Selasa, 23 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 28. Menutup Aib Orang Muslim Dan Larangan Membuka Aib Kecuali Dalam Keadaan Darurat.

Allah Ta'ala berfirman:
۞ إِنَّ الَّذينَ يُحِبّونَ أَن تَشيعَ الفاحِشَةُ فِي الَّذينَ آمَنوا لَهُم عَذابٌ أَليمٌ فِي الدُّنيا وَالآخِرَةِ۞
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersebar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka akan mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-Nur: 24: 19)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari bab, “Menutupi Aib Orang-orang Muslim dan Larangan Menyebarkan Tanpa Ada Alasan.” Yang dimaksud dengan aurat di sini adalah aurat secara maknawi, kerana aurat itu ada dua: Aurat secara hakikat dan aurat secara maknawi. Aurat secara hakikat adalah aurat yang diharamkan untuk melihatnya, seperti qubul (kemaluan) dan dubur (anus) dan hal-hal lain yang sudah dikenal dalam kitab-kitab fikih. Sedangkan aurat maknawi adalah aib, kejelekan akhlak atau perbuatan. Tidak diragukan bahwa manusia itu seperti yang disifati Allah Ta'ala dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zhalim dan sangat bodoh.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 72)

Manusia disifati dengan dua sifat ini, yakni kezaliman dan kebodohan. Terkadang orang melakukan kesalahan dengan sengaja, maka ini disebut kezaliman, dan terkadang ia melakukan kesalahan tanpa disedari, maka ini disebut kebodohan. Ini keadaan manusia, kecuali orang yang dilindungi Allah dan diberikan taufik dengan ilmu dan keadilan maka ia dapat berjalan dengan kebenaran dan memberikan petunjuk dengan kebenaran, jika memang tabiat manusia itu lalai, lemah dan memiliki cacat, maka kewajiban seorang muslim kepada saudaranya adalah menutup aurat (aib)nya dan tidak menyebarkannya kecuali kerana darurat. Jika ada darurat terhadap hal tersebut, maka hal itu tidak dapat dihindari, akan tetapi jika tidak ada darurat maka yang lebih utama adalah menutupi aib saudaranya. Kerana kita ini manusia, terkadang keliru kerana syahwat dan keinginan yang jelek atau kerana keraguan, dimana ada keracuan baginya dalam kebenaran maka ia mengatakannya batil atau beramal dengannya. Seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi aib saudaranya. Misalnya kamu melihat seorang muslim berdusta dan melakukan tipuan dalam jual beli, janganlah kamu siarkan hal itu kepada masyarakat, tapi nasihati dan tutupilah aibnya, jika ia mendapat taufik dan petunjuk serta dapat meninggalkan hal tersebut, memang inilah yang kita inginkan, jika tidak, maka kamu harus menjelaskan perkaranya pada masyarakat agar mereka tidak tertipu olehnya. Misalnya kamu menemukan seseorang sedang diuji dengan memandang seorang wanita, dan dia tidak menundukkan pandangannya, maka tutupilah aibnya, nasehati dan jelaskan padanya bahwa hal itu adalah panah-panah iblis. Kerana pandangan -Na'udzu billah- merupakan panah dari panah-panah iblis yang menimpa hati seorang hamba. Jika ia memiliki kekebalan, maka dia berlindung kepada Allah dari panah yang dilemparkan setan ke dalam hatinya, dan jika ia tidak memiliki kekebalan, maka ia akan terkena panah ini dan akan terus berlanjut sampai ia melakukan kerusakan dan kemungkaran. Selama menutupi aib itu memungkinkan, dan tidak ada kemaslahatan yang jelas atau darurat yang mendesak dalam hal membuka aib saudaramu, maka tutupilah aibnya, jangan kamu sebarkan.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah berdalil dengan firman Allah Ta'ala,

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat adzab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. An-Nûr: 24: 19)

Mereka inilah orang-orang yang suka menyebarkan luaskan, maka bagaimana dengan orang yang menyebarkan kejelekan? Orang yang suka menyebarluaskan kejelekan kepada orang-orang muslim ini memiliki dua makna:

1. Orang yang suka menyebarluaskan kejelekan kepada masyarakat muslim, di antaranya dengan menyebarkan film-film porno dan majalah-majalah yang merusak moral, maka orang-orang ini tidak diragukan lagi bahwa mereka mencintai tersebarnya kejelekan pada masyarakat muslim, mereka ingin memfitnah agama orang muslim dengan menyebarkan majalah-majalah dan film-film porno yang merusak dan lain sebagainya. Demikan juga membiarkan mereka melakukan hal itu padahal ia mampu untuk mencegahnya, ini juga termasuk orang yang menyukai tersebarnya ha-hal yang merusak terhadap orang yang beriman, orang yang mampu mencegah tersebarnya majalah dan film-film porno ini, namun membiarkannya tersebar di masyarakat muslim, maka ia termasuk orang yang menyebarluaskan kerusakan kepada orang-orang muslim, bagi mereka adzab yang pedih di dunia dan akhirat.

2. Orang yang suka menyebarkan kejelekan kepada orang tertentu, bukan terhadap masyarakat Islam secara keseluruhan. Orang ini juga akan mendapat adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menyukai tersebarnya kerusakan pada sekelompok manusia kerana sebab tertentu, maka mereka juga mendapatkan adzab yang pedih di dunia dan akhirat, terutama kepada siapa ayat ini diturunkan dalam bentuk pembelaan terhadapnya, yaitu Aisyah Ummul Mukmin Radhiyallahu Anha. Kerana ayat ini turun menceritakan tentang hadits Afki, Al-Ifki yaitu kebohongan yang dibuat oleh orang-orang yang membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, barangsiapa yang suka mengotori ranjang beliau dan barangsiapa yang suka mencela keluarga beliau, maka ia termasuk dari kelompok orang-orang munafik dan serupa dengannya. Peristiwa Afki (berita bohong) ini sangat terkenal, yaitu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin melakukan perjalanan, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundi istri-istrinya, ini merupakan kebijaksanaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa saja yang keluar bagiannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya bersamanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundi istri-istrinya dalam sebuah perjalanan, lalu keluarlah nama Aisyah Radhiyallahu Anha. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajaknya.

Di tengah perjalanan pulang, mereka berhenti sebentar untuk tidur di akhir malam, ketika mereka tertidur, Aisyah Radhiyallahu Anha keluar untuk buang hajatnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan di akhir malam. Maka berangkatlah rombongan itu dengan memanggul haudaj (tenda yang ada di atas binatang) Aisyah, dan mereka tidak merasakan ketidakberadaan Aisyah di dalam tenda tersebut, kerana waktu itu ia memang masih kecil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya ketika ia berumur enam tahun dan mencampurinya pada usia sembilan tahun. Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal, Aisyah berumur delapan belas tahun. Mereka pun membawa haudaj, mereka menyangka bahwa Aisyah berada di dalamnya kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Ketika Aisyah kembali, ia tidak menemukan rombongan di tempatnya, akan tetapi dengan kecerdasan akalnya, ia tidak pergi kemana-mana, tidak pergi ke kanan dan ke kiri untuk mencari mereka tetapi ia tetap di tempatnya dan berkata, “Mereka akan kehilanganku dan akan kembali ke tempatku.” Dan ketika matahari terbit, tiba-tiba ada laki-laki yang bernama Sofwan Al-Mu'atthal, dan ia termasuk orang yang jika tertidur susah untuk bangunnya, sama dengan keadaan sebagian orang yang jika tertidur susah untuk bangunnya walaupun terdengar suara kencang di sampingnya.

Sofwan termasuk dari kelompok kaum ini, jika ia tertidur ia begitu nyenyak di dalam tidurnya dan tidak bangun, kecuali jika Allah membangunkannya seakan-akan ia mayat. Ketika ia bangun dan beranjak hendak pergi, ia menemukan Aisyah sendirian di suatu tempat di padang pasir -ia mengenalnya sebelum ayat hijab diturunkan- dan tidak ada yang ia lakukan kecuali menggerakkan untanya, ia tidak berbicara kepada Aisyah satu kalimat pun, sebab kenapa ia tidak mahu berbicara kerana ia menghormati rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia tidak menginginkan untuk berbicara dengan istri yang dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Ia mengerakkan untanya, dan memegang tali kendalinya, ia tidak mengatakan, “Naiklah anda.” Ia tidak berkata sedikit pun. Maka naiklah Aisyah ke atas unta, kemudian Sofwan menuntut unta tersebut dengan berjalan kaki. Tidaklah ia memandang Aisyah, tidak pula berbicara dengan satu kata pun. Dan ketika ia mengadap kaum pada waktu Dhuha, siang sudah mulai meninggi, maka bergembiralah orang-orang munafik kerana mereka menemukan kesempatan untuk mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka menuduh laki-laki itu telah berbuat sesuatu terhadap perempuan yang terjaga, yang suci dan bersih, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka menuduhnya dan menyebarluaskan kejelekan bahwa lelaki ini telah berbuat sesuatu dan jatuh pula dalam hal ini tiga orang sahabat yang ikhlas, mereka terpengaruh dengan apa yang dituduhkan oleh orang-orang munafik. Yaitu Misthah bin Utsatsah anak dari bibi Abu Bakar, Hasan bin Tsabit radhiyallahu anhuma dan Hamnah binti Jahsy. Aisyah bersedih, dan jadilah orang-orang berbicara, “Bagaimana hal ini bisa terjadi? Siapa yang menjadikan perkara ini rancu, siapa yang melakukan kemungkaran di atas kemungkaran?” Mereka berkata, “Tidak mungkin mengotori rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, kerana rumah tangga beliau adalah sesuci-sucinya rumah tangga di muka bumi.

Allah dengan kemulian, kekuasaan dan hikmah-Nya menghendaki Aisyah sakit dan membiarkannya berdiam di rumah tidak keluar. Sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti kebiasaannya jika mengunjungi Aisyah yang dalam keadaan sakit, beliau bertanya dan berbicara. Adapun ketika itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berbicara, beliau keluar masuk dan berkata, “Bagaimana ini?” (dalam Shahih Al-Bukhari no. 2661, 4141, 4750 dan Muslim no. 2770) kemudian beliau keluar, Aisyah merasa tidak suka hal tersebut dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi tidak pernah terbesit dalam hatinya bahwa seseorang berbicara tentang harga dirinya dan tentang sesuatu yang mengotori rumah tangga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang munafik menyebarluaskan hal ini bukan kerana benci terhadap pribadi Aisyah; kerana sesungguhnya mereka membenci semua orang mukmin, sesungguhnya mereka itu benci kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sangat suka menyakitinya serta membalas dendam kepadanya. Semoga Allah memerangi mereka dengan cara bagaimanapun. Akan tetapi dalam kisah ini Allah Ta'ala menurunkan sepuluh ayat Al-Qur'an yang dimulai dengan firman-Nya,

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapatkan balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat adzab yang besar (pula).” (QS. An-Nûr: 24: 11)

Yang dimaksud dengan orang yang mengambil bagian terbesar dalam penyebaran berita ini adalah pimpinan orang-orang munafik, yakni Abdullah bin Ubay Al-Munafik, dialah yang menyebarluaskan berita bohong ini. Akan tetapi, hal itu sangat menyakitkan, dia tidak menyebarkan berita dengan lafazh yang jelas, misalnya ia berkata, “Sesungguhnya si fulan berzina dengan si fulanah,” tetapi dia menyebarkannya dengan kata-kata sindiran dan kiasan, kerana orang-orang munafik adalah pengecut, mereka menutup-nutupi dan tidak menjelaskan apa yang terdapat dalam jiwa mereka, Allah berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu (juga). Janganlah kamu mengira berita itu buruk bagi kamu bahkan itu baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapatkan balasan dari dosa yang diperbuatnya. Dan barangsiapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar (dari dosa yang diperbuatnya), dia mendapat adzab yang besar (pula). Mengapa orang-orang mukmin dan mukminat tidak berbaik sangka terhadap diri mereka sendiri, ketika kamu mendengar berita bohong itu dan berkata, “Ini adalah (suatu berita) bohong yang nyata. (QS. An-Nûr: 24: 11-12)

Dalam ayat ini terdapat celaan dari Allah Ta'ala kepada orang-orang yang berbicara tentang hal ini, Dia berkata, “Ketahuilah jika mereka mendengar ini orang-orang mukmin dan mukminat menyangka kebaikan pada diri mereka, demikan itu kerana Ummul Mukminin adalah ibu mereka, maka bagaimana mereka menyangka kepadanya dengan persangkaan yang tidak pantas baginya, maka yang wajib atas mereka adalah ketika mendengar berita ini untuk berprasangkan baik dengan diri mereka dan berlepas diri darinya dari orang-orang yang mengatakannya.” 

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Oleh kerana mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Nûr: 24: 13)

Yakni hendaknya mereka mendatangkan empat orang saksi untuk bersaksi atas perkara ini, “Jika mereka tidak mendatangkan para saksi, maka mereka di sisi Allah adalah sebagai para pendusta.Walaupun mereka benar, kerananya kalau seseorang menyaksikan orang lain berzina, lalu datang kepada hakim dan berkata, “Aku menyaksikan fulan berzina,” maka kami katakan kepadanya, “Tunjukan empat orang saksi,” jika ia tidak dapat mendatangkan empat orang saksi, maka kami akan mencambuknya sebanyak delapan puluh kali, jika mendatangkan orang kedua bersamanya, maka kami cambuk keduanya setiap orang dengan delapan puluh kali cambukan, begitu juga tiga saksi, maka kami akan mencambuk masing-masing dari mereka delapan puluh cambukan.

Jika datang tiga orang kepada kita, dimana mereka bersaksi bahwa fulan dan fulanah melakukan zina, dan persaksian itu tidaklah benar, maka sesungguhnya kami akan mencambuk masing-masing dari mereka delapan puluh cambukan. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak datang membawa empat saksi? Oleh kerana mereka tidak membawa saksi-saksi, maka mereka itu dalam pandangan Allah adalah orang-orang yang berdusta. Dan seandainya bukan kerana karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa adzab yang besar, disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang hal itu (berita bohong itu)” (QS. An-Nûr: 24: 13-14)

Kalau bukan kerana rahmat dan keutamaan Allah, niscaya akan ditimpakan kepada kalian dari apa yang kalian lakukan berupa adzab yang telah disebutkan. Dalam firman-Nya, “Dengan apa yang kalian bicarakan.” Sebagai dalil yang menunjukkan bahwa pembicaraan itu telah tersebar, meluas dan tersiar, kerana perkara ini adalah perkara yang sangat besar dan berbahaya. Kebiasaan selalu berlaku bahwa perkara yang besar akan cepat tersebarnya dan memenuhi rumah-rumah, memenuhi mulut-mulut dan telinga-telinga. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan seandainya bukan kerana karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu di dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa adzab yang besar disebabkan oleh pembicaraan kamu tentang hal itu (berita bohong itu). (Ingatlah) ketika kamu menerima (berita bohong) itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar. (QS. An-Nûr: 24: 14-15)

Allah Ta'ala berfirman, “(Ingatlah) di waktu kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut.tanpa ada yang menceritakannya, tanpa bukti yang jelas, dan tanpa keyakinan, “Dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja. Padahal yang demikian itu di sisi Allah adalah besar.” Kerana ia telah menuduh perempuan yang paling suci di atas muka bumi ini, dia dan istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain, maka perkaranya menjadi lebih besar.

Dalam ayat ini juga terdapat peringatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula).” (QS. An-Nûr: 24: 26)

Jika Aisyah, Ummul Mukminin, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memang melakukan hal itu -dan hal ini sangat tidak mungkin terjadi padanya- berarti ini menunjukkan buruknya suaminya -Na'udzu Billah- kerana perempuan yang jelek diperuntukkan bagi lelaki yang jelek, akan tetapi Aisyah Radhiyallahu Anha adalah perempuan yang paling baik dan suaminya adalah yang paling baik, suaminya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Aisyah adalah perempuan yang dapat dipercayai, putri dari seseorang yang dipercayai Radhiyallahu Anhum. Kerana Allah Ta'ala berfirman, “Dan kamu menganggapnya sesuatu yang ringan saja. Padahal dia pada sisi Allah adalah besar.” 

Kemudian firman-Nya“Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya. “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.” (QS. An-Nûr: 24: 16)

Hendaknya kalian mendengarnya, inilah kewajibanmu, menyucikan Allah dari terjadinya hal seperti ini pada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana Dia berkata, “Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.”  Renungkanlah, bagaimana datangnya kalimat yang mengandung penyucian Allah Ta'ala ini? Kerana tidaklah layak dengan hikmah Allah, rahmat-Nya, keutamaan-Nya dan kebaikan-Nya terjadinya hal seperti ini pada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian firman-Nya,

“Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangai seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman.” (QS. An-Nûr: 24: 17)

Yakni janganlah kalian kembali selamanya pada hal seperti ini jika kalian beriman. Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Dan Allah menjelaskan ayat-ayat(-Nya) kepada kamu. Dan Allah Maha Mengetahui. Mahabijaksana.” (QS. An-Nûr: 24: 18)

Segala puji bagi Allah dengan penjelasan-Nya. Kerananya para ulama sepakat bahwa barangsiapa yang melontarkan tuduhan kepada Ummul Mukminin; Aisyah radhiyallahu anha dengan apa yang terjadi terkait berita bohong, maka ia kafir dan murtad, kafirya seperti orang yang sujud kepada berhala, jika ia bertaubat da mengatakan dirinya berbohong dan jika tidak, maka ia dibunuh kerana kafir dan mendustakan Al-Qur'an.

Yang benar bahwa seseorang yang menuduh salah seorang istri dari para Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tuduhan seperti ini maka ia kafir, kerana ia telah merendahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapa saja yang menuduh salah satu istri dari para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tuduhan yang telah Allah bebaskan darinya (Aisyah), maka ia kafir dan murtad, wajib baginya bertaubat, jika tidak maka ia dibunuh dengan pedang dan jasadnya dilemparkan ke lubang tanpa dimandikan, tanpa dikafankan dan tanpa dishalatkan, kerana perkaranya adalah perkara yang sangat berbahaya.

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Dan kalau bukan kerana karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu (niscaya kamu akan ditimpa adzab yang besar). Sungguh Allah Maha Penyantun, Maha Penyayang.” 
(QS. An-Nûr: 24: 19-20)

Telah kita isyaratkan bahwa tiga orang sahabat yang ikhlas telah terlibat dalam masalah ini, mereka adalah Hasan bin Tsabit, Misthah bin Atsatsah, ia adalah anak bibi Abu Bakar dan Hamnah binti Jahsy saudari dari Zainab binti Jahsy. Dan Zainab binti Jahsy adalah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan madu Aisyah, namun demikian Allah melindunginya, akan tetapi saudari perempuannya terlibat, ketika Allah menurunkan ayat yang menyatakan pembebasan Aisyah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang ini dengan had qadzaf (menuduh), maka masing-masing dari mereka dicambuk dengan delapan puluh kali cambukan.

Adapun orang-orang munafik, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menegakkan hukuman kepada mereka, dalam hal ini para ulama berselisih pendapat. Ada yang mengatakan, kerana sesungguhnya orang-orang munafik itu tidaklah tegas, tetapi mereka hanya mengatakan, “Dikatakan, disebutkan, atau kami dengar dan lafazh-lafazh serupa ini.

Adapula yang mengatakan, “Kerana orang munafik bukan kelompok yang perlu disucikan, kerana cambukan adalah penyucian, dan orang-orang munafik tidak bisa disucikan,” kerananya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencambuk mereka, sebab jika mereka dicambuk, maka mereka akan suci dari kesalahan, akan tetapi mereka bukanlah kelompok yang harus disucikan, kerana tempat mereka adalah neraka yang paling bawah, maka mereka ditinggalkan dengan dosa-dosanya, tidak ada kebaikan pada mereka dan dikatakan juga selain itu. Yang penting bahwa kisah ini adalah kisah yang begitu agung, memiliki ibrah (pelajaran) yang banyak.

Hadits 240.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: « لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidaklah seorang hamba menutupi aib seorang hamba yang lainnya di dunia, kecuali Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat.”

[Shahih Muslim no. 2590]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang hamba menutupi aib saudaranya di dunia, kecuali Allah akan menutupi aibnya pada hari Kiamat.

 As-Satru berarti Al-Ikhfa' yakni menyamarkan dan menutupi, telah kita jelaskan bahwa tidak semua menutupi aib seseorang itu terpuji dan tidak juga tercela pada setiap keadaanya, tetapi hal itu ada dua macam:

1. Menutupi aib yang terpuji dan merupakan hak bagi seseorang muslim yang lurus, yang tidak dikenal berbuat kejahatan dan tidak terjadi padanya sesuatu kebencian kecuali hanya sedikit, maka orang ini hendaknya ditutupi (aibnya), dinasihati dan jelaskan kepadanya bahwa ia telah keliru, inilah menutupi aib yang terpuji.

2. Menutupi aib seseorang yang meremehkan perkara-perkara agama dan sering melakukan kejahatan kepada hamba Allah, maka orang seperti ini janganlah ditutupi aibnya, bahkan disyariatkan untuk menjelaskan perkaranya kepada para pemegang kekuasaan, sehingga mereka bisa mencegah perbuatannya dan menjadi perhatian bagi yang lain. Menutupi aib itu menyertai kemaslahatan. Jika dalam menutupi aib itu ada kemaslahantannya, maka ini lebih utama untuk ditutupi dan jika dalam membuka aibnya ini terdapat kemaslahatan, maka lebih baik dibuka aibnya, dan jika seseorang ragu-ragu antara dua hal ini maka lebih baik ia menutupi aibnya.

Hadits 241.
وَعَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « كُلُّ أَمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِيْنَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُولُ: يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap umatku akan di maafkan (dosanya), kecuali mereka yang menzahirkan perbuatan dosanya dengan terang-terangan dan sesungguhnya termasuk di antara perbuatan tersebut ialah seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa pada malam hari, kemudian hingga pagi hari Allah telah menutup dosa tersebut, kemudian dia berkata, “Wahai fulan, semalam, aku melakukan begini dan begini itu.” Padahal Allah telah menutupi dosa tersebut semalaman. Dia pun tidur dalam keadaan (dosanya) yang telah ditutup oleh Allah, tetapi pada pagi hari dia telah membuka sendiri dosanya tersebut yang telah ditutup oleh Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6069 Muslim no. 2990]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku ditutupi aibnya oleh Allah kecuali orang yang suka menyebarkan kejelekannya,” yakni setiap umat yang menerima Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ditutupi aibnya oleh Allah Ta'ala kecuali Al-Mujahirun, yaitu orang-orang terang-terangan bermaksiat kepada Allah Ta'ala, mereka ini terbagi menjadi dua bagian: 

1. Orang yang berbuat maksiat dengan terang-terangan, ia melakukannya di hadapan orang-orang dan mereka melihatnya, maka orang ini tidak diragukan lagi bahwa ia tidaklah diampuni, kerana ia telah terang-terangan menjerumuskan dirinya dalam kerugian, dan ia juga telah menjerumuskan orang lain. Adapun terang-terangan menjerumuskan dirinya adalah ia menzhalimi dirinya dengan melakukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, setiap orang yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia telah menzhalimi dirinya sendiri, Allah Ta'ala berfirman,

“Mereka tidak menzhalimi Kami, tetapi justru merekalah yang menzhalimi diri sendiri.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 57)

Jiwamu adalah amanat, kamu harus menjaga amanat ini dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana jika kamu memiliki tanaman, maka kamu pasti akan memilih seorang pemelihara yang baik, tidak akan memilih orang yang sembarangan. Begitu juga dengan dirimu, maka kamu akan mencari sang perawat yang baik, yaitu berupa amal kebaikan, serta menjauhkannya dari perawat yang kotor, yaitu berupa amalan keburukan.

Adapun maksiat yang ia lakukan secara terang-terangan dapat menjerumuskan orang lain, kerana sesungguhnya orang-orang jika telah melihat seseorang melakukan kemaksiatan, maka ada anggapan mudah dalam diri mereka, maka mereka pun melakukan apa yang dilakukannya, dan jadilah ia -Na'udzu Billah- termasuk para pemimpin yang mengajak ke neraka. Sebagaimana firman Allah Ta'ala kepada keluarga Fir'aun,

“Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke neraka dan hari Kiamat mereka tidak akan ditolong.” (QS. Qashash: 28: 41)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang melakukan sunnah dalam islam berupa sunnah yang jelek, maka baginya dosa dan dosa orang yang melakukan hal tersebut sampai hari kiamat.

[Muslim no. 1017]

Ini termasuk bagian dari mujahir. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkannya kerana hal itu sudah jelas. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan perkara lain yang terkadang sebagian manusia lupa akan hal tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dan termasuk dari Mujahirah tersebut adalah seorang melakukan keburukan di malam hari, kemudian Allah menutupinya, ia melakukannya di rumah dan Allah menutupinya tiada seorang pun yang mengetahui. Jika ia bertaubat pada apa yang terjadi antara ia dan Tuhannya, maka hal ini lebih baik baginya. Akan tetapi, tatkala datang waktu pagi dan ia kembali beraktifitas bersama orang-orang, maka ia berkata, “Tadi malam aku berbuat ini dan itu,” maka orang ini tidak akan diampuni.” Na'udzu Billah. Allah telah menutupi aib orang ini, kemudian ia sendirilah yang membuka aibnya. Inilah yang sering dilakukan oleh sebagian orang, disebabkan kerana hal-hal tersebut:

1. Ia adalah seorang yang pelupa yang terbebas dari tuduhan apa pun, kemudian kamu mendapatinya sedang melalukan kejelekan, lalu ia membicarakannya dengan senang hati, bukan dengan tujuan yang buruk.

2. Ia membicarakannya dengan perasaan bangga terhadap kemaksiatan tersebut dan meremehkan keagungan Sang Pencipta. Kemudian mereka membicarakan kemaksiatan itu dengan penuh kebanggaan seakan-akan mereka telah mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang), maka mereka inilah -Na'udzu Billah- sejelek-jeleknya golongan.

Ada juga orang-orang yang melakukan hal ini bersama teman-temannya, yakni ia membicarakannya bersama teman-temannya, ia menceritakan kepada mereka suatu rahasia yang tidak selayaknya diceritakan kepada orang lain, tetapi ia tidak peduli dengan hal ini, maka orang ini termasuk orang yang tidak diampuni kerana ia termasuk dari orang-orang mujahir.  
Kesimpulannya hendaknya seseorang menutupi aibnya sebagaimana Allah telah menutupinya, memuji Allah atas keselamatan ini dan bertaubat dengan apa yang terjadi antara ia dan Tuhannya berupa kemaksiatan yang telah ia lakukan. Jika ia bertaubat kepada Allah dan kembali kepada-Nya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat.

Hadits 242.
وَعَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا زَنَتِ الْأَمَةُ فَتَبَيَّنَ زِنَاهَا فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ، وَلَا يُثَرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّانِيَةَ فَلْيَجْلِدْهَا الْحَدَّ وَلَا يُثرِّبْ عَلَيْهَا، ثُمَّ إِنْ زَنَتِ الثَّالِثَةَ فَلْيَبِعَهَا وَلَوْ بِحَبْلٍ مِنْ شَعَرٍ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seorang budak perempuan berzina dan jelas (perbuatan) zinanya itu, maka cambuklah dia dengan had, janganlah ia dicaci maki, dan jika ia berzina untuk kedua kalinya maka cambuklah ia dengan had yang sama dan jangan dicaci maki pula, jika ia berzina untuk ketiga kalinya maka juallah walaupun hanya dengan harga seutas tali (yang terbuat dari bulu unta).

[Shahih Al-Bukhari no. 6839 Muslim no. 1703]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang budak perempuan berzina dan jelas (perbuatan) zinanya, maka cambuklah dia dengan had, janganlah dicaci maki...” yang dimaksud dengan “Amat” adalah budak perempuan (hamba) yang dijualbelikan, jika ia berzina, maka ia harus dicambuk dengan had, dan had budak itu separuh hadnya orang yang merdeka, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan mereka (yang tidak bersuami).” (QS. An-Nisâ: 4: 25)

Perempuan merdeka, jika ia seorang perawan lalu berzina, maka ia dicambuk seratus cambukan dan diasingkan setahun, sedangkan bagi hamba perempuan adalah separuh dari itu, yakni lima puluh cambukan, adapun mengasingkannya itu ada dua pendapat ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan, “Diasingkan setengah tahun,” dan ada yang mengatakan, “Ia tidak diasingkan kerana terkadang berhubungan dengan hak tuannya.” Kemudian jika ia berzina untuk kedua kalinya, maka cambuklah ia dengan had yang sama dan jangan dicaci maki. Jika ia berzina yakni pada ketiga kalinya atau keempat kalinya, maka juallah ia, walaupun hanya dengan harga seutas tali. Yakni jangan mempertahankannya, kerana tidak ada kebaikan padanya. Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa majikan harus menegakkan had bagi budaknya. Adapun selain majikan, maka tidak diperbolehkan menegakkan hadnya.

Hadits 243.
وَعَنْه قَالَ: أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ خَمْرًا قَالَ: « اضْرِبُوهُ » قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: فَمِنَّا الضَّارِبُ بِيَدِهِ وَالضَّارِبُ بِنَعْلِهِ وَالضَّارِبُ بِثَوْبِهِ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ بَعْضُ الْقَومِ: أَخْزَاكَ اللَّه، قَالَ: لَا تَقُولُوا هَكَذَا لَا تُعِيْنُوا عَلَيْهِ الشَّيْطَانَ » . رَوَاهُ الْبُخَارِئّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang laki-laki yang telah meminum khamer, kemudian baginda bersabda, “Pukullah dia!” Kemudian Abu Hurairah berkata, “Di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada juga yang memukul dengan bajunya. Ketika orang (yang dihukum) itu akan pergi, maka berkatalah sebagian orang, “Semoga Allah menghinakan kamu!.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah katakan demikian, jangan bantu setan (untuk mencelakakan) dirinya.”

[Shahih Al-Bukhari no 677, 6781]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, “Dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang laki-laki yang telah meminum khamer.” Yang dimaksud dengan khamer adalah segala sesuatu yang menutupi akal, dari jenis apa pun minuman itu. Apakah termasuk minuman yang biasa diminum atau tidak, baik itu dari perahan anggur, kurma, gandum dan lain sebagainya. Dari berbagai macam perahan yang memabukkan. Yang jelas semua itu memabukkan, sesuatu yang memabukkan, baik itu sedikit atau banyak, maka tetap diharamkan. Kerananya, ketika dihadapkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang peminum khamer ini maka baginda bersabda, “Pukullah ia.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata, “Di antara kami ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan sandalnya, dan ada juga yang memukul dengan bajunya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan hitungan tertentu, setelah mereka selesai dengan hal itu, maka salah seorang dari mereka berkata, “Semoga Allah menghinakan kamu!.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah katakan demikian, jangan bantu setan (untuk mencelakakan) dirinya.” Kerana kata-kata Al-Khizyu maknanya adalah terhina, tercaci. Maka ketika kamu mengatakan ini kepada seseorang, “Akhazakallah (semoga Allah menghinakan kamu)” maka kamu telah berdoa kepada Allah dengan sesuatu yang menghinakannya, hal ini telah membantu setan atasnya.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hukuman bagi meminum khamer tidak ada batasan tertentu. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasinya dengan satu batasan. Semuanya memukul semampunya, ada yang memukul dengan tangannya, ada yang memukul dengan ujung bajunya, ada yang memukul dengan tongkatnya, ada yang memukul dengan sandalnya, tidak ada batasannya, teruslah demikian sampai datang masa Abu Bakar radhiyallahu anhu, lalu dibatasi dengan empat puluh kali pukulan. Kemudian pada masa Umar radhiyallahu anhu, banyak orang yang masuk ke dalam Islam. Di antara mereka ada yang masuk bukan kerana keterpaksaan, maka banyaklah para peminum khamer pada masa Umar radhiyallahu anhu. Ketika Umar melihat banyaknya jumlah peminum khamer, ia pun bermusyawarah dengan para sahabat. Abdurrahman bin Auf radhiyallahu anhu berkata, “Hukuman yang paling ringan adalah delapan puluh kali cambukan, dan ini adalah hukuman bagi penuduh.” Akhirnya Umar menaikkan batasan bagi peminum khamer menjadi delapan puluh kali cambukan. Dalam hal ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seseorang jika melakukan dosa lalu dibalas di dunia, maka kita tidak boleh mendoakannya dengan cacian dan hinaan, bahkan kita seharusnya mendoakannya dengan hidayah semoga Allah mengampuninya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...