۞إِنَّمَا الْمُؤمِنُونَ إِخْوَةٌ۞
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurât: 49: 10) Allah Ta'ala berfirman mengabarkan tentang Nabi Nuh ‘alaihissallam.
Allah ﷻ berfirman:
۞وَأَنصَحُ لَكُمْ۞
(QS. Al-A'râf: 7: 62) Dan tentang Nabi Hud ‘alaihissalam.
Allah ﷻ berfirman:
۞وَأَنَاْ لَكُمْ نَاصِحٌ أَمِينٌ۞
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata tentang, “Bab Nasihat” Nasihat adalah memberikan arahan kepada orang lain. Nasihat berarti seseorang mencintai saudaranya dalam kebaikan, mengajaknya, menjelaskan padanya serta memotivasinya untuk melakukan hal itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan agama itu sebagai nasihat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama itu nasihat.” Sebanyak tiga kali. Kemudian para sahabat bertanya, “Bagi siapa ya Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagi Allah, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, pemimpin umat Islam dan mereka semua.”
[Shahih Muslim no. 55]
Lawan dari nasihat adalah membuat makar, menipu, berkhianat dan berbuat kecurangan.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan tiga ayat dalam bab ini. Ayat pertama, firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara.” Jika kalimat ini ditetapkan pada diri orang mukmin yakni jika persaudaraan di antara kaum muslimin terwujud, maka pastilah persaudaraan ini adalah buah dari nasihat. Kewajiban bagi orang mukmin, hendaklah menjadi sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara” bahwasanya mereka bersaudara dalam agama, persaudaraan dalam agama itu lebih kuat daripada persaudaraan dalam nasab. Bahkan persaudaraan dalam nasab jika tanpa agama, maka tiadalah artinya. Kerana, Allah Ta'ala berkata kepada Nabi Nuh alaihissalam,
“Sesungguhnya, anakku adalah termasuk keluargaku, dan Janji-Mu itu pasti benar.”
(QS. Hûd: 11: 45)
“Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, kerana perbuatannya sungguh tidak baik.” (QS. Hûd: 11: 45)
Adapun ayat yang kedua yaitu ucapan Nabi Nuh Alaihissalam, baginda adalah rasul yang pertama, baginda berkata kepada kaumnya ketika mengajak mereka agar beriman kepada Allah,
“Aku memberi nasihat kepadamu, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A'râf: 7: 62)
Adapun ayat yang ketiga adalah firman Allah Ta'ala tentang Nabi Hud Alaihissalam.
“Dan Aku pemberi nasihat yang terpercaya kepada kamu.” (QS. Al-A'râf: 7: 68)
Yang terpenting adalah kewajiban seorang muslim untuk menasihati saudaranya, menampakkan kebaikan pada mereka dan mengajak mereka untuk berbuat kebaikan sehingga terwujud apa yang dinamakan dengan persaudaraan seiman.
Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan masalah ini adalah:
Hadits 181.
عَنْ أَبِي رُقيَّةَ تَميمِ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « الدِّينُ النَّصِيحَةُ » قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ « ِللِّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلَأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Kami bertanya, “Bagi siapa ya Rasulullah?”
Baginda bersabda, “Bagi Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam dan umat Islam pada umumnya.”
[Shahih Muslim no. 55]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan tiga hadits dalam “Bab Nasihat,” hadits yang pertama dari Tamin bin Aus Ad-Daari radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Agama itu nasihat, Agama itu nasihat, Agama itu nasihat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali agar pendengar dan orang yang diajak bicara memperhatikan dan menerima apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan penuh perhatian. Kami bertanya, “Bagi siapa ya Rasulullah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagi Allah, kitab-kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, para pemimpin umat Islam dan umat Islam pada umumnya.” Jadi, ada lima hal yang menjadi objek nasihat.
Nasihat kepada Allah Ta'ala berarti ikhlas kepada Allah Ta'ala, menyembah-Nya dengan penuh cinta dan pengagungan. Kerana Allah disembah oleh hamba-Nya dengan penuh kecintaan, lalu ia melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya untuk mencapai kecintaan-Nya dan mengagungkan-Nya, mencegah dari apa yang dilarang dan takut kepada-Nya.
Termasuk juga dalam nasihat kepada Allah Ta'ala, hendaknya seseorang selalu ingat kepada Tuhannya, dengan hati, lisan dan anggota tubuhnya. Adapun hati, maka tidak ada batasan untuk mengingat-Nya, manusia mampu mengingat Allah dengan hatinya dalam setiap kondisi, dalam kesempatan yang ia mahu, dari semua yang ia dengar, kerana dalam setiap sesuatu ada ayat-ayat Allah yang menunjukkan keesaan, keagungan, dan kekuasaan-Nya. Berfikir tentang penciptaan langit dan bumi, berfikir tentang malam dan siang, berfikir tentang tanda-tanda kekuasaan Allah berupa matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, hewan-hewan melata dan yang lainnya, semua itu diceritakan untuk mengingat Allah dalam hatinya.
Di antara nasihat kepada Allah Ta'ala, menjadikan kecemburuannya kerana Allah, maka dia akan cemburu kerana Allah apabila larangan-larangan-Nya dilanggar. Seperti yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya baginda tidaklah cemburu sama sekali kerana dirinya, bagaimanapun yang dikatakan orang-orang janganlah cemburu kerana dirinya. Akan tetapi, apabila ada yang melanggar larangan Allah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjadi orang yang paling cemburu terhadap orang yang melanggar larangan-Nya. Manusia cemburu kepada Tuhannya, maka tidaklah dia mendengar seseorang yang memarahi Allah, mencaci maki Allah dan memperolok-Nya, kecuali dia cemburu dari semua hal itu, sehingga jika dia punya hak untuk membunuhnya, maka dia akan membunuhnya, kerana ini termasuk nasihat kepada Allah Ta'ala.
Termasuk juga nasihat kepada Allah Ta'ala, bahwa Dialah yang menyebarkan agama yang disyariatkan bagi hamba-Nya, Dialah yang membatalkan tipu daya orang-orang yang berbuat tipu daya, menolak orang-orang yang menentang tuhan; orang-orang yang menolak agama dan menganggapnya sebagai kekangan, mengekang manusia dari kebebasannya. Pada hakikatnya, agama adalah pengikat kebebasan, kerana manusia terikat kepada Allah Ta'ala, dengan-Nya dan pada agama-Nya. Barangsiapa yang tidak terikat oleh hal ini, maka ia terikat oleh setan, dalam langkah-langkah setan, kerana jiwa selalu berkeinginan, jiwa siapa pun tidak akan pernah tenang, bahkan ia seharusnya mempunyai keinginan pada setiap sesuatu, baik itu pada kebaikan atau bisa juga pada keburukan. Alangkah indahnya ucapan Ibnu Al-Qayyim rahimahullah dalam, “An-Nuniyah,” berikut ini,
“Mereka lari dari perbudakan yang kerananya mereka diciptakan, Tenggelam dalam perbudakan jiwa dan setan.”
Mereka lari dari perbudakan yang kerananya mereka diciptakan, perbudakan apa yang kerananya kita diciptakan? Yaitu ibadah kepada Allah, Allah Ta'ala berfirman,
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 56)
Tetapi mereka lari dari perbudakan yang paling sempurna kebebasannya, paling bahagia, menuju perbudakan jiwa dan setan.
Dan jiwa -kita berlindung dari keburukannya- memperbudak manusia, ia penuhi dengan hawa nafsu, maka jadilah ia tunduk dengan hawa nafsunya. Jika seseorang dikalahkan oleh hawa nafsunya, maka sirnalah akal, sebagaimana perkataan seorang penyair,
“Dua yang memabukkan, mabuk oleh hawa nafsu dan mabuk minuman keras, kapan bisa sadar orang yang dimabukkan oleh dua yang memabukkan ini?”
Ia menyifati orang yang meminum khamer -Na'udzu Billah- ia berkata, “Sesungguhnya pemabuk itu sedang dilanda dua hal yang memabukkan, mabuk oleh hawa nafsu dan mabuk oleh minuman keras, maka kapan ia dapat sadar dari mabuknya?” Jelaslah bahwa hal ini sangat sulit diharapkan sadarnya.
Kesimpulannya, bahwa manusia menyembah kepada Allah Ta'ala bukan kepada jiwa atau setan, sehingga ia dapat melepaskan diri dari ikatan-ikatan yang tidak bermanfaat yang dapat membahayakannya.
Di antara makna nasihat kepada Allah adalah, hendaknya seseorang menyiarkan agama Allah dalam ibadah kepada-Nya, sesungguhnya ini adalah kedudukan seluruh para rasul, mereka adalah para da'i yang selalu mengajak manusia kepada Allah, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman tentang mereka,
“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut, kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan.” (QS. An-Nahl: 16: 36)
Firman Allah Ta'ala, “Maka di antara umat itu” maksudnya di antara umat itu ada seorang rasul yang diutus. Kita memohon kepada Allah agar memberi kita petunjuk menuju jalan-Nya yang lurus.
Kemudian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan bagi kitab-kitab-Nya,” yakni termasuk juga dari “Agama adalah nasihat” yaitu nasihat kepada kitab-kitab-Nya. Ini mencakup kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Nasihat kepada kitab-kitab ini adalah dengan membenarkan berita-beritanya, yakni apa yang diberitakan dengannya harus kita benarkan. Adapun kaitannya dengan Al-Qur'an, maka sudah jelas sekali, kerana Al-Qur'an dinukil secara mutawatir dari zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini, hingga Allah Ta'ala mengangkatnya di akhir zaman. Al-Qur'an dibaca oleh anak-anak mahupun orang dewasa. Adapun kitab-kitab yang telah lalu itu telah diubah, diganti dan ditukar, tetapi apa yang benar darinya, maka kita wajib membenarkan kabarnya dan menyakini keabsahan hukumnya. Akan tetapi, kita tidak wajib mematuhi hukum-hukum pada kitab-kitab yang terdahulu, kecuali dengan adanya dalil dari syariat kita.
Termasuk nasihat kepada kitab Allah yaitu membelanya, mencegah dari orang yang mengubahnya, baik perubahan lafazh mahupun perubahan makna, atau dari orang yang menyangka bahwa di dalamnya ada kekurangan atau di dalamnya ada tambahan. Kaum Syiah Rafidhah, misalnya mengklaim bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat kekurangan, sesungguhnya Al-Qur'an yang diturunkan atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu lebih banyak dibandingkan yang terdapat pada kaum muslimin. Mereka mengingkari kesepakatan kaum muslimin. Al-Qur'an -Alhamdulillah- tidak berkurang sedikit pun. Barangsiapa yang menyangka bahwa Al-Qur'an itu berkurang, maka ia mendustakan firman Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman,
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 15: 9)
Allah Ta'ala telah menjamin penjagaannya. Barangsiapa yang menuduh bahwa Al-Qur'an itu telah berkurang satu huruf, maka ia telah mendustakan Allah, hendaklah ia bertaubat dan kembali kepada Allah dari kemurtadannya.
Termasuk nasihat kepada kitab Allah adalah menyebarkan makna Al-Qur'an kepada orang-orang Islam, makna yang benar adalah yang sesuai dengan zhahirnya, tanpa adanya perubahan dan pergantian. Jika seseorang duduk di majelis, maka termasuk dari kebaikan dan nasihat kepada kitab Allah apabila ia membawakan satu ayat dari kitab Allah Ta'ala dan menjelaskannya pada mereka, menerangkan maknanya, apalagi ayat-ayat yang sering dibaca di antara kaum muslimin seperti Al-Fatihah, sesungguhnya Al-Fatihah, seperti yang kita ketahui semua merupakan rukun dari rukun-rukun shalat dalam setiap rakaat, baik bagi imam, makmum atau yang shalat sendirian, mereka sangat perlu untuk mengetahuinya. Jika ia menafsirkannya dan menjelaskannya di hadapan mereka, maka ini termasuk nasihat kepada kitab Allah Ta'ala.
Di antara makna nasihat kepada kitab Allah adalah anda meyakini bahwa Allah Ta'ala telah berbicara dalam Al-Qur'an secara hakikat, sesungguhnya firman Allah Ta'ala itu adalah huruf dan makna bukan ucapan dengan huruf tanpa makna bukan pula makna tanpa huruf, kitab itu adalah firman Allah secara lafazh dan makna. Dia berbicara dengannya lalu memberikannya kepada Jibril, kemudian menurunkannya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan sungguh, (Al-Qur'an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam. Yang dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” (QS. Asy-Syu'arâ: 192-195)
Renungilah bagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Ke dalam hatimu (Muhammad)” padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarnya melalui kedua telinganya, tetapi telinga jika pendengarannya tidak sampai ke dalam hati, maka tidak akan tertanam di dalam jiwa, tidaklah akan tertanam ke dalam jiwa kecuali apa yang sampai ke dalam hati dari jalan telinga, penglihatan mata, sentuhan tangan, penciuman hidung atau dari yang dirasakan mulut. Yang penting, bahwa tempat menetapnya adalah dalam hati. Kerananya Allah Ta'ala berfirman, “Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.” Berdasarkan hal ini, maka bukanlah termasuk dari nasihat tenggelam dalam pembicaraan terkait Al-Qur'an, apakah Al-Qur'an itu firman Allah secara hakikat atau bukan? Atau mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah salah satu makhluk Allah, atau lain sebagainya. Tetapi yang termasuk nasihat adalah kamu beriman bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang haq secara lafazh dan makna.
Di antara makna nasihat kepada kitab Allah adalah manusia menghormati Al-Qur'an yang mulia ini. Seperti tidak menyentuh Al-Qur'an kecuali ia dalam keadaan suci dari dua hadats, yakni hadats kecil dan hadats besar. Berdasarkan sebuah hadits,
“Janganlah menyentuh Al-Qur'an kecuali dalam keadaan suci.”
[HR. Daruquthni no. 449, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 122]
Atau dari balik penghalang, kerana orang yang menyentuh Al-Qur'an dari balik penghalang berarti ia tidak menyentuhnya secara langsung. Dan sebaiknya -bukan dalam arti wajib- tidaklah ia membaca Al-Qur'an; walaupun menghafal, kecuali dalam keadaan suci, kerana yang demikian ini termasuk penghormatan kepada Al-Qur'an.
Di antara makna nasihat kepada kitab Allah adalah tidak meletakkannya pada tempat yang menghinakannya, seperti tempat pembuangan sampah dan semisalnya. Oleh kerana itu, wajib berhati-hati terhadap apa yang dilakukan sebagian anak kecil ketika mereka telah selesai belajar di sekolah. Mereka melemparkan buku-buku pelajarannya di jalan-jalan atau di tempat sampah atau yang semisalnya padahal di dalamnya terdapat mushaf (lembaran Al-Qur'an). Na'udzu Billah. Adapun meletakkan mushaf di atas tanah yang suci lagi baik, maka hal itu tidaklah mengapa dan tidaklah berdosa, kerana hal tersebut tidak mengandung unsur penghinaan dan perlecehan terhadap Al-Qur'an. Hal ini sering terjadi pada sebagian orang ketika shalat, membaca mushaf dan tatkala ingin sujud, ia meletakkannya di hadapannya, ini juga tidak termasuk menghinakan mushaf dan tidaklah mengapa. Wallahu A'lam.
Adapun yang ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bagi para Rasul-Nya.” Nasihat bagi rasul mengandung beberapa poin:
1. Keimanan yang sempurna terhadap risalahnya, sesungguhnya Allah telah mengutusnya bagi semua makhluk, baik bangsa Arab mahupun non-Arab, baik bangsa manusia mahupun jin. Allah Ta'ala berfirman,
“Kami mengutusmu, (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia.” (QS. An-Nisâ: 4: 79)
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqân (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya (Muhammad) agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia.” (QS. Al-Furqân: 25: 1)
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 107)
Banyak sekali ayat yang menerangkan tentang hal ini. Kemudian beriman bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah untuk semua makhluk, dari bangsa jin mahupun manusia.
2. Membenarkan beritanya, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang penuh dengan kejujuran, jujur terhadap yang ia kabarkan, dibenarkan apa yang diberitakannya berupa wahyu, tidak dapat didustakan dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berdusta.
Di antara makna nasihat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah jujur dalam mengikutinya, dimana anda tidak melampaui syariatnya, tidak menguranginya, tidak menambah, dan anda menjadikannya imam dalam setiap ibadah. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imam bagi umat ini dan bagindalah yang diikuti. Seseorang tidak diperbolehkan untuk mengikuti yang lainnya, kecuali jika ia menjadi perantara antara dia dan rasul, dimana ia memiliki ilmu sunnah yang tidak kamu miliki, maka pada saat ini tidaklah berdosa jika kamu mengikuti orang ini, dengan syarat kamu meyakini bahwa ia adalah perantara antara kamu dan syariat, ia tidak berdiri sendiri, kerana tidak ada seorang pun yang berdiri sendiri dengan syariat kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun selain Rasulullah, maka hanya sebagai penyampai pesan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sampaikanlah oleh kalian dariku walaupun hanya satu ayat.”
[Shahih Al-Bukhari no. 3461]
Di antara makna nasihat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melaksanakan syariatnya serta menjaganya tanpa mengurangi dan menambahkan sesuatu yang bukan darinya sedikit pun. Memerangi Ahli Bid'ah, baik secara ucapan, perbuatan mahupun akidah, kerana bid'ah semuanya merupakan satu bab, semuanya merupakan satu ladang yaitu kesesatan, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap bid'ah itu adalah sesat.”
[Shahih Muslim no. 867]
Tiada yang dikecualikan dari bid'ah itu, baik ucapan, perbuatan mahupun akidah. Semua yang bertentangan dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dibawa oleh baginda dalam akidah, ucapan mahupun perbuatan, maka hal itu adalah bid'ah. Di antara makna nasihat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah memerangi Ahlul Bid'ah, sebagaimana mereka memerangi sunnah, jika mereka memerangi dengan ucapan, maka perangilah dengan ucapan, jika mereka memerangi dengan perbuatan, maka perangilah dengan perbuatan, sebagai balasan yang sesuai. Kerana ini merupakan nasihat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di antara makna nasihat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menghormati para sahabatnya, mengagungkan dan mencintai mereka. Kerana seseorang yang menemani orang lain, maka tidak diragukan lagi bahwa ia adalah seseorang yang diistimewakan dan orang yang spesial baginya. Hal ini kerana para sahabat merupakan sebaik-baiknya penerus (Qurun), kerana mereka adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa mencaci para sahabat, membenci atau mencela mereka atau berisyarat dengan sesuatu yang menghinakan mereka, berarti ia tidak menasihati kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun ia menyangka bahwa ia menasihati kerana Rasulullah, maka sebenarnya ia pendusta. Bagaimana kamu mencaci sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membenci mereka, sedangkan kamu menyatakan cinta kepada Rasul dan menasehati kerananya? Terdapat hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seseorang itu tergantung dari agama kekasihnya, maka hendaklah kalian memperhatikan siapa kekasih kalian.”
[HR. Abu Dawud no. 4833, At-Tirmidzi no. 2378, Ahmad dalam Musnad-nya (2/303, 334) dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 3545]
Jika sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dicaci dengan tuduhan dusta, maka pada hakikatnya ia telah mencela Rasulullah dan tidak menasihati kerana baginda, bahkan sebenarnya ia telah mencerca syariat, kerana yang membawa syariat kepada kita adalah para sahabat, jika mereka pantas untuk dicela dan dicaci, maka syariat ini tidak lagi bisa dipercaya, kerana yang membawanya adalah orang yang pantas dicela dan dihina, mencaci para sahabat berarti juga mencaci Allah Ta'ala -kita memohon keselamatan kepada Allah- mencela hikmah-Nya, yang memilih Nabi-Nya untuk membawa agama-Nya dari orang-orang yang layak untuk dicela dan dihina. Kalau demikian, di antara yang termasuk menasihati kerana Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mencintai para sahabatnya, memuliakan dan mengagungkannya, ini adalah perintah agama, maka jadilah nasihat bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup semua hal ini.
3. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan bagi para pemimpin Islam,” lafazh Al-A' immah, adalah jamak dari kata Imam, yang dimaksud dengan imam adalah orang yang diikuti dan dilaksanakan perintahnya. Imam ini terbagi menjadi dua bagian: Imam dalam agama, dan imam dalam pemerintahan. Imam dalam agama berada di tangan para ulama, yang mengarahkan manusia kepada Al-Qur'an memberikan mereka petunjuk dan menunjukkan mereka pada syariat Allah, Allah Ta'ala berfirman dalam doa hamba-Nya,
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami) dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Furqân: 25: 74)
Mereka tidak meminta kekuasaan dan pemerintahan, tetapi mereka meminta kepada Allah kepemimpinan dalam agama, kerana hamba Ar-Rahman tidak menginginkan kekuasaan pada manusia, dan tidak juga meminta kepemerintahan, bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu anhu, “Janganlah kamu meminta kekuasaan, sesungguhnya jika kamu diberikan kekuasaan kerana kamu memintanya, maka kamu dibebani padanya, dan jika diberikan kekuasaan tanpa kamu meminta, maka kamu akan ditolong atasnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6622, 6722, 7146 dan Muslim no. 1652]
Akan tetapi, mereka meminta kepemimpinan dalam agama, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala,
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami selama mereka sabar. Mereka meyakini ayat-ayat Kami.”
(QS. As-Sajdah: 32: 24)
Nasihat kepada pemimpin muslim yakni pemimpin dalam agama dan ilmu. Hendaknya seseorang selalu berusaha menjaga untuk selalu mendapatkan ilmu, kerana mereka menjadi perantara antara Rasul dengan umatnya, umat selalu berupaya untuk mendapatkan ilmu dari mereka dengan segala sarana.
Sarana pada saat sekarang ini -Alhamdulillah- sangatlah banyak, berupa tulisan, kaset rakaman, ceramah langsung dan lain sebagainya, maka hendaklah selalu berupaya mendapatkan ilmu dari para ulama, lakukanlah dengan teliti dan tidak terburu-buru, kerana jika seseorang terburu-buru dalam menuntut ilmu, maka bisa jadi ia mendapatkan ilmu itu tidak sebagaimana yang disampaikan oleh gurunya. Allah telah membentuk adab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adab ini, Allah Ta'ala berfirman,
Nasihat kepada pemimpin muslim yakni pemimpin dalam agama dan ilmu. Hendaknya seseorang selalu berusaha menjaga untuk selalu mendapatkan ilmu, kerana mereka menjadi perantara antara Rasul dengan umatnya, umat selalu berupaya untuk mendapatkan ilmu dari mereka dengan segala sarana.
Sarana pada saat sekarang ini -Alhamdulillah- sangatlah banyak, berupa tulisan, kaset rakaman, ceramah langsung dan lain sebagainya, maka hendaklah selalu berupaya mendapatkan ilmu dari para ulama, lakukanlah dengan teliti dan tidak terburu-buru, kerana jika seseorang terburu-buru dalam menuntut ilmu, maka bisa jadi ia mendapatkan ilmu itu tidak sebagaimana yang disampaikan oleh gurunya. Allah telah membentuk adab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan adab ini, Allah Ta'ala berfirman,
“Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur'an) kerana hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dalam dadamu) dan membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.”
(QS. Al-Qiyâmah: 75: 16-18)
Kerana pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terburu-buru mengikuti bacaan Jibril Alaihissalam, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan bacaan Al-Qur'an lalu membacanya, kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu kerana hendak cepat-cepat (menguasai)nya,” yakni diamlah, jangan gerakkan lisanmu walaupun perlahan, sampai Jibril selesai dari bacaannya, setelah itu maka bacalah.
“Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyâmah: 75: 19)
Allah Ta'ala telah menjamin penjelasan Al-Qur'an yakni engkau tidak akan melupakannya, padahal yang sering terjadi ketika guru sudah selesai membaca, para murid terkadang lupa sebagian apa yang telah dibacakan. Akan tetapi, Allah Ta'ala berfirman, “Kemudian Kamilah yang akan menjelaskannya.”
Termasuk dalam nasihat kepada pemimpin muslim adalah tidak mengungkap aib mereka, kekeliruan, dan apa yang salah dari mereka, kerana memang mereka tidaklah Ma'shum (terjaga dari kesalahan), terkadang mereka keliru dan terkadang salah. Setiap anak Adam itu keliru dan sebaik-baiknya orang yang keliru adalah yang bertaubat, apalagi para penuntut ilmu, maka hendaknya mereka menjadi yang paling baik dalam menanggung kesalahan yang terjadi kerana kesalahan gurunya, memperingatkan atas hal tersebut, kerana berapa banyak orang yang mendapatkan manfaat dari muridnya, mereka memperingatkan dari sebagian masalah, atas kesalahan keilmuan atau kesalahan perbuatan dan kesalahan-kesalahan lainnya, kerana mereka adalah manusia.
Yang terpenting adalah hendaknya tidak terlalu terfokus pada kesalahan seseorang. Telah diriwayatkan dalam sebuah hadits,
“Wahai sekalian manusia yang telah beriman dengan lisannya namun belum masuk iman itu ke dalam hatinya. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin, dan jangan kalian mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib mereka, niscaya Allah akan mencari-cari aibnya. Dan barangsiapa yang Allah cari-cari aibnya, niscaya akan disingkap kejelekannya meskipun di rumahnya sendiri.”
[HR. Ahmad no. 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880, dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud no. 3/197]
Mereka ini adalah orang awam, maka bagaimana dengan para ulama!
Sesungguhnya orang-orang yang membicarakan kesalahan para ulama, dia bukan saja menjelekkan mereka, bahkan ia telah menjelekkan pribadinya, menjelekkan ilmu yang mereka bawa, juga menjelekkan syariat yang diperoleh darinya. Kerana, jika orang-orang tidak mempercayai para ulama, jika aibnya mereka bongkar yang terkadang aib itu hanya berdasarkan pandangan seseorang, kepercayaan mereka berkurang kepada para ulama dan dengan ilmu yang dimilikinya. Maka, sesungguhnya ini adalah perbuatan kriminal atas syariat yang mereka bawa dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kerananya, termasuk nasihat anda kepada para pemimpin umat Islam adalah melindungi aib mereka, menutupinya dengan segala apa yang anda mampu, tidak berdiam diri, bahkan memperingatkannya mereka, membahas bersamanya dan bertanya kepadanya, terkadang apa yang diambil darinya terdapat sesuatu yang tidak benar. Telah diambil dari kami dan selain kami sesuatu yang tidak benar, akan tetapi orang-orang -kami memohon kepada Allah keselamatan- jika mereka memiliki hawa nafsu, menyukai sesuatu dan mereka mengetahui salah seorang ahli ilmu yang diterima ucapannya oleh orang lain, kemudian ia menghubungkan ucapan itu kepadanya, kemudian ketika ditanyakan tentang ucapan yang dihubungkan itu, ia berkata, “Aku tidak pernah mengucapkan seperti itu.” Atau terkadang seorang penanya keliru dalam ungkapan soalnya, padahal sudah dijawab sesuai dengan apa yang ditanyakan, dan ia memahaminya sesuai dengan kemampuan dalam dirinya, maka terjadilah kekeliruan. Terkadang juga orang alim itu telah menjawab pertanyaannya dengan benar, tetapi orang yang bertanya salah memahami jawaban yang telah disampaikannya, maka terjadilah kekeliruan.
Dan yang terpenting dari makna nasihat kepada pemimpin umat Islam dalam ilmu dan agama adalah tidak membuka aurat mereka, bahkan berupaya mencari alasan untuk mereka. Tidak salah kalau harus menghubunginya jika dia ingin memastikan dari sesuatu yang dia dengar dan dia pandang keliru. Jika dia menghubunginya, mungkin dia bisa menjelaskan kepadanya. Mungkin pula ia menjelaskan sesuatu yang tidak dia ketahui yang disangkanya keliru. Terkadang juga tersamar oleh sesuatu sehingga anda bisa mengingatkannya, dan jadilah anda orang yang disyukuri dalam hal ini. Telah berkata orang pertama yang menjadi imam dalam agama dan kepemerintahan setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -Abu Bakar radhiyallahu anhu - ketika Rasulullah berkhutbah pada khutbah pertamanya, Rasulullah berkata kepada manusia dan beliau berbincang kepada mereka, juga berbicara tentang dirinya, “Jika aku salah maka luruskanlah,” semua itu kerana kita adalah manusia, maka luruskanlah saudaramu apalagi seorang ahli ilmu, kerana orang yang alim bencananya sangatlah besar, jika ia benar maka Allah akan memberikannya petunjuk -dengan dakwahnya- pada orang banyak, dan jika ia keliru maka banyak orang yang tersesat dari kedua tangannya. Kerana kesalahan orang alim adalah sebuah kesalahan yang besar.
Kerananya saya katakan, “Wajib bagi kita untuk menjaga harga diri para ulama, membela mereka, mencari udzur untuk kesalahan mereka, tidak masalah untuk menghubungi mereka, bertanya kepada mereka, membahasnya bersama mereka dan bertukar fikiran bersama mereka sampai kita benar-benar menjadi orang yang ikhlas, menjadi penasihat bagi pemimpin umat Islam.”
Bagian kedua dari pemimpin umat Islam adalah pemimpin dalam kepemerintahan, mereka adalah para amir (presiden, gubernur dan semisalnya dari pejabat pemerintahan), para pemimpin ini pada umumnya lebih banyak kelirunya ketimbang para ulama. Kerana kekuasaan terkadang menjadikannya mulia dengan perbuatan dosa, maka ia ingin menjalankan kekuasaannya dengan benar dan keliru. Nasihat kepada mereka yaitu dengan mencegah kejahatannya, dan tidak menyebarkannya di antara manusia, serta terus berusaha menasihati mereka sekuat kemampuan kita. Secara langsung, jika memang kita mampu melakukannya, atau dengan tulisan jika kita tidak mampu secara langsung, atau dengan cara menghubungi orang yang berhubungan dengannya jika kita mampu menulis, kerana terkadang orang-orang tidak mampu menuliskannya kepada mereka, jika menulis itu tidak sampai kepada penanggung jawabnya, maka kita hubungi orang yang bertanggung jawab untuk memperingatkannya, maka ini termasuk nasihat.
Adapun menyebarkan kejelekan mereka, maka ini tidak hanya permusuhan kepada pribadinya saja, akan tetapi permusuhan pribadi kepada mereka sekaligus permusuhan umat, kerana jika kebencian umat kepada para pemimpin telah memenuhi dada mereka, maka mereka tidak akan menaati pemimpinnya dan akan melemparkan tuduhan pada mereka. Pada saat ini, terjadilah kekacauan, tersebarlah ketakutan, dan hilanglah rasa aman, jika masih tersisa kewibawaan pemerintah dalam hati masyarakat, maka mereka pun tetap berwibawa, perintah mereka terjaga begitu juga aturannya yang tidak menyeleweng dari syariat.
Yang terpenting bahwa pemimpin umat harus mencakup dua bagian ini, pemimpin agama; mereka adalah para ulama dan pemimpin pemerintahan; mereka adalah penguasa. Jika anda ingin mengatakan, maka katakanlah pemimpin penjelas dan pemimpin kekuasaan. Pemimpin penjelas adalah para ulama yang memberikan penjelasan kepada masyarakat. Sedangkan pemimpin kekuasaan adalah para pejabat yang melaksanakan syariat Allah dengan kekuatan kekuasaannya. Kerananya pemimpin umat Islam, baik pemimpin agama mahupun pemimpin pemerintahan, wajib bagi kita untuk menasihatinya dan terus berusaha melaksanakan nasihat itu kepada mereka, membela mereka menutupi aib-aibnya dan hendaklah kita bersama mereka jika mereka keliru dengan menjelaskan kekeliruan tersebut antara kita dan mereka, kerana terkadang kita berkeyakinan bahwa orang alim ini keliru atau pejabat ini keliru, jika kita bertukar fikiran dengan mereka maka akan jelas bagi kita ternyata mereka tidak keliru. Sebagaimana yang sering terjadi.
Terkadang juga sesuatu itu sampai kepada kita dari para ulama atau pejabat ini bukan dalam bentuk yang sebenarnya, bisa jadi kerana maksud buruk dari para pembawa berita. Kerana sebagian orang -Na'udzu Billah- sangat suka menyebarkan keburukan para ulama dan penguasa, maksud buruk ini akan meruntuhkan mereka terhadap apa yang tidak pernah mereka katakan, menghubungkan mereka kepada sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan. Maka seharusnya apabila kita mendengar dari para ulama atau pejabat apa yang kita pandang salah hendaknya menasihati dengan cara menghubunginya, bertukar fikiran dengannya, menjelaskan titik permasalahannya sehingga semuanya menjadi jelas.
Adapun bagian terakhir dari hadits, “...Dan umat Islam pada umumnya.” Yakni menasihati orang-orang muslim secara umum, dengan mendahulukan para pemimpin atas mereka, kerana jika pemimpin itu baik, maka baik juga masyarakatnya, jika para pejabat itu baik, maka akan baiklah masyarakatnya, dan jika para ulama baik, maka baiklah umatnya kerana semua itu bermula dari mereka. Perlu diketahui, bahwa pemimpin umat Islam; yang dimaksud di sini bukan pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang besar, tapi yang dimaksud adalah yang lebih umum dari itu. Setiap orang yang memiliki kekuasaan walaupun di madrasah (sekolah), maka itu juga dianggap sebagai pemimpin umat Islam jika ia bisa dinasihati dan berbuat baik, maka baiklah orang yang berada di bawah kepemimpinannya.
Nasihat kepada khalayak muslim adalah dengan mencintai mereka apa seperti anda mencintai dari anda sendiri, menunjukkan mereka pada kebaikan menunjuki mereka kepada kebenaran jika mereka tersesat darinya, mengingatkan mereka jika mereka lupa dan menjadikan mereka sebagai saudara. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2442, 6951 Muslim no. 2580]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan yang saling menguatkan.”
[Shahih Al-Bukhari no. 481, 2446, 6027 Muslim no. 2585]
Baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
“Perumpamaan seorang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutannya seperti satu tubuh, jika salah satu darinya merasa sakit maka seluruh tubuhnya merasakan panas dingin dan tidak bisa tidur.”
[Shahih Muslim no. 2586]
Apabila anda merasakan sakit pada bagian tubuh anda, maka rasa sakit ini akan mengalir ke seluruh badan, demikianlah sepantasnya seorang muslim kepada saudaranya yang lain, jika mereka merasa sakit, maka seakan-akan rasa sakit itu juga menimpanya.
Hendaklah diketahui bahwa nasihat adalah berbicara kepada seseorang dengan jalan rahsia antara dirimu dan orang itu, kerana jika anda menasihatinya secara rahsia antara kamu dan dia, maka akan membekas di hatinya, dan ia mengetahui bahwa anda memang ingin menasihatinya. Akan tetapi, jika anda berbicara kepadanya di depan orang banyak, maka bisa jadi kemuliaan ini akan berganti dengan dosa, ia tidak akan menerima nasihat tersebut, bahkan terkadang ia menyangka bahwa anda ingin menjatuhkannya dan balas dendam, terjadilah jarak antara anda dengannya. Akan tetapi, jika berbicara empat mata, maka jadilah hal tersebut sarat pertimbangan besar baginya dan ia akan menerimanya darimu.
Hadits 182.
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضَيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: بَايَعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى: إِقَامِ الصَّلَاةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
[Shahih Al-Bukhari no. 57 dan Muslim no. 56]
Hadits 183.
عَنْ أَنَسٍٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sehingga dia mencintai untuk saudaranya seperti apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.”
[Shahih Al-Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dari Jarir bin Abdullah radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk; mendirikan shalat, membayar zakat, dan menasihati setiap muslim.” Tiga perkara ini adalah hak Allah, hak manusia dan hak di antara keduanya. Adapun hak Allah yang murni adalah mendirikan shalat. Maka mendirikan shalat yaitu seseorang melaksanakannya secara konsisten, sesuai dengan apa yang diperintahkan, menjaganya di setiap waktu, mendirikan rukun-rukunnya, kewajiban dan syarat-syaratnya serta menyempurnakan dengan kesunnahan-kesunnahannya. Dari sinilah, bagi laki-laki harus mendirikan shalatnya di masjid bersama jamaah dan ini termasuk mendirikan shalat. Barangsiapa yang tidak menghadiri jamaah tanpa udzur, maka ia berdosa. Bahkan menurut sebagian ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, jika seseorang shalat tanpa udzur dan tanpa berjamaah, maka shalatnya batal, tidak akan diterima. Tetapi mayoritas ulama mengatakan bahwa shalatnya sah tapi berdosa inilah yang benar.
Barangsiapa meninggalkan shalat berjamaah tanpa udzur, maka shalatnya sah tetapi berdosa. Inilah adalah pendapat yang utama dan masyhur dari mazhab imam Ahmad rahimahullah yang juga pendapat mayoritas ulama, yang mewajibkan shalat berjamaah. Dan yang termasuk makna mendirikan shalat adalah melaksanakannya dengan khusyu. Khusyu adalah menghadirkan hati, mentadabburi apa yang diucapkannya dalam shalat dan apa yang ia lakukan, ini adalah perkara yang penting. Kerana, shalat tanpa khusyu seperti badan tanpa ruh. Ketika kamu shalat, sedangkan hatimu berputar ke mana-mana, maka shalatmu hanyalah berupa gerakan badan saja. Namun, jika hatimu hadir, maka kamu akan merasa berada dihadapan Allah, sedang bermunajat kepada-Nya, sedang mendekatkan diri kepada-Nya dengan dzikir dan doa. Inilah inti dari shalat dan ruhnya.
Adapun perkataan, “Membayar zakat.” Yakni memberikannya pada orang-orang yang berhak menerimanya. Kewajiban ini adalah gabungan antara hak Allah dan hamba-Nya. Adapun hak-hak Allah, maka sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat kepada hamba-Nya dan menjadikannya sebagian dari rukun Islam. Sedangkan zakat yang disebut sebagai hak hamba, apabila di dalamnya terdapat pemenuhan terhadap kebutuhan orang-orang yang membutuhkan dan lain sebagainya berupa kemaslahatan umum guna mengetahui ahli zakat.
Perkataan, “Menasihati setiap muslim.” Ini adalah yang kita bicarakan dari hadits bab ini, yaitu menasihati setiap muslim, baik yang dekat mahupun yang jauh, yang kecil atau besar, laki-laki atau perempuan. Tata cara menasihati setiap muslim adalah bagaimana yang dikatakan dalam hadits Anas, “Tidaklah beriman di antara kamu sampai ia mencintai saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.” Ini adalah nasihat, kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri, kamu bahagia dengan sesuatu yang membuat mereka bahagia, dan kamu akan merasa sakit apabila sesuatu itu membuat mereka sakit. Bergaullah kepada mereka dengan sesuatu yang kamu sukai, sebagaimana mereka bergaul denganmu atas sesuatu itu. Ini adalah bab yang sangat luas dan besar sekali.
Peniadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap keimanan dari orang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri dalam setiap sesuatu, maka penafian iman ini sebagaimana yang dikatakan para ulama adalah menafikan kesempurnaan iman. Yakni, tidak sempurna imanmu sampai kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri. Maksudnya bukan meniadakan keimanan secara keseluruhan.
Disebutkan bahwa Jarir bin Abdullah Al-Bajali radhiyallahu anhu ketika ia berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menasihati setiap muslim, yakni ketika ia membeli seekor kuda dengan beberapa dirham. Setelah membeli ia membawanya, lalu ia menemukan bahwa harga tersebut terlalu murah, sehingga ia kembali pada sang penjual dan berkata padanya, “Sesungguhnya kudamu ini seharusnya berharga lebih tinggi.” Kemudian ia memberikan harga yang dipandangnya pantas untuk kuda tersebut, lalu ia pergi dan menunggangi kuda tersebut, lalu menemukan bahwa kudanya itu ternyata lebih berharga dari harga yang terakhir yang ia bayarkan sehingga ia kembali lagi berkata, “Sesungguhnya kudamu ini seharusnya berharga lebih tinggi.” Kemudian ia memberikan harga yang dipandangnya pantas untuk kuda tersebut. Demikian hal tersebut berulang-ulang sampai tiga kali, mulai dari dua ratus dirham sampai terakhir seharga delapan ratus dirham. Kerana sesungguhnya ia telah berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menasihati setiap muslim. Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membaiat seseorang, maka hal itu tidak dikhususkan baginya saja tetapi umum bagi setiap orang. Berarti setiap orang yang berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menasihati setiap muslim juga mendirikan shalat dan membayar zakat. Yang dimaksud dengan baiat adalah perjanjian, kerana baiat juga diucapkan untuk perkara jual beli, diucapkan dengan makna perjanjian sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah ini.”
(QS. Al-Fath: 48: 10)
Disebut Mubaaya'ah, kerana setiap orang yang berbaiat ini menghulurkan tangannya untuk berbaiat kepada yang lainnya, yakni memegang tangan yang lain dan mengatakan, “Aku berbaiat kepadamu untuk ini dan itu.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan