Jumaat, 26 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 34. Berwasiat Kepada Kaum Wanita.

Allah ﷻ berfirman:
۞وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ۞
Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik.(QS. An-Nisâ: 4: 19)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَلَن تَسْتَطِيعُوآ أَن تَعْدِلُوا بَيْن الِنّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا کَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورََارَّحِيمََا۞
Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kamu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, kerana itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan istri yang lain seperti benda yang tergantung (di awan awangan). Dan jika kamu memperbaiki (keadaan yang pincang itu) dan memelihara diri (daripada perbuatan zhalim), maka sesungguhnya, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. An-Nisâ: 4: 129)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab, “Berwasiat kepada kaum wanita.” Maksudnya menasihati agar seseorang memperlakukan para wanita dengan lemah lembut dan untuk selalu bertakwa kepada Allah dalam masalah ini, kerana mereka selalu membutuhkan orang yang menyempurnakannya sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), kerana Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan). 
(QS. An-Nisâ: 4: 34)

Imam An-Nawawi rahimahullah menguatkan masalah ini dengan firman Allah Ta'ala, “Dan bergaullah dengan mereka dengan cara yang baik.” Yaitu pergaulilah kaum wanita dengan cara yang baik.

Al-Mu'aasyarah, artinya bersahabat dengan bergaul, maka hendaknya kita bersahabat dan bergaul dengan kaum wanita dengan cara yang baik.

Al-Ma'ruf, artinya setiap yang dinyatakan baik oleh syariat Islam dan sesuai dengan kebiasaan suatu masyarakat dan termasuk ibrah terhadap sesuatu yang dinyatakan oleh syara'. Apabila syariat telah menetapkan sesuatu, maka hal itu adalah makruf, jika syariat mengingkarinya, maka hal itu merupakan kemungkaran walaupun sudah menjadi kebiasaan suatu masyarakat.

Firman Allah Ta'ala,

“Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. 
(QS. An-Nisâ: 4: 129)

Ayat ini ditujukan baginorang yang memiliki dua istri atau lebih. Allah Ta'ala menjelaskan bahwa semua manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istrinya, walaupun sangat ingin berbuat demikian, kerana banyak faktor di luar kemampuan manusia, seperti rasa cinta, kecenderungan hati dan lain sebagainya.

Tetapi dalam hal-hal yang konret seseorang harus memperlakukannya dengan adil seperti dalam masalah nafkah, bergaul, menggilir, pakaian dan selainnya. Hal ini memungkinkan seseorang untuk berbuat adil, tetapi yang berkaitan dengan hati tidak ada manusia yang mampu berbuat adil, kerana hal tersebut di luar kemampuannya. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Kerana itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan istri yang lain seperti benda yang tergantung (di awan awangan).maksudnya kamu biarkan istrimu yang kamu cenderung terhadapnya, “Seperti tergantungantara langit dan bumi, tidak ada kejelasan, kerana wanita jika melihat suaminya lebih mencintai madunya maka ia akan sangat cemburu, seolah seperti tergantung antara langit dan bumi, tidak memiliki kejelasan.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Dan jika kamu memperbaiki (keadaan yang pincang itu) dan memelihara diri (daripada perbuatan zhalim), maka sesungguhnya, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Yaitu jika kamu mengikuti jalan perbaikan dan bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mengampuni segala sesuatu yang berada diluar kemampuan kalian, akan tetapi Allah akan menyiksa dengan apa yang kalian mampu.

Kedua ayat-ayat dan dalil-dalil ini menunjukkan sikap lemah lembut terhadap wanita memperhatikannya dan menggaulinya dengan cara yang baik. Bahwasanya seseorang tidak akan menuntut hak kepada istrinya dengan sempurna, kerana dia tidak mungkin menunaikan semua kewajibannya dengan sempurna, maka hendaknya saling memaafkan.

Hadits no. 273.
وَعَنْ أَبِي هُريْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فَالَ: قَالَ رَسُرلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اِسْتَوْصُوا بِالِنّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّ الْمَرْأَةَجُلِقَتْ مِنْ ضِلَِِحٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ مَا فِي الِضّلَحِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَه، لَمْ يَزَلْ أَعْوَحَ، فَاسْتَوْصُوا بِالِنّسَاءِ » مُتَّفَقُ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Berilah nasihat kepada kaum wanita kerana wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok ialah bahagian atasnya, jika kamu cuba untuk meluruskannya (dengan cara kasar) maka dia akan patah namun sekiranya kamu membiarkannya maka dia akan tetap bengkok. Oleh itu berilah nasihat dengan sebaik-baiknya kepada kaum wanita.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3331 Muslim no. 1468]

Dalam riwayat Al-Bukhari dan Muslim disebutkan sebagai berikut:

“Wanita itu seperti tulang rusuk, sekiranya kamu meluruskannya secara kasar maka kamu akan mematahkannya, dan jika kamu membiarkannya, maka kamu tetap akan menerimanya, tetapi ia tetap bengkok.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5184, 5186 Muslim no. 1468]

Dalam riwayat muslim disebutkan: “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan kamu tidak dapat meluruskannya dengan apa cara sekalipun, sekiranya kamu melayannya, sama sahaja seperti biasa. Namun, bahagian bengkok itu tetap ada. Sekiranya kamu berusaha untuk meluruskannya, niscaya ia akan patah. Patah itu bermaksud kamu menceraikannya.”

[Shahih Muslim no. 1468]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu tentang etika bergaul dengan wanita, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berilah nasihat kepada kaum wanita,” maksudnya terimalah nasihat yang aku sampaikan kepada kalian, dengan cara berbuat baik terhadap wanita, kerana mereka memiliki lemah akal, agama, pikiran dan kelemahan dalam segala kondisinya, kerana mereka tercipta dari tulang rusuk yang bengkok.

Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan tanpa ayah dan ibu, Allah menciptakan dari tanah, kemudian Allah Ta'ala berfirman, “Jadilah! maka terciptalah ia,” dan ketika Allah hendak menyebarkan penciptaan ini, Dia menciptakan pasangannya, menciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok, maka terciptalah ia dari tulang itu, dan jika kamu bersenang-senang dengan tulang rusuk yang bengkok itu, maka akan tetap bengkok, jika kamu memaksa meluruskannya, maka akan patah.

Begitu juga seorang wanita, jika seseorang bersenang-senang dengannya maka ia akan tetap bengkok dan ia rela dengan yang demikian, jika ingin meluruskannya maka ia tidak akan pernah lurus, tidak mungkin untuk diluruskan. Wanita, walaupun ia bisa lurus dalam agamanya, maka tabiatnya tidak akan pernah bisa lurus, maka hendaknya seorang suami tidak mengabulkan setiap apa yang ia kehendaki, tetapi harus dibatasi sebagaimana ia adalah makhluk yang serba terbatas.

Wanita begitu lemah dalam tabiat dan kemampuannya dan ia juga sangat terbatas, “Jika kamu cuba untuk meluruskannya (dengan cara kasar) maka dia akan patah,” maksudnya patahnya itu adalah menalaknya, artinya jika kamu berusaha sekuat tenaga agar bisa lurus seperti yang kamu inginkan, maka hal itu tidak mungkin terjadi, kamu akan merasa bosan yang pada akhirnya kamu menalaknya, maka patahnya berarti menalaknya.

Dalam hal ini terdapat perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seseorang agar mempergauli keluarganya, hendaknya bersikap toleran dan lapang dada, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” 
(QS. Al-A'râf: 7: 199)

Bagaimana kamu tidak akan mungkin menemukan seorang wanita yang sempurna seratus persen, menaati suami seratus persen, tetapi seperti apa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersenang-senanglah dengannya maka ia tetap bengkok seperti adanya. Begitu halnya jika kamu tidak menyukainya pada satu sisi, maka hendaklah bersabar, kerana kamu pasti akan menyukainya pada sisi yang lain, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) kerana boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 19)

Hadits no. 274.
وَعَنْ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَمْعَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ وَذَكَرَ النَّاقَةَ وَالَّذِي عَقَرَهَا، فَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِذْ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا » انْبَعَثَ لَهَا رَجُلٌ عَزِيزٌ، عَارِمٌ مَنِيعٌ فِي رَهْطِهِ » ثُمَّ ذَکَرَ الِتّسَاءَ، فَوَعَظَ فِيهِنَّ، فَقَالَ: « يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَجْلِدُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ فَلَعَلَّهُ يُضَاجِعُهَا مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ » ثُمَّ وَعَظَهُمْ فِي ضَحِكِهِمْ مِنْ الضَّرْطَةِ وَقَالَ: « لِمَ يَضْحَكُ أَحَدُكُمْ مِمَّا يَفْعَلُ؟ » مُتَّفَقُ عَلَيْهِ.
Daripada Abdullah bin Zam‘ah radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah, dalam khutbahnya Rasulullah menceritakan kisah unta Nabi Shalih dan orang yang membunuhnya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, yaitu bangkitlah di antara mereka seorang laki-laki yang kuat dan sulit ditandingi, jahat dan suka membuat kerusakan, serta disegani di antara kaumnya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang wanita, dan menasihati tentang pergaulan dengan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya, kemudian ia menggaulinya pada malam harinya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati para sahabat yang sedang menertawakan bunyi kentut dengan sabdanya, “Kenapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia juga melakukannya.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 4942 dan Muslim no. 2855]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abdullah bin Zam‘ah radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang berkhutbah di atas untanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat dengan dua macam khutbah yaitu khutbah rutin dan yang insidental.

Khutbah rutin itu seperti khutbah Jum'at dan dua hari raya, istisqa, gerhana dan sebagainya. Sedangkan khutbah insidental adalah khutbah di keranakan sesuatu sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berkhutbah di hadapan para sahabat, menasihati dan memberikan penjelasan kepada mereka kadang kala baginda berkutbah di atas mimbar, terkadang juga di atas tanah, terkadang di atas untanya, bahkan terkadang baginda berkhutbah sambil bersandar kepada para sahabatnya, sesuai dengan kondisi dan waktu itu, kerana termasuk dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya baginda tidak memberatkan, tidak pernah meminta sesuatu yang tidak ada, atau menolak yang sudah ada, kecuali yang bertentangan dengan syariat Islam atau berlebihan.

Pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berkhutbah dan Abdullah bin Zam‘ah mendengarnya, di antara isi khutbah adalah, “Salah seorang di antara kalian memukul istrinya seperti memukul budaknya,” ia memukul istrinya seolah tidak ada hubungan apa-apa dengannya, atau baginya sang istri hanyalah budak sanderaan yang menderita, hal ini tidaklah pantas, kerana hubungan suami dengan keluarganya adalah hubungan istimewa yang dibina dengan kecintaan dan kasih sayang, jauh dari kata dan perilaku yang keji.

Bukankah ia memukulnya sebagaimana ia memukul seorang budak, tetapi di lain hari ia malah mencampurinya! Bagaimana anda mencampurinya di lain hari, bersenang-senang dengannya penuh dengan cinta, kesenangan dan kenikmatan, sedangkan anda telah memukulinya seperti seorang budak? Sungguh pemandangan yang aneh. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam keras perbuatan keji ini. Seharusnya hal ini tidak terjadi pada siapa pun, sungguh benar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal ini tidak akan menimpa orang yang berakal apalagi seorang mukmin.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang tema yang lain yaitu menertawakan bunyi kentut. Ketika salah seorang kentut, mereka lalu tertawa, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dan menasihati mereka, “Kenapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia juga melakukannya.” 

Bukankah anda juga kentut seperti orang itu? Benar, jika demikian kenapa anda tertawa? Sesungguhnya seseorang tertawa dan takjub itu terhadap sesuatu yang tidak terjadi padanya. Adapun jika hal itu terjadi juga pada dirinya, maka tidak pantas ia tertawa. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengecam orang yang menertawakan bunyi kentut, kerana kentut adalah sesuatu yang keluar pada diri mereka juga, itu adalah kebiasaan semua orang.

Kebanyakan orang pada sebagian tradisinya mereka tidak peduli jika ada salah satu dari mereka kentut di samping saudaranya, ia tidak pernah rasa malu dari perbuatannya itu, mereka berpendapat bahwa kentut itu sama halnya seperti bersin, batuk, dan sebagainya. Tetapi pada sebagian tradisi yang lain, mereka banyak mengkritiknya. Kelakuanmu menertawakan dan mengejek sahabatmu itu adalah perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan. Dalam hal ini terdapat isyarat yang menunjukkan bahwa tidaklah pantas seseorang mengejek orang lain kerana sesuatu yang sama-sama dilakukannya juga, jika anda tidak mengejek diri anda, kenapa anda malah mengejek saudara anda?!

Dalam kesempatan ini, saya ingin mengingatkan masalah yang banyak dilakukan oleh kebanyakan orang seperti yang kita ketahui bahwa daging unta jika dimakan oleh seseorang dalam keadaan wudhu, maka wudhunya itu batal dan ia wajib berwudhu lagi apabila hendak menunaikan shalat. Memakannya, baik dalam keadaan mentah atau matang, daging yang tidak berlemak, hati, babat, paru dan semua yang terkandung pada unta jika dimakan, maka akan membatalkan wudhu, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Berwudhulah kalian setelah makan daging unta.” Kemudian baginda ditanya, “Apakah kita harus berwudhu setelah makan daging unta?” Baginda menjawab“Ya,” orang itu bertanya lagi, “Kalau daging kambing?” Baginda menjawab, “Jika kamu ingin (terserah).

[Shahih Muslim no. 360]

Memakan daging kambing tidak mengakibatkan batalnya wudhu, begitu juga daging sapi, daging kuda, tetapi yang membatalkannya adalah daging unta. Jika anda memakannya, baik mentah atau matang, maka anda wajib wudhu jika hendak shalat. Tetapi jika hanya minum susunya saja, maka hal itu tidaklah membatalkan wudhu, inilah menurut pendapat yang shahih. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala memerintahkan kaum Araniy untuk keluar mengambil unta sedekah, mereka minum kencingnya dan susunya tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka untuk berwudhu, jika memang berwudhu itu wajib tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk melakukannya, tetapi jika memang anda hendak berwudhu lagi maka hal itu lebih baik, tapi tidak diwajibkan.

Sebagian orang berkata bahwa sebab diwajibkannya berwudhu setelah makan daging unta adalah kerana pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiri walimah yang hidangannya adalah daging unta, kemudian dari sebagian yang hadir ada yang kentut tanpa diketahui siapa orangnya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang makan daging unta hendaknya ia berwudhu.Kemudian semua yang hadir berdiri dan wudhu.

[Syaikh Al-Albani rahimahullah berkomentar, “Sepengetahuanku (cerita) ini tidak ada asalnya, baik dari kitab-kitab sunnah atau kitab lainnya, baik kitab fiqih maupun tafsir.” As-Silsilah Ad-Dhaifah, 3/268]

Mereka menjadikan sebab ini sebagai dalil wajibnya berwudhu setelah memakan daging unta, namun hadits ini batil, tidak ada asal-usulnya, sebenarnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk berwudhu setelah makan daging unta itu kerana ada hikmah yang hanya diketahui oleh Allah, kita terkadang mengetahuinya dan terkadang juga tidak. Yang terpenting kita wajib mengatakan, “Kami mendengar dan patuh,” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berwudhu setelah makan daging unta, maka kami mendengar dan mematuhinya.

Hadits no. 275.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ » أَوْ قَالَ « غَيْْرَهُ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallhu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah seorang mukmin membenci seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci suatu akhlak (sifat) darinya maka ada akhlak (sifat) lainnya yang dia sukai.

[Shahih Muslim no. 1469]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang mukmin membenci seorang wanita mukminah (istrinya), jika ia membenci suatu akhlak (sifat) darinya maka ada akhlak (sifat) lainnya yang dia sukai.”

Kata Al-Farku, kebencian dan permusuhan. Seorang mukmin janganlah memusuhi seorang mukminah. Seorang suami tidak boleh membenci, apalagi memusuhi istrinya apabila ia melihat akhlak yang tidak disenangi darinya. Seseorang harus bersikap adil, menjaga pergaulannya sesuai dengan kondisi yang ada. Adil harus mengimbangi antara keburukan dan kebaikan, memandang mana yang paling sering terjadi, maka utamakanlah yang lebih dan paling berpengaruh, kerana yang seperti inilah yang disebut dengan keadilan.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan kerana Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 8)

Hendaknya kebencianmu tidak menyebabkan kamu tidak bersikap adil, bersikap adillah walaupun kamu dalam keadaan membencinya. Oleh kerana itu, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abdullah bin Rawwahah radhiyallahu anhu kepada penduduk Khaibar untuk menaksir buah kurma di sana, beliau telah membuat perjanjian dengan penduduk Khaibar sejak dibukanya kota itu agar mereka mencukupi kebutuhan hidupnya, memelihara kebun kurma dan tanaman yang lain lalu mereka mendapatkan separuh darinya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang yang menaksir panen buah kurma penduduk Khaibar, dan baginda mengutus Abdullah bin Rawwahah sebagai penaksir, kemudian ia berkata kepada penduduk di sana, “Wahai orang-orang-orang Yahudi, kalian adalah makhluk yang paling aku benci, kalian telah membunuh para Nabi Allah dan berdusta atas nama-Nya, tetapi kebencianku ini tidak menjadikanku bertindak tidak adil kepada kalian! Aku telah menaksir bahwa buah kurma ini sebanyak dua puluh ribu wasaq, jika kalian menginginkan, maka ambillah, tetapi jika kalian enggan maka ini untukku.” Mereka menjawab, “Dengan ini langit dan bumi berdiri.”

Dalilnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar seseorang itu bersikap bijaksana dengan berbuat adil, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang mukmin tidak membenci seorang wanita mukminah.Artinya jangan membenci kerana perilakunya, jika ia tidak menyukai salah satu perilakunya, maka ia menyenangi perilakunya yang lain.

Jika ia baru sekali berbuat salah dalam menanggapimu, tentunya ia telah banyak berbuat baik kepadamu, ia berbuat salah hanya satu malam sedangkan malam yang lainnya ia selalu berbuat kebaikan, ia hanya sekali salah dalam mendidik anak-anaknya, tetapi ia lebih sering mencurahkan seluruh perhatiannya kepada mereka. Jika istrimu berbuat salah terhadap dirimu, maka janganlah kamu memandang kesalahannya pada waktu itu, tetapi lihatlah ke belakang dan ke depan lalu berlaku bijaklah dengan bersikap adil.

Hadits ini menekankan akhlak terhadap wanita, tetapi hal ini berlaku untuk semua orang yang berhubungan denganmu seperti rakan, saudara dan lainnya. Jika sekali ia berbuat kesalahan, maka janganlah melupakan semua jasa kebaikan selama ini ia berikan, pertimbangkan antara keduanya, jika kebaikan lebih dominan, maka hukumi kebaikan baginya, tetapi jika kesalahan lebih banyak, maka pertimbangkan, kalau memang layak untuk dimaafkan, maka maafkanlah! Barangsiapa yang memaafkan dan mengadakan perbaikan, maka balasannya ditanggung Allah, tetapi jika menurut tidak layak untuk dimaafkan, maka ambillah hakmu, dan pertimbangkan maslahat yang paling baik.

Kesimpulannya, hendaknya setiap orang bersikap adil terhadap orang yang memiliki hubungan dengannya, suami, istri, sahabat, saudara mara atau yang lainnya. Jika ia tidak menyukai satu perilaku atau melakukan kesalahan dalam pergaulan, maka hendaknya ia melihat sisi kebaikannya sehingga ia mempertimbangkan antara kebaikan dan kesalahannya dengan bijaksana, inilah sikap adil yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. An-Nâhl: 16: 90)

Hadits no. 276.
وَعَنْ عَمْرِو بْنِ الْأَحْوَصِ الْجُشَمِيِِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجِّةِ الْوَدَاعِ يَقُولُ بَعْدَ أَنْ حَمِدَ اللَّهَ تَعَالَى، وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَذَكَّرَ وَوَعَظَ، ثُمَّ قَالَ: « أَلاَ وَاسْتَوْصُوا بِِالنِِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٍ عَنْدَكُمْ لَيّْسَ تَمْلكُونَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشةٍ مُبيِّنةٍ، فَإِنْ فَعَلْنَ فَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمضَاجِعِ، وَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبرِّحٍ، فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً، أَلاَ إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا، وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ، وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ لِمَنْ تَكْرَهُونَ، أَلاَ وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَن تُحْسِنُوا إِِلَيْهِنَّ فِي كِسْوَتِهِنَّ وَطَعَامِهِنَّ » رَوَاهُ التّرِمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثُ حَسَنُ صَحِيحٌ.
Daripada Amr bin Al-Ahwash Al-Jusyami radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada haji wada' setelah memuji Allah Ta'ala, Rasulullah bersabda,

Ketahuilah oleh kalian! Nasihatlah para wanita dengan baik, sesungguhnya mereka adalah tawanan kalian, kalian tidak berhak sedikit pun atas mereka, kecuali mereka melakukan perbuatan keji yang jelas, jika mereka melakukannya maka pisahkanlah mereka ditempat tidur mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan tidak melukai, jika mereka menaatimu maka janganlah kalian mencari dalih untuk menyusahkan mereka. Ketahuilah, sesungguhnya kalian memiliki hak atas istri-istri kalian dan istri-istri kalian juga memiliki hak atas kalian, hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang yang kalian tidak senangi berada di atas ranjang kalian, dan tidak memasukkan seseorang yang kalian tidak senangi ke rumah kalian, ketahuilah bahwa hak istri kamu ke atas kamu pula ialah kamu mesti mesti berbuat baik kepada mereka dan memberikan pakaian dan makanan kepada mereka.

[HR. At-Tirmidzi dalam Al-Jâmi no. 1163, 3087. Ibnu Majah no. 1851. An-Nasai no. 9169 dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Sahîhut Tirmidzi dan Al-Irwâ no. 2030]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Amr bin Al-Ahwash Al-Jusyami radhiyallahu anhu, bahwasanya ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada haji wada' ketika sedang khutbah di Arafah, kerana pada haji wada', Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Mekah pada tanggal empat bulan Dzulhijjah, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di Mekah sampai delapan Dzuhijjah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mina pada waktu Dhuha, kemudian baginda shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh di sana, setelah terbit matahari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke Arafah lalu singgah di Namirah yaitu tempat terkenal sebelum Arafah, tetapi tidak termasuk ke dalam Arafah. Setelah tergelincir matahari dan waktu shalat Zhuhur, tiba Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memberangkatkan untanya dan unta pun berangkat membawanya hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai pada suatu lembah yang bernama Uranah, tempat besar yang membatasi Arafah dari arah barat hingga utara, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam turun dan menyampaikan khutbah yang begitu sangat agung dan indah kepada para jama'ah.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbahnya berupa nasihat kepada umatnya tentang kaum wanita, “Nasihatilah para wanita dengan baik, sesungguhnya mereka adalah tawanan kalian.Artinya istri yang berada di bawah tanggung jawab suami itu laksana tawanan bagi yang menawannya, kerana ia menjadi miliknya, jika demikian kondisinya maka ia seperti tawanan baginya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa kita tidak berhak untuk memukulnya kecuali jika mereka jelas melakukan perbuatan keji, perbuatan keji di sini adalah bermaksiat terhadap suaminya, dalilnya, “Jika mereka menaatimu maka janganlah kalian mencari dalih untuk menyusahkan mereka.Maksudnya jika seorang istri lalai dalam menunaikan hak suaminya, maka kewajiban suami pertama kali adalah menasihatinya, lalu meninggalkannya di ranjangnya dan janganlah ia tidur bersamanya, lalu memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai, jika ia tetap terus pada perbuatan maksiatnya.

Inilah urutan-urutan dalam mendidik istri yang melakukan perbuatan keji, di antaranya adalah melalaikan hak suaminya, “Jika mereka menaatimu maka janganlah kalian mencari dalih untuk menyusahkan mereka.” Yaitu janganlah kalian memukul dan melalaikan hak-haknya, kerana ia telah menunaikan kewajibannya.

Selanjutnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang hak dan kewajiban wanita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak kalian atas mereka adalah mereka tidak boleh mengizinkan seorang yang kalian tidak senangi berada di atas ranjang kalian.” Yaitu tidak mengizinkan seorang pun masuk padanya menempati tempat tidurnya atau yang lainnya, dan kamu tidak menyukainya duduk di atas kasur rumahmu -hanya Allah yang tahu- ini hanyalah pengambilan contoh saja, makna aslinya adalah hendaknya ia tidak menerima siapa pun yang kalian tidak sukai, kerana ini bertentangan denganmu, ia menerima tetamu yang kamu tidak menyukainya dengan mempersilakan duduk di atas kasur dan menghidangkan makanan kepadanya dan lain sebagainya.

“Dan tidak memasukkan seseorang yang kalian tidak senangi ke rumah kalian,” tidak mengizinkan seorang pun yang kamu tidak senangi masuk ke rumah, walaupun ia itu adalah ibu atau ayahnya, maka tidak boleh memasukkan ibu, ayah, saudara, paman, bibinya ke rumah suaminya jika ia tidak menyenanginya. Ia diperingatkan seperti ini kerana sebagian wanita itu berperangai buruk -Naudzu Billah- walaupun kepada putrinya sendiri, jika ia melihat kehidupan keluarga putrinya langgeng dan bahagia bersama suaminya maka timbullah perasaan cemburu, -Naudzu Billah- padahal dia itu ibunya, kemudian ia berusaha merusak hubungannya dengan suaminya, maka sang suami harus melarang ibunya ini masuk ke dalam rumahnya, ia berhak mengatakan kepada istrinya, “Ibumu jangan sampai masuk ke rumahku,” ia dibenarkan secara syariat untuk melarangnya masuk, atau melarang istrinya pergi ke rumah ibunya kerana ibunya suka mengumpat yang sangat berbahaya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ

Tidak akan masuk syurga orang yang pengadu domba.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105]

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hak istri kamu ke atas kamu pula ialah kamu mesti mesti berbuat baik kepada mereka dan memberikan pakaian dan makanan kepada mereka.” Suami bertanggung jawab menafkahi istrinya walaupun sang istri itu kaya atau seorang pengawai, suami tidak berhak atas pekerjaaan dan gajinya, ia tidak berhak memiliki satu peser pun darinya, bahkan ia tetap wajib memberinya nafkah. Misalnya suami mengatakan, “Bagaimana saya menafkahimu sementara kamu kaya raya, kamu punya gaji sepertiku?” Jawabannya kamu tetap berkewajiban memberinya nafkah walaupun istrimu itu orang kaya. Kalau istri mempermasalahkannya (lantaran suami tidak menafkahi) maka hakim berhak membatalkan pernikahan, kerana suami tidak menunaikan kewajibannya.

Kesimpulannya, bahwa khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada haji wada' merupakan khutbah yang begitu agung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan dasar-dasar agama yang sangat penting dan telah menetapkan beberapa hak dan hukum Islam dan adab-adabnya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh seorang ulama syaikh Abdullah bin Hamid rahimahullah- ketua hakim Arab Saudi kala itu, beliau menjelaskan dengan singkat dan berbobot, siapa yang ingin, maka hendaknya ia merujuknya. 

Hadist no. 277.
وَعَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ حَيْدَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ؟ قَالَ: « أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلاَّ فِي الْبَيْتِ » حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ.
Daripada Mu'awiyah bin Haidah radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasululullah, apa hak istri yang harus kita tunaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kamu harus memberinya makan jika kamu makan, memberi pakaian jika kamu berpakaian, jangan memukul wajahnya dan jangan menjelekannya! Jangan kamu meninggalkannya kecuali di rumahnya.”

[HR. Abu Dawud no. 2142, 4143, An-Nasa'i no. 9171, 11104, 11431, Ibnu Majah no. 1850 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1500]

Hadits no. 278.
وَعَن أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sedangkan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.”

[HR. At-Tirmidzi no. 1162, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Al-Jâmi Ash-Shagir no. 1232, Silsilah Ash-Shahihah no. 284, Shahih At-Tirmidzi no. 928]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Muawiyah bin Haidah radhiyallahu anhu, bahwasanya ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasululullah, apa hak istri yang harus kita tunaikan?” Para sahabat radhiyallahu anhum apabila mereka bertanya kepada Rasulullah sesungguhnya mereka menanyakan hal itu untuk diamalkannya bukan sekadar pengetahuan saja, berbeda dengan kebanyakan orang sekarang, mereka bertanya hanya untuk mengetahui, yang mengamalkan hanyalah segelintir saja, kerana seseorang jika mengetahui syariat Allah maka ia tidak tahu apakah itu sebagai hujjah yang bermanfaat baginya atau memudharatkannya. Jika ia mengamalkannya, maka hal itu akan menjadi hujjah yang bermanfaat baginya, tetapi ia tidak mengamalkannya, maka hal itu akan menjadi hujjah yang akan menimpanya.

Pertanyaan para sahabat kepada Rasulullah tentang masalah agama ini sangat banyak sebagaimana tersebut dalam ayat-ayat berikut,

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit.” (QS. Al-Baqarah: 2: 189)

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang apa yang harus mereka infakkan.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 215)

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang anak-anak yatim.” (QS. Al-Baqarah: 2: 220)

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang haid.” QS. Al-Baqarah: 2: 222)

Muawiyah bin Haidah radhiyallahu anhu bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasululullah, apa hak istri yang harus kita tunaikan?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kamu harus memberinya makan jika kamu makan, memberi pakaian jika kamu berpakaian.” Maksudnya janganlah kamu mengutamakan diri sendiri dalam berpakaian dan makan sedangkan istrimu tidak diperhatikan, ia adalah teman hidup yang harus kamu nafkahi sebagaimana kamu menafkahi dirimu sendiri, sehingga banyak para ulama yang berkata, “Jika seorang suami tidak menafkahi istrinya, lalu sang istri menggugatnya cerai, maka hakim berhak membatalkan pernikahan, kerana si suami tidak menunaikan kewajibannya.

“Jangan memukul wajahnya dan jangan menjelek-jelekkannya.” Jangan kamu sampai memukulnya kecuali dengan sebab yang dibenarkan, jika kamu memang harus memukulnya maka hindarilah bagian wajah, yaitu pukulan yang tidak sampai melukainya.

Begitu juga kepada selain istri, hendaknya jangan memukul wajah, apabila seorang anak melakukan kesalahan janganlah kamu memukul wajahnya, kerana wajah adalah anggota yang paling mulia, yaitu bagian badan yang paling depan, apabila wajah itu dipukul maka jadilah ia orang yang paling hina dibandingkan anggota badan lain yang dipukul, seperti pundak, lengan, punggung, maka ia tidak merasa terhina dari pada yang dipukulnya itu adalah wajah. Oleh kerana itu Rasulullah melarang untuk memukul wajah dan menjelekkannya.

“Dan jangan menjelek-jelekkannya.” Yakni jangan kamu katakan kepadanya, “Kamu jelek,” atau “semoga Allah menjelekan wajahmu,” hal ini mencakup larangan untuk mengecap jelek kepada seseorang baik lahiriyah batiniyah, maka janganlah menjelekkannya, misalnya kamu mengatakan, “Kamu dari kabilah yang rendahan,” atau “Kamu dari keluarga yang jelek,” dan sebagainya, semua ini dilarang oleh Allah. 

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan jangan kamu meninggàlkannya kecuali di rumahnya.Artinya jika memang terdapat hal-hal menyebabkannya harus meninggalkannya maka janganlah kamu meninggalkannya secara terang-terang sehingga tampaklah oleh orang lain bahwa kamu meninggalkannya. Tinggalkanlah ia di rumahnya, barangkali kamu harus meninggalkannya hari ini dan kamu berdamai pada keesokan harinya, situasi kalian pun tertutupi, tetapi jika kamu menampakkan situasi yang ada, dengan merupakan tindakan yang salah. Tinggalkanlah ia di rumah, jangan sampai orang lain mengetahuinya, sehingga jika masalahnya sudah terselesaikan, maka segala sesuatunya akan kembali seperti semula tanpa diketahui oleh orang lain.

Adapun hadits yang kedua yaitu dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu adalah hadits yang sangat penting, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling sempurna keimanannya adalah orang paling yang baik akhlaknya.” Iman itu tidak sama antara satu dengan yang lainnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Agar orang yang beriman bertambah imannya.(QS. Al-Muddatstsir: 74: 31)

Keimanan orang itu tidaklah sama, di antara mereka ada yang beriman kepada yang ghaib, seolah ia melihat dengan mata kepalanya, beriman kepada hari kiamat seolah ia berada pada saat itu, beriman dengan surga seolah surga itu terpandang dihadapannya, beriman mereka kepada neraka seolah ia melihat dengan mata kepalanya, beriman dengan penuh kebenaran tanpa ada keraguan sedikit pun. Sebagian dari mereka ada yang keimanannya lemah, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 22: 11)
 
Maksudnya berada di tepi, “Maka jika ia memperoleh kebajikan,” artinya jika tidak menghadapi seorang pun yang membuatnya ragu dalam agama, dan tidak menemukan kecuali hanya orang-orang yang shalih yang membantunya, “Tetaplah ia dalam keadaan itu.” 

“Maka jika ia memperoleh kebajikan, dia merasa puas dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat.” Jika ia ditimpa suatu musibah pada fisik, harta atau keluarganya, maka ia berbalik ke belakang, menentang takdir, murka dan binasa, Naudzu Billah, “Rugilah ia di dunia dan akhirat.” 

Maka orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang baik akhlaknya, hadits ini memotivasi kita untuk berbudi luhur, berakhlak baik kepada Allah begitu juga kepada sesamanya. Akhlak kepada Allah, yaitu rela terhadap syariat-Nya, mematuhinya dengan penuh kepasrahan dan ridha, merasakan ketenagan dengannya, baik dalam perintah mahupun larangan-Nya.

Seseorang harus rela menerima qadha dan takdir Allah Ta'ala, apakah takdir itu baik baginya ataupun buruk, ia berkata, “Wahai Rabbku, segala sesuatu datangnya dari-Mu, aku rela Engkau sebagai Rabbku, jika Engkau menganugerahkan nikmat kepadaku aku bersyukur, sebaliknya jika aku tertimpa keburukan maka aku bersabar,” ia rela terhadap qadha, takdir, perintah dan syarita-Nya, inilah yang disebut berakhlak baik kepada Allah.

Adapun berperilaku baik terhadap sesama itu sangatlah jelas, mencegah bahaya, memberikan bantuan, bersabar atas tindakan buruk mereka, inilah cara berperilaku baik kepada mereka, bergaul dengan pergaulan yang dapat mencegah mereka dari merbahaya, memberikan bantuan baik berupa harta, kedudukan atau yang lainnya, begitu juga bersabar terhadap segala macam ujian dari mereka, jika anda mampu berbuat demikian, maka jadilah anda orang yang memiliki keimanan paling sempurna.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِي

Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.”

[HR. At-Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977 dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah no. 285].

Orang yang terbaik adalah orang yang terbaik terhadap keluarganya, kerana kerabat dekat adalah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan kita, jika kita memiliki kebaikan hendaknya kerabat dekatlah yang pertama kali merasakan kebaikan itu. Hal tersebut bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang pada saat ini, ia berperilaku buruk terhadap keluarganya dan berkelakuan baik terhadap yang lainnya, ini adalah kesalahan besar, keluargamu lah yang lebih berhak untuk diperlakukan dengan baik, kerana mereka yang selalu berada bersamamu siang dan malam, dalam keadaan sepi mahupun ramai, jika kamu tertimpa sesuatu maka mereka pun ikut merasakannya. Jika kamu senang, mereka pun senang, jika kamu bersedih mereka pun demikian, bergaullah kepada mereka dengan pergaulan yang baik dari berbagai sisi, kerana orang yang paling baik adalah orang yang paling baik terhadap keluarganya.

Kita memohon kepada Allah semoga menyempurnakan iman kita dan menjadikan hamba-hamba yang baik terhadap keluarga dan setiap orang yang memiliki hak atas kita.

Hadits no279.
وَعَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَاَل رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ » فَجَاءَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ، فَرَخَّصَ فِي ضَرْبهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم نِّسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُوْنَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَقَدْ أَطَافَ بِآلِ بَيْتِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيْرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُوْلاَئكَ بِخِيَارِكُمْ » رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ.
Daripada Iyas bin Abdullah bin Abi Dzubabb radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah kalian memukul para wanita hamba Allah (istri-istri kamu semua).” Kemudian Umar menghadap kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Kaum wanita berani melawan suaminya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan boleh memukulnya, lalu hal itu menjadikan kaum wanita mengadu kepada keluarga (istri-istri) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang sikap para suami mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya, terdapat ramai wanita yang berjumpa keluarga (istri-istri) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu perihal suami mereka. Mereka (suami seperti itu) bukanlah orang terbaik di antara kamu semua.

[HR. Abu Dawud no. 2146 diShahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Abu Dawud no. 1863 dan Shahih Al-Jamî no. 5137]

Hadits no. 280.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلْدُّنْيَا مَتَاعٌ، وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abdullah bin 'Amr Al-'Ash radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang shalihah.”

[Shahih Muslim no. 1467]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat yang berkaitan dengan masalah wanita, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian memukul para wanita hamba Allah (istri-istri kamu).” Maksudnya adalah para wanita muslimah, hamba Allah itu ada dua, laki-laki (Abdullah) dan wanita (Imaa'ullah) sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, 

لا تَمْنَعُوا إِماءَ اللهِ مساجِدَ اللهِ

“Janganlah kalian melarang para wanita hamba Allah untuk pergi ke masjid Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang para sahabat untuk memukul wanita, lalu mereka pun berhenti, kerana para sahabat adalah sebaik-baiknya generasi yang diajak ke jalan Allah dan Rasul-Nya, mereka berkata, “Kami mendengar dan kami patuh,” mereka pun spontan berhenti memukul wanita.

Wanita itu lemah akalnya dan kurang dalam agamanya, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk memukulnya, mereka malah berani kepada para suaminya, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, “Ya Rasulullah! para wanita berani melawan suaminya.” Maksudnya mereka berani dan merasa lebih tinggi daripada laki-laki, setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar apa yang dikatakan Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu itu, setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan untuk memukulnya, kemudian ada sebagian mereka yang berlebihan dalam memukulnya, walaupun di luar hak mereka, kemudian para wanita mendatangi rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkumpul di sekitar rumah Rasulullah dan mengadukan hal tentang suami-suami mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, memberitahukan kepada para sahabat bahwa orang yang memukuli istrinya itu bukanlah laki-laki yang baik, sebagaimana sabdanya, “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” Ini menunjukkan bahwa seseorang janganlah berlebihan dalam memukul istrinya, jika ia menemukan sebab yang menuntutnya untuk memukul maka hal ini diperbolehkan.

Allah Ta'ala telah menjelaskan tahapan-tahapan ini dalam firman-Nya,

“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan (kalau perlu) pukullah mereka.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 34)

Tahapan kedua adalah memukulnya, jika kamu memukulnya maka pukullah dengan pukulan yang tidak melukainya. Kemudian Imam An-Nawawi menyebutkan hadits dari Abdullah bin Amr Al-Ash radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang shalihah. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dunia ini adalah perhiasan,artinya sesuatu yang dinikmati, sebagaimana seorang musafir menikmati bekalnya lalu habis. “Dan sebaik-baiknya perhiasan adalah wanita yang shalihah.” Seseorang yang dikaruniai istri shalihah, baik dalam agama dan kecerdasannya, maka itulah kenikmatan dunia yang paling indah, kerana ia dapat menjaga rahasia harta dan anak-anaknya ketika suaminya tiada.

Wanita yang cerdas akalnya ia mengatur rumahnya dengan baik begitu juga dalam mendidik anak-anaknya, ketika suami melihatnya ia menyenangkannya, ketika suami pergi ia menjaga diri dan hartanya, ketika suami menyerahkan urusan kepadanya ia tidak mengkhianati, inilah wanita yang menjadi perhiasan dunia terindah.

Oleh kerana itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaklah engkau mendapatkan wanita yang baik agamanya, niscaya engkau akan beruntung.”

[Shahih Al-Bukhari, no. 5090 dan Muslim, no. 1466]

Maksudnya hendaknya kalian memprioritaskan wanita yang memiliki kriteria agama, kerana ia adalah orang terbaik yang dinikahi oleh seseorang. Wanita yang memiliki pengetahuan agama walaupun parasnya kurang cantik, tetapi akhlak dan agamanya sungguh menawan, maka pilihlah wanita yang memiliki pengetahuan agama, niscaya kamu akan sangat beruntung.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...