Jumaat, 19 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 23. Memerintahkan Yang Ma'ruf Dan Mencegah Yang Mungkar.

۞وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ۞
Allah ﷻ berfirman: “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru pada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 104)

Allah ﷻ berfirman:
۞كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ۞
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kerana kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 110)

Allah ﷻ berfirman:
۞خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ۞
“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A'râf: 7: 199)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ۞
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. At-Taubah: 9: 71)

Allah ﷻ berfirman:
۞لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ۞ كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ۞
“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu kerana mereka durhaka dan selalu melampui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan mungkar yang selalu mereka perbuat. Sesungguhnya, sangat buruk apa yang mereka perbuat.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 78-79)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Bab Memerintahkan Yang Ma'ruf Dan Melarang Yang Mungkar.” Yang disebut dengan ma'ruf adalah segala sesuatu yang diketahui oleh syariat dan ditetapkannya berupa bentuk-bentuk ibadah, baik ucapan mahupun perbuatan, yang lahir mahupun batin. Dan yang disebut dengan mungkar adalah segala sesuatu yang diingkari oleh syariat dan dilarangnya, berupa bentuk-bentuk kemaksiatan; kekafiran, kefasikan, kedurhakaan, dusta, mengadu domba, membicarakan keburukan orang lain dan lain sebagainya. Memerintahkan kepada yang ma'ruf dan melarang yang mungkar adalah fardu kifayah. Jika sebagian orang telah menunaikannya, maka tertunaikanlah maksudnya, jika belum ada orang yang melaksanakannya, maka wajiblah bagi setiap muslim. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

۞وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ۞

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104)

Dakwah dimulai dengan menunjukkan kepada kebaikan, kemudian memerintahkan untuk melakukan kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Demikian itu kerana menunjukkan kebaikan harus didahulukan sebelum memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Berdakwah kepada kebaikan adalah menjelaskan kebaikan pada manusia seperti mengajak mereka untuk shalat, zakat, haji, puasa, berbuat baik pada orang tua, menyambung silaturrahim dan lain-lainnya, setelah itu barulah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran. Ia perintahkan dengan menyatakan, “Shalatlah,” baik secara umum mahupun khusus, dengan memegang tangan orang yang meremehkan shalat lalu berkata, “Shalatlah.”

Tahap selanjutnya yaitu mengubah, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya (kekuasaannya); jika ia  tidak mampu, maka dengan lisannya (menasihatinya); dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.”

[Shahih Muslim no. 49]

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya.” Tidak dikatakan, “Berlemah-lembutlah kepadanya.” Kerana fase di atas ini adalah melarang dari kemungkaran, “Dan jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya.” Lisan adalah fase pelarangan dari kemungkaran, jika seseorang tidak mampu berbicara, maka ia mengingkarinya dengan hatinya, dengan kebencian dan penentangannya terhadap kemungkaran tersebut. Memerintahkan yang makruf dan melarang kemungkaran harus memerhatikan hal-hal berikut ini:

1. Hendaklah orang itu mengetahui mana yang makruf dan yang mungkar. Jika ia tidak mengetahui tentang kebaikan, maka ia tidak boleh memerintahkan hal tersebut. Sebab seseorang terkadang memerintahkan sesuatu yang disangkanya baik, padahal hal itu mungkar dan ia tidak mengetahuinya. Kerananya hendaklah seseorang mengetahui tentang hal yang baik yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya, dan hendaklah ia mengetahui tentang hal-hal yang mungkar, yakni mengetahui bahwa hal tersebut adalah mungkar. Jika ia tidak mengetahui tentang hal itu, maka janganlah ia mencegahnya, kerana bisa jadi ia mencegah sesuatu padahal sesuatu itu baik, akibatnya orang itu meninggalkan kebaikan disebabkan olehnya, atau ia melarang sesuatu, padahal itu diperbolehkan, sehingga malah menyulitkan hamba Allah dengan pelarangannya terhadap apa-apa yang dibolehkan Allah. Oleh kerana itu, hendaklah ia mengetahui bahwa hal tersebut adalah mungkar, terkadang banyak di antara saudara kita yang tergesa-gesa, mereka melarang hal mubah yang mereka kira sebagai kemungkaran, sehingga menyulitkan hamba-hamba Allah.

Jadi, janganlah kamu memerintahkan sesuatu, kecuali kamu mengetahui itu adalah baik dan janganlah kamu melarang sesuatu, kecuali kamu mengetahui bahwa itu mungkar.

2. Mengetahui dengan pasti bahwa seseorang telah meninggalkan kebaikan atau melakukan kemungkaran. Jangan menuduh orang dengan tuduhan atau prasangka, kerana Allah Ta'ala berfirman,

۞يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۞

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (QS. Al-Hujurât: 49: 12)

Jika kamu melihat seseorang tidak shalat bersamamu di masjid, maka hal tersebut tidak mesti bahwa ia tidak shalat di masjid, barangkali ia shalat di masjid yang lain atau ia sedang udzur. Maka janganlah mengingkarinya sampai kamu ketahui bahwa ia tidak berjamaah tanpa udzur.

Ya, tidak mengapa kamu menghampiri dan menanyakan kepadanya dengan mengatakan, “Wahai saudaraku, kami tidak menjumpaimu di masjid.” Ini tidak mengapa. Tetapi jika kamu mengingkarinya atau lebih keras dari itu, kamu mengatakannya di sebuah majelis, maka hal ini tidak diperbolehkan, kerana kamu tidak mengetahuinya secara pasti, barangkali ia shalat di masjid lain atau sedang udzur.

Oleh kerananya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mencuba memahaminya terlebih dahulu sebelum baginda memerintahkan. Telah dinyatakan dalam “Shahih Muslim” bahwa seseorang ke masuk masjid pada hari Jum'at dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedang khutbah, kemudian orang itu langsung duduk dan tidak melaksanakan shalat tahiyyatul masjid, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu sudah shalat?” Lalu ia menjawab, “Belum.” Baginda berkata, “Berdirilah, shalatlah dua rakaat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 931 dan Muslim no. 875]

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak memerintahkan shalat dua rakaat sebelum baginda bertanya kepadanya, “Apakah kamu sudah shalat atau belum?” padahal secara zhahir terlihat bahwa orang itu masuk ke masjid dan langsung duduk dan tidak melaksanakan shalat. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam khawatir orang itu sudah shalat dan baginda tidak menyadarinya. Oleh kerana itu, baginda bertanya, “Apakah kamu sudah shalat?” Lalu ia menjawab, “Belum.” Baginda bersabda, “Berdirilah, shalat dua rakaat.”

Demikian juga dalam hal kemungkaran, tidak diperbolehkan mengingkari seseorang kecuali jika kamu mengetahui bahwa ia betul-betul melakukan kemungkaran itu. Umpamanya, kamu melihat seorang lelaki bersama seorang perempuan di mobilnya, maka tidak boleh langsung menuduhnya berbuat kemungkaran, sebab bisa jadi perempuan ini termasuk mahramnya, istrinya atau ibunya atau saudara perempuannya atau lain sebagainya. Sampai kamu benar-benar mengetahui bahwa perempuan yang ada di dalam mobilnya itu bukanlah mahramnya.

Contoh seperti ini banyak sekali, yang terpenting seseorang harus mengetahui bahwa hal ini adalah hal yang makruf yang harus diperintahkannya, atau hal itu mungkar dan harus ia cegah dan ia juga harus mengetahui bahwa perintah atau larangan itu telah sampai kepada perkara yang butuh kepada perintah dan larangannya.

Kemudian juga, hendaknya orang yang memerintahkan kepada kebaikan dan yang melarang pada kemungkaran itu bersikap lembut dalam melaksanakannya, kerana jika ia bersikap lembut, maka Allah Ta'ala akan memberikan kepadanya sesuatu yang tidak diberikan-Nya kepada orang yang bersikap kasar. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya Allah akan memberikan kepada orang yang berlembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang kasar.”

[Shahih Muslim no. 2594]

Jika kamu bersikap kasar dalam menasihati seseorang, maka bisa orang tersebut akan lari dan mengambil kemuliaan dengan jalan dosa, tidak melaksanakan apa yang kamu katakan. Namun sebaliknya, jika kamu datang dengan sesuatu yang baik, maka akan bermanfaat baginya.

Disebutkan, bahwasanya pada masa yang lalu ada seorang akuantan yang sering memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran, dimana ia melewati seseorang yang sedang menggunakan untanya untuk menarik air dari sumur (perigi), ketika adzan Maghrib tengah berkumandang, kebiasaan orang ketika mengambil air dengan menggunakan unta, mereka bersenandung dengan sebuah syair untuk meringankan kerja unta. Kerana unta -Mahasuci Allah- menjadi tenang dengan senandung syair. Maka datanglah sang akuantan bersama yang lainnya, ia berbicara kepada orang yang sedang mengambil air tadi dengan ucapan yang buruk, sedangkan orang tersebut dalam keadaan lelah sehingga hatinya merasa kesal dan memukul sang akuantan dengan tongkat yang panjang, maka ia segera bertolak meninggalkan orang tersebut lalu pergi ke masjid dan bertemu seorang syaikh, salah seorang cucu Syaikh Muhammad bin Abdul wahab rahimahullah. Kemudian sang akuantan berkata, “Sesungguhnya aku telah berbuat demikian dan demikian, lalu orang tersebut memukulku dengan tongkatnya.”

Pada hari selanjutnya, pergilah syaikh tersebut ke tempat orang yang mengambil air tadi sebelum matahari tenggelam, kemudian ia berwudhu dan meletakkan terompahnya di atas kayu yang dipahat, lalu terdengarlah adzan Maghrib, ia berdiri seakan-akan akan ingin mengambil terumpahnya, kemudian ia berkata kepada orang itu, “Ya Fulan, ya akhi, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, kamu mengharapkan kebaikan dengan pekerjaanmu ini, dan kamu dalam keadaan baik, tetapi sekarang sudah adzan, jika kamu pergi ke masjid dan shalat Maghrib, lalu kembali lagi maka pekerjaanmu tidaklh akan tersia-sia.” Ucapan yang lembut dan menarik. Kemudian orang itu berkata, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan,” kemarin lewat di sini ada seseorang yang tidak sopan, kemudian menghardikku, ia berkata kepadaku, “Kamu mencari manfaat dari keadaanmu, maka tidaklah ada manfaat bagimu,” maka aku tidak bisa menahan diri dan akhirnya aku pukul ia dengan tongkatku,” lalu syaikh berkata, “Perkara ini tidak perlu dengan pukulan, kamu orang yang berakal, berkatalah dengannya dengan ucapan yang lembut.” Kemudian orang itu menyandarkan tongkatnya -tongkat yang digunakan untuk memukul unta- kemudian ia pergi ke masjid untuk shalat Maghrib dengan semangat.

Hal ini terjadi kerana orang yang pertama, dia bermuamalah dengan sikap yang kasar, sedangkan yang kedua bersikap dengan sikap yang lembut. Jika kita tidak berhasil mengatasi masalah ini, maka hendaknya kita merenungi sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah memberikan kepada orang yang lembut apa yang tidak diberikan kepada orang yang kasar,” dan baginda bersabda, “Tidak ada kelembutan pada sesuatu kecuali menghiasinya dan tidaklah kelembutan dicabut dari sesuatu kecuali mengotorinya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2594]

Maka hendaklah bagi orang yang memerintahkan kebaikan untuk menjaga sikap ini, sikap lembut dalam amar makruf nahi mungkar.

3. Tidak menghilangkan kemungkaran dengan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Jika kita melarang sebuah kemungkaran yang kemudian kemungkaran itu bertambah besar, maka kita tidak boleh melakukan pelarangan itu, menolak kerusakan yang lebih besar dengan dua kerusakan yang lebih ringan. Kerana jika dua kerusakan itu berbenturan pada diri kita, dimana keadaan salah satunya lebih berat, maka kita mencukupkan diri dengan kerusakan yang lebih kecil. Misalnya, ada seseorang yang sedang merokok di depan anda, lalu anda berkeinginan untuk melarang dan mengusirnya dari tempat anda, namun anda mengetahui, kalau orang ini dilarang, maka ia akan pergi ke tempat orang-orang yang biasa meminum minuman keras dan jelas minuman keras itu lebih besar dosanya ketimbang rokok, maka dalam keadaan seperti ini janganlah kita melarangnya, bahkan kalau bisa kita menyelesaikannya dengan cara yang lebih baik, supaya kemungkaran ini tidak menjadi lebih besar.

Diceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah melewati satu kaum dari orang-orang Tartar di Syam, beliau menemukan mereka sedang meminum khamer, -waktu itu beliau bersama seorang temannya- lalu beliau melewati kaum tersebut tanpa menegurnya, maka teman beliau bertanya, “Kenapa anda tidak melarang mereka?” Beliau berkata, “Jika kita melarang mereka, maka mereka akan pergi merendahkan harga diri orang-orang muslim dan merampas harta benda mereka, ini lebih parah dari meminum khamer,” maka beliau meninggalkan mereka kerana khawatir mereka akan melakukan hal yang lebih buruk dari itu, ini merupakan pemahaman beliau yang mendalam.

Yang terpenting, bahwasanya disyaratkan pada kewajiban memerintahkan yang baik dan melarang kemungkaran agar tidak mengandung sesuatu yang lebih besar mudharatnya, lebih besar dosanya, dan jika memang terkandung hal demikian, maka wajib menolak dua kerusakan yang lebih tinggi kepada yang lebih ringan, ini adalah kaidah yang masyhur di kalangan para ulama.

4. Adanya perselisihan di antara para ulama, apakah menjadi syarat dalam memerintahkan yang baik dan melarang yang buruk, bahwa orang yang melakukannya harus melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang terlebih dahulu sebelum menyampaikannya? Yang shahih adalah tidak disyaratkan, dia harus memerintahkan yang baik dan melarang kemungkaran, walaupun ia tidak melakukan kebaikan tersebut dan tidak menghindari kemungkarannya, maka dosanya untuknya, akan tetapi, wajib baginya memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, kerana jika ia meninggalkan kebaikan dan tidak mencegah kemungkaran hanya kerana ia tidak melaksanakan perintah dan menjauhi larangan tersebut, maka dosa disandangkan kepadanya. Oleh kerana itu, wajib baginya memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, walaupun ia melakukan kemungkaran dan meninggalkan kebaikan tersebut.

Tetapi pada umumnya, berdasarkan pada tabiat suci manusia, orang tidak akan memerintahkan orang lain dengan sesuatu yang tidak ia lakukan, bahkan ia merasa malu, dan merendah diri, tidak pula melarang sesuatu yang dia kerjakan, tetapi ia wajib memerintahkan apa yang diperintahkan syariat walaupun ia belum bisa melaksanakannya, dan melarang dari kemungkaran yang diingkari oleh syariat walaupun ia belum bisa meninggalkannya, kerana setiap sesuatu dari keduanya punya kewajiban yang terpisah dari yang lain dan dua hal itu tidak saling berkaitan.

Kemudian, hendaknya tujuan orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran adalah untuk memperbaiki masyarakat dan menegakkan syariat Allah, tidak untuk tujuan balas dendam kepada orang yang berbuat maksiat atau untuk memenangkan pribadinya. Sesungguhnya jika ia berniat dengan niat tersebut, maka Allah tidak akan menurunkan berkah ke dalam apa yang dia perintahkan dan apa yang dilarangnya. Hendaknya ia seperti seorang dokter yang ingin mengobati orang, niat utamanya dalam hal ini adalah menegakkan syariat Allah, niat kedua memperbaiki manusia, demikian juga dalam melarang, sehingga ia menjadi pembaharu yang shalih. Kita memohon kepada Allah untuk menjadikan kita semua sebagai penunjuk hidayah, sebagai pembaharu yang shalih, sesungguhnya Dia adalah Dzat yang Mahadermawan.

Pada ayat yang terakhir Allah berfirman, “Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung,” kata-kata mereka mengarah pada umat ini, yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran. Al-Muflih, yaitu orang yang memenangkan tuntutannya dan selamat dari bencana.

Di sini Allah berfirman, “...Merekalah orang-orang yang beruntung,” kalimat ini memberikan pembatasan keberuntungan hanya pada orang-orang yang memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran, dan mengajak kepada kebaikan.

Kemudian firman-Nya,

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 105)

Larangan dari berpecah belah disebutkan setelah menyebutkan perintah kepada kebaikan dan larangan dari kemungkaran, hal ini menunjukkan bahwa meninggalkan perintah pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran merupakan sebab perpecahan, hal itu kerana manusia jika mereka mempunyai kecenderungan yang beraneka ragam, maka mereka pasti terpecah belah. Satu pihak melakukan ketaatan dan satu lagi melakukan kemaksiatan, yang satu mabuk, yang satunya lagi shalat dan lain sebagainya, maka akan terpecah belahlah umat ini, kerana setiap umat memiliki kecenderungan. Kerana Allah berfirman, “... Dan janganlah kalian berpecah belah.”

Kerananya umat tidak akan terhimpun kecuali dengan amar makruf nahi mungkar. Jika umat memerintahkan pada kebaikan dan melarang pada kemungkaran, berhukum dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka selamanya tidak akan berpecah belah dan akan mendapatkan keamanan yang lebih terjamin, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.”
(QS. Al-An'âm: 6: 82)

Negara-negara sekarang ini, baik yang besar mahupun kecil, semuanya telah mengerahkan dana dan kekuatan besar untuk menjaga keamanan, akan tetapi kebanyakan kaum muslimin lupa dengan ayat ini, bahwa keamanan yang sempurna akan terdapat dalam kalimat ini,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 82)

Jika keimanan telah terwujud pada diri masyarakat, dengan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezhaliman, maka akan terwujudlah keamanan pada mereka.

Saya berikan sebuah contoh yang mendekatkan kepada pemahaman walaupun jauh masanya. Pada masa permulaan umat yang penuh berkah ini, terdapat seorang penanggung jawab besar di dalamnya, ia tidur sendirian di dalam masjid, berjalan sendirian di pasar, tidaklah ia takut kecuali kepada Allah, dialah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu yang menggelar tikar di dalam masjid dan tidur di atasnya, tidak ada seorang pun yang menjaganya, kerana memang dia tidak membutuhkan orang yang menjaganya, tidak di pasar, tidak juga di rumahnya dan tidak juga di masjid. Kerana keimanan yang ikhlas tidak akan dicampuradukkan dengan kezhaliman, yakni tidak akan bercampur dengan kezhaliman yang ada pada waktu itu, sehingga masyarakatnya pun merasa aman.

Kemudian bergantilah masa Khalifah Ar-Rasyidin dan datanglah masa Bani Umayah. Pada masa Bani Umayah ini terdapat seseorang yang sangat ekstrim, yang menyimpang dari jalannya Khalifah Ar-Rasyidin. Maka terjadilah kegoncangan dan tersebarlah fitnah, lalu orang-orang khawarij menunjukkan eksistensinya dan terjadilah kerusakan.

Kemudian datang lagi masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz rahimahullah- maka kembalilah keamanan-, sehingga masyarakat dapat pulang dan pergi dalam keadaan aman. Akan tetapi, Allah Ta'ala dengan hikmah-Nya tidak memperpanjangkan masa kekhalifahannya, kerana kekhalifahannya hanya langsung selama dua tahun beberapa bulan.

Yang terpenting, bahwa keamanan yang sempurna bukanlah ditandakan dengan banyaknya tentera, bukan pula dengan kekuatan senjata, tidak juga dengan kekuatan penjagaan dan pengawasan, tetapi keamanan itu terdapat dalam dua perkara saja,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 82)

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala,

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 9: 71)

Orang-orang mukmin laki-laki mahupun perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, masing-masing mereka mengayomi yang lainnya, menolong dan membantunya, lihatlah ayat tentang orang-orang mukmin ini. 

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 9: 71)

Untuk orang-orang munafik, Allah Ta'ala berfirman,

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama).”
(QS. At-Taubah: 9: 67)

Mereka tidak menjadi penolong bagi yang lainnya, tapi orang mukmin dialah yang mengayomi (melindungi) saudaranya, memerintahkan kepada yang baik, dan melarang hal yang mungkar.

Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tugas memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran tidak dikhususkan hanya bagi laki-laki saja, tetapi juga para wanita, itu juga hanya sebatas pada komunitas wanita, tidak termasuk pada perkumpulan laki-laki, dan di pasar-pasarnya, tetapi hanya khusus pada komunitas dan perkumpulan wanita, pada hari-hari pernikahan, hari-hari belajar dan semisalnya, jika para wanita melihat kemungkaran, maka ia harus mencegahnya dan jika ia melihat seseorang lalai dalam menjalankan agamanya, maka ia wajib memerintahkannya, kerana memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran adalah kewajiban setiap muslim dan muslimah.

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan shalat menunaikan zakat dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 9: 71)

Kita memohon pada Allah agar menganugerahkan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita semua.

Imam An-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan ayat ini,

“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu kerana mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 78)

Laknat, yaitu terlempar dan terusir dari rahmat Allah -Na'udzu Billah- dan ini tidak berhak atas seseorang, kecuali jika ia melakukan dosa besar.

Bani Israil, mereka adalah keturunan Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim, Israil adalah gelar untuk Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Ibrahim memiliki dua orang putra, Ismail dan Ishaq. Ismail adalah anak tertua yang diperintahkan Allah untuk disembelih, kemudian Allah menganugerahi mereka dengan membatalkan perintah itu dan menggantinya dengan sembelihan yang agung. Adapun Ishaq adalah putra kedua dari Ibrahim Alaihissalam dari istrinya, adapun Ismail adalah putra baginda dari selirnya; Hajar. Bani Israil adalah keturunan dari Ya'qub bin Ishaq, Allah banyak mengutus para rasul dari mereka, dan di antara mereka ada juga yang melampaui batas dengan membunuh para nabi tanpa hak -Na'udzu Billah.

Mereka juga kaum yang tidak melarang kemungkaran yang dilakukan sebagian mereka, bahkan melihat sebagian mereka melakukan kemungkaran, namun tidak mencegahnya. Kisah tentang desa yang terletak di tepi pantai sangat terkenal dan diketahui di dalam Al-Qur'an Al-Karim, merekalah kaum Yahudi, Allah mengharamkan bagi mereka mengambil ikan di laut pada hari Sabtu, padahal ikan pada hari itu begitu banyaknya sehingga tampak di permukaan air, pada hari yang lain ikan tidak begitu banyak bahkan tidak datang, kejadian ini berlalu dalam masa yang begitu lama, kemudian mereka berkata, “Kita harus membuat hilah (rekayasa), bagaimana kita dapat mengambil ikan pada hari Sabtu.” Akhirnya mereka melakukan hal tersebut. Di antara mereka ada yang memberi nasihat dan melarang dari kemungkaran tersebut, ada yang diam tidak mahu memberi peringatan ada juga kaum yang melakukan hal tersebut. Kemudian Allah mengadzab mereka, sebagaimana firman-Nya,

“Jadilah kamu kera yang dihina!” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 65)

Jadilah mereka seekor kera, bani Adam berubah menjadi kera yang hina dan terhinakan. Dalilnya, bahwa di antara mereka ada kaum yang tidak menasihati dan tidak menegakkan apa-apa yang diwajibkan atas mereka, yaitu melarang kemungkaran, maka jadilah mereka kelompok yang dilaknat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala,

“Melalui lisan (ucapan) Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu kerana mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 78)

Nabi Dawud datang jauh setelah Musa. Isa bin Maryam juga demikian, kedua nabi ini melaknat orang-orang yang tidak mencegah kemungkaran yang mereka lakukan, bahkan diceritakan bahwa keduanya menetapkan hal itu. Maka jadilah orang yang tidak mencegah kemungkaran termasuk dari orang yang dilaknat oleh Allah.

Dalam ayat ini terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya mencegah kemungkaran, sedangkan meninggalkan kewajiban tersebut dapat menyebabkan kita terlaknat dan terusir dari rahmat Allah.

                                          ----


Allah ﷻ berfirman:
۞وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ۞
“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 18: 29)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ۞
“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu).” (QS. Al-Hijr: 15: 94)

Allah ﷻ berfirman:
۞أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ۞
“Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A'râf: 7: 165)

Ayat-ayat tentang bab ini begitu banyak sudah maklum.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dengan mengambil beberapa ayat di antaranya,

“Dan katakanlah (Muhammad), “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” (QS. Al-Kahfi: 18: 29)

Al-Haq (kebenaran), adalah dari Allah Ta'ala, dari Tuhan yang menciptakan makhluk, yang memiliki kebenaran dalam mewajibkan kepada hamba-Nya berdasarkan apa yang Dia kehendaki. Kebenaran datang dari-Nya, maka wajib bagi kita untuk menerimanya.

Firman Allah Ta'ala, ...“barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman dan barangsiapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.” Kalimat ini bukanlah untuk pilihan, manusia diberikan pilihan, jika ia mahu maka ia akan beriman atau jika ia mahu maka ia kafir. Tetapi ayat ini menunjukkan ancaman, dalil tentang ini terdapat pada akhir ayat pada firman-Nya, ...“Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.”  Barangsiapa yang mahu, maka berimanlah dan baginya pahala yang melimpah dan barangsiapa yang mahu, maka kafirlah, baginya adzab yang pedih dan termasuk dari orang yang zhalim, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Dan orang-orang kafir itu adalah mereka yang berbuat kezhaliman,  dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Ta'ala. Kebenaran itu jelas dan nyata, dibawa oleh Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dari Tuhan semesta alam. Siapa yang diberi petunjuk, maka ia mendapatkan taufik -kita memohon hidayah kepada Allah untuk kita- dan barangsiapa yang tersesat -Na'udzu Billah- maka ia telah merugi. Allah tempat meminta pertolongan.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah berkata pada apa yang beliau sebutkan dari ayat-ayat yang menunjukkan kewajiban memerintahkan kebaikan dan melarang dari kemungkaran, Imam An-Nawawi rahimahullah menambahkannya dengan firman Allah Ta'ala,

“Maka sampaikanlah (Muhammad secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang yang musyrik.” 
(QS. Al-Hijr: 15: 94)

Pesan di sini adalah untuk Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam. Perlu diketahui bahwa pesan yang ditujukan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam terbagi menjadi dua bagian: bagian yang khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bagian untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya.

Pada asalnya pesan ini untuk Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan umatnya, kerana Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah qudwah  (panutan) bagi umatnya. Tetapi jika ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa pesan tersebut untuk Rasulullah, maka pesan itu khususkan untuknya, seperti firman Allah Ta'ala,

“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)?” (QS. Al-Insyirâh: 94: 1)

“Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah) dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad).” (QS. Adh-Dhuhâ: 93: 1-3)

Ini dikhususkan untuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Adapun firman Allah Ta'ala,

“Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu?” 
(QS. At-Tahrîm: 66: 1)

Maka ini untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, firman Allah Ta'ala,

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar).” (QS. Ath-Thalâq: 65: 1)

Ini juga untuknya dan umatnya. Firman Allah Ta'ala,

“Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 67)

Dan ini untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sampaikan dariku walaupun satu ayat.”

Dan sini, Allah Ta'ala berkata kepada Rasul-Nya,

“Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al- Hijr: 15: 94)

Yakni, tampakkanlah apa yang diperintahkan dan jelaskanlah dan janganlah engkau takut terhadap cacian orang yang mencaci, ayat ini untuk Rasulullah dan umatnya. Setiap umat wajib untuk menampakkan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, memerintahkan kebaikan kepada manusia dan menampakkan apa yang dilarang-Nya, melarang manusia darinya, kerana larangan terhadap sesuatu, berarti perintah untuk  ditinggalkan. “Maka sampaikanlah (Muhammad) secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al- Hijr: 15: 94)

Yakni, jangan pedulikan mereka, perilaku mereka mahupun sesuatu yang menyakiti dari mereka. Janganlah kamu sedih kerana mereka tidak beriman, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Maka barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu kerana bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Qur'an).” 
(QS. Al-Kahfi: 18: 6)

“Boleh jadi engkau (Muhammad) akan membinasakan dirimu (dengan kesedihan), kerana mereka (penduduk Mekah) tidak beriman.” 
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 3)

Yakni, barangkali kamu akan membinasakan jiwamu jika mereka tidak beriman terhadapmu, janganlah kamu pedulikan mereka, tetapi berpalinglah dari mereka dari hal-hal yang mereka perbuat berupa aniaya, kerana akibatnya akan menimpamu dan otomatis akibatnya itu akan menimpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabarlah dan kamu akan menang.

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Mekah, hijrah secara sembunyi-sembunyi, dia khawatir akan jiwanya kerana orang Quraisy telah menyatakan bahwa barangsiapa yang dapat membawanya dan sahabatnya, Abu Bakar, akan diberikan dua ratus ekor unta, dimana dari tiap salah satunya mendapatkan seratus ekor unta. Akan tetapi Allah Ta'ala menyelamatkan jiwanya.

Selang beberapa tahun, kembalilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menaklukkan kota Mekah dengan kemenangan yang gemilang, baginda memiliki keutamaan atas penduduk Quraisy, sehingga baginda berdiri di pintu Ka'bah dan bersabda, “Wahai penduduk Quraisy, apa yang kira-kira kalian lihat yang harus aku lakukan pada kalian?” Semua penduduk Quraisy berada di bawahnya dalam keadaan hina, mereka berkata, “Dengan kebaikan, wahai anak saudara kami yang mulia.” Baginda berkata, “Sesungguhnya aku berkata kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudara-saudaranya, “Tidak ada pembalasan atas kalian pada hari ini, Allah mengampuni kalian, Dialah Tuhan yang menyayangi diatas yang paling menyayangi. Pergilah semua kalian bebas.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuliakan mereka, setelah baginda mampu atas mereka.

Kesimpulannya bahwa firman Allah Ta'ala, “Berpalinglah dari orang-orang musyrik.” Ini mencakup dua perkara, yaitu berpalinglah dari orang-orang musyrik, janganlah terpengaruh dengan keadaan mereka jika mereka tidak mahu beriman dan janganlah sedih atas hal tersebut. Yang kedua, berpalinglah dari orang-orang musyrik terhadap apa yang ditimpakan atasmu berupa aniaya, kerana hal tersebut nantinya akan menjadi kebaikan bagimu dan inilah yang terjadi. kerananya Allah Ta'ala berfirman setelah ini dengan ayat yang sama,

“Sesungguhnya Kami memelihara engkau (Muhammad) dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olokkan (engkau), (yaitu) orang yang menganggap adanya tuhan selain Allah; mereka kelak akan mengetahui (akibatnya). Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud (shalat).” 
(QS. Al- Hijr: 15: 95-98)

Renungilah bagaimana Allah memerintahkan untuk menyucikan-Nya memuji-Nya setelah Dia berfirman,

“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (QS. Al- Hijr: 15: 98)

Kerana kedudukan di sini adalah kedudukan yang membutuhkan penyucian Allah Ta'ala dan pemujaan-Nya dari kesempitan yang menimpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Quraisy. Yakni menyucikan Allah dari segala hal yang tidak layak bagi-Nya. Ketahuilah, bahwa apa yang Allah telah berlakukan di dunia ini, berada di atas segala hikmah. Demikian pula yang terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sesungguhnya itu terjadi dengan hikmah yang sangat tinggi dan sangat luhur, kerananya Allah Ta'ala dipuja atasnya.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah berkata di akhir ayat yang beliau tuturkan, Allah Ta'ala berfirman,

“Maka setelah mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang yang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A'râf: 7: 95)

Inilah kisah penduduk desa yang kami telah isyaratkan sebelumnya yaitu sebuah desa di tepi pantai yang Allah haramkan mereka untuk mengambil ikan pada hari Sabtu, kemudian Allah menguji mereka dengan menjadikan begitu banyaknya ikan pada hari Sabtu sampai nampak  di permukaan air dan pada selain Sabtu mereka tidak melihat ikannya. Masa terus berlalu, hingga mereka berfikir untuk melakukan rekayasa (rangcangan jahat) yang tidak bermanfaat bagi mereka, mereka meletakkan perangkap ikan pada hari Jum'at dan jika telah datang hari Sabtu, tertangkaplah ikan di dalam perangkap tersebut dan jika telah datang hari Ahad, maka mereka mengambil ikan-ikan tersebut. Inilah balasan Allah Ta'ala atas perbuatan mereka, Allah berkata kepada mereka,

“Jadilah kamu kera yang hina.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 65)

Allah berkata kepada mereka dengan firman kekuasaan-Nya, “Jadilah kamu kera yang hina.”  Maka jadilah mereka kera. Jikalau Allah mengatakan, “Jadilah kalian keledai.” Maka tentunya mereka akan menjadi keledai, tetapi Allah mengatakan, “Jadi kamu kera yang hina.” Kerana kera lebih serupa dengan manusia. Perbuatan jelek mereka menyamarkan sesuatu yang halal adalah sebuah rekayasa, apa yang mereka lihat secara lahir akan mereka katakan, “Kami tidak mengambil ikan pada hari Sabtu tetapi kami meletakkan perangkap pada hari Jum'at dan mengambilnya pada hari Ahad.” Bentuk ini adalah bentuk yang halal akan tetapi diharamkan, jadilah balasannya sangat sesuai dengan amal mereka. Pada ayat ini terdapat satu kaidah yang disebutkan Allah Ta'ala dalam kitab-Nya, bahwasanya balasan itu sesuai dengan perbuatannya.

Allah Ta'ala berfirman,

“Maka masing-masing (mereka itu) Kami adzab kerana dosa-dosanya.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 40)

Setiap manusia dibalas sesuai dengan kesalahan yang ia lakukan, maka dikatakanlah kepada mereka, “Jadilah kamu kera yang hina,” maka jadilah mereka kera yang berkeliaran- Na'udzu Billah- di pasar-pasar. Dari sisi yang lain, 

Allah Ta'ala berfirman,

“Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang yang berbuat jahat.” (QS. Al-A'râf: 7: 165)

Demikianlah, mereka terbagi atas tiga bagian. Satu bagian berbuat rekayasa (rancangan jahat), satu lagi diam dan sekelompok lainnya melarang. Orang-orang yang diam ini berkata kepada orang-orang yang mencegah dari kemungkaran,

“Mengapa kamu menasihati kaum yang akan dibinasakan atau diadzab Allah dengan adzab yang sangat keras?” (QS. Al-A'râf: 7: 164)

Yakni, tinggalkan mereka, mereka itu orang yang celaka, jangan kamu nasihati mereka, nasihatimu tidak bermanfaat bagi mereka. Mereka berkata,

“Agar Kami mempunyai alasan (lepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan agar mereka bertakwa.” (QS. Al-A'râf: 7: 164)

Yakni, biarkan kami mengambil dua manfaat; alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Rabbmu agar kita punya alasan disisi-Nya dan supaya mereka bertakwa, sebagaimana firman Allah Ta'ala kepada Fir'aun,

“Maka berbicaralah kamu berdua kepada (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (QS. Thâhâ: 20: 44)

Di sini Allah Ta'ala berfirman, “Semoga mereka bertakwa.” Akan tetapi, Allah Ta'ala diam terhadap kelompok yang ketiga ini.

Allah Ta'ala berfirman,

“Kami selamatkan orang-orang yang melarang orang yang berbuat jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zhalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” 
(QS. Al-A'râf: 7: 165)

Para ulama berbeda pendapat, apakah kelompok yang diam (tidak memberi nasihat) juga tertimpa adzab atau mereka selamat? Yang benar, hendaknya kita diam sebagaimana Allah pun diam, kita katakan bahwa orang-orang yang melarang, mereka selamat, adapun orang-orang yang terjerumus ke dalam perbuatan haram, maka mereka celaka dan diadzab. Sedangkan orang-orang yang diam saja (tidak memberi nasihat), maka Allah tidak membicarakan mereka dan usaha kita selalu bersandar dengan apa yang terdapat pada Kitab Allah Ta'ala.

Adapun hadits-haditsnya sebagai berikut:

Hadits 184.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْريِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلَكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubahnya (mengingkari) dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia merubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah.”

[Shahih Muslim no. 49]

Hadits 185.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَا مِنَ نَبِيٍّ بَعَثَهُ اللهُ فِي أُمَّةٍ قَبْلِي إِلَّاكَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُوْنَ بِأَمْرِه، ثُمَّ إِنَّها تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَالَا يَفْعَلُونَ، وَيَفْعَلُونَ مَالاَ يُؤْمَرُونَ، فَمَنْ جَاهَدَهُم بِيَدِهِ فَهُو مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُو مُؤْمِنٌ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada seorang nabi pun yang diutus oleh Allah kepada umat sebelumku kecuali ia memiliki dari umatnya Al-Hawariyun (para pengikit setia) dan para sahabat yang mengambil sunnahnya dan mengikuti perintahnya. Kemudian setelah mereka akan muncul orang-orang yang mengatakan sesuatu yang mereka tidak perbuat dan mereka berbuat sesuatu yang tidak diperintahkan. Barangsiapa yang berjihad kepada mereka dengan tangannya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan barangsiapa yang berjihad dengan lisannya, maka ia adalah seorang mukmin. Dan tidak ada setelah itu dari keimanan walaupun hanya sebesar biji sawi.”

[Shahih Muslim no. 50]

Hadits 186.
عَنْ أَبِي الْوَلِيْدِ عُبَادَةَ بنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: « بَايَعْنَا رَسُوْلَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ، وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَعَلَى أَنْ لَا نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ تَعَالَى فِيْهِ بُرْهَانٌ، وَعَلَى أَنْ نَقُوْلَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لَا نَخَافُ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abul Walid Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami berbaiat (janji) kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin kaum muslimin), baik dalam keadaan sulit mahupun mudah, dalam keadaan giat atau malas, serta ketika hak-hak kami dirampas. (kami juga berbaiat kepada baginda) untuk tidak menentang perintah dari yang berhak memerintahkannya, kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, berdasarkan dalil-dalil dari Allah. Dan agar kami semua berkata benar dimana saja kami berada, kami tidak takut terhadap celaan siapa pun dalam membela (agama) Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7199, 7200 dan Muslim no. 1709]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Ubadah bin Ash-Shamit radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengar dan taat, baik dalam keadaan sulit mahupun mudah, dalam keadaan giat atau malas, juga agar lebih mengutamakan orang lain dari diri sendiri. Yakni para sahabat berbaiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mendengarkan dan taat, yaitu kepada orang yang ditetapkan oleh Allah perkaranya, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 59)

Telah saya jelaskan sebelumnya siapa yang di maksudkan dengan ulil Amri, telah kita sebutkan bahwa mereka ada dua kelompok, yaitu para ulama dan para penguasa. Mereka semua disebut Wulatul Amri (mengatur urusan), para ulama adalah pemegang urusan dalam ilmu dan penjelasan, adapun para penguasa, mereka adalah pemegang urusan dalam pelaksanaan dan kekuasaan. “...Kami berbaiat untuk mendengar dan taat,” dikecualikan dari hal ini yaitu kemaksiatan kepada Allah Ta'ala, tidak boleh seorang pun berbaiat untuk ini, kerana tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah. Kerananya, Abu Bakar radhiyallahu anhu ketika beliau menjabat sebagai Khalifah, ia berkata, “Taatilah aku selama aku masih menaati Allah dan Rasul-Nya, jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada ketaatan padaku atas kalian.” Jika seorang pemimpin memerintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh bagi seseorang untuk mendengar dan menaatinya, kerana Raja dari segala raja adalah Allah Ta'ala; Tuhan Semesta Alam, tidak mungkin bermaksiat pada Tuhan semesta Alam hanya untuk menaati seseorang yang menjadi hamba-Nya. Kerana setiap sesuatu selain Allah, mereka itu adalah milik dan hamba Allah, bagaimana mungkin seseorang mendahulukan ketaatannya pada mereka, daripada ketaatannya kepada Allah. Dengan begitu, dikecualikan dari ucapan ‘mendengar dan taat’, apa yang ditunjukkan oleh dalil ini, bahwa tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada sang Khalik.

Perkataan hadits, “Dalam keadaan sulit mahupun mudah.” yakni sama saja, apakah kami berada dalam kesulitan harta atau berada dalam kemudahan, wajib bagi kita semua, baik itu orang kaya mahupun fakir, untuk menaati dan mendengar orang yang memegang urusan kita. Begitu juga apabila kita berada dalam keadaan senang mahupun benci. Yakni, sama saja apakah kita sedang berada dalam keadaan benci terhadap hal itu, kerana mereka memerintahkan sesuatu yang tidak kita sukai dan tidak kita inginkan, atau kita menyukai hal itu, kerana mereka memerintahkan sesuatu yang sesuai dan cocok kita. Yang penting, kita mendengar dan menaati dalam setiap kondisi, kecuali sesuatu yang sudah dikecualikan.

Perkataan hadits, “Agar lebih mengutamakan orang lain dari diri sendiri.” Yakni, jikalau sekiranya pemimpin itu mementingkan diri mereka daripada rakyat dengan harta atau yang lainnya, dari hal-hal yang memperkaya dirinya sendiri, dan menghalangi orang yang mereka pimpin, maka wajib bagi kita untuk mendengar dan menaatinya, tidak mengatakan kepada mereka, “Kalian telah memakan harta, merusaknya dan menyia-nyiakannya, maka kami tidak akan menaati kalian.” Tapi kita katakan, “Kami hanya mendengar dan taat kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. Walaupun kalian telah mementingkan diri kalian atas kami, walaupun kami tidak bertempat tinggal kecuali di gubuk, tidak tidur kecuali di tikar yang usang, sedangkan kalian tinggal di istana, menikmati tempat tidur yang paling baik, tetapi itu tidak penting bagi kami, kerana semua itu hanyalah perhiasan dunia yang akan sirna. Tugas kami hanyalah mendengar dan taat, walaupun kami menemukan para pemimpin lebih mementingkan dirinya daripada kami.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam hadits yang lain, 

“Dengarkanlah dan taatlah walaupun punggung kalian dipukul dan harta kalian diambil.”

[Shahih Muslim no. 1847]

Ketahuilah, bahwa kamu akan diambil balasan darinya pada hari Kiamat, dari kebaikannya jika memang tersisa kebaikannya, jika tidak ada, maka diambil dari keburukan dan kezhalimannya lalu dilemparkan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke neraka. Na'udzu Billah. Setiap perkara akan diperhitungkan dan dihukumi, tidak ada yang sia-sia di sisi Allah.

Adapun perkataan, “tidak menentang perintah dari yang berhak.” Yakni, kami tidak menarik pemimpin kami yang telah Allah kuasakan atas kami, agar kami bisa mengambil kepemimpinan dari mereka, kerana kudeta ini akan membawa banyak keburukan, fitnah yang besar, perpecahan di antara kaum muslimin dan tidak akan ada kelangsungan bagi umat Islam bila kudeta tersebut dilakukan terhadap pemimpinnya. Sejak masa Utsman bin Affan radhiyallahu anhu sampai saat sekarang ini, tidak ada yang lebih merusak masyarakat, kecuali melakukan kudeta terhadap pemimpinnya.

Perkataan, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata berdasarkan dalil-dalil yang datang dari Allah.” Ada tiga syarat, ketika kita melihat kejadian ini, maka pada saat tersebut kita boleh mengambil kekuasaan darinya (kudeta). Berusaha untuk menghapuskan kekuasaannya tetapi harus dengan tiga syarat:

1. Kalian melihatnya harus dengan ilmu (bukti dan dalil). Tidak boleh mengudeta pemimpin yang hanya bersandar pada prasangka kita harus benar-benar mengetahuinya.

2. Kita mengetahui kekafirannya bukan kefasikannya. Kefasikan dari seorang pemimpin walaupun seberat apapun kefasikannya, maka kita tidak boleh mengudeta dari kepemimpinannya. Jika ia minum khamer, berzina atau menzhalimi masyarakat, kita tidak boleh mengeluarkannya dari kepemimpinannya. Akan tetapi, jika kita melihat kekufuran yang sangat jelas, di sini kita boleh mengudeta mereka.

3. Kekufuran yang jelas. Yakni kekufuran yang tidak diragukan lagi. Lafazh Bawwah yakni sesuatu yang jelas; tampak. Adapun yang masih memiliki persepsi, maka tidak boleh mengeluarkan mereka. Jika kita reka, bahwa kita melihat mereka berbuat sesuatu yang kita pandang sebagai sebuah kekafiran, tetapi di dalamnya masih ada kemungkinan bahwa hal itu bukanlah kekafiran, maka tidak boleh kita menarik mereka atau keluar dari kepemimpinannya lalu mengangkat pemimpin lain selain mereka. Tetapi, jika kekafiran itu jelas, misalnya pemimpin itu mengatakan kepada masyarakatnya, “Sesungguhnya khamer itu halal, minumlah sepuas kalian, berhubungan sesama jenis itu juga halal, maka berhubunganlah kalian sepuasnya, berzina itu halal maka berzinalah kalian dengan siapa saja yang kalian suka.” Ini adalah kekafiran yang tidak dapat diragukan lagi. Kita wajib menurunkannya dengan segala cara, walaupun dengan cara membunuh. Kerana ini adalah kekafiran yang sangat jelas.

4. Kalian memiliki bukti dan dalil yang jelas dari Allah. Yakni, kita mempunyai dalil yang sangat jelas tentang kekufuran tersebut. Namun, jika bukti itu lemah dalam penetapannya atau lemah dalam penunjukannya, maka tidak boleh mengeluarkan dari kepemimpinan mereka. Kerana mengeluarkan mereka dari kepemimpinan sangat banyak keburukannya dan kerusakannya pun sangat besar. Jika kalian mahu, katakanlah dengan tiga syarat atau kalian mahu katakanlah empat syarat.

Misalnya, jika kita melihat hal ini, maka tidak boleh kita menarik kepemimpinan sampai kita mempunyai kemampuan untuk menghilangkannya, jika kita tidak mampu untuk menghilangkannya, maka janganlah mengudeta, kerana bisa jadi ketika kita mengudeta dan kita tidak mempunyai kemampuan, maka kemungkinan dia menyempurnakan sebagian kebaikannya, dan ia akan semakin berkuasa.

Syarat-syarat ini adalah syarat yang membolehkan atau mewajibkan -wajib keluar dari kepemimpinan penguasa- tetapi dengan syarat kita mempunyai kemampuan, jika kita tidak mempunyai kemampuan, maka tidaklah diperbolehkan, kerana ini sama saja dengan menjatuhkan diri ke dalam bencana, tidak ada manfaatnya. Jika kita mengudeta orang yang memang kelihatan benar-benar telah kafir dan kita memiliki bukti dari Allah Ta'ala, tapi kita tidak mampu mengudetanya, kecuali dengan hunusan pedang, sedangkan ia memiliki tank dan senjata berat! Maka tidaklah ada manfaatnya. Maknanya, bahwa keluarnya kita itu berarti membunuh jiwa kita sendiri. Benar, kita harus mencari strategi dengan segala macam cara untuk menumpas pemerintahan yang kafir ini, tetapi dengan empat syarat yang telah disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam yaitu benar-benar terlihat kekafirannya, kalian memiliki dalil yang sangat jelas. Sebelumnya telah kita ketahui hak-hak orang yang mengurusi perkara kita, maka sekarang tinggal kita pertanyakan, “Apa hak masyarakat yang wajib dilakukan oleh pemegang kekuasaannya.” Hak masyarakat yang wajib atas pemegang kekuasaan adalah berbuat adil terhadap mereka, bertakwalah kepada Allah dalam kepemerintahannya, tidak membebani mereka, dan hendaklah menjadikan orang yang memiliki kebaikan sebagai pemimpin untuk mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ya Allah, barangsiapa yang mengurus perkara umatku, kemudian ia memberatkan mereka maka beratkanlah ia ya Allah.”

[Shahih Muslim no. 1828]

Doa dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang menguasai perkara kaum muslimin, baik itu dalam skala kecil mahupun skala besar, kemudian ia memberatkan mereka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam mendoakannya, “Ya Allah maka perberatkanlah ia.” Apa pendapatmu mengenai orang-orang yang diberatkan  oleh Allah? Na'udzu Billah, sesungguhnya ia akan merugi dan mendapatkan kemerosotan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam mengabarkan dalam sabdanya,

“Tidak ada satu pemimpin pun yang menguasai perkara-perkara kaum muslimin yang ia tidak bersungguh-sungguh terhadap mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk bersama rakyatnya ke surga.”

[Shahih Muslim no. 142]

Kerananya wajib bagi para pemimpin untuk menasihati rakyatnya, memilih sesuatu yang terbaik bagi rakyatnya, mengurus perkara mereka tanpa ada maksud, tetapi memandang untuk kemaslahatan rakyat kemudian menguasakan mereka kepada orang yang lebih utama.

Kekuasaan itu berbeda-beda, imam masjid misalnya, orang yang paling utama adalah orang yang paling mampu membaca kitab Allah, perkara yang lainnya seperti jihad, maka orang yang paling utama memimpin jihad adalah orang yang paling mengerti tentang jihad dan seterusnya. Yang terpenting adalah wajib bagi orang yang menguasai perkara kaum muslimin untuk menempatkan orang yang terbaik bagi kaum muslimin. Tidak boleh menempatkan seseorang atas kaum muslimin, sedang di antara mereka ada yang lebih baik darinya, ini adalah sebuah pengkhianatan. Demikian halnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan, 

“Tidak ada seorang hamba yang Allah jadikan pemimpin bagi rakyatnya, ia meninggal pada hari meninggalnya sedangkan ia dalam keadaan menipu (menzhalimi) rakyatnya, melainkan Allah haramkan baginya surga.”

[Shahih Muslim no. 142]

Para pemimpin memiliki hak yang sangat besar terhadap orang-orang yang dipimpinnya. Sebagaimana rakyat juga mempunyai hak yang besar terhadap mereka. Wajib bagi mereka untuk melaksanakannya kepada pemimpin mereka, janganlah membangkang kepada mereka walaupun mereka mementingkan sesuatu. Kewajiban mereka adalah mendengar dan menaati, baik dalam keadaan suka mahupun tidak, dalam keadaan sempit mahupun lapang, kecuali apabila ia mengajak bermaksiat kepada Allah. Kerana tidak diperbolehkan seseorang memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Sebagaimana juga tidak boleh bagi seseorang untuk menaati mereka dalam maksiat kepada Allah.

Adapun perkataan sebagian orang yang tidak mengerti, “Sesungguhnya tidak wajib bagi kita taat kepada para penguasa kecuali jika mereka istiqamah (melaksanakan perintah Allah) dan menyeluruh.” Ini adalah kesalahan, ini keliru dan bukan merupakan ajaran syariat sedikit pun, ini adalah pemahaman Khawarij, mereka menginginkan para penguasa itu istiqamah pada perintah Allah dalam setiap sesuatu. Ini tidak akan pernah terjadi, kerana perkaranya telah berubah.

Disebutkan, ada salah seorang raja dari Bani Umayyah ia mendengar bahwa orang-orang berbicara tentang dirinya dan khilafahnya, kemudian ia mengumpulkan para tokoh masyarakat, dan para pemikir mereka, lalu ia berbicara kepada mereka, “Sesungguhnya kalian menginginkan dari kami untuk bersikap seperti Abu Bakar dan Umar?” Mereka berkata, “Ya, anda adalah khalifah dan mereka dulu juga khalifah.” Ia berkata, “Jadilah kalian seperti rakyat Abu Bakar dan Umar, maka kami akan seperti Abu Bakar dan Umar.” Ini adalah jawaban yang sangat mulia, kerana jika masyarakat berubah, maka Allah pasti akan mengubah pemimpin mereka, sebagaimana kalian memilih mereka di antara kalian. Adapun jika mereka menginginkan penguasa seperti khalifah, sedangkan mereka sendiri jauh dari sikap masyarakat yang dipimpin khalifah itu, maka ini tidaklah dibenarkan, demikianlah Allah Ta'ala berfirman,

“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang zhalim berteman dengan sesamanya, sesuai dengan apa yang mereka kerjakan.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 129)

Mereka menceritakan, bahwa ada seorang khawarij keluar dari kepemimpinan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, kemudian ia mendatangi Ali dan berkata, “Wahai Ali, apa yang terjadi pada masyarakat yang telah berubah sikap kepadamu, sedang mereka tidak berubah pada masa Abu Bakar dan Umar?” Kemudian Ali menjawab, “Kerana para pendukung Abu Bakar dan Umar adalah aku dan orang yang sepertiku, sedangkan pendukungku adalah kamu dan yang sepertimu.” Inilah adalah ucapan yang bagus, yakni tidak ada kebaikan padamu, kerana masyarakat berubah sikap terhadap kita, akan tetapi pada masa Abu Bakar dan Umar masyarakatnya adalah sekaliber Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan dan selain mereka dari para sahabat yang mulia radhiyallahu anhum, yang tidak pernah berubah kepada kepemimpinan mereka.

Kesimpulannya, kita wajib mendengar dan menaati penguasa dalam setiap sesuatu, tidak mendustakan mereka, kecuali jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, kerana mereka tidak ada sewenang memerintahkan masyarakatnya untuk bermaksiat. Jika mereka tidak berwenang memerintahkan kemaksiatan, maka masyarakat juga tidak berwenang untuk menaati mereka.

Demikian juga wajib bagi rakyat untuk menasehati pemimpin mereka, tidak mendustakan mereka, tidak merendahkan mereka, dan tidak mengkhianati mereka. Sangat disayangkan pada hari ini banyak sekali orang yang mendustakan dan meremehkan peraturan-peraturan negara. Melakukan tindakan korupsi dan lain sebagainya yang tidak pantas bagi seorang yang berakal dan mulia, apalagi bagi seorang muslim. Jika negara-negara kafir pun mampu menghukum para pelaku korupsi meskipun dia seorang tokoh besar, maka yang mampu untuk melakukan hukuman kepada pelaku korupsi adalah Allah Ta'ala, kita beriman kepada Allah Ta'ala dan apa yang disampaikan secara lisan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pelaku suap dan orang yang minta suap, maka adzab Allah akan lebih dahsyat daripada adzab manusia. Namun demikian, sangat disayangkan masih banyak kita temukan suap-menyuap (rasuah) di setiap penjuru negeri, kecuali negeri yang Allah kehendaki.

Demikian juga kamu temukan orang-orang yang mendustakan dan menentang pemerintahan. Seperti orang yang mendatangi lahan-lahan pertanian, dia masuk ke pertanian orang dengan namanya sedangkan ia berdusta tetapi hanya untuk mengambil manfaatnya dan mengambil hasilnya, padahal terkadang pemerintahan sudah mendapatkan bagian pertanian dan tidak tersisa di pemerintahan kecuali hanya Dirham. Maka datanglah orang menjualnya kepada orang lain, menjual Dirham dengan Dirham disertai kelebihan dan disertai dengan mengakhirkan masa penerimaan, dan lain sebagainya berupa kemaksiatan yang dilakukan oleh masyarakat, kemudian mereka menginginkan pemimpin-pemimpin mereka itu seperti Abu Bakar dan Umar, ini tidaklah benar. Di antara perkara-perkara yang sering dilupakan oleh masyarakat, mereka tidak menghormati harga diri pemimpin-pemimpin mereka. Kita menemukan candaan pada perkumpulan-perkumpulan mereka -kita memohon kepada Allah keselamatan dan agar menerima taubat kita semua- mereka berbicara tentang harga diri para pemimpinnya, jika pembicaraan itu berisi kemuliaan dan bisa memperbaiki keadaan, maka kita katakan, “Tidak mengapa, ini adalah hal baik,” tetapi pembicaraan ini tidak berisi kemuliaan bukan pembicaraan yang dapat memperbaiki keadaan, tetapi justru menambah kekesalan hati para penguasa, baik itu para ulama mahupun pemerintah.

Kita temukan sekarang ada sebagian orang yang tujuannya jika duduk di sebuah majelis mereka tidak berkonsultasi, kecuali apabila seorang berilmu dari kalangan ulama atau menteri dan para pemimpin lainnya sampai orang yang ada di atasnya berpegang pada pembicaraan tentang martabatnya, ini tidaklah benar, sekiranya perkataan ini mengandung kemuliaan, tentunya kita menjadi orang pertama yang mendukungnya, dan kita pasti akan mengatakan, “Ini tidaklah mengapa, kemungkaran harus dihilangkan, dan kesalahan harus dibenarkan.” Tetapi perkataan itu tidaklah mengandung kemuliaan, hanya membuat kekesalan hati, membuat orang benci pada para pemimpin, membenci para ulama, dan tidak ada manfaatnya sama sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengucapkan satu kalimat yang sangat berbobot (isi bermutu) -semoga Allah membalas baginda atas umatnya dengan kebaikan- “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6018, 6136, 6138 dan Muslim no. 47]

Yang mengherankan, bahwa sebagian orang dari pemuka agama- jika kamu ingin membicarakan tentang pribadi orang biasa- mereka akan mengatakan, “Jangan membicarakan orang lain, haram,” akan tetapi, jika kamu berbicara tentang salah seorang penguasa, dia malah ikut nimbrung (turut serta), walaupun ia tidak suka apabila orang itu membicarakan tentang martabat orang lain di sisinya selain dari penguasa, akan tetapi kalau berkenaan tentang mereka, dia berpendapat bahwa hal ini tidaklah mengapa. Inilah penyakit yang banyak menimpa umat ini, dan saya menganggapnya sebagai penyakit -kita meminta kepada Allah untuk menyelamatkan kita dan kalian dari penyakit ini- yang menimpa orang banyak.

Jikalau orang-orang mampu menahan lisannya dan menasehati para pemimpinnya, saya tidak mengatakan, “Diamlah pada kesalahan,” akan tetapi saya katakan, “Tulislah untuk para penguasa, tulislah sebuah pesan, jika ini sampai maka ini yang diharapkan, dan jika bermanfaat bagi mereka maka ini akan lebih baik, dan jika mereka tidak peduli, maka dosa bagi mereka.” Jika kekeliruannya itu memang nyata, apabila pesan ini tidak sampai kepada mereka, maka dosalah bagi orang yang mencegah hal tersebut. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika para sahabat berbaiat kepada baginda, “Agar kami mengatakan kebenaran di mana pun kami berada.” Yakni untuk menegakkan kebenaran yaitu agama Islam dan syariat yang agung di mana pun kita berada, yakni di tempat mana pun, apakah di dalam negeri, di darat, di laut, atau di tempat mana pun, baik itu di negeri kafir mahupun di negeri Islam, kita tegakkan kebenaran di mana pun kita berada, jangan membuat kita berhenti kerana cacian seseorang, yakni tidak penting bagi kita jika seseorang mencaci kita dalam menegakkan agama Allah, kerana kita berada dalam kebenaran.

Misalnya jika seseorang ingin menerapkan sunnah, kemudian ia diingkari oleh banyak orang, maka pengingkaran ini tidak mencegahnya untuk menegakkan sunnah, kita ambil contoh misalnya meluruskan shaf dalam shalat berjamaah, kebanyakan orang awam mengingkarinya jika imam berkata, “Luruskan shaf kalian,” kemudian ia melihat ke arah mereka dan mengatakan, “Majulah kamu sedikit, kamu mundur sedikit,” atau imam terlambat masuk ke dalam shalat sampai barisan sudah lurus, mereka malah mengingkarinya, mereka marah kepadanya, sampai-sampai sebagian mereka berkata kepadanya pada sesuatu kesempatan, “Ya fulan, engkau datang terakhir sekarang engkau ada di depan,” kemudian ia berbicara dengan sangat marahnya, “Jika engkau mahu keluarlah dari masjid, dan aku akan membiarkannya untukmu,” contoh-contoh seperti ini tidaklah sepantasnya seseorang menghiraukan cacian ini dalam menegakkan sunnah, tetapi hendaklah ia sabar dan tetap komitmen dengan sunnah, orang-orang akan terlatih dengan sunnah dan lama-kelamaan mereka akan mengambilnya dan mereka akan merasakan kebahagiaan. Akan tetapi, jika kamu menemukan orang yang begitu keras, maka pada kesempatan seperti itu hendaklah mengajari mereka terlebih dahulu sampai hati mereka tenang, terpaut hatinya, jika sunnah sudah dilaksanakan, maka kebaikan pun akan tercapai.

Di antara yang demikian juga, kebanyakan orang-orang awam mengingkari tentang sujud sahwi sesudah salam, dan sudah jelas bahwa hal itu terdapat dalam sunnah jika sujud sahwinya kerana penambahan atau ragu dalam hal yang kuat antara dua sisi, maka ia sujud setelah salam, bukan sebelum salam, inilah sunnahnya, sampai Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahwasanya, wajib sujud setelah salam jika sujudnya itu setelah salam, dan sebelum salam jika sujudnya itu sebelum salam,” beliau tidak menjadikan ini sebagai keutamaan, tetapi kewajiban.

Seorang imam melakukan sujud sahwi kerana lupa dalam shalatnya, kerana ia menambahkan atau kerana keraguan yang dikuatkan berdasarkan keyakinan yang kuat, kemudian ia sujud sesudah salam, ketika ia sujud setelah salam, orang-orang awam menuduhnya, apakah ini agama baru?! Ini keliru, maka berkatalah salah seorang dari mereka, “Ini sesuai dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau salam dari dua rakaat kemudian dikabarkan kepada beliau, lalu beliau menyempurnakan shalatnya kemudian salam, selanjutnya sujud sahwi setelah salam, mereka berkata, “Selamanya, kami tidak mahu menerima,” kemudian dikatakan kepada mereka, “Siapa ulama yang kalian sukai?” Mereka berkata, “Kami ridha kepada fulan dan fulan,” kemudian mereka pergi kepadanya, dan ia berkata kepada mereka, “Ini adalah benar, inilah sunnahnya.” Sebagian para imam melakukan sujud sahwi sebelum salam, padahal ia mengetahui bahwa sunnahnya itu adalah sujud sahwi setelah salam, kerana takut kepada ucapan orang-orang awam. Ini berarti bertentangan dengan apa yang mereka baitkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tegakkanlah kebenaran, dan janganlah takut terhadap caci maki.

Demikian juga yang berkaitan dengan kejujuran dalam bermuamalah, sebagian orang tatkala memberitahukan seseorang tentang sesuatu yang terjadi, mereka berkata, “Ini adalah kekhawatiran, saya tidak harus memberitahukannya dengan segala sesuatu, misalnya terdapat cacat pada barang, ia berkata, “Gampang, orang-orang pasti suka.” Hal wajib bagi manusia adalah bertakwa kepada Allah Ta'ala, menegakkan keadilan dan melaksanakan yang seharusnya, jangan takut dengan cacian orang dalam menegakkan agama Allah. Akan tetapi, seperti apa yang kamu katakan pertama kali terhadap orang-orang yang keras, yang terbaik adalah menyampaikan syariat kepada mereka sebelum diterapkan, supaya hati mereka bisa tenang, apabila syariat itu sudah diterapkan setelahnya, maka mereka telah mendapatkan pengetahuan darinya, dan tidak akan terjadi penentangan.

Hadits 187.
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَثَلُ الْقَائِمِ فِي حُدُوْدِ اللهِ، وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اِسْتَهَمُوا عَلَى سَفِيْنةٍ فَصَارَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا وَكَانَ الَّذِيْنَ فِي أَسْفلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصَيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ تَرَكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوْا جَمِيْعًا، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا » . رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Nu'man bin Basyir radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, baginda bersabda:

“Perumpamaan orang yang menegakkan batasan-batasan (hukum-hukum) Allah dan orang-orang yang melanggarnya, seperti kaum yang memenuhi kapal dengan mengundi sehingga terbagilah sebagian mereka ada yang di bagian atas dan sebagian lainnya ada di bawah. Jika orang yang berada di bawah ingin minum, maka mereka akan naik ke atas melewati orang yang di atas mereka, kemudian mereka berkata, “Jika kita lubangi bagian kita dengan lubang yang kecil, maka kita tidak akan menggangu orang yang di atas.” Jika mereka (yang di atas) membiarkannya dan tidak mencegahnya apa yang dikehendaki orang-orang yang ada di bawah, maka mereka semua akan binasa, tetapi jika mereka mencegahnya, maka mereka semua akan selamat.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2493]

Yang dimaksud dengan “Menegakkan batasan-batasan Allah” adalah orang yang memungkirinya, yang menolak dan menghilangkannya, yang dimaksud dengan batasan-batasan Allah adalah segala sesuatu yang dilarang oleh Allah. Lafazh Istahamuu, maknanya adalah terbagi dalam bagian.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dengan riwayat yang ia nukil dari An-Nu'man bin Basyir Al-Anshari radhiyallahu anhu dalam Bab “Memerintahkan yang Makruf dan Melarang yang Mungkar,” dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan Allah, dan yang terjadi padanya,” yang menegakkan syariat Allah, yang menjalankan kewajiban dan meninggalkan keharaman. Yang dimaksud dengan “Yang terjadi padanya,” yakni dalam batasan-batasan Allah, yaitu orang yang melakukan keharaman yang meninggalkan kewajiban, mereka seperti kaum yang melakukan undian di atas perahu (kapal), mereka membuat undian, siapakah di antara mereka yang menempati bagian atas? “Sehingga terbagilah sebagian mereka ada yang di bagian atas dan sebagian lainnya ada di bawah. Jika orang yang berada di bawah ingin minum,” yakni ketika mereka meminta air untuk minum, mereka harus melewati orang yang berada di atas, kerana air tidak terdapat kecuali di bagian atas, kemudian mereka berkata, “Jika kita lubangi bagian kita dengan lubang yang kecil,” yakni kita membuat lubang di tempat kita agar kita dapat minum darinya, sehingga orang yang ada di atas tidak terganggu oleh kita. Demikianlah yang mereka inginkan dan mereka upayakan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mereka (yang ada di atas) membiarkannya dan tidak mencegahnya apa yang dikehendaki orang-orang yang ada di bawah, maka mereka semua akan binasa,” yakni jika mereka melubangi bagian bawah kapal, maka air pun akan masuk, dan kapal pun akan tenggelam, namun, “Jika mereka mencegahnya, maka mereka semua akan selamat,”  yakni mencegah mereka dari perbuatan tersebut, maka mereka semuanya akan selamat, yakni selamatlah yang di bawah dan di atas.

Perumpamaan yang dibuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perumpaan yang sangat bagus dan sarat makna yang tinggi. Manusia di dalam syariat agama Allah ini, seperti orang yang berada di atas kapal, di lautan yang sangat dalam yang dihempas oleh gelombang, dan sudah barang tentu para penumpang yang ada dalam kapal itu terbagi kelasnya, ada yang di bagian atas ada juga di bagian bawah, sehingga stabillah posisi kapal dan penumpang pun tidak berdesak-desakan. Dalam kapal yang berpenumpang banyak ini, jika ada salah seorang dari mereka yang ingin membuat kerusakan, maka harus ada orang yang mencegahnya, agar mereka semua selamat jika tidak dicegah, maka akan binasa semuanya. Demikianlah agama Allah, jika orang-orang yang berakal, orang-orang yang berilmu dan para ulama dapat mencegah orang yang bodoh, maka semuanya akan selamat, dan jika mereka membiarkannya dan tidak mahu mencegahnya, maka semua akan binasa. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu.” (QS. Al-Anfâl: 8: 25)

Dalam permisalan ini juga terdapat satu dalil yang menunjukkan bahwa seyogyanya bagi seseorang yang mengajarkan orang lain untuk membuat permisalan yang bisa mendekatkan pada pemahaman mereka dengan gambaran yang dirasakan.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tidak ada yang akan memahaminya kecuali mereka yang berilmu.” 
(QS. Al-'Ankabût: 29: 43)

Berapa banyak orang-orang yang sudah dijelaskan kepadanya sesuatu makna secara panjang lebar namun tetap saja tidak memahaminya, tetapi ketika dibuat suatu permisalan yang dapat dicerna dan diketahui oleh mereka, maka mereka pun akan paham.

Lihatlah pada pemisalan yang menakjubkan yang dibuat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang Badui yang biasa menggembalakan untanya, dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya istriku melahirkan anak yang berkulit hitam, padahal aku berkulit putih, istriku juga berkulit putih, maka dari mana kulit hitam ini datang?” 

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apakah engkau memiliki unta?” 

Orang itu menjawab, “Ya, aku memiliki unta?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa warnanya?” 

Orang itu menjawab, “Merah.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah di sana ada yang berwarna abu-abu yaitu campuran antara hitam dan putih?” 

Ia berkata, “Ya, ada.” 

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Dari mana warna itu datang?” 

Orang itu menjawab, “Barang kali dari genetiknya, yang berasal dari kakek dan neneknya yang sebelumnya berwarna dengan demikian, kemudian diturunkan pada keturunannya ini.” 

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka anakmu ini barangkali berasal dari genetik yang seperti itu juga.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5305, 6847 dan Muslim no. 1500]

Yakni, mungkin ada salah seorang dari kakek-neneknya atau pamannya atau juga bapak moyangnya yang berkulit hitam, maka lahirlah anak ini membawa gen tersebut. Orang badui tersebut benar-benar puas (dengan jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepadanya dengan penjelasan yang panjang lebar, ia tidak akan mengerti, kerana ia hanyalah seorang Arab dusun. Tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan contoh dengan permisalan yang diambil dari aktivitas kesehariannya, maka pergilah orang badui tersebut dengan hati yang puas.

Demikianlah, hendaknya bagi seorang pelajar, begitu juga seorang pengajar agar memberikan makna yang dapat dipahami oleh akal pikiran orang lain, dengan membuat permisalan-permisalan konkret, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Dalam hadits ini juga terdapat penetapan tentang diperbolehkannya undian. Terdapat beberapa ayat dan hadits yang berkenaan dengan undian ini, yaitu dalam dua tempat dari kitab Allah dan enam tempat dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun dua tempat dari kitab Allah itu, kalian telah membacanya, yang pertama,

“Padahal engkau tidak bersama mereka ketika mereka melemparkan pena mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau pun tidak bersama mereka ketika mereka bertengkar.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 44)

Yang kedua adalah,

“Dan sungguh, Yunus benar-benar termasuk salah seorang rasul, (ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, kemudian dia ikut diundi ternyata dia termasuk orang-orang yang kalah (dalam undian). Maka dia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berdzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai Hari Berbangkit.” 
(QS. Ash-Shâffât: 37: 139- 144)

Yunus, salah seorang nabi, baginda naik kapal bersama kaumnya, lalu mereka berdesak-desakan, mereka berkata, “Jika kita semuanya berada di atas kapal ini, maka kita semua akan binasa dan tenggelam, mesti ada orang di antara kita yang turun ke laut, kemudian siapa yang mahu diturunkan? Apakah yang pertama naik, atau orang yang paling besar badannya?” Selanjutnya mereka membuat undian untuk semua penumpang, termasuk Nabi Yunus. Kerana ayat ini mengatakan,

“Kemudian dia ikut diundi ternyata dia termasuk orang-orang yang kalah (dalam undian).”
(QS. Ash-Shâffât: 37: 141)

Kerana Nabi Yunus ‘alaihissalam dan orang-orang yang bersamanya ikut beserta mereka, dan Allah Ta'ala mengetahui orang-orang yang bersamanya dan kita tidak mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Adapun Nabi Yunus ‘alaihissalam, baginda ditelan oleh ikan paus yang sangat besar, yakni ditelan dan masuk ke dalam perutnya tanpa dikunyah. Kemudian baginda berdoa dalam kegelapannya dengan ucapan, “Laa Ilaaha Illa Anta Innii Kuntu Minadzdzaalimiin” (Tidak ada Tuhan selain Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim). Setelah itu, baginda dimuntahkan oleh ikan paus ke tepian pantai, kemudian Allah Ta'ala menumbuhkan sebatang pohon Yaqtin. Para ulama berkata Yaqtin yaitu Qar'un Najdi yang berbatang dan berdaun lembut pula seperti rumput laut. Di antara keistimewaannya, bahwa pohon itu tidak dihinggapi lalat. Allah Ta'ala menumbuhkan pohon Yaqtin ini, sehingga Nabi Yunus dapat memakannya setelah berdiam lama di perut ikan paus, kemudian Allah Ta'ala menyelamatkannya.

Yang terpenting, bahwa undian itu berupa perkara yang disyariatkan yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Demikian yang disebutkan oleh Ibnu Rajab rahimahullah di dalam kitabnya Al-Qawa'id Al-Fiqhiyah, ia menyebutkan kaidah-kaidah yang berkaitan dalam pelaksanaan undian dari awal fikih sampai akhir.

Hadits 188.
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ سَلَمَةَ هِنْدٍ بِنْتِ أَبِي أُمَيَّةَ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: « إِنَّهُ يُسْتَعْمَلُ عَلَيْكُمْ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِرُوْنَ فَمِنْ كَرِهَ فَقَدْ بَرِىءَ وَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ سَلِمَ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ » قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَلَا نُقَاتِلُهُمْ؟ قَالَ: « لَا، مَا أَقَامُوْا فِيكُمْ الصَّلَاةَ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Ummul Mukminin, Ummu Salamah, Hindun binti Abi Umayyah Huzaifah radhiyallahu 'anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya baginda bersabda:

“Sesungguhnya telah ditetapkan atas kalian beberapa orang pemimpin, kalian akan mengetahuinya (sebagian perbuatan mereka yang sesuai syariat) dan kalian mengingkarinya (sebagian perbuatan mereka yang melanggar syariat). Barangsiapa yang membenci (pelanggaran tersebut), maka ia terbebas (dari dosa), dan barangsiapa yang mengingkari maka ia selamat. Tetapi barangsiapa yang meridhai dan mengikuti (maka dia telah bermaksiat).”

Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus memerangi mereka?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan, selagi mereka masih mendirikan shalat bersama kalian.”

[Shahih Muslim no. 1854]

Maknanya, orang yang membenci dengan hatinya dan tidak mampu mengingkari dengan tangannya mahupun dengan lisannya, maka ia bebas dari dosa, berarti ia juga telah menunaikan tugasnya. Dan orang yang mengingkarinya sesuai dengan kemampuannya, maka ia akan selamat dari maksiat. Barangsiapa yang ridha dengan perbuatan mereka dan mengikutinya, berarti dia adalah orang yang bermaksiat.

Penjelasan.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat sebuah permisalan bagi orang yang menegakkan batasan-batasan Allah dan bagi orang yang melampaui batas dengan kenyataan yang ada, yaitu permisalan dengan sekelompok kaum yang mengadakan undian dalam sebuah kapal, sebagian mereka berada di atas kapal dan sebagian berada di bawah kapal, orang-orang yang berada di bawah ketika ingin mengambil air harus melewati orang-orang yang di atas. Kemudian mereka berkata, “Mengapa kita tidak melubangi saja bagian kita dan mengambil air (dari bawah) darinya, sehingga kita tidak merepotkan orang yang di atas?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mereka (yang di atas) membiarkannya dan tidak mencegahnya apa yang dikehendaki orang-orang yang ada di bawah, maka mereka semua akan binasa.” Kita pernah menjelaskan bahwa hendaknya bagi seorang pengajar jika ada makna rasional yang jauh dari gambaran dan pemahaman, ia membuat permisalan yang sesuai dengan realitanya. Dalam hadits ini, sebagaimana yang disebutkan oleh penulis di dalam pelajaran kita kali ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambarkan bahwa akan ada di antara kita pemimpin yakni yang mengurusi perkara-perkara kita, yaitu penguasa, di antaranya ada yang kita kenal dan ada yang kita ingkari, artinya mereka tidak menegakkan batasan-batasan Allah, mereka juga tidak menjalankan perintah-Nya, kamu mengetahuinya dari mereka dan mengingkarinya. Mereka ini adalah para pemimpin yang dibaiat, barangsiapa yang mengingkari dan tidak menyukainya, maka ia selamat. Dan barangsiapa yang ridha dan mengikutinya, maka ia akan hancur, sebagaimana pemimpin itu juga hancur. 

Kemudian para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apakah kami harus memerangi mereka?” Baginda menjawab, “Jangan, selagi mereka masih mendirikan shalat.” Hadits ini menunjukkan bahwa mereka yaitu para pemimpin itu, jika kita melihat sesuatu dari mereka yang kita ingkari, maka kita harus memungkiri hal tersebut dan membencinya, jika mereka diberi hidayah, maka akan bermanfaat bagi kita dan bagi mereka, jika tidak, maka manfaat buat kita dan bencana atas mereka. Sesungguhnya kita tidak boleh memerangi para pemimpin yang kita lihat berbuat kemungkaran, kerana dalam memerangi mereka itu terdapat keburukan yang lebih besar dan akan menghilangkan banyak kebaikan. Kerana jika mereka diperangi atau dilawan, maka hal itu tidak akan menambah sesuatu keburukan mereka, kerana mereka memandang bahwa diri mereka di atas semuanya. Jika orang-orang mencela mereka, maka orang-orang tersebut akan dibunuh dan bertambahlah kejahatan para pemimpin tersebut. Hanya saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan satu syarat untuk memerangi mereka, baginda bersabda, “Selagi mereka masih mendirikan shalat.” Ini menunjukkan bahwa jika para pemimpin itu tidak mendirikan shalat, kita harus memerangi mereka. 179

[179. Syaikh rahimahullah telah berkata didalam tempat yang lain, menafsirkan secara global hal yang disebutkan disini, ucapan beliau rahimahullah, “Jika kita melihat hal ini misalnya, maka kita tidak boleh mengkudeta mereka, sampai kita memiliki kemampuan untuk melakukan hal tersebut, jika kita tidak punya kemampuan, maka tidak boleh mengkudetanya. Kerana jika kita mengkudetanya, dan kita tidak memiliki kemampuan akan hal itu, maka mereka akan menghancurkan sisa-sisa keshalihan ini, dengan demikian, sempurnakanlah kekuasaan mereka.”]

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran, oleh kerananya, kita tidak boleh memerangi para penguasa kecuali jika kita melihat dengan jelas kekafiran pada diri mereka, serta adanya petunjuk dari Allah. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan kita memerangi mereka jika mereka tidak mendirikan shalat, ini menunjukkan bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang dipandang jelas oleh kita adanya petunjuk dari Allah. Ini adalah pendapat yang benar bahwa orang yang meninggalkan shalat secara mutlak, dia tidak shalat berjamaah dan tidak juga di rumahnya, maka ia adalah orang kafir yang keluar dari agama. Dan tidak disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat itu masuk surga, atau ia termasuk orang mukmin, atau juga ia selamat dari siksa neraka dan hal-hal yang menyerupainya.

Yang wajib adalah, menetapkan dalil-dalil berdasarkan keumumannya tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat, dan tidak ada seorang pun yang berhujjah dengan dalil yang mengatakan bahwa ia tidaklah kafir, kecuali hujjah yang tidak bermanfaat bagi mereka. Sesungguhnya keumuman nash tersebut terbagi menjadi lima macam:

1) Adakalanya kerana tidak ada dalil sama sekali.

2) Dikeranakan keumuman nash tersebut dibatasi oleh satu sifat yang tidak mungkin menyifatinya meninggalkan shalat.

3) Barangkali keumuman nash tersebut dibatasi dengan kondisi yang beralasan seseorang meninggalkan shalat.

4) Bisa juga nash tersebut bersifat umum yang dikhususkan dengan nash-nash kafirnya orang yang meninggakan shalat.

5) Adakalanya juga keumuman nash tersebut lemah.

Inilah lima bagian yang tidak terlepas dari dalil orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tidak dikatakan kafir selamanya. Menurut saya, yang benar dan tidak ada keraguan di dalamnya, bahwa orang yang meninggalkan shalat itu adalah kafir dengan kafiran yang mengeluarkannya dari agama, dan itu lebih dahsyat dari kekafirannya orang Yahudi dan Nasrani. Kerana orang Yahudi dan Nasrani menetapkan agama mereka, sedangkan orang ini tidaklah menetapkannya, kerana ia murtad, ia diminta untuk bertaubat, jika tidak bertaubat, maka harus dibunuh.

Hadits 189.
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ الْحَكَمِ زَيْنبَ بِنْتِ جَحْشٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَزْعًا يَقُوْلُ : « لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتربَ، فُتِحَ الْيَوْمَ مِن رَدْمِ يَأْجُوْجَ وَمأْجُوجَ مِثْلُ هَذِهِ » وَحَلَّقَ بأُصْبُعِهِ اْلإِبْهَامِ وَالَّتِي تَلِيْهَا. فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَنَهْلِكُ وَفِيْنَا الصَّالِحُوْنَ؟ قَالَ: « نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهَ.
Daripada Ummul Mukminin Ummul Hakam Zainab binti Jahsy radhiyallahu 'anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, tiba-tiba baginda bersabda:

“Tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, celakalah orang Arab dari keburukan yang semakin dekat, dibuka pada hari ini bendungan Ya'juj dan Ma'juj seperti ini.” 

Baginda merenggangkan antara jari telunjuk dan ibu jarinya serta jari sesu-dahnya.

Maka aku berkata, “Ya Rasulullah, apakah kita akan binasa sementara di antara kita masih ada yang shaleh?”

Baginda menjawab, “Ya, jika kerusakan (maksiat, kezhaliman) telah meluas.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3346 Muslim no. 2880]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam riwayat yang dinukilnya dari Ummul Mukmin Ummu Al-Hakam Zainab binti Jahsy radhiyallahu 'anha, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuinya dengan wajah yang memerah, baginda berkata, “Tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah, celakalah orang Arab dari keburukan yang semakin dekat, baginda masuk dengan sifat seperti ini, raut wajah baginda berubah, lalu bersabda, “La ilaha Ilallah (tidak ada tuhan selain Allah), sebagai perwujudan tauhid serta penetapannya, kerana tauhid adalah kaidah yang membangun semua syariat Allah.

Allah Ta'ala berfirman,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” 
(QS. Adz-Dzâriyat: 51: 56)

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, “Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 25)

Mentauhidkan Allah dalam ibadah, kecintaan, pengagungan, pengembalian, ketawakalan, memohon pertolongan, rasa takut dan lain sebagainya, juga merupakan asas dari agama ini.

Kerananya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah,” dalam kondisi yang mengejutkan, raut wajah yang berubah, baginda menetapkan tauhid dan penekanan untuk hati, kemudian baginda memperingatkan bangsa Arab, dengan sabdanya, “Celakalah orang Arab dengan keburukan yang semakin dekat.” Bangsa Arab diperingatkan kerana bangsa Arablah yang membawa bendera Islam, Allah Ta'ala mengutus Muhammad dalam keadaan ummi dari Arab,

“Yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Sunnah), meskipun sebelumnya, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata, dan (juga) kepada kaum yang lain dari mereka yang belum berhubungan dengan mereka. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
(QS. Al-Jumu'ah: 62: 2-3)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan peringatan ini kepada bangsa Arab, kerana mereka adalah para pemegang bendera Islam.

Sabdanya, “Dari keburukan yang semakin dekat,” keburukan di sini adalah yang dihasilkan oleh Ya'juj dan Ma'juj, kerananya baginda menafsirkan demikian, baginda bersabda, “Dibuka pada hari ini belenggu Ya'juj dan Ma'juj seperti ini,” baginda mengisyaratkan dengan ibu jari dan jari telunjuknya, yakni bagian yang sangat kecil, namun demikian, baginda tetap memberi peringatan kepada bangsa Arab.

Bangsa Arab adalah mereka yang membawa panji keislaman pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai hari ini, memberi peringatan dari kejahatan Ya'juj dan Ma'juj yang melakukan kerusakan di muka bumi, sebagaimana yang diceritakan Allah Ta'ala tentang Dzulqarnain, sesungguhnya dikatakan kepadanya, “Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj, mereka membuat kerusakan di muka bumi,” mereka adalah pembawa kerusakan dan keburukan, kemudian Zainab berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kita akan binasa dan di antara kita masih ada orang yang shalih?” Baginda menjawab, “Ya, jika telah banyak kerusakan,” orang yang shalih tidak akan binasa, dia akan selamat. Tetapi, jika kerusakan itu semakin besar, maka orang-orang yang shalih pun akan binasa, firman Allah Ta'ala,

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.” (QS. Al-Anfâl: 8: 25)

Kejelekan yang dimaksud di sini adalah dua perkara:

1. Perbuatan yang jelek.

2. Orang-orang yang jelek (buruk)

Jika amalan yang jelek dan buruk ini banyak terjadi dalam masyarakat, walaupun mereka itu orang-orang muslim, maka sesungguhnya mereka telah memasrahkan jiwa mereka pada kebinasaan. Jika kekafiran telah menambah di tengah-tengah mereka, maka mereka benar-benar memasrahkan jiwa mereka pada kehancuran. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan tentang adanya orang-orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang musyrik yang masih berdomisili di Jazirah Arab, baginda peringatkan hal tersebut dengan sabdanya, “Keluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya tatkala sakit menjelang wafatnya, “Keluarkan orang-orang musyrik dari jazirah Arab.” Baginda bersabda pada akhir hayatnya, “Jika aku masih hidup, maka aku akan keluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab ini.” Atau baginda bersabda, “Aku akan keluarkan orang-orang Yahudi dan Nasrani dari jazirah Arab ini, sampai tidak ada satu pun kecuali orang-orang muslim,” demikian riwayat shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, dengan sangat disayangkan, sekarang kita menemukan orang-orang yang sepertinya justru mereka berlomba-lomba mendatangkan Yahudi, Nasrani dan para penyembah berhala ke negerinya sebagai pekerja, sebagian mereka beralasan bahwa mereka lebih baik dari orang-orang muslim, kita berlindung kepada Allah dari kehinaan dan ketertundukan serta melawan fitrah.

Demikianlah setan mempermainkan akal sebagian orang, mereka mengutamakan orang kafir daripada orang muslim, Allah Ta'ala berfirman,

“Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 2: 221)

Waspadalah, jangan menarik orang Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, dan selain mereka ke dalam jarizah Arab, kerana ia adalah jazirah Islam, darinya Islam dimulai dan kepadanya Islam akan kembali. Bagaimana kita menjadikan orang-orang yang kotor ini berada di antara kita, di antara anak-anak kita, dan berada di masyarakat kita? Mereka inilah yang akan menimbulkan bencana.

Kerananya, barangsiapa yang merenungi keadaan kita sekarang ini dan membandingkannya dengan keadaan kemarin, dia akan menemukan perbedaan yang mencolok, jika saja tidak ada pertumbuhan yang baik yang Allah anugerahkan dengan keistiqamahan, dengan inilah kita memohon kepada Allah untuk menetapkannya, kalau bukan kerana hal ini, tentunya saya akan melihat banyaknya kerusakan. Semoga Allah merahmati kita dengan ampunan-Nya, kemudian terhadap para pemuda shalih yang memiliki perkembangan baik, semoga Allah memelihara keutamaan atas mereka, dan kita berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk.

Hadits 190.
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ فِي الطُّرُقَاتِ » فَقَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ، نَتَحَدَّثُ فِيْهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلاَّ الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوْا الطَّرِيْقَ حَقَّهُ » قَالُوْا: وَمَا حَقُّ الطَّرِيْقِ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: « غَضُّ الْبَصَرِ، وَكَفُّ الْأَذَى، وَرَدُّ السَّلَامِ، وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ، وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda, “Waspadalah kalian duduk di jalan-jalan.”

Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana jika memang kami harus berkumpul di jalan, memperbincangkan sesuatu?”

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian harus membuat perkumpulan, maka berikanlah hak jalan itu.”

Mereka bertanya, “Apa hak jalan ya Rasulullah?”

Baginda bersabda, “Menundukkan pandangan, mencegah adanya gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2465, 6229 dan Muslim no. 2121]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang ia nukil dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah kalian duduk di jalan-jalan,” ini adalah bentuk peringatan, yakni aku peringatkan kalian dari duduk-duduk di jalanan, kerana duduk di jalanan bisa menyebabkan terbukanya aurat manusia yang lalu lalang, memandang pada hal-hal yang mendorong terhadap pelecehan harga diri seseorang, terkhusus pada hal yang tidak disukai untuk dilihatnya, terkadang juga berupa bercakap kosong dan membicarakan aib orang yang sedang lewat, apabila seseorang melewati mereka ini, maka mereka membicarakan tentang pribadi orang yang sedang lewat itu.

Yang terpenting, bahwa duduk di jalan-jalan akan mengarahkan pada kerusakan, akan tetapi ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Waspadalah kalian duduk di jalan-jalan.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana jika memang kami harus berkumpul di jalan, memperbincangkan sesuatu?” Yakni kami harus berhenti dan berbicara, saling melepas rindu antara sesama kami memperbincangkan kabar yang terjadi di antara kami, saling merapatkan hubungan antara kami dan ada kebaikan di dalamnya, kerana masing-masing di antara kami mengetahui keadaan satu sama lain.

Maka, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat mereka merencanakan untuk duduk, baginda bersabda, “Jika kalian harus membuat perkumpulan, maka berikanlah hak jalan itu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menekan dan tidak melarang mereka dalam hal ini, dimana mereka saling berbincang satu sama lainnya, saling melepas rindu dan saling menggembirakan, baginda tidak memberatkan mereka dalam hal ini, dan di antara sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang-orang yang beriman adalah penuh kasih sayang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian harus membuat perkumpulan,” yakni kecuali mengharuskan kalian berhenti dan duduk, “...Maka berikanlah hak jalan.” Mereka bertanya, “Apa hak jalan ya Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menundukkan pandangan, mencegah adanya gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar.”

Penjelasan tentang 5 hak jalan ini adalah:

1. Menjaga pandangan, yakni memalingkan pandangan dari orang yang lewat, baik itu laki-laki ataupun perempuan, kerana orang-orang memang wajib menundukkan pandangan mereka terhadap perempuan, demikian juga kepada laki-laki, perempuan harus mengalihkan pandangannya, jangan kalian memandangnya dengan tajam hingga kalian mengetahui apa yang ada padanya. Dulu ada seorang yang setiap harinya selalu membawa perabot rumahnya, ia membawanya di tangannya, kemudian jika ia melewati orang-orang yang menyaksikannya, mereka bertanya, “Apa yang sedang dibawanya?” Dan ucapan-ucapan yang serupa dengan itu, selang beberapa waktu ada seorang lelaki lewat membawa daging untuk keluarganya di rumah, mereka malah berbicara, “Fulan membawa daging untuk keluarganya, fulan bawa ini dan itu dan seterusnya.” Kerananya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk menundukkan dan mengalihkan pandangan dari orang yang lewat.

2. Menyingkirkan hal-hal yang menyakiti (orang yang lewat), baik ucapan mahupun perbuatan. Adapun menyakiti secara ucapan seperti perkataan orang yang memperbincangkan orang yang sedang lewat dengan ghibah dan namimah (mengadu domba). Sedangkan menyakiti dalam bentuk perbuatan, seperti mempersempit jalannya dengan memenuhi jalan sehingga mempersempit daerah bagi orang yang lewat, orang tidak bisa lewat, kecuali dengan susah payah.

3. Menjawab salam. Jika seseorang mengucapkan salam, maka jawablah salamnya. Ini termasuk hak jalan; kerana sunnahnya bahwa orang yang lewat mengucapkan salam kepada orang yang duduk. Jika memang sunnah demikian, maka wajib bagi orang yang duduk untuk menjawabnya.

4. Memerintahkan yang makruf yaitu segala sesuatu diperintahkan oleh Allah Ta'ala atau yang diperintahkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka anda juga memerintahkannya. Jika anda menemui orang yang meremehkan perkara agama, baik dari orang yang lewat atau dari yang lainnya, maka perintahkanlah mereka agar berbuat demikian, anjurkan mereka untuk berbuat baik, hiasi mereka dengan kebaikan dan berilah mereka motivasi agar melakukannya.

5. Melarang dari kemungkaran, jika anda melihat seseorang berbuat kemungkaran, ia lewat sambil menghisap rokok atau yang serupanya berupa kemungkaran, maka laranglah hal itu, kerana yang demikian itu termasuk hak jalan.

Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan kepada orang-orang muslim yang duduk di jalanan, jika memang mereka harus duduk di jalan, maka wajib baginya menjaga hak-hak jalan. Adapun hak jalan itu ada lima, seperti yang telah dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu, menundukkan pandangan, tidak menyakiti atau menzhalimi orang lain, menjawab salam, memerintahkan yang makruf dan melarang yang mungkar. Inilah hak-hak yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang yang terpaksa harus duduk di jalanan. Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 191.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتِمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ رَجُلٍ، فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ : « يَعْمَدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ » فَقِيْلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خُذْ خَاتَمَكَ، اِنْتَفِعْ بِهِ. قَالَ : لَا وَاللهِ لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat cincin dari emas di tangan seorang lelaki, kemudian baginda mengambil cincin tersebut lalu melemparkannya dan bersabda, “Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api neraka dan menyalakannya pada tangannya.”

Maka dikatakanlah pada orang tadi setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi, “Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah.”

Lelaki tersebut itu menjawab, “Tidak, demi Allah selamanya aku tidak akan mengambilnya, kerana Rasulullah telah membuangnya.”

[Shahih Muslim no. 2090]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang lelaki memakai cincin dari emas, kemudian dilepas oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tangannya dan dilemparkannya ke tanah, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api neraka dan menyalakannya pada tangannya.” Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlalu darinya, maka dikatakan kepada orang itu, “Ambillah cincinmu dan manfaatkanlah.” Lalu ia berkata, “Tidak, demi Allah selamanya aku tidak akan mengambilnya, kerana Rasulullah telah membuangnya.”

Imam An-Nawawi rahimahullah membawa hadits ini dalam bab “Memerintahkan yang Makruf dan Melarang yang Mungkar” kerana dalam hadits ini berisi perubahan kemungkaran dengan tangan. Sesungguhnya seorang lelaki yang memakai emas itu adalah hal yang diharamkan lagi mungkar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah emas dan sutera,

Dihalalkan emas dan sutra bagi wanita dari kalangan umatku, dan diharamkan bagi kaum laki-lakinya.” 

[HR. An Nasa’i no. 5163, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih An Nasa’i].

Maka tidak boleh bagi seorang lelaki memakai cincin emas, kalung emas, dan tidak boleh memakai baju yang kancing bajunya terbuat dari emas, dan tidak selain itu. Hendaknya ia menghindari emas secara keseluruhan, alasannya kerana emas itu dipakai untuk perhiasan dan keindahan seperti seorang perempuan yang berhias untuk suaminya sehingga suaminya tertarik padanya.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan sebagai perhiasan sedang dia tidak mampu memberi alasan yang tegas dan jelas dalam pertengkaran.” (QS. Az-Zukhruf: 43: 18)

Yang jelas bahwa emas itu dibutuhkan oleh perempuan dalam rangka mempercantikan diri untuk suaminya, sedangkan laki-laki tidak membutuhkannya. Tidaklah ia berhias dengan emas untuknya atau untuk orang lain kecuali antara dia dan istrinya, mereka saling menghiasi diri, kerana hal ini dapat menciptakan keakraban. Walau bagaimana pun juga, seorang lelaki tidak diperbolehkan memakai emas. Adapun memakai perak, maka tidaklah mengapa. Seorang laki-laki boleh memakai cincin dari perak, tetapi dengan syarat tidak ada keyakinan pada cincin tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang mengambil kebiasaan orang Nasrani dalam masalah cincin tunangan, yang saling dipakaikan dalam pernikahan. Dalam tukar cincin, mereka berkata, “Orang Nasrani, jika seorang lelaki di antara mereka ingin menikah, maka datanglah seorang pendeta kepadanya -seperti kedudukan orang alim dalam dalam Islam- lalu mengambil cincin dan meletakkanya di jari lelaki tersebut, kemudian ia berkata, “Ini adalah ikatan antara kamu dan istrimu.” Jika seseorang berkeyakinan seperti ini, maka ia menyerupai orang-orang Nasrani yang diliputi oleh akidah yang batil, maka pada saat ini seseorang tidak boleh memakai cincin tersebut. (183)

[183Yakni, jika seseorang berkeyakinan bahwa cincin kawin ini adalah salah satu dari syiar perkawinan dan tidak baik perkawinan tanpanya, maka ia benar-benar telah jatuh pada suatu yang diharamkan, baik cincin kawin itu emas atau perak. Ini dari sisi sebagian orang yang berkeyakinan rusak yang menyertai perkara tersebut terkhusus bagi seorang perempuan, yakni adanya sifat pesimis ketika seorang suami melepaskan cincinnya, maka ini pertanda akan terjadi perpisahan (cerai) atau terjadinya permasalahan. Hakikatnya, bahwa sebab masalah itu terdapat pada keyakinan yang rusak ini, disertai juga dengan kerusakan yang lain yang merusak perkawinan, yakni berdua-duannya seorang laki-laki dengan perempuan pinangannya selama masa lamaran. Memandangnya tanpa hijab syar'i bahkan sampai terjadi hubungan seakan-akan mereka suami istri yang mengarah pada mukaddimah jima', bahkan -dan bukan hal yang sedikit- mereka dijerumuskan setan pada zina, dengan hujjah bahwa mereka akan segera menikah dalam waktu dekat, dan seterusnya dari musibah-musibah dan bala yang banyak tersebar di masyarakat muslim, semoga Allah menolong kita, untuk mengetahui lebih dalam tentang masalah cincin kawin, silakan merujuk pada buku Adab Az-Zafaf yang dikarang Al-Allamah Syaikh Al-Albani rahimahullah no. 140-142]

Adapun jika ia memakai cincin itu tanpa ada keyakinan tertentu, maka tidaklah mengapa, memakai cincin bukanlah perkara yang disunnahkan, tetapi hal tersebut termasuk salah satu perkara yang apabila dibutuhkan maka dilakukan dan jika tidak dibutuhkan dapat ditinggalkan. Dengan dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memakai cincin, akan tetapi ketika dikatakan pada baginda bahwa para raja dan para pemimpin tidak akan menerima surat yang tidak ada stempelnya, maka baginda membuat cincin yang dipahat dari perak yang bertuliskan Muhammad Rasulullah. Jika telah selesai menulis surat, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi stempel dengan cincin tersebut.

Di dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan cara keras untuk mengubah kemungkaran jika memang diperlukan, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepadanya, “Sesungguhnya emas itu haram, janganlah dipakai.” atau lepaskanlah. Akan tetapi, baginda dengan sendirinya melepaskan cincin tersebut dan melemparkan ke tanah, diketahui bahwa di sini ada perbedaan antara memerintahkan kemakrufan dan melarang dari kemungkaran dengan mengubah kemungkaran. Kerana mengubah kemungkaran itu harus orang yang memiliki kekuatan dan kemampuan, seperti seorang gubernur yang mengubah perilaku masyarakatnya, atau seperti seorang suami di rumahnya, atau seorang istri dengan anak-anaknya dan lain sebagainya. Inilah yang memiliki kekuasaan yang mampu mengubah dengan tangannya, jika tidak mampu, maka ubahlah dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya.

Adapun perintah, maka hal itu diwajibkan pada setiap kondisi. Memerintahkan kebaikan dan melarang kemungkaran wajib dalam setiap keadaan. Kerana hal ini tidak mengharuskan perubahan, tetapi hanya perintah dan larangan saja. Di sini juga termasuk mengajak berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran, berarti ada tiga tingkatan berdakwah; memerintahkan, melarang dan mengubah. Adapun dakwah, maka dia seperti seseorang yang berkhubah, memberi nasihat, memperingatkan mereka dan mengajak mereka kepada petunjuk. Adapun perintah, berarti memerintahkan seseorang dengan berhadapan langsung dengan orang atau kelompok tertentu seperti ucapan, “Ya Fulan, jagalah shalat, tinggalkanlah berbuat dusta, tinggalkanlah ghibah dan lain sebagainya.” Adapun perubahan, yakni seseorang mengubah sesuatu, menghilangkan kemungkaran dengan mengubahnya menjadi kebaikan, seperti yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melepaskan cincin dari pemiliknya dan melemparkannya ke tanah.

Di dalam hadits ini juga terdapat dalil diperbolehkannya melenyapkan sesuatu yang menyebabkan kemungkaran, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melemparkan cincin setelah melepaskannya dari tangan pemiliknya, baginda tidak mengatakan padanya, “Ambillah cincinmu tersebut dan berikanlah kepada istrimu,” misalnya. Hal ini dikeranakan orang tersebut paham ketika dikatakan kepadanya, “Ambillah cincinmu itu,” ia berkata, “Tidak, demi Allah selamanya aku tidak akan mengambilnya, kerana Rasulullah telah membuangnya,” kerana ia paham bahwa hal itu termasuk dalam bab teguran dan penghancuran terhadap kemungkaran, kerana telah terjadi kemaksiatan. Sesuatu yang dapat mendatangkan kemaksiatan atau meninggalkan kewajiban, maka tidaklah berdosa apabila seseorang melenyapkannya sebagai balasan dari dirinya, sebagaimana yang dilakukan Nabiyullah Sulaiman ‘alaihissalam, ketika ditampakkan kepadanya seekor kuda yang sangat bagus lalu Nabi Sulaiman bermain-main dengan kuda tersebut hingga terbenam matahari, baginda disibukkan dengan kuda tersebut hingga lupa shalat Ashar, kemudian baginda memanggil kudanya lalu memukulinya dan menyembelih lehernya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Lalu dia mengusap-usap kaki dan leher kuda itu.”
(QS. Shâd: 38: 33)

Nabi Sulaiman ‘alaihissalam melenyapkannya sebagai sangsi terhadap dirinya demi ridha Allah Ta'ala. Jika seseorang melihat hartanya dapat memalingkan ketaatannya kepada Allah, kemudian ia ingin menghancurkannya sebagai balasan dari dirinya dan sebagai teguran terhadapnya, maka hal ini tidaklah mengapa. Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang (laki-laki) yang memakai emas wajib mendapatkan adzab api neraka. Na‘udzu Billah. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api neraka dan menyalakannya pada tangannya.” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan cincin ini sebagai bara dari api neraka, yakni seseorang akan diazab dengan cincinnya sendiri pada hari Kiamat. Adzab ini hanyalah sebagian, yakni hanya sebagian badan yaitu bagian badan yang dijadikan sebagai penentang syariat. Perbandingan seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang yang memanjangkan celananya sampai melebihi mata kaki, 

“Apa yang melebihi mata kaki, maka itu di neraka.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5787]

Perbandingannya juga seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal kelalaian sahabat dalam mencuci bagian kakinya ketika wudhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Celakalah tumit kaki itu dari api neraka.”

[Shahih Al-Bukhari no. 60, 96, 163 dan Muslim no. 241]

Inilah tiga nash dari As-Sunnah yang semuanya menetapkan bahwa adzab neraka itu terkadang berkisar pada bagian tubuh tertentu. Dalam Al-Qur'an juga terdapat nash yang menerangkan hal itu, seperti firman Allah Ta'ala,

“(ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrikan dahi, lambung dan punggung mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 35)

Yakni, tempat-tempat tertentu. Adzab sebagaimana bersifat umum untuk seluruh badan, juga bersifat khusus yang hanya menimpa sebagian anggota tubuh saja yang menyimpang.

Di antara faedah hadits ini, yaitu penjelasan tentang kesempurnaan kejujuran iman para sahabat, kerana laki-laki ini ketika dikatakan kepadanya, “Ambillah cincinmu itu,” ia berkata, “Tidak, demi Allah selamanya aku tidak akan mengambilnya, kerana Rasulullah telah membuangnya.” Ini adalah bukti kejujuran imannya, sebab jika imannya lemah, maka ia akan mengambilnya dan memanfaatkannya dengan menjualnya, atau memberikannya kepada istrinya atau yang serupa dengan hal itu.

Di antara faedah hadits ini juga bahwa ada seseorang yang mempergunakan hikmah di dalam mengubah kemungkaran, orang ini sebagaimana anda ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempergunakan sedikit kekerasan padanya, tetapi terhadap seorang Arab badui yang kencing di masjid, baginda tidak mempergunakan kekerasan, barangkali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahu bahwa orang yang memakai cincin emas itu mengetahui tentang hukum keharamannya namun ia tetap memakainya, berbeda dengan orang badui, ia adalah seorang yang bodoh dan tidak berpengetahuan, datang ke masjid lalu menemukan ruang terbuka, kemudian ia kencing di sana, ia menyangka bahwa ia berada di tempat terbuka!! Ketika para sahabat berdiri untuk mencegahnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal itu. Demikian juga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempergunakan cara yang lembut kepada Muawiyah bin Al-Hakam As-Sulami ketika ia berbicara dalam shalat, demikian juga terhadap seseorang yang menggauli istrinya pada siang hari bulan Ramadhan, kerana bagi setiap tempat pasti ada perkataan yang sesuai. Maka anda wahai saudara muslim, hendaknya mempergunakan hikmah di setiap apa yang anda lakukan dan anda ucapkan.

Allah Ta'ala berfirman,

“Dia memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.” (QS. Al-Baqarah: 2: 269)

Kita memohon kepada Allah agar kita menjadikan kita sebagai orang-orang yang diberi hikmah, yang dengannya kita mendapatkan banyak kebaikan.

Hadits 192.
عَنْ أَبِي سَعَيدٍ الْحَسَنِ الْبَصْرِي أَنَّ عَائِذَ بْنَ عَمْروٍ رَضِيَ اللهُ عُنْهُ دَخَلَ عَلَى عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ زيَادٍ فَقَالَ: أَيْ بُنيّْ، إِنَّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقولُ: « إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ » فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ. فَقَالَ لَهُ: اِجْلِسْ فَإِنَّمَا أَنتَ مِنْ نُخَالَةِ أَصْحَابِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: وَهَلْ كَانَتْ لَهُمْ نُخَالَةٌ إِنَّمَا كَانَتِ النُّخالَةُ بَعْدَهُمْ وَفِي غَيرِهِمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Said Al-Hasan Al-Bashri, sesungguhnya ‘Aidz bin ‘Amr radhiyallahu anhu masuk ke tempat Ubaidullah bin Ziyad, lalu berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya sejelek-jeleknya pemimpin itu adalah pemimpin yang zhalim, maka berhati-hatilah agar tidak termasuk dari mereka.”

Maka berkatalah Ubaidullah kepadanya, “Duduklah, sesungguhnya anda termasuk sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terabaikan.”

Maka ‘Aidz pun berkata, “Apakah ada dari sahabat yang terabaikan? Sesungguhnya yang terabaikan adalah orang-orang yang hidup sesudah mereka, dan selain dari golongan mereka.”

[Shahih Muslim no. 1830]

Hadits 193.
عَنْ حُذيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ ، أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلاَ يُسْتَجَابُ لَكُمْ » رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Daripada Hudzaifah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaknya kalian benar-benar memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari kemungkaran atau Allah akan menurunkan atas kalian suatu bencana, kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2169 dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 2313]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, hendaklah kalian benar-benar memerintahkan kepada yang makruf dan melarang dari kemungkaran atau Allah akan menurunkan atas kalian suatu bencana, kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak mengabulkan doa kalian.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Demi jiwaku yang ada di tangan-Nya,” ini adalah sumpah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah kepada Allah dengan lafazh tersebut, kerana setiap jiwa seorang hamba itu semuanya berada di tangan Allah Ta'ala. Dia akan memberi petunjuk kepada hamba-Nya jika Dia berkehendak, dan Dia juga akan menyesatkannya jika Dia berkehendak, Dia mematikannya jika berkehendak dan membiarkannya tetap hidup jika Dia berkehendak. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.
(QS. Asy-Syams: 91: 7-8)

Setiap jiwa itu hanyalah berada di tangan Allah. Kerananya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersumpah dengan lafazh tersebut dan baginda banyak sekali bersumpah dengan lafazh ini. Terkadang baginda bersumpah dengan lafazh, “Demi jiwa Muhammad yang ada di tangan-Nya, kerana jiwa Muhammad adalah jiwa yang terbaik, maka baginda bersumpah dengan namanya itu dipandang sebagai jiwa yang terbaik, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hal yang baginda sumpahi, yaitu kita menegakkan amar makruf nahi mungkar atau Allah akan mengadzab kita semua, sehingga tatkala kita berdoa kepada-Nya, Dia tidak mengabulkan doa kita. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Ada beberapa hadits yang telah kita sebutkan yang menunjukkan wajibnya amar makruf nahi mungkar serta peringatan bagi yang meninggalkan amar makruf nahi mungkar itu. Kita wajib memerintahkan kebaikan jika kita melihat saudara kita yang lalai dalam melaksanakan kewajibannya, kita perintahkan dia dan kita peringatkan dia dari kelalaiannya tersebut. Jika kita melihat saudara kita berbuat kemungkaran, maka hendaklah kita mencegah dan memperingatkannya dari hal tersebut, sehingga kita menjadi umat yang satu, kerana jika kita berpecah belah dan setiap kelompok mempunyai keinginan masing-masing, maka akan terjadi perselisihan, dan perpecahan di antara kita. Tetapi, jika kita semuanya berkumpul dalam kebenaran, maka kita akan mendapatkan kebaikan, kebahagiaan dan kejayaan.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya bersumpah tanpa diminta oleh orang lain untuk bersumpah. Akan tetapi, hal ini tidak pantas dilakukan, kecuali pada hal-hal yang memiliki kepentingan, maka seseorang boleh bersumpah atasnya. Adapun dalam hal-hal yang tidak memiliki kepentingan, maka seseorang tidak pantas untuk bersumpah, kecuali jika sumpahnya itu untuk memperkuatkan sesuatu, maka hal ini tidaklah mengapa. Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban agama yang paling penting, bahkan sebagian para ulama menjadikannya sebagai rukun keenam dalam rukun Islam. Yang benar, bahwa hal itu bukanlah rukun yang keenam, tetapi sebagai kewajiban yang paling wajib. Apabila umat tidak melaksanakan kewajiban tersebut, maka mereka akan terpecah belah dan bercerai-berai, masing-masing mereka memiliki metode yang akan dijalaninya. Akan tetapi, jika mereka melaksanakan amar makruf nahi mungkar, maka metode mereka akan sejalan dan mereka menjadi umat yang satu, sebagaimana diperintahkan oleh Allah Ta'ala,

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (kerana kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 110)

Allah Ta'ala berfirman,

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104-105)

Akan tetapi, bagi orang yang memerintahkan amar makruf nahi mungkar hendaknya memerhatikan masalah penting, yakni bertujuan untuk memperbaiki saudaranya, bukan untuk memberinya sangsi, atau memberatkannya, kerana jika ia berkeinginan untuk memberi sangsi atau memberatkan saudaranya, maka bisa jadi ia akan membanggakan diri dan perbuatannya, ia juga akan menghinakan saudaranya dan bahkan ia menjauhkan saudaranya dari rahmat Allah dengan mengatakan, “Orang ini jauh dari rahmat Allah,” lalu ia membatalkan amalnya. Sebagaimana yang diriwayatkan pada sebuah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ada seseorang berkata kepada orang lain dengan melebihkan dirinya, “Demi Allah, sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Maka Allah Ta'ala berfirman,

“Siapa yang merasa lebih tinggi dari-Ku untuk tidak mengampuni fulan, Aku mengampuninya dan Aku batalkan amalmu.”

[Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 1685]

Lihatlah orang ini, ia berbicara dengan sebuah kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya, hancur semua amal dan usahanya, sebabnya kerana ia membanggakan diri, menghinakan saudaranya, dan menjauhkan seseorang dari kasih sayang Allah dengan mengatakan ucapan itu kepada saudaranya, kerana ulahnya itu, maka kalimat tersebut menjadi penghancur bagi dunia dan akhiratnya.

Yang terpenting, wajib bagi orang yang melaksanakan amar makruf nahi mungkar menghadirkan makna ini, agar niatnya itu bukan bertujuan untuk memenangkan diri sendiri atau memberi sangsi kepada saudaranya, tetapi hendaknya ia seperti orang dokter yang ikhlas, ia hanya bertujuan untuk memberikan pengobatan kepada yang sakit, yang sakit dengan kemungkaran, maka ia melakukan pengobatan dengan pengobatan takwa atas buruknya kemungkaran ini. Atau terhadap orang yang meninggalkan kewajiban, maka ia akan mengobatinya dengan pengobatan yang dapat membawanya melakukan kewajiban tersebut. Jika Allah mengetahui niat ikhlasnya, maka Dia akan menjadikan keberkahan pada usahanya, dan dengannya Dia memberikan petunjuk kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Maka ia akan mendapatkan limpahan kebaikan yang begitu banyak. Allahlah yang memberi petunjuk.

Hadits 194.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدرِيِّ رَضِيَ اللَّهَ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جًائِرٍ » رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَالتَّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah mengucapkan perkataan yang benar (adil) di hadapan pemimpin yang zhalim.”

[HR. Abu Dawud no. 4344. At-Tirmidzi no. 2174 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam As-Silsilah Ash-shahihah no. 491]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda, “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan perkataan yang benar (adil) di hadapan pemimpin yang zhalim.”

Penguasa itu memiliki dua orang kepercayaan; ada yang buruk dan ada juga yang baik.

Orang kepercayaan yang buruk ia akan melihat apa yang diinginkan oleh penguasa, kemudian ia berkata dengan ucapan penuh keindahan, “Inilah yang benar, inilah yang baik, anda benar dan berguna,” walaupun penguasa itu penguasa yang sangat zhalim. Na'udzu Billah. Ia melakukan hal itu untuk mencari muka di hadapan para penguasa, demi mendapatkan kenikmatan dunia.

Adapun orang kepercayaan yang baik, maka ia akan selalu memandang sesuatu yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, ia akan menunjukkan penguasa kepada hal tersebut. Inilah orang kepercayaan yang baik. Mereka mengatakan kalimat yang batil di sisi penguasa yang zhalim, merupakan lawan dari jihad, yang dimaksud dengan mengatakan kalimat yang batil di sisi penguasa yang zhalim yaitu sang pembicara melihat apa yang diinginkan oleh penguasa, lalu ia akan berbicara dengannya dengan ucapan penuh keindahan. Sedangkan mengatakan kalimat yang benar kepada para penguasa yang zhalim merupakan jihad yang paling besar, ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Di depan penguasa yang zhalim,” kerana bagi penguasa yang adil pengucapan kalimat yang hak di sisinya tidak akan membahayakan orang yang mengatakannya, kerana ia akan menerimanya. Berbeda dengan penguasa yang zhalim, ia akan menghukum dan menyakiti orang yang mengatakannya. Kerananya, sekarang kita memiliki empat kondisi:

1) Ucapan kebenaran kepada penguasa yang bijak adalah mudah.

2) Ucapan kebatilan kepada penguasa yang adil, ini sangatlah berbahaya, kerana anda akan dianggap telah memfitnah pemerintahan yang adil dengan ucapan anda, ucapan yang terangkai begitu indahnya.

3) Ucapan kebenaran kepada penguasa yang zhalim. Inilah sebaik-baiknya jihad.

4) Ucapan kebatilan kepada penguasa zhalim. Inilah adalah seburuk-buruk keadaan.

Inilah empat bagian, tetapi yang paling utama adalah mengucapkan kebenaran kepada penguasa yang zhalim. Kita memohon kepada Allah Ta'ala untuk menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengatakan kebenaran bagi dirinya mahupun orang lain secara zhahir mahupun batin.

Hadits 195.
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ الْبُجَلِيِّ الْأَحْمَسِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وقَدْ وَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ: أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ؟ قَالَ: « كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ » رَوَاهُ النَّسَائيُّ بإسْنَادٍ صَحِيحٍ.
Daripada Abu Abdullah Thariq bin Syihab Al-Bajali Al-Ahmasi radhiyallahu anhu, bahwa seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara baginda telah meletakkan kakinya pada
pijakan kaki (pelana) dari kulit.

“Wahai Rasulullah, jihad apakah apakah yang paling utama?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Menyampaikan kalimat yang haq (kebenaran) kepada penguasa yang zhalim.”

[HR. Nasa'i dalam Al-Kubra no. 7834 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 491]

Al-Gharzi adalah pijakan kaki unta, yang terbuat dari kulit atau kayu. Dikatakan juga, tidak khusus dibuat dari kulit atau kayu saja.

Hadits 196.
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ أَوَّلَ مَا دَخَلَ النَّقْصُ عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ كَانَ الرَّجُلُ يَلْقَى الرَّجُلَ فَيَقُولُ: يَا هَذَا اتَّقِ اللَّهَ وَدعْ مَا تَصْنَعُ فَإِنَّهُ لَا يَحِلُّ لَكَ، ثُمَّ يَلْقَاهُ مِنَ الْغَدِ وَهُوَ عَلَى حَالِهِ، فَلاَ يَمْنَعُهُ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ أَكِيلَهُ وشَرِيبَهُ وَقَعِيدَهُ، فَلَمَّا فَعَلُوا ذَلِكَ ضَرَبَ اللَّهُ قُلُوبَ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ » ثُمَّ قَالَ: { لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِيٓ إِسْرٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُدَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَّكَانُوا يَعْتَدُونَ، كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ تَرَىٰ كَثِيرًا مِنْهُمُ يَتَوَلَّوْنَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَبِئْسَ مَا قَدَّمَتْ لَهُمْ أَنْفُسُهُمْ... إِلَى قَوْلِهِ.. فَـٰسِقُونَ } [ المائدة : ٨١،٧٨] ثُمَّ قَالَ: « كَلاَّ، وَاللَّهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، ولَتَأْخُذُنَّ عَلَى يَدِ الظَّالِمِ، وَلَتَأْطِرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ أَطْرًا، وَلَتقْصُرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ قَصْرًا، أَوْ لَيَضْرِبَنَّ اللَّهُ بِقُلُوبِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ، ثُمَّ لَيَلْعَنكُمْ كَمَا لَعَنَهُمْ » رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya kekurangan yang pertama kali terjadi pada Bani Israil adalah ketika ada seseorang yang bertemu dengan seseorang yang lain kemudian ia berkata, “Wahai saudaraku bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan apa yang kamu perbuat, sesungguhnya itu tidak halal bagi kamu.”

Kemudian ia bertemu orang itu pada keesokan harinya, sedangkan orang itu tetap dalam keadaannya (melakukan dosa), ia tidak mencegah orang tersebut tetapi ia menemaninya makan, minum dan duduk bersamanya. Kemudian ketika mereka berbuat demikian, Allah menutup hati sebagian mereka dari sebagian yang lain, kemudian Allah berfirman, 

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani israil dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikan itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya, amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang kafir (musyrik). Sesungguhnya, amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, hingga firman-Nya, orang-orang fasik.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 78-81). Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah (kalian berbuat) demikian!” Demi Allah hendaklah kalian memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran dan melawan orang-orang yang zhalim dan berlaku lemah lembut dan tekun dalam mengajak kebenaran dengan kelembutan atau Allah akan mengunci hati kalian sebagian dengan sebagian yang lain. Kemudian Allah melaknat kalian, sebagaimana Allah melaknat mereka (bani israil).”

[HR. Abu Dawud no. 4336. At-Tirmidzi no. 3048 dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ad-Da'ifah no. 1105]

Ini adalah lafazh Abu Dawud. Sedangkan lafazh At-Tirmidzi adalah (sabda) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika terjadi kemaksiatan di Bani Israil, para ulamanya bingung dan tidak mahu mencegah, mereka duduk bersama orang-orang maksiat tersebut dalam majelis mereka, makan dan minum bersama mereka, kemudian Allah mencampuradukkan hati mereka antara sebagian dengan sebagian yang lain, melaknati mereka dengan lisan Dawud, Isa bin Maryam, demikian itu kerana mereka bermaksiat dan melampaui batas.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersandarkan pada lututnya dan baginda bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sampai kalian memaksa mereka atas kebenaran.”

Hadits 197.
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيةَ: { يَـٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ } [المائدة : ١.٥] وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ » رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ وَالنَّسَائِيُّ بِأَسَانِيدَ صَحِيحَةٍ.
Daripada Abu Bakar As-Shiddiq radhiyallahu anhu, ia berkata: 

“Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 105) dan sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya manusia jika melihat kezhaliman dan tidak mencegahnya dengan tangannya, maka niscaya Allah akan menimpakan siksaan secara merata kepada mereka semua.”

[HR. Abu Dawud no. 4338 , At-Tirmidzi no. 2168  dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shahihah no. 156]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu ia berkata, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 105) Zhahir ayat ini bahwa seseorang jika hanya memberi petunjuk bagi dirinya, maka orang-orang sesat tidak akan membahayakannya, kerana ia beristiqamah dengan dirinya, ketika ia istiqamah dengan dirinya, maka pahalanya dari Allah Ta'ala. Sebagian orang menafsirkannya dan memahaminya dengan makna yang rusak, ia menyangka bahwa inilah yang dimaksud dengan ayat yang mulia itu. Bukanlah demikian, kerana Allah menyaratkan bahwa keberadaan orang yang sesat itu tidak membahayakan kita jika kita telah mendapat petunjuk, Allah Ta'ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk...” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 105)

Yang termasuk dari hidayah adalah amar makruf nahi mungkar. Jika hal ini termasuk hidayah, maka pastilah kita selamat dari bencana. Kerananya Abu Bakar radhiyallahu anhu mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya manusia jika melihat kezhaliman dan tidak mencegahnya dengan tangannya, maka niscaya Allah akan menimpakan siksaan secara merata kepada mereka semua.” 
Yakni orang yang sesat akan membahayakan mereka, jika mereka melihat kesesatan dan tidak memerintahkan pada kebaikan, dan tidak mencegahnya dari kemungkaran, maka akan dikhawatirkan Allah akan meliputi mereka dengan adzab-Nya, baik yang berbuat mahupun yang lalai, yaitu yang berbuat kemungkaran dan orang yang lalai tidak memberi peringatan.

Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan kewajiban seseorang untuk berusaha memahami kitab Allah Ta'ala, sampai dia tidak memahami selain apa yang dikehendaki Allah Ta'ala. Sesungguhnya sebagian orang menyangka makna yang menyimpang dari apa yang dikehendaki Allah di dalam kitab-Nya, mereka sesat dalam menafsirkan Al-Qur'an. Kerananya terdapat hadits yang mengancam orang yang berkata tentang Al-Qur'an dengan pendapatnya, yakni ia menafsirkannya dengan pendapat dan hawa nafsunya, tidak berdasarkan kaidah bahasa Arab dan syariah Islamiyah. Apabila ada seseorang menafsirkan Al-Qur'an dengan pendapat dan hawa nafsunya, maka siap-siaplah masuk ke dalam api neraka. Adapun seseorang yang menafsirkannya sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan dia termasuk orang yang mengerti bahasa Arab, maka ia tidaklah berdosa, kerana Al-Qur'an diturunkan dengan lisan (bahasa) Arab, maka ia menafsirkannya sesuai dengan apa yang ditunjukkannya.

Demikan juga, jika terdapat kalimat-kalimat yang dipindahkan dari bahasa (Lughawi) ke dalam makna syar'i, kemudian ia menafsirkannya dengan makna syar'i, maka ia tidaklah berdosa dalam hal ini. Yang terpenting, wajib bagi seseorang untuk memahami maksud Allah Ta'ala yang terdapat dalam kitab-Nya, begitu juga apa yang dimaksudkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sunnahnya, sehingga ia tidaklah menafsirkan keduanya kecuali sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Allah dan Rasul-Nya, Allahlah yang memberi petunjuk.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...