Khamis, 18 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 17. Kewajiban Melaksanakan Hukum Allah Ta'ala.

Allah ﷻ berfirman:
۞فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا۞
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisâ: 4: 65)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ۞
“Hanya ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata, “Kami mendengar dan kami taat.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
(QS. An-Nur: 24: 51)

Dalam bab ini terdapat beberapa hadits di antaranya adalah hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan pada bab sebelumnya. (Lihat hadits no. 156) Dan hadits yang lain adalah:

Hadits 168.
عَنۡ أَبِيْ هُرَيۡرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: لَمَّا نَزَلَتۡ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: للهِ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلۡأَرۡضِ ۗ وَإِن تُبۡدُوا۟ مَا فِىٓ أَنفُسِكُمۡ أَوۡ تُخۡفُوهُ يُحَاسِبۡكُم بِهِ ٱللَّهُ ۖ فَيَغۡفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَآءُ ۗ وَٱللهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ قَدِيرٌ، ٢٨٤، الآ ية [البقرة: ٢٨٤] اِشۡتَدَّ ذٰلِكَ عَلَى أَصۡحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فأَتَوۡا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ بَرَكُوا عَلَى الرُّكَبِ فَقَالُوا: أَيۡ رَسُوْلَ اللهِ كُلِّفۡنَا مِنَ الۡأَعۡمَالِ مَا نُطِيْقُ: الصَّلَاةَ وَلْجِهَادَ وَالصِّيَامَ وَالصَّدَقَةَ، وَقَدِ اُنۡزِلَتۡ عَلَيۡكَ هَذِهِ الۡآيَةُ وَلَا نُطِيْقُهَا. قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتُرِيْدُوْنَ أَنۡ تَقُولُوْا كَمَا قَالَ أَهۡلُ الۡكِتَابَيۡنِ مِنۡ قَبۡلِكُمۡ: سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا؟ بَلۡ قُولُوْا: سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَا غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ الۡمَصِيرُ فَلَمَّا اقْتَرَأَهَا الْقَومُ، وَذَلَقَتْ بِهَا أَلْسِنَتُهُمْ، أَنَزَلَ اللهِ تَعَالَى فِي إِثْرهَا‏:‏ ءَ‏‏امَنَ الرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ مِن رَّبِهِ وَالمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللهِ وَمَلَـٰٓئكَتِهِ وَكُتبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِّن رُّسُلِهِ وَقَالُواْ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِير‏ُ، ٢٨٥

فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ نَسَخَهَا اللهُ تَعَالَى، فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ‏:‏ ‏لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَآ إِن نَسِينَآ أَوْ أَخْطَأْنَا‏‏ قَالَ‏:‏ نَعَمْ

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ إِصْرًا كَمَا حٓمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِنَا ‏ قَالَ‏:‏ نَعَمْ

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ‏ قَالَ‏:‏ نَعَمْ

 ‏وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَآ أَنتَ مَوْلَـٰنَا فَانصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَـٰفِرينَ، ٢٨٦ ‏‏ قَالَ‏:‏ نَعَمْ‏. ‏رَوَاهُ مُسْلِمٌ‏‏‏.‏
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Ketika turun firman Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu. Dia mengampuni siapa yang Dia kehendaki dan mengadzab siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 284)

Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, merasa berat dengan ayat ini, mereka kemudian mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersimpuh dan berkata, “Wahai Rasulullah kami diberi beban amalan yang kami mampu menunaikannya seperti shalat, jihad, puasa dan sedekah, tetapi ayat yang turun ini kami tidak mampu menunaikannya!” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian ingin seperti dua kaum Ahlul Kitab sebelum kalian yang mengatakan, “Kami mendengar dan kami menyelisihi?” Tetapi katakan, “Kami mendengar dan kami mentaatinya, ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Dan ketika para sahabat sering membacanya dan lisan mereka terbiasa dengannya, lalu Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya setelahnya,

“Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhan-Nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan mereka berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” (QS. Al-Baqarah: 2: 285)

Dan setelah mereka melaksanakannya Allah menurunkan firman-Nya yang menasakh (menghapus) ayat tersebut, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatannya) yang dikerjakannya.” (Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” Allah berfirman, “Ya.” “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.” Allah berfirman, “Ya.” “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.” Allah berfirman, “Ya.” “Beri maaflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkau penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Allah berfirman, “Ya.”

[Shahih Muslim no. 125, 126]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab, “Kewajiban Melaksanakan Hukum Allah Ta'ala.” Dua ayat yang telah kita bahas pada bab sebelumnya. Yaitu firman Allah Ta'ala,

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. An-Nisâ: 4: 65)

Kemudian menyebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya para sahabat radhiyallahu anhum ketika turun ayat,

“Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkan (tentang perbuatan itu) bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 284)

Mereka merasa berat dengan tuntutan ayat ini, kerana khayalan dan keinginan yang terbetik dalam hati itu sangat luas tidak ada batasnya. Setan selalu mendatangi dan membisikkan ke dalam jiwa manusia untuk berbuat kemungkaran, baik bersangkutan dengan masalah dunia, agama, jiwa, harta dan berbagai masalah yang dibisikkan setan ke dalam hati manusia, tetapi Allah Ta'ala berfirman,

“Jika kamu nyatakan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu sembunyikan, niscaya Allah memperhitungkannya (tentang perbuatan itu) bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 284)

Kalau demikian kebanyakan manusia akan binasa.

Para sahabat mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berlutut dihadapannya kerana betapa beratnya urusan mereka, dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, Allah Ta'ala telah memerintahkan kita dan kita mampu melaksanakannya seperti shalat, jihad, puasa dan sedekah tetapi ayat ini sungguh sangat berat, tidak ada seorang pun yang kuat untuk menghalangi jiwanya dari angan dan pikiran yang kalau semuanya dihitung kami semua akan binasa.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kalian ingin seperti dua kaum Ahlul Kitab sebelum kalian yang mengatakan, “Kami mendengar dan kami menyelisihi,” yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani, kitab kaum Yahudi adalah Taurat yaitu kitab suci yang paling mulia setelah Al-Qur'an dan kitab kaum Nasrani adalah Injil sebagai penyempurna Taurat, tetapi mereka menyalahi para nabi mereka, “Kami mendengar tetapi kami menyalahinya.” Apakah kalian ingin seperti mereka? “Kami mendengar dan kami mentaatinya, ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.”

Seperti inilah kewajiban seorang muslim ketika mendengar perintah Allah dan Rasul-Nya, “Kami mendengar dan kami menaatinya” menunaikannya semampunya, kerana Allah tidak membebani sesuatu kecuali sekemampuannya.

Banyak orang sekarang yang bertanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan demikian, apakah wajib atau sunnah? Kewajiban anda adalah jika Rasulullah memerintahkan sesuatu untuk melakukannya, jika sesuatu itu wajib maka anda telah terlepas dari tanggungjawab, tetapi jika sunnah anda telah mendapatkan pahala kebaikan. Adapun yang mengatakan apakah wajib atau sunnah kemudian berhenti tidak melaksanakannya setelah mengetahuinya, hanyalah orang pemalas tidak cinta pada amal shalih, kerana seorang yang cintai amal kebajikan itu setiap kali mengetahui perintah Allah dan Rasul-Nya mengatakan, “Kami mendengar dan kami mentaatinya, kemudian melaksanakannya, tidak mempertanyakan apakah wajib atau sunnah.” Maka dari itu tidak ditemukan seorang sahabat pun yang mendapatkan perintah dari Allah dan Rasul-Nya mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah perintah ini wajib atau sunnah?” Kami belum pernah mendengar hal ini. Tetapi mereka mengatakan, “Kami mendengar dan kami mentaatinya, kemudian melaksanakannya.”

Laksanakanlah setiap perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik wajib atau yang bukan. Jika ada seorang yang mempertanyakan apakah perintahnya ini wajib atau sunnah hendaknya dijawab, “Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan.”

Kita menyaksikan bagaimana Ibnu Umar radhiyallahu anhu memperlakukan anaknya Bilal bin Umar ketika diingatkan dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah untuk mendatangi masjid.” Tetapi kondisi masyarakat telah berubah sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian ayahnya memarahinya kenapa ia mengatakan, “Demi Allah aku akan melarangnya,” sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah untuk mendatangi masjid.” Kerana sikap yang menyelisihi Rasulullah ini ayahnya mendiamkan anaknya sendiri sehingga ia meninggal.

Hal ini menunjukkan betapa besar perhatian dan penghormatan para sahabat terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya. Tetapi pada zaman sekarang ini mempertanyakan apakah perintahnya ini wajib atau sunnah, kalau larangan apakah haram atau makruh. Tetapi jika memang terjadi hendaknya juga menanyakan apakah dosa atau tidak, agar dapat memperbaharui taubat jika berdosa dan dapat hidup tenang ketika tidak. Yang jelas dilarang adalah menanyakan apakah perintah ini wajib atau sunnah, sebagaimana adab para sahabat radhiyallahu anhum bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka melaksanakan setiap yang diperintahkan dan meninggalkan setiap yang dilarang.

Walaupun demikian kami perlu menyebutkan kabar gembira dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya Allah tidak mencatat setiap yang terbetik dalam pikiran manusia selama belum dilaksanakan atau diucapkan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2528, 5269, 6664 dan Muslim no. 127]

Segala puji bagi Allah, kini sesuatu yang memberatkan ini telah dihapuskan, setiap yang terbetik dalam hati selama tidak terungkap dalam kata-kata atau dalam perbuatan, Allah memaafkannya walaupun sebesar gunung. segala puji bagi Allah.

Sehingga para sahabat mengungkapkan kegembiraannya, “Wahai Rasulullah kami lebih senang daripada menjadi arang yang menyala dan kami tidak membicarakannya,” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah keimanan yang benar.”

[Shahih Muslim no. 132]

Itulah keimanan yang paling ikhlas, kerana setan selalu membisikkan bisikan-bisikan ke dalam hati manusia yang kosong dan ragu. Semoga Allah menjaga kita dari godaan setan yang terkutuk.

Ketika Ibnu Abbas atau Ibnu Mas'ud ditanya, “Kenapa orang Yahudi ketika sembahyang tidak diganggu oleh setan?” Ia menjawab, “Untuk apa setan mengganggu hati yang kafir, setan tidak mengganggu sembahyang mereka kerana pada dasarnya batil, tetapi setan mengganggu seorang muslim yang shalatnya yang benar untuk merusak shalatnya itu, ia selalu mendatangi seorang muslim yang benar imannya kemudian merusak keimanannya ini.”

Segala puji hanya milik Allah yang telah memberikan obatnya melalui Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu agar kita selalu berlindung kepada Allah setiap kali merasakan suatu bisikan setan ini. Mengucapkan doa taawudz, tidak menengok dan tidak menghiraukannya, tetaplah pada prinsip yang benar, maka setan tidak mendapatkan celah untuk menggoda hati seorang mukmin yang ikhlas ini, kemudian akan putus asa dan kembali.

Setelah para sahabat sering membaca, “Kami mendengar dan kami mentaatinya, ampunilah kami wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali,” Kemudian membiasakannya di hati dan lidah mereka, Allah Ta'ala menurunkan ayat,

Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya.” (Mereka berkata), “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Dan berkata, “Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada-Mu tempat (kami) kembali.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 285)

Allah menjelaskan pujian-Nya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang orang-orang mukmin kerana mereka mengatakan, “Kami mendengar dan kami mentaatinya wahai Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” Kemudian Allah menurunkan ayat,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari kebajikan yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” (QS. Al-Baqarah: 2: 286)

Allah tidak membebankan sesuatu di luar kemampuan manusia, seperti godaan bisikan setan yang menyerbu hati, selama tidak mengikutinya dan mengatakan atau melakukannya maka tidak masalah, kerana di luar kemampuannya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 2: 286)

Terkadang setan membisikkan sesuatu perbuatan dosa besar, tetapi setelah berlindung kepada Allah bisikan itu hilang, “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami jika lupa atau kami tersalah.” Allah Ta'ala berfirman, “Ya, Kami tidak akan menghukummu jika kalian lupa atau tersalah,” “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.” Allah Ta'ala berfirman, “Ya,” oleh kerana itu Allah Ta'ala berfirman mengenai Rasul-Nya,

“Dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.”
(QS. Al-A'râf: 7: 157)

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya.” Allah berfirman, “Ya.”

Dengan demikian Allah Ta'ala tidak akan membebankan kepada hamba-Nya di luar kemampuan manusia, jika tidak bisa melakukan sesuatu diganti dengan suatu keringanan dan kalau tidak ada keringanan maka dianggap telah gugur. Allah Ta'ala berfirman, “Ya, tidak akan membebankan sesuatu di luar kemampuan manusia. “Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami, Engkaulah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Allah Ta'ala berfirman, “Ya.”

“Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan  rahmatilah kami.” Tiga kalimat ini memiliki makna masing-masing, beri maaflah kami dari kekurangan menunaikan kewajiban, “ampunilah kami,” dari pelanggaran kami melakukan yang haram, “dan rahmatilah kami,” mohon tunjuki kami untuk menunaikan amal shalih. Maka seseorang yang meninggalkan kewajiban hendaknya selalu berdoa, “beri maaflah kami,” dan jika melanggar yang haram hendaknya memperbanyakan doa, “ampunilah kami,” dan meminta untuk diteguhkan dalam kebaikan memperbanyakan doa, “dan rahmatilah kami.” Inilah tiga kalimat yang masing-masing memiliki arti yang berbeda.

“Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami, Engkaulah penolong kami,yaitu yang mengurus segala urusan kita di dunia mahupun di akhirat, Dia jugalah yang menolong kita di dunia dari orang-orang kafir, “Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.” Tentunya maksud musuh ini adalah orang-orang kafir, tetapi maknanya lebih umum yang mencakup setan, kerana setan adalah pemimpin orang-orang kafir.

Dari ayat yang terakhir ini dapat dipetik pelajaran bahwa Allah Ta'ala tidak membebankan sesuatu di luar kemampuan kita. Segala bisikan yang terlintas di dalam hati, jika kita tidak merasa cenderung dan tenang dengannya, maka Allah tidak mencatatnya, kerana yang demikian tidak membahayakan.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...