Rabu, 24 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 31. Mendamaikan Sesama Muslim.

Allah ﷻ berfirman:
۞ لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ۞
“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisâ: 4: 114)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَٱلصُّلْحُ خَيْرٌ۞
...“Dan perdamaikan itu lebih baik (bagi mereka)...”
(QS. An-Nisâ: 4: 128)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ۞
...“Maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu...”
(QS. Al-Anfâl: 8: 1)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّمَا ٱلْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا۟ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ۞
Sesungguhnya orang-orang Mukmin itu bersaudara, oleh itu damaikanlah di antara kedua saudaramu (yang bertelingkah)..”
(QS. Hujurât: 49: 10)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab, “Mendamaikan sesama manusia.” Yang dimaksud dengan mendamaikan antara sesama manusia adalah terjadinya permusuhan dan kebencian di antara dua orang, kemudian datanglah seseorang yang menolong lalu ia mendamaikan keduanya, menghilangkan permusuhan dan kebencian antara keduanya. Semakin dekat hubungan orang ini dengan kedua orang yang bermusuhan, maka akan semakin kuat perdamaian di antara keduanya. Yakni mendamaikan antara seorang ayah dengan anaknya itu lebih utama dibandingkan antara seorang lelaki dengan temannya. Mendamaikan antara saudara dengan saudaranya yang lain itu lebih utama daripada antara paman dan keponakannya dan seterusnya, ketika pemutusan tali silaturahim itu merupakan perkara lebih besar, maka mendamaikan di antara orang-orang yang saling membenci dan di antara orang yang saling memutuskan silaturrahim itu lebih sempurna, lebih utama dan lebih kuat. Ketahuilah, bahwa mendamaikan antara sesama itu merupakan amal shalih yang paling utama. Allah berfirman, “Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” Yakni kecuali berbisik-bisik untuk memerintahkan bersedekah. Najwa artinya ucapan yang pelan antara seseorang dengan temannya (berbisik), kebanyakan bisikan yang ada di antara mereka itu tidak ada unsur kebaikannya, kecuali orang yang memerintahkan untuk bersedekah atau berbuat kebaikan. Al-Ma'ruf adalah segala sesuatu yang diperintahkan oleh syariat, yakni diperintahkan untuk kebaikan, “Atau mendamaikan antara sesama manusia.” Jika antara seseorang dengan temannya terjadi kerancuan, kemudian datanglah seseorang yang meleraikannya kemudian mendamaikan keduanya, menghilangkan permusuhan dan kebencian yang terjadi di antara keduanya. Kemudian Allah Ta'ala berfirman,

“Barangsiapa berbuat demikian kerana mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (QS. An-Nisâ: 4: 14)

Allah Ta'ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa kebaikan yang didapatkan oleh seseorang yang memerintahkan bersedekah, memerintahkan berbuat baik, atau mendamaikan antara sesamanya adalah sebaik-baiknya hasil yang tidak ada keraguan di dalamnya. Adapun pahalanya sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Barangsiapa berbuat demikian kerana mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” 

Dan kamu -wahai saudara muslimku- jika kamu melihat permusuhan, kemarahan dan kebencian antara dua orang, maka berusahalah untuk mendamaikan keduanya walaupun kamu mendapatkan kerugian harta, maka sesungguhnya hal itu akan digantikan untukmu. Kemudian ketahuilah, bahwa dalam mendamaikan itu diperbolehkan melakukan Tauriyah, yakni kamu berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya Fulan itu tidak berbicara tentangmu sedikit pun, sesungguhnya Fulan itu mencintai orang-orang  yang baik dan yang serupanya.” Atau kamu katakan, “Fulan itu mencintaimu jika kamu orang baik.” Lalu kamu merenungi dalam dirimu kata-kata, “Jika kamu termasuk orang yang baik,” dengan tujuan agar kamu meninggalkan kedustaan. Allah Ta'ala berfirman,

“Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).”  (QS. An-Nisâ: 4: 128)

Kata-kata ini umum, “Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) Dalam setiap perkara. Kemudian Allah Ta'ala berfirman,

“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.”  
(QS. An-Nisâ: 4: 128)

Sebagai isyarat bahwa seseorang hendaknya meninggalkan segala apa yang berkenaan dengan dirinya tatkala ia sedang mendamaikan, dan janganlah mengikuti hawa nafsunya, kerana jika orang mengikuti hawa nafsunya, maka sesungguhnya hawa nafsu itu rakus. Barangkali orang itu akan mengambil haknya dengan sempurna, jika seseorang ingin mengambil haknya secara sempurna, maka upaya perdamaian akan terganggu, kerana jika kamu ingin mengambil hakmu secara sempurna dan temanmu juga ingin mengambil haknya secara sempurna, maka tidaklah akan tercapai sebuah perdamaian. Akan tetapi, jika masing-masing dari kalian meninggalkan apa yang diinginkannya dan mengalahkan kerakusan nafsunya, maka akan tercapailah kebaikan dan perdamaian. Ini adalah faedah dari firman Allah Ta'ala, “Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir.” Setelah firman-Nya, “Perdamaian itu adalah baik.” Dan Allah Ta'ala berfirman, 

“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” 
(QS. Al-Hujurât: 49: 9)

Allah Ta'ala memerintahkan untuk melakukan perdamaian di antara dua kelompok orang-orang mukmin yang bertikai. Yang terpenting, bahwa perdamaian itu semuanya baik, maka wajib atasmu jika melihat dua orang yang saling berselisih, bertengkar dan saling bermusuhan, agar hendaknya kamu mendamaikan keduanya dengan harapan kamu mendapatkan kebaikan yang berlimpah, dan kamu dapat meraih wajah Allah serta mendamaikan para hamba-Nya, sehingga kamu akan mendapatkan kebaikan yang melimpah. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,  “Barangsiapa berbuat demikian kerana mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” Aku memohon kepada Allah agar menjadikanku dan kalian semua termasuk orang-orang shalih yang melakukan perdamaian.

Hadits 248.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللُهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كُلُّ سُلَامَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ: تَعْدِلُ بَيْنَ الْاِثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ، وَبِكُلِّ خَطْوَةٍ تَمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيْطُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap ruas sendi pada tubuh manusia itu harus bersedekah setiap harinya, selama pada hari itu matahari masih terbit: kamu mendamaikan dua orang (yang berselisih) dengan adil adalah sedekah, menolong seseorang dalam mengangkat atau menaikkan barang-barang ke atas kendaraannya adalah sedekah, kalimat yang baik adalah sedekah, setiap langkah menuju ke tempat shalat adalah sedekah, dan menyingkirkan duri dari jalanan adalah sedekah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 2891, 2989 dan Muslim no. 1009]

Penjelasan.

Telah dijelaskan sebelumnya apa yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dari ayat-ayat mulia yang menunjukkan tentang keutamaan mendamaikan antara sesama manusia, kemudian beliau menyebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap ruas sendi pada tubuh manusia itu harus bersedekah setiap harinya, selama pada hari itu matahari masih terbit...” yang disebutkan dengan As-Sulama itu adalah tulang dan persendian. Yakni, setiap hari terbit matahari maka bagi setiap persendianmu ada sedekahnya. Ulama dari ahli fikih dan hadits berkata, “Bahwa jumlah persendian pada manusia itu ada tiga ratus enam puluh anggota atau sendi, maka masing-masing dari mereka harus bersedekah setiap harinya sebanyak tiga ratus enam puluh sedekah, namun sedekah itu tidak dikhususkan dengan harta saja, tetapi semua yang dapat mendekatkan diri kepada Allah itu dinilai sebagai sedekah dengan pengertian secara umum. Kerana perbuatannya itu menunjukkan kejujuran orang yang memilikinya dalam mencari keridhaan Allah.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sedekah ini, baginda bersabda, “Mendamaikan di antara dua orang (yang berselisih) dengan adil adalah sedekah.Dua orang yang bermusuhan, lalu kamu mengadili keduanya, menghukumi keduanya secara adil (bijak), segala sesuatu yang sesuai dengan syariat adalah keadilan, dan segala sesuatu yang bertentangan dengannya disebut dengan kezhaliman dan ketidakadilan.

Atas dasar ini kami mengatakan, “Undang-undang yang dijadikan sebagai hukum oleh sebagian orang ini adalah bertentangan dengan syariat, tidak dapat disebut sebagai keadilan, bahkan itu adalah kezhaliman, kejahatan dan kebatilan. Barangsiapa yang menjadikannya sebagai hukum dengan berkeyakinan bahwa hukum itu seperti hukum Allah atau lebih baik daripada hukum-Nya, maka sesungguhnya ia telah kafir dan murtad dari agama Allah, kerana ia telah mendustai firman Allah,

“(Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 50)

Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah, akan tetapi, tidak ada yang mengerti hal ini, kecuali orang yang berkeyakinan. Adapun orang yang Allah butakan pandangannya, sesungguhnya ia tidak mengetahui, bahkan terkadang dia menghiasi amalan buruknya sehingga ia memandang amalnya itu sebagai amal kebaikan-  Na'udzu Billah.

Termasuk makna mengadili antara dua orang yaitu mengadili keduanya dengan cara mendamaikan, kerana orang yang menghukumi dua orang ini, apakah dia itu pekerja sosial atau dari pihak pemerintah, terkadang ia tidak mendapat kebenaran yang jelas dari kedua sisi ini, jika ia tidak mendapatkan penjelasannya, maka tidak ada cara lain selain mendamaikan keduanya, ia mendamaikan keduanya sesuai kemampuannya. Demikian juga telah kita jelaskan bahwa tidak ada perdamaian yang disertai dengan kerakusan hawa nafsu. Yakni jika seseorang bermuamalah dengan saudaranya dengan memperturutkan hawa nafsu, maka perdamaian itu tidak mungkin terjadi, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Walaupun manusia itu menurut tabiat kikir.” 

Hal ini mengisyaratkan bahwa perdamaian yang dilakukan oleh seseorang hendaknya dijauhkan dari sifat memperturutkan hawa nafsu, dan tidak menuntut haknya secara sempurna, kerana jika ia menuntut haknya secara sempurna, maka yang lain pun akan menuntut hal yang sama, akhirnya perdamaian tidak akan pernah terwujud, bahkan masing-masing dari mereka harus menanggalkan haknya dari sebagian yang lain.

Jika tidak memungkinkan menghukuminya dengan benar, bahkan menjadi sesuatu yang samar, baik dari segi bukti atau pun dari kondisi dua orang yang bertikai tersebut, maka tidak ada cara lain, kecuali berusaha untuk mendamaikan keduanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mendamaikan dua orang (yang berselisih) dengan adil adalah sedekah, menolong seseorang dalam mengangkat atau menaikkan barang-barang ke atas kendaraannya adalah sedekah.” 

Ini juga termasuk sedekah, yakni menolong seseorang pada kendaraannya jika ia tidak mampu menaikinya sendirinya, atau membawakan barangnya ke atas kendaraan, membantunya untuk mengangkatkan barang ke dalam kendaraan, ini termasuk sedekah, menghilangkan sesuatu yang mengganggu di jalan adalah sedekah. Yakni jika anda melihat sesuatu yang dapat membahayakan orang yang jalan maka buanglah -yakni hilangkanlah- hal ini termasuk sedekah, apakah itu batu, kaca, paku, kayu, minyak dan lain sebagainya.

Yang terpenting, setiap yang membahayakan itu harus dibuang dari jalan, jika kamu melakukan hal tersebut, maka kamu seperti orang yang bersedekah, apabila menghilangkan bahaya dari jalan itu dikira sedekah, maka sesungguhnya melemparkan sesuatu yang membahayakan ke jalan adalah suatu keburukan. Di antara yang sering dilakukan adalah membuang air sisa cucian ke tengah jalan, atau membiarkan air mengalir di pasar, sehingga menyulitkan orang-orang yang lewat, padahal membiarkan air begitu saja juga dapat menimbulkan kerusakan yang lain, yakni menghabiskan air, kerana sebenarnya air itu tersimpan di bumi, Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu, dan bukanlah kamu yang menyimpannya.” (QS. Al-Hijr: 15: 22)

Kerananya kita menyaksikan orang yang membiarkan air mengalir, berlebih-lebihan dalam pemakaiannya dan tidak peduli dengan habisnya air, maka orang itu telah melakukan keburukan terhadap umat. Kerana air itu milik bersama, jika kamu salah menggunakannya dan tidak mempedulikannya, maka kamu termasuk orang yang berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Dan kamu telah melakukan keburukan, berupa ancaman terhadap umat dengan berkurang dan habisnya air, inilah mudharat yang dirasakan oleh semua orang.

Yang terpenting, bahwa orang-orang yang melemparkan sesuatu yang membahayakan di pasar-pasar dan di jalan-jalan, maka orang itu dikategorikan orang yang berbuat kejelekan, dan orang yang menghilangkannya adalah orang yang bersedekah dan berbuat kebaikan.

“Menghilangkan sesuatu yang berbahaya dari jalanan adalah sedekah, kata-kata yang baik adalah sedekah,” inilah -Alhamdulillah- sesuatu yang sering terjadi. Kata-kata yang baik ini terbagi menjadi dua, yakni baik dalam zatnya, dan baik dalam tujuannya.

Adapun kata-kata yang baik dalam zatnya itu seperti dzikir, Ilaha illallah, Allahu Akbar, Alhamdulillah, Laa hawla wa laa quwwata Illa Billah, dan sebaik-baiknya dzikir adalah membaca Al-Qur'an.

Adapun kata-kata yang baik dalam tujuannya adalah kata-kata yang mubah (di bolehkan) seperti berbicara kepada orang lain, jika dengan kata-kata itu kamu bertujuan untuk memberikan kelembutan dan menggembirakan mereka. Maka ucapan ini, walaupun tidak baik secara zatnya akan tetapi ia baik berdasarkan tujuannya yaitu menggembirakan saudara-saudaramu, menggembirakan saudaramu itu termasuk perbuatan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, kata-kata yang baik adalah sedekah, ditinjau dari umumnya.

Kemudian sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap langkah menuju ke tempat shalat adalah sedekah.” Yakni satu langkah yang kamu langkahkan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Hitunglah langkahmu dari rumah ke masjid, maka kamu akan menemukannya banyak sekali, oleh kerananya di setiap langkah itu terhitung sedekah untukmu, jika kamu keluar dari rumahmu dengan wudhu yang sempurna, tidaklah kamu keluar menuju ke masjid, kecuali hanya untuk menunaikan shalat, maka setiap langkah itu terhitung sedekah dan setiap langkah yang ia  langkahkan itu akan menaikkan derajat di sisi Allah, serta menghapuskan setiap kesalahan, ini adalah keutamaan yang sangat besar.

Sempurnakanlah wudhumu di rumah, kemudian keluarlah menuju ke masjid, kamu tidaklah keluar kecuali untuk menunaikan shalat, maka berbahagialah dengan tiga faedah: Pertama, sedekah, kedua, mengangkat derajat, ketiga, penghapusan kesalahan. Semua ini adalah nikmat dari Allah Ta'ala.

Hadits 249.
وَعَنْ أُمِّ كُلْثُومٍ بِنْتِ عُقْبَةَ بْنِ أَبِي مُعَيْطٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِي يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا، أَوْ يَقُولُ خَيْرًا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ummu kultsum binti Abi Mu'aith radhiyallahu 'anha, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Bukanlah (dianggap) pendusta orang yang mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, lalu dia menyampaikan berita yang mengandung kebaikan atau mengatakan perkataan yang baik.”

Dalam riwayat Muslim terdapat tambahannya, yaitu Ummu Kultsum radhiyallahu 'anha berkata,

“Aku tidak pernah mendengar manusia dibolehkan berbohong kecuali dalam tiga keadaan, yakni dalam peperangan, ketika mendamaikan beberapa orang yang berselisih, dan ucapan suami kepada istrinya dan istri kepada suaminya (untuk memelihara hubungan baik antara keduanya).”

[Shahih Al-Bukhari no. 2692 dan Muslim no. 2605]

Penjelasan.

Hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini adalah hadits dari Ummu Kultsum radhiyallahu anha, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah (dianggap) pendusta orang yang mendamaikan antara orang-orang yang bersengketa, lalu dia menyampaikan berita yang mengandung kebaikan atau mengatakan perkataan yang baik.” Seseorang jika ingin mendamaikan antara sesamanya dan ia berkata kepada seseorang, “Sesungguhnya Fulan memujimu dan mendoakanmu,” dan kata-kata yang seumpamanya, maka ini tidaklah mengapa.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, apakah yang dimaksudkan dengan berbohong di sini adalah berbohong yang terang-terangan, atau hanya berupa Tauriyah, artinya menampakkan kepada lawan bicara sesuatu yang bukan sebenarnya, namun ada sisi kebenarannya, seperti maksud seseorang yang mengatakan, “Fulan memujimu,” yakni jenismu atau kedudukanmu sebagai seorang muslim. Kerana setiap orang pasti memuji orang muslim tanpa pengkhususan. Atau dia menginginkan dengan ucapan, “Sesungguhnya ia mendoakanmu,” sesungguhnya ia dari hamba Allah dan setiap orang pasti mendoakan hamba-hamba yang shalih dalam setiap shalatnya, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kalian jika mengucapkan demikian _yakni kalian mengucapkan, “Keselamatan atas kami dan hamba-hamba Allah yang shalih'- maka kalian telah mengucapkan salam untuk seluruh hamba yang shalih di langit dan di bumi.

[Shahih Al-Bukhari no. 1202]

Sebagian ulama mengatakan Tauriyah, termasuk dalam kedustaan, kerana hal ini bertolak belakang dengan kenyataan, walaupun seseorang sudah berniat kebaikan dengannya, mereka berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Ibrahim ‘alaihissalam beralasan tidak bisa memberikan syafaat, kerana baginda telah melakukan kebohongan sebanyak tiga kali pada Dzat Allah.

[Shahih Al-Bukhari no. 3361]

Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidaklah berbohong, tetapi bertauriyah. Yang terpenting, bahwa seseorang yang mendamaikan itu hendaknya menghindari kebohongan, jika memang harus berbohong maka hendaklah ia menakwilnya, yakni melakukan tauriyah. Seseorang yang melakukan tauriyah (sindiran), ia tidak berdoa di sisi Allah, tauriyah dibolehkan untuk kemaslahatan.

Adapun pada lafazh yang kedua, di sini ada tambahan selain mendamaikan antara sesama manusia, yaitu berdusta di dalam peperangan. Berdusta dalam peperangan juga merupakan bagian dari tauriyah. Misalnya seseorang berkata kepada musuhnya, “Sesungguhnya di belakangku ada pasukan yang besar.” Dan yang serupanya hal-hal yang dapat menakutkan musuh. Tauriyah dalam peperangan terbagi menjadi dua macam: Pertama, terdapat dalam lafazh, Kedua, terdapat dalam perbuatan. Seperti yang dilakukan oleh Al-Qa'qa bin Amr radhiyallahu anhu dalam salah satu pertempuran. Ia ingin menakut-nakuti musuh, ia mendatangi musuh pada waktu pagi, kemudian ia lari ke tempat yang lain, kemudian ia datang lagi pada waktu pagi dan hari berikutnya seakan-akan ia pasukan baru yang datang untuk membantu para tentara dan para pejuang, selanjutnya musuh pun kebingungan, merasa khawatir dan takut, hal ini diperbolehkan demi kemaslahatan.

Adapun masalah yang ketiga yaitu seorang suami yang berbicara kepada istrinya dan seorang istri yang berbicara kepada suaminya, ini juga termasuk dalam bab tauriyah. Seperti ucapan suami kepada istrinya, “Sayang, sesungguhnya kamu adalah perempuan yang aku cintai dan sesungguhnya aku sangat menyukai perempuan sepertimu.” Dan ucapan-ucapan semisal yang dapat menimbulkan rasa keterikatan dan cinta di antara keduanya. Akan tetapi, bersamaan dengan hal ini, tidak sepantasnya seseorang memperbanyak apa yang dilakukan oleh suami istri itu. Kerana seorang perempuan apabila telah menemukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah dikatakan kepadanya, maka barangkali ia akan mengubah situasi yang ada dan akan membenci suaminya melebihi apa yang terjadi. Demikian pula perempuan kepada suaminya.

Hadits 250.
وَعَنْ عَائشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: سَمِعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْتَ خُصُومٍ بِالْبَابِ عَالِيَةٍ أَصْوَاتُهُمَا، وَإِذَا أَحَدُهُمَا يَسْتَوْضِعُ الْآخَرَ وَيَسْتَرْفِقُهُ فِي شَيْءٍ، وَهُوَ يَقُولُ: وَاللَّهِ لَا أَفعَلُ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « أَيْنَ الْمُتَأَلِّي عَلَى اللهِ لَا يَفْعَلُ الْمَعْرُوفَ؟» فَقَالَ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَلهُ أَيُّ ذلِكَ أَحَبَّ.مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar suara orang yang bertengkar dengan suara yang kuat di depan pintu rumah baginda, dan ternyata salah seorang daripada mereka meminta untuk dikurangkan hutangnya dan meminta belas kasihan. Namun, si pemberi hutang berkata, “Demi Allah aku tidak melakukannya.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar dan menemui mereka berdua lalu bersabda, “Siapa yang bersumpah dengan nama Allah untuk tidak melakukan kebaikan?”

Maka orang itu menjawab, “Aku wahai Rasulullah.
Maka baginya mana di antara dua hal tersebut yang dia sukai (yakni menangguhkan pembayaran atau membebaskan hutangnya).”

[Shahih Al-Bukhari no. 2705 dan Muslim no. 1557]

Penjelasan.

Hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah untuk menjelaskan perkara mendamaikan antara kedua orang yang sedang berselisih. Ketika seseorang melihat dua orang yang berselisih, maka ia harus mendamaikan keduanya. Dalam hal ini terdapat contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dimana baginda telah berbuat kebaikan yang banyak sebagaimana dalam pembicaraan yang telah lalu, Allah Ta'ala berfirman, 

“Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian kerana mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 114)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar perselisihan antara kedua orang laki-laki ini yang suaranya sangat kencang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membawa keluar keduanya untuk mengetahui apa yang terjadi pada mereka. Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak ada dosa bagi seseorang untuk ikut campur dalam perselisihan antara dua orang, jika hal itu bukan merupakan rahasia keduanya, kerana kedua orang ini telah terang-terangan, mereka berdua berbicara dengan suara yang keras. Adapun jika perkara kedua orang itu berjalan secara rahasia dan tertutup, maka seseorang tidak boleh ikut campur dalam permasalahannya, kerana hal ini akan menyusahkan keduanya, menyembunyikannya mereka terhadap sesuatu itu menunjukkan bahwa keduanya tidak ingin permasalahannya diketahui oleh seorang pun. Jika kamu memaksakan diri untuk masuk ke dalam keduanya, maka kamu akan membebani mereka berdua dan mempersempitnya. Bahkan kamu dapat membuat mereka mengganti kemuliaan dengan dosa, tidaklah ada kebaikan di antara keduanya. Yang terpenting, hendaknya seseorang itu menjadi pengontrol yang baik, selalu berupaya mendamaikan antara sesamanya dan menghilangkan permusuhan hingga ia mendapatkan kebaikan yang berlimpah.

Hadits 251.
وَعَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ سَهَلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْه، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَلَغهُ أَنَّ بَنِي عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ كَانَ بَيْنهُمْ شَرٌّ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصْلِحُ بَيْنَهمْ فِي أُنَاسٍ مَعَه، فَحُبِسَ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَانَتِ الصَّلاَةُ، فَجَاءَ بِلالٌ إِلَى أَبي بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌمَا فَقَالَ: يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ حُبِسَ، وَحَانَتِ الصَّلاةُ، فَهَلْ لَكَ أَنْ تَؤُمَّ النَّاسَ؟ قَالَ: نَعَمْ إِنْ شِئْتَ، فَأَقَامَ بِلاَلٌ الصَّلاةَ، وَتقَدَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَكَبَّرَ وَكَبَّرَ النَّاسُ، وَجَاءَ رَسُول اللهِ يَمْشِي فِي الصُّفوفِ حَتَّى قَامَ فِي الصَّفِّ، فَأَخَذَ النَّاسُ فِي التَّصْفِيقِ، وكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه لَا يَلْتَفِتُ فِي صَلاتِهِ، فَلَمَّا أَكَثَرَ النَّاسُ التَّصْفِيقَ الْتَفَتَ، فَإِذَا رَسُولُ اللهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فَأَشَارَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَفَعَ أَبْو بَكْر رَضِيَ اللهُ عَنْه يدَهُ فَحَمِدَ اللَّهَ، وَرَجَعَ الْقَهْقَرَى وَرَاءَهُ حَتَّى قَامَ فِي الصَّفِّ، فَتَقدَّمَ رُسُولُ اللهُ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّى لِلنَّاسِ، فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: أَيُّهَا النَّاسُ مَالَكُمْ حِين نَابَكُمْ شَيْءٌ فِي الصَّلاَةِ أَخَذْتُمْ فِي التَّصْفِيقِ؟، إِنَّمَا التَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ. مَنْ نَابُهُ شيءٌ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَقُلْ: سُبْحَانَ اللَّهِ؟ فَإِنَّهُ لَا يَسْمَعُهُ أَحَدٌ حِينَ يَقُولُ: سُبْحَانَ اللَّهِ، إِلاَّ الْتَفَتَ. يَا أَبَا بَكْرٍ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تُصَلِّيَ بِالنَّاسِ حِينَ أَشرْتُ إِلَيْكَ؟ » فَقَالَ أَبُو بَكْر: مَا كَانَ يَنبَغِي لِابْنِ أَبِي قُحَافَةَ أَنْ يُصلِّيَ بِالنَّاسِ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Al-Abbas Shal bin Sa'ad As-Saidi radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar berita bahwa dalam kalangan suku Bani Amr bin Auf berlaku satu perselisihan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke sana bersama-sama para sahabat untuk mendamaikan mereka. Ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertahan di sana (mereka menahannya untuk menyambutnya), sedangkan telah masuk waktu shalat. Maka Bilal radhiyallahu anhu menemui Abu Bakar radhiyallahu anhu seraya berkata, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sampai sedangkan telah masuk waktu shalat, apakah engkau bersedia mengimami manusia?”

Abu Bakar menjawab, “Baiklah, jika itu yang kamu mahu.”

Maka berdirilah Bilal melaungkan iqamat dan Abu Bakar mara kehadapan untuk menjadi imam, lalu mengangkat takbir dan jemaah yang lain bertakbir bersama. Tidak lama kemudian, lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan di tengah-tengah saf membelah barisan hingga sampai di saf (pertama). Maka orang ramai memberi isyarat dengan bertepuk tangan. Tetapi Abu Bakar tidak menoleh dalam shalatnya. Ketika suara tepukan orang-orang semakin banyak, Abu Bakar baru berpaling dan ternyata ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat kepadanya agar meneruskan shalatnya. Lalu Abu Bakar mengangkat kedua tangannya dan memuji Allah, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berundur ke belakang dan berdiri di saf pertama, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mara ke hadapan untuk menjadi imam. Apabila selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling mengadap jemaah lalu bersabda,

“Wahai kamu semua manusia, mengapa kamu semua menepuk tangan ketika berlaku sesuatu di dalam shalat? “Sesungguhnya bertepuk tangan itu adalah isyarat yang dilakukan bagi kaum wanita. Maka sesiapa yang mendapati sesuatu yang keliru di dalam shalat hendaklah dia mengucap, “Subhanallah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang ke arah Abu Bakar seraya bersabda,

“Wahai Abu Bakar, apa yang menghalangmu untuk terus menjadi imam shalat jemaah, walhal aku telah memberi isyarat kepadamu (agar meneruskannya)?”

Abu Bakar menjawab, “Aku tidak layak menjadi imam kepada orang ramai di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1218, 1234 dan Muslim no. 2484]

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...