Khamis, 18 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 18. Larangan Berbuat Bid'ah Dan Perkara-Perkara Yang Diada-Adakan.


Allah ﷻ berfirman:
۞فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلـٰلُ۞
“Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (QS. Yûnus: 10: 32)

Allah ﷻ berfirman:
۞مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ۞
“Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab.” (QS. Al-An'âm: 6: 38)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ۞
“Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 59) Yakni Al-Kitab dan As-Sunnah

Allah ﷻ berfirman:
۞وَأَنَّ هَـٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ۞
“Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 153)

Allah ﷻ berfirman:
۞قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ۞
“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 31)

Ayat-ayat Al-Qur'an tentang ini banyak sekali dan sudah diketahui.

Penjelasan.

Iman An-Nawawi rahimahullah berkata bab, Larangan Berbuat Bid'ah dan Perkara yang Diada-adakan.” Yang dimaksud dengan bid'ah adalah setiap perkara yang dibuat-buat oleh seseorang, ini adalah makna secara bahasa. Di antara yang sesuai dengan makna ini adalah firman Allah Ta'ala,

“(Allah) Pencipta langit dan bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 117)

Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya, yakni tidak ada tandingan yang mendahului-Nya pada penciptaan keduanya, tetapi Dia-lah yang membuat dan mengadakannya pertama kali.

Sedangkan bid'ah menurut definisi syar'i adalah setiap orang yang menyembah Allah Ta'ala tanpa syariat dan Dia tetapkan, baik itu dalam akidah, ucapan atau perbuatan. Barangsiapa yang menyembah Allah tanpa syariat yang ditetapkan-Nya, baik dari segi akidah, ucapan, mahupun perbuatan, maka ia adalah Mubtadi (pelaku bid'ah).

Ketika seseorang membuat sesuatu yang baru dalam akidah, umpamanya yang berkenaan dengan Asma Allah dan sifat-sifat-Nya, maka dia adalah pelaku bid'ah, atau ia mengucapkan suatu perkataan yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah seorang pelaku bid'ah atau melakukan suatu perbuatan yang tidak disyariatkan Allah dan Rasul-Nya berarti ia juga pelaku bid'ah.

Hendaklah diketahui, bahwa pelaku bid'ah akan terjerembab (terjatuh) ke dalam bahaya besar.

Pertama, bahwa apa yang ia buat-buat itu adalah sebuah kebatilan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, kerana setiap sesuatu yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang benar (Haq), sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (QS. Yûnus: 10: 32)

Inilah dalil dari Al-Qur'an adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلَّ بِدْعَةٍضَلَالَةٌ

“Setiap bid'ah adalah sesat.”

Sudah pasti bahwa seorang mukmin tidak akan memilih jalan orang-orang yang tersesat; yaitu mereka yang dinyatakan (keingkarannya) oleh orang yang shalat dalam setiap shalatnya.

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (QS. Al-Fâtihah: 1: 6-7)

Kedua, sesungguhnya dalam praktek bid'ah seseorang telah keluar dari mengikuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 31)

Jadi, barangsiapa yang melakukan perbuatan bid'ah dalam ibadahnya kepada Allah, maka dia telah keluar dari mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyariatkannya, sehingga ia telah keluar dari syariat Allah.

Ketiga, sesungguhnya bid'ah yang dilakukannya itu berarti meniadakan hakikat kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah, kerana orang yang telah menyatakan kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah, maka ibadahnya tidak akan keluar dari syariat yang telah dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan ia selalu berupaya untuk komitmen dengan syariat tersebut, tidak keluar (melebihi) dari batasannya, dan tidak juga melalaikan pelaksanaannya. Barangsiapa yang melalaikan pelaksanaan syariat atau menambahkannya, berarti ia telah lalai dalam Ittiba-nya (mengikuti Rasul), baik itu dengan cara mengurangi ataupun menambahkan. Maka, pada saat ini tidak merealisasikan kesaksiannya bahwa Muhammad adalah utusan Allah.

Keempat, sesungguhnya esensi bid'ah itu adalah mencemarkan Islam, kerana orang yang melakukan bid'ah berarti ia menganggap bahwa Islam itu belum sempurna, dialah yang menyempurnakan Islam dengan bid'ahnya ini. Allah Ta'ala berfirman,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu dan Aku telah ridhai Islam sebagai agamamu.”
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 3)

Dikatakan kepada pelaku bid'ah ini, “Sekarang kamu datang membawa syariat yang bukan menyempurnakan Islam, ini berarti pencemaran terhadap Islam, walaupun hal itu tidak keluar dari lisannya, tetapi keluar melalui perbuatannya. Di manakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Kemudian di mana para sahabat tentang ibadah yang engkau bid'ahkan ini? Apakah mereka jahil; tidak mengetahuinya? Ataukah mereka itu lalai dalam menjalankannya? Jika demikian, maka semua ini adalah pencemaran terhadap syariat Islam.

Kelima, bid'ah juga mengandung celaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana bid'ah yang dianggap sebagai ibadah ini, adakalanya rasul belum mengetahuinya, dalam keadaan ini berarti Rasulullah jahil. Ataupun Rasulullah telah mengetahuinya tetapi Rasulullah sembunyikan, dalam hal ini berarti Rasulullah telah menyembunyikan risalah, anggapan semacam ini sangatlah berbahaya sekali.

Keenam, sesungguhnya bid'ah itu mengandung perpecahan antara umat Islam, sebab jika umat Islam membuka pintunya dalam hal bid'ah, maka jadilah setiap orang itu berbuat bid'ah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana yang kita saksikan pada saat sekarang ini. Maka jadilah umat Islam itu berkelompok-kelompok, bangga dengan apa yang ada padanya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Setiap golongan mereka bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
(QS. Ar-Rûm: 30: 32)

Setiap kelompok akan berkata, “Kebenaran ada pada kami dan kesesatan ada pada yang lain.” Allah Ta'ala telah berfirman kepada Nabi-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggungjawabmu (Muhammad) atas mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizhalimi).” 
(QS. Al-An'âm: 6: 159-160)

Ketika manusia mulai melakukan bid'ah, mereka menjadi terpecah-belah dan masing-masing dari mereka mengatakan, “Kebenaran ada padaku, si fulan itu sesat dan lalai,” dia melontarkan kedustaan, kebohongan, maksud buruk dan lain sebagainya.

Kita ambil contoh pada orang-orang yang merayakan maulid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka merayakan hari yang mereka sebut sebagai hari kelahiran Rasulullah, 12 Rabi'ul Awwal. Tahukah kalian apa yang mereka katakan kepada orang yang tidak melaksanakan bid'ah itu? Mereka mengatakan, “Mereka ini membenci Rasulullah dan tidak suka kepadanya, kerananya mereka tidak bergembira dengan hari kelahirannya, tidak melaksanakan perayaan berkenaan dengan kelahirannya,” serta ucapan-ucapan yang semisalnya, kamu akan mendapati mereka melontarkan kepada Ahlul Haq bahwa merekalah yang paling benar.

Pada hakikatnya, bahwa pelaku bid'ahlah yang membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walaupun ia mengaku mencintainya, kerana apabila ia melakukan bid'ah semacam ini, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya kepada umat, maka dia seperti yang saya katakan sebelumnya, menuduh Rasulullah jahil atau menyembunyikan syariat.

Ketujuh, sesungguhnya jika bid'ah sudah tersebar di masyarakat, maka sunnah akan tenggelam (hilang), kerana manusia akan terus beraktivitas, dan aktivitasnya itu bisa saja baik bisa juga buruk, kerana sebagian ulama salaf mengatakan, “Tidaklah satu kaum melakukan kebid'ahan, niscaya mereka telah melenyapkan sebagian dari sunnah atau bahkan lebih. Bid'ah akan menyebabkan seseorang melupakan sunnah dan menenggelamkannya di antara umat Islam.”

Terkadang ada orang yang melakukan perbuatan bid'ah dengan niat yang baik, akan tetapi kebaikan hanya pada niatnya saja, dalam perbuatannya ia malah jelek. Tidak ada yang melarang untuk bertujuan baik walaupun perbuatannya jelek, tetapi wajib bagi orang telah mengetahui perbuatan jeleknya agar kembali (pada kebaikan) dan meninggalkan perbuatan tersebut, serta menggantinya dengan mengikuti sunnah yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Termasuk juga faktor yang merusak lainnya bahwa pelaku bid'ah tidak menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai landasan hukum, kerana dia menghukumi dengan nafsunya. Allah Ta'ala berfirman,

“Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya). (QS. An-Nisâ: 4: 59)

“Kepada Allah” maksudnya kembali kepada kitab-Nya, sedangkan “kembali kepada Rasul” maksudnya kembali kepada Rasul ketika masa hidupnya, juga kepada sunnahnya setelah Rasulullah wafat.

Adapun hadits-hadits dalam masalah ini banyak sekali dan sangat masyhur, kita akan meringkas sebagian di antaranya.

Hadits no. 169.
عَنْ عَائِشَةَ، رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، قَالَتْ‏:‏ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم‏َ:‏ « ‏مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ.‏ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ‏‌‏.‏ وَفيِ رِوَايَةٍ لِمُسُلِمٍ: « مَنْ عَمِلَ عمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. »
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam perkara kami (agama) ini yang tidak termasuk darinya, maka hal itu tertolak.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718]

Dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan (maksudnya perintah agama), atasnya, maka perkara itu tertolak.”

Penjelasan.

Hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, ini merupakan sebagian dari ilmu, kerana perbuatan itu ada yang nampak (zhahir), ada juga yang tersembunyi (batin). Adapun timbangan untuk perbuatan batin adalah hadits dari Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu bahwasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya perbuatan itu tergantung pada niatnya dan sungguhnya setiap seseorang berdasarkan apa yang diniatkannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907]

Sedangkan timbangan untuk perbuatan yang nampak (zhahir) adalah hadits dari Aisyah ini, “Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam perkara (agama) ini yang tidak termasuk darinya, maka hal itu tertolak,” yaitu tertolak atas pelakunya; tidak diterima.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “Perkara kami” yang dimaksud adalah agama dan syariat kami. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) rûh (Al-Qur'an) dengan perintah Kami.” (QS. Asy-Syûra: 42: 52)

Maksud “Perintah Kami” dalam hadits ini adalah agama dan syariat Allah. Barangsiapa yang memperbaharuinya dengan sesuatu yang bukan bagian darinya, maka hal tersebut tertolak. Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang sangat jelas bahwa ibadah jika tidak kita ketahui dari agama Allah, maka ibadah tersebut tertolak. Faedah yang dapat diambil dari hadits ini bahwa segala sesuatu harus berdasarkan ilmu, kerana ibadah mencakup syarat dan rukunnya atau perkiraan terkuat jika tidak memiliki pengetahuan, seperti pada beberapa hal. Misalnya shalat, jika anda ragu pada bilangannya, sedangkan perkiraan anda tertuju (yakin) pada bilangan yang lain, maka laksanakanlah apa yang anda yakini. Ataupun pada bilangan thawaf yang tujuh kali putaran, jika ragu, maka laksanakanlah pada bilangan yang anda yakini. Demikian juga dalam thaharah (bersuci), jika anda yakin bahwa anda telah menyempurnakan wudhu, maka hal itu sudah cukup bagi anda.

Hal yang terpenting bahwa segala sesuatu harus berdasarkan pada ilmu atau perkiraan yang kuat, jika dalil-dalil yang ada itu telah menunjukkan kecukupannya, jika tidak maka ibadah tertolak. Jika ibadah tertolak, maka sesungguhnya haram bagi seseorang untuk beribadah kepada Allah dengannya, kerana jika ia beribadah kepada Allah dengan ibadah yang tidak diridhai oleh-Nya dan tidak disyariatkan, maka sama saja ia memperolok-olok Allah.

Sehingga sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya manusia jika shalat dengan hal-hal yang dibuat-buat secara sengaja, maka ia keluar dari Islam (murtad), kerana ia mengejek. Lain halnya jika lupa, maka tidak ada dosa baginya dan ia harus mengulanginya.”

Pada lafazh yang kedua (riwayat Muslim), “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan atasnya, maka perkara itu tertolak,” ini lebih keras dari yang pertama, kerana ucapan, “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak kami perintahkan atasnya,” artinya kita harus mengetahui bahwa setiap amalan yang kita lakukan berdasarkan atas perintah Allah dan Rasul-Nya, jika tidak, maka tertolak. Hal ini mencakup ibadah dan muamalah, kerana jika seseorang menjual barang yang rusak, menggadaikan barang gadaian yang rusak, atau mewakafkan barang wakaf yang rusak, maka semua itu tidaklah dibenarkan, orang yang melakukannya pun tertolak dan akad tersebut tidaklah sah.

Hadits no. 170.
 وَعَنْ جَابِرٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ، وَعَلَا صَوْتُهُ، وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ، حَتَّى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُول‏ُ:‏ «‏ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ‏ » وَيقُولُ‏:‏ ‏« ‏بُعِثْتُ أَنَا وَلسَّاعَةُ كَهَاتَيْنِ ‏»‏ وَيَقْرِنُ بَيْنَ أُصْبُعَيْهِ اَلسَّبَابَةِ وَالْوُسْطَى، وَيَقُولُ‏:‏ ‏« ‏أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْىِ هَدْىُ مُحَمَّدٍ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَ⁩شَرَّ⁦ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةِ ضَلَالَةٌ‏ » ثُمَّ يَقُولُ‏:‏ ‏« ‏أَنَا أَوْلَى بِكُلِ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ‏.‏ مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا، فَإلَيَّ وَعَلَىَّ »‏ ‏رَوَاهُ مُسْلِم‏‌‏ٌ.‏
Daripada Jabir radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah maka kedua matanya matanya memerah, lantang suaranya dan kelihatan sangat marah seakan-akan Rasulullah seorang panglima yang sedang memperingatkan pasukannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Berhati-hatilah! Dari pagi sampai petang terhadap musuh yang mengancam kalian,” dan Rasulullah bersabda, “Diutusnya aku dan hari kiamat seperti dua jari ini.” Rasulullah merapatkan antara dua jarinya yaitu jari telunjuk dan jari tengah.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amma Ba'du, sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap bid'ah itu adalah sesat,” kemudian Rasulullah bersabda lagi, “Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari dirinya, barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk keluarganya dan barangsiapa yang meninggalkan hutang serta sesuatu yang hilang, maka akulah wali dan penanggung jawabnya.”

[Shahih Muslim no. 876]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menukil dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhu dalam Bab, Larangan Berbuat Bid'ah Dan Perkara-Perkara Yang Diada-Adakan.” Ia meriwayatkan hadits dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkhutbah maka kedua matanya memerah, lantang suaranya dan kelihatan sangat marah... Hal ini Rasulullah lakukan agar pengaruhnya lebih kuat terhadap audien, baginda melakukan hal ini untuk kemaslahatan. Jika tidak, maka sebagaimana telah diketahui bahwa Rasulullah adalah orang yang paling baik akhlaknya dan paling lembut perilakunya, kerana di setiap tempat itu pasti ada bahasanya sendiri-sendiri (yang tepat). Khutbah hendaknya mampu menggerakkan hati dan mempengaruhi jiwa dalam setiap materi dengan retorikanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Diutusnya aku dan hari kiamat seperti dua jari ini, Rasulullah merapatkan antara jari telunjuk dan jari tengah,” yakni di antara dua jari. Apabila anda merapatkan antara kedua jari tersebut, maka anda akan mendapatkannya saling berdekatan, tidak ada pemisah di antara keduanya kecuali hanyalah sedikit. Tidak ada celah di antara jari tengah dan telunjuk kecuali hanya sedikit, seukuran kuku atau setengahnya. Artinya bahwa masa (akhir) dunia ini begitu dekat, tidaklah jauh. Hal ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari ketika berkhutbah di depan manusia pada akhir siang, sedangkan matahari tepat berada di atas pohon kurma, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya tidaklah tersisa dari dunia kalian kecuali seperti apa yang tersisa pada hari ini.”

[Hadits Hasan, kerana ada beberapa syawahid  (riwayat pendukung lainnya) yang dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnad (2/133). Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/481) dari jalur Katsir bin Zaid dari Al-Mutallib bin Abdullah dari Ibnu Umar secara marfu'.]

Jika kenyataannya memang demikian, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekarang telah wafat, telah berlalu selama seribu empat ratus tahun yang lalu, sedangkan kiamat belum juga terjadi, ini menunjukkan bahwa dunia ini menpunyai masa yang sangat panjang, akan tetapi apa yang diperkirakan oleh ahli geologi bahwa umur dunia ini sudah berlalu milyaran tahun, ini hanyalah sebuah perkiraan yang tidak bisa dibenarkan dan didustakan (disalahkan). Kedudukannya sama dengan cerita-cerita Israiliyat, kerana kita memang tidak memiliki pengetahuan dari Al-Qur'an ataupun As-Sunnah tentang ukuran masa dunia yang telah berlalu, kita juga tidak bisa memastikan sisa masa dunia secara pasti. Bahwasanya ini hanyalah sebatas permisalan yang dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang tidak memiliki landasan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, sedangkan sesuatu itu adalah informasi yang telah berlalu, maka ini tidak bisa diterima. Hal ini terbagi menjadi tiga bagian,

Pertama, sesuatu yang disaksikan kebenarannya oleh syariat, hal ini dapat diterima dengan adanya persaksian tersebut.

Kedua, sesuatu yang disaksikan kedustaannya oleh syariat, hal ini ditolak berdasarkan persaksian syariat atas kedustaannya.

Ketiga, tidak terdapat pembenaran ataupun pendustaan dari syariat, maka dalam hal ini harus ditangguhkan, kerana hal itu bisa saja benar dan bisa juga salah (batil). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah Ta'ala,

“Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, 'Ad, Tsamud dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” 
(QS. Ibrâhîm: 14: 9)

Jika Allah telah membatasi bahwa yang memiliki pengetahuan itu hanya Dia, maka orang tidak akan mendapatkan ilmu tentangnya secara benar kecuali dari wahyu-Nya, dan tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah. Maka siapa saja mengklaim tentang sesuatu yang telah lalu, yang berhubungan dengan kemanusiaan, sifat-sifat bumi, astronomi dan sebagainya, sesungguhnya kita tidak bisa membenarkan ataupun mendustakannya, tetapi kita bisa membaginya menjadi tiga bagian seperti yang telah disebutkan.

Adapun masa depan, maka masa ini dapat di bagi menjadi:

Pertama, sesuatu yang diberitakan syariat tentang kejadiannya, hal ini pasti terjadi, seperti berita tentang muncul Ya'juj dan Ma'juj, Dajjal, turunnya Isa bin Maryam dan sebagainya, dari yang tersirat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Kedua, sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah, hal ini hanyalah perkiraan dan prasangka, bahkan tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk membenarkan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang, kerana hal tersebut merupakan ilmu ghaib, tidak ada yang dapat mengetahui sesuatu yang ghaib, kecuali Allah Ta'ala.

Yang jelas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Diutusnya aku dan terjadinya hari kiamat seperti dua jari ini,” Rasulullah mendekatkan antara jari telunjuk dan jari tengah. As-Sababah adalah jari yang ada diantara ibu jari dan jari tengah. Dinamakan As-Sababah, kerana manusia jika ingin mencaci seseorang, maka ia mengisyaratkannya dengan jari telunjuk. Dinamakan juga As-Sababah, kerana ketika manusia mengisyaratkan keangungan Allah Ta'ala, maka ia mengangkat telunjuknya dan mengarahkan ke langit.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amma Ba'du, sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah Kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap bid'ah itu adalah sesat, kalimat ini telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku lebih utama bagi setiap mukmin dari dirinya,” sebagaimana juga firman Allah Ta'ala,

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 6)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama dari dirimu dan Rasulullah selalu menyayangi dan cinta terhadap orang-orang mukmin. Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk keluarganya,” yakni jika seseorang meninggal dunia, maka hartanya itu untuk keluarganya, merekalah yang akan mewarisinya, sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya. “Sesiapa yang meninggalkan hutang atau sesuatu yang hilang,” yakni anak kecil yang kehilangan orang tuanya, “Maka itu untukku dan atas (tanggung jawab)ku,” yakni perkara mereka di atas tanggung jawabku, aku menjadi wali mereka dan hutang juga tanggung jawabku, akulah yang akan membayarkannya. Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah.

Sebelumnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada orang yang akan dishalatkan jenazahnya, lalu bertanya, “Apakah ia mempunyai hutang?” Jika mereka menjawab, “Ya,” maka Rasulullah tidak mahu menyalatkan jenazahnya. Suatu ketika didatangkan kepada Rasulullah, jenazah dari kaum Anshar, maka baginda maju untuk menyalatkannya, lalu Rasulullah bertanya, “Apakah ia menanggung hutang?” Mereka menjawab, “Ya, hutang tiga dinar,” Rasulullah pun mengurungkan niatnya dan berkata, “Shalatkanlah teman kalian.” Sehingga peristiwa ini diketahui khalayak ramai. Selanjutnya Abu Qatadah radhiyallahu anhu berdiri berkata, “Shalatlah atasnya ya Rasulullah, biar aku yang akan menanggung hutangnya.” Abu Qatadah segera melaksanakan pembayarannya, kemudian majulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menyalatkannya.

[Shahih Al-Bukhari no. 2297, 5371 dan Muslim no. 1619]

Dalam hadits ini terdapat dalil (bukti) tentang besarnya perkara hutang, oleh kerananya tidaklah pantas seseorang berhutang, kecuali jika memang terdesak. Tidaklah pantas berhutang untuk pernikahan, membangun rumah, atau untuk membeli aksesoris rumah, kerana semua itu merupakan suatu kebodohan. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.” (QS. An-Nûr: 24: 33)

Untuk nikah saja tidak diperbolehkan berhutang, apalagi untuk hal lain-lainnya yang tidak penting.

Banyak sekali orang-orang bodoh yang berhutang hanya untuk membeli hamparan untuk tangga atau tilam untuk ruangan atau pintu garasi yang dapat dibuka otomatis atau yang selainnya, padahal ia sendiri orang yang tidak mampu (fakir). Ia membelinya dengan berhutang, yakni membeli sesuatu dengan pembayaran yang ditunda. Kerana hutang menurut para ulama adalah segala sesuatu yang ditetapkan dalam tanggungannya, berupa harga pembelian, pinjaman, sewa dan selainnya. Wasapadalah kalian terhadap hutang, hindarilah, kerana hal itu bisa membahayakan kalian, kecuali untuk sesuatu yang darurat, ini hukumnya lain lagi, akan tetapi selama kamu masih mampu, janganlah berhutang. Misalnya, kebanyakan orang berhutang empat puluh ribu, tatkala sudah tiba waktunya (membayar) ia berkata, “Saya tidak punya sesuatu,” kemudian ia meminjam lagi dari yang empat puluh ribu menjadi enam puluh ribu, tahun berikutnya ia meminjam lagi, kemudian bertumpuklah hutangnya menjadi banyak tanpa ia sadari.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...