Selasa, 16 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 16. Perintah Memelihara Sunnah Dan Adab-adabnya.

Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا۞
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
(QS. Al-Hasyr: 59: 7)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ۞إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ۞
“Dan tidaklah yang diucapkan itu (Al-Qur'an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur'an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
(QS. An-Najm: 53: 3-4)

Allah ﷻ berfirman:
۞قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ۞
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.(QS. Âli 'Imrân: 3: 31)

Allah ﷻ berfirman:
۞لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ۞
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 21)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab, “Perintah Memelihara Sunnah Dan Adab-adabnya.” Yang dimaksud dengan sunnah adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu cara hidup Rasulullah baik dalam beribadah, berakhlak, pergaulan, bertutur kata, perbuatan, atau ketetapannya.

Menurut para ulama fikih, sunnah adalah suatu amalan yang lebih baik dilakukan daripada ditinggalkan, yang menunaikannya mendapatkan pahala dan yang meninggalkannya tidak mendapatkan dosa. Tentu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus dengan petunjuk dan agama yang benar, petunjuk adalah ilmu yang bermanfaat, dan agama yang benar adalah amal shalih. Artinya harus dengan ilmu dan amal. Seseorang itu tidak mungkin menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan dengan ilmu. Maka untuk menjaga sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mutlak harus dengan ilmu dan menuntut ilmu.

Hukum menuntut ilmu itu ada tiga, fardu 'ain, fardu kifayah dan sunnah.

Ilmu yang hukum menuntutnya fardu ain adalah ilmu yang sangat berkaitan dengan ibadah wajib bagi setiap muslim, atau ilmu yang harus diketahui seorang muslim, seperti ilmu cara berwudhu, shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya. Misalnya, seseorang wajib mengetahui masalah zakat kerana ia orang kaya yang wajib membayar zakat, sementara bagi orang lain tidak wajib mengetahuinya kerana tidak memiliki harta yang telah mencapai nisab. Begitu pula seseorang wajib mengetahui masalah haji kerana ia telah wajib menunaikan haji, sementara bagi yang lain tidak wajib kerana belum wajib haji.

Ilmu yang hukum menuntutnya fardu kifayah adalah ilmu yang dengannya dapat menjaga syariat, tanpa ilmu ini syariat Islam akan hilang, maka hukumnya fardu kifayah. Yakni, jika telah ada yang menunaikan dari sebagian kaum muslimin maka hukum itu gugur bagi yang lainnya, jika di suatu negeri ada sekelompok orang yang telah menunaikan kewajiban ini, seperti mengkaji ilmu, mengajarkannya, dan memberi fatwa maka hukum menuntut ilmu bagi yang lainnya hukumnya sunnah, dan ini adalah bagian yang ketiga.

Dengan demikian pahala menuntut ilmu itu berkisar antara sunnah, fardu 'ain dan fardu kifayah. Yang penting, kita tidak mungkin untuk menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan adab-adabnya sebelum mengetahui ilmu sunnah dan adab-adabnya ini.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab ini firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah (Muhammad, “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 31)

Ayat ini dinamakan sebagian ulama dengan ayat ujian, kerana Allah menguji sebagian kaum yang mengaku mencintai Allah, mereka mengatakan, “Kami mencintai Allah dan ajakannya yang mudah.” Tetapi orang yang mengklaim harus memberikan bukti, buktinya adalah firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah (Muhammad, “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 31)

Barangsiapa yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka pengakuannya palsu, maka bukti kecintaannya kepada Allah adalah mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketahuilah bahwa kurangnya kecintaan anda kepada Allah Ta'ala adalah kurangnya anda mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian apa hasil dari kita mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini? Jawabannya dalam firman Ta'ala Allah ini, “niscaya Allah akan mencintaimu,” inilah buahnya, Allah Ta'ala mencintai kalian, jangan anda mengaku mencintai Allah Ta'ala tanpa menunaikan apa yang dicintai-Nya, kerana Allah tidak akan mencintai seseorang kecuali setelah ia menunaikan yang Dia cintai. Seseorang tidak bisa mengatakan, “Saya mencintai Allah,” tetapi seharusnya ia selalu berdoa agar Allah mencintainya, semoga Allah mencintai kita semua.

Jika Allah telah mencintai hamba-Nya, maka Dia akan mempermudahkan urusan dunia dan akhiratnya, sebagaiman dinyatakan dalam sebuah hadits,

“Sesungguhnya Allah jika telah mencintai seseorang Dia memanggil Jibril dan berfirman, “Aku mencintai fulan maka cintailah dia, kemudian Jibril mencintainya, kemudian Jibril memanggil penghuni langit, sesungguhnya Allah mencintai fulan maka cintailah dia, kemudian semua penduduk bumi mencintainya, kemudian ia diterima di bumi.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2970, 5580 dan Muslim no. 4772]

Penduduk bumi mencintainya, menerima dan menjadi imam bagi mereka, dengan demikian kecintaan Allah itu adalah tujuan bagi orang yang mengikuti dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala,

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 59: 7) ayat ini menerangkan harta fai' yaitu harta yang diambil dari orang-orang kafir.

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah, yaitu harta yang diberikan oleh Rasulullah kepada kalian terimalah jangan ditolak, “dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” Maksudnya jangan diambil. Oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu untuk menjadi petugas zakat selama beberapa tahun, kemudian setelah ia pulang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberinya suatu pemberian, kemudian ia berkata, “Wahai Rasulullah, sedekahlah kepada orang yang lebih membutuhkan daripada aku,” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap harta yang datang kepadamu yang kamu tidak membutuhkan dan memintanya maka terimalah. Adapun jika sebaliknya -kamu membutuhkan dan memintanya- maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1380. 6630 dan Muslim no. 1731]

Maka setelah itu setiap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kita sesuatu maka kita menerimanya, dan yang Rasulullah larang kita tidak mengambilnya.

Ayat ini walaupun berkaitan dengan harta yang diambil dari orang-orang kafir tetapi juga berlaku untuk semua hukum syariat. Setiap harta yang dihalalkan oleh Rasulullah maka kita boleh menerimanya dan merupakan harta yang halal, dan yang baginda larang maka berhentilah untuk mengambil dan meninggalkannya secara total. Ayat ini umum walaupun secara khusus berkaitan dengan harta fai'.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala,

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 21)

Yaitu keteladanan yang baik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan kita, setiap tindakan kita yang mengikuti jejak Rasulullah adalah baik.

Ayat ini mencakup dua arti: Pertama, setiap yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah baik dan mengikutinya juga baik. Kedua, kita tidak menambah dan tidak mengurangi dari yang disyariatkannya, kerana menambah dan mengurangi syariat itu bertentangan dengan syariat, yang mana kita hanya diperintahkan untuk mengikutinya.

Para ulama memahami ayat ini bahwa perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dalil yang harus diikuti, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususan untuk Rasulullah, seperti firman Allah Ta'ala,

“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah engkau berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang engkau miliki, termasuk apa yang engkau peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki agar tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 50)

Setiap terdapat dalil khusus, maka khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga puasa wishal yaitu puasa terus menerus tanpa berbuka, ini khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk melakukannya, para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, engkau melakukannya?” Maksudnya bagaimana engkau melarang kami sementara engkau melakukannya? Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku bukan seperti kalian, kerana aku diberi makan dan minum oleh Allah.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Aku bermalam di sisi Tuhanku, Dia memberi makan dan minum kepadaku.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1788, 1827, 1829, 1830 Muslim no. 1846, 1849, 1850]

Allah Ta'ala memberi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam minum dan makan sepanjang Rasulullah berdzikir dan hatinya teringat dengan-Nya, sehingga lupa makan dan minum, tidak merasakan lapar. Contoh kongkretnya (nyata) pada zaman sekarang adalah jika ada seseorang yang sibuk dengan urusan dunia bisa lupa makan dan minum, bahkan para penyair pun menceritakan masalah ini.

“Ucapan orang yang mengingatmu menjadi ia lupa, akan makan dan perbekalan.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kuat ikatannya dengan Tuhannya. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tahajud, Allah Ta'ala menganugerahkan kekuatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana kekuatan dzikirnya mengalahkan hasrat makan dan minum. Tetapi kita berbeda dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita dilarang untuk berpuasa dua hari berturut-turut tanpa berbuka.

Allah Ta'ala berfirman:
۞فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا۞
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisâ: 4: 65)

Allah Ta'ala berfirman:
۞فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا۞
“Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An-Nisâ: 4: 59) menurut para ulama berkata, “Maksudnya kembali kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang pentingnya menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisâ: 4: 65)

Ayat ini ada kaitannya dengan ayat berikut:

“Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisâ: 4: 59)

Allah memerintahkan untuk menaati-Nya dan menaati Rasul-Nya serta pemimpin kita. Ulil Amri termasuk para ulama dan pemimpin, kerana para ulama adalah pemimpin kita yang menjelaskan agama kita, dan para pemimpin adalah penanggung jawab yang menunaikan syariat Allah Ta'la. Tanpa para pemimpin para ulama tidak akan bisa menunaikan tugasnya. Begitu pula sebaliknya, para pemimpin harus merujuk kepada ulama untuk menjelaskan syariat Allah. Ulama bertugas menasihati para pemimpin sehingga mereka menunaikan syariat Allah di muka bumi.

Kemudian firman Allah Ta'ala, “Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnah), yaitu jika kalian berselisih dalam suatu masalah maka bukan salah satunya yang dimenangkan tetapi ada syariat Allah Ta'ala dan Rasul-Nya, dan harus mengembalikan urusan itu kepada keduanya, yaitu kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Kembali kepada sunnah dengan menanyakan langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya, tetapi sepeninggal Rasulullah, dengan kembali kepada As-Sunnah yang shahih.

Firman Allah Ta'ala, “Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” Ayat ini memotivasi kita untuk kembali pada Allah dan Rasul-Nya, kerana kembali kepada keduanya termasuk dari keimanan.

Firman Allah Ta'ala, “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” kembali kepada keduanya adalah lebih baik untuk umat ini. Sebagian orang mengira bahwa kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah akan menyebabkan kelemahan dan keterbelakangan. Sebagian orang lagi mengira bahwa kembali kepada Islam itu tidak sesuai lagi dengan zaman moden ini. Pendapat mereka salah besar, na'udzubillah. Mereka tidak memahami bahwa Islam adalah subyek yang berkuasa bukan objek, kerana Islam tidak berubah dengan berubahnya waktu, tempat dan siapa saja. Islam adalah Islam jika kita beriman kepada Allah dan hari akhir, maka kita wajib beriman dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. “Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Allah Ta'ala berfirman,

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada Thagut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thagut itu.” (QS. An-Nisâ: 4: 60) Pertanyaan ini menunjukkam keheranan, yaitu tidaklah kalian heran dengan kaum yang mengaku beriman kepada yang diturun-kan kepadamu dan sebelummu? Tetapi mereka tidak menghendaki untuk berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka ingin berhukum dengan hukum thaghut, yaitu setiap yang bertentangan dengan hukum Allah.

Di antara mereka adalah sebagian pemimpin yang mendahulukan hukum positif buatan manusia yang menyesatkan, produk orang kafir ateis, yang tidak mengenal Islam sama sekali, yang hidup pada zaman yang sangat jauh dari kehidupan kita sekarang ini.

Tetapi yang sangat disayangkan adalah orang-orang kafir yang menjajah negara-negara Islam memaksakan hukum ini pada masyarakat muslim. Tidak banyak yang sadar bahwa hukum mereka itu bertentangan dengan hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bagaimana mereka tetap berhukum pada hukum-hukum selain Islam? Padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”
(QS. An-Nisâ: 4: 60) setan ingin menyesatkan dari agama Allah sejauh-jauhnya, kerana hukum selain Allah itu tersesat sangat jauh.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 61) dan jika mereka diingatkan, “Mari kita berhukum kepada apa yang diturunkan Allah yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah,” orang-orang munafik langsung berdiri menentangnya.

Dalam firman Allah ini disebutkan (رأيت) (kamu melihat) bukan (رأيتهم) (kamu melihat mereka) untuk menjelaskan bahwa mereka itu orang-orang munafik, Allah ingin membuka kedok orang-orang munfik itu dengan tidak menyebutkan kata ganti agar mencakup semua orang munafik, yang jika diseru untuk kembali kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, mereka menolak mentah-mentah dan menentang.

Firman Allah Ta'ala,

“Maka bagaimana halnya apabila (kelak) musibah menimpa mereka (orang munafik) disebabkan perbuatan tangannya sendiri, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad) sambil bersumpah, “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain kebaikan dan kedamaian.”
(QS. An-Nisâ: 4: 61) Bagaimana keadaan mereka jika tertimpa musibah, rahasia yang selama ini mereka tutupi tersingkap lebar, kemudian mereka datang kepadamu dengan bersumpah atas nama Allah padahal hati mereka adalah dusta, yaitu kami hanya menginginkan toleran antara syariat dengan hukum positif. Padahal tidak mungkin bertemu antara keduanya. Kalau memang ada hukum yang sesuai dengan syariat, itu adalah hukum Allah bukan hukum thaghut, kerana tidak ada sesuatu yang bermanfaat dalam hukum thaghut sedikitpun, berbeda dengan syariat Islam.

Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,

“Mereka itu adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Kerana itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.” (QS. An-Nisâ: 4: 63) yaitu Allah Ta'ala mengetahui hati mereka. Jika mereka menampakkan keimanan di mata manusia tetapi di sisi Allah Ta'ala, mereka adalah munafik. Mereka ingin menggabungkan antara hukum Allah Ta'ala dan hukum thaghut. Maka “kerana itu berpalinglah kamu dari mereka,” sebagai cambuk bagi mereka itu, “Dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” Yaitu perkataan yang mendalam agar sampai pada hati mereka dan dapat mengambil pelajaran.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 64)

Kami mengutus para Rasul bukan untuk dibantah ucapannya dan ditinggalkan, tetapi untuk ditaati, kalau tidak, apa manfaat diutusnya seorang Rasul itu? Allah mengutus seorang Rasul itu untuk ditaati, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisâ: 4: 64)

Yaitu kalau mereka menzhalimi diri mereka sendiri kerana menyembunyikan kebatilan di dalam hati mereka, kemudian mereka datang menghadapmu untuk memohon ampunan kepada Allah, dan Rasulullah memohonkan ampunan untuk mereka, pasti Allah akan mengampuni mereka, namun mereka tetap dalam kondisi kemunafikan mereka, na'udzubillah. 

Ayat ini dijadikan dalil oleh para penyembah kuburan yang memohon kepada kuburan Rasulullah untuk memohonkan ampunan untuk mereka, mereka mengatakan, “Kerana Allah berkata kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 64)

Yaitu pergilah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohonlah ampunan kepada Allah agar Rasulullah juga memohon ampunan untukmu.

Tetapi sungguh orang-orang ini sangat tersesat, kerana ayat ini dengan tegas menyebutkan, “Ketika mereka menzhalimi mereka sendiri,” bukan “Jika mereka menzhalimi mereka sendiri,” ayat ini menjelaskan kejadian yang telah lampau, ketika mereka menganiaya dirinya kerana mengerjakan kesalahan kemudian datang kepada Rasul ketika masih hidup, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. Adapun setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat baginda tidak mungkin untuk memohonkan ampunan untuk siapa pun, kerana amalnya telah terputus sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Jika seseorang meninggal, maka semua amalnya terputus kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.”

[Shahih Muslim no. 3084]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak mungkin untuk melakukannya setelah wafat, tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendapatkan pahala yang dilakukan oleh semua umatnya. Setiap amal yang kita kerjakan baik wajib atau sunnah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mendapatkan pahala kerana Rasulullahlah yang mengajarkan kita semua, hal ini termasuk sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Ilmu yang bermanfaat.”

Kesimpulannya, bahwa ayat di atas sama sekali tidak bisa digunakan sebagai dalil bagi orang yang meminta pada kuburan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah,

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisâ: 4: 65)

Ayat ini setelah firman Allah Ta'ala,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzhalimi dirinya datang kepadamu (Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisâ: 4: 64)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala bersumpah dengan tauhid Rububiyyah-Nya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara khusus, kerana Rububiyyah Allah itu ada dua Rububiyyah khusus untuk Rasulullah dan Rububiyyah umum untuk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.” (QS. Al-Fâtihah: 1: 1). Kedua jenis Rububiyyah Allah ini berkumpul dalam firman Allah tentang tukang sihir Fir'aun, “Mereka berkata, “Kami beriman kepada Tuhan seluruh alam, (yaitu) Tuhannya Musa dan Harun.”
(QS. Al-A'râf: 121-122) Tuhan semua makhluk, Tuhan Musa dan Harun.

Allah Ta'ala sangat memperhatikan Rububiyyah khusus ini, Allah Ta'ala bersumpah dengan Rububiyyah-Nya dengan tegas untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kata, “laa” dalam ayat ini berfungsi sebagai penguat, ungkapan ini sudah cukup tanpa huruf penguat, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Aku bersumpah dengan hari Kiamat.” (QS. Al-Qiyâmah: 75: 1) kata “laa”  ini bukan berarti tidak tetapi sebagai penguat.

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,” maksudnya adalah menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim untuk menyelesaikan masalah yang mereka perselisihkan, baik masalah-masalah dunia atau agama.

Dalam masalah agama misalnya dua orang yang berselisih terhadap suatu masalah yang satunya mengatakan haram dan yang satunya mengatakan halal, maka keputusannya ada pada Rasulullah. Tidaklah beriman salah seorang dari mereka yang berselisih, kecuali jika menjadikan Rasulullah sebagai hakim dalam perselisihan mereka.

Masalah duniawi misalnya ketika dua orang sahabat yaitu Zubair bin Al-Awwam dengan tetangganya salah seorang sahabat dari kalangan Anshar berselisih tentang air kemudian mengadukan masalah mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda memutuskan antara keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hakim yang adil baik dalam masalah duniawi dan agama. Intinya, seorang tidak beriman sehingga berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya baik dalam masalah dunia dan agama.

Seorang yang tidak rela dengan keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak, maka ia tidak beriman, kafir hukumnya dan keluar dari Islam, na'udzubillah. Tetapi jika tidak rela dalam suatu masalah khusus, dia telah bermaksiat, tidak kafir.

Seandainya ada yang mengatakan, “Bagaimana Rasulullah memutuskan hukum sepeninggalnya?”

Jawabannya adalah berhukum dengan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah firman Allah Ta'ala ini, “Mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.”

Firman Allah Ta'ala, “Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan,” bisa jadi seseorang berhukum dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, tetapi di dalam hatinya tidak menerima dan ridha terhadapnya. Maka seharusnya tidak mendapatkan sesuatu ganjalan dalam hati terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya.

Firman Allah Ta'ala, “Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” Yaitu mereka menunaikannya secara sempurna, segera dan tidak menunda-nunda. Ketiga syarat ini merupakan syarat iman.

Pertama: memutuskan perkara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: di dalam hati tidak terdapat ganjalan terhadap keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketiga: menerimanya secara sempurna dan sepenuhnya.

Dengan dasar ini kita mengatakan bahwa orang-orang yang berhubung dengan hukum positif sekarang ini, dengan meninggalkan hukum Allah dan Sunnah Rasulullah, hukumnya mereka tidak beriman, (93).

Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 44)

Orang-orang yang berhukum dengan hukum positif dalam suatu hal yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah kerana motif hawa nafsu dan kezhaliman, mereka sengaja menggantikan syariat Allah ini dengan hukum positif kerana meyakini bahwa hal itu lebih baik, maka hukumnya kafir walaupun mereka shalat, puasa, sedekah dan haji. Hukumnya kafir selama mereka menggantikan hukum Allah dengan selainnya kerana menyakini, padahal mereka mengetahui bahwa hukum positif ini bertentangan dengan hukum Islam. 

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.Maka jangan heran jika kami mengatakan, “Barangsiapa yang mengganti syariat Allah dengan hukum yang lainnya hukumnya adalah kafir walaupun ia menjalankan puasa dan shalat. Kerana mengingkari sebagian Al-Qur'an adalah sama saja mengingkari semua isi Al-Qur'an, kerana syariat Islam adalah satu kesatuan tidak bisa dipisah-pisah, jika beriman dengan sebagian berarti harus beriman seluruhnya, jika mengingkari sebagian dan mengimani sebagian artinya adalah kafir terhadap Al-Qur'an seluruhnya.”

Seorang yang mengingkari syariat Islam yang tentunya bertentangan dengan hawa nafsunya tidaklah beriman, hukumnya kafir, kerana mengikuti hawa nafsu dan menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah. (94).

Kesimpulannya bahwa masalah ini sangat berbahaya sekali, yang paling berbahaya adalah para pemimpin sekarang ini. Bisa jadi mereka membuat hukum yang bertentangan dengan hukum Islam sedangkan mereka mengetahui syariat. Mereka membuatnya kerana mengikuti orang-orang kafir musuh Allah.

Yang lebih aneh lagi kerana kebodohan mereka terhadap agama, mereka mengetahui bahwa orang-orang yang membuat hukum itu adalah orang-orang kafir yang mereka hidup pada zaman yang jauh dari masa kita, tempat yang berbeda dengan masyarakat muslim, tempat yang berbeda, walaupun demikian mereka mengekor dengan mengabaikan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di manakah Islam dan imannya? Di manakah pengakuan meyakini dengan kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk seluruh umat manusia? Di manakah arti kesempurnaan Islam yang mencakup semua sisi kehidupan?

Tidak sedikit orang yang mengira bahwa syariat Islam itu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, atau masalah nikah, waris dan masalah peribadi. Tentunya tidak benar, kerana Islam adalah aturan yang lengkap mencakup semua sisi kehidupan manusia. Lebih jelasnya mari kita buka ayat yang terpanjang dalam Al-Qur'an yaitu ayat,

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah: 2: 282)

Ayat ini membahas masalah interaksi kita dengan sesama, bagaimana bisa mengatakan bahwa agama Islam hanya berkaitan dengan ibadah dan ahwal syahsyiyyah (hukum yang berhubung dengan pribadi), tentu pemahaman ini salah kerana kebodohannya. Jika seseorang sengaja mengatakannya maka ia tersesat dan sombong terhadap hukum Allah. Jika kerana kebodohannya, dia harus belajar dan mengetahuinya. (95)

Intinya, seseorang itu tidak akan beriman kecuali dengan tiga syarat:

Pertama: mengembalikan hukum kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua: ridha terhadap keputusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hatinya tidak ada suatu ganjalan (mengganggu pikiran) apapun.

Ketiga: menerima dengan sepenuh hati dan menerimanya secara totalitas. Seorang yang beriman haruslah terikat dengan tiga syarat ini (96). Kalau keterikatannya tidak sempurna bisa jadi mengeluarkannya dari bingkai Islam atau mengurangi nilai imannya.

Allah ﷻ berfirman:
۞مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا۞
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (QS. An-Nisâ: 4: 80)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ۞صِرَاطِ اللَّهِ
“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah.” 
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 52-53)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ۞
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS. An-Nûr: 24: 63)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَاذْكُرْنَ مَا يُتْلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ وَالْحِكْمَةِ۞
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu).” (QS. Al-Ahzâb: 33: 34)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang perintah menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Barangsiapa yang manaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah menaati Allah.” Barangsiapa yang menaati Rasululullah shallallahu alaihi wa sallam, maka telah menaati Allah, taat adalah menuruti suruhan baik menunaikan perintah atau meninggalkan larangan. Taat artinya menjalankan perintah dan maksiat adalah larangan. 

Jika hanya disebutkan taat saja, maka artinya mencakup menjalankan semua perintah dan menjauhi larangan, sedang orang yang menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menunaikan semua yang diperintahkannya dan menjauhi semua larangannya. Barangsiapa yang berbuat demikian berarti juga menaati Allah Ta'ala. Inilah arti yang tersurat dalam ayat ini, sedangkan arti yang tersirat adalah barangsiapa yang bermaksiat kepada Rasulullah berarti telah bermaksiat kepada Allah juga.

Ayat ini sebagai dalil bahwa setiap yang ditetapkan dalam As-Sunnah juga ditetapkan dalam Al-Qur'an, termasuk syariat Allah yang harus dipegang teguh, tidak boleh membeda-beda antara keduanya, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang yang mencoba membeda-bedakan antara keduanya.

لاَ أُلْفِيَنَّ أَحَدُكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ يَأْتِيْهِ اْلأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُوْلُ: لاَ نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ.

“Nanti akan ada seorang di antara kalian yang duduk bersandar di kursinya lalu datang kepadanya perintah dari perintahku dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang. Ia berkata, ‘Aku tidak tahu apa-apa. Yang kami dapati dalam Kitabullaah kami ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kita-bullaah kami tidak ikuti).’”

[Hadits shahih riwayat Ahmad (VI/8), Abu Dawud (no. 4605) dan ini adalah lafazh miliknya, at-Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 13), Ibnu Hibban (no. 98-Mawarid) dan lainnya]

Maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan peringatan bahwa akan datang suatu saat nanti yang mana orang-orang mengatakan, “Kami hanya mengikuti Al-Qur'an, adapun yang terdapat dalam As-Sunnah kami tidak mengikutinya.”

Hal ini telah terjadi, ada seorang sekelompok umat Islam yang mengatakan, “Kami tidak menerima As-Sunnah, kami hanya menerima Al-Qur'an.” Hakikatnya mereka itu tidak beriman dan tidak menerima keduanya, kerana Al-Qur'an mewajibkan kita mengikuti As-Sunnah. Setiap yang terdapat dalam As-Sunnah berarti terdapat dalam Al-Qur'an, mereka mengelabui orang-orang awam dengan mengatakan, “As-Sunnah itu berbeda dengan Al-Qur'an yang diriwayatkan secara mutawatir, sementara As-Sunnah itu masih meragukan, bisa jadi terlupa dalam riwayat dan mengandung keraguan dan masih banyak lagi propaganda yang menyesatkan.”

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ayat lain,

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih. (QS. An-Nûr: 24: 63)

Inilah peringatan keras dari Allah Ta'ala bagi orang-orang membenci dan menyalahi perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan demikian dalam ayat ini tidak disebutkan menyalahi perintahnya, tetapi disebutkan yang artinya membencinya kemudian menyalahi perintahnya, Allah Ta'ala memberikan peringatan kepada mereka akan ditimpa cobaan atau siksa yang pedih. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tahukah kalian apakah maksud fitnah ini?” Fitnah ini adalah syirik kerana menolak perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menyeleweng dan binasa.”

Seorang yang menolak sebagian perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menanamkan dalam hatinya penyelewengan kemudian akan binasa, bukan binasa secara fisik tetapi binasa agamanya. Sementara binasa agama akan lebih dahsyat daripada fisik, kerana binasa fisik akan berakibat pada kehidupan dunia saja tetapi kebinasaan agama akan berakibat pada kerugian dunia dan akhirat, Na'udzubillah.

“Atau adzab yang pedih,” mereka akan mendapatkan siksaan sebelum turun fitnah akhirat ini, semoga kita semua diselamatkan.

Ayat ini sebagai dalil wajibnya menerima setiap perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap orang yang menyalahi perintahnya akan mendapatkan peringatan yang keras ini, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.”

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ayat-ayat yang masih menerangkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah, di antaranya,

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah kitab (Al-Qur'an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur'an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” 
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 52-53)

Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Allah Ta'ala berfirman bahwa Dia menunjuki jalan yang lurus kepada semua manusia. Allah Ta'ala menjelaskan dalam firman-Nya, “Yaitu jalan Allah,” jalan yang dibentangkan untuk semua hamba-Nya yang berupa syariat-Nya, Allah Ta'ala menisbatkan jalan ini kepada diri-Nya sendiri kerana Dia-lah yang menjelaskan dan menghantarkan padanya. Sebagaimana dalam surat Al-Fatihah, Allah Ta'ala menisbatkan jalan kepada orang-orang yang diberi nikmat, kerana mereka itulah yang meniti jalan tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuki dan memotivasi semua manusia untuk meniti jalan yang lurus ini, memberi peringatan bagi orang yang menyalahinya. Begitu juga para ulama yang mewarisi Rasulullah setelahnya, mereka juga selalu mengajak pada jalan yang lurus ini, yaitu jalan Allah Ta'ala.

Jika ada yang bertanya, “Apa korelasi antara ayat ini, “dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus,” dengan firman Allah Ta'ala,

“Sungguh engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mahu menerima petunjuk.”
(QS. Al-Qashash: 28: 56)

Ayat yang kedua ini turun ketika Rasulullah sangat ingin menunjuki pamannya Abu Thalib yang meninggal dalam keadaan musyrik, kerana dialah yang membela dakwah Rasulullah shallallahu 'alaihi baik moral mahupun materil dan menjaga kehormatannya, namun, dia tidak mendapatkan hidayah Islam, meninggal dalam keadaan kafir, naudzu billah. Ketika ajal menjemputnya di sana ada dua orang Quraisy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan“Wahai pamanku, katakanlah kalimat, “laailaaha illallah,” satu kalimat yang dapat aku jadikan hujjah bagimu di sisi Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3884, 3772, 6681]

Ketika ingin mengatakannya dua orang Quraisy itu mengatakan, “Apakah kamu ingin meninggalkan ajaran Abdul Muthalib?” maksudnya adalah ajaran kemusyrikan, na'udzubillah, dan akhirnya meninggal dalam keadaan kafir. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Sungguh Abu Thalib mendapatkan syafaat di sisi Allah, ia berada di neraka bagian atas ia memakai dua sandal dari api neraka, sehingga mendidih otaknya kerana panasnya api neraka itu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3885, 6564 dan Muslim no. 210]

Ia memakai sandal di bawah kakinya yang membuat otaknya mendidih, jika otaknya saja mendidih apalagi anggota tubuh di bawah otak, na'udzubillah. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Ya, dia di neraka bagian atas, kalau bukan kerana aku pasti dia berada di dalam neraka yang paling bawah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3883, 6208 dan Muslim no. 209]

Para ulama mengorelasikan antara dua ayat ini,

“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 52) dan ayat,

“Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi.” (QS. Al-Qashash: 28: 56)

Ayat yang pertama maksudnya adalah hidayah irsyad (arahan dan nasihat). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertugas menunjuki semua manusia, dan bukan setiap yang ditunjuki oleh Rasulullah menerima dan mendapatkan petunjuk dari Allah. Sedangkan ayat yang kedua adalah hidayah taufiq. Hidayah ini hanya milik Allah Ta'ala, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki sedikit pun. Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepada seorang yang dicintai sekalipun, walaupun itu ayah, ibu, paman, anak, bibi, kakek dan sebagainya. Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah tidak akan mendapat petunjuk sedikit pun.

Tetapi kita semua memiliki kewajiban untuk menyeru dan menjelaskan kepada seluruh manusia pada agama Allah agar mereka mendapatkan petunjuk, kalau pun mereka tidak menerima bagi mereka amal mereka dan bagi kita amal kita, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Tha Sin Mim. Inilah ayat-ayat Kitab (Al-Qur'an) yang jelas. Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), kerana mereka (penduduk Mekah) tidak beriman.”
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 1-3)

Artinya, seolah-olah jiwamu sedih dan sempit kerana mereka tidak beriman. Jangan seperti itu kerana hidayah itu milik Allah Ta'ala, tetapi sampaikan tugasmu agar terbebas dari tanggung jawab.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan ayat terakhir bab ini,

“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sungguh, Allah Mahalembut, Maha Mengetahui.”
(QS. Al-Ahzâb: 33: 34)

Ayat ini ditujukan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang suci dan shalihah, kerana mereka adalah wanita yang paling suci di muka bumi ini sejak diciptakan anak Adam.

Orang-orang munafik ingin menodai kesucian istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, sebagaimana dalam kisah hadits ifk “berita bohong,” mereka menuduh Aisyah radhiyallahu 'anha, yang jujur putri Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu telah berbuat keji dan hina, kemudian Allah menurunkan sepuluh ayat dalam Kitab-Nya yang selalu dibaca hingga hari Kiamat,

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat adzab yang besar (pula).” (QS. An-Nûr: 24: 11)

Dalam rumah-rumah mereka ini dibacakan ayat-ayat Al-Qur'an baik oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam atau oleh mereka sendiri. Allah Ta'ala berfirman, “Dan ingatlah ini, ingatlah yang dibaca di rumah-rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah,” ikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tunaikan kewajiban, kerana yang dibaca di rumah-rumah mereka ini adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Tentunya mereka ini memiliki keutamaan dengan ilmu yang sangat banyak dan bertugas menyampaikan ilmu ini. Setiap yang diberi ilmu dan hikmah berkewajiban untuk menyampaikannya. Semoga Allah menunjuki kita semua pada ilmu dan hikmah. Sungguh Dia-lah Mahamulia.

Hadits no. 156.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه عَنٍ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « دَعُوْنِي مَا تَرَكْتُكُمْ: إِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ سُؤَالِهمْ، وَاخْتِلَافُهُمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan pada kalian (tidak banyak mempertanyakannya), sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian kerana banyaknya pertanyaan mereka dan pertentangan mereka pada para Nabi mereka, jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah, dan yang aku perintahkan mengenai sesuatu, kerjakan semampu kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 8288 dan Muslim no. 1337]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah aku dengan apa yang aku tinggalkan pada kalian (tidak banyak mempertanyakan),” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengingatkan para sahabat, kerana mereka sangat semangat ingin mengetahui ilmu dan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Mereka bertanya tentang hal-hal yang tidak haram kemudian diharamkan kerananya, atau masalah yang tidak wajib kemudian diwajibkan kerana pertanyaan mereka ini. Oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk tidak mempermasalahkan setiap yang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam diamkan dan tidak diperintahkan, tetapi hendaknya memuji Allah dengan nikmat ini.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberikan alasannya, “Sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian kerana banyak mempertanyakan dan menyalahi para Nabi mereka,yaitu orang-orang yang sebelum kita banyak mempermasalahkan perintah Nabi mereka, sehingga mereka dibebankan syariat yang berat kerana pertanyaan mereka, dan akhirnya mereka menyalahi Nabi mereka. Mereka bertanya bukan untuk dikerjakan tetapi untuk menyalahinya.

Pertentangan atas Nabi mereka adalah berpaling dari perintahnya, sebagaimana kisah Bani Israil yang terdapat dalam Al-Qur'an menguatkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Suatu ketika Bani Israil berselisih terhadap siapa yang membunuh salah seorang di antara mereka, masing-masing kabilah berselisih dan akhirnya mengajukan masalah ini kepada Nabi Musa ‘alaihissallam, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 67)

Allah memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi dan diambil salah satu bagiannya, kemudian dipukulkan kepada korban yang meninggal itu, dengan izin Allah, orang itu akan berbicara siapa yang telah membunuhnya.

Tetapi mereka menjawab,

“Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?”
(QS. Al-Baqarah: 2: 67)

Apakah kamu menertawakan kami? Apa hubungan sapi dengan orang yang terbunuh? Bagaimana ia akan hidup setelah mati? Mereka itulah para pembesar Bani Israil dan yang paling zhalim di antara mereka, mereka hanya berdasar pada rasio saja tidak kembali kepada wahyu, seandainya mereka mengambil dalil wahyu pasti mereka akan selamat dari hal ini,

“Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 67) Mereka yang menghina Nabi Musa 'alaihissalam kerana kebodohan dan permusuhan mereka, sehingga Nabi Musa 'alaihissalam berlindung dari kedunguan mereka.

Setelah mereka mengetahui kalau Nabi Musa adalah benar, mereka bertanya,

“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 68)

Seandainya mereka langsung menunaikan perintah itu bagaimana pun bentuknya pasti telah memenuhi perintah itu, tetapi mereka meminta yang lebih sulit sehingga mereka dipersulit,

“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu.” Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa sapi betina itu tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 68) tidak yang tua dan juga bukan yang masih muda,

“Tidak tua dan tidak muda, (tetapi) pertengahan antara itu. Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 68) Mereka diperintahkan untuk menunaikan kedua kalinya sebagai penguat perintah yang lalu,

“Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.”
(QS. Al-Baqarah; 2: 67)

Tetapi mereka enggan menunaikannya,

“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami apa warnanya.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 69)

Beritahukan kepada kami bagaimana usia dan warnanya?

“Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, bahwa (sapi) itu adalah sapi betina yang kuning tua warnanya, yang menyenangkan orang-orang yang memandang(nya).” (QS. Al-Baqarah: 2: 69)

Mereka bertanya kedua kalinya sehingga dipersulit dengan pertanyaannya itu, seandainya mereka menyembelih sapi yang tidak tua dan tidak muda sudah cukup tetapi mereka bertanya sehingga dipersulit dengannya yaitu sapi betina yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.

Tetapi mereka tidak juga menunaikannya dengan bertanya,

“Mereka berkata, “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menjelaskan kepada kami tentang (sapi betina) itu. (Kerana) sesungguhnya sapi itu belum jelas bagi kami.” (QS. Al-Baqarah: 2: 70)

Apa pekerjaan sapi betina itu?

“Dia (Musa) menjawab, “Dia (Allah) berfirman, (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak (pula) untuk mengairi tanaman, sehat dan tanpa belang.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 71)

“Mereka berkata, “Sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.” Lalu mereka menyembelihnya dan nyaris mereka tidak melaksanakan (perintah) itu.
(QS. Al-Baqarah: 2: 71) tidak ada cacatnya.

Aku berlindung dari kesesatan orang yang mengedepankan rasio daripada dalil wahyu, kerana hawa nafsu dan otaknya mengingkari, mereka akhirnya melakukannya setelah bertanya-tanya dan mempermasalahkannya.

Kemudian mereka mengambil bagian darinya dan memukulkan kepada orang yang meninggal itu kemudian Allah Ta'ala menghidupkannya dan berkata, “Yang membunuhku adalah si fulan,” dan akhirnya masalah mereka selesai. Kesimpulannya, bahwa banyak bertanya kepada Nabi itu menyebabkan dipersulitkannya urusan mereka.

Contoh lain adalah kasus pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sallam tentang kisah Al-Aqra' bin Habis dari Bani Tamin, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Allah Ta'ala mewajibkan haji atas kalian maka berhajilah!” Tentunya sekali saja selama Rasulullah tidak memerintahkan untuk mengulanginya setiap tahun, kemudian Al-Aqra' bertanya, “Apakah setiap tahun wahai Rasulullah?” Pertanyaan ini bukan pada tempatnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seandainya aku menjawab “iya” pasti diwajibkan, dan kalian tidak mampu menunaikannya, jangan kalian pertanyakan setiap hukum yang aku tinggalkan, sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian kerana banyak mempertanyakan dan menyalahi para Nabi mereka.

[Shahih Al-Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337]

Ini juga termasuk pertanyaan yang dilarang, pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga dilarang menanyakan hukum yang didiamkan, “Jangan kalian pertanyakan setiap hukum yang aku tinggalkan, sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian kerana banyak mempertanyakan dan menyalahi para Nabi mereka.

Tetapi sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah berhentinya wahyu justru dianjurkan untuk bertanya, kerana semua syariat telah sempurna, tidak mungkin bertambah atau berkurang. Tetapi pada zaman Rasulullah hal itu dilarang seperti firman Allah Ta'ala,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, (justru) menyusahkan kamu.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 101) 

Tetapi sebagian orang salah memahami ayat dan hadits ini sehingga meninggalkan yang wajib dan melanggar yang haram berdalih dengannya dan tidak mahu bertanya, perbuatannya dihiasi oleh setan. Na'udzu billah.

Kewajiban seorang muslim adalah mempelajari agama Allah, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ

“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.”

[Shahih Al-Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037]

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan mengenai sesuatu, kerjakan semampu kalian.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan ungkapan yang umum dalam melarang dan ungkapan yang khusus dalam memerintah.

Dalam melarang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah,” segala sesuatu yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam harus kita jauhi, kerana setiap yang dilarang itu perintah untuk meninggalkan. Sementara meninggalkan sesuatu biasanya tidak membutuhkan kesulitan. Setiap orang bisa melakukan tanpa harus susah-susah berusaha, maka setiap yang dilarang harus dihindari selain yang darurat. Seorang yang mendapatkan kesulitan harus melakukan sesuatu yang haram maka hukumnya halal untuk melakukannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala

“Padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 119)

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan azlaam (anak panah), (kerana) itu suatu perbuatan fasik. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu. Tetapi barangsiapa terpaksa kerana lapar bukan kerana ingin berbuat dosa, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 3)

Maka sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah,terikat dengan sesuatu yang darurat, jika kondisi mengharuskan melakukan yang haram maka hukumnya menjadi halal dengan dua syarat:

Pertama: Kondisi daruratnya tidak terpenuhi kecuali dengan sesuatu yang haram itu.

Kedua: Melakukan yang haram itu akan meninggalkan daruratnya.

Dua syarat ini terkecuali (tidak adanya darurat) dalam berobat dengan obat yang haram, seseorang yang berobat dengan obat yang haram tidak ada alasan darurat. Jika ada seorang yang ingin minum darah sebagai obat, sebagaimana anggapan orang bahwa minum darah serigala itu bisa menyembuhkan penyakit, tentu tidak boleh dengan beberapa alasan:

Pertama: Insya Allah ia sembuh dengan obat yang lain yang tidak haram, tentunya kesembuhan dari Allah lewat doa, bacaan atau dengan obat yang lain.

Kedua: Berobat dengan yang haram itu tidak pasti sembuh, berbeda dengan orang yang lapar kemudian makan daging bangkai, babi, keledai dan sebagainya, ia boleh melakukannya dalam kondisi ini, kerana kedaruratannya terpenuhi (hilang) dengan memakannya, berbeda dengan berobat.

Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan yang aku perintahkan mengenai sesuatu, kerjakanlah semampu kalian.” Sabdanya ini berkaitan dengan firman Allah Ta'ala,

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”
(QS.At-Taghaabun: 64: 16) 

Yakni, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan suatu perintah, kita wajib menunaikannya selama kita mampu, kalau kita tidak mampu tentunya kewajiban ini gugur. Misalnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk menunaikan shalat dengan berdiri, jika tidak mampu berdiri, maka duduk, dan jika tidak mampu duduk, maka berbaring, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Imran bin Hushain,

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.” 

[Shahih Al-Bukhâri no. 1117]

Mari kita perhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, “Dan yang aku perintahkan mengenai sesuatu, kerjakan semampu kalian.” Berbeda dengan larangan, kerana perintah adalah wajib, biasanya sulit melakukannya, terkadang tidak bisa melakukannya. Oleh kerana itu, kewajiban melakukannya terikat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “maka kerjakan semampu kalian,” maka kewajiban menunaikan perintah ini selama tidak ada penghalang, jika terdapat sesuatu yang menghalangi untuk melakukannya maka termasuk ke dalam sabda Rasulullah ini.

Oleh kerana itu, sebagian ulama berkata, “Tidak ada kewajiban ketika tidak mampu menunaikannya, tidak ada yang haram ketika darurat.” Sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, “Jika aku melarang sesuatu maka tinggalkanlah, dan yang aku perintahkan mengenai sesuatu, kerjakan semampu kalian.” Ini semua termasuk ke dalam bab menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan adab-adabnya.

Sesuatu yang didiamkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dimaafkan, inilah keluasan Rahmat Allah Ta'ala. Semua perbuatan manusia itu ada yang diperintahkan, dilarang atau didiamkan dan setiap yang didiamkan hukumnya boleh dilakukan atau tinggalkan. Semoga Allah menunjuki kita semua.

Hadits no. 157.
 عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً بَلِيْغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ الله كَأَنَهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَأَوْصِنَا. قَالَ: « أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهٌ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ، وَأَنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيِ وَسُنَّةِ الْخُلُفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ، عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ » رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ، التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Daripada Abu Najih Al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasihat yang membuat hati bergetar dan mata kami meneteskan air mata, kemudian kami bertanya, “Wahai Rasulullah seolah-olah nasihat ini adalah nasihat orang yang akan berpisah, maka berwasiatlah kepada kami.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah, tetap mendengar perintah dan taat walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah, kerana orang yang hidup setelah kalian kelak akan mengalami banyak perselisihan. Maka berpegang teguhlah terhadap sunnah-sunnahku, dan sunnah khulafaur-rasyidin yang diberi petunjuk Allah, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham-geraham kalian. Serta jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), kerana setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.

[HR. Abu Dawud no. 4607. At- Tirmidzi no. 2676 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 937, Shahih Al-Jami' no. 2549. Irwa-Ghalil no. 2455]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dalam bab ini dari Al-'Irbadh bin Sariyah radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memberi nasihat yang membuat hati bergetar dan mata kami meneteskan air mata,” khutbah ini sudah menjadi kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah menasihati para sahabat secara rutin, seperti pada hari Jum'at dan dua hari 'Id dan terkadang secara spontan Rasulullah berdiri menasihati para sahabatnya kerana ada suatu sebab.

Di antara adalah nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat khusuf (gerhana), Rasulullah menasihati para sahabat dengan nasihat yang sangat menyentuh, siapa yang ingin mengetahui hendaknya merujuk kitab Zadul Ma'ad (karya Ibnu Qayyim rahimahullah)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasihat yang menggetarkan hati dan meneteskan air mata, hati bergetar kerana takut dan meneteskan air mata kerana menangis, nasihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyentuh hati, sehingga para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, seolah-olah nasihat ini adalah nasihat orang yang akan berpisah, kerana biasanya orang yang ingin berpisah memberi nasihat dan wasiat yang membekas dalam hati dan selalu teringat dalam memori kita.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah,” wasiat ini adalah wasiat Allah Ta'ala dalam firman-Nya,

“Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi Kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah.” (QS. An-Nisâ: 4: 131)

Takwa adalah kata universal yang mencakup semua kata syariat, yakni membuat benteng diri dari siksa Allah dengan menunaikan perintah dan menjauhi larangan-Nya, dan seseorang tidak mungkin untuk melakukan hal itu kecuali dengan ilmu dan amal. Seseorang yang memiliki keduanya akan merasa takut kepada Allah dan meraih takwa.

Maka arti takwa adalah seseorang membuat benteng diri dari siksa Allah Ta'ala dengan menunaikan perintah dan menjauhi larangan. Seseorang tidak akan mencapai derajat itu kecuali dengan ilmu, tidak harus menguasai semua ilmu syariat, tetapi ilmu yang berkaitan dengan kewajiban pribadi untuk menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan.

Setiap orang berbeda-beda, bisa jadi seorang wajib mengetahui hukum zakat kerana memiliki harta dan bagi yang lain tidak. Seseorang wajib mengetahui hukum haji kerana ia telah memenuhi syarat wajib haji sementara yang lain belum, maka mempelajari ilmu syariat itu hukumnya fardu kifayah kecuali yang berkaitan dengan pribadi yang harus ia amalkan, maka hukum mempelajarinya fardu 'ain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian agar selalu bertakwa kepada Allah, tetap mendengar perintah dan taat walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah,mendengar dan taat untuk pemimpin, walaupun ia seorang budak dari Habasyah, baik taraf pemimpin ini tertinggi suatu negara, kota, kabilah dan sebagainya.

Sebagian orang salah memahami kata pemimpin ini yaitu selain pemimpin yang tertinggi. Pemahaman ini tidak benar kerana kata pemimpin dalam bahasa arab mencakup semua, baik pemimpin tertinggi, di bawahnya, kabilah dan sebagainya. Dalilnya adalah semenjak Umar bin Al-Khaththab menjabat khalifah, para sahabat menyebutnya sebagai Amirul Mukminin, mereka menjulukinya dengan amir, dengan imam dan penguasa, tetapi para sahabat menyebutnya dengan Amirul Mukminin.

“Walaupun kalian dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah,” yaitu walaupun pemimpin itu bukan dari kalangan orang Arab, bahkan walaupun dari Habasyah yang menjadi pemimpin harus ditaati. Kerana tidak adanya ketaatan dari rakyat akan menyebabkan kekacauan, masing-masing bebas berbuat zhalim dan menyia-yiakan hak orang lain, kata wajib taat ini terikat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya ketaatan itu apabila memerintahkan kepada yang makruf.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 4340, 7145, 7257 dan Muslim no. 1840]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya hingga tiga kali.

Wajib taat apabila pemimpin memerintahkan sesuai dengan syariat Islam, tetapi jika bertentangan dengannya tidak boleh menaatinya, walaupun kepada seorang ayah, ibu, pemimpin umum atau khusus, maka tidak ada kata taat baginya.

Misalnya, jika pemimpin memerintahkan para tentera untuk tidak shalat, maka tidak boleh ditaati, kerana shalat hukumnya wajib, maka tidak ada ketaatan baginya dan jangan ditaati perintahnya. Atau memerintahkan untuk melakukan yang haram, seperti memerintahkan untuk memotong jenggot, maka tidak boleh taat kepadanya, kerana perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama untuk ditaati, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

“Potong pendeklah kumis dan biarkanlah (peliharalah) jenggot.” 

[Shahih Muslim no. 623]

Demikianlah setiap perintah pemimpin yang bermaksiat kepada Allah tidak boleh ditaati, tetapi harus diselisihi dengan terus terang, kerana tidak ada hak untuk ditaati bagi makhluk yang bermaksiat kepada Allah. Tidak semua ketaatan kepadanya telah gugur, tetapi wajib menaati perintahnya yang lain yang tidak bertentangan dengan syariat. Sebagian orang salah faham, bahwa tidak wajib menaati seorang pemimpin kecuali urusan diperintahkan Allah. Ini tidak benar, kerana setiap yang diperintahkan Allah kita wajib menunaikannya baik diperintahkan oleh pemimpin atau tidak.

Perintah pemimpin itu ada tiga hal:

Pertama; Perintah yang juga perintah syariat maka mutlak wajib ditaati.

Kedua; Perintahnya yang bertentangan dengan syariat maka mutlak tidak boleh ditaati.

Ketiga; Perintah yang tidak diperintahkan oleh syariat tetapi tidak bertentangan dengannya, maka wajib ditaati, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Wahai orang-orang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisâ: 4: 59)

Menaati pemimpin yang tidak bermaksiat kepada Allah adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, semoga Allah Ta'ala menganugerahkan petunjuk-Nya.

“Kerana orang yang hidup setelah kalian kelak akan mengalami banyak perselisihan.” Yaitu yang diberi anugerah usia yang panjang akan mendapatkan banyak perselisihan, baik masalah kepemimpinan, pendapat, amal dan berbagai masalah dalam masyarakat secara umum atau khusus. Inilah realitas yang terjadi. Ketika para sahabat masih hidup pun sudah muncul banyak perselisihan sehingga terjadi banyak fitnah, di antaranya adalah terbunuhnya Utsman, Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu dan sebelumnya Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu dan fitnah-fitnah yang lain seperti yang tersebut dalam kitab-kitab sejarah.

Kewajiban kita terhadap fitnah ini adalah meredam berbagai perselisihan di antara para sahabat, tidak banyak membicarakan dan mempermasalahannya, sebagaimana ungkapan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, “Darah mereka itu Allah sucikan dari pedang-pedang kita, sebagaimana kita juga wajib mensucikan lidah kita dari mereka.” Apa faidahnya kalau kita mengungkit-ungkit perselisihan antara Ali dan Aisyah? Antara Ali dan Muawiyah? Dari berbagai peperangan yang telah berlalu, menyebut-nyebut perselisihan ini hanya menambah kesesatan dan kebencian kita kepada para sahabat radhiyallahu anhum, memunculkan sikap berlebihan sebagaimana golongan Syiah Rafidhah yang berlebihan menyikapi Ahlul Bait (keluarga Nabi). Mereka mengira menolong Ahlul Bait, namun Ahlul Bait berlepas diri dari sikap mereka yang sesat.

Orang yang pertama kali berlepas diri dari mereka adalah Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu. Sesungguhnya As-Sabiah -pengikut Abdullah bin Saba'- adalah pencetus kelompok sesat ini. Ia adalah seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam untuk merusak Islam dari dalam. Sebagaimana yang disinyalir oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah, “Abdullah bin Saba' adalah seorang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam untuk merusakannya dari dalam, sebagaimana Bulis masuk agama Nasrani untuk merusaknya. Abdullah bin Saba' menampakkan cinta kepada Ahlul Bait dan mendukung Ali, sehingga dengan beraninya ia berdiri di depan Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu dan berkata, “Engkau adalah Allah yang sebenarnya!” -semoga Allah Ta'ala membinasakannya- langsung saja Ali bin Abu Thalib memerintahkan untuk menggali parit yang diisi dengan kayu bakar, kemudian memerintahkan orang yang mengikutinya untuk dilemparkan ke dalamnya untuk dibakar, ia membakarnya dengan api kerana dosa mereka sangatlah besar.” Na'udzubillah. Ada yang mengatakan, bahwa Abdullah bin Saba' melarikan diri ke Mesir. Wallahua'alam.

Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu ketika mendapatkan informasi ini berkomentar, “Ali benar telah membunuh mereka berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

.مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

“Barangsiapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah ia.

[Shahih Al-Bukhari no. 3017]

.لَا تُعَذِّبُوْا بِعَذَابِ اللهِ

“Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3017, 6922]

Kemudian hal itu sampai kepada Ali bin Abu Thalib radhiyallahu anhu dengan berkata, “Wahai Ibnu Abbas ia mencari-cari aib,” seolah Ali meminta kebenaran yang Ibnu Abbas katakan. Yang penting kita katakan bahwa pendapat Ahlussunnah wal Jamaah adalah mendiamkan setiap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat tidak banyak membicarakan dan mengungkit-ungkitnya. Mereka semua berijtihad, yang benar mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala. Mereka itu adalah umat yang terdahulu, bagi mereka apa yang telah mereka lakukan dan bagi kalian apa yang kalian lakukan. Kalian tidak dimintai pertanggungjawaban mengenai apa yang mereka lakukan. Seorang yang membaca sejarah tentang masalah ini tentunya sangat heran. Ada yang mendukung Bani Umayyah dan mencaci Ali bin Thalib dan keluarga Nabi. Sebagian ada yang berlebihan dalam mendukung Ali dan keluarga Nabi dan mencaci Bani Umayyah kerana tentunya sejarah itu mengikuti alur politik.

Dengan demikian kita tidak terburu menentukan suatu masalah yang berkenaan dengan sejarah, kerana bisa jadi terjadi manipulasi sesuai dengan hawa nafsu, semuanya sesuai iklim politik suatu kekuasaan. Tetapi yang terpenting mengenai perselisihan antara para sahabat radhiyallahu anhum, kita harus meredamnya agar tidak muncul dalam hati kita rasa dengki kepada mereka, kerana kita semua mencintai para sahabat hingga akhir hayat, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. “Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” 
(QS. Al-Hasyr: 59: 10)

Yang terpenting bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kerana orang yang hidup setelah kalian kelak akan mengalami banyak perselisihan.” Inilah realita yang terjadi, tetapi apakah hal ini akan terjadi pada setiap umat atau khusus pada zaman para sahabat saja? Tentu bukan hanya pada zaman para sahabat saja, tetapi setiap zaman akan terjadi perselisihan ini, barangsiapa yang diberi usia yang panjang akan merasakan hal ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya ketika terjadi perselisihan ini, “Maka pegang teguhlah terhadap sunnah-sunnahku, sunnah khulafa' rasyidin yang diberi petunjuk Allah, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham kalian!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita ketika melihat perselisihan ini untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya. Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan yang baginda tempuh baik akidah, akhlak, amal perbuatan, ibadah dan sebagainya. Kita harus komitmen dengan sunnah-sunnahnya ini dan berhukum dengannya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. An-Nisâ: 4: 65)

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jalan keselamatan, barangsiapa yang ingin selamat dari berbagai perselisihan dan bid'ah hendaknya mencapai jalan ini. Alhamdulillah  sunnah-sunnahnya ini terdapat dalam kitab yang telah disusun oleh para ulama, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Kitab-kitab Sunan, Kitab-kitab Musnad dan sebagainya. Para ulama ini telah menjaga sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Dan sunnah khulafa' rasyidin yang diberi petunjuk Allah,” kata Khulafa adalah bentuk jamak dari khalifah yang artinya adalah pengganti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik ilmu, amal, dakwah, jihad dan politik. Khususnya adalah para khalifah yang empat, Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum. Mereka semua yang menggantikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin umat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mengikuti jejak langkah mereka, tetapi mengikuti mereka setelah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seandainya ada perbedaan antara keduanya maka yang didahulukan adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana mereka juga mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saya sebutkan masalah ini kerana terkadang masih terdapat perdebatan orang-orang yang menuntut ilmu, masalah shalat tarawih. Salah seorang mengatakan, “Yang sunnah adalah dua puluh tiga rakaat.” Kedua mengatakan, “Yang sunnah adalah tiga belas atau sebelas rakaat.” Yang pertama berargumen, “Ini adalah sunnah Umar bin Al-Khaththab dan kita diperintahkan mengikuti sunnah Khulafaurrasyidin,” yang kedua berkata, “Sunnah Rasulullah tentunya didahulukan.”

Jika memang riwayat dari Umar ini benar dua puluh tiga rakaat. Padahal riwayat yang paling sahih dari Umar adalah diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Kitab Al-Muwaththa' bahwasanya ia memerintakan Tamim Ad-Daariy dan Ubai bin Kaab untuk mengimami shalat tarawih berjamaah sebelas rakaat bukan dua puluh tiga rakaat. Inilah riwayat yang paling shahih dari umar dan tidak bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidak ada seorang pun yang boleh menyelisihi sunnah Rasulullah baik khalifah atau yang lainnya. Jikalau ada pendapat seorang khalifah yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bukan sebagai dalil untuk menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Yang terpenting bahwa kita memposisikan sunnah Khulafaurrasyidin itu setelah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ibnu Abbas radhiyallahu anhu berkata, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit kepada kalian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian sementara kalian mengatakan Abu Bakar dan Umar berkata demikian.” Jika argumen mereka ini dengan perkataan Abu Bakar dan Umar, apalagi berargumen dengan perkataan orang selain keduanya.

Sebagian orang berdalih jika diperingatkan, “Inilah sunnah Rasulullah,” ia menjawab, “Ulama ini mengatakan demikian!” mereka itu orang-orang yang taklid dan fanatik kepada salah seorang ulama, tetapi jika taklidnya kerana tidak mengetahui As-Sunnah maka diperbolehkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berpegang teguhlah terhadap sunnah-sunnahku, dan sunnah khulafaur-rasyidin yang diberi petunjuk Allah, gigitlah sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham-geraham kalian! Berpegang teguhlah dengan sunnah-sunnahku dan sunnah-sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapat petunjuk. Menggigit dengan geraham adalah kiasan yang artinya adalah memegangnya dengan kokoh dengan kedua tangan dan gigi gerahamnya. Ungkapan ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merintahkan kita untuk selalu berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalnya.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengikuti dan berpegang teguh terhadap sunnah-sunnahnya dan sunnah-sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama), kerana setiap perkara yang baru adalah bid’ah.” Yaitu aku memperingatkan kalian dari perbuatan yang dibuat-buat dalam agama, kerana hukum asal setiap ibadah kepada Allah itu diharamkan, hingga terdapat dalil yang mensyariatkannya.

Oleh kerana itu, Allah mengingkari orang-orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu berdasarkan pada hawa nafsunya,

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” (QS. An-Nahl: 16: 116)

Juga mengingkari orang-orang yang membuat syariat dalam masalah agama tanpa seizin-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Apakah mereka mempunyai sesembahan selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 21)

“Katakanlah, “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah?” (QS. Yunus: 10: 59)

Adapun urusan dunia dan kebiasaan sehari-hari tidak dilarang kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkannya atau termasuk dalam kaidah yang jelas-jelas mengharamkannya. Misalnya, mobil, peralatan perang, pakaian yang kita pakai ini, diperbolehkan. Sebab, masalah dunia dan kaidah asalnya adalah halal kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya, seperti haram memakai kain sutra dan emas bagi kaum laki-laki, kain yang terdapat gambarnya dan lain-lain.

Dengan demikian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, “Jauhilah oleh kalian perkara-perkara yang baru (dalam agama),dalam masalah agama dan ibadah kepada sang Pencipta, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” Yaitu setiap perkara yang dibuat-buat dalam masalah agama adalah sesat walaupun orang yang melakukannya beranggapan baik, tetapi pada hakikatnya adalah kesesatan yang tidak menambah dirinya kecuali jauh dari Allah Ta'ala.

“Dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” Mencakup semua bentuk bid'ah baik asal atau sifatnya, misalnya seorang yang berdzikir dengan jumlah dan sifat tertentu yang menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbuatan ini termasuk bid'ah, kerana jumlah dan sifatnya yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana dengan perbuatan Umar radhiyallahu anhu ketika memerintahkan Ubai bin Kaab dan Tamin Ad-Daary radhiyallahu anhuma untuk menjadi imam shalat tarawih dan disatukan dalam satu tempat yang sebelumnya mereka shalat di berbagai tempat, kemudian pada satu malam ia keluar dan mengatakan, “Ini adalah bid'ah yang baik,” Umar Al-Khattab menyebutnya dengan bid'ah. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan setiap bid'ah adalah itu sesat.

Jawabannya adalah bid'ah ini bukan bid'ah pada dasarnya tetapi bid'ah dibanding dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang meninggalkannya pada akhir hayatnya kerana khawatir diwajibkan, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah shalat dengan para sahabatnya tiga hari atau empat malam kemudian berhenti dan bersabda,

“Aku khawatir di wajibkan kepada kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 924, 1129 dan Muslim no. 761]

Dengan demikian, mengumpulkan shalat tarawih berjamaah dengan satu imam adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi baginda meninggalkannya kerana khawatir diwajibkan pada kaum muslimin.

Pada zaman Abu Bakar radhiyallahu anhu, kaum muslimin menunaikan shalat tarawih dua orang atau tiga orang di berbagai tempat hingga awal khalifah Umar radhiyallahu anhu, kemudian Umar mengumpulkan kaum muslimin dan diimami satu imam untuk menunaikan shalat tarawih berjamaah. Dengan demikian, kebijakan ini merupakan bid'ah dibanding dengan perbuatan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang berhenti pada akhir hayatnya dan pada khalifah Abu Bakar dan awal Umar tetapi merupakan sunnah sebelum itu. Kalau tidak dipahami demikian pasti makna sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bid'ah itu sesat,” umum mencakupnya, kerana ungkapan ini muncul dari bahasa seorang Nabi yang paling fasih di antara semua makhluk.

Hadits no 158.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَالَ: كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَنْ أَبِي ». قِيْلَ وَمَنْ يَأبَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: « مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَي » رَوَاهُ البُخَارِيُّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seluruh umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan.”

Kemudian para sahabat bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu, wahai Rasulullah?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menaatiku, maka ia akan masuk surga dan barangsiapa yang menyelisihiku, maka dialah orang yang benar-benar enggan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7280]

Hadits no 159.
عَنْ أَبِي مُسْلمٍ، وَقِيْلَ: أَبِي إِيَاسٍ سَلَمَةَ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْأَكْوَعِِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ رَجُلًا أَكَلَ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشِمَالِهِ فَقَالَ: « كُلْ بِيَمِيْنِكَ » قَالَ: لَا أَسْتَطِيْعُ. قَالَ: « لَا اسْتَطَعَتَ » مَا مَنَعَهُ إِلاَّ الْكِبْرُ فَمَا رَفعَهَا إِلَى فِيْهِ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Muslim disebut juga Abu Iyyas Salamah bin Amru bin Al-Akwa' radhiyallahu anhu bahwa seorang laki-laki makan disisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan kirinya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!”

Dia menjawab, “Aku tidak boleh”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, sebenarnya kamu boleh.”

Dia tidak menaatinya kerana sombong dan akhirnya ia tidak bisa mengangkat tangannya ke mulutnya.

[Shahih Muslim no. 2021]

Hadits no 160.
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ »  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ لِمْسْلمٍ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّي صُفُوفَنَآ حَتَّى كأَنَّمَا يُسَوِّي بِهَا الْقِدَاحَ حَتَّى إِذَا رَأَى أَنَّا قَدْ عَقَلْنَا عَنْهُ ثُمَّ خَرَجَ يَومًا، فَقَامَ حتَّى كَادَ أَنْ يُكبِّرَ، فَرَأَى رَجُلًا بَادِيًا صَدْرُهُ فَقَالَ: « عِبَادَ اللهِ لَتُسَوُّنَّ صُفُوْفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللهُ بَيْنَ وُجُوْهِكُمْ » .
Daripada Abu Abdullah An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Luruskan barisan shalat kalian atau Allah akan benar-benar membuat wajah (hati) kalian saling berselisih.”

[Shahih Al-Bukhari no. 717 dan Musmlim no. 436]

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami seolah Rasulullah menata anak panah sehingga kami benar-benar telah memahaminya, dan pada suatu hari Rasulullah keluar shalat berjamaah dan hampir Rasulullah takbir tiba-tiba melihat seseorang yang dadanya terlihat keluar barisan dan seraya bersabda, “Wahai hamba Allah, luruskan barisan shalat kalian!, atau Allah akan benar-benar membuat wajah (hati) kalian saling berselisih.”

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Abdullah An-Nu'man bin Basyir radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskan barisan shalat kalian atau Allah akan benar-benar membuat wajah (hati) kalian saling berselisih.”

Kalimat yang pertama dikuatkan dengan tiga lafazh penguat; sumpah, huruf lam dan nun taukid, begitu juga dalam kalimat yang kedua “atau Allah Ta'ala akan benar-benar membuat wajah (hati) kalian saling berselisih,” dikuatkan dengan tiga penguat ini. Artinya jika kalian tidak meluruskan barisan pasti Allah benar-benar membuat kalian saling memalingkan wajah.

Para ulama berbeda pendapat dalam lafazh, “mukhalafah al-Wajh (wajah yang berselisih)”

Pertama, Allah merubah wajahnya secara fisik, Allah Maha Kuasa untuk mengubahnya, kerana Allah juga kuasa mengubah sebagian anak Adam menjadi monyet, begitu juga kuasa untuk mengubah wajah manusia menghadap kebelakang.

Kedua, Maksudnya adalah Allah mengubah hati ini saling membenci, kerana jika hati ini bersatu dan menghasilkan kebaikan yang banyak, sebaliknya jika saling berselisih maka umat ini akan berpecah belah. Penafsiran inilah yang mendekati kebenaran, kerana pada riwayat lain disebutkan, “Kalau tidak Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.”

Dengan demikian maksud lafazh ini adalah Allah akan membuat perbedaan pandangan kalian kerana hati kalian berselisih. Yang terpenting bahwa hadits ini adalah perintah kepada kaum muslimin untuk meluruskan shaf shalat, jika tidak melakukannya niscaya Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. na'udzubillah.

Maka kewajiban seorang imam adalah meluruskan barisan makmum dan selalu mengingatkannya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di shaf kaum muslimin untuk meluruskan shaf dengan tangan baginda yang mulia pada shaf yang pertama, tetapi setelah kaum muslimin mulai banyak pada masa khalifah Umar radhiyallahu anhu ia memerintahkan seseorang untuk meluruskan shaf shalat. Ia tidak memulai takbir sehingga ia datang dan mengatakan shafnya telah lurus.

Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Khulafaurrasyidin terhadap hal ini, tetapi sangat disayangkan sekarang ini kaum muslimin tidak memperhatikan lurusnya barisan shalat dan tidak peduli. Tentunya hal ini pemahaman yang salah yang harus dibenarkan dan diingatkan.

Jika ada yang bertanya, “Bagaimana kalau shalat berjamaah hanya seorang imam dan makmum?” Jawabannya adalah ia membuat satu shaf. Tidak mungkin imam di depan dan makmumnya di belakangnya, tetapi membuat satu shaf. Berbeda dengan salah satu pendapat yang mengatakan imam maju sedikit kehadapan dan makmum mundur sedikit, pendapat ini tidak memiliki dalil, kerana dalilnya bertentangan dengannya yaitu imam dan makmum satu shaf.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meluruskan shaf kami seolah Rasulullah menata anak panah,seolah-seolah menata anak panah artinya benar-benar lurus seperti gigi sisir yang sama rata, “sehingga kami benar-benar merasa telah memahaminya, dan pada suatu hari Rasulullah keluar shalat berjamaah dan hampir Rasulullah takbir tiba-tiba melihat seseorang yang dadanya terlihat keluar barisan dan seraya bersabda, “Wahai hamba Allah, luruskan barisan shalat kalian!, atau Allah akan benar-benar membuat wajah (hati) kalian saling berselisih.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini hanya kerana melihat seorang yang dadanya terlihat ke depan. Hal ini sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperhatikan sekali shaf shalat kaum muslimin dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkannya dengan sabdanya, “Luruskan barisan shalat kalian! atau Allah akan benar-benar membuat wajah (hati) kalian saling berselisih.”

Oleh kerana itu, hendaknya kita mengingatkan para imam masjid dan para jamaah untuk memperhatikan hal ini.

Hadits no 161.
عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: اِحْتَرَقَ بَيْتٌ بِالْمَدِيْنَةِ عَلَى أَهْلِهِ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا حُدِّثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَأْنِهمْ قَالَ: « إِنَّ هَذِهِ النَّارَ عَدُوٌّ لَكُمْ، فَإِذَا نِمْتُمْ فَأَطْفِئُوْهَا عَنْكُمْ » متَّفقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu ia berkata, “Salah satu rumah di Madinah terbakar dan penghuninya berada di dalamnya, setelah diceritakan kepada Rasulullah tentang hal ini, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya api ini adalah musuh kalian, oleh itu apabila hendak tidur, maka padamlah ia terlebih dahulu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6294 dan Muslim no. 2016]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits ini dalam bab motivasi untuk mengikuti sunnah dan adab-adabnya. Hadits ini menceritakan sebuah kisah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sebuah rumah terbakar pada malam hari, kemudian berita ini sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda, “Sesungguhnya api ini adalah musuh kalian, oleh itu apabila hendak tidur, maka padamlah ia terlebih dahulu.”

Api yang sumbernya diciptakan oleh Allah ini merupakan anugerah Allah kepada hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Maka pernahkah kamu memperhatikan tentang api yang kamu nyalakan (dengan kayu)? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu ataukah Kami yang menumbuhkan? 
(QS. Al-Wâqi'ah: 56: 71-72)

Jawabannya adalah Engkau wahai Tuhan yang menciptakannya. 

Allah Ta'ala berfirman,

“Kami menjadikannya (api itu) untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir. (QS. Al-Wâqi'ah: 56: 73)

Sebagai peringatan manusia terhadap neraka Jahannam, kerana api dunia ini jika dikumpulkan sungguh hanya seperenampuluh neraka Jahannam. Semoga Allah memelihara kita semua darinya.

Allah Ta'ala menjadikannya sebagai peringatan sehingga sebagian salafush shalih jika cenderung ingin berbuat maksiat, mereka menyalakan api kemudian menyentuhnya, kemudian mengatakan pada dirinya, “Ingatlah panasnya neraka jangan sampai berbuat maksiat!, yang menyebabkan masuk neraka.” Semoga Allah memelihara kita semua darinya. Dengan demikian Allah berfirman,

“Kami menjadikannya (api itu) untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir. (QS. Al-Wâqi'ah: 56: 73)

Maksudnya kami jadikan kenikmatan bagi orang-orang yang memerlukannya, orang yang sedang perjalanan, menghangatkan badan ketika musim dingin, merebus air, memasak makanan dan manfaat lain yang sangat banyak. Tetapi di samping itu, api juga menjadi penyebab bahaya, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya api ini adalah musuh kalian!” api menjadi musuh manusia jika tidak berhati-hati dalam menggunakannya, cepat menyala dan menyambar serta membakar apa yang di sekeliling kita.

Contohnya adalah gas bumi pada zaman sekarang ini, sangat berbahaya, jika tidak diperhatikan dalam menggunakannya, ketika terjadi kebocoran maka akan terjadi kebakaran yang luar biasa.

Begitu juga listrik (elektrik) yang juga harus diperhatikan dengan baik, hendaknya orang yang menanganinya ahli sehingga tidak menimbulkan bahaya yang menyebabkan kebakaran.

Yang penting setiap orang harus memperhatikan setiap yang berbahaya baginya. Jika ini adalah bahaya api dunia, terlebih bahaya api neraka. Setiap pintu yang menghantarkan padanya harus ditutup rapat, kerana suatu yang menyebabkan terjadinya maksiat hukumnya juga haram, agar tidak terperosok ke dalam jurang api neraka.

Hadits no 162.
عَنْهْ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ مَثَلُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى والْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ، قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ، وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمسكَتِ الْمَاءَ، فَنَفَعَ اللهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وسَقَوْا وَزَرَعُوا. وأَصَابَ طَائِفَةً أُخْرَى، إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ لا تُمْسِكُ مَاءً وَلا تُنْبِتُ كَلأً، فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِي دِيْنِ اللهِ، وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Musa radhiyallahu anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku untuk menyampaikannya bagaikan hujan yang jatuh ke bumi. Sebagian tanah di bumi ada yang baik sehingga dapat menyimpan air kemudian menumbuhkan rumput dan tumbuhan yang lain. Sebagian ada yang tandus tapi dapat menyimpan air, lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia, manusia minum, menyiram tanaman dan bertanam. Sebagian lagi tanah yang berbatu yang tidak bisa menyimpan air dan tidak dapat pula menumbuhkan rerumputan. Demikianlah perumpamaan orang yang diberi anugerah pemahaman agama Allah, ia mengambil manfaat dari apa yang aku diutus dengannya, ia paham agama dan mengajarkannya, dan permisalan orang yang tidak mahu mengangkat kepalanya kerana tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2282]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Musa Al-Asyari radhiyallahu anhu, tentang permisalan yang dibuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku untuk menyampaikannya bagaikan hujan yang jatuh ke bumi.” Permisalan bumi ini ada tiga tipe;

Pertama, Tanah yang subur dapat menyimpan air dan dan menumbuhkan rerumputan dan tanaman yang lainnya, kemudian manusia dapat mengambil manfaat darinya.

Kedua, Tanah yang tandus yang dapat menyimpan air dan manusia dapat mengambil manfaat darinya, mengambil air minum dan menyiram tanaman.

Ketiga, Tanah berbatu yang meresap air dapat air tetapi tidak dapat menyimpannya sehingga tidak menumbuhkan tumbuhan.

Begitu juga kondisi manusia dengan ilmu dan petunjuk yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdiri dari tiga tipe:

Pertama: Ada yang dipahamkan agama Allah, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Mereka ini seperti bumi yang menumbuhkan rerumputan dengan tanaman yang dapat dimanfaatkan oleh manusia dan hewan.

Kedua: Orang-orang yang membawa petunjuk tetapi tidak memahami petunjuk ini, seperti orang yang meriwayatkan hadits dan berbagai ilmu tetapi tidak begitu memahami. Permisalan mereka ini seperti bumi yang tandus tetapi dapat menyimpan air dan manusia dapat mengambil air darinya, tetapi ia sendiri tidak dapat menumbuhkan suatu tumbuhan, kerana mereka meriwayatkan hadits dan menyampaikannya tetapi tidak begitu memahaminya.

Ketiga: Orang-orang yang tidak mahu mengangkat kepalanya memperhatikan petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berpaling darinya. Tipe orang ini tidak akan mengambil manfaat petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, permisalannya seperti bumi yang dapat meresap air tetapi tidak dapat menumbuhkan sesuatu. (Termasuk tipe kedua dan ketiga para ahli bid'ah dengan berbagai macam bentuknya)

Hadits ini sebagai dalil bahwa barangsiapa yang diberi anugerah memahami agama Allah dan sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik tipe manusia di muka bumi ini, kerana ia paham dan bermanfaat bagi orang lain. Tipe di bawahnya adalah orang yang menghafal banyak hadits dan ilmu tetapi tidak begitu memahaminya, dan yang ketiga adalah tidak ada kebaikan sedikit pun darinya, yaitu orang-orang yang diberi petunjuk dan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi tidak mahu mengangkat kepalanya untuk memperhatikan apa lagi menerimanya, na'udzubillah. Mereka ini seperti halnya bumi berbatu yang dapat menyerap air tetapi tidak menumbuhkan sesuatu pun yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, tidak pula menyimpan air yang dapat diambil manfaatnya.

Sebagian tanah ada yang baik, sehingga dapat menyimpan air kemudian menumbuhkan rerumputan dan tumbuhan yang lain. Sebagian ada yang tandus tapi dapat menyimpan air, lalu Allah Ta'ala memberikan manfaat kepada manusia, manusia minum, menyiram dan bertanam. Sebagian lagi tanah yang berbatu yang tidak bisa menyimpan air dan tidak dapat pula menumbuhkan rerumputan. Demikianlah perumpamaan orang yang diberi anugerah pemahaman agama Allah, ia mengambil manfaat dari apa yang Nabi diutus dengannya, ia paham agama dan mengajarkannya, dan pemisalan orang yang tidak mahu mengangkat kepalanya kerana tidak menerima petunjuk Allah yang Nabi diutus dengannya.

Hadits ini juga sebagai dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan metode perumpamaan dalam mengajarkan para sahabatnya, perumpamaan yang konkrit akan lebih mendekatkan makna yang abstrak. Metobe ini banyak digunakan dalam Al-Qur'an kerana banyak orang tidak begitu paham kecuali dengan metode ini.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu.”
(QS. Al-'Ankabût: 29: 43)

“Dan sesungguhnya telah Kami jelaskan kepada manusia segala macam perumpamaan dalam Al-Qur'an ini.”
(QS. Ar-Rûm: 30: 58)

Dengan demikian metode ini merupakan metode yang terbaik dalam pengajaran.

Hadits no 163.
عَن جَابرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « َمَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيْهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنهَا وَأَنَا آخِذٌ بَحُجَزِكُمْ عَنِ النَّارِ، وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُوْنَ مِنْ يَدِي » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Perumpamaanku dengan kalian itu seperti seseorang yang menyalakan api, kemudian dikerumuni oleh serangga dan kupu-kupu, kemudian seseorang itu berusaha menghalanginya agar tidak masuk ke dalamnya. Dan aku berusaha menghalangi kalian dari api neraka tetapi kalian melepaskan diri dari tanganku.

[Shahih Muslim no. 2285]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Jabir radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Perumpamaanku dengan kalian itu seperti seseorang yang menyalakan api,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat perumpamaan ini ingin menjelaskan posisinya di antara umatnya, yaitu seperti halnya seseorang yang menyalakan api kemudian dikerumuni oleh serangga dan kupu-kupu kemudian masuk ke dalamnya. Inilah kebiasaan kupu-kupu dan serangga selalu mendekati api yang dinyalakan di kegelapan dan masuk ke dalamnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berusaha menghalangi kalian terperosok ke dalamnya, tetapi kalian lari terlepas.

Hadits ini sebagai dalil betapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat ingin menyelamatkan umatnya dari api neraka. Rasulullah selalu menghalangi dan memegangi kita agar tidak terperosok ke dalamnya tetapi kita sendiri yang enggan dan selalu ingin masuk ke dalamnya, semoga Allah mengampuni kita. Setiap orang seharusnya tunduk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunjukkan pada kebaikan dan menjauhkan kita dari keburukan seperti halnya Rasulullah juga selalu menghalangi kita masuk ke dalam api neraka, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman.” (QS. At-Taubah: 9: 128)

Di antara pelajaran yang dapat kita petik dari hadits ini adalah setiap orang wajib mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap yang Rasulullah perintahkan dan yang Rasulullah larang, setiap yang Rasulullah kerjakan dan yang Rasulullah tinggalkan, harus kita yakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang teladan yang harus kita ikuti. Tetapi dalam syariat ada istilah wajib, yang kita tinggalkan berdosa, haram, yang jika dikerjakan berdosa, mustahab, Jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa, makruh tanzih yang jika ditinggalkan lebih baik baginya dan jika dikerjakan tidak berdosa. Namun yang penting bahwa kita harus mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum, menyakini bahwa imam dan teladan kita adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak ada jalan keselamatan kecuali dengan mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah-sunnahnya ini.

Hadits ini juga menjelaskan betapa agungnya hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas umatnya, Rasulullah selalu berusaha sekuat tenaga untuk menghalangi setiap yang membahayakan umatnya.

Dengan demikian, jika kita mendapatkan larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap sesuatu maka, janganlah dicari-cari apakah larangannya ini haram atau dibenci saja, tetapi tinggalkanlah setiap yang Rasulullah larang baik yang haram atau yang makruh. Sebab, asal larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah haram dilakukan, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan makruh tanzih.

Begitu juga sebaliknya, jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sesuatu janganlah dicari-cari apakah wajib atau tidak. Laksanakanlah setiap yang Rasulullah perintahkan kerana itulah yang terbaik untukmu. Jika perintahnya itu wajib maka anda telah terlepas dari tanggung jawab dan jika sunnah maka pahalanya telah tersedia. Dengan demikian anda telah mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sempurna. Semoga kita selalu mengikuti jejak langkah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam baik lahir mahupun batin.

Hadits no 164.
عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِلَعْقِ الْأَصَابِعِ وَالصَّحْفَةِ وَقَالَ: « إِنَّكُمْ لَا تَدْرُوْنَ فِي أَيِّهَا الْبَرَكَةُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: « إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى، وَلْيَأْكُلْهَا، وَلَا يَدَعْهَا لَلشَّيْطَانِ، وَلَا يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمَنْدِيْلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ، فَإِنَّهُ لَا يَدْرِي في أَيِّ طَعَامِهِ الْبَركَةَ ».
وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ: « إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَيءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتَّى يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ، فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمْ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ مَا كَان بِهَا منْ أَذًى، فَلْيَأْكُلْها، وَلا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilati jari tangan dan piring sehabis makan dan baginda bersabda, 

“Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di manakah letaknya berkah makanan itu.”

[Sahih Muslim no. 2033]

Dalam riwayatnya yang lain disebutkan, “Jika makanan kalian terjatuh hendaklah mengambilnya, kemudian membersihkan bagian yang kotor dan memakannya, janganlah membiarkan makanan itu untuk setan, hendaknya tidak membersihkan tangannya dengan sapu tangan sehingga menjilatinya kerana ia tidak mengetahui dimanakah letak barakah makanan itu.”

Dalam riwayatnya yang lain disebutkan, “Sesungguhnya setan itu selalu hadir menyertai kalian dalam segala kondisi begitu juga ketika makan, jika makanan kalian terjatuh, hendaklah membersihkannya bagian yang kotornya, kemudian memakannya dan tidak membiarkannya untuk setan.”

[Shahih Muslim no. 2033. At-Tirmidzi no. 1802. An-Nasai dalam Al-Kubrâ no. 6777. Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3289]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu tentang adab makan, yaitu disunnahkan seusai makan untuk menjilati piring dan jari tangan hingga tidak tersisa makanan sedikit pun kerana kalian tidak mengetahui makanan mana yang berkah. Hadits ini menjelaskan dua adab.

Menjilati piring dan jari-jari tangan, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan sesuatu kecuali terdapat kebaikan dan berkah untuk umatnya.

Dengan demikian, para doktor berbicara tentang masalah ini, “Menjilati jari-jari setelah makan itu memudahkan pencernaan, kerana setiap jari-jari itu memiliki zat enzim yang keluar ketika dijilat yang memudahkan pencernaan.” Hal ini termasuk hikmah perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi yang terpenting kita melakukannya untuk menunaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Banyak manusia yang tidak memahami sunnah ini, setelah makan piringnya masih tersisa banyak makanan dan langsung mencuci tangannya tanpa menjilat jarinya. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang yang seusai makan langsung membersihkannya dengan sapu tangan kecuali setelah menjilat jarinya, kemudian setelah itu baru mencucinya dengan sapu tangan atau air.

Di antara adab makan yang lain adalah jika makanan terjatuh di tanah hendaknya diambil, kerana setan itu selalu hadir menyertai setiap aktivitas manusia, makan, minum, hubungan badan dan sebagainya. Jika lupa tidak mengucapkan basmalah ketika makan, setan ikut makan bersama dan menghilangkan berkah pada makanan. Jika makanan terjatuh kemudian tidak diambil maka setan yang akan mengambilnya, tentunya masalah ini adalah ghaib yang kita tidak melihat bagaimana setan mengambilnya. Kita mengetahui dari berita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang jujur dan dapat dipercayai, walaupun masih terlihat di depan kita tetapi hakikatnya telah diambil. Ini adalah masalah ghaib yang kita harus meyakininya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan kita pada kebaikan dengan sabdanya, “Jika makanan kalian terjatuh hendaklah mengambilnya, kemudian membersihkan bagian yang kotor dan memakannya, janganlah membiarkan makanan itu untuk setan,” ambillah makanan itu dan bersihkan bagian yang kotornya, kemudian makanlah dan jangan biarkan menjadi makanan setan. 

Seseorang yang melakukan ini telah mendapatkan tiga kebaikan yaitu menunaikan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tawadhu kerana Allah, dan tidak memberikan kesempatan kepada setan untuk memakannya. Tetapi yang disayangkan banyak orang yang ketika makanannya terjatuh tidak mengambilnya, tentu ini menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits ini juga terdapat pelajaran hendaklah setiap orang itu tidak memakan sesuatu yang terdapat penyakit atau yang berbahaya. Misalnya kita makan ikan hendaklah berhati-hati kerana terdapat banyak tulang yang berbahaya untuk pencernaannya tanpa ia sadari.

Hadits no 165.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَامَ فِيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَوْعِظَةٍ فَقَالَ: « أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ مَحْشُوْرُوْنَ إِلَى اللهِ تَعَالَى حُفَاةً عُرَاةً غُرْلاً { كَمَا بَدَأْنَآ أَوَّلَ خَلْقٍ نُعِيدُهُ، وَعْدًا علَيْنَآ إِنَّا كُنَّا فٓـٰعِلِينَ } [ الأنبياء ١.٤] أَلاَ وَإِنَّ أَوَّلََ الْخَلائِقِ يُكْسَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِبْرَاهِيْمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَلَا وَإِنَّهُ سَيُجَاء بِرِجَالٍ مِنْ أُمَّتِى، فَيُؤْخَذُ بِهِمْ ذَاتَ الشِّمَالِ فأَقُوْلُ: يارَبِّ أَصْحَابِي، فَيُقَالُ: إِنَّكَ لا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ، فَأَقُوْلُ كَمَا قَالَ الْعَبْدُ الصَّالِحُ: { وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهيدًا مَّا دُمْتُ فِيهِمْ } إِلَى قَوْلِهِ: { الْعَزِيزُ الْحَكيمُ } [ المائدة: ١١٧ ، ١١٨] فَيُقَالُ لِي: إِنَّهُمْ لَمْ يَزَالُوْا مُرْتَدِّيْنَ عَلَى أَعقَابِهِمْ مُنذُ فَارَقْتَهُمْ » مُتَفُقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma dia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami memberi nasihat dan bersabda, “Wahai sekalian manusia sesungguhnya kalian kelak akan dikumpulkan di sisi Allah Ta'ala tidak memakai alas kaki, telanjang dan tidak dikhitan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulangi lagi. (Suatu) janji yang pasti Kami tepati; sungguh, Kami akan melaksanakannya.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 103).

Ketahuilah bahwa makhluk yang pertama kali diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim alaihissalam. Ingatlah sesungguhnya nanti akan ada dari umatku yang didatangkan dan disiksa bersama orang-orang yang berada di sebelah kiri. Kemudian aku berkata, “Wahai Tuhanku mereka itu adalah sahabatku!” Kemudian ditegur, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu,” maka aku mengatakan seperti perkataan orang yang shalih, “Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakannya) yaitu, “Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabbmu,” dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka. Maka setelah Engkau wafatkan (angkat) aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka. Dan Engkau adalah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhya Engkau-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 117-118).

Dan dikatakan kepadaku, “Sesungguhnya mereka itu murtad dari agama Islam semenjak engkau tinggalkan mereka!”

[Shahih Al-Bukhari no. 3349 dan Muslim no. 2860]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu anhuma bahwasanya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami memberi khutbah.Kebiasaan Rasullulah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan khutbahnya di hadapan para sahabatnya baik yang rutin atau yang tidak. Khutbah rutin seperti khutbah shalat ied, shalat istisqa, shalat khusuf. Khutbah ini Rasulullah lakukan rutin, ketika terjadi sebabnya, Rasulullah selalu khutbah. 

Dalam khutbah Jum'at, Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam khutbah dua kali sebelum shalat, sedang shalat ied, Rasulullah berkhutbah sekali setelah shalat, begitu juga khutbah shalat istisqa dan khutbah shalat khusuf yaitu khutbah setelah shalat.

Adapun khutbah yang tiba-tiba yaitu khutbah yang memiliki sebab yang muncul tiba-tiba, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah di depan para sahabatnya.

Contohnya ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk mengambil zakat dari seseorang kemudian sepulangnya di Madinah ia membawa satu unta dan ia berkata, “Unta ini untukmu! Dan yang ini dihadiahkan untukku,” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya,

“Bagaimana salah seorang di antara kalian yang kami tugaskan suatu pekerjaan kemudian ia kembali mengatakan, “Unta ini untukmu dan yang ini dihadiahkan untukku,” bagaimana kalau ia hanya duduk di rumah orang tuanya apakah ia akan mendapatkan hadiah itu?”

[Shahih Al-Bukhari no. 2597, 7174, 7197 dan Muslim no. 7174]

Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia tidak diberi hadiah kecuali kerana jasa pekerjaannya dari negara, orang itu tidak memberi kerana pribadinya bagaimana kalau ia hanya di rumah saja pasti tidak akan mendapatkan hadiah ini.

Hadits ini menjelaskan betapa buruknya akibat suap. Masalah ini sangat serius sehingga menyebabkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri khutbah di depan para sahabatnya, mengancam orang-orang yang melakukan hal ini. Kerana apabila di suatu masyarakat tersebar suap menyuap maka akan hancur, tidak ada lagi yang berkata jujur dan menetapkan hukum dengan adil kecuali jika disuap, na'udzubillah.

Allah melaknat orang-orang yang bergelimang dengan suap menyuap ini, baik yang memberi atau yang memintanya, kecuali jika yang memberi tidak dapat mendapatkan haknya kecuali dengan suap ini, tetapi yang memintanya tetap terlaknat, sebagaimana yang tersebar di berbagai negeri Islam sekarang ini, kebutuhan masyarakat umum tidak akan terlaksana kecuali dengan suap-menyuap, maka orang yang memakannya adalah memakan harta dengan cara yang bathil, mencampakkan dirinya pada laknat Allah, na'udzubillah semoga kita selamat darinya. Maka kewajiban para pejabat harus bekerja dengan cara yang baik, melakukannya kewajibannya semampunya.

Contoh lain adalah sebuah riwayat dari Barirah budak milik orang Anshar, tuannya ingin memerdekakannya dengan cara mukatabah (membayar) dengan harga sembilan dirham, kemudian budak itu pergi kepada Aisyah radhiyallahu 'anha meminta untuk dibantu caranya, kemudian Aisyah berkata, “Jika engkau mahu aku akan bantu tetapi perwaliannya untukku.” Kemudian budak itu pergi ke tuan mereka dan ia ungkapkan syarat dari Aisyah. Namun mereka tidak setuju. Kemudian budak itu kembali lagi kepada Aisyah radhiyallahu anha menginformasikannya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda“Ambillah upahnya dan berilah syarat kepada mereka untuk mendapatkan perwalian, kerana perwalian bekas budak itu adalah milik orang yang memerdekannya.”

Kemudian Aisyah mengambilnya dan memberikan syarat agar perwalian budak itu untuknya kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabatnya,

“Kenapa suatu kaum membuat syarat dalam transaksi yang tidak terdapat dalam Kitabullah? Setiap syarat yang tidak terdapat dalam Kitabullah adalah syarat yang batil walaupun seratus syarat, ketetapan Allah itu lebih benar dan syarat-Nya lebih kuat. Sesungguhnya perwalian mantan budak itu milik orang yang memerdekakannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2168, 2563, 2729 dan Muslim no. 1504]

Contoh lain adalah seorang wanita dari Bani Makhzum yang meminjam barang-barang seperti periuk, wadah air dan alat-alat rumah dari orang-orang, kemudian wanita itu mengingkari telah meminjam dari mereka. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memotong tangan wanita itu kerana sama saja mencuri, tetapi kabilah Quraisy keberatan dengan keputusan itu kerana Bani Makhzum adalah kabilah yang terpandang di antara mereka. Mereka meminta keringanan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengutus Usamah bin Zaid bin Haritsah radhiyallahu anhu kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintainya dan juga ayahnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengenai wanita itu, “Apakah kamu ingin menjadi jaminan terhadap hukum Allah?” Kerana hukum Allah yang telah pasti tidak ada keringanan dan jaminan, kerana Allah melaknat keduanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, kemudian bersabda, “Amma ba’du. Sesungguhnya faktor penyebab kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka itu jika ada pencuri dari kalangan orang terhormat, mereka biarkan. Dan jika ada pencuri dari kalangan orang lemah, mereka tegakkan hukuman.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan kerana sebab inilah kehancuran mereka. Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam meneruskan sabdanya, “Demi Allah kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri pasti aku akan memotong tangannya,” apakah wanita dari Bani Makhzum ini lebih mulia daripada Fatimah? Tentunya Fatimah adalah lebih utama, walaupun demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, kk “Demi Allah kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri pasti aku akan memotong tangannya.”

[Sahih Bukhari no. 3475, 6788 dan Muslim no. 1688]

Inilah khutbah-khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di antara sunnahnya adalah khutbah rutin dan tidak rutin, sebagaimana sebuah hadits dari Irbadh radhiyallahu anhu ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan kami yang membuat hati kami bergetar dan meneteskan air mata.”

Kesimpulannya, pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini adalah kepada para imam, pemimpin, mufti atau seorang da'i untuk mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini yaitu khutbah di hadapan masyarakat baik yang rutin seperti shalat Jum'at, shalat Ied, shalat Istisqa, shalat khusuf, sebab, sesuatu yang tepat pada waktu dan tempatnya itu akan menghasilkan kebaikan yang banyak.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berdiri di hadapan kami dan berkhutbah, “Wahai sekalian manusia sesungguhnya kalian kelak akan dikumpulkan di sisi Allah Ta'ala tidak memakai alas kaki, telanjang dan tidak dikhitan,” mereka akan dikumpulkan dalam satu tempat tidak ada gunung, lembah, bangunan, pohon dan tidak ada suatu pelindung pun. Semuanya dapat mendengar dan dapat melihat tidak ada penghalang sedikit pun, dalam kondisi tidak memakai pakaian dan kulit mereka terlihat, tidak memakai alas kaki yang menjaga kaki mereka dan tidak dikhitan.

Khitan adalah memotong hujung kulit kemaluan laki-laki agar lebih sempurna ketika bersuci, sebagaimana yang akan kita bahas insya Allah.

Kata “buhman” menurut ulama artinya seseorang tidak memiliki apa-apa seperti awal diciptakan sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi. (Suatu) janji yang pasti Kami tepati; sungguh, Kami akan melaksanakannya.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 104)

Maksudnya Allah mengumpulkan mereka seperti awal mula diciptakan, mereka keluar dari perut bumi seperti halnya keluar dari perut ibu, telanjang, tidak beralas kaki dan tidak dikhitan. Allah Ta'ala berfirman,

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi.
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 104)

“(Suatu) janji yang pasti Kami tepati.” 
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 104)

Allah menegaskan bahwa Dia Maha Kuasa kerana sebagian manusia mendustakan hari mahsyar ini, na'udzubillah. Allah Ta'ala berfirman,

“(Kehidupan itu) tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, (di sanalah) kita mati dan hidup dan tidak akan dibangkitkan (lagi).” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 37)

“(Suatu) janji yang pasti Kami tepati, sungguh, Kami akan melaksanakan-Nya.” 
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 104)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang hal ini Aisyah bertanya, “Apakah laki-laki dan perempuan mereka berkumpul menjadi satu wahai Rasulullah?Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah perkara pada saat itu lebih dahsyat daripada memperhatikan hal itu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6527 dan Muslim no. 2859]

Urusan hari itu sungguh dahsyat sehingga antara yang satu dengan yang lain tidak saling melihat, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” 
(QS. 'Abasa: 80: 34-37)

Bahkan para rasul pun ketika menyeberang Sirath berdoa, “Ya Allah selamatkan, Ya Allah selamatkan!” tidak ada seorang pun yang mengetahui apakah seseorang itu selamat atau tidak, urusan waktu sangat dahsyat sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Aisyah perkara pada saat itu lebih dahsyat daripada memperhatikan hal itu.”

Ketahuilah bahwa makhluk yang pertama kali diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.Nabi Ibrahim adalah kekasih Allah dialah yang pertama-tama diberi pakaian pada hari Kiamat.

Pengkhususan ini tidak menunjukkan keutamaan secara mutlak, tentu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama darinya kerana baginda adalah tuannya anak Adam pada hari Kiamat. Tidak ada yang diberi izin memberikan syafaatnya pada hati Kiamat kelak kecuali Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isrâ: 17: 79)

Tetapi terkadang Allah telah mengkhususkan sebagian Nabi dari yang lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku.” (QS. Al-A'râf: 7: 144)

Kerasulan juga ada pada selainnya, tetapi pada masa itu juga Nabi Musa adalah Nabi untuk semua Bani Israil. Begitu juga Allah Ta'ala mengkhususkan salah satu nabi daripada yang lain, tetapi keutamaan itu tidak mutlak baginya.

Ketahuilah bahwa makhluk yang pertama kali diberi pakaian adalah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam.Kenapa Nabi Ibrahim yang pertama kali mendapatkan pakaian?, tentunya keutamaan baginda sangatlah banyak, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
(QS. Al-Hadîd: 57: 21)

Tidak boleh dipertanyakan, kerana sebagian manusia terkadang telah mencapai sesuatu yang tidak dicapai oleh orang lain, sebagaimana Allah melebihkan sebagian anak Adam dalam rezeki, adab, akhlak, ilmu, fisik, fikiran dan sebagainya. Allah memberikan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya.

Hadits ini sebagai dalil bahwa manusia kelak akan diberi pakaian setelah keluar dalam kondisi telanjang, tanpa alas kaki dan tidak dikhitan. Tetapi bagaimana cara mereka diberi pakaian? Kita tidak mengetahui, Allah lebih mengetahui caranya.

Dalam hadits ini terdapat isyarat tentang khitan, yaitu hujung kulit pada kemaluan yang belum dipotong. Hukum khitan menurut ulama berbeda pendapat, sebagian ada yang mengatakan wajib bagi laki-laki juga perempuan, sebagian berpendapat tidak wajib baik laki-laki juga perempuan, kerana khitan hanya termasuk fitrah yang disunnahkan, bukan wajib.

Dan sebagian ada yang berada di tengah-tengah, yaitu wajib bagi laki-laki dan tidak wajib bagi perempuan, pendapat ini lebih moderat. Wajib bagi laki-laki kerana jika kulit ini tidak dipotong akan menampung kotoran yang berbahaya baginya. Pendapat yang benar bahwa khitan adalah wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan, ini pendapat yang lebih baik.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyebutkan bahwa nanti akan ada dari umatnya yang didatangkan dan disiksa bersama orang-orang yang berada di sebelah kiri yaitu penghuni neraka. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Tuhanku mereka itu adalah sahabatku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon syafaat kepada Allah Ta'ala untuk mereka, kemudian ditegur, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu,” kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam sallam mengatakan seperti perkataan orang yang shalih yaitu Isa bin Maryam 'alaihissalam  ketika berkata pada hari Kiamat, dan Allah Ta'ala berfirman,

“Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 116) Sebagaimana orang-orang Nasrani mengira bahwa mereka mengikuti Isa 'alaihissalam.

“(Isa) menjawab, “Maha Suci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 116) Dikeranakan hak Uluhiyyah (ketuhanan) bukanlah hak seseorang melainkan hanya milik Allah Tuhan semesta alam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 116-117)

Maka bila dikatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Kiamat, “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa yang mereka lakukan sepeninggalmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti perkataan Isa bin Maryam,

“Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (QS. Al-Mâ'idah: 5: 116-117)

Setelah itu dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“Sesungguhnya mereka itu murtad dari agama Islam semenjak engkau tinggalkan mereka!” Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Binasa, binasa.” “Sesungguhnya mereka itu murtad dari agama Islam semenjak engkau tinggalkan mereka!” Kelompok sesat Syiah Rafidhah berpegang dalil ini mengatakan, “Semua para sahabat adalah murtad dari Islam.” Na'udzu Billah, di antaranya adalah Abu Bakar, Umar, Utsman ada pun Ali dan Ahlul Bait tidak termasuk mereka yang murtad.

Tentunya mereka ini adalah pendusta, bahwa khulafaurrasyidin yang empat menurut ijma' kaum muslimin bukanlah orang yang murtad, begitu pula para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara umum, kecuali orang-orang Arab Baduwi yang murtad dan enggan membayar zakat sehingga Khalifah Abu Bakar As-Siddiq memerangi mereka. Kebanyakan mereka kembali kepada Islam, tetapi kelompok Syiah Rafidhah yang sangat benci kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelewengkan arti hadits ini.

Adapun pendapat Ahlussunnah bahwa hadits ini adalah umum namun dimaksudkan khusus. Kenapa betapa banyak dalil yang demikian, kata “Ashaabi”  (para sahabatku) maksudnya bukan semuanya, tetapi hanya yang murtad dari agama Islam saja, kerana jelas dikatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya mereka itu murtad dari agama Islam semenjak engkau tinggalkan mereka.” Tentu para khulafaurrasyidin dan sahabat secara umum itu tidak murtad menurut kesepakatan kaum muslimin. Jikalau seandainya mereka murtad tidak ada lagi syariat Islam, kerana menganggap cacat para sahabat itu, konsekuensinya adalah menganggap cacat syariat Islam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sekaligus kepada Allah Tuhan semesta alam.

Orang yang mencaci para sahabat berarti telah mencaci empat hal yang sangat penting, yaitu menganggap cacat para sahabat, syariat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Tuhan semesta alam Yang Maha Tinggi, tetapi mereka adalah kaum yang tidak memahami, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Mereka (seolah-olah orang yang) pekak, bisu dan buta; dengan keadaan itu mereka tidak dapat kembali (kepada kebenaran). 
(QS. Al-Baqarah: 2: 18)

Menganggap cacat syariat Islam, maksudnya kerana orang-orang yang meriwayatkan syariat ini kepada kita adalah para sahabat radhiyallahu anhum, jika mereka adalah murtad, padahal yang membawa syariat adalah mereka maka tidak diterima, kerana seorang yang kafir riwayatnya tidak diterima, bahkan seorang yang fasik pun tidak diterima, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya.” 
(QS. Al-Hujurât: 49: 6)

Menganggap cacat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudnya jika para sahabat Rasulullah  dianggap kafir dan fasik maka sama dengan menganggap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga demikian. Kerana kebiasaan sahabat itu seperti sahabatnya, setiap orang yang bersahabat dengan orang yang buruk akan mendapatkan cap buruk, seperti ungkapan, “fulan itu tidak baik kerana sahabatnya fulan dan fulan orang yang tidak baik.” Mencaci seorang sahabat sama halnya mencaci orang yang menjadi sahabatnya.

Menganggap cacat Allah Tuhan semesta alam maksudnya sangat jelas sekali, kerana yang membawa risalah kenabian yang paling mulia ini adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan mereka adalah para sahabatnya, Allah Ta'ala memilih para sahabat ini menjadikan sahabat Nabi terpilih ini. Jika mereka dianggap telah murtad maka jelas sama saja mencaci Allah Ta'ala. Dengan demikian kita yakin bahwa ini adalah fitnah yang besar terhadap para sahabat radhiyallahu anhum dan merupakan permusuhan kepada Allah, Rasul-Nya dan syariat-Nya. Tidak diragukan lagi kita sangat mencintai semua sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga Nabi yang beriman, kerana mereka memiliki dua hak; hak iman dan hak kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu imbalan pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan.” (QS. Asy-Syura: 42: 23)

Menurut salah satu tafsir, “Kecuali agar kalian mencintai kerabatku,” dalam tafsir lain disebutkan, “Kecuali agar kalian mencintai aku kerana kedekatanku dengan kalian.”

Yang jelas, hadits ini tidak memberi peluang kepada kelompok sesat Syiah Rafidhah yang mencaci para sahabat radhiyallahu anhum. Yang dimaksud dalam hadits ini adalah para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang murtad saja. Adapun yang tetap dalam Islam menurut kesepakatan kaum muslimin mereka adalah muslim tidak termasuk ke dalam hadits ini. Atau pendapat lain yang mengatakan bahwa hadits ini umum, kemudian di khususkan oleh kesepakatan kaum muslimin semua sahabat yang tidak murtad ,dan yang dimaksudkan hadits ini adalah orang-orang murtad yang diperangi oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu dan kebanyakan mereka kembali kepada Islam.

Hadits no 166.
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ عَبْدِ اللهِ بْنِ مُغَفَّلٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَن الْخَذْفِ وَقَالَ: « إِنَّهُ لَا يَقْتُلُ الصَّيْدَ، وَلَا يَنْكَأُ الْعَدُوَّ، وَإِنَّهُ يَفْقَأُ الْعَيْنَ، ويَكْسِرُ السِّنَّ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ: أَنَّ قَرِيْبًا لِابْنِ مُغَفَّلٍ خَذَفَ، فَنَهَاهُ وَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الخَذْفِ وَقَالَ: « إِنَّهَا لَا تَصِيْدُ صَيْدًا » ثُمَّ عَادَ فَقَالَ: أُحَدِّثُكَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى عَنْهُ، ثُمَّ عُدْتَ تَخْذِفُ؟ لَا أُكَلِّمُكَ أَبَدًا.
Daripada Abu Sa'id Abdullah bin Al- Mughaffal radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang khadzaf (melempar batu atau lastik) dan bersabda, “Kerana cara itu tidak bisa membunuh binatang buruan dan tidak dapat melukai musuh tetapi hanya akan membuat mata buta dan mematahkan gigi.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6220 dan Muslim no. 1954]

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa kerabat Ibnu Mughaffal ada yang melakukan hal ini, kemudian ia melarangnya dan berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang khadzaf ini dengan bersabda, “Sesunguhnya khadzaf ini tidak bisa membunuh binatang buruan, tetapi ia kembali bermain lagi dan ia menegurnya kembali, “Aku telah sampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, tetapi kamu masih melakukannya juga. Mulai sekarang aku tidak akan berbicara lagi denganmu selamanya.”

[Shahih Muslim no. 1954. Ibnu Majah dalam Sunan-nya no. (17/3226). Ahmad Al-Musnad no. 5/55]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan sebuah riwayat dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah melarang untuk bermain ketapel (lastik) dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Kerana cara itu tidak bisa membunuh binatang buruan, dan riwayat lain, “Tidak bisa untuk berburu dan tidak bisa melukai musuh tetapi hanya akan membuat mata buta dan mematahkan gigi.”

Al-Khadzaf menurut para ulama adalah, seseorang meletakkan batu atau kerikil di antara jari telunjuk dan ibu jari kemudian dipentalkan oleh ibu jari atau jari telunjuk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perbuatan ini dengan alasan berbahaya dan bisa membutakan mata apabila mengenainya atau mematahkan gigi. Di samping itu tidak bisa untuk membunuh binatang buruan, dan tidak dapat menghalau musuh. Kerana musuh itu hanya dapat dihalau dengan anak panah bukan dengan batu kerikil yang kecil ini.

Kemudian salah satu kerabat Ibnu Mughaffal ada yang melakukan tindakan ini, kemudian ia melarangnya, ia menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, tetapi ia masih tetap melakukannya. Maka ia berkata lagi, “Aku telah sampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, tetapi kamu masih melakukannya juga, maka aku tidak akan berbicara denganmu selamanya.” Ia menjauhi kerabatnya itu kerana sikapnya yang menyalahi larangan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti halnya sikap Abdullah bin Umar dalam menyikapi salah seorang anaknya ketika ia menegurnya dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا تَمْنَعُوْا إِمَاءَ اللهِ مساجِدَ اللهِ

“Jangan kalian larang para wanita hamba Allah untuk pergi ke masjid Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 422]

Tetapi Bilal salah satu anaknya berkata, “Demi Allah, aku akan melarangnya,” kerana wanita telah berubah kondisinya sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula masyarakat juga telah berubah, kemudian Abdullah bin Umar radhiyalahu anhu menghampirinya dan marah besar seraya berkata, “Aku sampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kamu berkata, “Demi Allah, aku akan melarangnya?”

Kemudian ia tidak mengajak bicara sehingga ia meninggal. Hal ini menunjukkan betapa besarnya perhatian para generasi salafush-shalih dalam mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Begitu juga dengan Abdullah bin Mughaffal, ia berjanji untuk tidak berbicara dengan kerabatnya ini kerana ia tetap melakukan larangan ini padahal telah diingatkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibnu Umar menjaga jarak dengan anaknya hingga ia meninggal kerana mengatakan, “Demi Allah, aku akan melarangnya,” padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka untuk mendatangi masjid. Demikian setiap mukmin hendaklah menghormati sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tetapi jika ada yang bertanya, “Apakah urusannya sebesar ini, mendiamkan hingga ia meninggal? Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seorang muslim didiamkan lebih dari tiga hari?”

Jawabannya adalah perlakuan dua orang sahabat ini adalah termasuk ta'zir (hukuman) untuknya, kalau tidak, seorang mukmin yang melakukan suatu dosa kemudian bertaubat maka Allah mengampuni dosa yang telah lampau. Bahkan seorang kafir jika ia memeluk Islam, dan bertaubat maka semua dosanya yang lampau diampuni.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu. (Abu Sufyan dan kawan-kawannya), “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (QS. Al-Anfaal: 8: 38) yaitu semua dosanya yang telah lampau diampuni.

Dua sahabat ini melakukan yang demikian kerana untuk menghukum orang yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik perkataan atau perbuatannya, walaupun menyelisihinya itu dengan ijtihad. Sebab, Bilal bin Abdullah bin Umar mengatakan itu berdasarkan ijtihadnya, tidak diperbolehkan seseorang menyalahi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam secara zhahir suatu dalil. Kalau ia mengatakan, “Bisa jadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka kerana orang-orang pada zaman itu shalih, tetapi sekarang telah berubah,” tentu akan lebih baik.

Dengan demikian Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang diperbuat para wanita sepeninggalnya, pasti melarang mereka datang ke masjid.”

[Shahih Al-Bukhari no. 869 dan Muslim no. 445]

Sebagaimana wanita Bani Israil dilarang datang ke tempat ibadah meraka.

Tetapi yang pasti perlakuan kedua sahabat, Abdullah bin Al-Mughaffal dan Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma ini menunjukkan betapa besarnya penghormatannya kepada As-Sunnah. Setiap orang harus mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat” di hadapan hukum Allah dan Rasul-Nya.

Hadits no 167.
وَعَنْ عَابِسِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ: رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، يُقَبِّلُ الْحَجَرَ يَعْنِي الْأَسْوَدَ وَيَقُولُ: إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ مَا تَنْفَعُ وَلَا تَضُرُّ، وَلَوْلاَ أَنِّي رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada 'Abis bin Rabi'ah ia berkata, “Aku pernah melihat Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu mencium Hajar Aswad dan ia berkata, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan mudharat, seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu maka aku tidak akan menciummu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1597 dan Muslim no. 1270]

Penjelasan.

Hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu dalam bab perintah mengikuti sunnah dan adab-adabnya. Suatu ketika Umar radhiyallahu anhu melakukan thawaf mengelilingi Ka'bah kemudian ia mencium Hajar Aswad. Sebagaimana kita ketahui bahwa batu adalah bagian dari bumi, tetapi batu ini dijadikan sebagai bagian dari ibadah, Allah Ta'ala mensyariatkan para hamba-Nya untuk menciumnya sebagai kesempurnaan ketundukan kepada-Nya. Oleh kerana itu Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu berkata ketika mencium Hajar Aswad, “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu hanyalah batu yang tidak dapat memberi manfaat dan tidak pula mendatangkan mudharat.” Benar kata Umar bin Al-Khaththab, bahwa batu ini tidak memberi manfaat dan mudharat sedikit pun, kerana manfaat dan mudharat hanya milik Allah Ta'ala, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan segala sesuatu. Dia melindungi dan tidak ada yang dapat dilindungi (dari adzab-Nya), jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “(Milik) Allah.” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 88-89)

Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu menjelaskan, bahwa ia mencium Hajar Aswad kerana mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seandainya aku tidak melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu maka aku tidak akan menciummu.” Aku menciummu hanya kerana mengikuti sunnah, tidak mengharap manfaat atau takut mudharat, hanya saja kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan itu. Oleh kerana itu tidak disyariatkan mencium Ka'bah yang mulia kecuali Hajar Aswad ini saja. Adapun Rukun Yamani disyariatkan untuk memberi  lambaian atau mengusapnya tanpa menciumnya. Hajar Aswad ini disyariatkan untuk dicium, diusap dengan tangan kanan. Jika tidak mungkin menciumnya diusap dan mencium tangan. Jika tidak mungkin cukup memberi isyarat dengan sesuatu atau dengan tangan tetapi tidak menciumnya kerana tidak menyentuh Hajar Aswad.

Adapun rukun yang lain yaitu rukun Asy-Syamy dan Al-'Iraqy yang terletak di tenggara dan barat daya tidak disyariatkan untuk dicium atau usap, kerana keduanya tidak termasuk dasar yang diletakkan oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam, kerana kaum Quraisy ketika ingin membangun Ka'bah yang mulia ini (membangun semula akibat banjir besar rujuk Kitab Sirah Nabawiyah Ar-Raheeq Al-Makhtum) mereka mengatakan “Kita tidak akan membangunnya kecuali dengan harta yang halal, bukan dengan harta riba.” Perhatikanlah bagaimana Allah memuliakan rumah-Nya ini, hingga orang-orang kafir Quraisy yang membangunnya dengan harta yang baik. Mereka tidak cukup membangunnya pada dasar yang diletakkan oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam, tetapi berfikir dari sisi mana ia menambahnya. Akhirnya mereka menambahnya dari sisi utara kerana sisi Yamani yang terletak pada arah selatan terdapat Hajar Aswad, maka tidak mungkin kita tambahkan dari sisi Hajar Aswad ini, tetapi kedua rukun itu bukan termasuk dasar yang diletakkan oleh Nabi Ibrahim 'alaihissalam, oleh kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencium dan tidak pula mengusap rukun yang terletak pada arah tenggara dan barat daya ini.

Pada suatu ketika Muawiyah radhiyallahu anhu melakukan thawaf sekeliling Ka'bah bersama Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma kemudian Muawiyah mengusap semua rukun, yaitu Hajar Aswad, rukun Yamani dan kedua rukun yang terletak pada arah utara dan barat, kemudian Ibnu Abbas menegurnya, “Bagaimana engkau mengusap dua rukun yang terletak di arah utara? Sementara Rasulullah hanya mengusap Hajar Aswad dan Rukun Yamani.”

Kemudian Muawiyah menjawab, “Semua bagian Rumah Allah ini adalah mulia.” Kemudian Ibnu Abbas menegurnya kembali, “Apakah engkau tidak mengetahui kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengusap dua rukun, yaitu Hajar Aswad dan Yamani?” Maka Muawiyah berkata, “Anda benar,” dan ia kembali mengakui kesalahannya. Para Khalifah terdahulu walaupun mereka ini seperti raja tetapi mereka sangat mudah menerima kebenaran. Akhirnya mereka meninggalkan perbuatan yang tidak sesuai dengan sunnah.

Hadits dari Umar ini menunjukkan betapa bodohnya orang-orang yang berdiri di depan rukun Yamani dengan membawa anak kemudian mengusapnya dan diusapkan pada anaknya itu mengharap berkah darinya. Begitu juga kalau mereka bisa menggapai Hajar Aswad mereka akan melakukan hal itu. Tentu perbuatan ini adalah bid'ah bahkan mengandung unsur syirik, (Jika mengusap Rukun Yamani bagian dari Ka'bah untuk mengharap berkah dikatakan bid'ah apalagi orang yang mengusap dan meminta berkah kuburan para syaikh, tentu mereka ini adalah lebih buruk dan lebih sesat. Hanya kepada Allah kita mengadu) kerana mereka menjadikan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan itu sebagai sebab. Sementara kaidahnya adalah setiap orang yang menjadikan sesuatu sebagai sebab sesuatu tanpa seizin syariat maka termasuk bid'ah.

Oleh kerana itu kewajiban setiap orang yang melibat hal ini untuk menasihatinya, mengatakan, “Ini tidak disyariatkan,” termasuk perbuatan bid'ah. Sehingga orang-orang tidak mengira bahwa Hajar Aswad ini dapat memberi manfaat dan mudharat yang membuat hatinya terikat dengannya. Yang penting bahwa Umar bin Al-Khaththab menjelaskan bahwa ia melakukannya untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalau tidak, ia sangat mengetahui kalau batu itu tidak dapat memberi manfaat atau mudharat sedikit pun.

Hal ini sebagai dalil bahwa kesempurnaan ibadah seseorang kepada Allah itu kerana ketundukannya kepada Allah Ta'ala, baik mengetahui hikmah disyariatkannya suatu ibadah atau tidak. Seorang mukmin itu hendaknya ketika syariat mengatakan kerjakan, ia mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat,” jika ia mengetahui hikmahnya maka ia telah mendapatkan cahaya di atas cahaya dan kalau tidak mengetahui maka hikmah itu yang mengetahui hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 36)

Ketika Aisyah radhiyallahu 'anha ditanya kenapa wanita disuruh untuk mengqadha puasa tetapi tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat?, ia menjawab, “Dahulu kami begitu juga, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.” Seolah Aisyah menjawab, “Kewajiban seorang mukmin itu hanya untuk mengamalkan syariat baik mengetahui hikmah atau tidak, inilah sikap yang benar.”
________________________________________

Catatan.

93. Maksudnya adalah iman yang sempurna. Imannya masih tetap ada hanya saja tidak sempurna selama tidak melakukan perbuatan yang menyebabkan keluar dari Islam, seperti menentang, enggan, sombong, menghina syariat Allah, atau menganggap hukum positif lebih baik daripada hukum Allah. Tetapi jika meninggalkan hukum Allah dan tetap meyakininya yang terbaik dan paling sempurna, tetapi ia berdalih dengan dalih-dalih yang tidak berdasar, seperti orang yang mengedepankan syawat dan maksiat, hukumnya adalah kafir ashghar (kecil) yang tidak mengeluarkannya dari Islam dan berdosa besar, inilah pendapat para ulama salaf yang tertera dalam kitab-kitab aqidah dan tafsir mereka.

Adapun pendapat lain yang mengatakan bamhwa mereka yang berhukum yang hukum selain Allah adalah kafir tanpa syarat adalah menyalahi pemahaman ulama salaf dan mengikuti pemahaman kaum khawarij dan mu'tazilah. Mereka berdalih bahwa pendapat inilah yang menjadikan mereka meninggalkan hukum Allah.

Justru prinsip ini merupakan komitmen dengan pahaman ulama salaf yang lebih selamat dan lebih berdasar. Apakah sikap tidak mengkafirkan orang-orang yang berbuat dosa besar, minum khamar, berzina itu merupakan kelalaian atau memang seperti itu pemahaman salaf?.

Dalilnya adalah ucapan Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma yang diriwayatkan oleh Abdul Abbas radhiyallahu anhu dalam firman Allah,

“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 44) “hukumnya bukan kafir seperti mereka fahami,” sanad ini adalah shahih.

Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid lupa menyebutkan riwayat dari Atsar Ibnu Abbas dalam kitabnya “Al-Qaulul Ma'mun,” dalam riwayat lain dari Thawus ia berkata, “Saya bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai ayat ini, “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah apakah hukumnya kafir?” Ibnu Abbas menjawab, “Ia kafir, tetapi tidak seperti kafirnya orang mengingkari Allah, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir.” Kami tidak mengetahui perbedaan pendapat di antara para sahabat dari Ibnu Abbas ini dalam menafsirkan ayat ini, dan jika sahabat mengatakan suatu pendapat dan tidak bertentangan dengan pendapat sahabat yang lain disebut dengan ijma' sukuti (kesepakatan para sahabat kerana mendiamkan), dan menurut mayoritas ulama sebagai dalil.

Hal ini dikuatkan oleh doa Rasulullah untuk Ibnu Abbas untuk memahamkan agama dan mengajarkan takwil. Begitu juga Umar mengambil pendapatnya mengenai tafsir surat An-Nasr daripada kebanyakan sahabat yang mengikuti perang Badar sebagaimana dalam hadits shahih. Untuk lebih luas dalam masalah ini bisa merujuk kitab “berhukum dengan selain hukum Allah dan dasar-dasar mengkafirkan orang lain sesuai dengan Al-Qur'an, As-Sunnah dan pendapat ulama salaf,” karya syaikh Khalid Al-anbari hafizhullah, beliau sangat menentang kelompok-kelompok yang mengkafirkan, khususnya di Mesir. Beliau menjelaskan dalil-dalil yang kuat menyebutkan banyak perkataan para ulama salaf yang menunjukkan kesepakatan mereka dalam firman Allah ini, yaitu barang siapa yang berhukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah tetapi tidak menolak, tidak menyakini di dalam hatinya bahwa hukum selain hukum Allah lebih baik, tetapi ia berdosa besar dan tetap berada dalam bingkai Islam. Adapun orang yang menyakini dalam hati bahwa hukum selain Islam itu lebih baik maka ia telah masuk ke dalam kubangan kufur besar yang mengeluarkannya dari bingkai Islam walaupun ia tidak melakukannya. Barangsiapa yang mengatakan bahwa zina itu halal dan tidak apa-apa, hukumnya kafir besar keluar dari Islam walaupun ia tidak berzina.

Dan yang perlu diperhatikan bahwa mengkafirkan seseorang itu memerlukan bukti-bukti dan syarat-syarat yang menguatkan bahwa orang ini kafir. Menghukumi hal ini tidak bisa muncul dari pribadi tetapi harus dari sepakatan para ulama yang mendalam ilmunya.

Begitu pula kitab Syaikh Hasan Abdullah Al-Hamid yang berjudul “At-Tahdzir min Fitnatil At-Takfir” dan kitab “Shaihatu Nadzir min Hathari At-Takfir,” dalam kedua kitab ini terdapat pelajaran sangat penting, semoga Allah memberi bimbingan-Nya kepada kita untuk selalu mengikuti jejak ulama salaf dan menjauhkan pendapat yang sesat ini.

94. Perkataan Syaikh ini seolah mengeneralisir, tetapi maksudnya terdapat pembagian yang lebih terinci seperti dalam penjelasan lain dalam fatwa-fatwanya. Di antaranya adalah penjelasana Syaikh mengenai pendapat Syaikh Al-Albani dan Bin Baaz mengenai masalah ini yaitu: “Hukum kafir bagi yang meyakini hukum positif, adapun yang berhukum dengan selain Islam kerana maksiat hukumnya bukan kafir, kerana tidak meyakini bahwa selain hukum Allah adalah lebih baik, tetapi kerana motif takut, lemah dan sebagainya. Firman Allah Ta'ala,

“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 44)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zhalim.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 45)

“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasik.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 47)

Ketiga ayat ini terpahami menjadi tiga tingkatan:

1. Barangsiapa yang berhukum dengan selain hukum Allah menggantikan hukum Allah maka hukumnya kafir yang mengeluarkannya dari Islam, “Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang fasik,” jadikan dirinya pembuat syariat selain Allah, dan juga benci terhadap syariat Allah.

2.  Barangsiapa yang berhukum selain hukum Allah kerana hawa nafsu, takut atau yang lainnya, hukumnya tidak kafir.

3. Barangsiapa yang berhukum dengan selain Allah kerana memusuhi dan zhalim, seperti orang yang menetapkan hukum bagi seseorang dengan selain hukum Allah kerana motif dendam dengannya maka ia dikatakan zhalim.

Dengan demikian masing-masing memiliki sifat yang membedakan. Yang harus difahami adalah istilah “mengganti hukum Allah” menurut pemahaman ulama salaf. Ibnu Al-Araby telah menjelasakan dalam tafsirnya “Ahkaamul Qur'an” (2/624): yaitu menggantikan hukum Allah dengan selainnya, tindakannya ini menyebabkannya kafir, tetapi ketika motif berhukumnya kerana hawa nafsu dan maksiat maka itu termasuk dosa yang dapat diampuni dengan taubat menurut pendapat Ahlussunnah. Hal ini sesuai dengan sebab turunnya ayat ini yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari no. 6336, Muslim no. 3211, mengenai dua orang yahudi yang berzina dan bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukum keduanya, mereka mengatakan, “Di dalam kitab Taurat orang yang berbuat demikian dipermalukan dan dicambuk.” Kemudian Ibnu Salam berkata, “Kalian berdusta, sungguh hukum di dalamnya adalah rajam.” Kemudian mereka mengambil Taurat dan berusaha menyembunyikan ayat rajam ini.

Seperti inilah yang termasuk orang-orang yang menggantikan hukum Allah dengan hukum buatan manusia dan mengklaim dari hukum Allah, adapun orang yang meninggalkan hukum syariat dengan yang lainnya tanpa mengklaim bahwa hukum ini adalah hukum Allah maka terdapat uraian yang lebih rinci menurut pendapat ulama salaf sebagaimana yang telah kita bahas, mereka ini tidak termasuk mengganti hukum Allah. Agar lebih mendalam rujuklah kitab tafsir “Ahkaamul Qur'an” karya Al-Jashash (2/439) atau Fatawa Ibnu Taimiyah (7/312).

95. Yaitu iman yang sempurna sebagaimana yang telah kita jelaskan, begitu juga dijelaskan oleh Syaikh setelahnya.

96. Sesuai dengan yang kita jelaskan, Alhamdulillah, yang dimaksudkan “sengaja” menurut Syaikh adalah seorang yang meyakini bahwa hukum selain Islam lebih baik darinya, adapun sengaja berhukum dengannya kerana kecintaan ya terhadap jabatan, takut kehilangan jabatan, harta dan sebagainya, maka termasuk maksiat yang besar, tidak sampai kafir yang mengeluarkannya dari Islam.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...