۞وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ۞
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 2)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ۞
Imam Syafi'i rahimahullah mengatakan satu ucapan yang maknanya, “Sesungguhnya manusia atau kebanyakan dari mereka lalai dalam mentadabburi surat ini.”
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Bab Tolong-menolong dalam Kebaikan dan Takwa,” Ta'aawun, artinya At-Tasaa'ud, saling bantu membantu yaitu saling tolong- menolong antara sebagian dengan sebagian yang lain dalam kebaikan dan takwa. Yang dimaksud dengan Al-Birr, yaitu setiap perbuatan baik. At-Taqwa, adalah menghindari keburukan. Yang demikian itu kerana manusia berbuat berdasarkan atas dua segi, ada yang berupa kebaikan dan ada yang berupa keburukan. Adapun yang baik, maka cara tolong-menolong di sini yaitu membantu saudaramu untuk melakukan kebaikan dan mempermudahkannya. Baik itu yang berhubungan dengan diri anda mahupun tidak. Adapun keburukan, maka cara tolong-menolongnya yaitu memperingatkan saudaramu dengan hal tersebut, mencegahnya sesuai dengan kemampuanmu, dan memberikan isyarat kepada orang yang ingin melakukannya untuk meninggalkan hal tersebut dan seterusnya. Yang dimaksud dengan Al-Birr adalah kebaikan, saling tolong-menolong dan memudahkannya bagi orang lain. Sedangkan takwa adalah menghindarkan keburukan, bentuk tolong-menolongnya dengan cara menghindarkan mereka agar tidak melakukannya, dan memberikan peringatan kepada mereka tentang hal tersebut sehingga menjadi umat yang satu.
Adapun firman-Nya, “Tolong-menolonglah kalian,” yakni kewajiban pada hal yang wajib dan kesunnahan pada hal yang sunnah. Demikian juga dalam takwa, ada kewajiban pada sesuatu yang diharamkan dan kesunnahan dalam hal yang dimakruhkan. Adapun dalil yang kedua, dalam hal tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana yang disebutkan oleh penulis (Imam An-Nawawi) dalam surat Al-'Ashar, Allah Ta'ala berfirman,
“Demi masa. Sesungguhnya, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-'Ashar: 103: 3)
Allah bersumpah dengan waktu Ashar yaitu masa, sesungguhnya Allah bersumpah dengan hal ini kerana masa adalah media untuk beramal, di antara manusia ada yang memenuhinya dengan kebaikan dan di antara mereka juga ada yang memenuhinya dengan keburukan. Allah bersumpah dengan waktu ini sesuai dengan orang yang ingin disumpahi dan hal yang dijadikan sumpah, yaitu amal seorang hamba, Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,” manusia sifatnya umum, mencakup semua orang, baik mukmin mahupun kafir, adil mahupun fasik, laki-laki mahupun perempuan. Setiap manusia itu dalam keadaan merugi, rugi dalam amalnya dan dirugikan oleh amalnya, kelelahan di dunia dan tidak mendapatkan manfaat di akhirat, kecuali orang-orang yang terhimpun pada empat sifat ini, “Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-'Ashar: 103: 3)
Mereka memperbaiki dirinya dengan iman, amal shalih serta memperbaiki orang lain dengan nasihat kebenaran dan kesabaran. Iman di sini berarti beriman kepada segala sesuatu yang diwajibkan untuk diimani, yaitu apa-apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabda-Nya,
“Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk-Nya.”
[Shahih Muslim no. 8]
Ada enam rukun. Adapun amal shalih adalah segala sesuatu yang mendekatkan seseorang kepada Allah, amal itu tidaklah menjadi shalih kecuali kerana dua syarat, yakni ikhlas kepada Allah dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang dimaksud dengan ikhlas kepada Allah adalah tidak menjadikan amalanmu itu riya (pamer) kepada orang lain, tidaklah kamu melaksanakannya kecuali mengharap ridha Allah dan hari akhirat. Adapun Mutaba'ah yaitu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak berbuat kebid'ahan, kerana bid'ah walaupun seseorang ikhlas mengerjakannya maka ia tertolak, seperti mana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang beramal dengan apa yang bukan dari perkara kami (dalam agama) maka ia tertolak.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718]
Ibadah yang di dalamnya mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetapi mengandung riya, maka ia juga tertolak, berdasarkan firman Allah dalam hadits Qurdsi,
“Aku paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan amalan yang di dalamnya mempersekutukanku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan ia dengan sekutunya.”
[Shahih Muslim no. 7666]
Adapun firman Allah, “Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran,” yaitu sesungguhnya sebagian mereka berwasiat kepada yang lain dengan kebenaran, yaitu dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berwasiat dengan kesabaran. Kerana jiwa membutuhkan kesabaran dalam melakukan ketaatan dan menghindarkan kemaksiatan. Imam Syafi'i rahimahullah berkata, “Sekiranya Allah tidak menurunkan kepada hamba-Nya satu surat pun selain surat ini (Al-'Ashr), maka cukuplah bagi mereka, kerana surat ini bersifat komprehensif dan universal.” Kita memohon kepada Allah untuk menjadikan kita semua orang-orang mukmin yang beramal shalih, yang selalu berwasiat dengan ketakwaan dan kesabaran.
Hadits 177.
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ جهَّزَ غَازِيًا فِي سَبِيْلِ اللهِ فَقَدْ غَزَا، وَمَنْ خَلَفَ غَازِيًا فِي أَهْلِهِ بِخَيْرٍ فَقَدْ غَزَا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap telah berperang di jalan Allah. Dan barangsiapa yang memberikan nafkah kepada keluarga orang yang ikut berperang di jalan Allah, maka dia juga dianggap telah berperang.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2843 Muslim no. 1895]
Hadits 178.
وَعَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعَثَ بَعْثًا إِلَى بَنِي لِحْيَانَ مِنْ هُذَيْلٍ فَقَالَ: « لِيَنْبَعِثْ مِنْ كُلِّ رَجُلَيْنِ أَحَدُهُمَا وَاْلأَجْرُ بَيْنَهُمَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Hendaknya tiap dua orang dalam satu keluarga, yang satu keluar yang satu menjaga keluarganya, niscaya pahalanya dibagi antara keduanya.”
[Shahih Muslim no. 1896]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan di dalam bab ini yaitu “Bab Tolong-Menolong dan Takwa.” Sebuah riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Barangsiapa yang mempersiapkan bekal untuk orang yang berperang di jalan Allah, maka ia dianggap telah berperang di jalan Allah. Dan barangsiapa yang memberikan nafkah kepad keluarga orang yang ikut berperang di jalan Allah, maka dia juga dianggap telah berperang.” Ini adalah bentuk tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa. Ketika seseorang mempersiapkan diri untuk berperang yaitu mempersiapkan kendaraannya, peralatannya dan persenjataannya, maka ia telah berperang, yakni dituliskan baginya pahala berperang, kerana ia telah mempersiapkan kebaikan. Demikian juga orang yang menggantikan sesuatu yang baik bagi keluarganya, berarti ia sudah berperang, kerana jika seseorang ingin berperang, tetapi dia mendapatkan masalah dalam hal pemenuhan kebutuhan bagi keluarganya, kemudian dia mengutus salah seorang muslim dan berkata, “Aku akan menggantikanmu dalam keluargamu dengan kebaikan,” maka orang yang menanggung keluarganya ini pahalanya seperti orang yang berperang kerana ia membantunya.
Kerananya, membantu orang yang berperang itu ada dua:
Pertama, membantunya mempersiapkan kendaraan, perlengkapan dan persenjataannya.
Kedua, membantunya untuk menanggung keluarga yang ditinggalkannya, kerana ini termasuk pertolongan yang sangat besar. Banyak orang yang merasa berat apabila ada orang yang memenuhi hajat mereka, jika orang itu sudah bisa menanggung kebutuhan keluarganya dan dia menjadi penggantinya bagi keluarganya dengan baik, maka berarti ia telah berjuang. Di antaranya yaitu yang pernah terjadi pada Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengantikannya pada perang Tabuk, Rasulullah memerintahkannya agar ia bersama keluarga, Ali berkata, “Wahai Rasulullah kenapa engkau tinggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak!” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu tidak ridha menjadi sebagian dari diriku, seperti kedudukan Harun dari Musa, dimana tidak ada Nabi lagi setelahku?”
[Shahih Al-Bukhari no. 3706, 4416 dan Muslim no. 2404]
Yakni aku tinggalkan engkau bersama keluargaku sebagaimana Nabi Musa meninggalkan Nabi Harun pada kaumnya ketika dia pergi menuju Miqat (tempat perjumpaan) Tuhannya.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa setiap orang yang membantu orang lain untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka baginya pahala seperti pahala orang itu. Jika anda membantu seorang penuntut ilmu dengan membelikannya buku, mengontrakkannya rumah, atau menafkahinya dan sebagainya, maka bagi anda pahala, yakni seperti pahala orang itu, tanpa dikurangi sedikit pun. Begitu juga jika anda membantu orang yang hendak shalat dengan memudahkan urusannya dalam shalat, baik itu tempatnya, pakaiannya, dalam wudhunya atau dalam segala sesuatunya, maka sesungguhnya dituliskan bagi anda pahala seperti orang yang shalat.
Kaidah umumnya, bahwa barangsiapa yang membantu orang lain dalam ketaatannya kepada Allah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang dibantu tanpa dikurangi sedikit pun.
Hadits 179.
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَ رَكْبًا بِالرَّوْحَاءِ فَقَالَ: « مَنِ الْقَوْمُ؟ » قَالُوْا: اَلمُسْلِمُونَ، فَقَالُوْا: مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ: « رَسُوْلُ اللهِ » فَرَفَعَتْ إِلَيْهِ امْرَأَةٌ صَبِيًّا فَقَالَتْ: أَلَهَذَا حَجٌّ؟ قَالَ: « نَعَمْ وَلَكِ أَجْرٌ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Islam.” Kemudian mereka bertanya, “Siapakah anda?”
Baginda menjawab, “Aku adalah Rasulullah.”
Kemudian seorang wanita mengangkat seorang anak kecil di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya, “Apakah anak ini boleh melakukan haji?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, engkau juga akan memperoleh pahala.”
[Shahih Muslim no. 1336]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma bahwa, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan satu kafilah di Ar-Rauha lalu baginda bertanya, “Siapakah kaum ini?” Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang Islam.” Kemudian mereka bertanya, “Siapakah anda?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku adalah Rasulullah.” Kemudian seorang wanita mengangkat seorang anak kecil di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Apakah anak ini boleh melakukan haji?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, engkau juga akan memperoleh pahala.”
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah yang dirangkai oleh Imam An-Nawawi, bahwa seseorang yang membantu orang lain untuk ketaatan, maka baginya pahala, kerana wanita tersebut akan memelihara anaknya ketika ihram, thawaf, sa'i, wukuf dan lain-lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, engkau juga akan memperoleh pahala.”
Ini seperti hadits yang telah lalu, yakni orang yang mempersiapkan peperangan atau yang orang yang menggantikan seseorang dalam keluarganya, maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang pergi berperang.
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah, bahwa seseorang sepantasnya bertanya kepada orang yang tidak diketahuinya, jika memang hal tersebut diperlukan. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah kaum ini?” dikhawatirkan mereka adalah musuh, atau mereka berkhianat mengadakan tipu daya. Namun, jika hal itu tidak diperlukan, maka tidak perlu bertanya tentangnya, sehingga kamu berkata, “Siapakah anda?” kerana ini termasuk hal yang tidak bermanfaat bagimu. Baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya. Tetapi, jika memang diperlukankan, maka bertanyalah sehingga perkara itu menjadi jelas.
Di dalamnya juga terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya seseorang menyifati dirinya dengan kebaikan, tanpa bermaksud untuk menyombongkan diri, tetapi hanya sebatas pengenalan diri, maka hal ini tidaklah mengapa, kerana para sahabat tatkala mereka ditanya, “Siapa kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang Islam,” dan tanpa diragukan bahwa Islam adalah sifat yang terpuji. Akan tetapi, jika seseorang mengabarkan tentang dirinya sendiri, dengan mengatakan, “Saya muslim, saya beriman,” sekadar mengabarkan bukan kerana sombong, maka ini juga tidak mengapa. Demikian juga apabila ia mengatakannya hanya untuk menceritakan kenikmatan (Tahadduts bin ni'mah), jika ia berkata, “Segala puji bagi Allah, yang telah menjadikanku termasuk dari golongan orang-orang Islam,” dan yang serupanya, maka ini tidaklah mengapa, bahkan termasuk sesuatu yang terpuji jika tidak terjadi sesuatu yang di larang.
Faedah yang selanjutnya, bahwasanya apabila seseorang menyifati dirinya dengan satu sifat tanpa ada unsur membanggakan diri, sesungguhnya ini tidak termasuk ke dalam “Bab Memuji diri dan Mensucikannya,” kerana hal ini dilarang Allah Ta'ala dalam firman-Nya,
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.”
(QS. An-Najm: 53: 32)
Di antara faedah hadits ini juga, hendaknya seseorang mengambil kesempatan dengan keberadaan para ulama, kerana kaum ini ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka bahwa baginda adalah utusan Allah, mereka langsung bertanya kepadanya (menjadikannya sebagai rujukan), maka hendaknya seseorang mengambil kesempatan dengan keberadaan para ulama untuk bertanya kepada mereka tentang perkara yang tidak diketahuinya.
Termasuk dari faedahnya juga, bahwa anak kecil jika dihajikan oleh walinya, maka bagi walinya pahala, sedangkan hajinya untuk anak tersebut bukan untuk si wali. Telah banyak diketahui di kalangan mereka, bahwa hajinya anak kecil adalah untuk kedua orang tuanya, ini tidak beralasan, haji anak kecil itu adalah untuk dirinya sendiri, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika wanita itu bertanya, “Apakah anak ini boleh melakukan haji?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, engkau juga akan memperoleh pahala.” Maka, haji tersebut untuk si anak. Ketahuilah, bahwa anak kecil bahkan setiap yang belum mencapai masa baligh akan ditulis pahala bagi mereka, dan tidaklah ditulis dosa.
Sebagian para ulama berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya, engkau juga akan memperoleh pahala.” jika anak kecil berihram, maka dia harus melaksanakan kewajiban haji, dia harus thawaf, sa'i, wukuf di Arafah, menginap di Muzdalifah dan Mina, serta melempar jumrah, dia melakukan apa yang bisa dilakukannya, dan jika dia tidak mampu melakukannya, maka walinya yang melakukan untuknya. Kecuali thawaf, maka ia dithawafkan dan disa'ikan.
Sebagian para ulama juga menyatakan, “Tidak mengapa anak kecil bertahalul walaupun tanpa sebab, kerana kesalahannya telah diangkat, dia bukan orang yang dibebani syariat (mukallaf).” Tidak dikatakan, “Sesungguhnya kesunnahan haji seperti kefardhuannya, tidak boleh keluar darinya, dan anak kecil ini melakukan kesunnahan, maka tidak boleh baginya keluar, kerana pada asalnya anak kecil tidak dibebani syariat (ghairum mukallaf), ini adalah mazhab Imam Abu Hanifah rahimahullah bahwa anak kecil tidak harus menyempurnakan hajinya, tidak juga dengan kewajiban hajinya, tidak juga meninggalkan larang-larangannya, apa pun yang dilakukannya, maka diterima dan apa yang terlewat darinya tidaklah ditanyakan. Inilah yang banyak terjadi dimasyarakat sekarang, dimana mereka mengihramkan anak kecilnya, kemudian dia merasakan kelelahan, dia menolak untuk menyempurnakannya dan malah melepaskan ihramnya, berdasarkan madzhab mayoritas ulama kita harus menyempurnakannya. Menurut madzhab Abu Hanifah, Shahibu Al-Furu' yang cenderung kepadanya dari sahabat Imam Ahmad dan dari murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, anak kecil tidak diharuskan menyempurnakan hajinya, kerana dia bukanlah orang yang mukallaf.”
Dalam hadits terdapat dalil yang menunjukkan bahwa anak kecil, walaupun ia belum mumayyiz (dapat membedakan baik dan buruk) maka hajinya adalah sah, akan tetapi bagaimana niatnya itu sah, padahal ia belum mumayyiz? Para ulama berkata, “Walinya yang berniat dalam hatinya bahwasanya dia telah memasukkan anak kecilnya dalam berihram, walinya juga melakukan apa yang dia tidak mampu melakukannya.”
Pada kesempatan ini, kami ingin menjelaskan, apakah wajib bagi orang yang menunaikan haji berniat thawaf dengan niat yang terpisah, begitu juga sa'i dan jumrah, ataukah tidak disyariatkan?
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama, di antara mereka ada yang mengatakan, “Jika seseorang berihram dengan haji, thawaf dan sa'i berdasarkan niat yang pertama, yakni ia tidak memperbaharui niatnya ketika thawaf dan juga ketika sa'i, maka hajinya sah. Dia berkata untuk menjelaskan ucapannya, “Sesungguhnya thawaf, sa'i, wukuf, melemparkan jumrah dan mabit (bermalam) semuanya merupakan bagian dari ibadah, maka cukuplah dengan niat yang pertama, sebagaimana jika seseorang shalat, lalu ia niat tatkala masuk shalat bahwa ia telah masuk ke dalam shalat, maka dia tidak diharuskan berniat untuk ruku', sujud, berdiri dan juga tahiyat, kerana hal itu adalah bagian dari satu ibadah, begitu juga haji.”
Ucapan ini hendaknya diberikan ketika darurat, yakni jika seseorang datang kepadamu meminta fatwa, lalu ia berkata, “Aku masuk ke Masjidil Haram kemudian aku thawaf, dan pada kesempatan itu, aku tidak punya niat.” Maka, di sinilah hendaknya seseorang berfatwa bahwa baginya tidak mendapatkan apa pun, bahwa thawafnya itu sah. Adapun jika waktunya senggang, katakanlah padanya bahwa jika kamu berniat, maka itu lebih baik, yang penting adalah dia harus melaksanakan thawaf, tetapi terkadang ia lupa apakah thawafnya itu thawaf rukun atau thawaf sunnah dan sebagainya.
Hadits 180.
وَعَنْ أَبِي مُوْسَى اْلأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: « اَلْخَازِنُ الْمُسْلِمُ اْلأَمِيْنُ الَّذِيْ يُنَفِّذُ مَا أُمِرَ بِهِ، فَيُعْطِيْهِ كَامِلًا مَوَفَّرًا، طَيِّبَةً بِهِ نَفْسُهُ فَيَدْفَعُهُ إِلَى الَّذِي أُمِرَ لَهُ بِهِ أَحَدُ الْمُتَصَدِّقَيْنِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Bendahara muslim yang amanat adalah yang melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, kemudian memberikan secara sempurna, lapang dan senang hati kepada orang yang diperintahkan untuk diberi, maka dia termasuk orang-orang yang mendapatkan pahala sedekah tersebut.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1438 dan Muslim no. 1023]
Dalam riwayat yang lain, “Yang memberikan apa yang diperintahkan kepadanya,” Para ulama menulis lafazh (الْمُتَصَدِّ قَيْنِ) (qaf difathah dan nun dikasrah) untuk bentuk tatsniyah, dan sebaliknya menuliskan الْمُتَصَدِّ قِيْنَ (qaf dikasarah dan nun difathah) untuk jama'.”
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat diambilnya dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bendahara muslim yang amanat adalah yang melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, kemudian memberikan secara sempurna, lapang dan senang hati kepada orang yang diperintahkan untuk diberi, maka dia termasuk orang-orang yang mendapatkan pahala sedekah tersebut.”
Lafazh Khaazin sebagai Mubtada' dan Ahadu Al-Mutashaddiqain sebagai Khabar-nya, maksudnya adalah bendahara yang memiliki empat sifat ini yaitu muslim, amanat, melaksanakan apa yang diperintahkan, dan senang hatinya.
Sifat yang pertama; Sifat muslim ini sebagai pengecualian dari kafir. Bendahara jika kafir walaupun ia amanat, melaksanakan apa yang diperintahkan, maka baginya tidak ada pahala, kerana kekafiran tidak akan ada pahala bagi mereka di akhirat dari amal kebaikan yang mereka lakukan, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.”
(QS. Al-Furqân: 25: 23)
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 2: 217)
Adapun bila ia berbuat kebaikan kemudian masuk Islam, maka kebaikan yang telah lalu akan terselamatkan dan akan diberikan pahalanya.
Sifat yang kedua: Amanat, yakni terpercaya, melaksanakan amanat yang diberikan kepadanya, ia menjaga harta dan tidak merusaknya tidak pula mengambilnya dan menyia-nyiakannya.
Sifat yang ketiga: Melaksanakan apa yang diperintahkan, yakni melakukannya, kerana di antara mereka ada yang amanat akan tetapi pemalas. Orang yang memiliki sifat ini terpercaya, melaksanakan apa yang diperintahkan kepadanya, maka terkumpullah dua sifat; kuat dan terpercaya.
Sifat yang keempat: Baik jiwa dan perilakunya, jika ia melaksanakan dan memberikan apa yang diperintahkan kepadanya maka ia melaksanakannya dengan lapang dada yakni tidak mengharapkan sesuatu dari orang yang diberi, atau ingin menampakkan kemuliaannya, tetapi ia memberikannya dengan keikhlasan hati, dialah yang termasuk salah seorang yang bersedekah, walaupun ia tidak memberikan satu sen pun dari hartanya.
Contohnya, jika seseorang mempunyai harta, dan ia memiliki harta benda, seorang muslim yang amanat, melaksanakan yang diperintahkan dan memberikan kepada yang berhak dengan sepenuh hati (ikhlas), jika orang yang punya harta itu berkata kepadanya, “Wahai fulan, berikanlah kepada orang fakir ini sepuluh ribu Riyal,” lalu ia memberikannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka seakan-akan ia seperti orang yang bersedekah sepuluh ribu Riyal tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala orang yang bersedekah, itu adalah keutamaan dari Allah Ta'ala.
Dalam hadits ini terdapat dalil tentang keutamaan amanat dan keutamaan melaksanakan apa yang diwakilkan kepadanya tanpa berlebih-lebihan, serta dalil yang menunjukkan bahwa tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa akan dituliskan pahala bagi yang melakukannya, seperti pahala orang yang melakukannya. Ini adalah keutamaan Allah yang diberikan pada orang yang dikehendaki-Nya.
Dalam hadits ini terdapat dalil tentang keutamaan amanat dan keutamaan melaksanakan apa yang diwakilkan kepadanya tanpa berlebih-lebihan, serta dalil yang menunjukkan bahwa tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa akan dituliskan pahala bagi orang yang melakukannya, seperti pahala orang yang melakukannya. Ini adalah keutamaan Allah yang diberikan pada orang yang dikendaki-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan