۞وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ۞
“Dan bersabar engkau Muhammad bersama orang yang menyeru Tuhannya pada waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.”
(QS. Al-Kahf: 18: 28)
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab “Keutamaan orang-orang muslim yang lemah.” Yang bermaksud dengan bab ini adalah hiburan bagi orang-orang yang ditakdirkan oleh Allah sebagai orang yang lemah badannya, atau lemah akalnya, lemah dalam hartanya, lemah dalam kehormatannya dan lain sebagainya yang dianggap lemah oleh sebagian manusia. Sesungguhnya Allah terkadang menjadikan manusia itu lemah dari satu sisi, namun ia kuat di sisi Allah, Dia mencintai dan memuliakannya, menempatkannya pada tempat yang tinggi, inilah yang terpenting. Yang terpenting anda menjadi yang paling kuat di sisi Allah, selalu menghadap kepada-Nya, memiliki kemulian yang Allah memuliakanmu dengan kemuliaan itu. Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala, “Dan bersabar engkau Muhammad bersama orang yang menyeru Tuhannya pada waktu pagi dan petang,” dimana Dia berbicara kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bersabarlah engkau,” yakni tahanlah jiwamu bersama kaum-kaum yang menyembah kepada Allah Ta'ala, “waktu pagi,” yakni awal hari dan “petang,” akhir hari. Yang dimaksud dengan doa di sini adalah doa permintaan dan doa beribadah. Doa permintaan dianggap berdoa seperti firman Allah Ta'ala dalam hadits Qudsi,
“Barangsiapa yang berdoa kepada Ku maka Aku akan mengabulkannya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1145, 6321, 7494 dan Muslim no. 758]
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku perkenankan bagimu.”
(QS. Al-Mu'min: 40: 60)
Doa ibadah yaitu seseorang beribadah kepada tuhannya dengan apa yang disyariatkannya, kerana seorang hamba berdoa dengan lisan hal (keadaan yang ada) dan lisan maqalnya (dengan kata-kata). Shalat misalnya, ibadah yang mencakup bacaan Al-Qur'an, dzikir kepada Allah, tasbih dan juga doa. Puasa juga ibadah, walaupun pada intinya tidak ada doa. Namun, tidaklah seseorang berpuasa, kecuali mengharapkan pahala dari Allah Ta'ala, takut terhadap ancaman Allah adalah doa dengan lisan hal. Dan terkadang ibadah itu hanya merupakan doa murni. Seseorang yang berdoa pada tuhannya dengan sebuah doa, berarti ia telah menjadi hamba-Nya walaupun hanya dengan doa, kerana doa adalah bukti kefakiran manusia kepada Allah, baik sangkanya kepada Allah dan pengharapan pada-Nya, dan rasa takut terhadap ancaman-Nya. Allah Ta'ala berfirman, “Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya.” Yakni berdoa kepada tuhan mereka, meminta kebutuhan-kebutuhan mereka, menyembah-Nya, kerana seseorang yang menyembah itu berdoa dengan lisan keadaannya, “Pada waktu pagi dan petang.” Semoga yang dimaksud dengan hal ini adalah mereka selalu berdoa kepada tuhannya. Akan tetapi, mereka mengkhususkan waktu pagi dan petang dengan doa-doa khusus. “Dengan mengharap wajah Allah,” tidak mengharapkan harta benda dunia, akan tetapi mereka mengharapkan wajah Allah, “Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka,” yakni jangan lepaskan pandanganmu kepada selain mereka. Bahkan tetaplah memandang mereka, bersama mereka dalam doa-doa dan ibadah mereka serta yang selainnya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thâhâ: 20: 131)
Allah Ta'ala berfirman, “Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka.” Yakni jadikanlah kedua matamu memandang mereka. Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia,” yakni, jangan memandang penduduk dunia dengan kenikmatan yang mereka nikmati, berupa kendaraan, pakaian, tempat tinggal dan lain sebagainya, semua ini adalah bunga-bunga dunia yang akhirnya akan layu, kering dan lenyap. Itu merupakan daun-daun pohon yang paling cepat mengering dan hilang, kerananya Allah Ta'ala berfirman, “Zahratan,” yakni bunga yang bagus, dalam keindahannya dan keharumannya. Walaupun ia memiliki bau yang harum, tetapi sangat cepat layu. Demikian juga dunia, dia adalah bunga yang cepat layu. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita sebagai sebagian di akhirat. Allah Ta'ala berfirman, “Dan karunia Rabbmu adalah lebih baik dan lebih kekal,” yakni rezeki Allah dengan ketaatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thâhâ: 20: 132)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat sesuatu yang menakjubkan di dunia ini, baginda mengucapkan,
لبيك إن العيش عيش الآخرة
“Allahuma ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2834, 4099 dan Muslim no. 1805]
Dua kalimat yang sangat agung, seseorang jika memandang dunia ini barangkali dunia ini akan menakjubkannya sehingga ia melupakan ketaatannya kepada Allah, maka hendaknya ia mengingat kenikmatan akhirat tatkala ia memandangnya, dan memperbandingkannya dengan kenikmatan dunia yang akan sirna. Kemudian ia mempersiapkan diri dan memotivasinya dengan kenikmatan akhirat yang tidak pernah terputus ini, lalu mengucapkan, “Ya Allah, sesungguhnya kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat.”
Benarlah perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kehidupan dunia ini bagaimana pun keadaannya pasti akan sirna, bagaimana pun keadaannya ia pasti sarat dengan kesedihan, kefanaan dan kekurangan. Seperti perkataan seorang penyair dalam syairnya, “Tidak ada kebaikan pada kehidupan dunia ini selama ia menyakitkan bagi dirinya dengan mengingat kematian dan masa tua.”
Kehidupan ini tempatnya kembali adalah satu dari dua perkataan, adakalanya berupa tua, sehingga orang itu akan kembali ke masa kekanakannya, kelemahan badan dan kelemahan akalnya, ia menjadi beban bagi keluarganya sehingga mereka merasa bosan terhadapnya. Adakalanya tempat kembalinya itu berupa kematian, bagaimana mungkin kehidupan ini bisa menjadi baik bagi orang yang berfikir? Sekiranya orang-orang tidak mengingat apa yang ada di akhirat dan tidak mengharapkan pahala akhirat, maka jadilah kehidupannya itu sia-sia. Yang pasti, Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menyabarkan dirinya bersama orang-orang yang berdoa kepada Allah di waktu pagi dan petang hari, mengharapkan wajah-Nya. Ayat ini bukan perintah khusus bagi orang-orang yang lemah saja, walaupun sebab turunnya seperti demikian, akan tetapi pelajaran ini diperuntukkan bagi semua orang, yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah dan berdoa kepada-Nya, baik mereka itu orang-orang yang lemah atau kuat, orang yang fakir atau kaya, teruslah kamu berada bersama mereka. Tetapi biasanya, orang-orang yang terpenuhi kebutuhan hidupnya (kaya) dan orang-orang yang memiliki kemuliaan mereka sangat jauh dari agama dibandingkan dengan orang-orang yang lemah dan orang-orang yang tertindas. Kerananya kamu dapati bahwa orang-orang yang mendustakan para rasul itu dari golongan orang-orang yang kaya. Berkatalah orang-orang kaya dari kaum Nabi Shaleh ‘alaihissalam.
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka, “Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus (menjadi rasul) oleh Tuhannya?”
(QS. Al-A'râf: 7: 75)
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk golongan orang-orang yang benar, menjadi penyeru kebenaran dan penolongannya. Sesungguhnya Dialah Allah Dzat Yang Mahadermawan dan Mahamulia.
عَنْ حَارِثَةَ بْنَ وَهْبٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ الْجَنَّةِ كُلُّ ضَعِيفٍ مُتَضَعِّفٍ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ ». متفق عليه.
“Mahukah kalian, aku beritahukan tentang penghuni surga?” Yaitu orang-orang yang lemah dan orang tertindas, kalau ia meminta sesuatu kepada Allah, niscaya Allah kabulkan doanya. Mahukah kamu semua aku beritahukan penghuni tentang neraka?” Yaitu mereka ialah setiap orang yang bengis dan kasar serta sombong.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata mengenai riwayat ini dari Haritsah bin Wahb radhiyallahu anhu dalam bab, “Kelebihan Orang Muslim Yang Lemah, Miskin Dan Serba Kesulitan.” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mahukah kalian, aku beritahukan tentang penghuni surga?” Yaitu orang-orang yang lemah dan orang tertindas, kalau ia meminta sesuatu kepada Allah, niscaya Allah kabulkan doanya. Mahukah kamu semua aku beritahukan penghuni tentang neraka?” Yaitu mereka ialah setiap orang yang bengis dan kasar serta sombong.” Inilah sebagian dari ciri-ciri penghuni surga. Seorang muslim yang lemah dan dipandang rendah, tidak mempedulikan kedudukan dan jabatan, tidak berambisi mencari jabatan di dunia, jiwanya merunduk, rendah hati dan tidak senang popularitas, tujuan hidupnya hanya mencari kedudukan yang tertinggi di sisi Allah Ta'ala, sama sekali bukan kehormatan atau kedudukan di mata kaumnya, bahkan semua perhatiannya hanya tertuju pada kedudukan tertinggi di sisi Rabbnya.
Oleh kerana itu, kita melihat bahwa orang-orang ahli akhirat itu tidak merasa sedih ketika kehilangan dunia. Ketika mendapatkan rezeki ia bersyukur, sebaliknya ketika kehilangan sesuatu darinya ia tidak tenggelam dalam kesedihan, kerana mereka yakin bahwa setiap kehendak Allah itu pasti terjadi, dan setiap yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Semua urusan diserahkan kepada Allah, sesungguhnya kekekalan atas sesuatu merupakan hal yang mustahil, tidak mungkin menghindari dari apa yang telah terjadi dan tidak mungkin menolak sesuatu yang telah ditakdirkan, kecuali dengan sebab-sebab syar'i yang telah Allah gariskan.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kalau ia meminta sesuatu kepada Allah, niscaya Allah kabulkan doanya.” Maksudnya jika ia bersumpah kerana Allah untuk menunaikan sesuatu, Allah akan memudahkan urusan dan mewujudkan keinginannya. Buktinya sangat banyak, seseorang yang bersumpah untuk melakukan sesuatu dengan penuh keyakinan kepada Allah dan mengharap pahala di sisi-Nya, Allah benar-benar akan mengabulkan janji-Nya, sementara orang yang bersumpah atas nama Allah dengan penuh kesombongan terhadap rahmat-Nya, maka ia akan terjauh dari rahmat-Nya, Na'udzu Billah.
Hal ini bisa kita lihat dari dua contoh berikut ini:
Pertama, seorang sahabat Anshar yang bernama Ar-Rabi' binti An-Nadhir radhiyallahu anha pernah mematahkan gigi seri seorang wanita Anshar, kemudian keluarganya mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Rasulullah pun memerintahkan untuk qishash, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalam (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi.”
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 45)
Kemudian saudaranya yang bernama Anas bin An-Nadhir berkata, “Demi Allah wahai Rasulullah, aku mohon jangan kau patahkan gigi Ar-Rabi.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Anas, hukum Allah adalah qishash.” Anas berkata, “Demi Allah, jangan kau patahkan gigi Ar-Rabi.”
Sahabat ini bersumpah demikian bukan kerana menolak hukum Allah dan Rasul-Nya, tetapi ia berusaha semaksimal mungkin dengan berharap kepada keluarganya agar mereka memaafkannya lalu mengambil denda, atau mereka memaafkannya secara cuma-cuma tanpa mengambil denda, kerana ia yakin keluarganya itu memaafkannya. Kemudian Allah Ta'ala memudahkan urusannya, akhirnya keluarganya pun memaafkannya tanpa menuntut qishash, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara hamba Allah ada seorang yang jika ia bersumpah kerana Allah, pasti dikabulkan.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2703, 2806, 4500 dan Muslim no. 1675]
Tidak diragukan lagi, bahwa yang memotivasi Anas bin An-Nadhir ini adalah kekuatan harapannya kepada Allah Ta'ala, bahwa Dia pasti akan menurunkan sebab-sebab yang membatalkan hukuman qishash saudarinya.
Kedua, seorang yang bersumpah atas nama Allah tetapi hatinya menentang dan sombong, maka Allah menghilangkan harapannya. Contohnya seorang ahli ibadah yang taat kepada Allah Ta'ala, suatu ketika ia berjalan melewati seseorang yang berbuat maksiat seraya berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni fulan ini.” Ia mengucapkan kata-kata ini dengan kebanggaan diri, ia mencegah keutamaan dan rahmat Allah, serta menjauhkan karunia Allah dari hamba-Nya. Maka Allah Ta'ala berfirman dalam hadits Qudsi,
“Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fulan itu! Sungguh Aku telah mengampuninya, dan Aku telah menghapuskan amalmu.”
[Shahih Muslim no. 2621]
Lihatlah perbedaan di antara keduanya.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya ada di antara hamba Allah,” kata Min di sini berarti sebagian, “Kalau ia meminta sesuatu kepada Allah, niscaya Allah kabulkan doanya,” yaitu seseorang yang bersumpah atas nama Allah kerana penuh keyakinan dan harapan terhadap rahmat Allah Ta'ala.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Mahukah kamu semua aku beritahukan penghuni tentang neraka?” Yaitu mereka ialah setiap orang yang bengis dan kasar serta sombong.” Inilah sebagian dari ciri-ciri penghuni neraka, kata 'Utull
artinya seorang yang bengis dan kasar, hatinya keras laksana batu atau yang lebih keras lagi. Na'udzu Billah. Kata Jawwaazhin Mustakbirin di dalamnya terdapat beberapa penafsiran, dikatakan bahwa maknanya adalah Al-Jumu' Al-Manu' yaitu orang yang suka menumpuk-numpuk harta tetapi ia enggan menunaikan hak-haknya.
Secara zhahirnya bahwa makna Al-Jawwazh adalah lelaki yang tidak sabar, maka kata Jawwazh artinya orang yang tidak bisa bersabar sama sekali, ia mengira dirinya berada di puncak yang paling tinggi yang tidak dapat dijamah oleh sesuatu pun.
Senada dengan hal itu, yaitu kisah seseorang yang berperang bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan ia terkenal sebagai seorang pemberani, menumpas semua musuh yang berhadapan dengannya, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentangnya, “Sesungguhnya orang ini termasuk penghuni neraka.” Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini membuat para sahabat keheranan, mereka berkata, “Bagaimana ia termasuk penghuni neraka, sementara kedudukannya seperti ini,” kemudian ada seseorang yang berkata, “Demi Allah, aku akan mengikutinya sehingga aku menyaksikan sendiri bagaimana sebenarnya.” Kemudian ia mengikutinya, ternyata sang pemberani ini terkena panah musuh, ia tidak mampu bersabar, ia putus asa, selanjutnya ia mengambil mata pedangnya dan menancapkannya di dadanya, lalu ia bersandar di atasnya sehingga pedang itu menembus punggungnya, Na'udzu Billah, maka ia pun mati bunuh diri.
Kemudian sahabat itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dengan dasar apa engkau mengatakan itu?” Ia menjawab, “Kerana orang yang engkau katakan, “Sesungguhnya orang ini termasuk penghuni neraka, telah melakukan hal ini dan itu.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya seseorang itu tentu akan mengamalkan perbuatan penghuni surga seperti yang tampak di mata manusia, sedangkan sebenarnya ia adalah penghuni neraka.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2898, 4202, 4207]
Maka lihatlah orang ini, ia berputus asa, tidak sabar pada akhirnya bunuh diri.
Kata Jawwazh artinya seorang yang mudah putus asa, tidak sabar, selalu sedih, gelisah, cemas, duka, menentang ketetapan takdir, bahkan tidak yakin terhadap Allah sebagai Rabbnya.
Adapun orang yang sombong adalah orang yang terhimpun dalam dirinya dua sifat ini; Memandang rendah seseorang, dan tidak menerima kebenaran. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Kesombongan itu tidak menerima kebenaran dan selalu memandang rendah seseorang.”
[Shahih Muslim no. 91]
Bathru Al-haqq yakni menolak kebenaran, Ghamthu An-Nass' yakni menghina sesama. Dalam diri orang sombong terdapat keangkuhan untuk menerima kebenaran, mereka tinggi dibandingkan makhluk yang lain, tidak menuruti kebenaran dan tidak mengasihi sesama mereka. Na'udzu Billah. Inilah ciri-ciri penghuni neraka. Kita memohon kepada Allah agar menjaga kita sekalian dari siksa nereka dan memasukkan kita ke dalam surga-Nya. Dialah yang Mahadermawan lagi Mahamulia.
Hadits 253.
وَعَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِرَجُلٍ عِنْدَهُ جَالِسٍ: « مَا رَأَيُكَ فِي هَذَا؟ » فَقَالَ: رَجُلٌ مِنْ أَشْرافِ النَّاسِ هَذَا وَاللَّهِ حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَنْ يُنْكَحَ وَإِنْ شَفَعَ أَنْ يُشَفَّعَ. فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ مَرَّ رَجُلٌ آخرُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَا رَأُيُكَ فِي هَذَا؟ » فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا رَجُلٌ مِنْ فُقَرَاءِ الْمُسْلِمِينَ، هَذَا حَرِيٌّ إِنْ خَطَبَ أَلاَّ يُنْكَحَ، وَإِنْ شَفَعَ، إِلاَ يُشَفَّعَ، وَإِنْ قَالَ أَلاَ يُسْمَعَ لِقَوْلِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « هَذَا خَيْرٌ مِنْ مِلءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هَذَا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Maka orang yang di tanya itu menjawab, “Orang itu golongan bangsawan. Demi Allah, sangat pantas diterima jika orang itu meminang dan jika meminta bantuan kepada orang lain pasti dia dibantu.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun terdiam. Beberapa saat kemudian, datang pula seorang lelaki lain, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apa pendapatmu dengan orang ini?”
Dia menjawab, “Wahai Rasulullah, menurutku orang ini adalah orang termiskin daripada kalangan kaum Muslimin, apabila dia meminang sudah pantas pinangannya untuk ditolak, dan jika meminta pertolongan dia tidak akan ditolong, dan apabila berkata, maka kata-katanya tidak akan didengar.”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, orang ini (orang yang miskin) lebih baik dari dunia dan seisinya daripada orang yang ini (yaitu orang bangsawan).”
[Shahih Al-Bukhari no. 5091, 6447]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat yang dinukilnya dari Sahl bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu anhu ia berkata, “Seorang lelaki berjalan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang duduk berhampiran Rasulullah, “Apa pendapatmu tentang lelaki itu?” Dia berkata, “Orang itu golongan bangsawan. Demi Allah, sangat pantas diterima jika orang itu meminang dan jika meminta bantuan kepada orang lain pasti dia dibantu.” Setelah itu ada lagi orang yang melintas, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentangnya, Maka orang yang di tanya itu menjawab, “Wahai Rasulullah, menurutku orang ini adalah orang termiskin daripada kalangan kaum Muslimin, apabila dia meminang sudah pantas pinangannya untuk ditolak, dan jika meminta pertolongan dia tidak akan ditolong, dan apabila berkata, maka kata-katanya tidak akan didengar.”
Salah satu dari dua orang ini adalah pemuka kaum yang dihormati, dia memiliki petuah, termasuk orang yang diterima jika meminang dan didengarkan jika berbicara. Sedangkan orang kedua itu sebaliknya, dia orang yang lemah, tidak ada harganya, jika ia meminang pasti tidak akan diterima, jika meminta pertolongan pasti ia tidak akan dibantu dan jika ia berbicara pasti tidak akan didengar.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini jauh lebih baik dari seisi bumi dibandingkan dengan yang pertama.” Yakni lebih baik di sisi Allah Ta'ala daripada seisi bumi dibandingkan dengan orang yang memiliki kemuliaan dan kedudukan di kalangan kaumnya. Kerana Allah tidak akan melihat kemuliaan, kedudukan, keturunan, harta kekayaan, paras rupa, kendaraan dan tempat tinggal. Sesungguhnya Allah hanya melihat hati dan amal perbuatan, apabila hati sudah baik yaitu antara hubungannya dengan Allah, selalu kembali kepada-Nya selalu ingat dan takut kepada-Nya, melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, maka orang inilah yang paling mulia di sisi Allah, dialah yang paling layak di sisi-Nya, dialah orang yang apabila bersumpah dengan nama Allah pasti diterima.
Dari hadits ini dapat dipetik faedah yang begitu besar, yaitu terkadang seseorang memiliki kedudukan tinggi di dunia, tetapi ia tidak bernilai di sisi Allah. Dan ada juga yang kedudukan dunianya itu begitu rendah, dia tidak berharga sama sekali di hadapan manusia, sedangkan di sisi Allah ia jauh lebih mulia dibandingkan yang lainnya.
Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita sekalian sebagai orang-orang yang memiliki kemuliaan dan kedudukan tinggi di sisi-Nya, bersama para Nabi, orang-orang jujur, para syuhada dan orang-orang shalih.
Hadits 254.
وَعَنْ أَبي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « احْتجَّتِ الْجَنَّةُ وَالنَّارُ فَقَالَتَ النَّارُ: فِيَّ الْجَبَّارُونَ وَالْمُتَكَبِّرُونَ، وَقَالَتِ الْجَنَّةُ: فِيَّ ضُعَفَاءُ النَّاسِ وَمَسَاكِينُهُمْ فَقَضَى اللَّهُ بَيْنَهُمَا: إِنَّكَ الْجَنَّةُ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ، وَإِنَّكِ النَّارُ عَذَابِي أُعَذِّبُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ، وَلِكِلَيْكُمَا عَلَيَّ مِلؤُهَا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Neraka berkata, “Penghuniku adalah orang-orang yang membangkang dan sombong.”
Surga berkata, “Penghuniku adalah orang-orang lemah dan orang-orang miskin.”
Lalu Allah memberi keputusan kepada keduanya seraya berfirman, “Sesungguhnya engkau, wahai syurga adalah rahmat-Ku denganmu Aku memberi rahmat kepada sesiapa sahaja yang Aku kehendaki. Dan engkau, wahai neraka adalah seksaan-Ku, denganmu Aku menyeksa sesiapa sahaja yang Aku kehendaki, dan Akulah yang berhak memenuhkan penghuni bagi kamu berdua.”
[Shahih Muslim no. 2847]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga dan neraka pernah berdebat,” yakni saling mengklaim di antara mereka, masing-masing menunjukkan dalihnya, hal ini merupakan perkara ghaib yang harus kita imani walaupun tidak dapat dicapai oleh logika manusia. Jika dikatakan, “Bagaimana surga dan neraka saling berdebat, sedangkan mereka adalah benda mati?”
Maka kita katakan, “Sesungguhnya Allah Ta'ala Mahakuasa atas segala sesuatu, Allah telah memberitahukan bahwasanya dunia pada hari kiamat kelak akan menyampaikan beritanya dengan wahyu yang Allah berikan kepadanya, apabila Allah memerintahkan sesuatu untuk dilaksanakan maka yang diperintahkan tersebut pasti akan melaksanakannya dalam kondisi apa pun. Tangan, lidah, kaki dan kulit semuanya akan bersaksi, walaupun mereka hanya benda mati, mereka akan bersaksi atas pemiliknya yang merupakan orang terdekat baginya, kerana Allah Ta'ala Mahakuasa atas segala sesuatu.” Surga berhujah dengan neraka, begitu juga sebaliknya. Neraka mengklaim bahwasanya orang-orang yang membangkang dan sombong ada padanya.
Para pembangkang adalah orang yang bengis dan keras, sedangkan orang-orang yang sombong adalah orang yang angkuh dan bongkak, mereka memandang rendah kepada orang lain dan tidak mahu menerima kebenaran, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kesombongan, “Kesombongan itu menolak kebenaran dan selalu meremehkan orang lain.”
[Muslim no. 91]
Para pembangkang dan pelaku kesombongan mereka adalah para penghuni neraka, Na'udzu Billah. Bisa saja penghuni neraka itu bersikap lemah lembut kepada orang lain dan berakhlak baik, tetapi sebenarnya ia adalah pembangkang terhadap kebenaran, ia angkuh; tidak menerima kebenaran. Kelembutan dan kasih sayangnya tidaklah berguna sama sekali baginya, bahkan ia disebut sebagai pembangkang dan orang yang sombong meskipun ia penuh kelembutan terhadap orang lain, namun sebenarnya ia adalah seorang pembangkang dan sombong, tidak mahu menerima kebenaran.
Terlihat lemah-lembut dengan sesama, tetapi hatinya sombong dan keras kerana menolak kebenaran.
Surga berkata, “Penghuniku adalah orang lemah dan miskin,” mereka itulah kebanyakan yang tunduk dan patuh kebenaran, sementara mayoritas orang yang sombong dan keras tidak patuh padanya.
Allah Ta'ala telah menetapkan keduanya dengan berfirman, “Sungguh kamu adalah surga, aku anugerahkan rahmat-Ku denganmu kepada siapa yang Aku kehendaki, dan kamu adalah neraka, Aku menyiksa denganmu siapa yang Aku kehendaki.”
“Sungguh kamu adalah surga.” Sungguh surga adalah tempat yang penuh dengan rahmat Allah, rahmat ini bukan termasuk sifat-Nya kerana rahmat yang berarti sifat-Nya tidak bisa terpisah dengan-Nya. Rahmat dalam hadits ini adalah makhluk, “Kamu adalah rahmat-Ku,” maksudnya adalah kamu Aku ciptakan dengan rahmat-Ku merahmati dengamu siapa yang Aku kehendaki.
Allah Ta'ala berfirman kepada neraka, “Dan kamu adalah neraka, Aku menyiksa denganmu siapa yang Aku kehendaki.” Seperti firman Allah Ta'ala,
“Dia (Allah) mengadzab siapa yang Dia kehendaki dan memberi rahmat kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 21)
Dengan demikian, penghuni surga adalah pemilik rahmat Allah Ta'ala -semoga kita termasuk di dalamnya, sementara penghuni neraka adalah pemilik siksa-Nya.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Akulah yang berhak memenuhkan penghuni bagi kamu berdua.” Allah berjanji untuk mengisi keduanya, karunia-Nya lebih luas daripada murka-Nya. Neraka berkata pada hari kiamat ketika para penghuninya dilemparkan ke dalamnya, “Masihkah ada lagi? Berikan padaku! Berikan padaku! Tambah lagi,” kemudian Allah meletakkan kaki-Nya di atasnya, dalam teksnya, “Alaiha Qadamuhu (kaki-Nya di atasnya)” kemudian para penghuninya bergabung antara satu dengan yang lainnya, kerana bekas Tuhan Ta'ala meletakkan kaki-Nya di atasnya, kemudian neraka berkata, “Cukup, cukup!” dan inilah penuhnya.
Surga itu sangat luas seluas langit dan bumi. Para penghuninya masuk dan kekal di dalamnya dengan karunia-Nya, Allah Ta'ala menghimpun para penghuninya dengan keluasan karunia-Nya, kerana Dia telah berjanji untuk mengisinya.
Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa penghuni surga didominasi oleh orang-orang fakir dan lemah, kerana kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tunduk terhadap kebenaran. Sementara penghuni nereka adalah orang-orang yang keras dan sombong kerana mereka angkuh dan menolak kebenaran, hatinya tidak luluh dengan berdzikir kepada Allah Ta'ala, Na'udzu Billah. Kita memohon kepada Allah agar memberikan keselamatan kepada kita sekalian.
Hadits 255.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ السَّمِينُ الْعَظِيمُ يَوْمَ القِيَامَةِ لَا يَزِنُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ جَحُوضَةٍ » مُتّٓفٓقُُ عٓلٓيْةِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh kelak pada hari kiamat akan datang seorang yang bertubuh besar dan gemuk tetapi timbangannya di sisi Allah tidak lebih beratnya sayap nyamuk.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4729 dan Muslim no. 2785]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dari riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh kelak pada hari kiamat akan datang seorang yang bertubuh besar dan gemuk tetapi timbangannya di sisi Allah tidak lebih beratnya sayap nyamuk.” Hal ini dikarenakan kebanyakan tubuh gemuk itu disebabkan kerana banyak makan, banyak makan menunjukkan banyaknya harta, sementara kebanyakan orang yang kaya raya itu sombong, bongkak dan kufur terhadap nikmat, sehingga pada hari kiamat pun keadaan mereka tetap seperti itu. Pada hari kiamat akan didatangkan seorang yang bertubuh besar, gemuk tetapi timbangannya di sisi Allah tidak lebih dari seberat sayap nyamuk. Nyamuk adalah haiwan yang paling hina dina dan paling lemah, apalagi sayapnya.
Dalam hadits ini adanya penetapan timbangan di hari kiamat, sebagaimana yang diisyaratkan oleh firman Allah Ta'ala,
“Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 47)
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.”
(QS. Az-Zalzalah: 99: 7-8)
Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Takutlah terhadap api neraka walaupun hanya dengan sebelah (biji) kurma.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1417, 3595, 6023 dan Muslim no. 1016]
Timbangan pada hari kiamat adalah timbangan keadilan yang tidak ada kezhaliman di dalamnya. Setiap manusia akan dibalas sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang telah diperbuatnya. Para ulama berkata, “Barangsiapa yang kebaikannya lebih berat dari keburukannya, maka ia termasuk penghuni surga tetapi barangsiapa yang keburukannya lebih berat dari kebaikannya, maka ia berhak disiksa di neraka dan barangsiapa yang sama antara timbangan kebaikan dan keburukannya, maka ia termasuk Ahlil A' raaf, yaitu orang-orang yang berada di antara surga dan neraka pada batas waktu tertentu sesuai dengan kehendak Allah Ta'ala, yang pada akhirnya mereka akan masuk surga juga.”
Timbangan ini adalah timbangan yang sifatnya kongkret yaitu timbangan yang memiliki dua daun timbangan, amalan keburukan diletakkan pada satu daun timbangan dan amal kebaikan diletakkan pada daun timbangan yang lainnya, ketika perbuatan kebaikannya lebih banyak, maka bagian kebaikan akan lebih berat, begitu juga sebaliknya. Kemudian muncul pertanyaan, “Apa yang ditimbang?” Menurut zhahir hadits ini yang ditimbang adalah manusianya, ia akan ringan dan berat sesuai dengan amal perbuatannya.
Sebagian ulama mengatakan, “Yang ditimbang pada hari kiamat itu adalah lembaran-lembaran amal, lembaran-lembaran keburukan akan diletakkan pada satu daun timbangan dan lembaran-lembaran kebaikan diletakkan pada daun timbangan lainnya, maka yang lebih berat itulah amal perbuatannya.”
Sebagian ulama mengatakan, “Yang ditimbang adalah amal perbuatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” Maka timbangan itu diperuntukan untuk amal perbuatan. Firman-Nya, “Maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (pahala). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan.”
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat ditimbangan, dan disukai Ar Rahman yaitu “Subhanallah wa bi hamdih, subhanallahil ‘azhim” (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya. Maha Suci Allah Yang Maha Agung).
[Shahih Al-Bukhari no. 6406, 6682 dan Muslim no. 2694]
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Dua kalimat yang ringan di lisan, namun berat ditimbangan.” Hadits ini menunjukkan bahwa yang ditimbang di akhirat kelak adalah amal perbuatan. Inilah zhahirnya dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, barangkali yang ditimbang adalah keduanya, yaitu amal perbuatan dan lembaran-lembarannya.
Dalam hadits ini juga terdapat peringatan bagi orang yang hanya memerhatikan dirinya sendiri, yakni kesenangan (kesejahteraan) fisiknya, hendaknya orang yang berpikir itu memerhatikan kesenangan hatinya, kerana kesenangan hati manusia itu kembalinya pada fitrah, yaitu komitmen terhadap agama Allah Ta'ala, apabila hati sudah senang tubuh pun akan senang sejahtera, dan bukan sebaliknya, tidak sedikit orang yang memanjakan tubuhnya dengan kesenangan dunia, tetapi hatinya bagaikan neraka, Nau'dzu Billah.
Jika anda ingin lebih jelas lagi bacalah firman Allah Ta'ala,
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 16: 97)
Dalam ayat ini tidak disebutkan, “Maka kami akan menyejahterakan badan mereka,” tetapi disebutkan, “Maka sesungguhnya kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik,” kerana Allah telah menjadikan hatinya tenang, lapang, dan senang. Sehingga sebagian ulama salaf mengatakan, “Kalau seandainya para raja dan keturunannya mengetahui apa yang kita rasakan, pasti mereka akan merebutnya dari kita dengan pedang-pedang mereka,” yaitu berupa kelapangan dada, cahaya hati, ketenangan dan kedamaian hati.
Aku memohon kepada Allah agar melapangkan hatiku dan hati kalian untuk islam, serta menyinarinya dengan cahaya ilmu dan keimanan, Dialah yang Mahadermawan lagi Mahamulia.
Hadits 256.
وٓعٓنْهُ أٓنّٓ امْرٓأٓةٓٓ سٓوْرٓاءٓ كٓانٓتٓ تٓقُمُّ الْمٓسْخِرٓ، أٓوْشٓابّٓٓا، فٓفٓقٓرٓهٓا رٓسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فٓسٓأٓلَ عٓنْهَا أَوْ عَنْهُ، فٓقٓالُوا: مَاتَ. قٓالٓ: « أٓفٓلآ كُنْتُمْ آذَنْتُمُونِي » فَكٓأٓنّٓهٔمْ صَخَّرُوا أٓمْرَهَا أَوْ أٓمْرَهُ، فَقَالَ: دُلُّونِي عَلَى قَبْرِهِ » فَرَلّٓوهُ فَصَلّٓى عَلَيْهِ، ثُمَّ قَالَ: « إِنّٓ هٓذِهِ الْقُبورَ مَمْلُوءَةُ ظُلْمَةََ عَلَى اَُهْلِهَا، وَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يُنَوِِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِي عَلَيْهِمْ » مُتَّفَقُ عَلَيهِ.
Para sahabat menjawab, “Orang itu telah meninggal dunia.”
Baginda bertanya, “Mengapa kamu tidak memaklumkan kepadaku?” Mereka menganggap remeh urusan kematiannya.
Baginda bertanya, “Tunjukkanlah kepadaku di mana kuburnya?”
Maka para sahabat pun menunjukkan kuburnya, dan akhirnya baginda shalatkannya. Setelah itu, baginda bersabda,
“Sesungguhnya kubur-kubur ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya kerana shalatku atas mereka.”
[Shahih Al-Bukhari no. 458, 1337 dan Muslim no. 957]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu mengenai seorang wanita berkulit hitam yang suka menyapu di masjid. Mayoritas riwayat menyebutkan seorang wanita yang suka menyapu di masjid, maksudnya membersihkan dan menyingkirkan kotoran didalamnya, kemudian wanita itu meninggal pada malam hari, kemudian para sahabat radhiyallahu anhum menyepelekan keadaannya, mereka berkata, “Kita tidak perlu memberitahukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam hari ini,” kemudian mereka menguburkannya, setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyakannya, mereka menjawab, “Orang itu telah meninggal dunia.” lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Mengapa kamu tidak memaklumkan kepadaku?” Maksudnya, kenapa kalian tidak memberitahukan padaku ketika ia meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkanlah padaku di mana kuburnya?” kemudian mereka menunjukkannya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya dan bersabda, “Sesungguhnya kubur-kubur ini telah dipenuhi kegelapan bagi penghuninya. Dan Allah benar-benar akan memberikan mereka cahaya kerana shalatku atas mereka.”
Hadits ini mengandung beberapa faedah, di antaranya bahwa Rasulullah menghormati seseorang itu sesuai dengan amal perbuatannya, serta perbuatan yang mereka laksanakan dalam ketaatan dan ibadahnya kepada Allah Ta'ala.
Di antara faedah yang lainnya adalah diperbolehkannya seorang wanita membersihkan masjid, pekerjaan ini tidak sebatas untuk kaum laki-laki saja, siapa saja yang mengamalkan pekerjaan ini mulia ini dengan ikhlas, maka ia akan menuai pahalanya, baik dikerjakan langsung oleh perempuan itu atau ia menyewa seseorang untuk membersihkan masjid berdasarkan atas tanggunggannya.
Faedah yang lain adalah disyariatkannya membersihkan masjid, dan menghilangkam kotoran darinya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ditampakkan padaku semua pahala umatku, sehingga kotoran yang dikeluarkan oleh seseorang dari masjid.”
[Dha'if diriwayatkan oleh At-Tirmidzi no. 2916, Abu Dawud no. 461, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 4265, Al-Fakihi dalam Akbar Makkah no. 1289, riwayat dari Abu Majid bin Abi Rawid dari Ibnu Juraij dari Al-Muthallib bin Hanthab dari Anas bin Malik hadits marfu, Ad-Daraquthni berkata senada dengan kitab Al-Ilal Al-Mutanahiyah karya Ibnu Jauzi (1/117), Ibnu Juraij tidak pernah mendengar dari Al Muthallib. Dikatakan ia mentadliskan dari Ibnu Maisarah dan perawi dha'if lainnya. Menurut Imam Al-Bukhari, Al-Muthallib tidak pernah mendengar dari salah seorang sahabat. Abu Zar'ah berkata, Al-Muthallib adalah perawi tsiqah, saya kira ia mendengar dari Aisyah radhiyallahu anha, sebagaimana yang di sebutkan dalam kitab At-Targhib karya Al-Munzhiri, (1/122, 123) sementara Abdul Majid adalah perawi yang dha'if, ketsiqahannya masih diperselisihkan, rujuk kitab Dha'if Al-Jami no. 3700]
Maksudnya adalah sampah kecil yang dikeluarkan oleh seseorang dari dalam masjid, maka ia akan diganjar atas perbuatannya itu.
Dalam hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membangun masjid di setiap periode, kemudian membersihkan dan mengharumkannya, kerana masjid adalah rumah Allah yang harus dipelihara dan dibersihkan, tidak pantas untuk dihiasi dan didekor dengan sesuatu yang menyebabkan orang yang shalat tersebut lalai kerananya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Kalian pasti akan menghiasi masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani menghiasinya.”
[Shahih Al-Bukhari, kitab ash-Shalaah, bab Bun-yaanul Masjid (I/539, al-Fat-h]
Pelajaran lain dari hadits ini, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, oleh kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkanlah padaku di mana kuburnya?” jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui hal-hal yang kongkrit apalagi dengan hal yang ghaib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui yang ghaib, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.” (QS. Al-An'âm: 6: 50)
“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A'râf: 7: 188)
Dan termasuk dari faedah hadits ini yaitu disyariatkannya shalat di atas kuburan bagi yang belum menyalatkan jenazah, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar shalat di atas kuburan wanita tersebut lantaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum menyalatkannya sebelum dikubur. Hal ini disyariatkan bagi orang yang meninggal pada masa kita, adapun orang yang sudah lama meninggalnya, maka tidak disyariatkan untuk menyalatkannya, maka kita tidak disyariatkan untuk menyalatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, para sahabat, atau para ulama dahulu di kuburannya.
Hal ini disyariatkan bagi orang yang meninggal pada masa kita, misalnya seseorang meninggal tiga puluh tahun yang lalu, sementara usia anda baru tiga puluh tahun, maka anda tidak disyariatkan menshalatkan di kuburnya, kerana ia meninggal sebelum anda tercipta dan anda belum diwajibkan untuk shalat, sedangkan seseorang yang meninggal ketika usia anda telah menginjak wajib shalat, maka anda disyariatkan untuk menshalatkan kerabat atau seseorang yang anda ingin shalatkan.
Seandainya seseorang meninggal setahun atau dua tahun yang lalu, dan anda belum sempat menyalatkannya, maka anda diperbolehkan untuk menyalatkannya di atas kuburanya.
Faedah lain dari hadits ini adalah betapa besarnya perhatian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menanyakan keadaannya, tidak membeda-bedakan mana yang muda dan yang mana yang tua, semua yang menjadi perhatian kaum muslimin selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanyakan. Selanjutnya, diperbolehkannya seseorang meminta bantuan non meteri kepada orang lain, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkanlah padaku di mana kuburnya?” Ini permintaan non materi. Berbeda dengan permintaan materi, sesungguhnya meminta materi (harta) itu diharamkan, yakni seseorang tidak diperbolehkan meminta materi kepada orang lain, misalnya kamu berkata, “Berilah aku uang sepuluh atau seratus riyal,” kecuali dalam keadaan darurat, adapun meminta sesuatu yang selain materi, maka hal ini tidaklah mengapa. Atau barangkali hal ini dikhususkan sewaktu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaiat para sahabat untuk tidak meminta bantuan materi kepada orang lain.
Hadits ini juga mengandung pelajaran lain yaitu diperbolehkannya mengulang shalat jenazah bagi orang yang telah menyalatkannya tatkala ia menemukan jamaah lain yang sedang menyalatinya. Kerana zhahir hadits ini, bahwa para sahabat berangkat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan shalat bersamanya, dengan dasar inilah disyariatkannya mengulang shalat jamaah apabila ada jamaah lain yang menyalatkannya.
Ini adalah pendapat sebagian ulama, mereka mengatakan, “Sebagaimana diperbolehkannya anda mengulang shalat fardu ketika anda mendapatkan jamaah lain yang sedang shalat, maka begitu juga dengan shalat jenazah.” Berdasarkan pada pendapat ini, jika seseorang telah shalat jenazah di masjid, kemudian mereka menghantarkannya ke pekuburan, lalu ada jamaah lain yang menshalatinya, maka anda diperbolehkan untuk menshalatinya lagi, kerana mengulang shalat ini ada sebabnya, tidak hanya sekadar mengulang, tetapi berdasarkan pada sebab, yaitu adanya jamaah lain yang sedang melakukan shalat.
Jika ada seseorang yang bertanya, dimanakah posisi saya shalat di atas kubur? Jawabannya adalah anda berdiri di belakangnya, posisi kubur berada antara anda dengan kiblat, yaitu seperti anda menyalatkannya sebelum dikuburkan.
Hadits 257.
عَنْهُْ قَالَ:َ قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « رُبَّ أَشْعَثَ مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Berapa ramai orang yang berambut kusut dan berdebu, yang dihina dan dihalau oleh orang ramai, namun apabila dia berdoa kepada Allah pasti Allah akan mengabulkannya.”
[Shahih Muslim no. 2622]
Hadits 258.
عَنْ أُسَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « قُمْتُ عَلَى بَابِ الْجَنَّةِ، فَإِذَا عَامَّةَ مَنْ دَخَلَهَا الْمَسَاكِينُ، وَأَصْحَابُ الْجَدِّ مَحْبُوسُونَ غَيْرَ أَنَّ أَصْحَابَ النَّارِ قَدْ أُمِرَ بِهِمْ إِلَى النَّارِ، وَقُمْتُ عَلَى بَابِ النَّارِ فَإِذَا عَامَّةُ مَنْ دَخَلَهَا النِّسَاءُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Aku berdiri di pintu surga, maka ternyata mayoritas yang memasukinya adalah orang-orang miskin, sementara orang-orang kaya masih tertahan, dan penghuni neraka telah diperintahkan masuk ke neraka dan aku berdiri di depan pintu neraka, dan ternyata penghuninya adalah wanita.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5196 Muslim no. 2736]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berapa ramai orang yang berambut kusut dan berdebu, yang dihina dan dihalau oleh orang ramai, namun apabila dia berdoa kepada Allah pasti Allah akan mengabulkannya” Rambutnya tidak teratur kerana tidak memiiki minyak atau sisir rambut untuk merapikannya, ia tidak begitu memperhatikan penampilan fisiknya, warna kulit yang usang, pakaian berdebu kerana sangat miskinnya.
“Dihalau oleh orang ramai,” maksudnya ia tidak memiliki kedudukan di mata manusia, ketika ia meminta izin untuk bertamu ia tidak diterima, bahkan mereka menolaknya tatkala ia baru sampai di depan pintu. Yakni, ketika pemilik rumah membukakan pintu lalu ia melihat orang tersebut, ia langsung menutupnya di depan matanya, kerana ia tidak berharga di hadapan manusia.
Namun, orang ini memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah, jika ia bersumpah atas nama Allah, maka akan dikabulkan, jika ia berkata, “Insya Allah tidak terjadi demikian,” maka tidaklah terjadi, begitu juga sebaliknya, jika ia bersumpah atas nama Allah, maka akan dikabulkan kerana kedudukan dan kemuliaannya di sisi Allah Ta'ala.
Tetapi, bagaimana hal itu bisa terjadi? Mungkin ada seseorang lelaki yang rambutnya kusut, berdebu, yang selalu ditolak ketika bertamu dan jika ia bersumpah atas nama Allah ia tidak dikabulkan, dan mungkin juga ada seorang lelaki yang rambutnya kusut, berdebu yang selalu ditolak ketika bertamu dan jika ia bersumpah atas nama Allah ia dikabulkan, maka apa perbedaan di antara keduanya?
Yang membedakan adalah ketakwaannya kepada Allah, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al- Hujurât: 49: 13)
Barangsiapa yang paling bertakwa kepada Allah, maka ia paling mulia di sisi-Nya, Dia akan memudahkan urusannya, mengabulkan doanya, mengangkat kesulitannya dan memenuhi sumpahnya.
Inilah orang yang bersumpah atas nama Allah tanpa adanya tujuan untuk menzhalimi seseorang dan tidak untuk melangkahi kekuasaan Allah ia bersumpah terhadap sesuatu yang diridhai dan diperbolehkan-Nya sebagai keyakinan penuh terhadap-Nya. Sebagaimana kisah Rabi' binti Nadhir dan saudaranya Anas bin Nadhir yang lalu, Rabi' telah mematahkan gigi seorang wanita dari Anshar, kemudian mereka mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda memerintahkannya untuk ditegakkan qishas dengan mematahkan giginya pula, kemudian saudaranya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin mengqishas gigi Rabi'?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, hukum Allah adalah qishash, gigi dengan gigi.” Kemudian ia berkata, “Demi Allah, jangan engkau qishas gigi Rabi.” Ia mengatakannya dengan penuh keyakinan kepada Allah sebagai harapan agar Allah memudahkan segala urusannya, kemudian ia bersumpah dengan sumpahnya ini, bukan untuk menolak hukum Rasulullah, sekali-kali bukanlah demikian, tetapi kerana keyakinannya yang penuh terhadap rahmat Allah Ta'ala, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada keluarganya dan akhirnya mereka memaafkannya dengan mengambil denda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada di antara hamba Allah seorang yang jika ia bersumpah kerana Allah, Dia mengabulkannya.” Kerana ia bersumpah atas nama Allah terhadap sesuatu yang diridhai-Nya dan ia berbaik sangka kepada-Nya.
Tetapi orang yang bersumpah atas nama Allah dengan meremehkan-Nya, sombong kepada hamba-Nya, serta bangga terhadap dirinya, maka Allah tidak akan mengabulkannya kerana ia adalah seorang yang zhalim, seperti halnya seorang ahli ibadah yang melewati seseorang yang berbuat maksiat, seraya berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan,” ia bersumpah dengan nama Allah bahwa Allah tidak akan mengampuninya, kerana ia bersumpah demikian? Apakah ampunan itu miliknya? Apakah rahmat itu miliknya? Maka Allah Ta'ala berfirman,
“Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak akan mengampuni si fuan,” pertanyaan pengingkaran dari Allah, “Sungguh Aku telah mengampuninya dan Aku telah menghapuskan amalmu,” Na'udzu Billah, ini adalah akibat dari perbuatan buruk. Allah tidak mengabulkan sumpahnya, bahkan menghapuskan semua amalnya, ia mengatakannya kerana sombong terhadap amal dan dirinya, serta terhadap hamba Allah Ta'ala.
Sementara hadits Usamah bin Zaid, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku berdiri di depan pintu surga, ternyata mayoritas orang yang memasukinya adalah orang-orang miskin.” Maksudnya adalah kebanyakan penghuninya, dan kebanyakan orang yang masuk surga adalah orang-orang fakir kerana kebanyakan orang fakir itu lebih dekat kepada ibadah dan takwa daripada orang kaya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sekali-sekali tidak! Sungguh, manusia itu benar-benar melampaui batas, apabila melihat dirinya serba cukup.” (QS. Al-'Alaq: 96: 6-7)
Biasanya orang kaya itu merasa cukup dengan hartanya, lebih sedikit ibadahnya daripada orang miskin, walaupun tidak sedikit orang kaya yang ibadahnya lebih banyak daripada orang miskin, tetapi kebanyakan tidak demikian, “Sementara orang-orang kaya masih tertahan,” maksudnya adalah orang-orang yang memiliki kekayaan berlebih, mereka masih tertahan belum masuk ke surga, sementara orang-orang miskin terlebih dahulu masuk surga sebelum mereka. “Dan penghuni neraka telah diperintahkan masuk ke neraka.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengelompokkan manusia pada hari itu menjadi tiga kelompok: Para penghuni neraka, mereka telah masuk ke neraka -semoga Allah memelihara kita darinya- Orang-orang fakir, mereka telah masuk kedalam surga. Dan orang-orang kaya, dari golongan orang-orang mukmin mereka berhenti; tertahan (belum masuk surga) sampai waktu yang dikehendaki Allah Ta'ala.
Sementara penghuni neraka, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang terpercaya dan dapat dipercaya memberitahukan bahwa mayoritas penghuninya adalah kaum wanita, kerana mereka adalah sumber fitnah. Oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada kaum wanita pada salah satu hari raya,
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah kalian walaupun dengan perhiasan kalian, kerana mayoritas kalian adalah penghuni neraka, mereka bertanya, “Wahai Rasulullah kenapa demikian?” Baginda menjawab, “Kerana kalian banyak mencaci dan mengingkari suami.”
[Shahih Al-Bukhari no. 304, 1462 dan Muslim no. 80]
“Banyak mencaci,” maksudnya suka mencaci dan mencerca, berlidah pedas dan melakukan tipu daya besar. “Mengingkari suami,” walaupun suami telah berbakti selama hidupnya, kemudian ia melihat suatu keburukan padanya, maka ia berkata, “Aku belum pernah merasakan kebaikan sedikit pun,” ia mengingkari nikmat dan tidak mengakuinya.
Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan kewajiban seseorang untuk selalu waspada terhadap fitnah kekayaan, kerana kekayaan bisa membuatnya melampaui batas, bahkan bisa menjerumuskannya pada jurang kesombongan, menolak kebenaran, dan menganggap remeh orang lain. Maka waspadalah terhadap dua nikmat besar yaitu kekayaan dan kesehatan, kesempatan juga menjadi sebab terjadinya fitnah, ketiga nikmat ini; kekayaan, kesehatan dan kesempatan ini adalah yang menyebabkan kebanyakan manusia terlena, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Dua nikmat, kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6412]
Biasanya kekayaan itu menyebabkan waktu luang dan menghalangi segala sesuatu. Kita mohon kepada Allah semoga menghindari kita dari fitnah kehidupan dan kematian, maupun dari fitnah Al-Masih Dajjal.
Hadits 259.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلاَّ ثَلاثَةٌ: عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ، وَصَاحِبُ جُرَيْجٍ، وَكَانَ جُرَيْجٌ رَجُلاً عَابِدًا، فَاتَّخَذَ صَوْمَعَةً فَكَانَ فِيهَا، فَأَتَتْهُ أُمُّهُ وَهَوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ، فَقَالَ: يَارَبِّ أُمِّي وَصَلاَتِي فَأَقْبلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُو يُصَلِّي، فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ، فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أُمِّي وَصَلاَتِي. فَأَقْبَلَ عَلَى صَلاَتِهِ، فَلَمَّا كَانَ مِنَ الْغَد أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ أُمِّي وَصَلاَتِي، فَأَقْبَلَ عَلَى صَلاَتِهِ، فَقَالَتْ: اَللَّهُمَّ لَا تُمِتْه حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى وُجُوهِ الْمُومِسَاتِ. فَتَذَاكَّرَ بَنُو إِسْرَائِيلَ جُريْجًا وَعِبَادَتهُ، وَكَانَتِ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بِحُسْنِهَا، فَقَالَتْ: إِنْ شِئْتُمْ لَأَفْتِنَنَّهُ، فَتَعَرَّضَتْ لَهُ، فَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهَا، فَأَتَتْ رَاعِيًا كَانَ يَأَوِي إِلَى صَوْمَعَتِهِ، فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوقَعَ عَلَيْهَا. فَحَمَلَتْ، فَلَمَّا وَلَدَتْ قَالَتْ: هُوَ جُرَيْجٌ، فَأَتَوْهُ فَاسْتنزلُوهُ وَهَدَمُوا صَوْمَعَتَهُ، وَجَعَلُوا يَضْرِبُونَهُ، فَقَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالُوا: زَنَيْتَ بِهذِهِ الْبَغِيِّ فَوَلَدَتْ مِنْكَ. قَالَ: أَيْنَ الصَّبِيُّ؟ فَجَاءَوا بِهِ فَقَالَ: دَعُونِي حَتَّى أُصَلِّي فَصَلَّىَّ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَى الصَّبِيَّ فَطَعَنَ فِي بَطْنِهِ وَقَالَ: يَا غُلاَمُ مَنْ أَبُوكَ؟ قَالَ: فُلاَنٌ الرَّاعِي، فَأَقْبَلُوا عَلَى جُرَيْجٍ يُقَبِّلُونَهُ وَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ وَقَالُوا: نَبْنِي لَكَ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ: لَا، أَعِيدُوهَا مِنْ طِينٍ كَمَا كَانَتْ، فَفَعَلُوا. وَبيْنَا صَبِيٌّ يَرْضَعُ مِنْ أُمِّهِ، فَمَرَّ رَجُلٌ رَاكِبٌ عَلَى دَابَّةٍ فَارِهَةٍ وَشَارةٍ حَسَنَةٍ فَقَالَتْ أُمُّهُ: اَللَّهُمَّ اجْعَلِ ابْنِي مِثْلَ هَذَا، فَتَرَكَ الثَّدْيَ وَأَقْبَلَ إِلَيْهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ: اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ، ثُمَّ أَقَبَلَ عَلَى ثَدْيِهِ فَجَعَلَ يَرْتَضِعُ » فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّه صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَحْكِي ارْتِضَاعَهُ بِأُصْبُعِهِ السَّبَّابةِ فِي فِيهِ، فَجَعَلَ يَمُصُّهَا، قَالَ: « وَمَرُّوا بِجَارِيَةٍ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا، وَيَقُولُونَ: زَنَيْتِ سَرَقْتِ، وَهِيَ تَقُولُ: حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوكِيلُ. فَقَالَتْ أُمُّهُ: اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا، فَتَركَ الرِّضَاعَ وَنَظَرَ إِلَيْهَا فَقَالَ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا، فَهُنَالِكَ تَرَاجَعَا الْحَدِيثِ فَقَالَتْ: مَرَّ رَجُلٌ حَسَنُ الهَيْئَةِ فَقُلْتُ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَقُلْتَ: اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ، وَمَرُّوا بِهَذِهِ الْأَمَةِ وَهُمْ يَضْرِبُونَهُا وَيَقُولُونَ: زَنَيْتِ سَرَقْتِ، فَقُلْتُ: اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلِ ابْنِي مِثْلَهَا فَقُلْتَ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا؟، قَالَ: إِنَّ ذَلِكَ الرَّجُلَ كَانَ جَبَّارًا فَقُلْت: اَللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ، وإِنَّ هَذِهِ يَقُولُونَ لَهَا زَنَيْتِ، وَلَمْ تَزْنِ، وَسَرقْتِ، وَلَمْ تَسْرِقْ، فَقُلْتُ: اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Ada tiga orang yang dapat berbicara ketika masih bayi; pertama, Isa bin Maryam, kedua bayi yang menyelamatkan Juraij. Juraij adalah seorang ahli ibadah, ia membuat sebuah tempat ibadah, suatu saat ia berada di dalamnya, ketika ia sedang shalat ibunya memanggilnya, “Wahai Juraij.” Ia berkata dalam dirinya, “Ya Rabb, ibuku atau shalatku?” Kemudian ia meneruskan shalatnya, dan ibunya pun pergi. Pada esok harinya ibunya datang kembali memanggilnya, “Wahai Juraij.” Ia berkata dalam dirinya, “Ya Rabb, ibuku atau shalatku?” Kemudian ia meneruskan shalatnya, dan ibunya pun pergi. Dan pada esok harinya ibunya kembali memanggilnya, “Wahai Juraij.” Ia berkata dalam dirinya, “Ya Rabb, ibuku atau shalatku?” Kemudian ia meneruskan shalatnya, hal ini menyebabkan ibunya terasa hati dan kecewa, lalu ibunya berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau matikan Juraij sampai dia melihat wajah (berurusan dengan) wanita pelacur.”
Suatu ketika, bani Israil membicarakan tentang Juraij dan ibadahnya. Pada waktu itu, ada seorang wanita pelacur yang sangat cantik berkata, “Jika kalian menghendaki aku akan menggodanya.” Lalu wanita itu pun mendatangi Juraij dan menggodanya, tetapi Juraij tidak tergoda sedikit pun. Pada akhirnya, wanita itu datang kepada seorang penggembala yang menjadikan tempat ibadah Juraij sebagai tempat bernaung. Lalu wanita itu mengajaknya untuk berzina dan penggembala itu pun bersedia, sehingga wanita itu pun hamil. Kemudian setelah melahirkan, wanita itu berkata, “Anak ini hasil hubunganku dengan Juraij.” Kemudian, orang-orang pun mendatangi Juraij dan menyeretnya keluar (dari tempat ibadahnya), lalu mereka menghancurkan tempat ibadahnya dan memukulinya. Maka, Juraij pun berkata, “Ada apa dengan kalian?” Mereka menjawab, “Kamu telah berzina dengan pelacur ini, sehingga ia melahirkan anakmu.” Juraij berkata, “Di mana bayinya?” Mereka membawa bayi itu, selanjutnya Juraij berkata, “Tunggu sebentar, aku akan shalat dulu.” Seusai shalat, Juraij mendatangi bayi itu, sambil memukul perutnya ia bertanya, “Wahai bayi, siapakah ayahmu?” Bayi itu berkata, “Ayahku adalah seorang penggembala.” Mendengar jawaban itu orang-orang dari bani Israel menciumnya, mengusap-usap (menyanjung, meminta maaf kepada Juraij seraya berkata, “Kami akan membangun kembali untukmu tempat ibadah dari emas.” Juraij menjawab, “Tidak perlu, bangunkan saja tempat ibadahku dari tanah seperti semula!” Maka, mereka pun membangunkan tempat ibadah untuk Juraij.
Bayi ketiga ialah seorang bayi yang sedang menyusui ibunya. Suatu ketika, lewatlah seorang laki-laki yang berkendaraan bagus dan berwajah tampan, maka ibunya berdoa, “Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti orang itu!” Tiba-tiba bayi itu melepaskan susuan dari ibunya dan berpaling melihat orang itu. Kemudian bayi itu berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan diriku seperti orang itu.” Kemudian dia kembali menyusu ibunya. Abu Hurairah masih teringat ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan cara menyusunya bayi itu, yaitu dengan cara memasukkan jari telunjuk ke mulut dan mengisapnya. Seterusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian lewatlah sekelompok orang bersama seorang hamba wanita yang mereka pukuli. (terdengar) mereka berkata, “Kamu telah melakukan zina, kamu telah mencuri.” Tetapi wanita itu hanya mengucapkan, “Hasbiyallah wa ni'mal wakil (Cukuplah Allah sebagai pelindungku, kerana Dia adalah sebaik-baik pelindung).” Maka ibu bayi itu berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu.” Tiba-tiba bayi itu melepaskan susuan dari ibunya dan melihat wanita itu seraya berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu.” Setelah kejadian tersebut, terjadilah perbincangan antara ibu dan bayinya. Ibunya berkata, “Tadi, ada seorang laki-laki yang sangat gagah (tampan, berpenampilan menarik) dan aku berdoa, “Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti orang itu, tetapi kamu malah berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti orang itu.” Dan tatkala ada seorang wanita yang dipukuli orang banyak dan mereka mengatakan, “Kamu telah melakukan zina, kamu telah mencuri.” Dan aku berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku ini seperti wanita itu,” tetapi kamu berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu.” Bayi itu menjawab, “Sesungguhnya lelaki itu orang yang sombong, oleh kerana itu aku berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti orang itu.” Adapun wanita yang dituduh melakukan zina dan mencuri itu sebenarnya ia tidak melakukannya, oleh kerana itu aku berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 3436 dan Muslim no. 2550]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat ini dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hanya tiga orang yang dapat berbicara ketika masih bayi.”
Pertama, Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam, baginda adalah nabi Bani Israel yang terakhir, bahkan nabi terakhir sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada seorang pun di antara keduanya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan (ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata, “Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).”
(QS. Ash-Shaff: 61: 6)
Maka tidak ada seorang nabi pun di antara Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Nabi Isa ‘alaihissalam merupakan salah satu di antara ayat-ayat Allah Ta'ala, sebagaimana firman-Nya,
“Dan telah Kami jadikan (Isa) putera Maryam beserta ibunya suatu bukti yang nyata bagi (kekuasaan Kami), dan Kami melindungi mereka di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir.” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 50)
Ia adalah bukti yang menerangkan tentang kelahiran dan tempat kelahirannya. Adapun tentang kelahirannya, sesungguhnya ibunya; Maryam radhiyallahu anha mengandungnya tanpa seorang ayah, dimana Allah Ta'ala mengutus Jibril ‘alaihissalam kepadanya menyerupai manusia sempurna, kemudian meniupkan pada rahimnya dan akhirnya ia mengandung Nabi Isa ‘alaihissalam. Sungguh Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, Dia Kuasa untuk menciptakan manusia dari setitik air mani, Kuasa juga untuk menciptakannya dari tiupan ini, sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 59)
Kekuasaan Allah tidak terbatas oleh apa pun, jika Dia menginginkan sesuatu, maka Dia berfirman, “Jadilah, maka terjadi,” Kemudian Maryam mengandung, lalu melahirkannya, menurut suatu pendapat bahwa kehamilannya tidak seperti lazimnya, tetapi cepat besar dan tidak lama kemudian langsung melahirkannya.
Adapun tempat kelahirannya, bahwasanya Maryam yang melahirkan ini mendatangi pangkal pohon kurma, kemudian ia berkata,
“Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata, “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan, lagi dilupakan.” (QS. Maryam: 19: 23)
Maksudnya bukan ia mengharapkan kematian, tetapi ia berharap tidak mengalami hal seperti ini sehingga ia meninggal,
“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS. Maryam: 19: 24)
Maksudnya adalah mata air yang mengalir dari bawah pohon kurma, kemudian Allah Ta'ala berfirman,
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”
(QS. Maryam: 19: 25)
Ia menggoyangkan pangkal pohon kurma itu, padahal ia adalah seorang wanita yang sedang merasakan sakitnya persalinan, lalu buah kurma itu berjatuhan kerana goyangannya itu, buah kurma yang masak tidak akan rusak jika jatuh dari pohonnya.
Sungguh luar biasa, kerana biasanya wanita itu lemah ketika sedang nifas, biasanya menggoyang pohon kurma itu tidak dari pangkalnya tetapi dari bagian atas, kerana seseorang yang menggoyang pangkalnya, tidak akan bergoyang, biasanya juga buah kurma yang matang itu jika jatuh dari pohonnya akan mengalami kerusakan, tetapi Allah Ta'ala berfirman,
“Niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.” (QS. Maryam: 19: 25-26)
Sungguh Mahabesar Allah, inilah di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Kemudian setelah ia melahirkannya, ia mendatangi kaumnya dengan menggendongnya, sementara ia belum bernikah, lalu kaumnya menuduhnya telah berbuat asusila, mereka mengatakan, “Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina,” seolah mereka mengatakan, “Bagaimana kamu berbuat zina padahal ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina.” Ayat ini sebagai dalil bahwa seseorang jika berzina, maka keturunannya juga akan diuji demikian, Naudzu Billah, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits yaitu dalam atsar, “Barangsiapa yang berzina maka keluarganya juga berzina.”
Kaumnya mengatakan, “Ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang penzina.” Selanjutnya Allah Ta'ala mengilhamkan kepadanya, lalu ia menunjuk kepada bayi itu, seolah-olah mereka telah tertundukkan olehnya, mereka mengatakan, “Bagaimana kita berbicara dengan seorang bayi yang baru lahir? ini tidak masuk akal!” Tetapi bayi itu menoleh kepada mereka seraya berbicara dengan kata-kata yang menakjubkan,
“Berkata Isa, “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”
(QS. Maryam: 19: 30-33)
Allahu Akbar, tujuh kalimat luar biasa yang keluar dari mulut bayi yang baru lahir. Tetapi janganlah heran, kerana kekuasaan Allah ini tidak terbatas, bukankah kulit, tangan, kaki dan lidah kita akan bersaksi di hadapan Allah terhadap yang kita lakukan pada hari kiamat kelak? Benar, ia akan bersaksi. Bukankah bumi ini akan menceritakan beritanya? Kerana Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya, bumi ini akan bersaksi atas setiap tindakan yang kita perbuat baik ucapan mahupun perbuatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. Kerana sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya.” (QS. Az-Zalzalah: 99: 4-5)
Kalau begitu, ini adalah ucapan Nabi Isa bin Maryam ‘alaihissalam. Nabi Isa ‘alaihissalam mengucapkan tujuh kalimat ini ketika masih bayi.
Kedua, adalah sahabat Juraij, ia adalah seorang ahli ibadah, ia mengasingkan diri dari keramaian manusia (uzlah), uzlah itu lebih baik jika dalam pergaulan itu terdapat keburukan, tetapi bila dalam pergaulan itu tidak terdapat keburukan, maka bergaul tentu lebih utama, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seorang mukmin yang bergaul dengan orang-orang dan bersabar dengan keburukan mereka itu lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabar dengan keburukan mereka.”
[HR. Ibnu Majah no. 4032, Ahmad no. 2/43, Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Murad no. 388. Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Shahih Al-Jami no. 6651]
Namun, jika pergaulanmu dengan masyarakat itu dapat membahayakan agamamu, maka selamatkanlah agamamu, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Akan datang sebaik-baik harta seorang muslim adalah kambing yang di gembala di puncak-puncak gunung dan lembah-lembah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 19, 3600, 3300, 6495]
Maksudnya adalah ia mengasingkan diri menyelamatkan agamanya dari fitnah.
Dalam hadits ini, Juraij mengasingkan diri dari keramaian manusia, membangunkan tempat ibadah, mengkhususkan diri untuk beribadah kepada Allah Ta'ala, pada suatu hari ketika ia sedang shalat, ibunya datang memanggilnya, lalu ia berkata dalam dirinya, “Ya Rabb, ibuku atau shalatku?” Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku dan aku putuskan shalatku ini, atau aku teruskan shalatku? Kemudian ia memutuskan untuk meneruskan shalatnya.
Ibunya datang untuk kedua kalinya, memanggilnya seperti yang pertama, kemudian ia meneruskan shalatnya. Lalu ibunya datang lagi untuk ketiga kalinya, memanggilnya seperti itu juga, namun ia tetap memperlakukannya seperti yang pertama, ia tetap dalam shalatnya, ibunya pun terasa hati dan kecewa lalu berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau matikan Juraij, sampai dia melihat wajah (berusan dengan) wanita pelacur.” Maksudnya adalah para wanita penzina, Naudzu Billah. Seseorang apabila memandang wanita asusila maka akan timbul fitnah, kerana pandangan pria pada wanita adalah fitnah, apalagi seorang wanita penzina -Naudzu Billah- maka akan menimbulkan fitnah yang lebih besar, kerana ia melihat wanita yang berhasrat kepadanya, maka ibunya mendoakannya seperti itu.
Faedah yang dapat dipetik dari hadits ini adalah jika orang tua memanggilmu, sedangkan kamu dalam keadaan melaksanakan shalat, maka kamu wajib memenuhi panggilannya, dengan syarat shalatnya itu bukan shalat fardhu, jika shalatnya itu shalat fardhu, maka kamu tidak boleh memenuhinya. Kecuali jika mereka mengerti bahwa anda sedang shalat, jika mereka mengetahui bahwa anda sedang shalat, mereka pasti akan memaafkan anda. Di sini anda boleh memberikan isyarat kepada mereka bahwa anda sedang shalat, baik itu dengan cara berdehem, atau dengan mengucapkan, “Subhanallah” atau mengeraskan suara dengan bacaan atau doa yang anda baca, sehingga ia mengetahui bahwa anda sedang shalat, apabila anda mengetahui bahwa mereka memiliki sikap toleransi, mereka maafkan anda, apabila anda sedang shalat dan tidak bisa memenuhi panggilannya, mereka mengerti bahwa anda sedang menunaikan shalat.
Misalnya ketika ayahmu datang dan kamu sedang menunaikan shalat sunnah subuh, ia memanggilmu, “Wahai fulan,” akan tetapi kamu tetap dalam shalat, jika ayahmu itu seorang yang toleran, yang dapat memaafkanmu, maka isyaratlah dengan berdehem atau mengucapkan, “Subhanallah” atau tinggikan suara bacaan, doa, dan dzikir yang kamu baca, sehingga ia memahami. Tetapi, jika orang tua itu kurang toleran, selalu ingin agar ucapannya itu didengar, maka batalkanlah shalatmu dan penuhilah panggilannya, pendapat ini sebagaimana yang disinyalir dalam kitab Al-Umm. Adapun jika shalatnya itu wajib, maka seseorang tidak boleh membatalkannya, kecuali dalam kondisi yang terpaksa, seperti halnya jika anda melihat seseorang yang dikhawatirkan akan celaka atau jatuh ke dalam sumur, laut, api dan sebagainya, maka batalkanlah shalat anda kerana kondisi yang memaksa. Adapun untuk alasan selain ini, maka tidak dibenarkan untuk membatalkan shalatnya.
Dalam hadits ini juga dapat diambil faedah bahwa doa yang benar dari orang tua itu sangat dikabulkan oleh Allah Ta'ala, maka doa seorang ayah terhadap anakya jika ia memang benar, maka doanya ini akan dikabulkan oleh Allah. Oleh kerana itu anda harus benar-benar waspada terhadap doanya kedua orang tua, sehingga diri anda tidak terperosok ke dalam kerugian kerana doa orang tua. Hadits ini juga menunjukkan bahwa rasa cinta yang dititipkan Allah kepada kedua orang tua itu terkadang bisa hilang kerana suatu sebab, kerana doa seorang ibu ini sangat agung, ia mendoakan agar anaknya jangan dimatikan sehingga ia melihat wajah wanita pelacur, rasa emosinya sudah membawanya untuk berdoa dengan doa seperti ini. Naudzu Billah.
Sebagaimana yang telah kita ceritakan, bahwa ketika sang ibu memanggilnya, ia tetap dalam shalatnya sehingga ibunya pun pergi, keesokan harinya sang ibu mengulanginya kembali sampai tiga kali, maka ia berkata, “Ya Allah, jangan Engkau matikan dia sehingga ia melihat wajah wanita pelacur.” Kemudian Bani Israel membicarakan tentang ibadah Juraij, lalu salah seorang wanita dari mereka berkata, “Jika kalian menginginkan aku akan mengodanya.”
Faedah lain yang dapat kita petik bahwa seorang jika mengingat Allah Ta'ala di waktu ia sedang lapang, maka Allah akan mengingatnya di kala ia dalam kesempitan. Bahwasanya lelaki ini adalah seorang yang ahli ibadah, maka tatkala ia mengalami kesulitan yang luar biasa, Allah Ta'ala menyelamatkannya. Ketika orang-orang ini ingin membuat tipu daya besar, dengan mendatangkan seorang wanita pelacur kepada Juraij untuk mengodanya, ia tidak menolehnya sedikit pun, tiba-tiba ada seorang penggembala singgah di tempat ibadahnya, lalu wanita itu menghampirinya dan berzina dengannya, akhirnya wanita itu hamil, Naudzu Billah. Kemudian orang-orang menuduhnya dengan tuduhan keji, “Anak ini hasil dari perbuatan Juraij,” kemudian mereka menghampirinya, memukulinya, menyeretnya keluar, menghancurkan tempat ibadahnya, tetapi Juraij sang ahli ibadah itu meminta satu permintaan agar membawakan bayi itu kepadanya. Setelah mereka membawanya, ia menepuk perutnya seraya berkata, “Siapa bapakmu?” Serta merta bayi itu menjawab, “Bapakku adalah sorang penggembala.” Selanjutnya mereka menghampiri Juraij, memeluk dan meminta maaf kepadanya seraya berkata, “Sudikah kiranya kami bangun kembali rumah ibadahmu itu dengan emas.” -kerana mereka telah menghancurkannya dengan zhalim- Juraij berkata, “Tidak, bangunlah seperti semula dengan tanah.” Kemudian mereka membangunkannya kembali.
Kisah ini menyebutkan bahwa bayi yang masih dalam ayunan itu mampu berbicara bahwa bapaknya adalah sang penggembala. Sebagian para ulama mengambil dalil dari hadits ini, bahwa anak hasil zina itu dinasabkan kepada ayah zinanya, kerana Juraij berkata, “Siapa bapakmu?” Bayi itu menjawab, “Bapakku sang penggembala.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menceritakan kisah ini kecuali untuk diambil sebagai pelajaran, jika bapak zinanya tidak mempermasalahkan anaknya itu, maka anak itu dinasabkan kepadanya, pendapat ini menurut sebagian kecil ulama. Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada bapak zinanya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Anak yang lahir adalah milik ranjang (suami) dan penzinanya mendapat kerugian (berupa batu rajam).”
[Shahih Al-Bukhari no. 2053 dan Muslim no. 1457]
Pendapat yang mengatakan bahwa ia dinasabkan kepada ayahnya, mereka berkata bahwa hal ini berlaku jika ada yang mempermasalahkannya bahwa anak itu milik suami yang sah, tetapi jika tidak ada yang mempermasalahkan maka anak itu dinasabkan kepada ayah zina; kerana ia adalah benar anaknya secara biologis dan tercipta dari air maninya, sementara tidak ada seorang ayah resmi yang mengakuinya, maka dengan dasar ini ia dinasabkan kepada ayah biologis.
Mereka mengatakan bahwa tindakan seperti ini lebih utama daripada menyia-nyiakan nasab anak ini, kerana jika ia tidak memiliki bapak, maka nasabnya pun akan hilang, jadilah nasabnya itu disandarkan kepada ibunya. Hadits ini juga menunjukkan betapa tingginya kesabaran Juraij, ia tidak menaruh dendam sedikit pun, tidak membebankan mereka untuk membangun tempat ibadahnya dari emas, bahkan rela dengan membangunkannya kembali seperti semula yaitu dari tanah.
Ketiga, orang yang berbicara ketika masih bayi adalah seorang bayi yang masih menyusu kepada ibunya, suatu ketika ada seorang yang lewat mengendarai kudanya dengan gagah, ia adalah seorang pembesar yang terpandang, serta merta ibunya bergumam, “Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti orang itu.” Kemudian anak itu langsung berhenti menyusu lalu memandang ibunya seraya berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku sepertinya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan tentang cara menyusunya anak ini dari ibunya dengan cara meletakkan jari telunjuknya ke mulutnya sambil dihisap, untuk menguatkan kisah ini. Anak itu berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku sepertinya.” Selanjutnya mereka menemukan seorang hamba wanita yang sedang dikerumuni, dipukuli dan dikatakan, “Kamu berzina dan mencuri,” tetapi wanita itu mengatakan, “Cukuplah bagiku Allah sebagai sebaik-baiknya pelindung.” Kemudian ibu bayi itu berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu!” selanjutnya bayi itu lansung berhenti menyusu, ia memandang ibunya dan berkata, “Ya Allah, jadikanlah aku sepertinya.”
Kemudian bayi itu berdialog dengan ibunya, seorang bayi yang masih menyusu berdialog dengan ibunya, ibunya berkata, “Tadi, ada seorang laki-laki yang sangat gagah (tampan, berpenampilan menarik) dan aku berdoa, “Ya Allah, jadikanlah anakku ini seperti orang itu.” Lalu kamu berkata, “Ya Allah, jangan jadikan aku sepertinya.” Ia meneruskan ucapannya, “Sesungguhnya lelaki itu orang yang sombong, oleh kerana itu aku berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti orang itu.”
Adapun wanita yang dituduh berbuat zina, mencuri dan hanya mampu berucap, “Hasbiyallah wa ni'mal wakil (Cukuplah Allah sebagai pelindungku, kerana Dia adalah sebaik-baik pelindung),” maka aku berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu.” Maksudnya jagalah kesucianku dari perbuatan zina dan mencuri, seraya menyerahkan segala urusanku itu kepada Allah Ta'ala, dalam ucapan wanita itu, “Hasbiyallah wa ni'mal wakil (Cukuplah Allah sebagai pelindungku, kerana Dia adalah sebaik-baik pelindung).”
Inilah tanda-tanda kebesaran Allah, seorang anak yang masih menyusu mampu berpikir, melihat dan merenung, ia memiliki ilmu ketika mengatakan, “Sesungguhnya lelaki itu orang yang sombong,” sedangkan dia itu masih kecil, lalu ia berkata kepada wanita itu, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu,” kerana ia mengetahui bahwa wanita itu terzhalimi dan tuduhan yang ditunjukkan kepadanya sama sekali tidak benar, ia mengetahui bahwa wanita itu menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Ini juga merupakan salah satu dari ayat-ayat Allah yaitu seorang bayi yang memiliki ilmu.
Kesimpulannya, bahwa Allah Ta'ala adalah Mahakuasa atas segala sesuatu, tidak sedikit kejadian di luar kebiasaan yang merupakan bagian dari ayat-ayat-Nya, baik itu untuk menguatkan kebenaran Rasul-Nya atau salah satu wali-Nya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan