Allah ﷻ berfirman:
۞فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَ لَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِى اْلأَرْضِ وَتُقَطِِّعُوٓا أَرْحَامَكُمْ، أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَارَهُمْ۞
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.”
(QS. Muhammad: 47: 22-23)
۞وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيشَـٰقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَآ أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي اْلأَرْضِ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الْلَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوٓءُ الدَّارِ۞
“Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi; mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” (QS. Ar-Ra’ad: 13: 25)
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوٓا إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَـٰنًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلَا تَقُل لَهُمَآ أُفٍٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا۞
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapa. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan, “Hah!” dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik dan merendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. Al-Isrâ: 17: 23-24)
Hadits no. 336.
وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ نُفَيْعِ بْنِ الْحَارِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: » أَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِأكْبَرِ الْكَبَائِرِ؟ » ثلاَثًا قُلنَا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ: قَالَ: « اَلْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ » وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ، فَقَالَ: أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ » فَمَا زَالَ يُكَرِِّرُهَا حَتَّى قُلنَا: لَيْتَهُ سَكَتَ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Bakrah Nufai' bin Al-Harits radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mahukah kamu semua aku beritahu tentang sebesar-sebesarnya dosa besar?” Rasulullah mengulanginya tiga kali.
Kami menjawab, “Tentu Wahai Rasulullah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Yaitu menyekutukan Allah dan mendurhaki kedua orang tua.” Semula Rasulullah bersandar, lalu duduk, seraya meneruskan sabdanya, “Ingatlah! perkataan bohong dan persaksian yang palsu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa mengulangi perkataan itu, sehingga kami berkata dalam hati, “Semoga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diam.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2654 dan Muslim no. 87]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab “Haramnya mendurhakai kedua orang tua dan memutuskan tali persaudaraan.”
Kata, “Al-Uquq” diambil dari kata “Al-'Aqq” artinya memotong, darinya juga dinamakan aqiqah yaitu hewan yang dipotong pada hari ketujuh kelahiran, kerana lehernya dipotong ketika disembelih.
Durhaka kepada orang tua termasuk dosa besar, kerana terdapat ancamannya dalam Al-Qur'an dan hadits, begitu juga bagi orang-orang yang memutuskan silaturrahim, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” Yaitu jika kalian berkuasa, maka kalian membuat kerusakan di muka bumi ini dan memutuskan hubungan tali kekeluargaan dan kalian pun berhak mendapatkan laknat.
“Dan dibutakan-Nya penglihatan mereka,” maksudnya penglihatan ini adalah mata hati bukan mata kepala. Yakni Allah Ta'ala membutakan mata batin seseorang, sehingga ia melihat kebatilan itu menjadi kebenaran dan kebenaran itu menjadi kebatilan.
Ia mendapatkan hukuman di dunia dan akhirat. Di akhirat ia mendapatkan laknat, “Mereka itulah orang-orang yang dilaknat Allah,” adapun di dunia, “Dan ditulikan-Nya telinga mereka,” tidak bisa mendengar kebenaran dan memanfaatkannya.
Allah Ta'ala berfirman, “Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disambungkan dan berbuat kerusakan di bumi, mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” Kata “miitsaaqul Ahdi” untuk menguatkannya, lalu mereka merusak janji, artinya mereka memutuskan apa yang diperintahkan untuk menyambung jalinan kepada kerabat dan yang lainnya, dan mereka berbuat kerusakan di muka bumi dengan berbuat kemaksiatan. “mereka itulah memperoleh kutukan” yaitu ditolak dan dijauhkan dari rahmat Allah Ta'ala, “Dan tempat kediaman yang buruk (Jahanam).” Yaitu akhir yang buruk di Jahanam.
Allah Ta'ala berfirman, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapa. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan, “Hah!” dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik dan merendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” Allah Ta'ala memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua. Dengan firman-Nya, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu,” baik ayah mahupun ibu, jangan sekali-kali engkau membentaknya, kerana orang jika telah tiba masa tuanya, terkadang ia sampai kepada kepikunan dan kerentaan ia pun menjadi lemah.
Dalam kondisi seperti ini, “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “Hah!” Jangan sampai mengatakan aku marah kepada kalian, “Dan janganlah kamu membentak mereka” tatkala berbicara, “Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia,” ucapan baik yang dapat membuat keduanya bahagia dan dapat menghilangkan rasa sedih dan gundah. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang,” yaitu rendahkanlah hatimu, walaupun dirimu memiliki kedudukan dan jabatan yang tinggi seperti burung yang terbang tinggi, rendahkanlah hatimu di hadapan keduanya sebagai tanda kasih sayang kepada keduanya, “Dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku pada waktu kecil.” Sayangilah keduanya dan berdoalah kepada Allah agar menyayangi keduanya.
Inilah yang diperintahkan Allah dalam bersikap kepada kedua orang tua setelah mereka lanjut usia. Adapun dalam kondisi masih kuat biasanya orang tua tidak memerlukan bantuan anaknya.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits Abu Bakrah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mahukah kalian aku beritahukan tentang dosa besar yang paling besar?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulanginya tiga kali. Kami menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Yaitu menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua.” Perbuatan ini termasuk dosa besar. Menyekutukan Allah adalah dosa terbesar yang berhubungan dengan hak hamba kepada Allah. Sementara durhaka kepada orang tua adalah dosa terbesar yang berhubungan dengan hak orang yang paling berhak mendapatkan pertolongan dan perawatan, yaitu kedua orang tua.
Semula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandar, lalu duduk, seraya meneruskan sabdanya, “Ingatlah! juga sumpah palsu dan persaksian palsu.” Ini juga termasuk perbuatan dosa besar, Rasulullah merubah posisi duduknya kerana sungguh perbuatan ini sangat berbahaya dan akibatnya sangat mengerikan.
Persaksian palsu maksudnya adalah orang yang bersaksi dengan persaksian dusta. Pada zaman sekarang ini sumpah palsu sangat mudah terucap dari mulut kebanyakan orang, ia mengira ia telah berbuat baik, tetapi pada dasarnya ia telah berdusta pada dirinya sendiri, temannya dan lawannya.
Maksudnya merugikan dirinya kerana ia telah berbuat dosa besar, Naudzu Billah. Adapun maksud merugikan temannya kerana ia memberikan persaksian yang bukan haknya. Sedangkan maksud dari merugikan lawannya sangat jelas kerana ia menzhalimi dan merampas haknya. Oleh kerana itu, sumpah palsu termasuk dosa yang sangat besar.
Jika anda telah bersaksi palsu kepada seseorang, maka jangan mengira bahwa anda telah berbuat baik kepadanya. Tidak! Demi Allah, bahkan anda telah berbuat keburukan terhadapnya. Sangat disayangkan, kebanyakan orang sekarang ini bersaksi di depan pengadilan dalam satu permasalahan bahwa si fulanlah yang benar, ia membuat tipu daya kepada pengadilan, meminjam nama-nama yang palsu, semua ini dilakukannya kerana ia ingin memperoleh bagian dunia, namun mereka rugi di dunia dan akhirat dengan adanya kedustaan ini.
Hadits ini mengingatkan kita untuk selalu waspada terhadap empat hal; menyekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, perkataan dusta dan persaksian palsu.
Hadits no. 337.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌمَا عَنْ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلْكَبَائِرُ: اَلْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ، وَالْيَمِيْنُ الْغَمُوسُ » رَوَاهُ الْبُخَارِيّ.
Daripada Abdullah bin Amr bin Amr bin Ash radhiyallahu anhu ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Dosa-dosa besar itu adalah menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh orang dan bersumpah palsu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6675]
Hadits no. 338.
وَعَنْه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قََالَ: « مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ!، » قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَهَلْ يَشْتُمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ، يَسُبُّ أََبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ، فَيَسُبُّ أُمَّهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Diantara yang termasuk dosa-dosa besar adalah seseorang memaki kedua orang tuanya.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah ada seseorang yang memaki kedua orang tuanya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, apabila seseorang memaki ayah orang lain, kemudian orang itu membalas memaki ayahnya kemudian dia memaki ibu orang lain, dan orang itu memaki ibunya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90]
Dalam riwayat lain dikatakan, “Sesungguhnya yang termasuk dosa terbesar di antara dosa-dosa besar adalah orang yang mengutuk kedua orang tuanya.” Ada sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang mengutuk kedua orang tuanya?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Dia memaki ayah orang lain, kemudian orang itu membalas maki ayahnya, dan dia memaki ibu orang lain kemudian orang itu membalas memaki ibunya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5973 dan Muslim no. 90 ]
Hadits no. 339.
وَعَنْ أَبِي مُحَمَّدِِ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ » قَالَ سُفْيَانُ فِي رِوَايَتِهِ: يَعْنِي: قَاطِعُ رَحِمِِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Muhammad Jubair bin Muth'im radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali persaudaraan. (keluarga).”
[Shahih Al-Bukhari no. 5984 Muslim no. 2556]
Hadits no. 340.
وَعَنْ أَبِي عِيسَى الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ، وَمَنْعََا وَهَاتِ، وَوَأْدَ البَنَاتِ، وَكَرَهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الْمَالِ » مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
“Sungguh, Allah telah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu-ibu kalian, menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan, Allah juga membenci orang yang membicarakan segala hal yang didengar tanpa memastikan kebenarannya, banyak bertanya dan mensia-sia harta.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 1715]
Penjelasan.
Semua hadits ini menunjukkan tentang haramnya memutuskan silaturrahim dan durhaka kedua orang tua, telah dijelaskan pendapat-pendapat tentangnya, di antara adalah hadits dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara dosa-dosa besar adalah seseorang memaki kedua orang tuanya,” yaitu memaki dan menghardiknya, seperti dalam riwayat lain, “Allah Ta'ala mengutuk orang yang mengutuk kedua orang tuanya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang mengutuk kedua orang tuanya?” Kerana ini adalah hal yang aneh sepertinya tidak mungkin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, apabila seseorang memaki bapak orang lain, kemudian orang itu membalas dengan memaki bapaknya, dan ia memaki ibu orang lain lalu orang itu membalas dengan memaki ibunya.” Ini merupakan peringatan keras bagi seseorang yang menjadi sebab dimakinya orang tua dengan cara memaki orang tua yang lain, lalu orang itu membalas memaki kedua orang tuanya. Hal ini tidak menunjukkan diperbolehkannya orang kedua memaki orang tua yang lain, kerana tidak akan memikul dosa yang diperbuat oleh orang lain, tetapi biasanya seseorang membalas persis seperti yang lakukan. Jika seseorang memakinya, maka ia pun akan memakinya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah kamu memaki sembahan yang mereka sembah selain Allah, kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”
(QS. Al-An'âm: 6: 108)
Kerananya, selama ia menjadi sebab dicacinya kedua orang tuanya, maka ia akan mendapatkan dosanya atasnya.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits dari Al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh, Allah Ta'ala telah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu-ibu kalian, menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan.” Yang termasuk tema ini adalah, “Durhaka kepada ibu,” yaitu memutuskan kewajiban berbakti kepadanya. “Mengubur hidup-hidup anak perempuan.” Kerana pada masa jahiliyah mereka sangat benci memiliki anak perempuan, mereka merasa hina dan keberadaannya. Mereka beranggapan bahwa beranggapan wanita dalam keluarga adalah sebuah aib baginya.
Naudzu Billah, sehingga mereka menguburkan setiap anak perempuannya hidup-hidup. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, kerana dosa apa dia dibunuh?” (QS. At-Takwîr: 81: 8-9)
Oleh kerana itu, Allah mengharamkan, maka perbuatan biadab ini termasuk dosa besar. Jika membunuh orang lain yang mukmin adalah penyebab kekalnya seseorang di dalam neraka, sebagaimana firman Allah Ta'ala
“Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS. An-Nisâ: 4: 93)
Apalagi membunuh kerabat dekat, bahkan anaknya sendiri.
“Menolak kewajiban,” maksudnya seseorang yang menumpuk-numpuk harta tetapi menolak mengeluarkan kewajibannya, dan mengambil harta yang bukan haknya. Kedua diharamkan oleh Allah Ta'ala, kerana seseorang tidak diperbolehkan mencegah harta yang wajib ia keluarkan dan tidak boleh meminta sesuatu yang bukan haknya, keduanya perbuatan haram. Oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh Allah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu-ibu kalian, menolak kewajiban, meminta yang bukan haknya.”
“Allah juga membenci orang yang banyak bicara, banyak pertanyaan dan menyia-nyiakan harta.” Membenci atau mengharamkan tidak ada bedanya, kerana ketika Allah membenci maka hal itu berarti mengharamkan. Ini hanya masalah perbedaan ungkapan saja. Wallahu a'lam.
“Allah juga membenci orang yang banyak bicara.” Menyampaikan informasi. Kebanyakan perkataan orang itu ditambah-tambah dari aslinya, ia tidak memiliki perhatian, kecuali membicarakan orang lain, mereka berkata begini, begitu, apalagi yang dibicarakannya itu menyangkut kehormatan para ulama dan penguasa, maka hal ini lebih dibenci Allah Ta'ala. Seorang muslim tidaklah ia berbicara, kecuali hal yang baik-baik, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6475 dan Muslim no. 47]
Banyak pertanyaan, bisa jadi pertanyaan tentang ilmu pengetahuan, bisa juga tentang harta.
Pertama, banyak bertanya tentang ilmu pengetahuan. Hal ini dibenci jika seseorang bertanya hanya bertujuan untuk menyusahkan orang yang ditanya, menyulitkannya, serta membuatnya bosan dan jenuh. Tetapi jika tujuannya ikhlas untuk menuntut ilmu maka hal ini tidak dilarang, tidak juga dibenci, kerana Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu adalah seorang yang banyak bertanya. Suatu hari ia ditanya, “Bagaimana cara anda menuntut ilmu?” Beliau menjawab, “Saya mendapatkan ilmu dengan sering bertanya, hati yang selalu konsentrasi, dan fisik yang tidak pernah bosan menuntut ilmu.”
Tetapi jika tujuan seseorang untuk menyulitkan yang ditanya atau menyudutkannya, membuatnya jenuh atau mencari-cari kesalahannya maka hukumnya tidak boleh.
Kedua, meminta harta, biasanya orang yang suka meminta, ia akan memiliki sifat kikir dan tamak. Oleh kerana itu, seseorang tidak boleh meminta harta kecuali terpaksa atau yakin akan diberi. Seperti teman dekat anda yang suka bersedekah, lalu anda meminta sesuatu kepadanya, dan anda tahu bahwa dia pasti akan memberinya, maka hal ini tidaklah mengapa. Tetapi jika tidak demikian, maka tidak boleh anda meminta kecuali jika keadaannya memaksa.
Adapun menyia-nyiakan harta adalah membelanjakan harta pada sesuatu yang tidak ada manfaatnya, baik bagi agama ataupun dunia. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaan) kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An-Nisâ: 4: 5)
Harta adalah sarana hidupnya manusia, dengannya kemaslahatan dunia dan akhiratnya dapat berjalan. Jika seseorang membelanjakannya pada selain hal tersebut, maka disebut dengan menyia-nyiakan harta. Dan lebih buruk lagi dari itu jika ia membelanjakannya pada hal-hal yang diharamkan, dalam hal ini ia melakukan dua larangan:
1) Menyia-nyiakan harta.
2) Melakukan perbuatan haram.
Seseorang harus menjaga hartanya, tidak boleh menyia-nyiakannya dan tidak membelanjakannya, kecuali untuk kemaslahatan dunia atau akhiratnya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan