Thursday, April 4, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin). Bab 4. Kejujuran.

Allah ﷻ berfirman:
۞يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ۞
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubâh: 9: 119)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ۞
...lelaki dan perempuan yang benar.”
(QS. Al-Ahzâb: 3: 35)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ۞
“Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 47: 21)

Penjelasan.

Jujur (ash-shidq) adalah kesesuaian antara informasi dengan realita. Jujur juga berlaku dalam memberikan informasi; jika kamu menginformasikan sebuah berita, sedang berita yang kamu sampaikan sesuai dengan realita, maka informasi tersebut disebut berita yang akurat (baca: jujur).

Misalnya, kamu menginformasikan tentang hari ini, “Hari ini adalah hari Ahad.” Maka, informasi yang kamu sampaikan adalah berita yang benar. Namun, jika kamu mengatakan bahwa hari ini adalah Senin, maka informasi tersebut adalah berita dusta. Dengan demikian, berita yang sesuai dengan realita disebut berita benar, tapi jika tidak sesuai maka disebutkan berita dusta. 

Jujur meliputi ucapan dan perbuatan. Seseorang bisa disebut jujur jika batinnya sesuai dengan lahirnya; perbuatan yang dia lakukan sesuai dengan apa yang terbersit dalam hatinya.

Orang yang beribadah dengan riya, misalnya, tidak bisa dikatakan jujur, kerana dia menampakkan kepada orang lain bahwa dia seorang yang ahli ibadah namun ternyata bukan seperti itu. Orang musyrik juga bukanlah orang yang jujur, kerana dia menampakkan ketauhidan, tapi kenyataannya tidak demikian. Orang munafik juga tidak dikatakan jujur, kerana dia menampakkan keimanan, meski kenyataannya dia bukan orang mukmin. Pelaku bid'ah tidak disebut orang jujur, kerana dia menampakkan diri sebagai orang yang mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dia tidak termasuk orang yang mengikuti sunnah baginda.

Yang perlu digarisbawahi, kejujuran itu adalah kesesuaian berita dengan realita. Kejujuran merupakan bagian dari karakteristik orang-orang yang beriman. Antonim (lawan kata) daripada kejujuran adalah kebohongan. Bohong merupakan salah satu karakteristik orang-orang munafik.

Kemudian penulis (Imam An-Nawawi) menyebutkan ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah kejujuran.

Allah Ta'ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” 
(QS. At-Taubah: 9: 119)

Menurut Imam An-Nawawi rahimahullah, ayat ini diturunkan setelah ayat yang menegaskan tentang kisah tiga orang yang absen (tidak ikut serta) dari perang Tabuk, di antara mereka adalah Ka'ab bin Malik, yang akan kami uraikan kisahnya berikut ini.

Tentang tiga orang yang absen dari perang Tabuk, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali dari perang Tabuk, mereka memberitahukan kepada baginda bahwa mereka tidak memiliki satu alasan pun atas ketidakhadiran mereka, maka baginda pun meninggalkan mereka.

Makna, “Tiga orang yang ditinggalkan.” 
(QS. At-Taubah: 9: 118) Yakni ditinggalkan penerimaan taubatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghiraukan mereka. Kerana orang-orang munafik ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari perang Tabuk, mereka menjumpai baginda, dan menyebutkan alasan-alasan (yang mereka buat-buat) dan mereka bersumpah demi Allah bahwa mereka benar-benar berhalangan untuk ikut berperang.

Tentang mereka ini, Allah Ta'ala berfirman:

“Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; kerana sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka. Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” 
(QS. At-Taubah: 9: 95-96)

Adapun tiga orang tersebut berkata jujur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa mereka memang tidak memiliki halangan apa pun untuk ikut berperang. Kemudian baginda mendiamkan mereka selama lima puluh malam, hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah terasa sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima taubat mereka.

Setelah itu, Allah Ta'ala berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 9: 119)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan orang-orang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan hendaknya mereka bersama orang-orang yang jujur, bukan bersama orang-orang yang gemar berdusta. Allah Ta'ala berfirman, “Laki-laki dan perempuan yang benar.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 35)

Allah Ta'ala menyebutkan laki-laki dan para perempuan yang benar dalam konteks pujian dan dalam konteks di mana mereka mendapatkan pahala yang besar.

Allah Ta'ala berfirman, “Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” 
(QS. Muhammad: 47: 21) Yakni, jika mereka bermuamalah dengan Allah dengan jujur, niscaya hal itu lebih baik bagi mereka. Tapi, mereka bermuamalah terhadap Allah dengan dusta. Maka, mereka bersikap munafik dan mereka menampakkan sesuatu yang berbeda dengan apa yang terbesit dalam hati mereka.

Mereka bermuamalah terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dusta; mereka menampakkan diri mereka seolah-olah mengikuti sunnah baginda, padahal mereka adalah orang-orang yang menentang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jikalau mereka jujur kepada Allah, baik dengan hati, perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan mereka, maka yang demikian itu lebih baik bagi mereka. Akan tetapi, mereka bermuamalah terhadap Allah dengan kedustaan, maka keburukanlah bagi mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

“Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar itu kerana kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 24)

Hal ini menunjukkan bahwa kejujuran itu merupakan perkara yang besar, dan merupakan sarana untuk mendapatkan balasan dari Allah Ta'ala.

Oleh kerana itu, hendaklah kita berperilaku dan berkata jujur, selalu berterus terang dan hendaknya tidak menyembunyikan sesuatu kepada orang lain dengan maksud melakukan penipuan atau riya.

Banyak orang jika ditanya tentang sesuatu yang sudah dilakukannya, sedang orang yang menanyakannya tidak mengetahui apakah orang tersebut sudah melakukannya atau belum, maka kemudian dia berdusta seraya berkata, “Aku belum  melakukannya.”

Mengapa bisa demikian? Apakah kamu malu kepada makhluk sehingga berani berdusta kepada sang Khalik? Katakanlah dengan jujur dan jangan sampai seseorang pun mempengaruhimu, dan kamu jika membiasakan diri dengan kejujuran maka keadaanmu akan menjadi lebih baik. Sebaliknya, jika kamu mengatakan sesuatu yang dusta maka kamu akan terus menyembunyikannya dari manusia dan terus mendustai mereka, akan terus terjadi dalam setiap keadaanmu. Tetapi, jika kamu berperilaku jujur maka kamu telah meluruskan perjalanan dan prinsip hidupmu.

Maka hendaklah kamu berperilaku jujur, baik dalam hal yang membawa manfaat bagimu mahupun tidak, sehingga kamu bisa bersama orang-orang yang jujur yang Allah perintahkan kepadamu agar kamu senantiasa bersama mereka.

Adapun kisah Ka'ab bin Malik ini adalah berkenaan dengan kisah mangkirnya dari perang Tabuk -yang terjadi pada tahun ke-9 Hijriyah yaitu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi Romawi yang notabene penduduknya pemeluk agama Nasrani.

Ketika Rasulullah mendengar informasi bahwa orang-orang Romawi mengumpulkan pasukan untuk memerangi baginda, maka baginda juga bersiap-siap untuk melawan mereka seraya menempati Tabuk selama dua puluh malam. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihat sesuatu yang mencurigakan dan tidak melihat satu musuh pun yang datang, dan akhirnya baginda memutuskan untuk pulang.

Perang ini terjadi pada hari yang sangat panas ketika buah-buahan dan kurma berbuah sehingga membuat orang-orang munafik lebih mengutamakan dunia daripada akhirat. Maka, orang-orang munafik mangkir dari perang ini, dan memilih untuk berteduh dan menikmati kurma dan buah-buahan, sehingga mereka tidak bersentuhan dengan kesulitan perang.

Sementara orang-orang mukmin yang ikhlas, mereka ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aral yang membentang dan ranumnya buah-buahan tidak menyurutkan semangat mereka.

Kecuali Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu, dia mangkir dari perang Tabuk tanpa udzur, sementara dia termasuk orang-orang mukmin yang ikhlas. Oleh kerananya dikatakan, “Ka'ab tidak pernah absen dari peperangan yang diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ka'ab salah satu mujahid fi sabilillah.

“Kecuali perang Badar.” Ka'ab dan beberapa sahabat lainnya absen dari perang Badar, kerana pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Madinah tidak untuk berperang. Oleh kerananya, sahabat yang ikut serta bersama baginda hanya tiga ratus tujuh belas orang, kerana mereka hendak mengambil barang dagangan -yaitu barang dagangan yang dibawa oleh kabilah Quraisy- yang membawa barang dagangan yang datang dari Syam menuju Mekah dan melewati daerah sekitar kota Madinah. Maka keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari kota Madinah untuk menghalangi kabilah tersebut sekaligus mengambil barang dagangan yang dibawa oleh mereka. Hal ini dilakukan kerana penduduk Mekah telah mengusir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dari rumah-rumah mereka dan merampas harta-harta mereka.

Oleh kerana itu, harta orang-orang Quraisy tersebut termasuk ghanimah (rampasan perang) bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Halal bagi baginda untuk keluar dari kota Madinah dan mengambil barang dagangan tersebut. Tindakan tersebut bukan sebagai bentuk permusuhan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabatnya. Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh baginda bersama para sahabatnya semata-mata untuk mengambil sebagian hak-hak mereka.

Yang terpenting, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika keluar bersama tiga ratus tujuh belas orang hanya membawa tujuh puluh unta dan dua ekor kuda saja. Mereka tidak membawa persiapan yang cukup, dan jumlah mereka hanya sedikit. Akan tetapi, Allah mengumpulkan mereka dan musuh mereka tanpa ada perjanjian sebelumnya, demi untuk menunaikan apa yang dikehendaki oleh Allah.

Abu Sufyan, pemimpin rombongan kabilah Quraisy, mendengar informasi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Madinah untuk mengambil barang dagangan mereka. Kerana Abu Sufyan membelokkan arah perjalanannya ke pinggiran pantai dan dia mendelegasikan seseorang kepada kaum Quraisy untuk meminta pertolongan kepada mereka, seraya berkata, “Selamatkanlah kabilah yang membawa barang dagangan.”

Seketika, orang-orang Quraisy berkumpul. Dan keluarlah pemuka, pembesar dan pimpinan-pimpinan Quraisy bersama sekitar sembilan ratus hingga seribu orang. Mereka keluar, sebagaimana dijelaskan oleh Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an, dalam keadaan sombong dan riya serta menghalang-halangi orang lain dari jalan Allah.

Ketika mereka di tengah jalan dan mengetahui bahwa kabilah yang membawa barang dagangan telah selamat, mereka hendak kembali ke Mekah. Mereka berkata, “Kabilah yang membawa barang dagangan sudah selamat, maka untuk apa kita berperang?”

Abu Jahal berkata, “Demi Allah kita tidak akan kembali sampai kita mencapai Badar dan bermukim di sana selama tiga hari, kita akan menyembelih kambing, meminum khamer dan makan makanan sehingga orang-orang Arab akan mendengar kita, maka mereka akan takut kepada kita selama-lamanya.”

Demikianlah mereka berkata dengan menentang kebenaran, sombong dan angkuh. Akan tetapi ternyata orang-orang Arab membicarakan tentang kekalahan-kekalahan mereka yang menghinakan yang tidak pernah dirasakan oleh orang-orang Arab sebelumnya. Kekalahan itu terjadi setelah mereka bertempur dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tanggal 17 Ramadhan tahun kedua Hijriyah.

Mereka bertempur, kemudian Allah Ta'ala berfirman kepada para malaikat,

“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman. Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfâl: 8: 12)

Perhatikanlah! Dalam ayat ini Allah meneguhkan pendirian orang-orang mukmin dan menimbulkan rasa takut di hati orang-orang kafir.

Maka siapa yang lebih dekat dengan kemenangan dalam keadaan seperti ini? Allah meneguhkan pendirian orang-orang mukmin dengan kekokohan yang luar biasa dan menurunkan rasa takut di hati orang-orang kafir.

Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman. Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir.” (QS. Al-Anfâl: 8: 12)

Dengan pertolongan Allah, kaum Muslimin dapat mengalahkan mereka. Dari kalangan mereka terbunuh tujuh puluh orang dan tertawan tujuh puluh orang. Dan orang-orang yang terbunuh itu bukan rakyat biasa, tetapi para pembesar dan pemimpin mereka.

Sementara dari kalangan umat Islam, ada dua puluh empat orang yang terbunuh dan dimakamkan di Badar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di dekat para pahlawan muslim yang gugur di perang Badar seraya bersabda, “Ya Fulan bin Fulan -baginda menyebutkan nama lengkap mereka beserta nama bapak-bapak mereka- apakah kalian mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan kalian itu benar adanya? Sungguh, aku mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar adanya.”

[Shahih Muslim no. 2875]

Mereka berkata, “Ya Rasulullah, bagaimana engkau berbicara dengan mayat yang terbujur kaku?” Baginda menjawab, “Demi Allah, kalian tidak lebih mendengar daripada mereka terhadap apa yang aku ucapkan, meski mereka tidak bisa menjawab.” Kerana mereka telah meninggal. Hal ini merupakan nikmat dari Allah. Kita harus mensyukurinya setiap kali kita mengingat nikmat tersebut.

Allah Ta'ala menolong Nabi-Nya, dan menyebutkan hari terjadinya peristiwa ini dengan Furqan, yaitu hari bertemunya dua pasukan.

Pada hari ini, Allah telah membedakan antara yang hak dan yang batil dengan perbedaan yang sangat mencolok.

Perhatikan kekuasaan Allah Ta'ala pada hari ini. Ketika Dia memenangkan tiga ratus tujuh belas orang berhadapan dengan seribu orang pasukan yang lebih kuat dan membawa persiapan lebih lengkap daripada mereka. Sementara pasukan unta dan pasukan kuda yang mereka bawa hanya sedikit. Akan tetapi, Allah Ta'ala memberikan pertolongan kepada mereka, sehingga mereka memenangkan pertempuran tersebut. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan sungguh Allah telah menolong kamu dalam perang Badar, padahal kamu dalam keadaan lemah. Kerana itu bertakwalah kepada Allah, agar kamu mensyukuri-Nya.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 123)

Ketika kaum muslimin menaklukkan kota Mekah mereka keluar dengan jumlah dua belas ribu orang pasukan, sedang di hadapan ada dua kabilah menghadang mereka, yaitu Hawazin dan Tsaqib. Kaum muslimin merasa takjub dengan banyaknya jumlah mereka seraya berkata, “Pada hari ini kami tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang berjumlah sedikit.” Namun mereka dikalahkan oleh tiga ribu lima ratus orang! Pasukan kaum muslimin yang berjumlah dua belas ribu orang, yang dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dikalahkan oleh jumlah yang lebih sedikit. Kenapa? Kerana mereka telah merasa takjub dengan jumlah mereka yang banyak sehingga mereka berkata, “Hari ini, kami tidak akan dikalahkan oleh pasukan yang berjumlah sedikit.”

Kemudian Allah Ta'ala memperlihatkan kepada mereka bahwa jumlah yang banyak itu tidak berfaedah bagi mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

“Sungguh, Allah telah menolong kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi (jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu, dan bumi yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke belakang dan lari tunggang langgang.” (QS. At-Taubah: 9: 25)

Yang perlu digarisbawahi di sini, Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu tidak menyaksikan perang Badar, namun ketidakhadirannya di Perang Badar itu kerana pada mulanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Madinah bukan untuk berperang, melainkan untuk mengambil barang dagangan. Namun, Allah Ta'ala mempertemukan antara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan musuhnya tanpa perjanjian sebelumnya.

Apakah kalian tahu, keistimewaan apa yang diberikan kepada pelaku perang Badar? Allah menegaskan kepada mereka, “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.”

Setiap perbuatan maksiat yang mereka lakukan, mendapatkan ampunan dari Allah, kerana “harga”nya sudah mereka bayar terlebih dulu.

Pertempuran ini menjadi sebab segala kebaikan. Hingga tersingkapnya surat Hatib bin Abi Balta'ah. Hatib menulis surat yang akan dia kirimkan kepada penduduk Mekah, yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memerangi mereka, pada penaklukan kota Mekah. Hatib menulis surat kepada penduduk Mekah untuk memberita-hukan mereka, namun Allah membukakan rahasia itu kepada Nabi-Nya.

Hatib bin Abi Balta'ah menitipkan surat tersebut kepada seorang perempuan, Rasulullah mengetahui hal itu melalui wahyu. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib bersama seorang sahabat untuk menemui perempuan tersebut. Mereka berdua berhasil mengejar perempuan tersebut dan menangkapnya di sebuah taman yang dikenal dengan nama Raudhah Khakh. Mereka berdua “menahan” perempuan tersebut seraya bertanya, “Di mana surat itu?” Perempuan itu berkata, “Aku tidak membawa surat.” Mereka berkata kepadanya, “Demi Allah, kami tidak berdusta dan tidak bisa dibohongi, di mana surat itu? Kamu keluarkan surat itu atau kami lepas bajumu?”

Melihat adanya ancaman mereka yang serius, perempuan itu pun akhirnya memberikan surat yang dibawanya. Ternyata surat itu ditulis oleh Hatib bin Abi Balta'ah kepada Quraisy Mekah. Mereka berdua mengambil surat itu.

Alhamdulillah surat itu tidak sampai ke tangan orang-orang Quraisy. Hal ini merupakan nikmat dari Allah kepada orang-orang Islam dan kepada Hatib, kerana apa yang dia inginkan tidak terjadi.

Setelah surat ini ditunjukkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda berkata, “Ya Hatib, mengapa kamu berbuat demikian?”

Hatib meminta maaf kepada Rasulullah atas kesalahan yang telah dia lakukan. Kemudian Umar berkata, “Ya Rasulullah, biar aku menebas lehernya, sesungguhnya dia telah munafik.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Umar, “Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya Allah Ta'ala telah menegaskan kepada Ahlul Badar seraya berfirman, “Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3983]

Hatib radhiyallahu anhu termasuk Ahlul Badar.

Alhasil, perang ini tidak dihadiri oleh Ka'ab. Akan tetapi peperangan ini bukanlah peperangan pertama yang terjadi kecuali dengan dua keadaan tadi. Dan jadilah perang ini sebagai perang yang berkah. Kemudian dia berbai'at kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam Al-Aqabah (sepuluh Dzulhijah) di Mina bersama para sahabat yang lain mengucapkan sumpah setia untuk menegakkan Islam.

Setelah pengucapan sumpah setia, Ka'ab mengatakan bahwa dia tidak ingin sumpah setia yang baru dilaksanakan sebagai ganti perang Badar. Yakni, dia lebih mencintai sumpah setia tersebut daripada perang Badar, kerana itu merupakan bai'at yang agung.

Namun demikian, Ka'ab berkata, “Tetapi, perang Badar itu lebih di ingat oleh manusia daripada Bai'atul 'Aqabah, kerana perang Badar adalah perang yang terkenal, berbeda dengan Bai'atul 'Aqabah.

Bagaimanapun, seolah-olah Ka'ab hendak membela dirinya, bahwa meski dia tidak mengikuti perang Badar, tetapi dia mengikuti Bai'atul 'Aqabah. Kerananya, Allah meridhai Ka'ab dan seluruh sahabat radhiyallahu anhum.

Kemudian Ka'ab radhiyallahu anhu berkata, “Sesungguhnya aku bukanlah orang yang tidak kuat dan aku tidak dalam kesusahan ketika tidak mengikuti peperangan itu (perang Tabuk).”

Pada saat itu, fisiknya dalam kondisi prima dan kondisi keuangannya sedang menggembirakan, bahkan dia memiliki dua kendaraan. Padahal, pada peperangan sebelumnya dia belum pernah mengumpulkan dua kendaraan dalam satu peperangan.

Sebenarnya, Ka'ab sudah bersiap untuk berperang dan di antara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menginginkan peperangan, baginda menyembunyikan maksud peperangan tersebut. Yakni menampakkan sesuatu yang berbeda dari apa yang baginda inginkan. Inilah hikmah dan siasat baginda dalam peperangan. Kerana jika baginda memperlihatkan maksudnya maka akan jadi jelas bagi musuh dan bisa jadi mereka akan mempersiapkan diri lebih besar, atau bisa jadi mereka akan kabur dari tempat yang dituju oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya, jika baginda ingin keluar menuju selatan, maka baginda menyembunyikannya seakan-akan baginda ingin keluar ke utara atau ke timur, yakni memutar-balikan keadaan. Atau jika beliau ingin ke timur maka baginda menyembunyikannya, seakan-akan baginda ingin pergi ke barat sehingga musuh tidak mengetahui rahasia baginda. Kecuali di perang Tabuk. Baginda menjelaskan perkaranya, menerangkan sejelas-jelasnya kepada para sahabat. Hal ini kerana beberapa faktor:

Pertama, kerana ini terjadi pada musim yang sangat panas, ketika buah-buah telah berbuah baik dan hati telah tertarik untuk bermalas-malasan dan bersenang-senang.

Kedua, jarak kota Madinah dengan Tabuk sangatlah jauh. Di situ ada gurun pasir, ada kehausan dan ada matahari yang terik.

Ketiga, musuh yang dihadapi sangat besar. Mereka adalah pasukan Romawi yang telah bersiap-siap dengan jumlah yang sangat besar, berdasarkan informasi yang diterima oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerananya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan perkara perang ini, dan memberitahukan bahwa baginda akan keluar ke Tabuk untuk menghadapi musuh yang banyak, ke tempat yang jauh, sehingga umat Islam bisa bersiap-siap.

Kaum muslimin bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju ke Tabuk. Tidak ada yang tersisa, kecuali orang-orang yang direndahkan oleh Allah dengan kemunafikan dan tiga orang saja yaitu Ka'ab bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi' dan Hilal bin Umayyah.

Tiga orang ini sebenarnya orang-orang mukmin yang ikhlas, akan tetapi mereka tidak ikut rombongan perang, kerana satu perkara yang diinginkan oleh Allah Ta'ala. Adapun selain mereka yang tidak ikut perang, maka mereka itu adalah orang-orang munafik yang tenggelam dalam kemunafikannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam pergi menuju ke Tabuk dengan jumlah yang cukup banyak, sehingga mereka menetap di sana. Akan tetapi, Allah tidak mempertemukan antara baginda dan musuhnya, bahkan baginda menetap selama dua puluh hari di tempat tersebut, setelah itu pulang tanpa ada peperangan.

Ka'ab berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersiap-siap dan orang-orang muslim pun keluar dari Kota Madinah.” Adapun yang membuat Ka'ab terlambat, dia selalu berputar-putar di setiap pagi menunggangi kendaraannya serata berkata, “Aku ingin menyusul mereka.” Akan tetapi, dia tidak melakukan sesuatu pun. Begitulah yang dia lakukan setiap hari, hingga dia benar-benar tidak menyusul ke Tabuk.

Dalam kisah ini, terdapat dalil bahwa seseorang jika tidak segera melakukan amal shalih, maka peluang untuk tidak melakukannya sangat besar. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti pertama kali mereka tidak beriman kepada (Al-Qur'an), dan Kami biarkan mereka bingung dalam kesesatan.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 110)

Jika seseorang mengetahui kebenaran kemudian dia tidak segera melakukannya, maka bisa jadi dia terlambat untuk melakukannya atau tidak melakukannya sama sekali. Sebagaimana jika seseorang tidak bersabar pada kesempatan pertama, maka bisa jadi dia tidak mendapatkan pahala kesabaran berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kesabaran itu terdapat pada awal terjadinya (musibah).”

Oleh kerana itu, hendaklah kamu, wahai saudaraku, segera melakukan amal-amal shalih, jangan sampai terlambat dan membiarkan hari-hari berlalu begitu saja. Kemudian kamu menjadi lemah, malas dan akhirnya setan dan hawa nafsu mengalahkanmu, sehingga kamu menjadi terlambat.

Ka'ab setiap hari berkata, “Aku akan pergi ke Tabuk.” Hal itu berulang begitu saja dan dia tidak keluar. Dia berkata, “Sesungguhnya hatiku terasa teriris ketika aku keluar ke pasar Madinah ternyata di Madinah tidak ada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada Abu Bakar, tidak ada Umar, tidak ada Utsman, tidak ada Ali, tidak ada orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar kecuali orang-orang yang tenggelam dalam kemunafikan.”

Mereka telah ditenggelamkan oleh kemunafikan sehingga tidak keluar untuk berperang. Atau orang-orang yang udzur yang telah Allah terima udzurnya. Sehingga Ka'ab berguman kepada dirinya sendiri, “Bagaimana di kota Madinah hanya tinggal orang-orang itu, apakah aku harus duduk bersama mereka?” Sementara, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyinggung dan menanyakan Ka'ab hingga baginda bersama rombongan tiba di Tabuk.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk bersama para sahabatnya di Tabuk, baginda menanyakan Ka'ab, “Di mana Ka'ab bin Malik?” Salah seorang sahabat dari Bani Salamah menceritakan tentang Ka'ab seraya menjelek-jelekkannya. Sementara Mu'adz bin Jabal membela Ka'ab. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diam; Tidak melontarkan jawaban apa pun, baik kepada sahabat yang menjelek-jelekkan Ka'ab mahupun sahabat yang membelanya.

Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang berpakaian putih yang tampak bayang-bayangnya dari jauh. Kemudian baginda bersabda, “Seperti itu Abu Haitsamah Al-Anshari.” Ternyata, memang Abu Haitsamah. Ini adalah bentuk ketajaman firasat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kekuatan pandangannya. Tidak diragukan lagi bahwa baginda adalah orang yang paling kuat pandangannya, pendengarannya, ucapannya, dan dalam segala sesuatu. Baginda diberikan kekuatan tiga puluh laki-laki melakukan hubungan badan dengan istrinya.

Abu Haitsamah inilah orang yang bersedekah dengan satu sha' ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi untuk bersedekah. Maka, kaum muslimin bersedekah berdasarkan kemampuan masing-masing. Dan jika ada orang yang bersedekah dengan jumlah yang banyak, maka orang-orang munafik mengatakan, “Orang ini riya.” Padahal, sebanyak apa pun sedekah yang diberikan itu benar-benar ikhlas kerana Allah.

Tiba-tiba seseorang laki-laki yang fakir yang bersedekah dengan jumlah yang sedikit, seketika orang-orang munafik berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan satu sha' ini.”

Perhatikanlah, mereka mencela orang-orang yang beriman ke sana ke mari, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Ta'ala:

“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan mereka akan mendapat adzab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 9: 79)

Demikianlah orang-orang munafik itu berbahaya bagi orang-orang muslim. Jika mereka melihat orang-orang yang baik maka mereka mencacinya, jika mereka melihat orang-orang yang lalai, mereka juga mencacinya. Mereka adalah seburuk-buruk hamba Allah, mereka menempati tingkatan neraka yang paling bawah.

Orang-orang munafik di zaman kita sekarang ini jika melihat orang-orang yang baik, orang-orang yang berdakwah, melakukan aktivitas amar makruf dan nahi mungkar, mereka akan berkata, “Mereka itu orang-orang yang konservatif, radikal, kaku, dan fundamentalis (penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot).” Atau ungkapan yang senada.

Semua karakter tersebut merupakan warisan orang-orang munafik, mulai dari masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini. Oleh kerananya, jangan sekali-kali kalian mengatakan, bahwa di tengah-tengah kita tidak ada lagi orang-orang munafik. Justru, di antara kita banyak orang-orang munafik, mereka mempunyai banyak indikasi.

Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Madarij As-Salikin, juz pertama, menyebutkan pelbagai karekter dan tanda-tanda orang munafik, yang semuanya disebutkan dalam Al-Qur'an.

Jika kamu melihat seseorang yang mencaci orang-orang mukmin dari berbagai aspek, berarti orang tersebut adalah orang munafik.

Kemudian kita dapat memetik dua faedah yang besar.

1. Seseorang tidak pantas untuk mengakhirkan perbuatan baik, bahkan dia harus selalu terdepan, tidak meremehkan dan tidak juga bermalas-malasan.

Ada sebuah hadits yang menegaskan tentang orang-orang yang disuruh maju ke shaf pertama di masjid, akan tetapi mereka tidak mahu maju ke shaf yang pertama, bahkan tetap berada di shaf terakhir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَزَالُ قَوْمٌ يَتَأَخَّرُونَ حَتَّى يُؤَخِّرَهُمْ اللَّهُ

Suatu kaum masih saja bersikap lambat (dalam ketaatan kepada Allah -pent) sehingga Allah akan memperlambat mereka (dari rahmat-Nya).

[Shahih Muslim no. 662]

Jika seseorang membiasakan dirinya terlambat dalam melakukan sesuatu, maka Allah akan mengakhirkannya. Oleh kerananya, segeralah melakukan amal-amal shalih pada saat diperintahkan oleh Allah.

2. Orang-orang munafik senantiasa mencaci orang-orang mukmin, seperti yang diuraikan di atas.

Abu Haitsamah inilah orang yang bersedekah dengan satu sha'. Menyikapi perbuatannya, orang-orang munafik berkata, “Sesungguhnya Allah tidak membutuhkan satu sha' yang diberikan orang ini.” Akan tetapi mereka adalah orang-orang munafik, mereka tidak beriman.

Ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, Barangsiapa yang bersedekah dengan sesuatu yang senilai dengan sebutir kurma dari usaha yang halal, sedangkan Allah tidaklah menerima kecuali yang thayyib (yang baik), maka Allah akan menerima sedekahnya dengan tangan kanan-Nya kemudian mengembangkannya untuk pemiliknya seperti seorang di antara kalian membesarkan kuda kecilnya hingga sedekah tersebut menjadi besar seperti gunung.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1410 dan Muslim no. 1014]

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Takutlah kalian terhadap neraka, meskipun dengan cara menyedekahkan separuh kurma.”

[Shahih Al-Bukhari no. 639 Muslim no. 1016]

Allah Ta'ala berfirman:

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 99: 7-8)

Allah tidak menyia-nyiakan amal seseorang yang berbuat baik.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, baginda langsung masuk ke masjid. Di antara kebiasaan baginda, ketika pulang dari perjalanan, yang baginda lakukan pertama kali adalah melakukan shalat di masjid.

Yakni, dia hendak menyampaikan satu pembicaraan kepada Nabi, meski bohong, agar Nabi dapat mengampuni ketidakhadirannya dalam perang.

Ka'ab berkonsultasi kepada orang-orang yang mempunyai gagasan di lingkungan keluarganya tentang apa yang harus dia katakan kepada Rasulullah. Akan tetapi, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, lenyaplah semua kebatilan yang dia rencanakan, kini dia bertekad untuk menjelaskan yang sebenarnya, tanpa harus berbohong.

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, baginda langsung masuk ke masjid. Di antara kebiasaan baginda, ketika pulang ke negerinya, maka yang dilakukan pertama oleh baginda mendirikan shalat di masjid baginda shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian pula baginda memerintahkan Jabir radhiyallahu anhu sebagaimana yang akan saya paparkan nanti.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masjid lalu mendirikan shalat, kemudian baginda menerima orang-orang yang hendak menghadapnya. Tidak lama kemudian, orang-orang munafik yang tidak ikut berperang tanpa alasan apa pun, mereka bersumpah kepada baginda bahwa mereka tidak ikut berperang kerana mempunyai alasan yang menghalangi mereka untuk ikut serta dalam peperangan. Baginda membaiat dan mengampuni mereka.

Tetapi, pengampunan itu tiada berguna bagi mereka kerana Allah Ta'ala berfirman:

“(Sama saja) engkau (Muhammad) memohon bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka, walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka.” 
(QS. At-Taubah: 9: 80)

Ka'ab berkata, “Sementara aku bertekad untuk berkata jujur kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku masuk ke masjid seraya mengucapkan salam kepada baginda dan baginda tersenyum sinis kepadaku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemarilah.” Aku memenuhi panggilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika aku sudah berada di hadapannya, baginda bersabda, “Kenapa kamu tidak ikut berperang?” Ka'ab berkata, “Ya, Rasulullah, aku tidak ikut berperang bukan kerana udzur, dan aku belum pernah memiliki dua kendaraan sebelum perang ini. Sesungguhnya, seandainya aku berhadapan dengan salah seorang raja di dunia ini, niscaya aku tahu bagaimana bisa bebas dari dia, kerana aku dianugerahi kemampuan berdebat. Akan tetapi, aku tidak akan berbicara kepada engkau pada hari ini dengan satu pembicaraan yang membuatmu ridha kepadaku, namun dapat membuat Allah murka kepadaku.”

Perhatikan keimanan Ka'ab ini!

Ka'ab memberitahu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang ketidakikutsertaannya dalam perang Tabuk dengan jujur. Kemudian baginda menangguhkan pemberian ampunan terhadap Ka'ab.

Faedah Hadits.

Dalam hal ini terdapat beberapa faedah:

Pertama, sesungguhnya Allah Ta'ala melimpahkan anugerahnya kepada seorang hamba, sehingga menjaganya dari perbuatan maksiat, jika dalam hatinya terbesit niat baik. Sesungguhnya Ka'ab ketika hendak berkata bohong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah menghilangkan niat buruk itu dari hatinya, kemudian dia bertekad untuk berkata jujur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kedua, ketika seseorang sampai di negerinya, hendaklah dia menuju ke masjid sebelum masuk ke rumahnya seraya mendirikan shalat dua rakaat. Kerana yang demikian itu merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik secara ucapan mahupun secara perbuatan.

Adapun sunnah baginda dalam hal ini yang berupa perbuatan, yaitu seperti hadits Ka'ab bin Malik ini.

Sementara yang berupa ucapan, yaitu seperti hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu anhuma ketika dia menjual untanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pertengahan jalan tetapi dia meminta pengecualian, dia akan menungganginya sampai ke Madinah. Rasulullah menyetujui syarat tersebut. Maka sampailah Jabir di Madinah sedang Rasulullah sudah tiba di Madinah sebelum Jabir. Jabir langsung mendatangi Rasulullah. Setibanya dihadapan baginda, Jabir diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk masuk ke masjid dan mendirikan shalat dua rakaat.

Menurut hemat saya, tidak banyak orang yang mengamalkan sunnah ini, yang disebabkan oleh ketidaktahuan orang-orang terhadap ajaran ini. Kerana jika mereka mengetahui, niscaya mereka melakukan sunnah ini sangat mudah.

Shalat sunnah ini bisa kamu lakukan di masjid yang dekat dengan rumahmu, yang biasa dijadikan tempat shalat sehari-hari atau di masjid yang kamu jumpai pertama kali di saat kamu memasuki kampung halamanmu.

Ketiga, Ka'ab bin Malik terkenal sebagai orang yang mempunyai hujjah yang kuat dan berbicara dengan fasih. Akan tetapi, ketakwaannya kepada Allah mencegahnya untuk berdusta. Justru, dia memberitahukan yang sebenarnya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Keempat, orang yang sedang marah kadang-kadang tersenyum. Jika ada yang mengatakan bagaimana kamu tahu apakah senyum itu tulus atau sinis? Kita katakan, bahwa hal tersebut bisa diketahui dari roman wajahnya atau indikasi yang lainnya.

Kelima, orang yang sedang berdiri boleh mengucapkan salam kepada orang yang sedang duduk. Kerana Ka'ab mengucapkan salam dalam keadaan berdiri kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian baginda memanggilnya untuk mendekat.

Keenam, pembicaraan dari jarak dekat lebih baik daripada pembicaraan jarak jauh. Padahal, ketika itu, bisa saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada Ka'ab dari jarak jauh, tapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mendekat. Kerana hal ini lebih mudah untuk mengiyakan, menyangkal, atau mengkritik lawan bicara. oleh kerana itu, baginda berkata kepada Ka'ab, “Kemarilah.”

Ketujuh, mantapnya keyakinan Ka,ab bin Malik radhiyallahu anhu. Di mana dia berkata, “Sebenarnya aku bisa pergi dari hadapan Rasulullah dengan mendapatkan ampunan dari baginda Akan tetapi, aku tidak mungkin pergi dari hadapan baginda dengan sebuah alasan yang bisa membuat Rasulullah berkenan mengampuniku hari ini, kemudian besok Allah murka kepadaku.”

Kedelapan, sesungguhnya Allah Ta'ala mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. Sesungguhnya Ka'ab khawatir Allah akan mendengar pembicaraannya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga Allah Ta'ala menurunkan Al-Qur'an kepadanya, sebagaimana Allah menurunkan wahyu yang berkaitan dengan kisah seorang perempuan yang datang kepada Rasulullah untuk mengadukan tentang suaminya yang bersumpah zhihar kepadanya, kemudian Allah menurunkan ayat mengenai perempuan tersebut,

“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah dan Allah mendengar soal-jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujâdilah: 58: 1)

Ka'ab berkata, “Sesungguhnya aku datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan kata-kata yang jujur, dan aku memberitahukan kepada baginda bahwa aku tidak memiliki udzur apa pun, baik yang berkaitan dengan kondisi fisik atau harta. Bahkan, aku belum pernah punya dua kendaraan sebelum peperangan ini.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang ini (Ka'ab) berkata jujur.” Ungkapan baginda sudah cukup membuat Ka'ab senang, kerana baginda menyebut Ka'ab orang yang jujur. Kemudian baginda bersabda, “Pergilah, hingga Allah memutuskan urusanmu, sesuai kehendak-Nya.”

Ka'ab pergi dari hadapan baginda dengan pasrah sepenuhnya terhadap keputusan Allah Ta'ala dan percaya sepenuhnya kepada Allah, bahwa apa yang dikehendaki Allah pasti akan terjadi, sementara yang tidak dikehendaki-Nya tidak akan terjadi.

Setelah itu, kelompoknya dari Bani Salamah, mendatangi Ka'ab, mendorongnya untuk kembali menghadap Rasulullah, seraya mereka berkata, “Sesungguhnya kamu tidak pernah berbuat dosa sebelum ini -yakni, sebelum ini kamu tidak pernah mangkir dari peperangan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- sejatinya, Rasulullah mengampunimu, jika baginda sudah mengampunimu, maka Allah pasti akan mengampunimu.”

Mereka menambahkan, “Kembalilah menghadap Rasulullah. Berdustalah kepada dirimu sendiri. Katakan kepada baginda, “Aku tidak ikut perang kerana udzur,” sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengampunimu, sebagaimana baginda juga mengampuni orang-orang yang menyampaikan alasan mereka (atas ketidakikutsertaan mereka dalam perang Tabuk).”

Ka'ab berhasrat untuk melakukan apa yang disarankan oleh kaumnya, akan tetapi Allah Ta'ala menolongnya dan menuliskan baginya keutamaan yang sangat besar yang terus dibaca di dalam Al-Qur'an sampai hari Kiamat.

Kemudian dia bertanya kepada kaumnya, “Apakah ada orang yang berbuat sama seperti yang aku lakukan?” Mereka berkata, “Ya, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Ar-Rabi'. Mereka berdua mengucapkan seperti apa yang kamu katakan, kemudian Rasulullah bersabda kepada keduanya, seperti yang disabdakan kepadamu.”

Ka'ab berkata, “Kemudian mereka menyebutkan kepadaku tentang kedua orang yang shalih ini, bahwa keduanya telah mengikuti perang Badar dan keduanya telah menjadi contoh teladan bagiku.”

Terkadang Allah mengokohkan hati seseorang untuk meninggalkan keburukan dengan cara meneladani orang lain.

Ketika disebutkan kepada Ka'ab, tentang kisah dua orang tersebut, di mana keduanya termasuk hamba-hamba pilihan, yang ikut serta dalam perang Badar, maka dia berkata, “Kedua orang tersebut menjadi suri teladan bagiku. Maka aku memutuskan untuk tidak kembali menghadap Rasulullah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak berbicara dengan tiga orang tersebut.

Para sahabat mendiamkan mereka. Dan setelah itu mereka berjalan seakan-akan tanpa akal kerana kesedihan yang mendalam dan seakan-akan bumi pun ikut memungkiri mereka, bumi tempat mereka tinggal dan mereka kenal. Ketika mereka berjalan dan mengucapkan salam tidak ada orang yang mahu menjawab salam mereka. Dan ketika ada yang berjumpa dengan mereka tidak ada yang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka. Sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang yang mempunyai budi pekerti yang paling baik, tidak mengucapkan salam kepada mereka sebagaimana biasanya.

Ka'ab berkata, “Aku mencoba untuk mengucapkan salam kepada Rasulullah, tapi aku tidak tahu apakah baginda menggerakkan kedua bibirnya menjawab salamku atau tidak.”

Baginda ini adalah seorang Nabi, jadi apa yang kamu sangka jika seseorang didiamkan pada lingkungan masyarakat Islam, yang merupakan abad terbaik, sehingga bumi terasa sempit bagi mereka. Bumi benar-benar terasa sempit bagi mereka. Mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksaan Allah, melainkan kepada-Nya saja. Mereka menghadapi kondisi seperti ini selama lima puluh hari, sama dengan satu bulan dua puluh hari.

Orang-orang mendiamkan mereka tidak mengucapkan salam, dan tidak menjawab salam mereka, seakan-akan mereka adalah sekelompok unta yang tersesat, tidak ada seorang pun yang mahu mendekati mereka.

Keadaan mereka menjadi sulit, semakin beratlah urusan mereka, dan mereka lari kepada Allah Ta'ala. Akan tetapi, meski dalam keadaan demikian, Ka'ab bin Malik tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah bersama kaum muslimin. Demikian dia terus  berusaha hadir dan mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, lama kelamaan Ka'ab mulai enggan shalat berjamaah ke masjid. Bisa jadi, kerana dia merasa tertekan dan merasa minder berkumpul dan shalat bersama dengan sebuah komunitas, sedang mereka tidak mahu berbicara dengannya, baik dengan pembicaraan yang baik atau pembicaraan yang menyakitkan.

Bumi ini terasa sempit bagi mereka. Mereka berada dalam kondisi demikian selama lima puluh malam. Setelah empat puluh hari mereka melewati kondisi seperti ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan utusan kepada mereka untuk menyampaikan perintah agar mereka menjauhi istri-istrinya. Sampai separah ini, sanksi yang harus mereka terima.

Coba bayangkan! Ka'ab bin Malik seorang pemuda harus menjauhi istrinya. Sungguh ini permasalahan yang luar biasa. Namun demikian, utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepada Ka'ab seraya berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu agar kamu menjauhi istrimu.” Seketika Ka'ab berkata, “Apakah aku harus mencerainya atau tidak?”

Seandainya Ka'ab diperintahkan untuk menceraikan istrinya, niscaya dia akan melakukannya, demi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ka'ab, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanmu agar kamu menjauhi istrimu.” Utusan Rasulullah itu, tidak menafsirkan sabda baginda, dia mengatakan apa adanya. Sampai sahabat yang diutus oleh Rasulullah tidak mengubah satu huruf pun, baik secara makna atau secara lafazh.

Demikianlah di antara etika seorang sahabat Nabi. Utusan Rasulullah itu tidak berkata, “Menurut hemat saya, Rasulullah memerintahkanmu agar kamu menceraikannya (istrimu).” Dia juga tidak berkata, “Menurut hemat saya, barangkali Rasulullah tidak menginginkanmu tidak menceraikan (istrimu).”

Dia tidak berkata apa-apa, dia hanya berkata, “Sesungguhnya Nabi bersabda begini...” Kemudian Ka'ab berkata kepada istrinya, “Pulanglah ke rumah orangtuamu.”

Ka'ab berkata, “Adapun kedua sahabatku diam di rumahnya, dengan terus menerus menangis.” Kerana mereka berdua sudah tidak kuat untuk pergi ke pasar, sedang orang-orang mendiamkan mereka berdua, dan tidak ada seorang pun yang mahu peduli kepada mereka berdua.

Mereka tidak sanggup memikul beban kondisi yang seperti ini. Oleh kerananya, mereka berdua memilih untuk mengurung di rumah mereka berdua, dengan terus menerus menangis.

“Sementara, aku adalah orang yang paling kuat dan paling sabar di antara kaumku,” tutur Ka'ab.

Kerana usia Ka'ab masih lebih muda daripada mereka. Dia tetap mendirikan shalat jamaah bersama kaum muslimin, dan tetap pergi ke masjid meski tidak ada seorang pun yang menegurnya.

Dia berkata, “Aku selalu datang ke masjid dan mendirikan shalat, kemudian aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, sedang baginda duduk menghadap kepada jamaah shalat, usai mendirikan shalat. Tapi aku tidak tahu, apakah baginda menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salam atau tidak.”

Yakni, baginda tidak menjawab salamnya dengan suara yang terdengar oleh Ka'ab. Rasulullah bersikap demikian, padahal baginda adalah orang yang paling baik budi pekertinya. Rasulullah berbuat demikian, semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah Ta'ala agar tidak berbicara dengan tiga orang tersebut.

Ka'ab berkata, “Aku mendirikan shalat sambil sesekali mencuri-curi pandang ke arah Rasulullah, ketika aku kembali pada shalatku, baginda memandang ke arahku dan ketika aku menoleh ke arah baginda, baginda memalingkan wajahnya dariku.”

Semua ini mengindikasikan bahwa betapa Rasulullah sangat tidak ingin berbicara dengan Ka'ab.

Ka'ab menambahkan, “Suatu ketika, aku berjalan di pasar, ketidakramahan orang-orang kepadaku, aku rasakan, sudah cukup lama. Aku memanjat dinding rumah Abu Qatadah radhiyallahu anhu.” Yakni, dia masuk dari atas tembok, bukan dari pintu, seakan-akan pintu rumah Qatadah dah tertutup, dan hanya Allah yang mengetahui.

Dia berkata, “Maka aku mengucapkan salam kepadanya (Abu Qatadah), dan demi Allah dia tidak menjawab salamku.” Padahal dia adalah sepupunya dan orang yang paling dia cintai, namun demikian dia tidak mahu menjawab salamnya.

Padahal, Ka'ab sedang dikucilkan oleh masyarakat. Tidak ada yang mahu berbicara dengannya, tidak ada yang mahu mengucapkan salam kepadanya, tidak ada yang mahu menjawab salamnya. Kondisi seperti itu, tidak membuat sepupunya, Abu Qatadah, prihatin dan kasihan kepadanya.

Semua ini adalah semata-mata bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, kerana dalam menjalankan perintah Allah, para sahabat radhiyallahu anhu tidak akan mempedulikan celaan orang yang mencela dan tidak akan mempedulikan seseorang dalam agama Allah, walaupun orang itu sangat dicintainya. Maka aku berkata kepadanya (Abu Qatadah), “Aku ingin bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu bahwa sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah tidak menjawab.

Aku berkata lagi, “Aku ingin bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu, bahwa sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah masih belum mahu menjawab.

Ka'ab bertanya kepada Abu Qatadah, tapi Abu Qatadah tidak menjawabnya. Sementara, Abu Qatadah mengetahui bahwa Ka'ab bin Malik mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Ka'ab bertanya lagi kepada Abu Qatadah, untuk yang ketiga kalinya, “Aku ingin bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu, bahwa sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Kali ini Abu Qatadah angkat suara, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”

Abu Qatadah tidak membicarakan dengan Ka'ab, dia tidak berkata, “Ya.” Sebagaimana dia juga tidak berkata, “Tidak.”

Abu Qatadah mengucapkan kata-kata yang tidak bisa dianggap sebagai dialog.

Ka'ab bertutur, “Seketika, air mataku mengalir (baca: menangis).” Kerana sepupunya yang merupakan orang yang paling dia cintai tidak mahu berbicara dengannya meski dia menanyakan sesuatu yang agung. Padahal apa yang ditanyakan oleh Ka'ab masuk dalam ranah ibadah. Sebab ungkapan Ka'ab, “Aku ingin bertanya kepadamu, demi Allah, apakah kamu tahu, bahwa sesungguhnya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?” Dia meminta persaksian. Namun demikian, Abu Qatadah tidak mahu memberikan persaksian kepada Ka'ab, padahal Abu Qatadah mengetahui bahwa Ka'ab mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Dia berjalan di taman yakni ia keluar ke pasar, ketika itu tiba-tiba ada seorang lelaki dari Nabthi Syam -Nabthi adalah orang yang berasal dari bangsa Arab dan bukan bangsa 'Ajam-. Disebut demikian kerana mereka keluar di padang pasir untuk mencari sumber air. Orang tersebut berkata, “Siapa yang mahu menunjukkan kepadaku tempat Ka'ab bin Malik berada?”

Ada orang-orang jahat yang sedang menunggu kesempatan.

Ketika orang tersebut berkata, “Siapa yang mahu menunjukkan kepadaku tempat Ka'ab bin Malik berada?” Segera aku berkata, “Aku adalah orang yang kamu cari itu.”

Seketika dia memberikan secarik kertas kepadaku. Aku adalah seorang penulis, sementara pada masa itu penulis masih jarang sekali.

Ka'ab berkata, “Di kertas itu tertulis, “Amma ba'du, kami mendengar informasi bahwa temanmu (Rasulullah) sedang menguncilkanmu -surat yang dibaca oleh Ka'ab itu dikirim oleh raja Ghassan yang kafir- sesungguhnya engkau tidak akan berada di rumah dalam keadaan terhina dan tersia-sia, oleh kerana itu, datanglah ke tempat kami.” Yakni datanglah ke tempat kami, niscaya kami akan menyejahterakanmu dengan harta-harta kami, bahkan barangkali juga dengan kerajaan kami.

Tapi Ka'ab adalah seorang laki-laki yang beriman dan mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kemudian dia berkata, “Ini adalah bagian dari ujian.” Apa yang dikatakan oleh Ka'ab memang benar.

Saat itu, Ka'ab adalah orang yang sedang dikucilkan, dimarjinalkan, dan tidak ada seorang pun yang mahu berbicara dengannya, meski orang yang paling dekat dengannya. Seandainya iman Ka'ab lemah, niscaya dia tidak akan membuang-buang kesempatan untuk memenuhi ajakan raja.

Usai membaca surat itu, Ka'ab pergi ke tungku pembakaran seraya melemparkan surat itu dalam kobaran api.

Dia memilih untuk membakar surat itu, dan tidak membiarkannya berada pada dirinya, agar di kemudian hari surat tersebut tidak menggodanya untuk memenuhi ajakan raja.

Ka'ab membakar surat itu, agar dia tidak ada peluang lagi untuk memenuhi undangan raja, dan agar Ka'ab tidak berupaya untuk menjadikan surat tersebut sebagai hujjah atau dalih untuk datang ke tempat raja.

Di dalam penggalan hadits ini, terdapat sebuah dalil yang menunjukkan bahwa seseorang boleh tidak melaksanakan shalat berjamaah, jika orang tersebut dalam kondisi dikucilkan dan tidak ada orang yang bersedia berbicara dengannya, sekiranya dia tidak mampu menanggung semua itu, sebagaimana yang dilakukan oleh kedua sahabat Ka'ab itu. Kerana, tentu saja, seseorang akan merasa tertekan dan jiwanya sempit jika dia harus datang ke masjid untuk melaksankan shalat berjamaah, sementara tidak ada seorang pun yang mahu mengucapkan salam kepadanya dan tidak ada yang mahu menjawab salamnya. Kondisi seperti ini, oleh kalangan ulama, dianggap sebagai udzur untuk tidak menghadiri shalat jamaah.

Faedah Hadits.

Dalam penggalan hadits ini, terdapat beberapa faedah, antara lain:

1. Para sahabat mempunyai komitmen yang tinggi dalam menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini dibuktikan dengan apa yang dilakukan oleh Abu Qatadah bersama Ka'ab.

2. Seseorang wajib membentengi diri dari orang-orang yang berperilaku buruk yang mencari kelemahan dan menunggu kesempatan untuk menghancurkannya.

Raja kafir itu mencari kelemahan Ka'ab, mengajaknya pada kesesatan sehingga dia dapat keluar dari agamanya kemudian memeluk agama raja, disebabkan oleh kondisi Ka'ab yang sedang dikucilkan oleh Rasulullah dan kaum muslimin lainnya.

3. Ka'ab bin Malik gigih dalam memeluk agama Allah dan dia termasuk orang-orang mukmin yang ikhlas, bukan bagian dari orang-orang yang dijelaskan dalam firman Allah,

“Dan di antara manusia ada orang yang berkata, “Kami beriman kepada Allah,” maka apabila dia disakiti (kerana dia beriman) kepada Allah, dia menganggap fitnah manusia itu sebagai adzab Allah.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 10)

Sebagian manusia ada yang berkata, “Kami beriman kepada Allah.” Tapi imannya lemah. Ketika dia disakiti kerana dia beriman kepada Allah, maka dia murtad, fasik dan tidak lagi taat kepada Allah.

Ka'ab bin Malik disakiti, kerana dia beriman kepada Allah, dengan berbagai macam cara, namun dia tetap sabar dan mengharapkan pahala dari Allah serta menunggu kelapangan. Kemudian Allah memberikan sebuah kelapangan kepadanya beserta kedua sahabatnya dengan kelapangan yang tidak pernah diberikan kepada orang lain. Allah menurunkan wahyu dalam beberapa ayat yang berisi pujian kepada mereka, di mana ayat-ayat tersebut terus dibaca oleh umat Islam sampai hari Kiamat. Kita membaca kisah mereka yang diabadikan dalam Al-Qur'an pada saat kita mendirikan shalat! Hal ini merupakan anugerah yang luar biasa.

4. Jika seseorang melihat atau khawatir terhadap fitnah (baca: cobaan) hendaknya dia meninggalkan sesuatu yang dapat menyebabkan dia tertimpa fitnah tersebut.

Ketika Ka'ab khawatir di kemudian hari tertarik pada ajakan raja, dengan menjadikan surat tersebut sebagai dalih atau hujjah, maka dia segera membakar surat tersebut.

Senada dengan kasus ini, apa yang terjadi pada Nabi Sulaiman bin Nabi Dawud Alaihiwassalam ketika didatangkan kepadanya pada waktu Ashar seekor kuda yang mempunyai paras menarik dan bisa lari cepat. Akibat melihat kuda tersebut, dia sampai lupa untuk mendirikan shalat Ashar, hingga matahari terbenam.

Pada saat matahari sudah kembali keperaduannya, sementara dia belum mendirikan shalat Ashar, dia langsung menebas leher dan kaki kuda itu, sebagai balas dendam kepada kuda tersebut, kerana kuda tersebut sudah membuat Nabi Sulaiman lalai untuk mengingat Allah.

“Maka ia berkata, “Sesungguhnya Aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) sehingga aku lalai mengingat Tuhanku sampai kuda itu hilang dari pandangan. Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku, lalu ia potong kaki dan leher kuda itu.” (QS. Shâd: 38: 32-33)

Alhasil, ketika kamu melihat salah satu hartamu dapat menghalang-halangimu dari mengingat Allah, maka jauhkanlah hal itu darimu dengan cara apa pun, sehingga hal itu tidak menjadi faktor yang membuat kamu lalai dari mengingat Allah.

Sungguh merugi orang-orang yang lalai mengingat Allah, sebagaimana firman Allah Ta'ala:

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiàpa yang berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” 
(QS. Al-Munâfiqûn: 63: 9)

Ka'ab berkata, “Setelah kami melalui empat puluh malam.” Yakni, satu bulan sepuluh hari, sementara wahyu lambat turun. Hal ini merupakan hikmah dari Allah Ta'ala dalam masalah-masalah besar, di mana wahyu dalam rentang waktu yang cukup lama belum turun, seperti yang terjadi dalam kisah ini juga dalam kisah Al-Ifki (kabar dusta yang ditujukan kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha).

Hal ini merupakan hikmah dari Allah Ta'ala, sehingga manusia merindukan dan menunggu-nunggu wahyu; kira-kira apa yang diturunkan oleh Tuhan semesta alam.

Wahyu tidak turun selama empat puluh malam. Bahkan, empat puluh malam Ka'ab menjalani sanksi, Rasulullah mengirim utusan untuk menyampaikan perintah kepada Ka'ab, agar Ka'ab menjauhi istrinya, sebagaimana sudah disinggung di atas.

Kemudian istri Hilal bin Umayyah datang mengadap Rasulullah seraya memberitahukan kepada baginda, bahwa suaminya sangat membutuhkan dia, untuk melayaninya, kerana suaminya tidak mempunyai pembantu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujuinya, dengan syarat suaminya tidak mendekat kepadanya.

Istri Hilal berkata, “Saat ini dia sedang tidak mempunyai semangat untuk melakukan hubungan badan.” Kerana dia masih terlarut dalam tangisan, sejak Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk menghajr Hilal dan dua sahabatnya. Kerana dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan bagaimana akhir dari permasalahan ini.

Ka'ab berkata, “Sepuluh malam kemudian, aku sedang mendirikan shalat Subuh di lonteng salah satu rumahku -sebab sebagaimana yang telah disebutkan, bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah terasa sempit bagi mereka- tiba-tiba aku mendengar seseorang berteriak dengan kencang dari atas gunung Sal'in -sebuah nama gunung di Madinah yang cukup populer- memanggilku, “Wahai Ka'ab bin Malik, bergembiralah.”

“Seketika aku mengetahui bahwa Allah Ta'ala telah menurunkan wahyu yang memberiku kelapangan,” tambahnya.

Seorang pengendara kuda dari arah masjid datang ke rumah Ka'ab bin Malik untuk memberikan kabar gembira kepadanya.

Para pembawa kabar gembira mendatangi Hilal bin Umayyah, memberikan kabar gembira kepada mereka berdua bahwa Allah Ta'ala telah mengampuni mereka.

Lihatlah kegembiraan orang-orang muslim antara sebagian mereka dan sebagian yang lain. Ada yang mengekspresikan kegembiraannya dengan berjalan di jalanan, ada pula yang berlari.

Ka'ab berkata, “Datanglah orang berteriak, dan datanglah penunggang kuda. Aku mengetahui berita gembira itu dari orang yang berteriak dari atas gunung daripada orang yang menunggangi kuda, kerana suaranya lebih kencang daripada langkah kuda.”

“Kemudian aku memberikan baju sarung dan selendang kepada orang tersebut,” tambahnya.

Sementara Ka'ab hanya memiliki kedua barang tersebut, tapi kemudian dia mendapatkan pinjaman dua baju dari keluarganya dan juga dari tetangga, kemudian dia memberikan kedua baju tersebut kepada orang yang memberinya kabar gembira.

Ka'ab memberikan semua yang dimiliki kepada orang yang telah memberikan kabar gembira kepadanya. Akan tetapi, demi Allah, sungguh kabar gembira yang luar biasa, di mana Allah menurunkan wahyu yang terkait dengan penerimaan taubat mereka dan Allah memberikan anugerah pengampunan kepada mereka.

Tidak lama kemudian, Ka'ab turun dari lonteng rumahnya untuk bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu tengah berada di masjid Nabawi, seketika Rasulullah memberikan kabar gembira kepada kaum muslimin, usai shalat Subuh, bahwa Allah menurunkan wahyu yang menegaskan bahwa Allah telah menerima taubat tiga orang tersebut. Kerana Rasulullah mencintai para sahabatnya dan umatnya yang bertaubat kepada Allah.

Kemudian Ka'ab berkata, “Kemudian aku pergi hendak menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sementara kaum muslimin berbondong-bondong menemuiku.” Yakni, kaum muslimin mengucapkan selamat dan memberikan apresiasi kepada Ka'ab kerana Allah menerima taubatnya.

Mereka mencintai saudara-saudara (seagama) mereka sebagaimana mereka mencintai diri mereka sendiri. Mereka tidak merasa iri hati dengan yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada Ka'ab dan kedua sahabatnya, berupa turunnya ayat Al-Qur'an yang menegaskan bahwa Allah telah menerima taubat mereka, justru mereka memberikan ucapan selamat kepada Ka'ab dan kedua sahabatnya, hingga mereka masuk ke masjid.

Faedah Hadits.

Dalam penggalan hadits ini terdapat beberapa faedah:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “mengucilkan” mereka bertiga dengan amat sangat, hingga Rasulullah memerintahkan untuk menjauhi istri-istri mereka. Pemisahan laki-laki dengan istrinya termasuk perkara yang besar.

2. Perkataan seorang laki-laki dalam hadits ini, kepada istrinya, “Pergilah ke keluargamu,” tidak dikategorikan ungkapan talak. Kerana Ka'ab membedakan antara ucapannya, “Pergilah ke keluargamu,” dan ungkapan talak. Jika seseorang berkata kepada istrinya, “Pergilah ke keluargamu,” tapi dia tidak meniatkan untuk mencerai istrinya, maka ungkapan tersebut bukan ungkapan talak.

Sementara jika dia meniatkan untuk menceraikan istrinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan itu pasti disertai niat. Seseorang mendapatkan apa yang dia niatkan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1 Muslim no. 1907]

3. Sahabat mempunyai komitmen yang tinggi dalam menjalankan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerana Ka'ab bin Malik radhiyallahu anhu tidak ragu-ragu dan dia juga tidak berkata, “Barangkali aku akan bernegosiasi kepada Rasulullah.” Dia juga tidak berkata kepada utusan Rasulullah, “Kembalilah kamu kepada Rasulullah, barangkali baginda membolehkanku (mendekati istriku).” Ka'ab setuju dan melaksanakan semua perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat sayang kepada umatnya. Setelah baginda memerintahkan mereka untuk menjauhi istri mereka, baginda membolehkan bagi Hilal bin Umayyah kerana dia sangat membutuhkan khidmat istrinya.

5. Boleh menceritakan sebuah keadaan seseorang ketika meminta fatwa atau persaksian atau yang serupa. Meskipun orang yang diceritakan tidak ingin keadaannya diketahui oleh orang lain. Kerana istri Hilal bin Umayyah menceritakan keadaan suaminya, bahwa dia sedang tidak bergairah untuk melakukan hubungan badan dengan istrinya.

6. Jika seseorang mengalami keadaan seperti yang dialami Ka'ab, kemudian orang-orang mendiamkannya, sedang dia merasa hatinya terhiris ketika bertemu dengan mereka, dan dia tidak sanggup menghadapi kondisi yang demikian, maka dia boleh tidak melaksanakan shalat jamaah bersama mereka.

Hal ini bisa dianggap sebagai salah satu udzur shalat berjamaah. Sebab, jika dia datang ke masjid dalam keadaan seperti ini maka dikhawatirkan dia tidak bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk. Oleh kerananya, Ka'ab bin Malik mendirikan shalat Subuh di salah satu loteng rumahnya, sebagaimana disinggung sebelumnya.

7. Kepedulian para sahabat yang tinggi untuk berlomba-lomba menyampaikan kabar gembira. Kerana menyampaikan kabar gembira dapat menanamkan rasa senang di hati orang muslim. Sementara menyenangkan orang muslim merupakan bagian perbuatan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Kerana perbuatan tersebut merupakan perbuatan baik, sementara Allah mencintai orang-orang yang suka berbuat baik dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala mereka.

Oleh kerana itu, ketika kamu melihat sesuatu yang dapat menyenangkan saudaramu, hendaknya kamu menyampaikan kabar gembira kepadanya. Kerana dengan berbuat demikian, kamu telah membuat dia senang.

8. Sejatinya seseorang memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar gembira kepadanya. Kerana Ka'ab bin Malik memberikan hadiah dua baju kepada orang yang menyampaikan kabar gembira kepadanya.

Hal ini sesuai dengan khabar shahih yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhuma, bahwa dia memerintahkan kaum muslimin yang hendak melaksanakan ibadah haji agar melakukan haji tamattu'. Sementara Umar bin Al-Khaththab melarang kaum muslimin melakukan haji tamattu', kerana beliau lebih suka melakukan haji qiran, sehingga Baitullah selalu ramai dengan peziarah. Hal ini termasuk ijtihad Umar yang dibolehkan. Sementara sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama untuk diikuti.

Alhasil, ada seseorang yang meminta fatwa kepada Abdullah bin Abbas dalam masalah haji, kemudian dia memerintahkan orang tersebut untuk melakukan haji tamattu'.

Seketika, dalam mimpinya, ada suara membisik telinga orang tersebut, “Haji mabrur dan umrah yang diterima.” Begitu bangun dari tidurnya, orang tersebut segera menuturkan mimpinya kepada Abdullah bin Abbas, ulama yang telah memberikan fatwa kepada orang tersebut.

Seketika Ibnu Abbas merasa senang, seraya meminta orang tersebut untuk tidak beranjak sampai Ibnu Abbas memberinya hadiah. Yakni, Ibnu Abbas memberikan hadiah kepada orang yang menyampaikan kabar gembira kepadanya, dengan menuturkan mimpinya, yang menunjukkan kebenaran fatwa yang disampaikan oleh Ibnu Abbas.

Yang penting, jika ada seseorang yang menyampaikan kabar gembira kepadamu, maka, minimal, kamu dapat menyenangkannya atau, jika memungkinkan, kamu memberinya hadiah sesuai kemampuanmu.

Ka'ab berkata, “Sampai ketika aku masuk ke masjid dan Rasulullah sedang duduk dikelilingi para sahabatnya.” Berdirilah Thalhah bin Ubaidillah radhiyallahu anhu menuju ke Ka'ab, kemudian dia menyalaminya dan mengucapkan selamat kepadanya kerana Allah telah menerima taubatnya. 

Dia berkata, “Demi Allah, tidaklah berdiri seseorang dari kalangan Muhajirin selain Thalhah.”

Tentu, Ka'ab tidak bisa melupakan apa yang dilakukan oleh Thalhah, di mana dia berdiri dan menyalaminya serta mengungkapkan ucapan selamat hingga tiba di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seketika wajah Ka'ab “memancar sinar” kebahagiaan. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membuat dia senang, dengan menyampaikan kabar gembira, bahwa Allah telah menerima taubat tiga orang yang telah berkata jujur kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ketiga orang tersebut menyampaikan dengan jujur tentang keimanannya. Mereka mendapatkan balasan dari apa yang dialami mereka, di mana mereka dikucilkan oleh kaum muslimin selama lima puluh hari, bahkan mereka diperintahkan oleh Rasulullah untuk menjauhi istri-istri mereka setelah mereka menjalani sanksi selama empat puluh hari.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ka'ab bin Malik, “Berbahagialah menghadapi hari yang paling baik bagimu sejak kamu lahir dari rahim ibumu.”

Apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlebihan. Kerana Allah Ta'ala menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menegaskan bahwa Allah menerima taubat Ka'ab dan kedua sahabatnya. Kisah tiga orang tersebut diabadikan dalam Al-Qur'an yang senantiasa dibaca oleh kaum muslimin hingga hari kiamat.

Tidak terdapat seseorang pun, selain para nabi atau orang-orang yang disebutkan Allah dalam Al-Qur'an, yang kisahnya dijaga sebagaimana penjagaan kisah Ka'ab bin Malik dan kedua sahabatnya.

Kisah ini senantiasa di dalam Al-Qur'an, di mihrab-mihrab, di mimbar-mimbar, di setiap tempat. Dan bagi orang yang membaca kisah ini, maka dia akan mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya.

Ka'ab bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah pengampunan ini dari sisimu ya Rasulullah atau dari sisi Allah?” Baginda menjawab, “Tidak, ini dari sisi Allah Azza wa Jalla.” Kerana jika pengampunan itu datangnya dari Allah tentu saja lebih mulia dan utama.

Kemudian Ka'ab berkata, “Sebagai bagian dari bentuk taubatku, aku akan menyedekahkan seluruh hartaku kepada Allah dan Rasul-Nya.”

Seketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Peganglah sebagian hartamu, kerana itu lebih baik bagimu.” Ka'ab pun memegang sebagian hartanya. Yakni, tidak menyedekahkan seluruh hartanya.

Faedah Hadits.

Dalam penggalan hadits ini terdapat beberapa faedah:

1. Hadits ini sebagai dalil bahwa jika seseorang melihat orang lain mendapatkan sesuatu yang dapat membahagiakannya hendaklah dia mengucapkan selamat kepada orang tersebut, baik sesuatu yang membahagiakan itu yang berhubungan dengan agama atau dunia.

Oleh kerananya, malaikat memberikan apresiasi kepada Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dengan lahirnya seorang anak yang bijaksana, Ismail dan seorang anak berpengetahuan, yaitu Ishak.

2. Tidak mengapa seseorang berdiri kepada orang lain untuk menjabat tangannya dan memberikan ucapan selamat dengan sesuatu yang membahagiakannya.

Berdiri kerana datangnya seseorang itu tidak mengapa, sebab yang demikian itu sudah disebutkan di dalam sunnah. Begitu pula, ada orang yang berdiri untuk menyambut seseorang sementara kamu tetap di tempat dudukmu tidak bergerak kepadanya maka itu tidak mengapa, jika sudah menjadi kebiasaan orang, kerana tidak ada larangan dalam hal ini. Tetapi yang dilarang orang yang menginginkan orang lain berdiri untuk menyambut kedatangan dirinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لَهُ النَّاسُ قِيَامًا فَلْيَتَبَّوَأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa yang menginginkan orang lain menghormatinya dengan berdiri maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya dari neraka.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2755 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 5957]

Menurut ulama berdiri kerana menghormati orang lain itu ada tiga macam:

a). Pertama berdiri untuk menghampiri seseorang yang datang (قِيَامٌ إِلَى الرَجُلِ).

b). Kedua berdiri (di tempat) kerana ada seseorang yang datang (قِيَامٌ لِلرَجُلِ).

c). Ketiga berdiri di hadapan orang yang duduk (قِيَامٌ عَلَى الرَجُلِ).

1. Berdiri untuk menghampiri seorang yang datang itu tidak mengapa. Masalah ini sudah ditegaskan dalam As-Sunnah, baik secara perintah, perbuatan dan pengakuan Nabi.

As-Sunnah yang berupa perintah yaitu ketika Sa'ad bin Muadz radhiyallahu anhu datang menghadap pada majelis tahkim di Bani Quraidah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para hadirin,

قُوْ مُوْا إِلَى سَيِّدِ كُمْ

“Hendaknya kalian berdiri untuk menghampiri tuan kalian.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3043, 4121, 6262 dan Muslim no. 1768]

Sa'ad bin Muadz radhiyallahu anhu pada perang Ahzab, dia tertimpa sesuatu di urat nadinya -yaitu urat yang berada di tangan jika mengalir darah di situ maka akan meninggallah orang tersebut- maka dia berdoa kepada Allah, untuk tidak mewafatkannya sehingga dia dapat menyaksikan pengadilan di Bani Quraidhah. Mereka itu bersekutu dengan Aus dan mereka berkhianat pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bergabung bersama kelompok-kelompok yang memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ketika Sa'ad terluka, dia berdoa, “Ya Allah, jangan Engkau wafatkan aku sehingga aku dapat menyaksikan dengan mataku tentang Bani Quraidhah ini.” Dan dengan ketinggian kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di mana Rasulullah memerintahkan untuk mendirikan kemah kecil di dekat masjid untuk merawatnya secara dekat dan baginda selalu mengunjunginya dari dekat.

Ketika terjadi perang Bani Quraidhah dan mereka setuju untuk menjadikan Sa'ad bin Muadz sebagai hakim dalam masalah mereka. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Sa'ad untuk hadir di Bani Quraidhah, maka dia datang dengan menunggang keledai kerana kondisi badannya sudah lemah lantaran penuh dengan luka. Ketika dia telah menghadap, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kalian berdiri untuk menghampiri tuan kalian.” Kemudian mereka berdiri menghampiri Sa'ad seraya menurunkannya dari tunggangannya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sa'ad, “Sesungguhnya orang Yahudi dari kalangan Bani Quraidhah ini menginginkan engkau sebagai hakim.” Sa'ad berkata, “Hukumku berlaku untuk mereka.” Baginda menjawab, “Ya.” Mereka mengakui hal itu seraya berkata, “Ya, hukummu berlaku.”

Kemudian dia berkata, “Siapa yang ada disini?.” -ia memberikan isyarat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat- mereka berkata, “Ya.” Kemudian dia berkata, “Aku menghukumi untuk mereka, agar orang yang yang membunuh dibunuh, sedang keturunan mereka dan kaum perempuan di kalangan mereka sebagai tawanan, sementara harta-harta mereka sebagai rampasan perang. Ini adalah hukuman yang pantas.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Engkau telah menghukumi mereka dengan hukum Allah dari atas tujuh lapis langit.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3043 dan Muslim no. 1768, 1769]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan hukum ini dan dibunuhlah di antara mereka tujuh ratus orang, sementara wanita-wanita mereka dan anak cucunya dijadikan tawanan dan harta mereka sebagai rampasan perang.

Intisari dari hadits ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

.قُوْمُوْا إِلَى سَيِّدِ كُمْ

“Hendaknya kalian berdiri untuk menghampiri tuan kalian.”

Tapi, kata (قُوْمُوْا) dalam bentuk fi'il amar.

Ketika Ka'ab masuk ke masjid dan Thalhah bin Ubaidillah berdiri menyongsongnya, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaksikan hal itu dan tidak melarangnya.

Dan ketika duta dari Tsaqif datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al-Ji'ranah -setelah peperangan- maka baginda berdiri menghampiri mereka.

2. Berdiri (di tempat) kerana ada orang yang datang. Yang demikian ini juga tidak mengapa, jika memang sudah menjadi kebiasaan orang-orang. Misalnya, jika ada orang masuk ke rumahmu, sekiranya kamu tidak berdiri untuknya niscaya kamu dianggap menghinanya, maka tidak mengapa kamu berdiri. Meskipun yang lebih utama adalah tidak usah berdiri, sebagaimana dijelaskan dalam As-Sunnah.

3.Berdiri di hadapan orang yang duduk. Seperti jika ada orang yang duduk, kemudian ada seseorang yang berdiri untuk menghormati orang yang duduk tersebut. Penghormatan seperti ini dilarang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Janganlah kalian berdiri seperti berdirinya orang-orang non Arab untuk saling menghormati antara sebagian mereka dan sebagian yang lain.”

[Dhaif, Dhaif Al-Jami no. 6262]

Larangan ini juga berlaku dalam shalat, misalnya jika seseorang yang menjadi imam dan tidak mampu berdiri, kemudian dia harus melaksanakan shalat dengan posisi duduk, maka makmum harus melaksanakan shalat dalam posisi duduk juga, meski mereka mampu berdiri. Hal ini untuk menghindari penyerupaan terhadap gaya penghormatan orang-orang non Arab ketika menghormati raja mereka.

Berdiri di hadapan orang yang duduk, dengan maksud untuk menghormati, dilarang dalam Islam, kecuali memang ada misi tertentu. Seperti ada seseorang yang takut disakiti oleh orang lain, maka dia tidak mengapa berdiri demi orang tersebut. Seperti juga, jika untuk memuliakan seseorang dan menghina musuh, sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Mughirah bin Syu'bah radhiyallahu anhu -dalam perjanjian Al-Hudaibiyah- ketika orang-orang Quraisy mengirim utusan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bernegosiasi.

Pada saat itu, Al-Mughirah bin Syu'bah berdiri di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedang baginda dalam keadaan duduk. Al-Mughirah sambil memegang pedang. Hal ini, sebagai bentuk penghormatan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghinaan terhadap para delegasi orang-orang kafir yang datang untuk bernegosiasi (berunding).

Dalam hal ini ada dalil yang menunjukkan bahwa sepantasnyalah bagi seorang muslim untuk menunjukkan perlawanan kepada orang-orang kafir secara ucapan mahupun perbuatan, kerana seperti inilah kita diperintahkan.

Allah Ta'ala berfirman:

“Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 73)

“Kerana Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin).” (QS. Al-Fath: 48: 29)

“Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, kecuali (semua) itu dituliskan bagi mereka sebagai suatu amal kebajikan.” (QS. At-Taubah: 9: 120)

Sangat disayangkan di antara kita ada yang memberikan kesenangan dan kegembiraan kepada mereka, bahkan terkadang ikut nimbrung (datang) hari raya mereka yang mengandung kekufuran dan tidak diridhai Allah bahkan Allah memurkainya. Yang dikhawatirkan adalah turunnya adzab atas mereka ketika mereka merayakan hari raya tersebut. Sebagian manusia, yang tidak mengenal agama sama sekali, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Al-Qayyim dalam kitabnya, Ahkam Ahlu Adz-Dzimmah.

Lakukanlah sesuatu yang dapat membuat mereka sedih, susah dan sangat sesak. Memang kita yang diperintahkan. Kerana mereka adalah musuh-musuh Allah, musuh agamanya, malaikat, para nabi, Ash-Shiddiqin, syuhada dan orang-orang shalih.

Alhasil, Al-Mughirah bin Syu'bah berdiri sambil memegang pedang di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang baginda dalam posisi duduk untuk menghormati baginda. Bahkan di tengah-tengah delegasi orang-orang kafir, para sahabat melakukan sesuatu tidak seperti biasanya.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdahak, maka para sahabat menadahi dahak baginda dengan tangannya, kemudian mereka mengusap ke muka dan dada mereka. Padahal, mereka belum pernah berbuat demikian. Tapi, para sahabat melakukan hal ini, agar ketika delegasi orang-orang kafir pulang menemui kaumnya, para delegasi itu menceritakan bagaimana cara para sahabat memperlakukan Nabinya.

Oleh kerananya, ketika delegasi itu kembali ke Quraisy dia berkata, “Demi Allah, aku telah menemui beberapa raja, kaisar, kisra dan najasy, tapi aku tidak melihat para bawahan mereka menghormati atasannya seistimewa penghormatan para sahabat Muhammad kepada Muhammad.”

Yang terpenting bahwa berdiri jika tujuannya untuk menjaga orang itu, atau maksudnya untuk menakuti-nakuti musuh maka tidaklah mengapa.

Ketiga, orang yang mendapatkan nikmat, disunnahkan untuk menyedekahkan sebagian hartanya. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyetujui perbuatan Ka'ab bin Malik ketika menyedekahkan sebagian hartanya, sebagai bentuk taubat kepada Allah, pada saat mendapatkan pengampunan Allah yang akan menjadi kebanggaan bagi dia sampai hari kiamat.

Ka'ab menyebutkan, bahwa di antara bentuk taubat Ka'ab bin Malik, dia tidak boleh berkata bohong setelah Allah Ta'ala menyelamatkannya kerana berkata jujur. Setelah mendapatkan pengampunan dari Allah, Ka'ab tidak pernah berkata bohong selama-selamanya. Ka'ab menjadi suri teladan dalam masalah kejujuran, hingga Allah menurunkan wahyu yang khusus menyinggung tentang Ka'ab dan kedua sahabatnya,

“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 9: 119)

Allah Ta'ala menurunkan ayat-ayat yang menjelaskan anugerah-Nya kepada mereka dengan menerima taubat mereka. Seperti dalam firman Allah Ta'ala:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar yang mengikuti nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling. (QS. At-Taubah: 9: 117)

Dalam ayat di atas, Allah menekankan bahwa Dia menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yaitu dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat...” 
(QS. At-Taubah: 9: 117)

Yang dimaksud nabi dalam ayat di atas adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, penutup para nabi, di mana Allah mengampuni seluruh dosa baginda, baik yang sudah lalu mahupun yang akan datang.

Sementara yang dimaksud orang-orang Muhajirin adalah orang-orang yang hijrah dari negeri mereka, yaitu dari Mekah ke negeri Madinah. Mereka hijrah kerana Allah dan Rasul-Nya. Terkumpullah dalam hal ini antara hijrah, berpisah dengan tanah air juga rumah-rumahnya dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerana mereka hijrah semata-mata kerana Allah dan Rasul-Nya.

Sedangkan yang dimaksud orang-orang Anshar adalah orang yang menyiapkan rumah dan keimanan di hati mereka, yaitu penduduk Madinah tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “berlabuh.” Mereka menolong dan membentengi baginda. Allah mendahulukan Muhajirin kerana mereka lebih utama daripada Anshar. Kerana orang-orang Muhajirin antara hijrah dan menolong Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Firman Allah Ta'ala:

“Yang mengikuti nabi dalam masa kesulitan.” 
(QS. At-Taubah: 9: 117)

Yaitu ketika keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat perang Tabuk ke daerah yang cukup jauh, di mana kaum muslimin, pada saat itu, merasakan teriknya matahari, dari satu sisi sekiranya mereka tetap berada di Madinah mereka berada dalam kondisi yang sangat menyenangkan, kerana waktu itu di Madinah musim buah, ranumnya buah-buahan, dan awan yang teduh. Akan tetapi, mereka tetap keluar dalam keadaan yang sulit ini, “Setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling.” (QS. At-Taubah: 9: 117)

Sebagian mereka hampir tidak ikut berperang tanpa ada udzur sehingga hatinya hampir berpaling, akan tetapi Allah menganugerahkan keistiqamahan kepada mereka, hingga mereka berangkat ke Tabuk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Firman Allah Ta'ala:

“Kemudian Allah menerima taubat mereka.” 
(QS. At-Taubah: 9: 117)

Allah menguatkan lagi dengan firman ini, padahal pada awal ayat ini sudah disebutkan bahwa Allah menerima taubat mereka.

“Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 117)

Allah melindungi mereka dengan belas kasih sayang. Sementara kasih belas kasih lebih tinggi tingkatannya daripada kasih sayang.

Kemudian Allah Ta'ala berfirman:

“Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan.” 
(QS. At-Taubah: 9: 118)

Tiga orang itu adalah Ka'ab bin Malik, Murarah bin Rabi' dan Hilal bin Umayyah. Yang dimaksud ditinggalkan dalam ayat di atas, bukan tidak mengikuti peperangan, akan tetapi Rasulullah tidak memperdulikan mereka, demi melihat ketentuan Allah terhadap mereka.

Firman Allah Ta'ala:

“Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas.” (QS. At-Taubah: 9: 118)

Hingga Ka'ab berkata, “Bumi benar-benar terasa sempit bagiku, hingga aku berkata, “Aku tidak tahu, apakah aku ada di Madinah ataukah di tempat lain.”

Hal ini menunjukkan betapa bumi benar-benar terasa sempit bagi mereka.

“Dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 118)

Jiwa seseorang yang terasa sempit bagi dirinya, biasanya, tidak akan kuat bertahan. Tapi, Ka'ab dan kedua sahabatnya menghadapinya dengan sabar hingga Allah memberikan kelapangan kepada mereka.

Firman Allah Ta'ala:

وَظَنُّوا أَنْ لَا مَلْجَأَ مِنَ اللَّهِ إِلَّا إِلَيْهِ

“Serta mereka telah meyakini bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja.” (QS. At-Taubah: 9: 118)

Kata (الظن) dalam ayat di atas mempunyai arti yakin. Yakni mereka meyakini bahwa tidak ada tempat lari dari siksaan Allah; tidak ada seseorang yang dapat menolong mereka, dan tidak ada tempat berlindung dari siksaan Allah kecuali hanya kepada Allah. Di tangan Allah Ta'ala segala sesuatu.

Firman Allah Ta'ala:

“Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.” 
(QS. At-Taubah: 9: 118)

Allah menerima taubat mereka, agar mereka mendapatkan tingkatan-tingkatan taubat yang hanya diperoleh oleh kekasih Allah, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.” (QS. Al-Baqarah: 2: 222)

Sementara orang-orang munafik yang menyampaikan alasan ketidakikutan-sertaan mereka dalam perang Tabuk, yang kemudian mendapatkan pengampunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memasrahkan sepenuhnya rahasia mereka kepada Allah maka Allah menurunkan wahyu tentang mereka, yang merupakan seberuk-buruknya apa yang diturunkan kepada manusia.

Allah Ta'ala berfirman:

“Mereka akan bersumpah kepadanu dengan nama Allah, ketika kamu kembali kepada mereka, agar kamu berpaling dari mereka.” 
(QS. At-Taubah: 9: 95)

Kerananya, kamu tidak perlu mencerca mereka.

“Maka berpalinglah dari mereka; kerana sesungguhnya mereka itu berjiwa kotor.”
(QS. At-Taubah: 9: 95)

Aku berlindung kepada Allah dari sesuatu yang kotor. Khamer itu kotor dan menjijikan. Kotoran yang keluar dari dubur manusia itu menjijikan. Kotoran keledai juga menjijikan. Mereka seperti barang-barang yang kotor dan menjijikan itu.

“Dan tempat mereka neraka Jahanam, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” 
(QS. At-Taubah: 9: 95)

Neraka Jahanam merupakan tempat yang paling buruk. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian. Mereka berpindah dari dunia ke jahanam, neraka yang membakar sampai ke hati, yang ditutup rapat atas mereka, sedang mereka diikat pada tiang-tiang yang panjang.

“Mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu bersedia menerima mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 96)

Kerana sesungguhnya kalian tidak mengetahui rahasia-rahasia mereka dan tidaklah nampak bagi kalian kecuali yang lahir saja.

“Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 9: 96)

Meski seluruh manusia merelakan kamu, tapi jika Allah tidak ridha terhadap dirimu, maka hal itu tidak berguna bagi dirimu.

Tapi, jika Allah meridhaimu, maka Allah akan membuat manusia rela kepadamu, dan membuat hati mereka condong kepadamu, sebagaimana disebutkan dalam hadits, “Sesungguhnya Alah Ta'ala jika mencintai seseorang, maka Dia akan memanggil Jibril, “Ya Jibril, sesunggunya Aku mencintai Fulan maka cintailah- Allah menentukan Fulan yang dicintainya kepada Jibril- maka Jibril pun mencintainya, kemudian dia menyeru di langit, bahwa Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia, kemudian penduduk langit mencintainya. Kemudian diberikanlah padanya penerimaan di bumi.” Sehingga orang tersebut diterima oleh penduduk bumi.

Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa kasih sayang (dalam hati mereka).” (QS. Maryam: 19: 96)

Akan tetapi, jika seseorang meraih ridha manusia dengan kemurkaan Allah, maka permasalahan yang terjadi adalah sebaliknya, Allah dan manusia akan murka kepadanya. Oleh kerana itu, maka Mu'awiyyah radhiyallahu anhu memegang tampuk khalifah,  Aisyah radhiyallahu ‘anha menulis surat kepadanya, “Barangsiapa yang mencari ridha Allah dengan kemurkaan manusia, Allah akan mencukupinya dari bantuan manusia dan barangsiapa yang meraih keridhaan manusia dengan kemurkaan dari Allah, Allah akan memurkainya dan Dia akan membuat manusia murka kepadanya.”

Betapa banyak orang mencari keridhaan manusia dengan kemurkaan Allah Ta'ala.

Mereka berada dalam kemurkaan Allah, meski manusia meridhainya. Tidak ada gunanya ridha manusia bagi mereka. Dalam hal ini, Allah Ta'ala berfirman,

“Tetapi sekalipun kamu menerima mereka, Allah tidak akan ridha kepada orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 9: 96)

Bahkan, seandainya, Nabi, yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia, meridhai mereka, tidaklah bermanfaat bagi mereka. Kerana Allah tidak akan ridha kepada orang-orang fasik.

Dalam ayat ini terdapat peringatan tentang kefasikan. Fasik adalah melakukan masiat, sementara perbuatan yang paling besar adalah kafir. Setiap kefasikan akan mengurangi keridhaan Allah terhadap seseorang yang kadarnya sesuai dengan kadar fasiknya. Kerana ketentuan Allah yang berhubungan dengan sifat sangat tergantung pada sifat tersebut, dalam hal berkurang, menguat, atau melemah.

Kefasikan sebagai faktor yang dapat menghapus keridhaan Allah. Fasik memiliki banyak ragam dan tingkatan. Seperti durhaka kepada kedua orang tua, memutuskan tali silaturahim, menipu orang, ingkar janji, dan berdusta. Setiap perbuatan maksiat adalah perbuatan fasik.

Akan tetapi, dosa-dosa kecil bisa dihapus oleh amal perbuatan yang baik, jika seseorang melakukan perbuatan baik tersebut dengan sempurna, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dirikanlah shalat dari sebuah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al-Isrâ: 17: 78)

Allah Ta'ala berfirman:

“Perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (QS. Hûd: 11: 114)

Sementara dosa-dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat.

Alhasil, fasik itu merupakan salah satu faktor yang dapat menafikan keridhaan Allah Ta'ala kepada seorang hamba. Sementara ketaatan merupakan salah satu faktor yang dapat mendatangkan ridha-Nya.

Oleh kerana itu, jika kamu ingin mendapatkan ridha Allah, konsistenlah dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Jika kamu menginginkan ridha manusia, carilah keridhaan Allah.

Disebutkan bahwa suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari Madinah, tepatnya pada hari Kamis. Baginda sangat suka untuk keluar bepergian pada hari Kamis, meski tidak selamanya bepergian pada hari Kamis. Kadang-kadang baginda pergi hari Sabtu, seperti ketika pergi untuk melakukan haji wada'. Kadang-kadang baginda bepergian pada hari yang lain, akan tetapi, seringnya, baginda bepergian pada hari Kamis.

Disebutkan pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali ke Madinah pada waktu Dhuha, baginda masuk ke masjid seraya mendirikan shalat dua rakaat. Hal ini merupakan bagian dari sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ketika baru datang dari bepergian, maka hal pertama yang dilakukan oleh baginda adalah masuk ke masjid seraya mendirikan shalat, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.

Dua rakaat ini mencakup setiap waktu, sampai pada waktu yang terlarang, kerana shalat yang mengandung sebab, maka tidak ada larangan pada waktu apa saja terdapat sebab maka boleh dikerjakan.

Sedangkan landasan dari As-Sunnah yang berkaitan dengan kejujuran adalah hadits-hadits berikut ini.

Hadits 54.
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ الصَّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفجُوْرَ يَهْدِيْ إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga. Orang yang jujur akan selalu bertindak jujur sampai kemudian dia ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu membawa keburukan, dan keburukan itu membawa ke neraka. Seorang pendusta akan selalu berdusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.

[Sahih Bukhari no. 6094. Muslim no. 2607]

Penjelasan.

Sabdanya, “Hendaklah kalian berlaku jujur...”

Yakni, hendaknya kalian senantiasa berlaku jujur. Jujur adalah kesesuaian berita dengan realitas. Sudah dijelaskan dalam hadits Ka'ab beserta kedua sahabatnya yang menunjukkan tentang keutamaan jujur dan implikasinya yang baik.

Orang jujur yang akan mendapatkan kesudahan yang baik, sementara pendusta amalnya tiada berguna. Oleh kerana itu, disebutkan bahwa sebagian orang awam berkata, “Kebohongan itu menyelamatkan.” Sahabatnya berkata, “Kejujuran itu lebih menyelamatkan, lebih menyelamatkan.” Pernyataan yang benar pernyataan orang yang kedua.

Berita itu ada yang disampaikan dengan lisan, ada pula yang disampaikan dengan raga.

Berita yang disampaikan dengan lisan disebut perkataan, sedangkan yang disampaikan dengan anggota badan disebut perbuatan. Tetapi, seseorang dikatakan berbohong dengan perbuatan jika orang itu melakukan sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan apa yang ada di batinnya, berarti dia telah berbohong dengan perbuatan. Seorang munafik -misalnya- disebut berbohong kerana dia menampakkan kepada manusia bahwa dia beriman, mendirikan shalat berjamaah, berpuasa, sedekah dan tampak shalih, padahal sebenarnya dia mempunyai karakter yang sebaliknya.

Amal perbuatan yang lahir tidak kerana dorongan dari dalam batin disebut dusta. Oleh kerana itu, kami katakan bahwa kejujuran itu bisa dengan lisan juga dengan raga. Jika terjadi kesesuaian antara berita dan realita, disebut jujur dengan lisan. Sementara jika terjadi kesesuaian antara raga dan apa yang ada di dalam hati, disebut jujur dengan perkataan. 

Kemudian, ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk jujur dan menjelaskan tentang akhir hidup mereka, baginda bersabda, Sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebaikan, dan kebaikan itu membawa ke surga.

Kata 'Al-Birr, berarti banyak berbuat baik dan di antara nama Allah adalah 'Al-Birr, 'Dzat Yang banyak kebaikannya.

'Al-Birr, ‘Kebaikan’ merupakan muara dari kejujuran. Orang yang baik, kebaikannya akan mengantarkannya ke dalam surga yang merupakan tujuan dari semua harapan. Oleh kerana itu, manusia diperintahkan oleh Allah agar meminta surga dan berlindung dari neraka, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya,

Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.
(QS. Âli 'Imrân: 3: 185)

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang jujur akan selalu bertindak jujur sampai kemudian dia ditulis di sisi Allah sebagai orang jujur.

Orang jujur berada pada tingkat kedua dari tingkat-tingkat kemulian manusia yang diberi nikmat oleh Allah, Seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
(QS. An-Nisâ: 4: 69)

Orang yang senantiasa berlaku jujur, akan dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur dan diketahui bahwa kejujuran berada pada tingkat yang tinggi, yang tidak diterima kecuali orang-orang tertentu. 

Derajat kejujuran ini dapat diperoleh baik laki-laki mahupun perempuan, seperti di firmankan Allah Ta'ala,

Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang Rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Dan ibunya seorang yang berpegang teguh pada kebenaran..” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 75)

Orang yang paling jujur secara mutlak di antara orang-orang yang jujur itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu- Abdullah bin Utsman bin Abu Quhafah- yang langsung percaya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala diseru untuk masuk Islam dan dia tidak ragu sedikit pun tatkala pertama kali diajak masuk Islam oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Bakar radhiyallahu anhu membenarkan Rasulullah ketika kaumnya mendustakannya dan dia mempercayai baginda ketika berbicara tentang Isra' dan Mi'raj, walaupun orang-orang mendustakannya. Mereka berkata, “Bagaimana mungkin Muhammad, kamu pergi dari Mekah ke Baitul Maqdis pulang pergi dalam waktu semalam? Kemudian kamu katakan bahwa kamu naik ke atas langit, sungguh ini tidak mungkin.”

Setelah itu, mereka pergi ke Abu Bakar dan berkata kepadanya, “Tidakkah kamu mendengar apa yang dikatakan oleh temanmu?” Abu Bakar bertanya, “Apa yang dia katakan?” Mereka berkata, “Dia berkata begini dan begitu.” Abu Bakar menjawab, “Jika dia telah berkata seperti itu, berarti dia benar (jujur).” Sejak saat itulah Abu Bakar diberi gelar dengan Ash-Shiddiq.

Orang munafik dikatakan berdusta kerana lahirnya menampakkan bahwa dia orang muslim. Padahal, dia seorang kafir, berarti dia berdusta dengan perbuatannya.

Sementara sabda baginda, Sesungguhnya dusta itu membawa kepada kedurhakaan.

Kata, Al-Fujur, berarti keluar dari ketaatan kepada Allah sehingga dia menjadi fasik dan melanggar perannya, serta keluar dari ketaatan menuju kepada kemaksiatan. Kejahatan yang paling besar adalah kekafiran.

Kekafiran juga termasuk kejahatan, seperti difirmankan Allah Ta'ala,

Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.
 (QS. 'Abasa: 80: 42)

Firman Allah Ta'ala:

Sekali-kali jangan curang, kerana sesungguhnya Kitab orang yang durhaka tersimpan dalam sijjin. Tahukah kamu apakah sijjin itu?” (Ialah) Kitab yang bertulis. Kecelakaan yang besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan. (Yaitu) orang-orang yang mendustakan hari pembalasan.
(QS. Al-Muthaffifîn: 83: 7-11)

Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka.” 
(QS. Al-Infithâr: 82: 14)

Perbuatan dusta membawa kepada kedurhakaan, sementara kedurhakaan menghantar kepada api neraka.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seseorang pendusta akan selalu berdusta. Dalam riwayat lain disebutkan, “Seseorang masih tetap berdusta dan akan selalu berdusta sehingga dia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” Dusta merupakan perbuatan yang diharamkan, bahkan sebagian ulama mensinyalir bahwa dusta termasuk dosa besar, kerana Rasulullah menjelaskan bahwa dia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.

Di antara kedustaan terbesar pada saat ini adalah berbicara segala macam dengan dusta supaya ditertawakan orang lain.

Dalam sebuah hadits dijelaskan tentang ancaman terhadap kedustaan jenis ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Celaka orang yang berbicara lalu berdusta agar orang-orang menertawakannya. Celakalah dia celakalah dia.”

[Hr. Abu Dawud no. 4990 dan At-Tirmidzi no. 2315, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahîh At-Tirmidzi no. 1885]

Ini merupakan peringatan sangat keras atas sesuatu yang sering dilakukan manusia dengan mudah. 

Dusta, seperti apa pun bentuknya adalah haram dan semuanya membawa kedurhakaan, kecuali dalam tiga hal yang di sebut dalam hadits,

“Yaitu dalam peperangan, perdamaian di antara manusia, perkataan isteri kepada suaminya dan perkataan suami kepada istrinya.

[Sahih Muslim no. 4717]

Sebagian ulama berkata, “Tapi yang dimaksudkan dusta dalam hadits ini adalah berdusta demi kebaikan, yang disebut dengan tauriyyah, bukan berdusta yang sesungguhnya.”

Namun, kadang-kadang tauriyyah juga disebutkan dusta, seperti disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ibrahim tidak berdusta, kecuali dalam tiga hal: dua di antaranya berkaitan dengan zat Allah, yaitu perkataannya, Sesungguhnya saya sakit.' Dan perkataannya, Tetapi dilakukan oleh patung yang paling besar di antara mereka.Sedangkan yang satu lagi adalah ketika baginda berbicara tentang Sarah.. 

[Shahih Al-Bukhari no. 3358. 4712. 5084. Muslim no. 2371]

Sebenarnya Nabi Ibrahim ‘alaihis salam tidak berdusta, tetapi baginda bertauriyyah atau menyembunyikan maksud baik dengan cara berbohong. Dengan demikian, bertauriyyah itu dibenarkan.

Berdusta, seperti apapun bentuknya, tidak boleh dilakukan, kecuali dalam tiga hal ini, menurut pendapat mayoritas ulama.

Kebohongan yang paling dilarang adalah berdusta dan bersumpah untuk memakan harta manusia secara batil. Seperti seseorang yang dituntut oleh temannya, bahwa dia mempunyai hutang kepadanya, tetapi dia ingkar, padahal dia tahu bahwa dirinya benar-benar berhutang. Dia berkata, “Demi Allah, saya tidak berhutang.” Atau menuntut seseorang yang bukan haknya, seperti berkata, “Kamu berhutang padaku sekian dan sekian.” Padahal orang itu tidak berhutang, berarti dia adalah seorang pendusta. Jika dia bersumpah dalam kebohongan dan pengakuannya itu, berarti sumpahnya itu adalah sumpah bohong yang pelakunya terjerumus ke dalam dusta yang membawanya ke neraka.

Disebutkan dalam sebuah hadits, yang di riwayatkan langsung oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, baginda bersabda,

Barangsiapa yang bersumpah dengan sumpah palsu, sumpah yang bisa merampas harta seorang muslim, sedang dia melakukan kepalsuan dalam sumpahnya itu, maka dia akan menemui Allah dalam keadaan murka kepadanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4550, 6676. Muslim no. 110. 138]

Alhasil, berdusta adalah haram. Apapun alasannya, seseorang tidak boleh berdusta, kecuali dalam tiga permasalahan yang dijelaskan hadits di atas.

Hadits 55.
عَنْ أَبِيْ مُحَمَّدٍ الْحَسَنِ بْنِ عَليِّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: حَفظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ، فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِيْنَةٌ، وَالْكَذِبَ رِيْبَةٌ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ.
Daripada Abu Muhammad Al-Hasan bin Abi Thalib radhiyallahu anhuma, dia berkata, Aku menghafal beberapa kalimat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu,

Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran itu menimbulkan ketenangan, sedangkan dusta itu menimbulkan keraguan.

[Hr. At-Tirmidzi no. 2518, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 3378]

Penjelasan.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkan apa yang meragukanmu.” Yakni, tinggalkan sesuatu yang kamu ragu dan tidak tenang terhadap sesuatu tersebut, “menuju sesuatu yang tidak meragukanmu.” Yakni kepada sesuatu yang tidak mengandung keraguan.

Hadits tersebut termasuk salah satu dari hadits Al-Arba'in An-Nawawiyah, yaitu kumpulan hadits-hadits penting, yang termasuk dalam bab, Wara' dan berhati-hati.

Ulama fikih menempuh jalan bab ini, yaitu berhati-hati di dalamnya dan mereka menjelaskan banyak hal dalam bab ini, antara lain:

Pertama, ada orang yang bajunya terkena najis dan dia tidak tahu apakah yang terkena itu di bagian belakang atau di bagian depan. 

Jika dia mencuci bagian depan, dia ragu kerana ada kemungkinan yang terkena najis adalah bagian belakang. Sementara jika dia mencuci bagian belakang, dia juga ragu, kerana kemungkinan yang terkena najis adalah bagian depan. Bagaimana cara berhati-hati dalam masalah ini?

Caranya adalah membasuh bagian depan dan belakang sehingga keraguannya hilang dan dia menjadi tenang.

Kedua, jika seseorang ragu dalam shalatnya, apakah dia shalat dua rakaat ataukah tiga rakaat, dan tidak terlintas dalam benaknya, mana yang lebih kuat di antara keduanya, sehingga jika dia mengambil yang dua rakaat, dia ragu; jangan-jangan kurang.

Sementara, jika dia mengambil yang tiga rakaat, dia ragu; jangan-jangan tidak kurang, tetapi dia masih tetap ragu. Maka, dalam kondisi seperti ini, sebaiknya dia mengambil yang paling rendah. Jika dia ragu apakah tiga rakaat ataukah empat, maka dia mengambil yang tiga rakaat. Begitu seterusnya. 

Hadits ini termasuk salah satu kaidah dalam ushul fikih bahwa jika kamu ragu pada sesuatu, tinggalkan menuju sesuatu yang tidak meragukan di dalamnya.

Kemudian, di dalamnya ada pendidikan jiwa, bahwa manusia harus tenang, bukan gundah, kerana kebanyakan manusia jika mengambil sesuatu yang meragukan di dalamnya, maka dia akan merasa gundah jika hatinya hidup, jika keraguan itu ditepis dengan sesuatu yang menyakinkan, kegundahan itu akan hilang.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kejujuran itu adalah ketenangan.

Hadits ini merupakan hadits pendukung dalam masalah ini. 

Dalam kejujuran terdapat ketenangan yang pelakunya tidak menyesal selamanya dan tidak akan mengatakan, “Seandainya begini dan begitu.” Kerana kejujuran dapat menyelamatkan dan orang-orang yang jujur akan diselamatkan oleh Allah dengan kejujurannya. Kamu dapati orang yang jujur selalu tenang, kerana dia tidak menyesali apa-apa yang telah terjadi atau yang akan terjadi di masa akan mendatang, kerana dia telah jujur dan siapa yang jujur dia akan selamat.

Sedangkan dusta, sebagaimana yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia akan ragu. Oleh kerana itu, orang pertama kali ragu terhadap pembohongan adalah pelakunya sendiri, dia akan ragu apakah dipercayai manusia ataukah tidak.

Oleh kerananya, kamu dapatkan seorang pendusta, jika menyampaikan sesuatu berita, dia akan bersumpah kepada Allah bahwa dia benar agar orang lain tidak ragu kepada beritanya yang meragukan itu. 

Sebagai contoh, kamu dapati orang-orang munafik bersumpah kepada Allah atas apa yang mereka katakan, tetapi mereka sendiri ragu. 

Allah Ta'ala berfirman:

Sungguh, mereka telah mengucapkan perkatan kekafiran, dan telah menjadi kafir setelah Islam, dan menginginkan apa yang mereka tidak mencapainya.” (QS. At-Taubah: 9: 74)

Tidak dapat disangkal, bahwa kebohongan dapat menimbulkan keraguan dan kegundahan bagi manusia, apakah manusia tahu kebohongannya ataukah tidak, sehingga dia tetap dalam keraguan dan kegundahan. 

Kita petik sebuah kesimpulan dari hadits ini, bahwa manusia harus meninggalkan kebohongan menuju kejujuran, kerana kebohongan itu meragukan dan kejujuran itu mendatangkan ketenangan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan sesuatu yang meragukanmu menuju sesuatu yang tidak meragukanmu.

Hadits 56.
عَنْ أَبِيْ سُفْيَانَ صَخْرِ بْنِ حَرْبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ فِي قِصَّةِ هِرَقْل قَالَ، هِرَقْلُ: فَمَاذَا يَأَمُرُكُمْ-يَعْنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -قَالَ أَبُوْ سُفْيَانَ: قُلْتُ: يَقُولُ » اعْبُدُوْا اللهَ وَحْدَهُ لَا تُشْرِكُوْا بِهِ شَيْئًِا، وَاتْرُكُوْا مَا يَقُوْلُ آبَاؤُكُمْ، ويَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ وَالصِّدْقِ، وَالْعَفَافِ، وَالصِّلَةِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Sufyan, Shakhr bin Harb radhiyallahu anhu di dalam haditsnya yang panjang tentang kisah pertanyaan Raja Hercules kepadanya, “Apa yang dia -Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- perintahkan kepada kalian?”

Abu Sufyan menjawab: “Saya mengatakan bahwa baginda bersabda, “Sembahlah Allah Yang Maha Esa dan jangan kalian menyekutukan Dia dengan apa pun, dan tinggalkan ajaran nenek moyang kalian.' Baginda juga menyuruh kami untuk melaksanakan shalat, jujur, menjaga kesucian diri (dari hal-hal yang haram dan merusak perangai), menjalin silaturrahim.

[Shahih Al-Bukhari no 7. Muslim no. 1773]

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan sebuah hadits yang dinukil dari Abu Sufyan bin Harb. Waktu itu, Abu Sufyan belum lagi memeluk Islam. Abu Sufyan baru masuk Islam pada masa-masa akhir, yaitu antara perjanjian Hudaibiyah dan penaklukan kota Mekah. Perjanjian Hudaibiyah terjadi pada tahun ke- 6 hijriah, sementara penaklukan kota Mekah terjadi pada tahun ke- 8 Hijriah. 

Abu Sufyan datang bersama jamaah dari suku Quraisy kepada Hercules di Syam. Hercules adalah seorang raja yang beragama Nasrani pada saat itu. Dia telah membaca Taurat, injil dan mengetahui kitab-kitab sebelumnya. Dia seorang raja yang cerdas.

Ketika Hercules mendengar tentang Abu Sufyan dan kelompoknya yang datang dari Hijaz, dia mengundang mereka dan bertanya tentang keadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, nasabnya, sahabat-sahabatnya, tentang ketundukan mereka kepadanya, dan tentang kejujurannya. Setiap kali Abu Sufyan menjelaskan sedikit tentang apa yang diberitakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Herculas tahu bahwa dia seorang nabi yang dikhabarkan dalam kitab-kitab terdahulu. Namun, Hercules lebih memberatkan kerajaannya sehingga dia tidak masuk Islam, kerana sebuah hikmah yang diinginkan oleh Allah Ta'ala.

Akan tetapi, Hercules bertanya kepada Abu Sufyan tentang apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Abu Sufyan menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada mereka agar menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun; tidak menyembah selain Allah seperti malaikat, rasul, pohon, batu, matahari dan bulan. Ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah semata-mata dan itulah yang dibawa oleh semua rasul. 

Allah Ta'ala berfirman:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 25)

Allah Ta'ala juga berfirman:

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, jauhilah Thaaguut.” (QS. An-Nahl: 16: 36)

Yakni, sembahlah Allah dan jauhi kesyirikan, itulah dakwah para rasul, lalu datanglah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membawa ajaran untuk menyempurnakan ajaran nabi sebelumnya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan ajaran nenek-moyangmu.

Lihat bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerukan kebenaran, segala macam bentuk ibadah yang diajarkan oleh nenek moyang mereka, seperti menyembah berhala, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamnmemerintahkan agar semua itu ditinggalkan. Adapun ajaran nenek moyang terdahulu yang berkaitan dengan budi pekerti yang baik, baginda tidak menyuruh untuk meninggalkannya, Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, 'Kami mendapati nenek moyang kami melakukan yang demikian, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.' Katakanlah, "Sesungguhnya Allah tidak pernah menyuruh berbuat perbuatan keji.” (QS. Al-A'râf: 7 :28)

Yang jelas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh umatnya agar mereka meninggalkan ajaran syirik yang diajarkan oleh nenek moyang mereka.

Sedangkan perkataan Abu Sufyan, “Baginda juga menyuruh kami melaksanakan shalat.” Shalat adalah hubungan antara hamba dan Tuhannya. Shalat adalah satu rukun Islam setelah syahadat. Syahadat adalah pembeda antara seorang mukmin dan kafir. Shalat adalah pemisah antara kita dan orang-orang musyrik juga orang kafir, seperti dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Pemisah antara kita dan mereka adalah shalat, maka barangsiapa meninggalkannya, berarti dia telah kafir.”

[Hr. Ahmad no. 5/346. At-Tirmidzi no. 2621. Ibnu Majah no. 1079 dan selainnya, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashobih no. 574]

Yakni, kafir yang dapat mengeluarkannya dari agama. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pemisah antara kita dan mereka adalah shalat.” Ini merupakan batas pemisah antara orang mukmin dan orang kafir.

Jauh dari maksud hadits ini, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kafir kecil, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dua hal pada manusia yang kerana keduanya mereka menjadi kafir.”

[Shahih Muslim no. 67]

Kerana siapa yang merenungkan hadits ini dapat mengetahui bahwa takwil semacam ini adalah salah. 

Yang benar bahwa yang dimaksudkan dengan kekafiran disini adalah kafir besar yang dapat mengeluarkan dari agama, kerana pembeda antara keimanan dengan kekafiran, tentulah membedakan antara satu dan yang lain. Jika tidak, maka tidak benar bila dia dikatakan sebagai pembeda.

Batas antara dua tanah -salah satu milik Zaid dan yang satu milik Amr-berarti batas itu merupakan pembeda (pemisah) antara keduanya, sehingga tanah yang satu tidak masuk ke dalam tanah yang lain. Begitu juga shalat, merupakan pemisah antara orang yang shalat dengan orang yang tidak shalat. Barangsiapa yang tidak shalat, berarti dia tidak masuk dalam barisan shalat.

Jadi, shalat termasuk salah satu amal perbuatan yang apabila ditinggalkan seseorang, dia menjadi kafir. Jika seseorang tidak berpuasa di bulan Ramadhan, lalu dia makan dan minum di siang hari dan bersiap acuh, kita tidak mengatakan dia kafir. Tetapi, jika dia meninggalkan shalat, maka kita katakan dia kafir. Jika dia meninggalkan zakat dan tidak mengeluarkannya, kita tidak mengatakan dia kafir. Tetapi jika dia meninggalkan shalat, kita katakan bahwa dia kafir. 

Abdullah bin Syaqiq rahimahullah, salah seorang yang terkenal dari kalangan tabi'in, dia berkata, “Para sahabat Rasulullah tidak melihat ada suatu amal yang manakala ditinggalkan menjadi kafir, selain shalat.”

[Atsar Shahih, dikeluarkan oleh At-Tirmidzi no. 2622]

Jadi, shalat yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tinggalkan seseorang, sama halnya dia telah meninggalkan tauhid atau menjadi kafir musyrik. Seperti itulah yang ditunjukkan oleh hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Muslim dari Jabir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Yang membedakan antara orang mukmin dengan orang kafir dan orang musyrik adalah meninggalkan shalat.

[Shahih Muslim no. 82]

Perkataan Sufyan, “Baginda menyuruh kami agar jujur.” Ini merupakan intisari daripada hadits ini. Penggalan hadits ini senada dengan firman Allah Ta'ala,

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.” (QS. At-Taubah: 9: 119)

Kejujuran itu ada dua macam, jujur kepada Allah dan jujur kepada hamba Allah. Lawan dari jujur adalah dusta, yaitu memberitahu sesuatu yang berbeda dengan realita. Dusta termasuk akhlak orang-orang munafik, seperti yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga yaitu apabila dia berbicara dia dusta, apabila dia berjanji tidak ditepati dan apabila diberi amanah dia khianati.

[Shahih Al-Bukhari no. 33, 2682. Muslim no. 59]

Sebagian manusia ada yang diuji dengan penyakit ini, sehingga dia tidak merasa lega dan nyaman, kecuali dengan berdusta.

jika dia berbicara denganmu, dia pasti berbohong. Jika dia duduk di majlis, dia akan membuat ulah agar ditertawakan oleh orang lain.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al-'Afaaf” atau “al-'Iffah” yang berarti menjaga kesucian diri. 'Iffah ada dua macam, yaitu menjaga kesucian diri dari nafsu syahwat dan menjaga diri dari nafsu perut.

'Iffah, yang pertama adalah menjauhkan diri dari zina yang diharamkan dan segala sesuatu yang dapat menjerumus ke dalam zina. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan janganlah kamu mendekati zina, (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrâ: 17: 32)

Orang yang berzina harus didera seratus kali dan diusir dari negerinya selama satu tahun penuh, jika dia belum menikah. Bagi orang yang sudah menikah dan sudah berhubungan badan dengan istrinya, lalu berbuat zina, dia harus dirajam dengan batu hingga mati. Semua ini merupakan pencegahan bagi manusia agar mereka tidak terjerumus ke dalam perbuatan keji ini; kerana zina dapat merusak akhlak, agama dan nasab. Berbagai macam penyakit yang muncul pada akhir-akhir ini kerana banyak perzinaan.

Oleh kerana itu, Allah melarang segala sesuatu yang dapat menjerumuskan ke dalam zina untuk berjaga-jaga. Seperti Allah Ta'ala melarang seorang wanita keluar rumah tanpa mengenakan jilbab. 

Allah Ta'ala berfirman:

Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.
(QS. Al-Ahzâb: 33: 33)

Sebaik-baik wanita adalah wanita yang tinggal di rumah dan tidak keluar rumah, kecuali jika perlu dan terpaksa. Maka, hendaklah dia keluar seperti diajarkan Rasulullah, yaitu tidak berhias dan tidak memakai minyak wangi. (kerana ia mampu menaikkan syahwat laki-laki dan mendorong untuk memandang kearahnya).

Begitu juga Allah memerintahkan perempuan memakai jilbab jika keluar menemui laki-laki yang bukan mahramnya. Hijab yang disyaratkan adalah menutupi semua yang dapat dilihat untuk berhati-hati dari perbuatan keji. Bagian tubuh yang paling penting untuk ditutup adalah wajah. Wajah lebih pantas untuk ditutupi dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya, daripada kepala, lengan dan kaki.

Tidak ada 'ibrah' (pelajaran) sama sekali dari orang-orang yang berpendapat bahwa seorang perempuan boleh membuka wajah. Kerana pendapat tersebut kontroversi. Bagaimana mungkin seorang perempuan diperintahkan untuk membuka wajahnya, sedangkan dia harus menutupi kedua kakinya. Manakah fitnah yang lebih besar dan lebih mendekatkan kepada zina?

Seorang perempuan tidak boleh keluar rumah dengan memakai minyak wangi jika dia memakai minyak wangi, berarti dia telah melakukan sesuatu yang dapat menyebabkan adanya penzinaan terhadapnya. Manusia terfitnah dengannya, dan dia sendiri juga menjadi fitnah bagi mereka, kerana dia berjalan di pasar-pasar dengan memakai minyak wangi. Kita memohon ampunan dari Allah Ta'ala.

Tidak diperkenankan bagi seorang pun membiarkan keluarganya melakukan tindakan semacam itu, jika ada keluarganya yang keluar rumah dengan seronok, dia harus mencarinya,  baik keluarga tersebut sebagai istri, anak, saudara perempuan, ibu, mahupun yang lainnya.

'Iffah' yang kedua adalah menjaga diri dari nafsu perut atau dari apa yang ada di tangan orang lain.

Allah Ta'ala berfirman:

(Orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya kerana mereka menjaga diri (dari meminta-minta).
(QS. Al-Baqarah: 2: 273)

Yakni dia menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain. Manusia tidak boleh mengemis kerana orang yang mengemis adalah hina. Orang yang mengemis itu rendah diri, sementara orang yang memberi itu terhormat. 

Oleh kerana itu, kamu tidak boleh mengemis kepada sesiapa pun, kecuali jika dalam keadaan darurat, seperti orang yang terpaksa atau sangat membutuhkan yang serupa dengan terpaksa. Dalam kondisi demikian, mengemis tidak mengapa.

Sementara, jika tidak ada kebutuhan mendesak atau keterpaksaan, mengemis itu hukumnya haram. Banyak hadits menjelaskan tentang larangan mengemis ini, hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang meminta-minta, pada hari kiamat dia akan datang dengan wajah terkelupas tanpa daging, sehingga tulangnya kelihatan di depan manusia, pada hari ketika manusia diminta kesaksian.

[Lihat dalam Shahih Al-Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1040]

Kemudian, para sahabat berjanji setia kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa mereka tidak akan meminta apa pun kepada manusia, bahkan jika pecut salah seorang di antara mereka jatuh dari tunggangannya, dia tidak menyuruh temannya untuk mengambil pecutnya, melainkan turun sendiri dari kuda untuk mengambilnya.

Orang yang dimuliakan Allah dengan kekayaan dan menjaga diri, tidak akan meminta, kecuali jika dia betul-betul miskin, bila dibandingkan dengan manusia lain.

Mungkinkah kamu menengadahkan tanganmu kepada manusia dan mengatakan, “Berilah saya.” Sedangkan kondisimu sama dengan kondisi mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu meminta, mintalah kepada Allah. Dan jika kamu memohon pertolongan memohonlah kepada Allah.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Menjalin silaturrahim.” Merupakan perintah yang kelima.

Menjalin silaturrahim artinya menyambung tali persaudaraan sesuai dengan diperintahkan Allah Ta'ala, baik kerabat dekat mahupun kerabat jauh. Kerabat yang paling dekat dan paling tinggi adalah kedua orangtua. Menyambung hubungan dengan orangtua berarti berbakti dan berkomunikasi dengan mereka. Sedangkan menyambung persaudaraan dengan kerabat, tergantung kepada kedekatan kerabat itu. Maka, saudaramu merupakan saudara yang paling dekat daripada pamanmu, dan pamanmu lebih dekat hubungannya daripada paman ayahmu dan seterusnya.

Menyambung persaudaraan ini dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah tanpa dibatasi (ghairu muqayyad). Segala sesuatu yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah ini tidak dibatasi, tergantung pada kebiasaan; jika kebiasaan menganggap bahwa cara tertentu sebagai jalinan silaturrahim, maka hal tersebut dianggap menjalin silaturrahim.

Cara menjalin silaturrahim ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang, keadaan, waktu dan tempat. Misalnya, jika saudaramu tidak membutuhkanmu, kondisi fisiknya baik-baik saja, dan kamu mendengar informasi bahwa dia tidak membutuhkan apa-apa, maka cara bersilaturrahim dengan saudara semacam ini tidak terbatas, bisa sebulan sekali, satu setengah bulan sekali, dan seterusnya. Itulah silaturrahim yang berlaku di lingkungan kami.

Demikian itu dikeranakan manusia merasa cukup antara satu dan yang lain, tiap-tiap orang tidak ingin merepotkan yang lain. Akan tetapi, jika orang tersebut mempunyai hubungan yang sangat dekat, seperti ayah, ibu, saudara, paman dan yang serupa, perlu mengadakan jalinan silaturrahim yang lebih banyak. Begitu pula jika saudara kita itu fakir, seyogyanya dia lebih banyak dikunjungi. Demikian pula saudara kita yang sakit, juga membutuhkan hubungan silaturrahim yang lebih intens dan seterusnya.

Yang perlu digarisbawahi menjalinkan silaturrahim menurut penjelasan yang ada di dalam Al-Qur'an tidak dibatasi, tergantung pada kebiasaan. Perbedaan tersebut tergantung apa perbedaan-perbedaan seperti yang kami jelaskan di atas. Banyak teks yang memberikan janji kebaikan kepada orang yang menyambung silaturrahim dan memberikan ancaman bagi orang yang memutuskannya.

Hadist 57.
عَنْ أَبِيْ ثَابِتٍ، وَقِيْلَ: أَبِيْ سَعِيْدٍ، وَقِيْلَ: أَبِيْ الْوَلِيْدِ، سَهْلِ بْنِ حُنيْفٍ، وَهُوَ بَدَرِيٌّ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أََنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى الشِّهَادَة بِصِدْقٍ بَلَّغهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهدَاءِ، وَإِِنْْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Tsabit, dikatakan, Abu Said, dikatakan juga Abu Walid, Sahl bin Hunaif radhiyallahu anhu, dia adalah orang ikuti Perang Badar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Barangsiapa yang benar-benar memohon kepada Allah Ta'ala untuk mati syahid, niscaya Allah akan mengabulkan ke tingkatan orang yang mati syahid, meskipun dia mati di tempat tidurnya.

[Sahih Muslim no. 1909]

Penjelasan.

Hadits ini disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam bab “Jujur.”

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang benar-benar memohon kepada Allah untuk mati syahid...

Mati syahid merupakan kedudukan yang tinggi setelah kejujuran, seperti yang difirmankan Allah Ta'ala,

Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih.” (QS. An-Nisâ: 4: 69)

Di antaranya adalah bersaksi dengan hukum-hukum Allah kepada para hamba-Nya. Ini merupakan kesaksian para ulama yang difirmankan Allah Ta'ala,

Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia; (demikian pula) para malaikat dan orang berilmu.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 18)

Mati syahid itu bermacam-macam, antara lain:

1. Sebagian besar ulama menafsirkan bahwa firman Allah, “Asy-Syuhadaa” adalah para ulama. Tidak diragukan lagi bahwa ulama adalah syuhada, kerana mereka bersaksi bahwa Allah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar. Mereka bersaksi pada umat ini bahwa telah sampai kepada mereka syariat Allah dan mereka bersaksi dengan hukum Allah bahwa ini halal dan haram, ini wajib ini sunnah dan ini makruh.

Tidak ada yang mengetahui hal ini, kecuali orang-orang yang berilmu (baca: ulama). Oleh kerana itu, mereka adalah syuhada.

2. Orang-orang yang meninggal kerana penyakit berbahaya (thaaun) sakit perut, terbakar, tenggelam dan sebagainya.

3. Orang-orang yang mati kerana berjuang di jalan Allah.

4. Orang-orang yang terbunuh kerana mempertahankan harta mereka hingga mati, seperti yang di sabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika ditanya oleh seorang lelaki.

“Ya Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku didatangi oleh seseorang yang ingin merampas hartaku?”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Jangan kamu berikan.”

Dia bertanya, “Bagaimana jika dia menyerangku?”

Baginda menjawab, “Lawanlah dia.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika aku membunuhnya?”

Baginda menjawab, “Dia di neraka, kerana dia hendak membunuh dengan sengaja dan zhalim.”

Dia bertanya lagi, “Bagaimana jika dia membunuhku?”

Baginda menjawab, “Jika dia membunuhmu, kamu mati syahid.”

[Shahih Muslim no. 140]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Orang yang terbunuh demi membela hartanya dan keluarganya, dia mati syahid.

5. Orang-orang yang terbunuh dengan zhalim, seperti ada orang yang menyerangnya, lalu membunuhnya secara zhalim, dia juga mati syahid.

Tapi derajat mati syahid yang paling tinggi adalah orang-orang yang mati syahid kerana berjuang di jalan Allah, seperti yang di tegaskan firman Allah Ta'ala,

Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya, dan bergirang hati terhadap orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati. Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia dari Allah. Dan sungguh, Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang beriman.
(QS. Âli 'Imrân: 3: 169-171)

Mereka itu adalah orang-orang yang berjuang untuk meninggikan kalimat Allah. Mereka berjuang bukan untuk kepentingan mereka sendiri dan bukan untuk kepentingan harta, melainkan untuk meninggikan kalimat Allah, seperti yang di sabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam ketika ditanya tentang orang berperang dengan gagah berani untuk melihat sejauh mana kekuatannya, apakah itu termasuk berjuang di jalan Allah?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, “Barangsiapa yang berjuang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berada di jalan Allah.

[Shahih Al-Bukhari no. 7458. Muslim no. 1904]

Itulah ukuran menengah yang diletakkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengukur manusia dengan amalnya. 

Barangsiapa yang berjuang untuk tujuan ini, maka dia berada di jalan Allah. Jika terbunuh, maka dia mati syahid dan jika menang dia akan mendapatkan kebahagiaan. 

Allah Ta'ala berfirman:

Katakan (Muhammad), Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan (menang atau mati syahid). Dan kami menunggu-nunggu bagi kamu bahwa Allah akan menimpakan azab kepadamu dari sisi-Nya, atau (adzab) melalui tangan kami.
(QS. At-Taubah: 9: 52)

Yakni Allah akan mengazab kalian dan menjaga kami dari kejahatan kalian, seperti yang dilakukan oleh Allah terhadap kelompok-kelompok yang bergabung di Madinah untuk memerangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Allah mengirim kepada mereka angin kencang dan tentera yang tidak mereka lihat serta mengirimkan rasa takut ke dalam hati mereka.

Firman-Nya, “Atau (adzab) melalui tangan kami” seperti yang terjadi pada perang Badar, sesungguhnya Allah mengadzab orang-orang musyrik melalui tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Jika manusia memohon kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu agar Engkau menjadikan kami mati syahid di jalan-Mu.” Mati syahid tidak terjadi kecuali dengan cara berperang untuk meninggikan kalimat Allah. Jika Allah mengetahui kesungguhan dari perkataan dan niatnya, Allah akan menempatkannya pada kedudukan seorang syahid, walaupun dia mati syahid di tempat tidurnya.

Muncul sebuah pertanyaan, orang yang berjuang untuk membela negerinya, apakah termasuk di jalan Allah ataukah tidak?

Kami jawab, jika kamu berperang untuk membela negaramu kerana negaramu adalah negara Islam dan kamu ingin menjaganya kerana negara tersebut merupakan negara Islam, berarti kamu berjuang di jalan Allah. Tapi, jika kamu berjuang semata-mata untuk negara tersebut bukan kerana Islam, maka tidak termasuk kategori berjuang di jalan Allah, kerana yang dijadikan sebagai ukuran dalam hal ini adalah Islamnya, bukan negaranya, seperti di jelaskan dalam hadits sebelumnya. (Lihat hadits no. 8)

Hadist 58.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِمْ فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لَا يَتْبَعْنِّيْ رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ وَهُوَ يُرِيْدُ أَن يَبْنِيَ بِهَا وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا، وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا لَمْ يَرْفَعْ سُقُوْفَهَا، وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلَفَاتٍ وَهُوَ يَنْتَظِرُ أَوْلاَدَهَا. فَغَزَا فَدَنَا مِنَ الْقَرْيةِ صَلاَةَ الْعَصْرِ أَوْ قَرِيْبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُوْرَةٌ وَأَنَا مَأْمُورٌ، اللَّهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الْغَنَائِم، فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأكُلهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا، فَقَالَ: إِنَّ فِيْكُمْ غُلُولًا، فَلْيُبَايِعْنِيْ مِنْ كُلِّ قَبِيْلَةٍ رَجُلٌ، فَلَِزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ فَقَالَ: فِيْكُم الْغُلُوْلُ، فَلْيُبَايِعْنِيْ قَبِيْلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُليْنِ أَوْ ثَلاَثَةٍ بِيَدِهِ فَقَالَ: فِيْكُمُ الْغُلُولُ، فَجَاءُوْا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنْ الذَّهَبِ، فَوَضَعَهَا فَجَاءَتِ النَّارُ فَأَكَلَتهَا، فَلَمْ تََحِلَّ الْغَنَائِمُ لِأَحَدٍ قَبْلَنَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللَّهُ لَنَا الْغَنَائِمَ لَمَّا رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجَزْنَا فَأحَلَّهَا لَنَا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Ada salah seorang nabi -semoga shalawat dan salam senantiasa Allah curahkan atas mereka- sewaktu akan berangkat perang berpesan kepada kaumnya, “Janganlah mengikutiku seorang laki yang baru menikah dan belum berkumpul dengan istrinya, juga seorang laki-laki yang sedang membangun rumah (bangunan), namun dia belum menaikkan atapnya. Demikian pula seseorang lelaki yang telah membeli seekor kambing atau seekor unta yang hamil sehingga dia menunggu kelahiran anak ternaknya tersebut.

Kemudian, nabi tersebut pergi berperang dan ketika sudah menghampiri sebuah perkampungan, setelah shalat Ashar, atau dekat darinya, dia berkata kepada matahari, “Wahai matahari! Kamu diperintahkan, aku juga diperintahkan.” Lalu dia berdoa, “Ya Allah! tahanlah matahari itu sebentar untuk membantu kami.” Seketika matahari itu berhenti sehingga Allah memberikan kemenangan kepada nabi itu. Lalu dia mengumpulkan harta rampasan perang. Setelah beliau mengumpulkan harta rampasan perang tersebut, tiba-tiba ada percikan api dari atas langit yang akan membakar harta tersebut, namun mendadak api itu berhenti dan tidak mahu membakarnya. 

Maka nabi tersebut berkata: “Di antara kalian ada yang berbuat curang (mencuri harta rampasan perang), maka hendaklah tiap-tiap kabilah segera bersumpah kepadaku.”

Maka ada salah seorang yang tangannya melekat (tidak bisa dilepaskan) dengan tangan nabi itu sehingga dia berkata: “Dalam kabilahmu ada yang curang. Oleh kerana itu, semua orang dalam kabilahmu harus bersumpah kepadaku.

Kemudian, melekatlah tangan dua atau tiga orang dari mereka dengan tangan nabi, seraya nabi tersebut bersabda: “Kalianlah orang-orang yang berbuat curang itu.

Kemudian orang-orang tersebut membawa emas sebesar kepala lembu, lalu diletakkan di hadapan nabi, dan datanglah percikan api itu, lalu membakar emas tersebut.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Harta rampasan perang itu belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelum kita. Kemudian Allah Yang Mahamulia lagi Mahaluhur mengetahui kelemahan dan kekurangan kita. Oleh kerana itu, Allah menghalalkan barang rampasan itu kepada kita.

[Shahih Al-Bukhari no. 3124 Muslim no. 1747]

Penjelasan.

Dalam hadits yang dikutip oleh Imam An-Nawawi rahimahullah ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah.

Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan tentang seorang nabi yang memerangi suatu kaum yang diperintahkan oleh Allah untuk diperangi, tapi nabi tersebut melarang orang yang baru menikah dengan seorang perempuan dan belum berkumpul dengannya untuk ikut berperang. Dia juga melarang orang yang sedang membangun rumah dan belum memberi atap di atasnya, dan orang yang membeli kambing yang sedang hamil dan dia menunggu kelahiran anak kambing itu.

Demikian itu, dikeranakan orang-orang itu sibuk dengan tugas-tugas mereka sendiri. Orang baru nikah sibuk dengan istri yang belum dikumpulinya, sehingga dia sangat merindukannya. Orang yang membangun rumah dan belum memberi atap di atasnya sibuk dengan rumah yang ingin ditempatinya. Orang yang mempunyai kambing yang sedang hamil sibuk menunggu kelahiran anak kambingnya. 

Dalam berjihad, seseorang harus segar, longgar, dan tidak mempunyai tugas-tugas lain selain jihad. Maka Allah Ta'ala berfirman,

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirâh: 94: 7)

Yakni, jika kamu selesai dari urusan dunia dan kamu tidak sibuk dengannya, maka segeralah mengerjakan ibadah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidak sempurna shalat seseorang apabila makanan telah dihidangkan dan orang yang menahan buang air (besar atau kecil).

[Shahih Muslim no. 560]

Hadits ini menunjukkan bahwa manusia jika ingin berbuat taat, dia harus mengosongkan hati dan badannya untuk ketaatan itu sehingga ketika mengerjakannya dia merasa rindu kepadanya, mengerjakannya pelan-pelan, thuma'ninah, dan lapang dada.

Kemudian, nabi tersebut berangkat perang. Ketika dia mendekati sebuah perkampungan setelah shalat Ashar, sedangkan waktu hampir menjelang malam dan dia takut jika malam tiba dan gelap dia tidak mendapat kemenangan. Dia berkata kepada matahari, “Kamu diperintahkan, aku juga diperintah.” Perintah kepada matahari itu bersifat alami (kauni), sedangkan perintah kepadanya adalah perintah syariat.

Nabi itu diperintah untuk berjihad dan matahari diperintah untuk berjalan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah kepadanya. 

Allah Ta'ala berfirman:

Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikian ketetapan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (QS. Yâsin: 36: 38)

Sejak diciptakan, matahari tetap berjalan sebagaimana yang diperintahkan, tidak pernah lebih, tidak pernah terlambat, tidak turun dan tidak naik.

Nabi itu berkata, “Ya Allah, tahanlah matahari itu sebentar untuk menolong kami.” Maka Allah menahan jalannya matahari sehingga tidak tenggelam pada waktu seperti biasanya, sampai nabi itu berperang dan menang serta mendapatkan harta rampasan yang banyak. Walaupun dia mendapatkan harta rampasan yang banyam, tetapi harta rampasan itu tidak halal bagi pejuang umat dahulu. Penghalalan harta rampasan hanya diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad.

Sedangkan umat terdahulu, jika mereka mengumpulkan harta rampasan perang, turunlah api dari langit untuk membakarnya. Oleh kerana itu, nabi tersebut mengumpulkan harta rampasan, tetapi api tidak turun untuk melahap harta rampasan itu sehingga dia berkata, “Di antara kalian ada yang berbuat curang.”

Kemudian, dia memerintahkan kepada setiap anggota kabilah agar maju satu persatu untuk bersumpah bahwa dia tidak berbuat curang. Ketika mereka bersumpah kepada nabi tersebut, tiba-tiba tangan salah seorang di antara mereka melekat erat dengan tangan nabi tersebut, hingga sulit dilepas.

Ketika tangan orang itu melekat dengan tangan nabi tersebut, maka nabi itu berkata, “Dalam kelompok kalian ada yang berbuat curang.” Kemudian, dia menyuruh kepada semua anggota kelompok itu untuk bersumpah kepadanya satu persatu hingga melekatlah tangan dua atau tiga orang dari mereka seraya berkata, “Pada diri kalian ada kecurangan.” Mereka pun membawa barang-barang yang mereka sembunyikan.
mereka sembunyikan.

Kata Al-Ghuluul berarti pencurian terhadap barang rampasan perang atau menyembunyikan sebagian harta rampasan. Ternyata, mereka menyembunyikan barang-barang seperti emas sebesar kepala sapi. Ketika barang yang disembunyikan itu sudah diambil dan diletakkan bersama harta rampasan lainnya, api itu turun melahap barang-barang tersebut. Kejadian ini merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah.

Faedah Hadits.

1. Jihad itu disyariatkan kepada umat-umat terdahulu, sebagaimana disyariatkan kepada umat Islam saat ini. Dalam hal ini Al-Qur'an menjelaskan,

Dan betapa banyak nabi yang berperang di dampingi sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah kerana bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).” (QS. Âli 'Imrân: 3: 146)

Begitu juga kisah tentang Thalut, Jalut, dan Dawud dalam surah Al-Baqarah, ayat 246-252.

2. Hadits ini menjadi bukti atas kebesaran Allah, bahwa Dialah Dzat yang mengatur alam semesta dan Dia mampu menjalankan segala urusan di luar kebiasaan alamiahnya, baik untuk menguatkan para rasul maupun untuk menjauhkan mereka dari kejahatan yang akan menimpa mereka, demi kemaslahatan Islam. 

Yang jelas, tanda-tanda kenabian berfungsi untuk menguatkan mereka dengan berbagai macam cara. Dalam hal ini, peristiwa yang biasanya terjadi bahwa matahari selalu berjalan sesuai dengan sunnatullah yang telah ditetapkan padanya, tidak berhenti, tidak maju, tidak mundur (baca; terlambat), kecuali atas perintah Allah. Tapi, di sini Allah telah memerintahkannya berhenti sehingga waktu antara shalat Ashar dan Maghrib menjadi lebih panjang sehingga Allah menakluk musuh-musuh-Nya melalui tangan nabi tersebut.

3. Dalam hal ini terdapat sanggahan terhadap para ilmu alam yang mengatakan bahwa tata surya itu tidak pernah berubah. Subhanallah! Siapa yang menciptakan tata surya itu? Allah-lah yang menciptanya. Dzat yang menciptakan matahari pasti mampu mengubahnya. Tapi, mereka melihat bahwa tata surya berjalan secara alami, tidak seorang pun yang mengaturnya, kerana mereka mengingkari adanya pencipta.

Al-Quran dan As-Sunnah menunjukkan bahwa tata surya ini dapat berubah dengan perintah Allah. Seperti nabi ini, dia berdoa kepada Allah, maka tertahanlah matahari. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatatkala diminta bukti oleh orang musyrik bahwa tata surya ini bisa berubah, maka baginda menunjukkan bulan terbelah dua atas izin Allah. Bulan ini terbelah ke arah Shafa dan Marwah. Dalam hal ini Allah Ta'ala berfirman,

Telah dekat datangnya Hari Kiamat dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, '(Ini adalah) sihir yang terus menerus.” (QS. Al-Qamar: 54: 1-2)

Mereka berkata, “Muhammad telah mensyihir kita, padahal bulan itu tidak terbelah, tetapi dia mengelabui mata kita.”

Meski tanda-tanda kebesaran Allah itu telah tampak secara nyata, orang kafir tetap tidak akan beriman, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan.” (QS. Yûnus: 10: 96-97)

Hati manusia berada di antara jari-jari Allah yang bisa dibolak-balikkan sesuai kehendak-Nya. Dia memperlakukannya sesuai dengan kehendak-Nya. Orang yang telah ditetapkan baginya adzab Allah, dia tidak akan beriman selamanya, walaupun kamu datang kepadanya dengan membawa semua tanda kebesaran Allah.

Oleh kerana itu, mereka meminta kepada Rasulullah untuk menunjukkan kebesaran Allah, dan meminta baginda untuk menunjukkan tanda-tanda yang sangat menakjubkan, yang tidak bisa dilakukan oleh seorang manusia pun, tetapi mereka justru berkata,

Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat) mereka berpaling dan berkata, (Ini adalah) sihir yang terus menerus.' Dan mereka mendustakan (Nabi) dan mengikuti hawa nafsu mereka, sedang tiap-tiap urusan telah ada ketetapannya.” (QS. Al-Qamar: 54: 2-3)

4. Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang nikmat Allah yang diberikan kepada umat ini, yaitu dihalalkan bagi mereka harta rampasan yang mereka peroleh dari orang-orang kafir, yang dahulunya diharamkan kepada umat-umat lain sebelum kita; kerana dalam harta rampasan itu terdapat banyak manfaat bagi umat Islam, guna membantu mereka untuk berjihad dan kebutuhan hidup lainnya.

Mereka mendapatkan banyak harta rampasan dari peperangan yang mereka lakukan. Ini termasuk kurnia Allah seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku... Kemudian baginda menyebutkan bahwa harta rampasan perang dihalalkan bagi baginda, padahal belum pernah dihalalkan kepada seorang nabi pun sebelum baginda.

[Shahih Al-Bukhari no. 335. Muslim no. 521]

5. Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda kebesaran Allah, yaitu orang-orang yang curang itu, tangan mereka melekat dengan tangan nabi tersebut. Ini adalah peristiwa yang luar biasa, kerana biasanya jika seseorang berjabatan tangan dengan orang lain, tangannya tidak melekat seperti itu. Namun, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

6. Para nabi tidak mengetahui alam ghaib, kecuali ditunjukkan kepada mereka. Sedangkan mereka tidak tahu-menahu tentang masalah ghaib tersebut.

Contoh yang selaras dengan hal ini cukup banyak, seperti yang terjadi pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana banyak hal yang tidak diketahui oleh baginda, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Lalu (Hafsah) bertanya, Siapakah yang telah memberitahu hal ini kepadamu?” Nabi Menjawab, Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. At-Tahrîm: 66: 3)

Sedangkan baginda tidak mengetahui perkara ghaib.

Para sahabat yang biasa bersama baginda, kadang-kadang tidak tampak dan baginda tidak tahu keberadaan mereka.

Pada suatu ketika, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Abu Hurairah radhiyallahu anhu, lalu Abu Hurairah mimpi basah dan junub. Ketika dari kamar mandi (mandi besar), Rasulullah bertanya kepadanya, “Kamu ke mana saja, ya Abu Hurairah?”

Jadi, Rasulullah tidak mengetahui alam ghaib. Begitu juga semua manusia tidak ada yang mengetahui alam ghaib.

Allah Ta'ala berfirman:

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan dibelakangnya.” (QS. Al-Jinn: 72: 26-27)

7. Hadits ini terdapat dalil atas kekuasaan Allah dari segi bahwa api itu tidak diketahui dari mana datangnya. Ia turun dari langit, bukan dari pohon atau kayu bakar, melainkan dari langit yang diperintahkan oleh Allah, sehingga api itu turun dan membakar harta rampasan yang dikumpulkan.

Hadist 59.
عَنْ أَبِيْ خَالِدٍ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَالَمْ يَتَفَرَّقَا، فَإِنْ صَدَقَا وَبيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Khalid Hakim bin Hizam radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Penjual dan pembeli diberi kesempatan memilih khiyar (pilihan untuk meneruskan menunjukkan membatal jual beli) selagi mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan transparan (sesuatu yang terang dan jelas serta tidak sembunyikan) mengenai barang yang dijual-belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Jika mereka berbohong dan merahsiakan mengenai hal-hal yang harus diterangkan tentang barang yang dijualbelikan, keberkahannya akan terhapus.

[Shahih Al-Bukhari no. 2079 Muslim no. 1532]

Penjelasan.

Kata (الْبَيِّعَانِ) berarti penjual dan pembeli, tetapi kedua makna itu dimutlakkan pada kata, 'Al-Bayyi' saja, termasuk bab 'taghliib' (secara umum), seperti dikatakan 'Al-Qamarani' berarti matahari dan bulan, dan kata 'Al-'Umaran' berarti Abu Bakar dan Umar.

Kata (بِالْخِيَارِ) berarti setiap orang dari keduanya berhak memilih apa yang diinginkannya.

Kata (مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا) berarti selama keduanya masih berada di tempat transaksi dan belum berpisah, maka keduanya berhak memilih.

Misalnya, ada seorang laki-laki menjual mobil kepada seseorang dengan harga sepuluh juta rupiah. Selama mereka berdua masih berada di tempat transaksi itu dan belum berpisah, mereka berdua boleh untuk tawar-menawar. Jika penjual mahu dia bisa membatalkan jual beli dan jika pembeli mahu dia juga bisa membatalkan jual beli.

Ini termasuk nikmat dan kemurahan hati Allah kepada manusia. Kerana sifat manusia jika sesuatu barang ada di tangan orang lain, seakan-akan barang itu berharga bagi dirinya sehingga dia ingin mendapatkan barang itu dengan berbagai macam cara. Jika dia telah mendapatkannya, mungkin rasa senangnya itu hilang, kerana dia telah mengetahuinya. Maka dari itu, Allah memberikan pilihan kepadanya supaya dia berhati-hati dan lebih jeli dalam melihat dan menentukan.

Selama penjual dan pembeli itu belum berpisah, keduanya boleh tawar-menawar (memilih) -walaupun waktunya panjang- kerana keumuman sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selama keduanya belum berpisah.” Dan dalam hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhu, “Atau salah seorang dari keduanya memberikan pilihan kepada yang lain.” Atau salah seorang darinya berkata kepada yang lain, “Kamu boleh memilih sendiri.” Jika telah dikatakan seperti itu, dia berhak untuk memilih sendiri, sedangkan yang lain tidak boleh memilih. Atau keduanya boleh juga mengatakan, “Antara kita tidak ada pilihan.”

Dari hadits di atas terdapat empat gambaran dalam transaksi:

1. Keduanya sama-sama memberikan pilihan kepada yang lain, yaitu terjadi pada jual beli secara mutlak yang tidak ada syarat di dalamnya.

2. Keduanya berjual beli dengan tidak ada tawar-menawar di dalamnya sehingga yang ada hanya akadnya saja tanpa ada pilihan atau penawaran.

3. Yang berhak untuk memberikan pilihan hanya penjualnya saja tanpa pembeli. Di sini, yang berhak memberikan pilihan hanya penjual sahaja, sedangkan pembeli tidak boleh memilih.

4. Keduanya bertransaksi dengan syarat bahwa yang berhak memilih hanya pembelinya saja, sedangkan penjual tidak berhak memilih. Dalam hal ini, pilihan hanya diberikan kepada pembeli bukan pada penjual. Demikian itu kerana memilih merupakan hak, baik penjual maupun pembeli. Jika mereka rela menggugurkan hak itu atau membeli kepada yang satu dan tidak kepada yang lain, terserah mereka asalkan mereka sama-sama sepakat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Orang-orang Islam (yang melakukan transaksi jual-beli) bergantung pada syarat yang mereka tetapkan, kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

[Hr. At-Tirmidzi no. 1352. Ath-Thabrani dalam Al-Kabiir no 17/22. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak no. 4/113. Untuk separuh pertama ada beberapa riwayat pendukung]

Sedangkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Selama keduanya belum berpisah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud menjelaskan perpisahan secara umum, tapi perpisahan secara fisik. Jika mereka telah berpisah, batallah kewenangannya untuk memilih atau berfikir dan jual beli telah terjadi.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mereka berdua jujur dan transparan mengenai barang yang dijual-belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka.”

Inilah masalah yang berkaitan dengan judul dalam bab ini, kerana bab ini membahas mengenai kejujuran.

“Jika mereka berdua jujur dan transparan mengenai barang yang dijual-belikan, mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka.” Yakni, jika keduanya jujur dalam menerangkan ciri-ciri barang dagangan, baik ciri-ciri yang baik maupun yang tidak baik. Misalnya, seseorang menjual mobil berkata, “Ini adalah mobil model yang baru dan bersih.” Ternyata kondisi mobilnya tidak seperti yang dijelaskan, maka penjelasannya itu dusta.

Jika ada seseorang menjual mobil yang cacat dan dia tidak menjelaskan cacat tersebut, kami katakan bahwa dia telah menutup-nutupi aib dan tidak menjelaskan secara terang-terangan, padahal berkah ada pada kejujuran dan transparansi. 

Perbedaan antara kejujuran dan penjelasan terhadap barang dagangan adalah kejujuran berkaitan dengan sifat-sifat yang baik pada barang itu, sedangkan penjelasan berkaitan dengan sifat-sifat yang jelek pada barang itu. Menyembunyikan aib barang berarti bertentangan dengan prinsip transparansi. Menjelaskan sifat barang yang tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya bertentangan dengan kejujuran.

Contoh yang lain, ada orang yang menjual kambing sakit -tapi kambing tersebut tidak tampak sakit- tetapi dia tidak menjelaskan sakitnya dan menyembunyikannya, kami katakan bahwa dia tidak transparan. Jika dia menjelaskan sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan sifat-sifat yang sebenarnya, maka dia telah berdusta dan tidak jujur. 

Contoh lain adalah perbuatan yang dilakukan oleh sebagian penjual sekarang ini, di mana dia meletakkan barang-barang yang bagus di bagian atas, sementara barang-barang yang tidak bagus dia sembunyikan di bagian bawah. Tindakan seperti ini berarti dia tidak transparan dan tidak jujur.

Dia dikatakan tidak transparan kerana dia tidak menampakkan kurma yang cacat. Dikatakan tidak jujur, kerana dia menampakkan bahwa kurma yang dia jual baik, padahal yang sebenarnya tidak demikian.

1 comment:

  1. Masya Allah, bermanfaat sekali, semoga allah berikan keberkahan pada antum
    Jazakumullah khairan, izin copas

    ReplyDelete

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...