Sabtu, 27 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 35. Hak Suami Atas Istri (Kewajiban Istri Terhadap Suami).

Allah berfirman.
۞الرِّجَالُ قَوَّ ٰمُونَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّـٰلِحـٰتُ قَانِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ۞
“Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).(QS. An-Nisâ: 4: 34)

Di antara hadits yang disebutkan adalah hadits Amr bin Al-Ahwash dalam bab sebelumnya.

Hadits no. 281.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَاَنَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ »مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya, namun ia enggan memenuhinya kemudian suaminya tidur dalam kondisi marah padanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 3237, 5194. Muslim no. 1436]

Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seorang wanita yang meninggalkan tempat tidur suaminya (di malam hari) maka para malaikat melaknatnya hingga pagi hari.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436]

Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, tidaklah seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya, kemudian si istri enggan memenuhinya, kecuali yang ada di langit, murka kepadanya sehingga ia rela padanya.”

[Shahih Muslim no. 1436]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan, bab “Hak suami atas istri.” Setelah Imam An-Nawawi menyebutkan hak-hak istri yang harus ditunaikan oleh suami, ia juga menyebutkan hak-hak suami yang harus ditunaikan oleh istri, kemudian beliau menyebutkan firman Allah Ta'ala,

“Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).” (QS. An-Nisâ: 4: 34)

“Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” Yakni bahwa kaum laki-laki itu adalah pemimpin yang harus ditaati oleh istrinya, ia mendidik, mengarahkan dan memerintahkannya, kewajiban istri adalah menaatinya, kecuali jika ia memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, maka janganlah didengarkan perintahnya dan jangan dipatuhi, kerana tidak ada ketaatan kepada makluk untuk bermaksiat kepada Sang Khalik, siapa pun dia.

Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan kedunguan orang kafir barat dan yang lainnya, yaitu orang-orang yang mengikuti trend barat, mereka menyakralkan kaum wanita melebihi kaum laki-laki, mereka mengikuti orang-orang kafir yang hina, orang yang tidak mengenal kelebihan seseorang, kita lihat mereka mendahulukan kaum wanita dalam berbagai pembicaraan, salah seorang dari mereka mengatakan, “Puan-puan dan tuan-tuan,” memposisikan wanita lebih tinggi daripada laki-laki.

Kesimpulannya, bahwa kaum laki-laki sebagai pemimpin bagi kaum wanita, “Oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka,inilah sisi lain kepemimpinan kaum laki-laki atas wanita, bahwa laki-lakilah yang bertanggung jawab menafkahi wanita, ia dituntut untuk itu, kerana ia sebagai kepala keluarga, bukanlah wanita yang bertanggung jawab menafkahi keluarga.

Hal ini sebagai isyarat bahwa orang-orang yang berkewajiban mencari nafkah dan bekerja mencari penghidupan adalah kaum laki-laki, sementara tempat kerja wanita adalah rumahnya, tinggal di rumahnya membantu suaminya, mendidik anak-anak, mengatur rumah, inilah tugas utamanya. Adapun wanita yang ikut dengan kaum laki-laki mencari penghidupan dan nafkah, hingga akhirnya terbalik justru ia yang menafkahi keluarga, ini tentunya menyalahi fitrah dan bertentangan dengan syariat, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Dan kerana mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka,yang berhak menafkahi adalah kaum laki-laki.

Allah Ta'ala berfirman, “Sebab itu, maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh kerana Allah telah memelihara (mereka),yaitu wanita-wanita shalihah yang selalu taat kepada Allah Ta'ala, “Qaanitaat,artinya bukan wanita yang berdoa qunut, tetapi wanita yang selalu taat kepada Allah, sebagaimana firman Allah.

“Dan laksanakanlah (shalat) kerana Allah dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 2: 328) yakni selalu taat kepada-Nya.

Firman-Nya, “Ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh kerana Allah telah memelihara (mereka),yakni menjaga menjaga rahasia suami, menjaga kehormatannya ketika pergi dan hal-hal khusus di balik tembok rumahnya, ia memelihara setiap yang Allah perintah untuk dijaga, inilah wanita shalihah, maka prioritaskan kriteria wanita yang shalihah, kerana ia lebih baik bagimu daripada wanita yang berparas cantik, tetapi tidak shalihah.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jika seorang suami mengajak istrinya ke ranjangnya, namun ia enggan memenuhinya kemudian suaminya tidur dalam kondisi marah padanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.” 

Malaikat berdoa dan melaknat wanita ini, laknat artinya menolak dan menjauhkan dari rahmat Allah, jika suaminya mengajaknya untuk bersenang-senang dengan apa yang Allah bolehkan tetapi ia menolaknya, maka para malaikat mendoakannya agar jauh dari rahmat-Nya hingga pagi hari, para malaikat mendoakannya agar jauh dari rahmat-Nya hingga pagi hari. Naudzu Billah.

Lafazh yang kedua, apabila si istri meninggalkan tempat tidur suaminya, sesungguhnya Allah Ta'ala akan murka kepadanya, sampai sang suami ridha kepadanya, ini lebih bahaya dari yang pertama, kerana jika Allah Ta'ala telah murka, maka kemurkaannya itu lebih besar daripada laknat manusia, kita memohon keselamatan kepada Allah.

Dalil yang menguatkan hal ini bahwa Allah telah menyebutkannya dalam ayat Al-Li'an, yaitu jika seorang lelaki melaknat ia akan mengatakan,

“Bahwa laknat Allah akan menimpanya, jika dia termasuk orang yang berdusta.” 
(QS. An-Nur: 24: 7) dan wanita itu mengatakan, 

“Bahwa kemurkaan Allah akan menimpanya (istri), jika dia (suaminya) itu termasuk orang yang berkata benar.” (QS. An-Nur: 24: 9) Hal ini menunjukkan bahwa Allah sangat murka.

Dalam hadits selanjutnya disebutkan, “Kecuali yang berada di langit murka kepadanya sehingga ia rela padanya.” Yaitu suami, disebutkan pada hadits sebelumnya, “Hingga pagi hari,” tetapi pada hadits ini dihubungkan dengan kerelaan suami, hal ini bisa jadi kurang atau lebih, kerana bisa jadi suami itu rela sebelum terbit matahari atau baru reda kemarahannya setelah sehari atau dua hari, yang penting selama suami masih marah, maka Allah murka kepadanya.

Hal ini sebagai bukti betapa besarnya hak suami yang harus ditunaikan seorang istri, hal ini berkaitan dengan hak-hak suami yang menunaikan hak istrinya, tetapi bagi suami yang lalai dan tidak menunaikan hak istrinya, maka istri berhak untuk tidak menunaikan tugas dan kewajibannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu  maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 193) dan firman-Nya, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” 
(QS. An-Nahl: 16: 126)

Tetapi jika suami itu shalih, menunaikan hak istrinya, namun sang istri durhaka ia melalaikan hak suaminya, maka inilah akibatnya, jika ia mengajak ke tempat tidurnya, ia malah enggan menunaikannya.

Kesimpulannya, bahwa lafazh dalam hadits ini sifatnya bebas, tetapi tetap dikaitkan dengan kondisi suami yang melaksankan kewajibannya, apabila sang suami tidak melaksanakan kewajibannya, maka si istri boleh membalas dengan tidak menunaikan kewajibannya sebagaimana si suami tidak melaksanakan haknya, Allah Ta'ala berfirman, “Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu  maka seranglah dia setimpal dengan serangannya terhadap kamu.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 193) dan firman-Nya, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” 
(QS. An-Nahl: 16: 126)

Hadits ini sebagai dalil kuat ahlus sunnah wal jamaah dan salafus shalih yang berpendapat bahwa Allah Ta'ala ada di langit, Dia sendiri, di atas Arsy-Nya, di atas langit ke tujuh, sabda Rasulullah, “di langit,maksudnya bukan kerajaan di langit, ini adalah penyelewengan arti yang sebenarnya.

Mengubah perkataan dari tempat-tempatnya adalah salah satu sifat Yahudi, mereka mengubah kitab Taurat dari tempat-tempatnya dan jauh dari apa yang Allah Ta'ala kehendaki, kerana kerajaan Allah itu terdapat di langit dan di bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi.” (QS. Âli 'Imran: 3: 189)

“Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan segala sesuatu. Dia melindungi, dan tidak ada yang dapat dilindungi (dari adzab-Nya).” 
(QS. Al-Mu'minûn: 23: 88)

“Milik-Nyalah perbendaraan langit dan bumi.” (QS. Asy-Syûrâ: 42: 12)

Langit dan bumi ini di tangan Allah Ta'ala, semuanya adalah kerajaan-Nya, tetapi yang dimaksud Dia sendiri di atas langit-Nya bersemayam di atas Arsy, pada dasarnya masalah ini adalah fitrah manusia yang tidak membutuhkan kajian yang melelahkan, sehingga manusia menetapkan bahwa Allah itu di langit, hanya dengan kefitrahannya ia mengangkat kedua tangannya ke langit ketika berdoa lalu ia arahkan hatinya ke langit, dan diangkatkannya juga tangan ke arahnya.

Bahkan hewan sekalipun mengangkat mukanya ke langit, sebagaimana yang pernah diriwayatkan oleh salah satu ustadz di universiti kami ketika bercerita tentang seseorang yang meneponnya dari Kairo, menjelaskan tentang gempa bumi yang menimpa Mesir, ia berkata, “Sebelum gempa bumi menggoncang Mesir, hewan-hewan di ladang berontak dengan keras, kemudian mengangkat kepalanya ke langit.” Maha suci Allah, hewan sekalipun mengetahui bahwa Allah Ta'ala di langit, sementara manusia mengingkari bahwa Allah di langit, Naudzu Billah, hewan pun mengetahui dan mengenal-Nya.

Kita menyaksikan sebahagian hewan melata jika anda mengganggunya ia diam dan mengangkat tangannya ke langit, ini menunjukkan bahwa keberadaan Allah Ta'ala di langit itu adalah sesuatu yang fitrah, tidak membutuhkan penelitian yang meletihkan. Bahkan orang yang mengingkari bahwa Allah Ta'ala ada di langit sekalipun -kita mohon semoga Allah menurunkan hidayah-Nya- kalau mereka berdoa, mereka mengangkat tangannya ke langit, subhanallah! Perbuatan mereka bertentangan dengan keyakinannya, inilah keyakinan yang batil dan rusak yang dikhawatirkan terjerumus pada kekufuran.

Inilah kisah seorang budak perempuan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tuannya ingin membebaskannya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Panggilkan dia.Budak itu pun datang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menayakannya, “Di manakah Allah?Budak itu menjawab, “Di langit.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meneruskan pertanyaannya, “Siapa saya?” Budak itu menjawab, “Engkau adalah Rasulullah.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada tuannya, “Bebaskan budak ini kerana ia adalah seorang yang beriman. 

[Shahih Muslim no. 537]

Subhanallah, orang-orang yang menyakini bahwa Allah tidak ada di langit berkata, “Siapa yang mengatakan bahwa Allah ada di langit berarti telah kafir.” Naudzu Billah, kita memohon hidayah kepada-Nya.

Yang terpenting, akidah yang kita yakini ini bahwa Allah Ta'ala berada di atas segala sesuatu, Dia yang berkuasa atas sekalian hamba-hamba-Nya. Dia bersemayam di atas Arsy, dan Arsy-Nya itu berada di langit seperti kubah yang dibuat di atas langit dan bumi, langit dan bumi jika dibandingkan dengan Arsy-Nya, maka tidak menyamai sedikit pun.

Sebagaimana yang terdapat dalam sebagian atsar, “Sesungguhnya tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi dibandingkan dengan Kursy seperti halnya anting-anting yang dilemparkan ke sahara, anting-anting baju besi sangatlah kecil, kunci pun tidak bisa masuk, apabila dilemparkan ke tengah-tengah sahara, apa yang akan kamu cari dari hamparan yang begitu luas ini? Tidak ada.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ketujuh-tujuh langit dan bumi jika dibandingkan dengan kursy melainkan seperti anting-anting yang dilemparkan di tengah-tengah padang yang sangat luas (padang pasir atau gurun sahara), dan besarnya ‘Arsy Allah jika dibandingkan dengan kursy adalah seperti besarnya padang yang luas tersebut dibandingkan dengan anting-anting tersebut.”

[Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-‘Arsy, no. 58. Al-Imam Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Ash-Shifat, 2/300, no. 861. Kata Al-Baihaqi: Hadis ini memiliki syahid dengan isnad yang diterima. Diriwayatkan juga oleh Abu Syaikh dalam Al-Azhomah, 2/570.]

[Hadis ini dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam Mukhtashar Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, no. 105. Ash-Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 109, dan Ta’liq Ath-Thohawiyah, 1/54].

Sungguh Maha besar Allah dari segala sesuatu. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman, “Kursy Allah meliputi langit dan bumi.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 255) Yaitu meliputi keduanya, lalu bagaimana pendapatmu tentang Allah Ta'ala?

Allah Ta'ala di atas segala sesuatu, ini adalah akidah kita, kita memohon kepada Allah agar mematikan dan membangkitkan kita di atas akidah ini, inilah akidah yang dipegang teguh oleh Ahlus sunnah wal jamaah dan kesepakatan para ulama.   

Hadits no. 282.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيضًا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا يَحِلُّ لِا مْرَأَةٍ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلَا تَأْذَنْ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذَا لَفْظُ الْبُخَارِيِّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  

“Tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya (di rumah), kecuali dengan izin suaminya, dan tidak halal  mengizinkan seorang pun masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan izin suaminya.

[Shahih Al-Bukhari no. 5195 Muslim no. 1026]

Penjelasan. 

Hadits ini menyebutkan sebagian hak-hak suami yang harus ditunaikan si istri, ia tidak boleh berpuasa selama si suami ada di daerahnya (tidak pergi jauh), kecuali dengan izinnya, tetapi jika si suami tidak ada, maka istrinya boleh berpuasa sehendaknya, tetapi jika suaminya masih ada di daerahnya maka janganlah berpuasa.

Zhahir hadits ini, bahwa istri tidak boleh berpuasa fardhu maupun sunnah kecuali dengan izinnya, adapun puasa sunnah maka hal ini sudah jelas bahwa ia tidak diperbolehkan berpuasa kecuali dengan izin suaminya, kerana hak suami itu hukumnya wajib ditunaikan sedangkan puasa sunnah tidaklah mengapa jika ditinggalkan, hak suami jika ditinggalkan akan berdosa. Yang demikian itu, barangkali si suami ingin bersenang-senang dengannya, jika istrinya sedang berpuasa, sedangkan suaminya ingin bersenang-senang dengannya, maka ia merasa berdosa dalam dirinya. Jika tidak, maka bersenang-senanglah dengannya, pergaulilah walaupun ia sedang puasa sunnah. Jika sebelumnya suami belum mengizinkannya berpuasa, miskipun hal itu merusak puasanya, maka ia tidaklah berdosa. Tetapi tetap saja dalam dirinya ia merasa berdosa, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang istri untuk berpuasa sementara suaminya ada di sisinya (di rumah), kecuali dengan izin suaminya.”

Adapun jika berupa puasa fardhu, apabila waktu menunaikannya itu masih tersisa maka tidak halal baginya berpuasa kecuali seizin suami jika ia masih ada, misalnya seorang istri memiliki hutang puasa Ramadhan sepuluh hari, sementara sekarang bulan Rajab, kemudian ia berkata, “Saya ingin mengqadha puasa.” Maka kami menjawab, “Janganlah kamu mengqadha puasa kecuali seizin suami, kerana masih terdapat waktu untuk mengqadhanya, tetapi jika bulan Sya'ban tinggal sepuluh hari lagi, maka ia harus berpuasa walaupun tidak seizinnya, kerana seseorang yang memiliki puasa qadha tidak boleh menunda qadha puasanya hingga datang puasa berikutnya, artinya ia menunaikan hal wajib yang difardhukan dalam agama, maka ia tidak perlu meminta izin kepada suami atau selainnya.”

Puasa wanita itu ada perinciannya. Jika puasanya itu sunnah, maka ia tidak boleh puasa kecuali dengan izin suaminya. Adapun puasa fardhu, jika waktu puasanya itu masih lama, maka shalat tidak boleh berpuasa kecuali dengan izin suaminya. Jika waktunya itu sempit, maka tidak disyaratkan baginya untuk meminta izin suaminya, itupun bila suaminya ada di sisinya, jika tidak ada, maka ia bebas melaksanakannya.

Apakah hukum shalat juga demikian juga? Ada kemungkinan shalat juga sama seperti puasa, bahwasanya janganlah ia melaksanakan shalat sunnah tanpa seizinnya. Kemungkinan juga ia berbeda dengan puasa, kerana waktu shalat itu terbatas berbeda dengan puasa, puasa itu waktunya sepanjang siang, sedangkan shalat tidaklah demikian, shalat sunnah hanya dua rakaat dan tidak wajib tidak harus seizin suaminya. Secara zhahir bahwa shalat itu tidak sama seperti puasa, istri boleh shalat (sunnah) walaupun suaminya sedang ada disisinya, kecuali jika ia melarangnya, misalnya ia mengatakan, “Saya ingin bersenang-senang denganmu,” maka ia tidak boleh shalat sunnah Dhuha misalnya, shalat malam dan sebagainya.

Sebaliknya suami juga tidak boleh melarang istrinya beramal shalih, kecuali jika memang sangat mendesak, ia dikalahkan oleh syahwatnya, tidak memungkinkan untuk bersabar lagi, kalau tidak demikian hendaknya suami membantunya menunaikan ketaatan kepada Allah dan beramal shalih, kerana ia juga mendapatkan pahala dengannya sebagaimana istrinya mendapat pahala.

Adapun jika ia memasukkan seseorang tanpa seizinnya, maka hal ini jelas tidak boleh, ia tidak diperkenankan memasukkan seseorang ke dalam rumahnya, kecuali dengan seizinnya. Izin memasukkan seseorang ke dalam rumah ini ada dua macam:

1). Izin yang sudah jadi kebiasaan, seperti memasukkan wanita tetangga, teman dekat, rakan dan yang lainnya. Jika suami biasa mengizinkannya, maka istri boleh mengizinkan mereka, kecuali jika jelas suami melarang seperti berkata, “Kamu jangan mengizinkan fulanah masuk ke rumah,” maka ia tidak boleh mengizinkannya masuk.

2). Izinnya dengan ucapan, seperti suami mengatakan kepadanya, “Siapa saja boleh kamu masukkan, kecuali orang yang menurutmu tidak baik,” izin ini terikat dengan izin suaminya.

Hadits ini menunjukkan bahwa suami itu berhak mengatur rumah tangganya, berhak melarang siapa pun yang ia tidak senangi, bahkan ibu mertua sekalipun, saudari, atau bibi, tetapi tidaklah ia melarangnya kecuali jika memang kedatangannya itu mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap keluarganya, kerana tidak sedikit wanita -Naudzu Billah-  yang tidak baik, ia malah mengganggu anak dan suaminya, ia mendatangi anaknya kemudian menyuntikkan api permusuhan dan kebencian pada rumah tangganya, sehingga anaknya itu membenci suaminya. Ibu mertua seperti ini tidak boleh ditinggal bersama anaknya, kerana ia bisa merusak hubungannya dengan suaminya, dia seperti tukang sihir yang mengajarkan hal yang dapat memisahkan hubungan suami istri.

Hadits no283.
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah pemimpin seluruh keluarganya, seorang istri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya. Kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinan kalian.

[Shahih Al-Bukhari no. 893, 7138. Muslim no. 1829]

Hadits no. 284.
وَعَنْ أَبِي عَلِيٍّ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا دَعَا الرَّجُلُ زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَالنَّسَائِي، وَقَالَ الْتِّرْمٍذِي: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
Daripada Abu Ali Thalq bin Ali radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jika seorang suami mengajak istrinya untuk bersetubuh, maka istrinya harus memenuhi walaupun ia sedang ada di dapur.

[HR. At-Tirmidzi no. 1160. Nasa'i no. 8971, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 534 dan Ash-Shahihah no. 1202] 

Hadits no. 285.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أََنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ». رَوَاهُ التِِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثُ حَسَنُ صَحِيحُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda,

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang, niscaya aku menyuruh sesorang istri untuk bersujud kepada suaminya.

[HR. At-Tirmidzi no. 1159, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 5294 dan Irwa' -Ghalil no. 1998]

Hadits no. 286.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَت: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: « أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Ummu Salamah radhiyallahu anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Setiap istri yang meninggal dunia sedang suaminya ridha kepadanya, maka wanita itu akan masuk surga.

[HR. At-Tirmidzi no. 1161, Ibnu Majah no. 1854, dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Al-Jami' no. 2227 dan As-Silsilah Adh-Dhaifah no. 1426]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Ibnu Umar radhiyyallahu anhu, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.”

Hadits ini menunjukkan kepada seluruh umat manusia, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap orang itu bertanggungjawab atas kepemimpinannya, pemimpin adalah seorang yang menunaikan sesuatu menjaga dan mempersiapkan segala sesuatu atas keberlangsungannya, menghindarkan dari setiap yang mengancam keberadaannya, seperti halnya penggembala kambing, ia mencari padang rumput yang subur dan menghindari dari tempat yang tandus.

Seluruh anak Adam adalah pemimpin yang bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya, penguasa adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawabannya, penguasa ini berbeda-beda dalam pelaksanaan dan tempat kerjanya, terkadang ia berkuasa atas daerah yang kecil, maka pertanggungjawabannya juga kecil. Terkadang juga ia berkuasa atas kota besar dan tanggungjawabnya pun besar, atau bahkan penguasa dalam skala lebih besar seperti pemimpin suatu negeri, raja, presiden atau para amirul mukminin seperti Umar bin Al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, para Khalifah Bani Umayyah dan sebagainya.

Yang terpenting bahwa pemimpin itu beragam dalam kepemimpinannya, baik berupa tanggungjawab yang besar mahupun kecil. Oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin,” yaitu akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Setiap suami itu pemimpin dalam skala yang terbatas, ia pemimpin bagi rumah tangganya, istri, putra-putrinya, saudari, bibi, dan semua anggota keluarganya, ia adalah pemimpin keluarga dan akan dimintai pertanggungjawabannya, ia wajib memelihara dan mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kerana ia sebagai penanggungjawab atas mereka semua.

Begitu juga istri, ia adalah pemimpin atas rumah suaminya dan akan pertanggungjawabannya, ia bertugas mengatur rumahnya, masak, membuat minuman, tempat tidur, tidak memasak atau membuat minuman yang berlebihan, ia harus berhemah dalam dalam mengatur keuangan keluarga, kerana hemah itu sebagian dari kehidupan, tidak melampaui batas yang ada. Disamping itu, ia juga bertanggungjawab untuk mendidik anak-anaknya. Ia juga bertanggungjawab terhadap masakan keluarga dengan baik, intinya ia bertanggungjawab terhadap semua urusan rumah.

Begitu juga seorang budak, ia adalah pemimpin terhadap harta tuannya, ia bertanggungjawab atas kepemimpinannya, ia harus menjaga harta benda tuannya, membelanjakan hartanya dengan baik, tidak boros, tidak melampaui batas-batasnya. Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya.

Adapun hadits-hadits yang disebutkan oleh penulis, semuanya itu perlu dikaji lagi keshahihannya, tetapi secara garis besar hadits-hadits ini menunjukkan betapa besar hak suami atas istrinya, sungguh haknya itu sangat besar yang wajib ditunaikan oleh istrinya, begitu juga suami, ia harus menunaikan hak-hak istrinya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 255) 

Ini hakikat persamaan, keadilan hak dan kewajiban yang diusung oleh syariat Islam.

Hadits no. 287.
وَعَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلَّا قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِيْنِ لَا تُؤْذِيْهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ، فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُؤشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا ». رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Mu'az bin Jabal radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Janganlah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan calon istrinya (bidadari) di akhirat berkata, Janganlah kamu menyakitinya, semoga Allah mencelakakanmu, sungguh ia hanya sementara berkumpul denganmu, sebentar lagi akan berpisah dan akan kembali kepada kami.

[HR. At-Tirmidzi no. 1174. Ahmad no. (5/ 242), dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As- Silsilah Ash-Shahihah no. 173 dan Shahih Ibnu Majah no. 1973] 

Hadits no. 288.
وَعَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً هِيَ أَضَرُّ عَلَى الرِِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ » مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Daripada Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tiada aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki dari fitnah wanita.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5096 Muslim no. 2740, 2741]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu, bahwasanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiada aku tinggalkan suatu fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki dari fitnah wanita.” 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa tiada fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki dari fitnah wanita, kerana sifat dasar manusia itu seperti yang tersirat dalam firman Allah Ta'ala, 

“Dijadikan terasa indah pada pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, yaitu: perempuan-pempuan, anak-anak, harta benda yang banyak dalam bentuk emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 14)

Ini semua adalah perhiasan yang dianugerahkan kepada manusia di dunia, yang menjadi penyebab terjadinya fitnah, tetapi fitnah yang paling besar adalah wanita. Kerana itu Allah Ta'ala memulai firman-Nya, “Dijadikan terasa indah pada pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, yaitu: perempuan-pempuan.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan hal ini dengan tujuan agar manusia waspada terhadap fitnah wanita, harus bersikap waspada terhadapnya, kerana dia hanya seorang manusia jika fitnah dihadapkan kepadanya, maka dia khawatir terperosok ke dalamnya.

Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah menutup rapat setiap yang menyebabkan terjadinya fitnah wanita, setiap muslim wajib menutup setiap pintu yang menyebabkan terjadinya fitnah ini. Oleh kerana itu, wanita muslimah diharuskan mengenakan jilbab di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya, bahkan menurut sebagian ulama ia diharuskan menutup wajah, tangan dan kakinya. Menghindarkan diri dari bercampur dengan kaum laki-laki, kerana bercampur ini merupakan pintu fitnah yang menyebabkan terjadinya fitnah antara keduanya.

Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sebaik-baiknya shaf laki-laki adalah yang pertama, dan sejelek-jeleknya adalah yang terakhir. Sedangkan sebaik-baiknya shaf perempuan adalah yang terakhir dan yang paling jeleknya adalah yang pertama.”

[Shahih Muslim no. 440]

Tujuannya agar wanita itu jauh dari kaum laki-laki, setiap kali ia bertambah jauh, maka hal itu lebih baik dan utama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kepada kaum wanita untuk keluar menunaikan shalat hari raya, tetapi tidak bercampur dengan kaum laki-laki, ditempatkan pada tempat yang khusus, setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai berkhutbah pada jamaah kaum laki-laki, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam turun dari mimbar dan pergi ke tempat khusus wanita lalu menasihati dan mengingatkan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kaum wanita menempati tempat khusus yang berbeda dengan kaum laki-laki.

Generasi kala itu adalah generasi yang kuat dalam memegang ajaran agama, jauh dari perbuatan keji, bagaimana dengan generasi kita yang hidup pada zaman moden sekarang ini? Hendaknya selalu menjaga setiap pintu penyebab terjadinya fitnah wanita, jangan sampai terpikat dengan ajakan kelompok-kelompok sesat yang mengekor pada budaya orang-orang kafir, mengajak para wanita dan laki-laki untuk bercampurbaur, itu merupakan bisikan-bisikan setan yang merasuk ke dalam telinga dan menghiasi hati mereka. Bisa dipastikan bahwa budaya yang mendahulukan kaum wanita dan menyuruh mereka bergaul dengan laki-laki adalah jurang kehancuran yang sangat berbahaya, mereka berangan-berangan agar terbebas darinya tetapi mereka tidak pernah mampu.

Sungguh sangat disayangkan, sebagian dari anak-anak kita yang menyeru untuk melucuti akhlak mulia, menyulut api fitnah di negeri ini, memberikan keluasan bagi wanita untuk keluar, bergaul dengan laki-laki, berusaha mempekerjakan mereka bersama kaum laki-laki saling berdampingan, kita mohon kepada-Nya semoga memelihara kita dari segala keburukan dan fitnah, sungguh Dialah yang Mahamulia.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...