۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِلْمُؤْمِنِينَ۞
(QS. Al-Hijr: 15: 88)
Allah ﷻ berfirman:
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling mereka (kerana) mengharapkan perhiasan kehihidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi: 18: 28)
Daripada Abu Hubairah Aidz bin Amr Al-Muzani radhiyallahu anhu, ia termasuk salah satu sahabat yang ikut serta pada Baiat Ridwan, suatu ketika Abu Sufyan menemui Salman, Shuhaib dan Bilal, tiba-tiba mereka berkata kepadanya, “Pedang-pedang Allah belum mengambil haknya dari musuh-musuh-Nya.” Kemudian Abu Bakar radhiyallahu anhu berkata, “Apakah kalian mengatakan demikan kepada pembesar dan pemimpin suku Quraisy?” Kemudian Abu Bakar pergi berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan mengenai hal itu. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Bakar, bisa jadi ucapanmu itu menyebabkan mereka marah? Kalau demikian, berarti kamu telah menyebabkan murka Allah.” Lalu Abu Bakar pergi berjumpa mereka sambil bertanya, “Saudara-saudaraku, apakah ucapanku tadi menyebabkan kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak, semoga Allah mengampunimu wahai saudaraku!”
Daripada Mush'ab bin Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, “Sa'ad beranggapan bahwa ia lebih utama dari orang-orang yang berada di bawah taraf (kehidupan)nya.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah kalian dibantu dan diberi rezeki melainkan kerana keberadaan orang-orang lemah di antara kalian?”
Allah ﷻ berfirman:
۞وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَوٰةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاوٰةِ الدُّنْيَا۞
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan Bab “Menyayangi Anak Yatim, Anak Perempuan, Orang Yang Lemah Dan Orang Miskin Serta Berbuat Baik, Bermurah Hati Dan Merendah Diri Terhadap Mereka.” Yaitu orang-orang yang membutuhkan kasih-sayang. Agama Islam adalah agama kasih, lemah-lembut serta penuh kebaikan, Allah Ta'ala menganjurkan untuk selalu berbuat kebaikan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, Allah menjelaskan bahwa Dia mencintai orang-orang yang berbuat baik kepada orang yang membutuhkan kebaikan itu lebih utama dan sempurna, di antaranya terhadap anak-anak yatim.
Anak-anak yatim adalah anak kecil yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum ia mencapai baligh, baik laki-laki ataupun perempuan, anak yang ditinggal ibunya tidak disebut yatim. Artinya bahwa anak yatim itu adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya sebelum ia mencapai baligh, walaupun ia masih memiliki ibu. Adapun anak yang ditinggal mati ibunya sedangkan ayahnya masih ada, maka ia tidak disebut sebagai yatim. Berbeda dari apa yang dipahami oleh kebanyakan orang, mereka mengira bahwa yatim itu adalah anak yang ditinggal mati ibunya, padahal bukanlah demikian, tetapi anak yatim adalah anak yang ditinggal mati oleh ayahnya.
Ia disebut yatim kerana kesendiriannya, yatim artinya sendiri, kerana anak kecil yang belum baligh ini harus mencari penghidupan sendiri, padahal ia tidak mampu mencari penghidupan. Maka Allah Ta'ala berwasiat dalam banyak firman-Nya terhadap anak yatim, bahkan Dia menjadikan hak khusus untuk mereka, sebenarnya anak yatim itu merasakan kehancuran hati kerana ditinggal mati oleh ayahnya, ia orang yang paling berhak untuk dikasihi dan disayangi, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisâ: 4: 9)
Begitu juga perempuan; anak-anak ataupun dewasa, mereka adalah media untuk kelembutan, cinta dan kasih sayang, kerana mereka adalah makhluk yang lemah, lemah dalam akal dan ketetapan hatinya, mereka lemah dalam segala hal. Sementara kaum laki-laki, mereka lebih kuat daripada perempuan, baik secara fisik, akal pikiran, ketetapan hati dan yang selainnya, oleh kerananya Allah Ta'ala berfirman,
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), kerana Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan).”
(QS. An-Nisâ: 4: 34)
Begitu juga orang-orang yang hancur yaitu orang-orang yang tertimpa musibah, oleh kerananya mereka merasakan kehancuran, bukan hancurnya tulang tetapi hancur hati, seperti seorang yang kehilangan harta benda, anggota keluarga atau sahabatnya meninggal, hatinya hancur (berduka). Yang terpenting, bahwa mereka itu harus dikasihi. Oleh kerananya, berbela sungkawa dan meneguhkan hatinya bahwa semua ini datangnya dari Allah, jika Allah Ta'ala menghendaki sesuatu maka Dia cukup mengucapkan, “Jadilah, maka terjadi” dan sebagainya.
Merendahkan hati terhadap mereka, penuh kelembutan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap engkau terhadap orang yang beriman.”
(QS. Al-Hijr: 15: 88)
“Dan rendahkanlah dirimu,” maksudnya adalah rendahkan hatimu terhadap mereka. Allah Ta'ala berfirman, “Dan rendahkanlah dirimu,” walaupun diri anda itu tinggi dan terbang ke awang-awang bagaikan burung yang terbang, maka rendahkanlah hatimu terhadap mereka, walaupun anda kaya raya, memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi, tetaplah merendah di hadapan mereka, rendahkanlah hatimu sehingga mereka berada di atasmu.
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman yang mengikutimu.”
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 215)
Perintah ini untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu juga perintah untuk semua umatnya.
Seorang wajib bersikap lemah lembut terhadap saudaranya yang mukmin, setiap kali melihat saudaranya yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya ia harus merendahkan hati terhadapnya, kerana seorang yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih berhak untuk dihormati dan dimuliakan, bukan kerana nasabnya; anak fulan bin fulan, tetapi kerana ia mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah kekasih, saudara dan sahabat kita tercinta, sebaliknya setiap orang yang menjauhi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kita harus menjauh darinya sebagaimana ia menjauh dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti inilah orang mukmin, hendaknya ia merendahkan hati terhadap orang yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap engkau terhadap orang yang beriman.”
Allah Ta'ala berfirman untuk Rasul-Nya,
“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada waktu pagi dan petang dengan mengharap keridhaan-Nya, dan janganlah kedua matamu berpaling mereka (kerana) mengharapkan perhiasan kehihidupan dunia.”
(QS. Al-Kahfi: 18: 28)
“Dan bersabarlah engkau,” pertahankan jiwamu bersama orang-orang besar dan mulia itu, “Orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang” maksudnya adalah berdzikir pada pagi dan petang bukan kerana ingin dilihat atau dipuji orang lain, tetapi berdoa, berdzikir, bertasbih dan beribadah hanya mengharapkan ridha-Nya.
“Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (kerana) mengharapkan perhiasan dunia,” maksudnya jangan engkau jauhkan mereka, biarkan mereka memandangmu, jangan pernah engkau palingkan pandanganmu dari mereka, artinya jangan palingkan matamu dari mereka dan lebih memilih kenikmatan kehidupan dunia.
Misalnya ada dua orang, yang pertama lebih taat kepada Allah, khususnya ia berdzikir pada pagi dan petang, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, berbaik sesama manusia. Sementara yang satunya lagi, ia kaya raya, harta melimpah, istananya di mana-mana, mobilnya mewah, pelayannya banyak, siapakah di antara mereka yang lebih berhak untuk kita utamakan? Yang pertama itulah yang lebih berhak untuk kita sabarkan diri kita terhadapnya, kita berkumpul dan bergaul bersamanya, janganlah kita berpaling darinya (kerana) mengharapkan perhiasan dunia.
Kehidupan dunia ini tidak berarti apa-apa, hanya kenikmatan sementara, kenikmatan dan kebahagian dunia ini selalu terbalut dalam kesedihan dan kesulitan, tidak ada kebahagian dunia ini yang tidak disertai dengan kesedihan, -saya kira- Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu berkata, “Tidaklah ada rumah yang dipenuhi dengan kebahagian, kecuali di dalamnya terkandung kesedihan dan kepedihan.” Benarlah apa yang dikatakan sahabat ini, kalau tidak ada dari yang demikian itu, niscaya mereka akan meninggal satu per satu, setiap ada salah satu yang meninggal pasti mereka merasakan kesedihan, maka semua kebahagian dan kesenangan ini berubah menjadi kesedihan dan duka. Dunia beserta isinya ini tidaklah berarti apa-apa.
“Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (kerana) mengharapkan perhiasan dunia,” tapi teruslah dalam kebersamaan dan jadilah penolong bagi mereka, jangan sampai kenikmatan dunia yang kami berikan kepada seseorang itu menjadikan kamu sedih. Hal ini senada dengan firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal. Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.”
(QS. Thâhâ: 20: 131-132)
Semoga Allah memberikan keselamatan dan menganugerahkan balasan baik kepada segenap kaum muslimin.
Allah ﷻ berfirman:
“Maka terhadap anak yatim janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik(nya).”
۞فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ، وَأَمَّا السَّائِلَ فَلاَ تَنْهَرْ۞
(QS. Adh-Dhuhâ: 93: 9-10)
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam bab ini beberapa ayat Al-Qur'an di antaranya adalah,
۞ أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ۞ وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ ۞ وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ ۞ فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ ۞ وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ ۞ وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ ۞
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.”
(QS. Adh-Dhuhâ: 93: 6-11)
Firman Allah Ta'ala, “Bukankah Dia mendapatimu.” Ayat ini ditujukan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah Ta'ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu adalah seorang anak yatim, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditinggalkan ayah dan ibunya sejak kecil, kemudian diasuh oleh kakeknya Abdul Muthallib, lalu kakeknya itu meninggal ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginjak delapan tahun, selanjutnya diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu adalah seorang anak yatim dan penggembala kambing milik penduduk Mekah dengan imbalan beberapa dirham. Kerana tidak ada seorang Nabi pun yang diutuskan oleh Allah, kecuali ia adalah seorang penggembala kambing, setiap Nabi yang diutus menjadi Rasul penah menjadi penggembala kambing, agar mereka memiliki pengalaman dan jiwa kepemimpinan yang baik, Allah memilih mereka menjadi penggembala kambing kerana kambing adalah binatang ternak yang lemah, yang membutuhkan kesabaran dan kasih sayang, berbeda dengan unta, kebanyakan penggembala unta memiliki sifat keras dan kasar, kerana yang menggembalakannya seperti itu juga, yaitu keras dan kuat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam waktu kecilnya adalah yatim, kemudian Allah Ta'ala memuliakannya, lalu mempertemukannya dengan istri yang shalihah, yaitu Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu anha, baginda menikahinya ketika usia dua puluh lima tahun, sementara usia Khadijah empat puluh tahun, ia adalah wanita yang cerdas, bijak dan shalihah, Allah Ta'ala menganugerahinya anak yang kesemuanya dari Khadijah, kecuali Ibrahim, kerana Ibrahim dilahirkan dari Mariyah Al-Qibtiyyah. Allah Ta'ala mempermudah jalan baginya untuk membantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda tidak menikahi wanita lain sehingga Khadijah wafat.
Kemudian Allah Ta'ala memuliakannya dengan kenabian, awal turunnya wahyu melalui mimpi yang datang seperti fajar yang terang benderang, mimpi yang benar ini adalah bagian dari empat puluh enam cara turunnya wahyu kenabian. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai untuk menyeru manusia kepada agama Allah, memberi kabar gembira dan peringatan, lalu mereka pun mengikutinya. Anak yatim sang penggembala kambing ini adalah seorang pemimpin umat yang paling mulia dan pemimpin seluruh manusia.
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.” Maksudnya Allah Ta'ala melindungimu setelah kamu yatim, memudahkan untukmu orang yang mengasuhmu sehingga kamu tubuh dewasa, dan menganugerahkan kepadamu risalah kenabian yang agung.
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” Maksudnya kamu dahulu tidak memiliki ilmu, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan engkau (Muhammad) tidak pernah membaca sesuatu kitab sebelum (Al-Qur'an) dan engkau tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tangan kananmu.”
(QS. Al-'Ankabût: 29: 48)
“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui. Karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.” (QS. An-Nisâ: 4: 113)
“Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur'an) dan apakah iman itu” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 52)
Tetapi dengan turunnya kitab ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi orang yang berilmu dan sempurna imannya, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung.” Maksudnya kamu dahulu tidak mengetahui, kemudian Allah memberimu petunjuk, dengan apa Allah menunjukinya? Yaitu menunjukinya dengan Al-Qur'an.
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” Maksudnya adalah fakir, kemudian Allah berinya kecukupan, Dia menganugerahkan banyak kemenangan sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbagi dan memberi. Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan kambing dalam jumlah yang besar antara dua gunung kepada seseorang, baginda memberi pemberian tanpa takut jatuh miskin. Renungkan firman Allah Ta'ala,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu).” Dia tidak mengatakan, (فَآ وَاكَ) “Melindungimu.” Tetapi Dia mengatakan, (فَآوَىٰ) “Pelindungan.”
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” Dia tidak mengatakan, (فَهَدَاكَ) “Menunjukimu.”
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” Tidak mengatakan, (فَأَغْنَاكَ) “Mencukupkanmu.” Mengapa demikian? Jawabannya kerana dua hal: Pertama, dari sisi lafazh. Kedua dari sisi makna.
Adapun yang dari sisi lafazh, yaitu untuk menyesuaikan dengan pangkal ayat, yaitu firman Allah Ta'ala,
۞ وَالضُّحَىٰ ۞ وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ ۞ مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ ۞ وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ ۞ وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ ۞
“Demi waktu dhuha (ketika matahari naik sepenggalah), dan demi malam apabila telah sunyi, Tuhanmu tidak meninggalkan engkau (Muhammad) dan tidak (pula) membencimu, dan sungguh, yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang permulaan. Dan sungguh, kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, sehingga engkau menjadi puas.” (QS. Adh-Dhuhâ: 93: 1-5)
Semua ayat ini diakhiri dengan huruf alif firman Allah Ta'ala,
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰ
Jika kata yang digunakan (فَاَ وَاكَ) maka lafazhnya tidak sesuai.
َوَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَاك
Atau
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَاكَ
Lafazhnya tidak sesuai, tetapi Allah Ta'ala menyusun untaian ayat-ayat dengan akhiran satu huruf (yakni alif maqshurah).
Sisi yang kedua yaitu dari sisi makna, sisi inilah yang lebih penting, “Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia memberikan perlindungan?” Apakah Allah Ta'ala memberikan perlindungan ini khusus bagi Rasulullah atau untuk seluruh umatnya? Tentunya untuk seluruh umatnya, Allah memberikan perlindungan untuknya dan seluruh umat yang tidak terhingga jumlahnya.
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” Apakah Allah khusus memberikan petunjuk-Nya hanya kepada Rasulullah? Tidak, tetapi untuk seluruh umat hingga hari Kiamat kelak.
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” Apakah Allah Ta'ala khusus memberikan kecukupan ini hanya kepada Rasulullah? Tidak, tidak hanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diberi kecukupan, betapa banyak kemenangan yang diraih oleh umat Islam sepanjang sejarah, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Allah menjanjikan kepadamu harta rampasan perang yang banyak yang dapat kamu ambil, maka Dia segerakan (harta rampasan perang) ini untukmu.”
(QS. Al-Fath: 48: 20)
Allah Ta'ala memberikan kecukupan kepada seluruh umat Islam dengan datangnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dengan demikan “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yang yatim” Lalu Dia memberimu perlindungan dan seluruh umat denganmu. “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung.” Lalu Dia memberimu petunjuk dan seluruh umat denganmu. “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan,” Lalu Dia memberimu kecukupan dan seluruh umat denganmu. Demikianlah kondisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” Ingatlah dirimu ketika kamu dulu seorang yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, mudahkan urusannya, usaplah air matanya, tenangkan jiwanya, dan ringankan beban hidupnya.
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya.” Maksud zhahir ayat orang-orang yang meminta-minta adalah meminta-minta harta, seperti orang yang mengatakan, “Berikan aku uang” maka janganlah kamu menghardiknya, kerana Allah Ta'ala berfirman, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” Maka setelah Dia memberimu kecukupan, janganlah kamu menghardik orang yang meminta-minta, ingatlah kondisimu ketika kamu fakir, sekali lagi janganlah kamu menghardiknya.
Maksud meminta-minta ini bisa juga berarti meminta harta atau ilmu, orang yang ingin menuntut ilmu janganlah kamu menghardiknya, berlapang dadalah dalam menghadapinya, kerana seandainya ia tidak butuh dan tidak ada rasa takut kepada Allah Ta'ala, niscaya ia tidak akan datang untuk meminta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya, kecuali orang yang mempersulit pertanyaan, setiap kali anda menjawab ia bertanya, “Kenapa ini haram, kenapa yang ini halal, kenapa Allah Ta'ala mengharamkan riba dan menghalalkan jual-beli, kenapa Allah Ta'ala mengharamkan menikah dengan saudara sepersusuan, dan sebagainya.” Maka orang seperti ini memang seharusnya anda hardik dan memarahinya.
Sebagaimana perlakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap salah seorang Anshar dan Zubair bin Al-Awwam radhiyallahu anhu yang berselisih tentang sumber air yang mengaliri kebun mereka, kebun Zubair radhiyallahu anhu terletak di atas kebun seorang Anshar itu, kemudian keduanya berselisih, orang Anshar itu berkata kepada Zubair, “Jangan kamu membendung air yang mengalir ke kebunku!” Sementara Zubair berkata, “Kedudukan kebun aku lebih tinggi dari kebunmu, maka aku lebih berhak!” Kemudian keduanya berselisih dan mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan baginda bersabda, “Wahai Zubair! alirkan ke kebunmu, kemudian setelah selesai alirkan ke kebun tetanggamu!” Ini adalah hukum. Tetapi orang Ashar itu berkata, “Apakah kerana ia adalah sepupumu wahai Rasulullah, katakan!” Kemarahan telah menyebabkannya berkata demikan, Naudzu Billah. Zubair bin Al-Awwam bin Shafiyyah binti Abdul Muthallib paman Rasulullah, kemudian Rasulullah marah dan kembali bersabda, “Wahai Zubair! Alirkan ke kebunmu, hingga sampai ke pematang, kemudian setelah selesai alirkan ke kebun tetanggamu!”
[Shahih Al-Bukhari no. 2360, 2361 dan Muslim no. 2357]
Kesimpulannnya, janganlah kamu menghardik seseorang yang bertanya tentang ilmu, hadapilah dengan berlapang dada, ajarkan sampai ia memahaminya, khususnya pada zaman kita sekarang ini, ada seseorang yang bertanya kepada anda tetapi hatinya jauh di sana, anda menjawab dengan benar tetapi ia salah memahaminya, kemudian ia pergi dan menyampaikannya kepada orang lain, “Fatwa fulan demikian-demikian, oleh kerana itu, jangan sampai anda melepaskan orang yang bertanya kepadamu hingga ia benar-benar paham.”
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan.” Nikmat yang Allah Ta'ala berikan kepadamu hendaknya kamu menyiarkannya, dengan mengucapkan, “Al-hamdulillah yang telah menganugerahkan ilmu kepadaku, harta, anak dan sebagainya.” Menyiarkan nikmat Allah Ta'ala itu melalui dua cara yaitu menyiarkannya dengan lisan dan amal perbuatan.
1) Melalui lisan, seperti anda katakan, Allah Ta'ala telah menganugerahkan nikmat-Nya kepadaku, dahulu aku fakir kemudian Allah Ta'ala memberikan aku kecukupan, aku dahulu tidak memiliki ilmu apa-apa kemudian Allah Ta'ala mengajariku banyak ilmu dan yang lainnya.
2) Melalui amal perbuatan; memperlihatkan tanda-tanda kenikmatan Allah Ta'ala ini, jika anda kaya, maka janganlah memakai pakaian seperti orang fakir, tetapi pakailah pakaian yang sesuai dengan kondisimu, begitu juga rumah, kendaraan dan segala hal, hendaknya orang lain mengetahui nikmat Allah yang diberikan kepadamu, ini semua termasuk menyiarkan nikmat Allah Ta'ala. Termasuk juga jika Allah Ta'ala telah mengamanatkan ilmu kepadamu, hendaknya kamu menyiarkan ilmu itu dan mengajarkannya, kerana orang lain membutuhkan. Semoga Allah Ta'ala mengarahkan kita semua pada jalan yang Dia cintai dan ridhai.
Allah ﷻ berfirman:
۞أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ، فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ، وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ۞
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”
(QS. Al-Mâ'ûn: 107: 1-3)
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah juga menyebutkan ayat-ayat lain yang memotivasi untuk bersikap lemah-lembut terhadap anak-anak yatim dan orang-orang yang lemah, di antaranya adalah firman Allah Ta'ala,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak mendorong memberi makan orang miskin.”
(QS. Al-Mâ'ûn: 107: 1-3)
“Tahukah kamu,” menurut sebagian ulama artinya beritahulah saya! maksudnya beritahulah saya tentang keadaan orang ini, bagaimana kondisinya? “Ad-Diin,” artinya pahala, ia mendustakan pahala dan hari akhir, tidak yakin akan kedatangannya, cirinya suka, “menghardik anak yatim,” seperti mendorongnya dengan kasar dan tidak mengasihaninya.
“Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,” maksudnya tidak menganjurkan orang lain untuk memberi makan orang miskin, di samping itu ia juga tidak melakukannya, kondisi ini lebih buruk. Naudzu Billah, kerana jika ia benar-benar beriman dengan hari pembalasan, pasti ia akan mengasihi orang-orang yang Allah Ta'ala perintahkan untuk dikasihi dan menganjurkan orang lain untuk memberi makan kepada mereka.
Dalam surat Al-Fajr, Allah Ta'ala berfirman,
“Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Fajr: 89: 17-18)
Ayat ini lebih mengena daripada yang terdapat dalam surat Al-Mâ'ûn, kerana firman Allah Ta'ala, “Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim,” lebih banyak memuliakannya daripada hanya berdiam diri tanpa memuliakannya sungguh anak yatim itu wajib dimuliakan.
Renungkan firman Allah Ta'ala, “Sekali-kali tidak! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim dan kamu tidak saling mengajak memberi makan orang miskin.” Haknya orang miskin itu adalah diberi makan dan dipenuhi kebutuhannya, sedangkan anak yatim itu dimuliakan. Jika anak yatim itu kaya, maka ia dimuliakan kerana yatimnya, dan tidak perlu diberi makan kerana ia sudah kaya, tetapi jika ia fakir maka ia dimuliakan kerana yatimnya dan diberi makan kerana kefakirannya, tetapi kebanyakan orang tidak memahami dan tidak memperdulikan masalah ini.
Ketahuilah, bahwa bersikap lemah lembut terhadap orang-orang yang lemah, anak yatim dan anak-anak kecil itu dapat mendidik hati kita menjadi lemah-lembut, penuh kasih sayang serta selalu kembali kepada Allah Ta'ala, hal itu tidak dapat ditemukan kecuali bagi orang yang mencubanya, maka hendaknya anda menyayangi anak kecil, mengasihi anak yatim dan orang-orang fakir sehingga dalam hatimu itu terdapat kelembutan, kehalusan dan kasih sayang. “Sungguhnya Allah akan merahmati hamba-hamba-Nya yang mengasihi.” Kita memohon kepada-Nya, semoga kita semua mendapatkan karunia kasih sayang-Nya. Sungguh Dia Mahamulia lagi Mahadermawan.
Hadits no. 260.
عَنْ سَعْدٍ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِتَّةَ نَفَرٍ، فَقَالَ الْمُشْرِكُونَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اُطْرُدْ هَؤُلَاءِ لَا يَجْتَرِئُونَ عَلَيْنَا، وَكُنْتُ أَنَا وَابْنُ مَسْعُودٍ وَرَجُلٌ مِنْ هُذَيْلٍ وَبِلاَلٌ وَرَجُلاَنِ لَسْتُ أُسَمِّيهِمَا، فَوَقَعَ فِي نَفْسِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَقَعَ فَحَدَّثَ نَفْسَهُ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: { وَلَا تَطْرُدْ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَوٰاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ } ( الأنعام : ٥٢ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Sa'ad bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu dia berkata, “Pada suatu hari, kami berenam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang-orang musyrik berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Usirlah mereka itu! Mereka itu tidak layak bersama kita, waktu itu aku (Sa'ad) bersama Ibnu Mas'ud, seorang lelaki dari bani Hudzail, Bilal dan dua orang lelaki tidak yang tidak aku kenal namanya. Kemudian dalam hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbesit sesuatu yang dikatakan itu -menurut kehendak Allah Ta'ala-, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata dalam batinnya, lalu Allah Ta'ala menurunkan firman-Nya, “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya pada waktu pagi dan petang hari, sedangkan mereka sangat mengharapkan keridhaan-Nya.”
(QS. Al-An'âm: 6: 52)
[Shahih Muslim no. 2413]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, ia berkata, “Pada suatu hari, kami berenam bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Hadits ini menerangkan ketika awal mula datangnya Islam di Mekah, kerana Sa'ad bin Abi Waqqash termasuk sahabat yang pertama kali masuk Islam, ketika ia masuk Islam diikuti oleh banyak orang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa orang yang pertama kali masuk Islam adalah Abu Bakar, selanjutnya Khadijah radhiyallahu anha dan Waraqah bin Naufal, orang-orang ini berjumlah enam, di antaranya adalah Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, ia adalah seorang miskin yang menggembala kambing, begitu juga Bilal bin Abi Rabah seorang hamba sahaya, mereka duduk-duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memperhatikan dan mengambil setiap apa yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara para pembesar kaum musyrikin juga duduk-duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka berkata, “Usirlah mereka itu!” Mereka mengatakan ucapan ini untuk menghina para sahabat yang berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kemudian dalam hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbesit sesuatu, lalu baginda berpikir tentang hal itu, kemudian Allah Ta'ala langsung menurunkan ayat ini,
“Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Rabbnya pada waktu pagi dan petang hari, sedangkan mereka sangat mengharapkan keridhaan-Nya.”
(QS. Al-An'âm: 6: 52)
Allah Ta'ala melarang keras untuk mengusir para sahabat itu, walaupun mereka tidak ada berharga di hadapan masyarakat, tetapi mereka begitu berharga di sisi Allah Ta'ala, kerana mereka selalu menyeru nama Allah Ta'ala di waktu pagi dan petang hari, mereka memohon keridhaan dan surga-Nya yang tinggi dan berlindung dari siksa api neraka.
Mereka berdoa dan beribadah kepada Allah Ta'ala, kerana ibadah itu mencakup doa, misalnya seseorang mengatakan dalam shalatnya, “Wahai Tuhanku, ampunilah aku! Wahai Tuhanku, berikan aku kebaikan dunia dan akhirat, semoga keselamatan tercurah kepada kita dan hamba-hamba Allah yang shalih dan sebagainya. Sesungguhnya orang yang beribadah juga hendaknya beribadah hanya untuk meraih ridha Allah Ta'ala.
Firman Allah Ta'ala, “Sedangkan mereka sangat mengharapkan keridhaan-Nya.” Peringatan terhadap ikhlas, kerana ikhlas itu memiliki peranan penting dalam hal diterima tidaknya suatu amalan dan ketinggian derajat seseorang di sisi Tuhannya. Seorang yang ikhlas dalam amal perbuatannya, maka Allah akan meridhai dan membalasnya dengan pahala di sisi-Nya, betapa banyak orang yang shalat dan di sampingnya ada orang lain yang ikut shalat bersamanya, dimana kedudukan, pahala dan ganjaran mereka di sisi Allah bagaikan langit dan bumi, itu kerana keikhlasan niat salah satu dari mereka berdua.
Maka hendaknya seseorang benar-benar memelihara keikhlasan niatnya dalam beribadah, tujuan ibadahnya tidak untuk mencari kehidupan dunia, tidak ada tujuan kecuali untuk meraih ridha dan pahala di sisi-Nya sehingga ia benar-benar meraih kedudukan yang tinggi di dunia dan akhirat.
Dari hadits ini kita dapat memetik pelajaran bahwa setiap orang harus mencari sahabat yang baik yaitu orang-orang yang menyeru kepada Allah Ta'ala pada pagi dan petang hari, tidak memilih teman-teman dari kalangan terpandang, atau pejabat, bahkan hendaknya menghindari berteman dengan mereka, kecuali untuk tujuan kemaslahatan, seperti ingin menyampaikan amar makruf nahi mungkar, urusan dakwah umat, dan sebagainya, ini adalah hal yang bagus.
Tetapi jika hanya sebatas senang bergaul dengan mereka, dan hanya kerana ingin mendapat penghormatan dengan duduknya bersama para pembesar, para menteri, para pejabat atau pemerintah, maka tujuan ini sama sekali tidaklah mulia, yang lebih mulia adalah jika bergaul dengan orang-orang yang lebih bertakwa kepada Allah, baik dia itu kaya atau miskin, jelata atau raja, tujuannya hanya untuk meraih ridha Allah Ta'ala dan berdasarkan atas kecintaan terhadap orang yang mencintai-Nya.
Sungguh telah merasakan manisnya iman seseorang yang mencintai orang yang dicintai Allah, memusuhi setiap yang dimusuhi-Nya, mencintai dan membenci kerana Allah, kita memohon kepada-Nya semoga menjadikan kita semua seperti demikian, menganugerahkan rahmat-Nya kepada kita, sungguh Dia Maha Pengasih dan semoga shalawat senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan semua sahabatnya.
Hadits no. 261.
وَعَنْ أَبِي هُبَيْرَةَ عَائِذِ بْنِ عَمْرٍو الْمُزَنِيِّ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ بَيْعَةِ الرِّضْوَانِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ أَبَا سُفْيَانَ أَتَى عَلَى سَلْمَانَ وَصُهَيْب وَبِلاَلٍ فِي نَفَرٍ فَقَالُوا: مَا أَخَذَتْ سُيُوفُ اللَّهِ مِنْ عَدُوِّ اللَّهِ مَأْخَذَهَا، فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَتَقُولُونَ هَذَا لِشَيْخِ قُرَيْشٍ وَسَيِّدِهِمْ؟ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبرهُ فَقَالَ: يا أَبَا بَكْر لَعَلَّكَ أَغْضَبْتَهُم؟ لَئِنْ كُنْتَ أَغْضَبْتَهُمْ لَقَدْ أَغْضَبْتَ رَبَّكَ ؟ فَأَتَاهُمْ فَقَالَ: يَا إِخْوَتَاهُ أَأَغْضَبْتُكُمْ؟ قَالُوا: لَا، يَغْفِرُ اللَّهَ لَكَ يَا أُخَيَّ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata mengenai riwayat ini, bahwa suatu ketika Abu Sufyan melewati Salman, Shuhaib dan Bilal, mereka semua dulunya adalah hamba sahaya, Shuhaib dari Romawi, Bilal dari Habsyah dan Salman dari Persia, ia melewati mereka dan tiba-tiba mereka berkata kepadanya, “Pedang-pedang Allah belum mengambil haknya dari musuh-musuh-Nya,” maksudnya mereka belum membenahi diri atas apa yang dilakukan oleh para tuan mereka dari Quraisy, yaitu orang-orang yang dahulunya menyiksa dan menyakiti mereka kerana menganut agama Allah Ta'ala, seolah-olah Abu Bakar radhiyallahu anhu mengecam atas tindakan mereka itu, kemudian ia berkata, “Apakah kalian mengatakan demikan kepada pembesar dan pemimpin suku Quraisy?”
Kemudian Abu Bakar pergi berjumpa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menceritakan mengenai hal itu. Tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Abu Bakar, bisa jadi ucapanmu itu menyebabkan mereka marah? Kalau demikian, berarti kamu telah menyebabkan murka Allah,” padahal mereka bertiga dahulunya hamba sahaya, di mata manusia tidak ada harganya, kemudian Abu Bakar langsung mendatangi mereka dan menanyakan, “Saudara-saudaraku, apakah ucapanku tadi menyebabkan kalian marah?” Mereka menjawab, “Tidak, semoga Allah mengampunimu wahai saudaraku!”
Hadits ini menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh merasa lebih tinggi di hadapan fakir miskin dan orang-orang lemah yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat, kerana penghargaan yang sebenarnya adalah di sisi Allah Ta'ala, sebagaimana firman-Nya,
“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Hujurât: 49: 13)
Maka hendaknya seseorang rendah hati terhadap orang-orang mukmin, walaupun mereka tidak memiliki kedudukan terpandang, kerana ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui firman-Nya,
“Dan berendah hatilah engkau terhadap orang yang beriman.” (QS. Al-Hijr: 15: 88)
Hadits ini menunjukkan kehati-hatian sahabat Abu Bakar radhiyallahu anhu, kesungguhannya untuk membebaskan tanggungannya, kerana setiap orang hendaknya demikian, bahkan setiap orang yang menyakiti orang lain dengan ucapan, perbuatan, mengambil harta, cacian, atau makian, ia wajib meminta maaf di dunia, sebelum dibalas di akhirat kelak, kerana seseorang jika ia belum mengambil haknya di dunia, maka ia pasti akan mengambilnya di hari kiamat kelak, ia akan mengambil sesuatu yang paling mulia dari kebaikan seseorang, berupa amal shalih yang sangat dibutuhkannya pada hari itu.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Tahukah kamu siapakah orang bangkrut itu?” Para Sahabat Radhiyallahu anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) shalat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil lalu ditimpakan padanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.”
[Shahih Muslim no. 2581]
Hadits no. 262.
وَعَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا » وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا ». رَوَاهُ البُخَارِيّ.
Daripada Sahl bin Sa'ad radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim berada seperti ini dalam surga.” Baginda memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan merenggangkan sedikit antara kedua jari itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5304, 6005]
Hadits no. 263.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « كَافِل الْيَتِيْمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ. أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ » وَأَشَارَ الرَّاوِي وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang mengambil tangungjawab anak yatim sama ada anak yatim itu milikinya atau yang lainnya, maka aku dan orang yang menanggungnya di surga seperti dua jari ini.”
Malik bin Anas yang merupakan perawi hadis ini menunjukkan dengan memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah.
[Shahih Muslim no. 2983]
Hadits no. 264.
وَعَنْهَ قَالَ: قَالَ رَسَولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَيْسَ الْمِسْكِيتنُ الَّزِي تَرُدُّهُ التَّمْرَةُ وَاتَّمْرَتَانِ، وَلَا الُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ إِنَّمَا الْمِسْكِينُ الَّزِي يَتَعَفَّفُ » مُتَّفَقُ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta, kemudian ia menolak satu atau dua biji kurma, satu atau dua suap makanan, tetapi orang yang miskin itu adalah orang yang menjaga harga dirinya (dari perbuatan haram dan minta-minta).”
[Shahih Al-Bukhari no. 4539 dan Muslim no. 1039]
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang lain disebutkan:
“Orang miskin itu bukanlah orang yang berkeliling meminta-minta, kemudian ia menolak satu atau dua biji kurma, satu atau dua suap makanan, tetapi orang miskin itu adalah yang tidak mendapatkan kekayaan yang mencukupinya, tidak menemukan harta yang dapat disedekahkannya dan tidak meminta kepada orang lain.”
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata mengenai riwayat dari Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim berada seperti ini dalam surga.” Baginda memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan merenggangkan sedikit antara kedua jari itu.”
Jari telunjuk adalah yang terletak antara jari tengah dan ibu jari, disebut (السَّبَا بَةُ) (mencaci) kerana orang selalu menunjukkan dengannya ketika ia mencaci orang lain, ia mengatakan sesuatu kemudian menunjukkan dengannya.
Disebutkan juga dengan (السَّبَا حَةُ) (bertasbih), kerana tatkala seseorang bertasbih ia berisyarat dengannya. Oleh kerana itu seseorang dalam shalatnya menunjukkan jari telunjuknya ketika duduk di antara dua sujud dan berdoa, “Ya Allah, ampunilah dan rahmati aku!” Setiap kali ia berdoa ia mengangkatnya, ia berisyarat kepada Allah Ta'ala, kerana Dia berada di langit, begitu juga ia menunjukkannya pada waktu tasyahud ketika berdoa,
“Semoga keselamatan selalu tercurah kepadamu wahai Nabi, keselamatan tercurah kepada kita. Ya Allah, curahkan shalawat atas Muhammad. Ya Allah, curahkan keberkahan kepada Muhammad.”
[Shahih Al-Bukhari no. 831, 835, 1202, 623, 6065, 7381 dan Muslim no. 402, 403, 404].
Pada setiap untaian doa yang ia panjatkan ia mengisyaratkan jari telunjuknya sebagai isyarat tinggi dan keesaan-Nya.
“Rasulullah memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya dengan merenggangkan sedikit antara kedua jari itu.” Maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan keduanya kemudian merenggangkannya, artinya bahwa orang yang memelihara anak yatim itu berdekatan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga, ini adalah motivasi untuk memelihara anak yatim, yang dimaksud dengan memelihara anak yatim adalah menunaikan semua kebutuhannya yang bermanfaat baginya baik di dunia maupun di akhirat, kebutuhan di akhirat seperti pendidikan, pengarahan, pengajaran dan sebagainya. Kebutuhan di dunia seperti makan, minum, tempat tinggal dan lainnya. Batas anak yatim adalah baligh, bila anak yatim itu telah menginjak usia baligh, maka status yatimnya hilang, usia sebelum baligh itulah yang disebut dengan yatim. Hal ini jika yang meninggal adalah ayahnya, tetapi jika yang meninggal ibunya, maka ia tidak disebut yatim.
Begitu juga hadits yang setelahnya, di dalamnya juga diterangkan tentang pahala bagi orang yang memelihara dan merawat anak yatim.
Adapun hadits yang ketiga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang miskin itu bukanlah orang yang meminta-minta, kemudian ia menolak satu atau dua biji kurma, satu atau dua suap makanan, tetapi orang yang miskin itu adalah orang yang menjaga harga dirinya (dari perbuatan haram dan minta-minta).” Maksudnya orang yang disebut miskin itu bukanlah yang meminta-minta kepada orang lain, jika kamu memberi satu atau dua biji kurma atau satu dua suap makanan ia menolaknya, tetapi orang yang benar-benar miskin adalah orang yang menjaga harga dirinya.
Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
“Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 273)
Inilah yang disebutkan orang miskin yang sebenar-benarnya, ia tidak meminta-minta tetapi diberi, sebagaimana orang kata, “Orang yang bisa menjaga diri pasti terpenuhi.” Tidak ada yang mengetahui tentang dirinya. Inilah orang miskin yang sebenarnya yang harus dicari untuk dibantu dan dikasih sayangi.
Dalam hadits ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa hendaknya orang-orang miskin itu bersabar dan menanti pertolongan dari Allah, hendaknya tidak meminta-minta kepada orang lain yang terkadang mereka memberi dan menolaknya, kerana jika seseorang menggantungkan dirinya kepada makhluk, maka ia akan dipasrahkan kepada mereka, seperti yang terdapat dalam sebuah hadits,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang menggantungkan dirinya pada sesuatu, maka ia akan dipasrahkan padanya.”
[HR. Ahmad no. 18781, al-Hâkim no. 7503, dihasankan Syaikh Al-Albâni dalam Shahîh Sunan At-Tirmidzi no. 1691]
Apabila anda dipasrahkan kepada makhluk, maka anda akan lupa terhadap Sang Khaliq. Tambatkanlah semua urusanmu kepada Allah Ta'ala, tambatkanlah harapan, rasa takut, ketawakalan, dan ketergantunganmu hanya kepada Allah semata, sungguh Dialah yang mencukupkanmu, sebagaimana firman-Nya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalâq: 65: 3)
Setiap apa yang diperintahkan Allah kepadanya, dia pasti menyampaikannya kepada anda, tidak ada sesuatu pun yang mampu menghalangi dan meragukannya.
Orang miskin harus bersabar, menahan diri untuk tidak meminta-minta, kecuali keadaannya sangat terpaksa. Jika bangkai sudah menjadi halal baginya, maka halal pula baginya meminta-minta, sebelum kondisinya seperti itu, selagi ia masih mampu menjaga dirinya untuk tidak meminta-minta, walaupun hanya memakan sepotong roti atau sebutir kurma, maka hendaknya ia tidak meminta. Masih ada orang yang pekerjaannya selalu meminta, meminta dan meminta hingga datang hari kiamat dan wajahnya tidaklah berdaging.
Hendaknya seseorang waspada jangan sampai ia menyerupai orang yang selalu meminta-minta sementara kehidupannya berkecukupan, ketika ia meninggal ternyata ia meninggalkan harta yang berlimpah.
Jika anda melihat penampilannya pasti anda akan mengatakan orang itu sangat miskin, ia mengganggu orang lain dengan meminta-minta, mereka meminta hanya ingin memiliki rumah seperti rumah orang kaya, mobil dan pakaian yang sama seperti mereka, ini merupakan tindakan bodoh, seperti sebuah hadits,
“Memuaskan diri dengan sesuatu yang tidak diberikan kepadanya seperti halnya orang yang memakai pakaian palsu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5219 dan Muslim no. 2130]
Puaslah dengan pemberian Allah, kaya atau miskin sesuaikanlah dengan kondisimu.
Anda ingin mengikuti gaya hidup orang kaya, ingin mobil mewah, rumah megah, dan sebagainya, kemudian anda pergi untuk meminta-minta, baik meminta-mintanya itu secara langsung sebelum anda membeli perangkat yang anda inginkan ini, ataupun sesudahnya, lalu anda berangkat (untuk meminta-minta) dan berkat, “Saya mempunyai utang” dan seumpanya, semua ini adalah kesalahan besar, merasa cukuplah dengan apa yang Allah berikan kepada anda, mintalah rezeki kepada-Nya yang tidak akan menyebabkan kamu menyeleweng, rezeki yang mencukupkanmu dari orang lain. Semoga Allah memberikan keselamatan dan hidayah-Nya kepada kita semua.
Hadits no. 265.
وَعَنْهُ عَنِ التَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلسَّا عِي عَلَى الْأَرْمَلَةِ وَالْمِسْكِينِ كَالْمُجَاهِدِفِي سَبِيلِ اللهِ » وَأَحْسِبُهُ قَالَ: « وَكَالْصَّائِمِ الَّزِي لَا يَفْتُرُ وَكَالصَّائِمِ لَا يُفْطِرُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Orang yang membantu keperluan seorang ibu tunggal (janda) dan orang miskin samalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah.”
Rasulullah juga bersabda, “Dan seperti orang yang mendirikan shalat malam tanpa henti, dan seperti orang berpuasa tanpa berbuka.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6007 dan Muslim no. 2982]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab, “Bab Menyayangi Anak Yatim, Anak Perempuan, Orang Yang Lemah Dan Orang Miskin Serta Berbuat Baik, Bermurah Hati Dan Merendah Diri Terhadap Mereka.” Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang membantu keperluan seorang ibu tunggal (janda) dan orang miskin samalah seperti orang yang berjuang di jalan Allah.” Saya kira Rasulullah juga bersabda, “Dan seperti orang yang mendirikan shalat malam tanpa henti, dan seperti orang berpuasa tanpa berbuka.”
“Orang yang membantu,” maksudnya adalah orang yang bertanggungjawab dalam mencukupi kebutuhan hidup mereka. “Araamil,” artinya adalah orang-orang yang tidak memiliki keluarga, baik laki-laki ataupun perempuan. Miskin adalah mereka yang membutuhkan (fakir). Oleh kerana itu, barangsiapa yang membantu mereka, yakni menghidupi para ibu tunggal dan orang-orang miskin, maka ia berhak mendapatkan janji ini, yaitu pahalanya seperti seorang mujahid di jalan Allah, atau seperti orang yang mendirikan shalat malam tanpa henti dan seperti orang berpuasa tanpa berbuka.
Hadits ini menunjukkan kebodohan sekelompok orang yang bepergian ke sana kemari meninggalkan keluarga mereka di rumah bersama para wanita yang lemah, tidak ada yang menanggungnya sehingga mereka terlantar. Mereka membutuhkan nafkah dan pendidikan, tetapi orang yang seharusnya bertanggungjawap malah bepergian ke berbagai tempat, padahal tidak ada sesuatu yang mendesak, hanya kerana ada sesuatu dalam diri mereka. Mereka menyangka bahwa bepergian lebih utama daripada berdiam diri di rumah bersama keluarga, mendidik dan memelihara mereka. Ini adalah pendapat yang salah, kerana diamnya mereka bersama keluarga, mengarahkan putra putri mereka, istri dan orang-orang yang bertalian dengannya itu lebih utama daripada mereka keluar dengan dalih mengajarkan atau mendakwahi orang-orang, sedang mereka meninggalkan keluarga yang lebih berhak untuk dinasehati dan diarahkan daripada orang lain. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.”
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 214)
Seharusnya mereka memulai berdakwah terhadap keluarga dan kerabat dekatnya sebelum kepada orang yang lain. Sementara orang yang pergi berdakwah ke jalan Allah sehari atau dua hari, kemudian ia kembali ke pangkuan keluarganya dalam waktu terdekat, maka hal ini tidak menjadi masalah, tetapi pembicaraan kita mengenai sekelompok yang pergi meninggalkan keluarganya selama empat, lima bulan atau setahun, sementara kuatnya tiupan angin mendera keluarganya, maka tanpa diragukan lagi bahwa mereka adalah orang-orang yang lalai di dalam pemahaman mereka terhadap agama Allah Ta'ala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.”
[Shahih Al-Bukhari no. 71, 3116, 7312 dan Muslim no. 1037]
Orang yang paham terhadap agama adalah orang yang mengetahui berbagai masalah agama dengan baik, memahami bagaimana cara masuk rumah dari pintunya sehingga ia menunaikan semua kewajibannya.
Hadits no. 266.
وَعَنْه عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ: « شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيْمَةِ، يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيْهَا، وَيُدْعَى إِلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا، وَمَنْ لَمْ يُجِبِ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللهَ وَرَسُولُهُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seburuk-buruk makanan adalah makanan pesta walimah, yaitu ketika orang-orang yang membutuhkan (makanan) tidak diundang, sementara orang yang tidak menginginkan diundang, barangsiapa yang tidak memenuhi undangan maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5177 dan Muslim no. 1432]
Dalam satu riwayat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim daripada Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seburuk-buruk makanan ialah makanan pesta walimah, (yang pada acara itu) orang-orang kaya diundang, sementara orang-orang miskin tidak dijemput ke majlis tersebut.”
Penjelasan.
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seburuk-buruk makanan adalah makanan pesta walimah,” yang dimaksud dengan walimah ini bisa jadi walimah pernikahan atau yang lebih umum, yaitu pesta yang mengajak untuk berkumpul, baik itu pesta pernikahan atau yang lainnya. Insya Allah penjelasannya akan diketengahkan nanti pada segmen hukum.
Kemudian dijelaskan bahwa maksud dari walimah yang makanannya paling buruk ini adalah pesta yang hanya mengundang orang-orang yang tidak mahu menghadirinya, yaitu orang-orang kaya, biasanya orang kaya jika diundang tidak hadir, kerana ia merasa cukup dengan hartanya, sementara para fakir miskin tidak diundang, padahal orang fakirlah yang apabila diundang pasti akan datang, pesta walimah yang demikian itu bukanlah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, kerana ia tidak mengundang orang yang lebih berhak untuk diundang yaitu fakir miskin, ia justru mengundang orang-orang kaya.
Walimah itu hukumnya adalah sunnah muakkadah, apalagi walimah pernikahan, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu anhu,
أَوْلِمْ وَلَوْبِشَاةٍ
“Adakan pesta walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.”
[Shahih Al-Bukhari, no. 2049, 3937 dan Muslim, no. 1427]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mengadakan walimah dengan sabdanya, “Walaupun hanya dengan seekor kambing.” Maksudnya walaupun sangat sederhana, seekor kambing bagi Abdurrahman bin ‘Auf adalah sesuatu yang sedikit kerana ia termasuk orang yang kaya.
“Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka ia telah bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.” Hal ini menunjukkan bahwa memenuhi undangan itu hukumnya wajib, kerana tidak ada sesuatu yang jadi maksiat apabila ditinggalkan maka ia hukumnya wajib, dengan beberapa syarat:
1). Orang yang mengundang adalah orang muslim, jika ia non muslim, maka tidak wajib memenuhinya, tetapi diperbolehkan untuk memenuhinya apalagi jika terdapat kemaslahatan baginya, misalnya jika seorang non muslim mengundangmu pada acara pesta pernikahan, maka kamu boleh memenuhinya, apalagi jika terdapat kemaslahatan baginya seperti membuatnya tertarik kepada dengan Islam. Sebagaimana yang terjadi pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah bahwa seorang Yahudi mengundangnya lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memenuhi undangannya dengan menghadiahkan roti untuknya.
Adapun syarat kejujuran, maka keharusan jujurnya orang yang mengundang tidaklah masuk ke dalam syarat, anda boleh memenuhi undangan orang fasik apabila diundang, seperti seseorang yang jarang shalat berjamaah, mencuku janggut dan merokok, anda boleh memenuhi undangannya seperti halnya undangan yang lain.
Tetapi jika ketidakhadiran kita dapat memberikan masalahat baginya, seperti membuatnya malu dan meninggalkan maksiatnya kerana orang-orang yang diundang tidak memenuhi undangannya, maka anda tidak wajib memenuhi undangannya, tetapi jika tidak ada pengaruh apa-apa, maka penuhilah undangannya kerana ia seorang muslim.
2). Harta orang yang mengundang itu halal, jika hartanya itu haram misalnya berasal dari hasil riba, maka bagi orang yang hartanya itu berasal dari hal yang diharamkan hendaknya seseorang menjaga diri jangan sampai memakannya, tetapi hukum memakan hartanya ini tidak diharamkan, artinya anda tidak diharamkan memakan harta seseorang yang mata pencariannya dari sesuatu yang haram, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memakan makanan orang Yahudi yang merupakan pemakan riba, kerana mereka mengambil dan bermuamalah dengan riba tersebut. Tetapi termasuk tindakan kehati-hatian jika anda menghindari untuk tidak makan dari seseorang yang hartanya haram.
Tetapi jika hartanya bercampur dengan yang haram seperti jual beli yang halal bercampur dengan sesuatu yang haram, maka anda boleh memenuhi undangannya, tidak harus berhati-hati memakan hartanya, kerana kebanyakan orang sekarang ini sulit menghindari dari harta yang haram. Di antara mereka ada yang menipu, selalu bermuamalah dengan riba, para pengawai yang mayoritas dari mereka tidak menjalankan kewajiban tugasnya, mereka selalu terlambat datang, atau selalu keluar kerja sebelum habis waktunya, gaji orang yang seperti ini tidaklah halal, bahkan ia memakan harta yang haram kerana kadar kelalaiannya dalam menjalankan tugas, kerana ia sudah komitmen dengan akad pada suatu perusahaan, misalkan jam kerjanya adalah dari jam sekian sampai jam sekian, jika kita perhatikan orang sekarang ini, pasti banyak ditemukan orang yang hartanya bersumber dari yang haram.
3). Tidak terdapat kemungkaran pada acara itu, jika terdapat kemungkaran maka tidak wajib memenuhinya, seperti jika kita mengetahui akan ada acara hiburan nyanyian, minuman memabukkan dan sebagainya, anda tidak wajib memenuhinya kecuali jika anda mampu mengubah kemungkaran itu, maka anda wajib memenuhinya kerana dua sebab; Pertama, menghilangkan kemungkaran, Kedua, memenuhi undangan. Tetapi jika kedatanganmu tidak mampu mengubah kemungkaran itu, maka haram bagi anda untuk memenuhinya.
4). Harus menentukan orang yang diundang, maksudnya seperti, “Wahai fulan, aku mengundangmu agar datang pada acara pesta walimah,” tetapi jika undangan itu bersifat umum, seperti berkata dalam satu kumpulan, “Wahai jamaah, kami akan mengadakan pesta pernikahan, maka kami harapkan kalian untuk hadir,” undangan ini tidak wajib anda penuhi, kerana undangan ini bersifat umum, tidak ditujukan khusus kepada anda. Maka sudah seharusnya menentukan orang yang akan diundang, jika tidak ditentukan, maka undangan itu tidak wajib dipenuhi. kemudian hendaknya seseorang memenuhi setiap undangan, kerana hal itu merupakan hak seorang muslim, kecuali jika ketidakhadirannya itu membawa maslahat yang jelas, maka ikutilah kemaslahatan tersebut.
Hadits no. 267.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّىتَبْلُغَا جَاءَ يَومَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ » وَضَمَّ أَصَابِعَهُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Daripada Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata, “Seorang wanita bersama dua anak perempuannya datang ke rumahku meminta sesuatu, tetapi aku tidak memiliki sesuatu kecuali sebiji kurma, kemudian aku berikan padanya, lalu ia membaginya menjadi dua untuk kedua putrinya, ia tidak memakannya, ia lalu berdiri dan keluar, setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk dan aku menceritakan kepadanya, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuannya, kemudian dia mengasuh mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi penghalang (hijab atau pelindung) baginya dari api neraka.”
“Barangsiapa yang mengasuh dua anak perempuan hingga mencapai baligh, maka di hari Kiamat kelak aku dan orang itu seperti dua jari ini.” Baginda menyatukan kedua jarinya.
[Shahih Muslim no. 2631]
Penjelasan.
Hadits ini mengandung keutamaan seseorang yang memelihara anak perempuan, kerana anak perempuan itu masih lemah dan dianggap rendah, kebanyakan orang tua tidak begitu peduli dan tidak ada perhatian terhadapnya, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengasuh dua anak perempuan hingga mencapai baligh, maka di hari Kiamat kelak aku dan orang itu seperti dua jari ini.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatukan jari telunjuk dan jari tengahnya, artinya ia akan bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga kelak, apabila ia berhasil memelihara keduanya: dua anak perempuan, dua saudari atau yang lainnya, maka ia akan bersama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga.
“Mengasuh (menanggung)” biasanya berupa pemenuhan kebutuhan fisik, seperti pakaian, makan, minum, tempat tinggal dan lain sebagainya. Begitu juga berupa pemenuhan kebutuhan jiwa (ruh) seperti pendidikan, etika, pengarahan, amar makruf nahi mungkar dan yang selainnya. Dari hadits ini dapat dipetik faedah bahwa seharusnya setiap orang memerhatikan hal-hal yang akan mendekatkan dirinya kepada Allah, bukan urusan dunia saja yang menjadi perhatiannya, harus lebih memprioritaskan kehidupan akhirat kelak.
“Hingga mencapai baligh,” maksudnya hingga kedua anak perempuannya itu menginjak usia baligh, yaitu usia lima belas tahun, atau setelah terdapat tanda-tanda baligh pada perempuan. Tanda-tanda balighnya perempuan ada empat, yaitu:
1). Usianya genap lima belas tahun.
2). Tumbuhnya bulu kemaluan.
3). Mimpi basah.
4). Haid, walaupun ia belum mencapai usia lima belas tahun, maka ia telah baligh.
Hadits no. 268.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: دَخَلَتَ عَلَيَّ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِى شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ وَاحِدَةٍ، فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابَنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ، فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا، فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ: « مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
[Shahih Al-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata mengenai riwayat dari Aisyah radhiyallahu anha, sebuah kisah yang sungguh menakjubkan, ia berkata, “Seorang wanita bersama dua anak perempuannya datang ke rumahku meminta sesuatu.” Aisyah berbuat demikian kerana fakir, ia lalu berkata, “Tetapi aku tidak memiliki sesuatu kecuali sebiji kurma.” -Salah satu rumah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalamnya tidak terdapat makanan kecuali sebiji kurma!- Ia berkata, “Kemudian aku berikan kepadanya, ia lalu membaginya menjadi dua untuk anak perempuannya,” memotongnya menjadi dua bagian, yang sebelahnya diberikan kepada anak yang satu dan sebelah lagi diberikan kepada anak yang kedua, “dan ia tidak memakannya sedikitpun.”
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk,” menemui Aisyah, “Kemudian aku menceritakan kepadanya,” tentang kisah wanita yang menakjubkan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuannya, kemudian dia mengasuh mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi penghalang (hijab atau pelindung) baginya dari api neraka.” Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang diuji,” maksudnya bukan ujian keburukan, tetapi barangsiapa yang ditakdirkan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cubaan. Dan kamu dikembalikan hanya kepada Kami.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 35)
Barangsiapa yang ditakdirkan memiliki dua anak perempuan, kemudian ia memelihara dan mendidiknya sampai dewasa, maka anak perempuan tersebut akan menjadi penghalang dari neraka pada hari Kiamat, Allah Ta'ala akan menghalanginya dari siksa api neraka kerana telah mendidik anak-anak perempuannya dengan baik, kerana wanita itu lemah, tidak bisa menjadi tulang punggung keluarga sebagaimana laki-laki, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Laki-lak (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), kerana Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan kerana mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisâ: 4: 34)
Orang yang paling berkewajiban untuk menghidupi keluarga adalah laki-laki, sedangkan tugas utama wanita adalah di rumah, melayani, membantu suami, dan mendidik anak-anaknya. Wanita bukanlah untuk bekerja dan mencari penghidupan, kecuali menurut budaya barat yang kafir dan bangsa-bangsa yang serumpun dengan mereka, yaitu orang-orang yang tersugesti lalu mengikuti budaya mereka, dimana kaum perempuan bekerja seperti kaum laki-laki di dalam perusahaan, perdagangan dan perkantoran, saling bercampur satu sama lainnya, di barat dan bangsa-bangsa yang serumpun dengannya, wanita yang lebih cantik akan mendapatkan pekerjaan yang lebih menggiurkan.
Sementara di negeri kita (Arab Saudi) ini -Alhamdulillah- semoga Allah melanggengkan karunia ini- pemerintah mengatur dalam undang-undang yang telah kita baca bahwa wanita tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah, baik di lapangan umum atau khusus, kecuali yang berhubungan dengan wanita, seperti sekolah-sekolah wanita dan sebagainya. Semoga Allah menambahkan keteguhan dan karunia ini, dan mencegahnya dari pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan seperti yang ada pada masyarakat sekarang ini.
Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari hadits ini.
1). Salah satu rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan rumah paling mulia, di dalamnya terdapat wanita yang baginda cintai, namun tidak ditemukan sesuatu pun kecuali hanya sebiji kurma. Sementara kita di negeri ini setiap kali ingin makan maka tersaji lebih dari lima macam hidangan, kenapa pintu rezeki dunia dibukakan kepada kita sementara mereka tidak? Apakah kerana kita lebih dicintai Allah dibandingkan mereka? Demi Allah tidak, mereka justru lebih dicintai Allah dibandingkan kita, tetapi karunia Allah diberikan kepada yang dikehendaki, kita diuji dengan melimpahnya kenikmatan, pada masa sekarang kenikmatan yang diberikan kepada kebanyakan orang malah menjadi sebab keburukan, kehancuran, dan kesombongan sehingga mereka fasik, -Naudzu Billah- kita khawatir siksa Alah akan menimpa kita kerana kebanyakan dari kita sombong dengan kenikmatan ini dan mengingkarinya, mereka malah menjadikannya sebagai sarana kemaksiatan kepada Allah. Kita mohon keselamatan kepada-Nya.
2). Sikap Itsar (mendahulukan orang lain) Para sahabat radhiyallahu anhum, kerana Aisyah radhiyallahu anha tidak memiliki sesuatu, kecuali hanya sebiji kurma, meskipun demikian beliau tetap memberikannya kepada wanita miskin itu, sementara kita yang memiliki banyak harta tetapi ketika datang seorang yang meminta, kita malah menolaknya (tidak memberi). Sebenarnya yang menjadi masalah kenapa kita menolak orang yang meminta-minta adalah kerana kebanyakan dari mereka itu dusta, terkadang ia lebih kaya dari yang dimintai, betapa banyak orang yang pekerjaannya meminta-minta tetapi setelah ia meninggal harta warisannya begitu banyak, hal inilah yang menyebabkan orang tidak memberinya, mereka berdusta dengan memperlihatkan dirinya miskin, lemah, baju lusuh, tetapi itu hanyalah sebuah kedustaan.
3). Di antara para sahabat ada yang kaya dan ada juga yang miskin bahkan fakir, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Rabbmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.”
(QS. Az-Zukhruf: 43: 32)
Seandainya tidak ada perbedaan ini maka sebahagian mereka tidak ada yang dapat mempergunakan sebahagian yang lain, jika kita semua berada dalam posisi yang sama, sementara ada seseorang di antara kita yang membutuhkan, misalnya untuk membangun rumah, kemudian ia mendatangi orang lain dan berkata, “Aku ingin anda membangunkan rumah untukku!” Ia mengatakan, “Aku bukan pekerja bangunan, aku sama sepertimu, aku juga kaya,” ketika kita ingin membuat pintu rumah misalnya, maka orang lain berkata, “Aku bukan pembuatnya, aku kaya sama sepertimu,” maka perbedaan ini menjadikan sebahagian mereka dapat melayani sebahagian yang lain.
“Manusia itu tercipta untuk sebahagian yang lain. Tidak ada beda antara desa dan kota. Sebahagian mereka untuk sebahagian yang lain. Tidak ada yang merasa menjadi budak atau diperbudak.”
4). Keutamaan orang yang berbuat baik kepada anak-anak perempuannya, baik berupa harta, pakaian, berbaik sangka, menjaga diri mereka, kerana wanita adalah orang yang lemah dan terbatas.
5). Seperti yang pernah kita isyaratkan pertama kali, bahwa yang bertugas mencari nafkah dan yang menafkahi adalah laki-laki, sementara kaum wanita cukup di rumah saja menunaikan tugas rumahnya, begitu juga tugas-tugas yang tidak bisa ditunaikan, kecuali oleh wanita, seperti mendidik anak-anak wanita.
Adapun menjadikan para wanita sebagai pegawai yang bergelut bersama kaum laki-laki di satu perkantoran atau sebagai sekretaris, seperti yang terjadi di banyak negara muslim, maka hal ini sungguh tindakan yang salah dan merupakan keburukan besar, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sebaik-baiknya barisan kaum laki-laki adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir. Sementara sebaik-baiknya barisan kaum wanita adalah yang terakhir dan yang terburuk adalah yang pertama.”
[Shahih Muslim no. 440]
Yang demikian itu kerana barisan pertama kaum wanita adalah yang terdekat dengan kaum laki-laki, hal itulah yang menjadikannya terburuk, sedangkan yang terakhir berjauhan dari barisan laki-laki dan hal itulah yang menjadikannya terbaik. Lihatlah bagaimana disunnahkannya jamaah wanita untuk menjauh dari imam, semua itu bertujuan agar jauh dari kaum laki-laki, kita memohon kepada Allah Ta'ala semoga menjaga kita semua dari murka dan siksa-Nya.
Hadits no. 269.
Daripada Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata, “Ada seorang wanita miskin yang membawa kedua anak perempuannya datang kepadaku, setelah itu aku memberinya tiga biji buah kurma, lalu wanita itu memberikan masing-masing satu kurma, sisanya ingin ia masukkan ke mulutnya, tetapi kedua anaknya itu memintanya lagi, maka ia membelah kurma yang ingin ia makan itu menjadi dua, aku takjub dengan sikap wanita itu, selanjutnya aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan baginda bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga baginya, atau membebaskannya dari neraka kerana perbuatannya itu.”
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: جَاءَتْنِى مِسْكِيْنَةٌ تَحْمِلُ ابْنْتَيْن لَهَا، فَأَطْعَمْتُهَا ثَلاَثَ تَمْرَاتٍ، فَأَعْطَتْ كُلَّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا تَمْرَةً وَرَفَعَتْ إِلَى فِيْهَا تَمْرةً لِتَأَكُلهَا، فَاسْتَطْعَمَتْهَا ابْنَتَاهَا، فَشَقَّتِ التَّمْرَةَ الَّتِى كَانَتْ تُرِيْدُ أَنْ تَأْكُلَهَا بَيْنَهُمَا، فَأَعْجَبَنِى شَأْنَهَا، فَذَكَرْتُ الَّذِي صَنَعَتْ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « إِنَّ اللهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ، أََوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مَنَ النَّارِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
[Shahih Muslim no. 2360]
Hadits no. 270.
وَعَنْ أَبِي شُرَيْحٍ جُوَيْلِدِ بْنِ عِمْرٍو الْخُزَاعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَالَ: فَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اَللَّهُمَّ إِنّيِ أُحَرّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ » حَدِيثُ حَسَنُ رَوَاهُ النَّسَا ئِيُّ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ.
Daripada Abu Syuraih Khuwailid bin 'Amr Al-Khuza'i radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ya Allah, sesungguhnya aku menganggap dosa bagi orang yang menyia-nyiakan hak dua orang yang lemah; anak yatim dan wanita.”
[HR. An-Nasa'i dalam Al-kubra no. 9150, Ibnu Majah no. 3678 dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 1015 dan Sahihul Jami no. 2447]
Hadits no. 271.
وَعَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَحْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: رَأَى سَعْدٌ أَنَّ لَهُ فَضْلاََ عَلَى مَنْ دُونَهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلَّا بِضُعَفَاكُِمْ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ هَكَزَا مُرْسَلاََ، فَإِنَّ مُصْحَبَ بْنَ سَعْدِ تَا بِعِيُّ، وَرَوَاهُ الْحَافِظُ أَبُو بَكْرٍ الْبَرْقَانِيَّ فِي صَحِيحِهِ مُتَّصِلاََ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
[Shahih Al-Bukhari no. 2896]
Hadits ini secara mursal. Mus'ab bin Sa'ad merupakan seorang tabi'in. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Bakar Al-Barqani meriwayatkan dalam kitab shahihnya secara muttashil (bersambung) dari ayahnya.
Hadits no. 272.
Daripada Abu Darda 'Uwaimir rahiyallahu anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَعَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ عُوَيْمِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « اِبْغُونِي الضُّعَفَاءَ، فَإِنَّمَا تُنْصَرُونَ، وَتُرْزَقُونَ بِضُعَفَائِكُمْ » رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإسْنَادٍ جَيِّدٍ.
“Carikanlah untukku orang-orang yang lemah; kerana kalian mendapatkan pertolongan dan rezeki berkat keberadaan orang-orang yang lemah di antara kalian.”
[HR. Abu Dawud no. 2594 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 779 dan Sahihul Jami no. 41]
Penjelasan.
Adapun dalam hadits ini, Aisyah radhiyallahu anha, memberinya tiga bijir kurma, kemudian wanita itu memberikan masing-masing anak satu biji kurma, lalu sisanya ingin ia makan, tetapi keduanya anaknya itu memintanya, -yakni kedua anaknya itu melihat kurma yang akan dimakan oleh ibunya itu- dan si ibu belum memakannya, lalu ia membelahnya menjadi dua, akhirnya setiap anak memakan satu setengah kurma, sementara sang ibu tidak memakannya sedikit pun. Kemudian Aisyah menceritakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga baginya, atau membebaskannya dari neraka kerana perbuatannya itu.” Kerana sang ibu tatkala ia memberikan kasih sayang yang luar biasa ini, maka Allah menetapkan baginya balasan surga.
Hadits ini menunjukkan bahwa bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap anak itu termasuk sebab seseorang masuk surga dan terbebas dari siksa api neraka. Semoga Allah memasukkan kita ke dalamnya. Dan hadits yang ketiga setelahnya terhadap hal yang menunjukkan bahwa orang-orang yang lemah itu menyebabkan kemenangan dan turunnya rezeki. Apabila seseorang bersikap lemah lembut terhadapnya, memberikan kepada mereka apa yang Allah anugerahkan kepadanya, maka semua hal tersebut merupakan sebab turunnya kemenangan dan dibukanya pintu-pintu rezeki. Allah Ta'ala menginformasikan bahwa seseorang yang menginfakkan sebahagian rezekinya, maka Allah akan mengantikan untuknya. Allah Ta'ala berfirman,
“Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dialah pember rezeki yang terbaik.” (QS. Sabá: 34: 39)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan