaihi wa sallam ingin memberikan siwak kepada salah satu yang lebih muda, selanjutnya dikatakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Dahulukan yang lebih tua, dahulukan yang lebih tua.” Hal ini menunjukkan bahwa dalam memberikan sesuatu itu harus mendahulukan yang lebih tua.
Oleh kerana itu, jika anda menghidangkan makanan dan minuman, hendaknya tidak dimulai dari kanan, tetapi dimulai dari yang lebih tua yang berada di depan anda, kerana ketika Nabi shallallahu alaihi wa sallam ingin memberikannya kepada yang lebih muda Nabi shallallahu alaihi wa sallam di tegur agar memberikannya kepada yang lebih tua. Zhahir hadits ini dapat dipahami bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam memberikannya ke sebelah kanan kerana mengutamakan yang kanan, tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam ditegur, “Dahulukan yang yang lebih tua” jika orang-orang itu berada di depanmu maka mulailah dari yang lebih tua, jangan memulai dari yang sebelah kanan. Tetapi jika mereka duduk di sebelah kanan dan sebelah kiri, maka mulailah dari yang sebelah kanan.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan dari hadits-hadits ini tentang kaidah mendahulukan yang lebih tua atau yang sebelah kanan. Jika kisahnya itu seperti Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika baginda memegang sebuah gelas untuk minum, sedangkan di samping kirinya terdapat orang yang lebih tua dan sebelah kanannya yang lebih muda, maka Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
أَتَأْذَنُ لِي أَنْ أُعْطِيَ هَؤُلاءِ؟
“Apakah kamu mengizinkan aku memberikan minuman ini kepada mereka dahulu?”
(Sebagaimana yang telah kita bahas)
Kemudian anak itu berkata, “Tidak demi Allah, aku tidak akan memberikan hakku kepada seorang pun,” kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikannya. Jika kondisinya memang demikian, maka berbuatlah seperti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ini. Tetapi jika posisi mereka berada di hadapan anda, maka dahulukanlah yang lebih tua, sebagaimana yang diisyaratkan dalam sunnah ini. itulah pendapat yang disepakati.
Jika seseorang telah memberikan minuman kepada yang lebih tua, lalu siapakah yang berhak setelahnya? Apakah ia memberikannya kepada orang yang berada di sebelah kanan orang tua itu; berarti memberikannya ke sebelah kiri barisan, ataukah memberikannya ke sebelah kanan barisan?
Kita jawab, dimulai dengan yang sebelah kanan barisan walaupun di sebelah kirinya terdapat orang yang lebih tua, kerana kita mengambil fadhilah sebelah kanan setelah mendahulukan yang lebih tua. Mulailah orang yang berada di sebelah kananmu yaitu sebelah kiri orang yang berhadapan denganmu, selama mereka tidak saling mempersilakan, seperti, “Berikanlah kepada fulan dulu,” maka jadilah hak itu bagi orang yang dipersilakan.