Sabtu, 27 April 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 36. Memberi Nafkah Kepada Keluarga.

Allah ﷻ berfirman:
۞وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ، رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ۞
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.” (QS. Al-Baqarah: 2: 233)

Allah ﷻ berfirman:
۞لِيُنفِقْ ذُو سَعَةِِ مَّن سَعَتِهِ، وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَـٰهُ اللَّهُ لَا يُكَلِفُ اللَّهُ نَفْسًا إلاَّ مَآ  ءَاتَـٰهَا،۞
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.” 
(QS. Ath-Thalâq: 65: 7)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ ۖ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ۞
“Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan mengantikannya. Dialah pemberi rezeki yang terbaik. (QS. Saba': 34: 39)

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab, “Memberi Nafkah Kepada Keluarga.” Keluarga adalah setiap orang yang ditanggung oleh seseorang yaitu istri, kerabat dekat, hamba, sebagaimana yang telah kita bahas dalam hak-hak istri. Sementara kerabat dekat juga memiliki hak, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat.” (QS. An-Nisâ: 4: 36)

Kerabat dekat juga memiliki hak untuk dinafkahi, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan segala kebutuhannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” Maulud Lahu adalah ayahnya, ia berkewajiban memberi nafkah terhadap anak-anak dan istrinya, serta orang yang menyusui anaknya walaupun bukan istrinya, kerana Allah Ta'ala berfirman, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf,kerana menyusui, adapun jika ia memiliki keterkaitan, maka ia wajib menafkahinya kerana hak istri.

firman-Nya, “Dan kewajiban ayah” mencakup ayah dan seterusnya ke bawah atau ayah ke atas, seperti kakek dan orang di atasnya, maka ia wajib menafkahi cucu dan seterusnya ke bawah.

Tetapi hal ini memiliki beberapa syarat:

1). Hendaknya orang yang menafkahi ini memiliki kemampuan, kalau ia tidak mampu, maka ia tidak wajib menafkahinya, sebagaimana firman Allah, Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya, Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya.”

2). Orang yang dinafkahi tidak mampu menafkahi dirinya sendiri, jika ia mampu menafkahi dirinya sendiri maka hal itu lebih baik, tidak wajib bagi seseorang untuk menafkahinya, kerana ia berkecukupan, maka ia tidak wajib dinafkahi.

3). Hendaknya orang yang menafkahi itu termasuk ahli waris orang yang dinafkahi, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan waris pun berkewajiban demikian.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 233)

Jika ia hanya seorang kerabat bukan ahli waris, maka ia tidak wajib menafkahinya.

Tatkala ketiga syarat ini sudah terpenuhi, maka saudara dekat wajib menafkahi saudaranya yang membutuhkan nafkah, seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menikahkan, jika saudaranya itu hanya mampu pada sebagian nafkah saja, maka wajib bagi kerabat dekat yang termasuk ahli waris untuk menyempurnakan kekurangannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Dan waris pun berkewajiban demikian.”

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan tiga ayat, ayat pertama, “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.”  

Kedua, Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya.”

Ketiga, “Dan apa saja yang kamu infakkan, maka Allah akan mengantikannya. Dialah pemberi rezeki yang terbaik.”

“Dan apa saja yang kamu infakkan,” Artinya barang apa saja yang kamu infakkan kerana Allah, “Maka Allah akan menggantikannya,” yaitu memberikan gantinya, Dia-lah sebaik-baiknya pemberi rezeki.

Hadits no. 289.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَدِيْنََارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ، وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ. 
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Satu dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, satu dinar yang kamu infakkan untuk memerdekakan hamba, satu dinar yang kamu berikan kepada orang miskin dan satu dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu, maka yang paling besar pahalanya yaitu satu dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu.”

[Shahih Muslim no. 995]

Hadits no. 290.
وَعَنْ أَبِيْ عَبْدِ اللَّهِ وَيُقَالُ لَهُ: أَبِيْ عَبْدِ الرَّحْمَن ثَوْبَانَ بْنِ بُجْدُدٍ مَوْلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  « أَفْضَلُ دِيْنَارٍ يُنْفِقُهُ الرَّجُلُ دِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى عِيَالِهِ، وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى دَابَّتِهِ فِي سَبِيْلِ اللَّهِ، وَدِيْنَارٌ يُنْفِقُهُ عَلَى أَصْحَابِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Abdullah dikatakan juga kepadanya Abu Abdurrahman Tsauban bin Bujdud, budak yang dimerdekakan Rasulullah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dinar yang paling utama adalah dinar yang dinafkahkan seseorang kepada keluarganya, dinar yang dinafkahkan untuk binatang tunggangannya di jalan Allah dan dinar yang dinafkahkan untuk membantu sahabat-sahabat seperjuangan di jalan Allah.”

[Shahih Muslim no. 994]

Hadits no. 291.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ لِي أَجْرٌ فِي بَنِي أَبِي سَلَمَةَ أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْهِمْ، وَلَسْتُ بِتَارِكَتِهِمْ هَكَذَا وَهَكَذَا، إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ؟ فَقَالَ: « نَعَمْ لَكِ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتِ عَلَيْهِمْ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ummu Salamah radhiyallahu anha, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah apakah aku dapat memperoleh pahala apabila aku memberi nafkah kepada anak-anak Abu Salamah, kerana aku tidak akan membiarkan mereka berkeliaran mencari makan ke sana ke mari. Sesungguhnya mereka itu pun anak-anak aku?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, kamu mendapat pahala terhadap apa yang kamu nafkahkan kepada mereka.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5369 Muslim no. 1001]

Hadits no. 292.
وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيلِ الَّذِي قَدَّمْنَاهُ فِي أَوَّلِ الْكِتَابِ فِي بَابِ النِّيَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهُ: « وَإِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلَّا أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Sa'ad bin Abi Waqqas radhiyallahu anhu, dalam haditsnya yang panjang di mana kami tulis pada permulaan kitab dalam bab niat, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

“Sesungguhnya apa sahaja yang kamu nafkahkan dengan maksud mencari keridhaan Allah, niscaya kamu akan diberi pahala atasnya bahkan apa yang kamu suapkan ke mulut istrimu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 50, 1295 Muslim no. 1628]

Hadits no. 293.
وَعَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً يَحْتَسِبُهَا فَهِي لَهُ صَدَقَةٌ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Mas'ud Al-Badri radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 

“Apabila seseorang menafkahkan harta untuk keperluan keluarganya dengan berharap pahala di sisi-Nya, maka pemberian itu akan menjadi sedekah baginya.”

[Shahih Al-Bukhari no 55 Muslim no. 1002]

Hadits no. 294.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « كَفَي بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُضَيِِّعَ مَنْ يَقُوتُ » حَدِيثٌ صَحِيْحٌ، رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَغَيْرُهُ.
Daripada Abdullah bin 'Amr bin 'Ash radhiyallahu anhuma dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Cukuplah seseorang dianggap berdosa apabila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberi nafkah.”

[HR. Abu Dawud no. 1692, dinilai Hassan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4481]

Imam Muslim meriwayatkan pula dalam kitab sahihnya, hadits yang sama maksud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa jika tidak memberikan nafkah kepada orang harus diberi nafkah.”

[Shahih Muslim no. 996]

Hadits no. 295.
وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِِحُ الْعِبَادُ فِيْهِ إِلَّا مَلَكَانِ يَنْزِلَانِ، فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا، وَيَقُولُ الْآخَرُ: اَللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tiada pagi yang dilewati oleh seorang hamba kecuali ada dua malaikat yang turun, yang satu berdoa, “Ya Allah berikanlah pengganti bagi siapa yang menafkahkan hartanya, dan malaikat yang lainnya berdoa, “Ya Allah berikanlah kebinasaan kepada orang yang kikir.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1445 dan Muslim no. 1010]

Hadits no. 296.
وَعَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنًى، وَمَنْ يَسْتَعفِفْ، يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِه اللَّهُ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tangan yang berada di atas (pemberi) itu lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang menerima) dan dahulukanlah orang yang menjadi tanggunganmu. Sebaik-baik sedekah adalah sedekah yang diberikan oleh orang yang mempunyai kecukupan. Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaga kehormatannya, dan barangsiapa yang berasa dirinya cukup, maka Allah akan mencukupkannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1428]

Penjelasan.

Semua hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi ini dalam Bab, “Memberi Nafkah Kepada Keluarga,” semuanya menunjukkan tentang keutamaan menafkahi keluarga, hal itu lebih utama daripada berinfak di jalan Allah, lebih utama daripada menafkahi hamba sahaya dan orang-orang miskin. Sebab, keluarga adalah orang-orang yang Allah amanatkan kepadamu, dan kamu wajib menafkahi mereka. Menafkahi meraka hukumnya fardhu' ain, sementara infak kepada selain mereka adalah fardhu kifayah. Maka fardhu 'ain lebih utama dari pada fardhu kifayah.

Menginfakkan harta kepada selain keluarga hukumnya sunnah, dan yang fardhu lebih utama daripada sunnah, sebagaimana firman Allah Ta'ala dalam hadits Qurdsi,

“Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku fardhukan kepadanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6502]

Setan selalu menyenangkan manusia dengan berinfak pada yang sunnah namun meninggalkan yang wajib. Seperti seorang yang semangat bersedekah dan meninggalkan yang wajib, ia bersedekah kepada orang miskin, tetapi ia meninggalkan nafkah yang wajib kepada keluarganya. Bersedekah kepada fakir miskin dan meninggalkan nafkah yang wajib baginya, seperti membayar hutang, orang yang memberi hutang telah menagihnya beberapa kali tetapi ia tidak juga menepatinya, tetapi ia berinfak kepada orang-orang miskin, melaksanakan umrah, dan sebagainya, sedangkan ia meninggalkan kewajiban. Hal ini bertentangan dengan syariat dan sunnah, kerana kebodohan dan kesesatannya.

Kewajiban seorang muslim adalah memulai dengan hal-hal yang wajib, yang merupakan kewajibannya, setelah itu ia boleh menunaikan yang sunnah dengan syarat tidak berlebihan atau kikir, sehingga berada dalam pertengahan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqân: 25: 67)

Yaitu tidak kikir dan tidak belebihan, tetapi bersikap pertengahan. Ayat ini tidak hanya mengatakan di antaranya saja, tetapi di antaranya dengan jalan pertengahan, terkadang yang utama itu ditambah atau dikurangi, atau terkadang di tengah-tengah di antara keduanya.

Yang terpenting, bahwa semua hadits ini menunjukkan kewajiban seseorang untuk menafkahi orang yang wajib dinafkahinya, menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya lebih utama daripada menafkahi orang lain.

Dalam hadits-hadits ini juga terdapat kecaman dan ancaman bagi orang yang melalaikan setiap makhluk yang menjadi tanggungannya, baik itu manusia atau lainnya. Misalnya seseorang yang memiliki hewan ternak seperti unta, sapi, kambing dan sebagainya, ia berdosa jika tidak memenuhi kebutuhannya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika tidak memberikan nafkah kepada orang yang harus dinafkahi.” 

Dalam riwayat selain Muslim dikatakan, 
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa apabila ia menyia-nyiakan orang yang harus dinafkahi.” 

Ini semua merupakan dalil wajibnya seseorang memberikan nafkah kepada setiap orang yang menjadi tanggungannya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...