Thursday, April 4, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 5. Muraqabah (Merasa Selalu Diawasi Oleh Allah Ta'ala.)

Allah ﷻ berfirman:
۞الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ۞وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ۞
Yang melihat engkau ketika berdiri (untuk shalat). Dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang sujud.
(QS. Asy-Syu'ara: 26: 218-219)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ۞
“Dan Dia bersama kamu di mana sahaja kamu berada.” (QS. Al-Hadîd: 57: 4)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ۞
Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.
(QS. Ali 'Imrân: 3: 5)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ۞
Sungguh, Tuhanmu benar-benar mengawasi.”
(QS. Al-Fajr: 89: 14)

Allah ﷻ berfirman:
۞يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ۞
Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan dalam hati.
(QS. Al-Mu'min: 40: 19)

Penjelasan.

Setelah Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan masalah kejujuran, lalu menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengannya. Imam An-Nawawi melanjutkannya dengan bab Muraqabah. Muraqabah mempunyai dua aspek: 

1. Merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi.

2. Bahwa Allah senantiasa mengawasimu, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 52)

Sedangkan merasa diawasi Allah, berarti kamu tahu bahwa Allah mengetahui setiap yang kamu katakan, mengetahui apa yang kamu kerjakan dan mengetahui apa yang kamu yakini. 

Allah Ta'ala berfirman:

Dan bertawakallah kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat). Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 217-219)

Allah Ta'ala melihatmu ketika kamu bangun atau di waktu malam ketika manusia bangun di tempat yang sepi dan tidak diketahui oleh siapa pun, maka Allah mengetahuinya, sekalipun di tempat yang sangat gelap dan gulita, Allah tetap melihatnya. 

Firman Allah Ta'ala, Perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” Yakni, perubahan gerak badanmu ketika kamu bersama orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Allah melihatnya, baik ketika kamu berdiri maupun ketika sujud.

Kata, berdiri” disebutkan sebelum kata, sujud” kerana berdiri dalam shalat lebih mulia daripada sujud dari aspek dzikirnya, dan sujud lebih mulia daripada berdiri dari aspek keadaannya.

Berdiri lebih mulia daripada sujud dari aspek dzikirnya, kerana dzikir yang disyariatkan dalam berdiri adalah membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah perkataan yang mulia. 

Sedangkan sujud lebih mulia daripada berdiri, bila ditinjau dari aspek keadaannya, kerana orang yang sujud lebih dekat kepada Allah seperti yang dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

Orang yang paling dekat kepada Tuhannya adalah orang yang (sedang) bersujud.

[Shahih Muslim no. 482]

Oleh kerana itu, kita diperintahkan untuk memperbanyak doa dalam sujud, begitu juga kita harus tahu bahwa Allah mendengar perkataan apa saja yang kita ucapkan, seperti dalam firman-Nya,

Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 43: 80)

Maka dari itu, apa pun yang kamu katakan, baik atau buruk, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, akan ditulis pahala mahupun dosanya untukmu, seperti ditegaskan dalam firman Allah Ta'ala,

Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qâf: 50: 18)

Ketahuilah masalah ini, sehingga tidak ada satu perkataan yang keluar dari mulutmu, kecuali akan diperhitungkan pada hari Kiamat.

Jadikan lisanmu selalu mengatakan kebenaran atau diam, seperti yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.

[Shahih Al-Bukhari no. 6018. Muslim no. 47]

Ingatlah, bahwa Allah senantiasa mengawasimu, baik terhadap apa yang kamu rahasiakan mahupun apa yang terbesit dalam hatimu.

Lihatlah, apa yang ada dalam hatimu? Adakah kesyirikan kepada Allah, riya', khurafat, kedengkian, kemarahan, kebencian kepada orang-orang mukmin, kecintaan kepada orang-orang kafir, dan hal-hal lain yang tidak diridhai Allah?”

Hendaknya kamu senantiasa mengawasi hatimu, kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kamu lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qâf: 50: 16)

Allah mengetahui sebelum sesuatu itu diucapkan. Jadikan Allah sebagai pengawasmu dalam tiga hal, dalam perbuatan, perkataanmu, dan hatimu sehingga pengawasanmu menjadi sempurna. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ihsan, baginda bersabda,

Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak bisa melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

[Shahih Al-Bukhari no. 50. 4777 dan Muslim no. 8,9]

Sembahlah Allah seakan-akan kamu melihat dan menyaksikan-Nya secara langsung. Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, maka turunkanlah pada tingkat kedua, yaitu seakan-akan Dia melihatmu.

Tingkat yang pertama adalah beribadah kerana senang dan tamak. Sedangkan tingkat kedua adalah beribadah kerana takut dan cemas. Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Jika kamu tidak bisa melihat-Nya, seakan-akan Dia melihatmu.

Manusia harus merasa bahwa Allah selalu mengawasinya dan hendaklah kamu tahu bahwa Dia juga selalu mengawasimu. Apa pun yang kamu katakan, yang kamu lakukan, dan yang kamu rahasiakan, Allah mengetahuinya. Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa ayat yang menjelaskan tentang masalah ini, beliau memulai penyebutannya dengan firman Allah Ta'ala kepada Nabi-Nya,

Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika berdiri (untuk shalat). Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” 
(QS. Asyu'arâ: 26: 217-220)

إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ

Sesungguhnya bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan langit.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 5)

Kalimat, (شَيْءٌ) (sesuatu) bentuk nakirah dalam firman Allah, (لَا يَخْفَىٰ) (tidak ada yang tersembunyi), mencakup segala sesuatu tanpa terkecuali.

Segala sesuatu tidak ada yang tersembunyi di hadapan Allah, baik yang ada di bumi maupun di langit. Allah telah merinci masalah ini dalam firman-Nya,

Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An'âm: 6: 59)

Para ulama berkata, “Jika daun-daun yang jatuh saja diketahui, apalagi daun-daun yang ditumbuhkan dan diciptakan-Nya! Tentu, Allah lebih mengetahui.”

Firman Allah Ta'ala:

۞وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ۞

Tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi.

Kata, habbah' berbentuk 'nakirah' yang didahului dengan huruf nafi dalam kalimat, 

۞وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا۞

Dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula).” Ini adalah bentuk nakirah dalam kalimat negatif yang dipertegas dengan huruf مِن” (dari) yang artinya mencakup semua daun, baik yang kecil mahupun besar.

Mari kita bayangkan bahwa biji kecil yang ada di dalam lapisan bumi diketahui oleh Allah, padahal bumi memiliki lima kegelapan. Misalnya, sebuah biji terbenam di dalam dasar lautan, maka biji itu berada dalam lima kegelapan:

1. Kegelapan tanah yang biji terbenam di dalamnya.

2. Kegelapan air dalam lautan 

3. Kegelapan malam.

4. Kegelapan awan yang menggumpal.

5. Kegelapan hujan yang turun.

Ada lima kegelapan yang menyelimuti biji yang kecil itu, namun Allah mengetahuinya. 

Firman Allah Ta'ala, “Dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An'âm: 6: 59)

Atau tercatat dengan jelas dan terang di sisi Tuhan semesta alam.

Jika seperti kekuasaan ilmu Allah, maka orang mukmin harus senantiasa menjadikan Allah sebagai pengawasnya dan takut kepada-Nya, baik dalam sendirian mahupun di depan orang banyak. Bahkan, orang yang mendapat taufik adalah orang yang menjadikan rasa takutnya kepada Allah dalam sendirian lebih besar dan lebih kuat daripada rasa takutnya dalam keadaan terang-terangan. Rasa takut dalam sesuatu yang rahasia lebih kuat dari sisi keikhlasan daripada takut dalam keadaan terang-terangan. Sebab, dalam sendirian tidak ada seorang pun yang memperhatikanmu, sedangkan rasa takut dalam keadaan terang-terangan, mungkin di dalam hatimu ada rasa riya' kepada manusia.

Bergegaslah, wahai saudaraku, agar senantiasa menjadikan Allah sebagai pengawasmu dan taatlah kepada-Nya dengan cara melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kita memohon pertolongan kepada Allah dalam hal ini, kerana jika Allah tidak menolong kita, maka kita tidak akan kuasa melaksanakannya. Oleh kerana itu, 

Allah Ta'ala berfirman:

Hanya Engkaulah kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” 
(QS. Al-Fâtihah: 1: 5)

Jika seorang hamba diberikan petunjuk dan pertolongan untuk melaksanakan syariat, itulah bentuk karunia Allah yang diberikan kepadanya.

Dalam firman Allah Ta'ala:

“Hanya Engkaulah kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (QS. Al-Fâtihah: 1: 5-6)

Ibadah itu pasti sejalan dengan jalan yang lurus ini, jika tidak maka akan membahayakan orang itu. Itulah tiga masalah penting dan ketiga-tiganya merupakan jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang diberikan nikmat kepada mereka.

Sedangkan firman Allah Ta'ala, Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” 
(QS. Hadîd: 57: 4) Kata ganti huwa itu kembali kepada Allah, yakni Allah Ta'ala bersama hamba-Nya di mana pun mereka berada. Baik di dataran, di lautan, di udara, di dalam kegelapan atau tempat yang terang, atau dalam setiap keadaan Allah bersama kalian di mana pun kalian berada.

Ini menunjukkan kesempurnaan pengawasan Allah Ta'ala kepada kita baik dalam ilmu, kekuasaaan, kemampuan, pengaturan dan lain-lain. Tidak berarti bahwa Allah Ta'ala bersama kita dalam satu tempat yang kita ada di dalamnya. Kerana Allah berada di atas segala sesuatu, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya,

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy.” (QS. Thâhâ: 20: 5)

Dan Allah Ta'ala berfirman,

Dan Dialah yang berkuasa atas kalian hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 18)

Dan Allah Ta'ala berfirman,

Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit.” (QS. Al-Mulk: 67: 16)

Dan Allah Ta'ala berfirman,

Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 255)

Dan Allah Ta'ala berfirman,

Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.” (QS. Al-A'lâ: 87: 1)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah di dalam segala sifat dan keadaan-Nya. Dia Maha Tinggi di dalam kedekatan-Nya dan Maha Dekat dalam ketinggian-Nya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepada-Ku.
(QS. Al-Baqarah: 2: 186)

Akan tetapi, wajib kita ketahui bahwa Dia tidak berada di bumi. Sebab, jikalau kita memiliki prasangka seperti ini, maka akan membatalkan salah satu sifat Allah bahwa Dia Maha Tinggi. Di samping itu, tidak ada satu pun makhluk Allah yang meliputi-Nya. 

Allah Ta'ala berfirman:

Kursi Allah meliputi langit dan bumi.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 255)

Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Kursi di sini adalah tempat kedua kaki Allah Ta'ala. Sedangkan 'Arsy itu lebih besar dan lebih agung daripada yang dijelaskan di dalam hadits berikut:

Sesungguhnya langit yang tujuh dan bumi yang tujuh jika dibandingkan dengan Kursi (Allah), maka seperti benda kecil yang dilemparkan di atas tanah lapang.

[Al-Allamah Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini, dan ada beberapa hadits (syawahid) yang menjadi pendukungnya.]

Atau seperti benda kecil yang dilemparkan di tanah lapang dan luas, sehingga benda itu tidak tampak sama sekali.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Dan sesungguhnya keutamaan Arsy atas kursi seperti keutamaan tanah lapang atas benda kecil ini.

 Maka bagaimana pendapatmu tentang sang Pencipta?

Sang Pencipta -Allah Ta'ala- tidak mungkin berada di bumi, kerana Dia Maha Agung dari diliputi sesuatu yang diciptakan-Nya. 

Ketahuilah, bahwa kebersamaan yang dinisbatkan Allah Ta'ala kepada diri-Nya terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan susunan kalimat dan qarinah (petunjuk) yang mengikutinya.

Ada kata ma'iyyah (kebersamaan) artinya Allah meliputi hamba-Nya secara ilmu, kekuasaan, kemampuan, pengaturan dan sebagainya, seperti dalam firman Allah Ta'ala,

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. Al-Hadîd: 57: 4)

Dan juga seperti firman-Nya,

Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka.” 
(QS. Al-Mujâdilah: 58: 7)

Terkadang kebersamaan Allah itu maksudnya ancaman dan peringatan, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.
(QS. An-Nisâ: 4 : 108)

Pernyataan ini merupakan ancaman dan peringatan bagi mereka agar mereka menjauhi perkataan yang tidak diridhai yang mereka sembunyikan dari hadapan manusia kerana mereka mengira bahwa Allah tidak mengetahui, padahal Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Terkadang kebersamaan Allah itu juga berarti pertolongan, penguatan, penetapan dan sebagainya, seperti tersebut dalam firman-Nya,

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.
(QS. An-Nahl: 16: 128)

Allah Ta'ala berfirman:

“Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah - (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu.” (QS. Muhammad: 47: 35)

Dan masih banyak ayat-ayat yang lain tentang masalah ini.

Macam kebersamaan yang ketiga ini terkadang disandarkan kepada makhluk secara umum, dan terkadang disandarkan kepada makhluk secara khusus. 

Maka, firman Allah Ta'ala, “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” 
(QS. An-Nahl: 16: 128) Ini disandarkan kepada makhluk secara umum, maka siapa pun yang bertakwa dan berbuat kebaikan, Allah akan menyertainya. 

Terkadang kebersamaan itu disandarkan kepada orang-orang tertentu secara khusus, seperti firman Allah Ta'ala,

“Jikalau kalian tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, Janganlah berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 9: 40) Maka kebersamaan ini hanya diberikan kepada pribadi tertentu.

Inilah kebersamaan Allah yang diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar radhiyallahu anhu ketika keduanya dalam gua. Yaitu, ketika Abu Bakar berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, jika ada salah seorang dari mereka yang melihat ke arah kedua kakinya, tentu mereka akan mengetahui keberadaan kita.” Kerana, pada saat itu orang-orang Quraisy memang dengan sungguh-sungguh mencari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak ada gunung kecuali mereka naiki, tidak ada lembah kecuali mereka turuni, dan tidak ada dataran membentang kecuali mereka menyusurinya. Mereka menjanjikan bagi sesiapa yang berhasil menangkap Rasulullah dan Abu Bakar akan diberi hadiah dua ratus ekor unta. Seratus bagi yang bisa menangkap Rasulullah dan seratus unta lagi bagi yang bisa menangkap Abu Bakar. Maka orang-orang bersungguh-sungguh dan bersemangat untuk mencari keduanya, akan tetapi Allah bersama mereka berdua. Ketika mereka berdua berada di dalam gua, Abu Bakar berkata, “Jika ada salah seorang dari mereka yang melihat ke arah kedua kakinya, tentu mereka akan mengetahui keberadaan kita.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Jangan kamu bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. Jika kamu mengira (kita hanya) berdua, sesungguhnya Allah-lah yang ketiga.

Demi Allah, kita mengira bahwa tidak ada seorang pun yang bisa menemukan mereka dan mampu mengalahkan keduanya. Dan ternyata, seperti itulah yang terjadi. Tidak ada seorang pun yang melihat keduanya, padahal tidak ada sesuatu pun yang menghalanginya. Tidak ada sarang burung sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada merpati yang hinggap di dalam gua, dan tidak ada pohon yang tumbuh di mulut gua itu. Semua itu tidak ada, kecuali pertolongan dari Allah, kerana Allah bersama mereka keduanya.

Sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala kepada Musa dan Harun ketika mereka diutus untuk pergi kepada fir'aun,

“Berkatalah mereka berdua, “Ya Rabb kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas.” Allah berfirman: “Jangan kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.” 
(QS. Thâhâ: 20: 45-46)

Allah Maha Besar! Dia telah berfirman, “Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Jika Allah bersama mereka berdua, mungkinkah Fir'aun dan pasukannya dapat mencelakakan mereka berdua? 

Tentu Fir'aun dan pasukannya tidak mungkin dapat mencelakakan mereka berdua! Ini adalah bentuk kebersamaan Allah yang diberikan kepada orang tertentu. Hal ini bisa dipahami dari firman Allah, Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat.

Yang penting, wajib bagi kita untuk beriman bahwa Allah bersama makhluk-Nya, akan tetapi Dia berada di atas Arsy-Nya. Tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya dalam sifat dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Jangan sampai ada dalam pikiranmu atau pikiran orang selainmu yang mempertanyakan bagaimana Allah bersama kita, sedangkan Dia berada di langit?

Kami katakan, Allah Ta'ala tidak bisa dikiaskan dengan makhluk-Nya. Ketinggian dan kebersamaan Allah ini tidak bertentangan antara yang satu dengan lainnya hingga pada makhluk sekalipun. Jika ada seseorang yang bertanya kepada kita, di mana tempatnya bulan?

Maka kita jawab, “Tempatnya bulan ada di langit.” Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya.” (QS. Nûh: 71: 16)

Jika dia bertanya, di mana tempat bintang?

Maka kita jawab, “Di langit.” Orang-orang sering mengatakan, bahwa ketika kita berjalan, bulan selalu bersama kita, dan ketika berjalan bintang-bintang juga selalu mengikuti kita. Padahal, bulan dan bintang itu berada di langit, akan tetapi kita katakan bahwa ia selalu bersama kita, kerana ia tidak hilang dari hadapan kita. Begitu juga Allah, Dia selalu bersama kita, walaupun Dia berada di atas Arsy-Nya.

Pelajaran apa yang dapat dipetik dari ayat ini jika dihubungkan dengan perintah untuk menempuh jalan yang baik?

Jawabnya adalah, jika kamu beriman bahwa Allah bersamamu, maka kamu akan bertakwa kepada-Nya dan merasa diawasi-Nya. Kerana tidak ada yang tersamar bagi Allah tentang keadaanmu di manapun kamu berada. Meski kamu berada di rumah yang gelap, tidak ada seseorang pun di dalamnya, dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, maka sesungguhnya Allah bersamamu. 

Akan tetapi, bukan berarti kebersamaan Allah dalam satu tempat yang sama. Namun, tidak ada sesuatu pun dari urusanmu yang tidak diketahui oleh Allah. Maka, hendaknya kamu merasa selalu diawasi Allah, takut kepada-Nya, serta melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Hanya Allah-Lah yang memberi taufiq.

Firman Allah Ta'ala,

Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 89: 14)

Ayat ini digunakan Allah untuk menutup hukuman yang disebutkan Allah bagi penduduk Iram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun seperti itu di negeri lain. Pada ayat sebelumnya Allah Ta'ala telah berfirman,

(Yaitu) penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri-negeri lain, dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu yang besar di lembah, dan kaum Fir'aun yang mempunyai pasak-pasak (tentera yang banyak), yang berbuat sewenang-wenang dalam negerinya, lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam negeri itu, kerana itu Rabbmu menimpakan kepada mereka cemeti adzab, sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.” (QS. Al-Fajr: 89: 7-14)

Allah menjelaskan bahwa Dia benar-benar mengawasi setiap orang yang melakukan kejahatan, dan setiap orang yang melakukan kejahatan maka Allah akan menghancurkan pundaknya dan melemparkannya hingga tidak ada yang tersisa.

Kaum 'Ad adalah penduduk Iram yang mempunyai bangunan yang tinggi. Yakni, rumah-rumah yang besar yang dibangun di atas pondasi (tiang-tiang) yang kuat. Allah memberikan kepada mereka kekuatan yang sangat hebat, namun mereka bersikap sombong di muka bumi, hingga mereka berkata, “Siapakah yang lebih kuat dari kami?” Sampai seperti itu kesombongan mereka. Maka Allah Ta'ala berfirman,

Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya dari mereka.
(QS. Fushshilat: 41: 15)

Kemudian Allah menjelaskan bahwa Dialah Dzat Yang Maha Kuat daripada mereka, dan dalam hal ini Allah berdalil dengan dalil aqli [rasio], bahwa Allah-lah yang telah menciptakan mereka. Oleh kerana itu, Allah Ta'ala berfirman,

Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.” (QS. Fushshilat: 41: 15)

Dalam hal ini Allah Ta'ala tidak berfirman, “Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya dari mereka.”
(QS. Fushshilat: 41: 15), kerana secara mudah dapat diketahui dengan akal bahwa pencipta lebih kuat dari yang diciptakan, sehingga Dzat yang menciptakan mereka tentu lebih kuat dari mereka. Allah Ta'ala berfirman, “Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.

Maka Allah mengadzab mereka dengan kekeringan (paceklik) yang amat sangat, tidak menurunkan hujan, hingga meminta hujan. Mereka menunggu bahwa Allah akan menurunkan hujan kepada mereka. Kemudian Allah mengirimkan angin kencang kepada mereka di pagi hari. Angin kencang yang membawa pasir dan debu sehingga menjadi awan yang tebal.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta'ala berfirman,

Maka tatkala mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.
(QS. Al-Ahqâf: 46: 24)

Ini merupakan hikmah dari Allah Ta'ala. Sebenarnya yang datang kepada mereka bukanlah angin yang membawa hujan, sementara sangat mengharap bahwa gumpalan hitam yang datang kepada mereka adalah hujan. Maka, dibalik semua ini adalah adzab yang mereka rasakan itu lebih besar dan pedih. Adzab yang datang ketika manusia mengharapkan agar kesulitannya dihilangkan adalah lebih besar dan pedih. Seperti seseorang yang menginginkan mendapat uang dari seseorang, namun justru orang itu mengambil uang darinya, maka hal ini tentu sangat menyedihkan dan sangat pedih.

Firman Allah Ta'ala, Maka tatkala mereka melihat adzab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka, “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan)! Bahkan itulah adzab yang kamu minta supaya datang dengan segera.”
(QS. Al-Ahqâf: 46: 24)

Kerana mereka telah menentang Nabi mereka dengan mengatakan jika di sisimu ada adzab (yakni adzab dari Allah) maka datanglah adzab itu jika kamu seorang yang jujur.

Firman Allah Ta'ala:

“(Yaitu) angin yang mengandung adzab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka.” (QS. Al-Ahqâf: 46: 24-25)

Na'udzubillah- kita berlindung kepada Allah!- Mereka diadzab dengan angin kencang (topan) selama tujuh malam delapan hari. Kerana adzab ini mulai dari pagi dan berakhir pada waktu petang sehingga totalnya selama tujuh malam depan hari yang terus-menerus hingga menghancurkan dan memporak-porandakan bangunan mereka.

Bangunan-bangunan mereka yang megah itu tinggal puing-puingnya saja. Seakan-akan salah seorang di antara mereka diangkat ke atas kemudian dilemparkan ke bawah. Mereka seperti tonggak pohon kurma yang sudah roboh berantakan, menunduk dengan punggung di atas seperti orang bersujud, kerana mereka ingin menyelamatkan diri dari angin kencang ini setelah angin itu menerbangkan dan menghentam mereka ke bumi. Akan tetapi, semua itu tidak bermanfaat bagi mereka.

Allah Ta'ala berfirman:

Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, kerana Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan. (QS. Fushshilat: 41: 16)

Adapun kaum Tsamud yang memotong batu-batu yang besar di lembah, mereka juga sama dengan kaum 'Ad yang bongkak dan menyombongkan diri serta menentang Nabi mereka hingga mereka berkata, Hai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan.” (QS. Hûd: 11: 62) Yakni, dulu kami mengharapkan dan mengira kamu orang yang berakal, tetapi sekarang kamu adalah orang yang bodoh. Tidak ada seorang rasul yang diutus kecuali kaumnya akan berkata kepadanya bahwa ia seorang penyihir atau gila, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Demikianlah tidak seorang rasul pun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan, Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila.
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 52)

Kemudian Allah Ta'ala memberikan tangguh pada mereka selama tiga hari. sebagaimana dalam firman-Nya, Maka Shalih berkata, Bersuka rialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itulah adalah janji yang tidak dapat didustakan.” 
(QS. Hûd: 11: 65)

Setelah selesai masa tanggungnya tiga hari, maka bergoncanglah bumi, mereka sangat ketakutan. Maka, mereka seperti pohon kurma yang sudah tua umurnya, seperti kayu kering terbakar matahari dan angin. Jadilah mereka seperti pohon kering yang mati pada hujungnya. 

Adapun Fir'aun, apakah yang kamu ketahui tentangnya? Dia adalah seorang laki-laki yang diktator, sombong, melampaui batas dan mengingkari Allah. Dia berkata kepada Musa, “Siapa Tuhan semesta alam?” Dan ia berkata kepada kaumnya, “Adakah tuhan bagi kalian selain aku?” Naudzubillah -Kita berlindung kepada Allah-

Dia (Fir'aun) berkata kepada menterinya, Haman, sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala,

“Buatlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Ilah Musa.
(QS. Al-Mu'min: 40: 36- 37) Ucapannya ini adalah bentuk ejekan. Naudzubillah -Kita berlindung kepada Allah-. Lalu dilanjutkan dengan ucapannya, Dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” (QS. Al-Mu'min: 40: 37)

Fir'aun berdusta ketika mengucapkan, “Dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta. Kerana dia tahu bahwa Musa jujur (benar). Sebagaimana firman Allah Ta'ala yang menceritakan perdebatannya dengan Musa, maka Musa berkata kepadanya, “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata: dan sesungguhnya aku mengira kamu, wahai Fir'aun, seorang yang akan binasa.” (QS. Al-Isrâ: 17: 102)

Akan tetapi, Fir'aun tidak menjawab, “Aku tidak mengetahuinya." Dia hanya diam dalam posisi bingung dan cemas. Hal ini menunjukkan bahwa dia kalah dalam berargumen dan tidak bisa lagi menjawab.

Allah Ta'ala berfirman tentang Fir'aun dan kaumnya,

Dan mereka mengingkarinya kerana kezhaliman dan kesombongan, padahal hati mereka menyakini (kebenarannya)nya.” (QS. An-Naml: 27: 14)

Fir'aun dan tenteranya mengetahui bahwa Musa itu adalah benar, tetapi mereka sombong dan bongkak. Lalu, apa yang terjadi terhadap mereka? Mereka mengalami kekalahan yang parah, yang terjadi pada para penyihirnya.

Fir'aun mengumpulkan para penyihir di kotanya dengan persetujuan Nabi Musa Alaihissalam dan Musa yang menentukan waktunya. Kerana di mata Fir'aun, Musa dalam posisi yang lemah. Tetapi Allah menolong dan menguatkannya.

Musa berkata pada mereka,

Waktu untuk pertemuan (kami dengan) kamu itu ialah di hari raya dan hendaklah dikumpulkan manusia pada waktu matahari sepenggalahan naik.” (QS. Thâhâ: 20: 59)

Yang dimaksud dengan 'Yaum Az-Ziinah' adalah hari raya, kerana pada hari ini manusia berhias diri dan berdandan. Kata 'an Yuhsyara an-Naasu' berarti dikumpulkanlah manusia. Sedang kata 'dhuha' artinya pada waktu dhuha, bukan pada waktu malam dan di waktu yang hening. 

Maka Fir'aun mengumpulkan semua penyihir besar dan senior yang dimilikinya. Lalu mereka berkumpul dengan Musa Alaihissalam, lalu melemparkan tali dan tongkat mereka ke tanah, sehingga tali-tali itu berubah menjadi ular yang memenuhi tanah dan merayap menakutkan manusia. Bahkan, Musa pun merasa takut dan khawatir terhadap dirinya sendiri. Kemudian Allah menguatkan hatinya dan berfirman kepadanya,

Kami berkata, “Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang). Dan lemparlah apa yang ada di tangan kananmu.” (QS. Thâhâ: 68: 69)

Maka Musa melemparkan tongkat yang ada pada tangan kanannya. Tiba-tiba tongkat itu berubah menjadi ular besar dan menelan ular-ular kecil hasil sihir mereka. Semua tali dan tongkat ditelan ular besar itu.

Subhanallah! Herankah kamu, ke mana perginya tongkat itu? Padahal tongkat yang dimiliki Musa bukanlah tongkat yang sangat besar sehingga mampu memakan semua tali dan tongkat penyihir Fir'aun, tetapi Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Ular besar itu menelan semua tali dan tongkat itu. Para penyihir tentu lebih tahu tentang perkara sihir. Mereka tahu bahwa yang terjadi pada Musa dan tongkatnya bukanlah sihir, melainkan salah satu tanda kebesaran Allah. Oleh kerana itu, mereka bertekuk lutut dan bersujud. 

Allah Ta'ala berfirman:

۞فَأُلْقِيَ السَّحَرَةُ سَاجِدِينَ۞

Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah).” (QS. Asy-Syu'arâ: 26: 46)

Lihatlah pada kalimat 'Fa ulqiya' (maka tersungkurlah) seakan-akan sujud mereka dilakukan secara spontan tanpa disengaja. Maka Allah tidak berfirman, “Bersujudlahmelainkan Maka mereka tersungkur sambil sujud.

Mereka tersungkur sujud kerana melihat dahsyatnya fenomena yang mereka lihat, sehingga tanpa terasa tiba-tiba mereka bersujud kerana beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka tersungkurlah ahli-ahli sihir sambil bersujud (kepada Allah).” Mereka berkata, “Kami beriman kepada Rabb semesta alam, (yaitu) Rabb Musa dan Harun.” (QS. Asy-Syu'arâ: 26: 46-48)

Maka Fir'aun menakut-nakuti dan menuduh mereka telah berguru kepada Musa seraya berkata,

Sesungguhnya ia adalah pemimpinmu yang mengajarkan sihir kepada mu sekalian.” 
(QS. Thâhâ: 20: 71)

Maha Suci Allah. Sungguh kesombongan itu akan menjadikan seseorang berbicara tanpa akal.

Kemudian Fir'aun berkata, Maka sesesungguhnya aku akan memotong tangan dan kaki kamu sekalian dengan bersilang secara bertimbal balik.
(QS. Thâhâ: 20: 71) Atau aku potong tangan dan kaki kalian secara bersilang. Dan sesungguhnya aku akan menyalib kamu sekalian pada pangkal pohon kurma dan sesungguhnya kamu akan mengetahui siapa di antara kita yang lebih pedih dan kekal siksanya.” (QS. Thâhâ: 20: 71)

Lalu, apa yang dikatakan para penyihir itu kepadanya? Mereka mengatakan, Kami sekali-kali tidak mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat).” (QS. Thâhâ: 20: 72) Tidak mungkin bagi kami untuk mendahulukanmu atas apa yang telah kami lihat dari bukti-bukti. Kamu adalah pendusta bukan seorang tuhan. Tuhan yang haq adalah Tuhannya Musa dan Harun, yakni Allah Ta'ala. “Yang telah datang kepada kami dan daripada Rabb yang menciptakan Kami; maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.
(QS. Thâhâ: 20: 72)

Lihatlah, ketika iman telah masuk ke dalam hati, jadilah dunia ini tidak ada harganya bagi mereka. Lalu mereka melanjutkan perkataan mereka, “Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” Yakni, perbuatlah apa yang kamu inginkan, kehidupan (kami) di dunia ini akan berakhir jika kamu putuskan bagi kami untuk berpisah dunia. Mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah beriman kepada Rabb kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami melakukannya.” (QS  Thâhâ: 20: 73) Mereka berkata demikian, kerana Fir'aun telah memaksa mereka agar datang dan menghadapi Musa. Dan Allah lebih baik (pahala-Nya) dan lebih kekal (adzab-Nya).” (QS. Thâhâ: 20: 73)

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang mukmin yang kuat imannya.

Iman dan keyakinan jika telah masuk ke dalam hati, maka tidak ada sesuatu pun yang bisa menggoyahkannya. Lihatlah, bagaimana para penyihir Fir'aun dan tenteranya. Mereka di pagi hari menjadi penyihir yang kafir, akan tetapi di petang hari mereka beriman dan menentang Fir'aun kerana iman telah meresap masuk ke dalam hati mereka. Kekalahan ini merupakan pukulan yang memalukan bagi Fir'aun, akan tetapi ia tetap saja bongkak dan sombong.

Pada akhirnya, Fir'aun mengumpulkan manusia dan menyatakan bahwa dia akan menghabisi Musa. Maka keluarlah Musa dan kaumnya lari menuju tempat yang diperintahkan Allah, yaitu menuju ke Laut Merah -yang dinamakan juga laut Qulzum- dari arah timur, sedangkan Mesir berada di belakangnya dari arah barat.

Ketika Musa dan pengikutnya sampai di laut, ternyata Fir'aun dan bala tenteranya mengejar dari belakang dengan cepat, sementara di depan mereka ada laut. Oleh kerana itu, para sahabat Musa berkata, “Sungguh kita benar-benar akan tersusul.” (QS. Asy-Syu'arâ: 26: 62) Laut berada di depan kita, sedang Fir'aun dan pasukannya ada di belakang kita, kemana kita akan lari? Musa menjawab, Sekali-sekali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia memberi petunjuk kepadaku.
(QS. Asy-Syu'arâ: 26: 62)

Demikianlah keyakinan para Rasul saat menghadapi kesulitan dan kesempitan. Mereka sangat yakin bahwa segala sesuatu yang sulit itu pasti akan ada jalan keluarnya sehingga menjadi mudah.

Kemudian Allah mewahyukan Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut Merah. Maka dia pun memukulkan tongkatnya ke laut Merah dengan sekali pukulan. Tiba-tiba terbelah lautan dengan dua belas jalan, kerana bani Israil itu mempunyai dua belas kabilah.

Laa Ilaha Illallah, laut ini terbelah menjadi dua belas jalan, maka beberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkannya?

Hanya dengan sekejap saja, kerana itu Allah Ta'ala berfirman,

Maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam).
(QS. Thâhâ: 20: 77)

Maka menyeberanglah Musa dan kaumnya dalam keadaan aman, sedang air di antara jalan-jalan ini seperti gunung tinggi menjulang. Kalian tahu, bahwa air adalah benda cair, akan tetapi dengan perintah Allah, ia bisa diam seperti gunung yang berdiri kukuh.

Sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan setiap lapisan air itu ada celah (lubang) sehingga bani Israil saling melihat anggotanya, supaya mereka tidak mengira bahwa teman-teman mereka telah tenggelam dan binasa.”

Ketika Musa dan kaumnya keluar dari laut, maka masuklah Fir'aun dan bala tenteranya ke laut. Setelah mereka semua masuk ke laut, maka Allah memerintahkan kepada laut agar kembali seperti semula, sehingga tenggelamlah Fir'aun dan bala tenteranya. 

Bani Israil sangat takut kepada Fir'aun, muncul perasaan was-was dalam diri mereka bahwa Fir'aun belum tenggelam, maka Allah menampakan jasad Fir'aun di atas air. 

Allah Ta'ala berfirman:

Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu.” (QS. Yûnus: 10: 92) Sehingga mereka bisa menyaksikan jasadnya dengan mata kepala mereka sendiri, dan mereka menjadi tenang kerana Fir'aun telah binasa.

Renungkanlah wahai saudaraku, tentang ketiga umat tersebut. Mereka sangat sombong sehingga Allah mengadzab mereka, kerana Dia selalu mengawasi mereka. Renungkanlah, bagaimana mereka binasa akibat kesombongan mereka. Kaum 'Ad berkata, “Siapa yang lebih kuat dari kami?” Mereka dihancurkan oleh angin, padahal angin adalah sesuatu yang lembut dan ringan.

Kaum Nabi Shalih ‘Alaihissalam binasa dengan gempa dan suara keras, Fir'aun dibinasakan dengan air dan tenggelam, padahal dia pernah menyombongkan diri dengan air seraya berkata kepada kaumnya,

“Dan Fir'aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, Wahai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukanlah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku, maka apakah kamu tidak melihatnya? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya.
(QS. Az-Zukhruf: 43: 51-53) Kemudian Allah menenggelamkannya dalam air.

Allah Ta'ala berfirman tentang diri-Nya,

۞يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ۞

Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.
(QS. Al-Mu'min: 40: 19)

Kata Khainatu Al-A'yun berarti mata yang berkhianat. Kata Khaa'inah adalah bentuk mashdar seperti kata Al-Aqibah dan semisalnya. Boleh juga kedudukannya sebagai isim fail (pelaku) dari kata Khaana-Yakhuunu, sehingga termasuk bab menyandarkan sifat kepada yang disifati.

Ini adalah masalah Nahwu (tata bahasa) yang tidak terlalu penting untuk dibahas di sini. Yang terpenting, bahwa ada mata yang berkhianat, misalnya seseorang yang melihat apa yang diharamkan, tetapi dia menyangkalnya. Padahal Allah tahu bahwa ia melihat hal-hal yang diharamkan.

Demikian juga orang memandang orang lain dengan pandangan kebencian, padahal orang yang dipandang tidak mengetahui bahwa pandangan itu adalah pandangan kebencian. Akan tetapi Allah mengetahui, sesungguhnya ia memandang dengan pandangan kebencian. Demikian juga orang yang melihat hal-hal yang diharamkan, orang lain yang melihat tidak tahu bahwa orang itu melihat dengan rasa suka atau benci, akan tetapi Allah Ta'ala mengetahui hal itu; kerana Dia mengetahui mata yang berkhianat.

Allah juga mengetahui apa yang tersembunyi di dalam hati, kerana hati di dada, kerana dengan hatilah seseorang bisa berfikir, memahami dan merenung.

Allah Ta'ala berfirman:

Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Kerana sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” 
(QS. Al-Hajj: 22: 46)

Subhanallah, seakan-akan ayat ini turun untuk keadaan orang-orang pada saat ini, bahkan keadaan orang-orang di masa lalu, yakni apakah akal itu ada di otak atau ada di hati?

Ini merupakan masalah yang dipertentangkan oleh banyak peneliti yang hanya melihat segala urusan dari kacamata materialistis tidak kembali kepada firman Allah dan sabda Rasul-Nya. Jika mereka memang benar-benar mahu memerhatikan, maka permasalahan sangat jelas, bahwa akal itu ada di hati dan hati itu ada di dada, seperti dalam firman Allah Ta'ala, Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Kerana sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 22: 46) Allah Ta'ala tidak berfirman, Hati yang ada di dalam otak.

Perkara ini jelas sekali bahwa akal itu ada di hati dan ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Ketahuilah sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh jasad, ketahuilah itu adalah hati.

[Shahih Al-Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599]

Maka bagaimana pendapatmu tentang sesuatu perkara yang telah dikuatkan oleh kitabullah, sedang Allah adalah Dzat Pencipta yang mengetahui segala sesuatunya, dan juga dikuatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Sesungguhnya yang wajib kita lakukan dalam hal ini adalah membuang segala pendapat yang bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah, meletakkannya di bawah telapak kaki kita dan tidak usah terlalu menghormatinya.

Jadi, tidak diragukan lagi bahwa hati adalah tempat akal, dan otak adalah tempat untuk berfikir. Jika otak telah berfikir, maka ia akan mengirim hasil pikirannya ke dalam hati, kemudian hati akan menyuruh atau melarang. Hal semacam ini tidak aneh!

Allah Ta'ala berfirman, Apakah mereka tidak melihat pada diri mereka sendiri.” 
(QS. Adz-Dzâriyât: 51: 21)

Dalam tubuh ini terdapat banyak hal aneh yang dihasilkan oleh akal. Di samping itu, bisa juga kita katakan bahwa akal itu ada di dalam hati, Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “...Jika hati itu baik, maka baiklah pula jasadnya.

Jika segala permasalahan tidak bersumber dari hati, tentu tidak dikatakan bahwa jika hati itu baik, maka baik pulalah jasadnya, dan jika hati rusak, maka rusak pulalah seluruh jasad.

Jadi, hati adalah tempat akal pikiran manusia dan tidak diragukan lagi bahwa hati mempunyai keterkaitan dengan otak. Oleh kerana itu, jika ada gangguan pada otak, maka rusaklah pemikiran dan akalnya. Itulah keterkaitannya, tetapi akal yang berpikir itu ada di dalam hati, dan hati ada di dalam dada. 

Allah Ta'ala berfirman:

Akan tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 22: 46)

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits Umar bin Khaththab. Pada akhir hadits yang mulia ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian, siapa yang bertanya? Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dia adalah Jibril yang datang kepada kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian.

Jadi, dalam hadits ini disebutkan agama kita, kerana ia mencakup semua aspek agama; mencakup Islam, iman dan ihsan.

Hadits 60. 
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: « بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ، شَدُيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ، لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ، وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ، حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَسْنَدَ رَكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ، وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، أَخْبِرْنِيْ عَنِ الْإِسْلاَمِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَتُقيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِِ سَبيلًا. قَالَ: صَدَقْتَ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ، قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِيْمَانِ. قَالَ: أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ الآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ. قَالَ: صَدَقْتَ قَالَ: فَأَخْبِرْني عَنِ الْإِحْسَانِ. قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ قَالَ: فَأَخْبِرْني عَنِ السَّاعَةِ. قَالَ: مَا الْمَسْؤُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَاتِهَا. قَالَ أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا، وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِي الْبُنْيَانِ ثُمَّ انْطَلقَ، فَلَبِثْتُ مَلِيًّا، ثُمَّ قَالَ: يَا عُمَرُ، أَتَدْرِي مَنِ السَّائِلُ قُلْتُ: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ قَالَ: فَإِنَّهُ جِبْريْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ أَمْرَ دِيْنَكُمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ketika kami sedang duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datanglah kepada kami seorang laki-laki yang sangat putih bajunya, sangat hitam rambutnya, tidak nampak dirinya bekas perjalanan dan tidak ada seorang pun dari kami yang mengenalinya, kemudian ia duduk mengadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyandarkan kedua lututnya kedua lutut baginda dan dia meletakkan telapak tangannya di atas dua pahanya seraya berkata:

“Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang islam?”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Islam adalah kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah (sesembahan) yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa di bulan Ramadhan, dan melakukan haji ke Baitullah jika kamu mampu -memenuhi syarat-.

Orang itu berkata: “Kamu benar.

Umar berkata: “Kami heran padanya, ia bertanya dan ia pula membenarkannya.

Kemudian orang itu bertanya lagi: “Kabarkanlah kepadaku tentang iman?

Baginda menjawab: “Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya dan hari akhir, serta kamu beriman dengan takdir yang baik dan yang buruk.

Kemudian orang itu berkata: “Kamu benar.

Orang itu bertanya lagi: “Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan?

Baginda menjawab: “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, dan meskipun kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.

Ia bertanya lagi: “Kabarkanlah kepadaku tentang hari Kiamat?

Baginda menjawab: “Tidaklah orang ditanya tentang ini lebih tahu dari yang bertanya.

Ia berkata: “Kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya?

Baginda menjawab: “Seorang budak perempuan melahirkan anak tuannya (bayi yang akan menjadi majikannya), dan kamu melihat orang yang (asalnya) tidak bersandal, telanjang, miskin dan penggembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan rumahnya."

Kemudian orang itu pergi, tinggallah aku terheran-heran.”

Kemudian baginda bersabda: “Wahai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya tadi?

Umar Menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.

Baginda bersabda: “Sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan perihal (perkara-perkara pokok dalam) agama kalian (Islam).

[Shahih Muslim no. 8]

Penjelasan.

Kata (بَيْنَمَا) dalam hadits adalah zharaf yang menunjukkan arti tiba-tiba. Maka dari itu, selanjutnya diikuti oleh kata “idz yang menunjukkan makna tiba-tiba. Para sahabat sering duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, kerana baginda tidak pernah meninggalkan para sahabat dan keluarganya.

Apabila berada di rumah, baginda melakukan pekerjaan rumahnya, seperti memerah susu kambing, menjahit baju dan sandalnya.

Sedang jika baginda duduk bersama sahabatnya di masjid, baginda mengunjungi orang yang sakit, berkunjung kepada kerabat atau melakukan urusan lainnya, tidak sedikit pun saat-saat itu terlewat kecuali baginda senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah.

Baginda sangat menjaga dan memanfaatkan waktu dengan baik, tidak seperti kita yang sering menyia-nyiakan waktu. Padahal, sesuatu yang paling berharga bagi manusia adalah waktu, tetapi manusia menganggapnya sesuatu yang murah.

Allah Ta'ala berfirman:

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seorang dari mereka, dia berkata, Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap yang telah aku tinggalkan.
(QS. Al-Mu'minûn: 23: 99-100)

Dia meminta supaya dikembalikan ke dunia agar tidak menyia-nyiakan waktu lagi. Oleh kerana itu, dia tidak berkata, “Agar aku bisa bersenang-senang dengan harta, atau bersenang-senang dengan istri, atau bersenang-senang dengan kendaraan atau bersenang-senang dengan istana.” Melainkan berkata, “Agar aku bisa berbuat amal shalih yang pernah aku tinggalkan.”

Telah banyak waktu terlewat oleh kita tetapi kita tidak mengambil manfaatnya sama sekali, padahal waktu adalah sesuatu yang paling mahal. Tetapi pada saat ini waktu menjadi sesuatu yang paling murah, sehingga waktu berjalan begitu saja tanpa menghasilkan faedah.

Bahkan kita banyak menghabiskan waktu untuk sesuatu yang membahayakan dan saya tidak berbicara tentang satu orang, melainkan kaum muslimin secara umum pada saat ini. Sangat disayangkan, mereka lupa dan lalai sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan urusan agama mereka.

Kebanyakan mereka lalai dan melaksanakan sesuatu yang sia-sia untuk memanjakan tubuh mereka walaupun harus merusak agama, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berbuat kebaikan (kemaslahatan) baik yang bersifat khusus mahupun yang umum.

Ketika para sahabat sedang duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba muncul di hadapan mereka seorang laki-laki yang sangat putih bajunya, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat darinya bekas perjalanan, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenalinya. Dia adalah orang asing. Kita tidak menyebutnya seorang musafir, hingga dia meninggalkan negerinya, dan tidak dikatakan kenal hingga kita mengatakan bahwa ia adalah penduduk negeri itu.

Mereka semua heran kepadanya. Orang itu kelihatan bersih, sangat putih bajunya dan sangat hitam rambutnya. Dia adalah pemuda yang tidak terlihat darinya tapak tilas perjalanan, kerana seorang yang musafir terutama pada masa itu- pasti kelihatan lusuh dan berdebu, kerana mereka melakukan perjalanan di atas unta atau berjalan kaki di tanah -padang pasir- yang berdebu. Namun, tidak nampak dirinya tapak tilas perjalanan sedikit pun dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengenalnya. Orang ini asing, tetapi tidak tampak padanya bahwa ia sedang bepergian.

Orang itu datang dan duduk di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang ini adalah Jibril Alaihissalam, salah satu malaikat yang mulia. Bahkan ia adalah malaikat yang paling mulia sepanjang yang kami ketahui, kerana kemuliaan amalnya, sesungguhnya ia bertugas membawa wahyu dari Allah kepada para rasul. 

Ia adalah malaikat yang agung yang dilihat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam dalam bentuk aslinya sebanyak dua kali, satu kali di bumi dan satu lagi di langit. 

Pertama kali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam melihatnya di Gua Hira. Baginda melihat malaikat Jibril memiliki 600 sayap sehingga sayapnya memenuhi ufuk. Semua ufuk dipenuhi sayapnya sehingga langit tidak kelihatan kerana malaikat itu telah menutupi ufuk dengan sayapnya.

Subhanallah, kerana Allah Ta'ala telah berfirman kepada malaikat itu,

Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap.” (QS. Fâthir: 35; 1)

Mereka mempunyai sayap-sayap yang digunakan untuk terbang cepat.

Yang kedua, ketika di Sidratul Muntaha.

Allah Ta'ala berfirman:

Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyau akal yang cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau dekat (lagi).
(QS. An-Najm: 53: 4-9)

Untuk menampakan diri kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, Jibril turun dari atas lalu mendekat kepada baginda dan menyampaikan wahyu kepada baginda yang dibawa dari sisi Allah, yang diamanatkan kepadanya untuk disampaikan kepada baginda.

Adapun mengenai penampakan Jibril yang kedua, Allah Ta'ala berfirman,

Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha.
(QS. An-Najm: 53: 13-14)

Demikianlah Jibril, akan tetapi Allah menjadikan pada malaikat kemampuan untuk menampakkan diri tidak pada bentuk aslinya. Maka dari itu, dalam hal ini Jibril datang dalam bentuk seorang laki-laki.

Perkataan Umar radhiyallahu anhu, “Ia duduk di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, lalu menyandarkan kedua lututnya kepada lutut baginda. Yakni, kedua lulut Jibril disandarkan ke lutut Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.

Dan meletakkan telapak tangannya di atas kedua pahanya.” Para ulama mengatakan, “Jibril meletakkan kedua tangannya di atas kedua pahanya sendiri, bukan di atas paha Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Hal ini merupakan kesempurnaan adab -etika- duduk seorang pelajar di depan pengajarnya. Yaitu ia duduk dengan penuh adab, dan bersiap-siap untuk mendengarkan pelajaran yang akan dikatakan oleh pengajar, dalam hal ini mendengarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jibril duduk dengan posisi duduk seperti yang disebutkan di atas, kemudian berkata, Wahai Muhammad, khabarkanlah kepadaku tentang islam?” Ia tidak berkata, “Ya Rasulullah, ceritakan kepadaku.” Yang melakukan seperti itu biasanya orang-orang Arab badui jika datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mereka berkata, “Ya Muhammad.”

Adapun orang-orang yang mendengar adab yang Allah ajarkan kepada mereka, maka tidak akan mengatakan, “Ya Muhammad.” Akan tetapi mengatakan, “Ya Rasulullah.” Kerana Allah Ta'ala berfirman,

Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).
(QS. An-Nûr: 24: 63)

Larangan ini mencakup larangan untuk memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam, dengan namanya dan juga mencakup panggilannya ketika melarang atau menyuruh baginda. Janganlah kita memerintah baginda seperti memerintah manusia biasa. Jika mahu kita bisa menyuruh baginda dengan cara perumpamaan dan jika tidak bisa, kita tinggalkan. Begitu juga tidak boleh kita melarang baginda seperti melarang manusia biasa. Jika kira bisa perhalus bahasa, kita lakukan, dan jika tidak bisa kita tinggalkan.

Demikian juga ketika kita memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka janganlah kita memanggilnya seperti kita memanggil sesama kita sehingga kita katakan, “Ya fulan, ya fulan.” Seperti memanggil teman kita sendiri. Akan tetapi, hendaknya kita memanggil, “Ya Rasulullah.” Namun, kerana orang badui jauh dari ilmu dan bodoh, maka kebanyakan dari mereka mengatakan, “Ya Muhammad.”

Orang itu -Jibril- berkata, Kabarkanlah kepadaku tentang islam? Apa itu Islam?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam menjawab, “Islam adalah Kamu bersaksi bahwa tidak ada Ilah (sesembahan) yang haq selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Rukun Islam.

Pertama: Membaca Dua Kalimah Syahadah.

Rukun Islam yang pertama adalah mengucapkan syahadat, yakni bersaksi mengucapkannya dengan lisanmu dan menetapkannya dengan hatimu bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah, atau tidak ada Dzat yang patut disembah secara haq, kecuali Allah.

Uluhiyah Allah merupakan cabang dari Rububiyah-Nya. Barangsiapa yang mengakui Uluhiyah Allah, berarti ia telah mengakui Rububiyah-Nya. Sebab, Dzat yang disembah haruslah Pencipta dan memiliki sifat yang sempurna. Oleh kerana itu, orang-orang yang mengingkari sifat-sifat Allah, mereka sangat kurang sekali dari aspek penyembahan, kerana mereka menyembah sesuatu yang tidak ada.

Rabb harus memiliki sifat-sifat yang sempurna, sehingga Dia layak untuk disembah dengan segala sifat yang dimiliki-Nya. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan Allah memiliki Asma'ul Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma'ul Husna itu.
(QS. Al-A'râf: 7: 180) Yakni, sembahlah Dia dan bertawasul-lah kamu dengan nama-Nya untuk mendapatkan apa yang kalian inginkan. Doa di sini mengandung makna doa permintaan dan doa ibadah. 

Yang terpenting, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaknya kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” Maka, tidak ada Tuhan dari makhluk; baik malaikat, nabi, matahari, bulan, pohon, batu, daratan, lautan, wali, mahupun orang yang jujur dan gugur sebagai syahid. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah Ta'ala semata. 

Kalimat -tauhid- ini Allah sampaikan kepada semua rasul. 

Allah Ta'ala berfirman:

Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, Bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 25)

Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghût.” 
(QS. An-Nahl: 16: 36) Yakni, jauhilah perbuatan syirik. 

Kalimat ini jika direalisasikan oleh seseorang dan diucapkan dari lubuk hatinya, maka akan dapat membangkitkan keimanan dan amal shalih, sehingga memasukannya ke dalam surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang akhir ucapannya di dunia ini adalah 'la ilaha illallah', maka ia akan masuk surga.

[Hr. Abu Dawud no. 3116, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621]

Semoga Allah memasukkan kita ke dalam surga.

Sabda baginda, “Dan Muhammad adalah utusan Allah.” Yakni, kamu bersaksi bahwa Muhammad bin Abdullah Al-Hasyimi Al-Quraisy Al-Arabi adalah Rasul Allah. Baginda tidak menyebut nama rasul yang lain, kerana baginda menghapus semua agama. Semua agama jadi terhapus setelah di utusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Agama Yahudi dan Nasrani adalah agama yang batil, dan tidak diterima di sisi Allah.

Allah Ta'ala berfirman:

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 85)

Mereka beribadah mengikuti apa yang mereka ciptakan sendiri secara fanatik. Namun, semua itu ibarat debu yang berterbangan dan tidak memberikan manfaat sedikitpun pada mereka.

Firman Allah Ta'ala, Dan mereka di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” Walaupun mereka untung di dunia, namun mereka tidak untung di akhirat, kerana agama mereka batil.

Orang-orang yang pada saat mengklaim beragama Nasrani -bahwa mereka bersandar kepada Isa bin Maryam- maka mereka telah berdusta. Isa Al-Masih berlepas diri dari mereka. Jika sekiranya Al-Masih datang, maka dia akan memerangi mereka. Nabi Isa akan turun nanti di akhir zaman, dan ia tidak akan menerima kecuali agama Islam. Nabi Isa akan menghancurkan salib, membunuh babi, menghapus jizyah (pajak) dan baginda tidak menerimanya dari seseorang pun kecuali Islam.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan Muhammad adalah utusan Allah.” Kepada siapa sabda ini ditujukan? Jawabnya bahwa sabda itu ditujukan kepada seluruh makhluk. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqân (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (QS. Al-Furqân: 25: 1)

Katakanlah (Muhammad) Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (iaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.”
(QS. Al-A'râf: 7: 158)

Dengan demikian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada seluruh makhluk. 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersumpah,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ (رواه مسلم )

“Demi yang jiwaku ada di tanganNya, tidak ada seorangpun dari umat ini baik dia Yahudi maupun Nashrani yang mendengarkan aku, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku sampaikan, maka dia merupakan penghuni neraka.”

[Shahih Muslim no. 218]

Oleh kerana itu, kita beriman dan yakin bahwa semua orang Yahudi, Nasrani dan orang-orang kafir lainnya adalah penduduk neraka. Kerana itu, kesaksian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mengharamkan surga bagi mereka, kerana mereka adalah orang-orang kafir dan musuh Allah dan Rasul-Nya.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaknya kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” Dan juga sabdanya, “Dan Muhammad adalah utusan Allah.” Kedua kalimat ini menunjukkan dua syarat ibadah, yakni ikhlas kepada Allah dan mutaba'ah (mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Kerana orang yang mengatakan, “Tidak ada tuhan selain Allah,” berarti ia ikhlas -memurnikan tauhid- kepada Allah. Barangsiapa yang mengatakan, “Dan Muhammad adalah utusan Allah,” berarti ia mengikuti Rasulullah dan tidak mengikuti selainnya.


Kerananya, kedua kalimat ini dianggap sebagai rukun yang pertama dari rukun Islam, kerana dua kalimat ini kembali pada satu fokus, yaitu pembenaran ibadah. Kerana ibadah tidak sah kecuali jika telah mencakup kedua kalimat syahadat ini. Yaitu, kalimat 'Laa Ilaha Illallah' sehingga ibadahnya menjadi ikhlas, dan kalimat 'wa anna muhammadan rasulullah' sehingga ibadahnya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan Muhammad adalah utusan Allah.” Wajib disaksikan oleh lisan dan ditetapkan dalam hati, bahwa Muhammad adalah utusan yang diutus oleh Allah kepada seluruh alam sebagai rahmat.

Allah Ta'ala berfirman:

Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 108)

Juga beriman bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para nabi. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 40)

Maka tidak ada nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang mengaku sebagai nabi setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia kafir dan dusta, dan siapapun yang membenarkan pengakuan tersebut, maka ia telah kafir.

Dari kesaksian ini, maka engkau harus mengikuti syariatnya dan sunnahnya, serta tidak membuat bid'ah dalam agamanya, sesuatu yang bukan bagian darinya. Maka dari itu, kita katakan bahwa para pelaku bid'ah yang telah melakukan perkara bid'ah dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bukan merupakan bagian darinya, berarti mereka tidak merealisasikan kesaksian bahwa Muhammad adalah Rasulullah. Walaupun mereka mengucapkan, “Kami mencintai dan mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kerana, seandainya mereka benar-benar mencintai dan mengangungkannya dengan pengangungan yang sempurna, tentu mereka tidak akan mendahului di hadapan baginda dan mereka tidak akan memasukkan di dalam syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuatu yang bukan darinya. Maka yang dimaksud dengan bid'ah, kandungan hakikatnya adalah pencelaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seakan-akan orang yang berbuat bid'ah ini berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan agama dan tidak juga syariat. Kerana di sana ada sebuah agama dan syariat yang belum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampaikan.” Kemudian dalam bid'ah ada bahaya besar yang sangat besar sekali yaitu mengandung pendustaan terhadap firman Allah,

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu. (QS. Al-Mâ'idah: 5: 3)

Kerana jika Allah telah menyempurnakan agama, berarti tidak ada agama setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara para pelaku bid'ah, mereka membuat sesuatu yang baru di dalam agama Allah yang bukan bagian darinya, seperti ucapan tasbih, tahlil, gerakan-gerakan dan sebagainya. Padahal mereka telah mendustakan kandungan firman Allah, Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu.” 
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 3)

Begitu juga mereka mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menuduhnya bahwa baginda belum menyempurnakan syariat ini kepada manusia. 

Kesempurnaan syahadat bahwa Muhammad adalah utusan Allah, yakni membenarkan apa yang telah baginda kabarkan. Segala berita yang benar dari baginda maka wajib bagimu untuk membenarkannya. Janganlah engkau menentang ini dengan akalmu, ukuranmu dan logikmu. Kerana jika engkau tidak beriman kecuali dengan apa yang dibenarkan oleh akalmu, maka kamu bukanlah seorang mukmin yang hakiki, akan tetapi kamu hanya mengikuti hawa nafsumu, dan tidak mengambil petunjuknya.

Seseorang yang benar-benar beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala ia mendengar berita yang benar darinya, ia akan mengatakan, “Kami mendengar, beriman, dan membenarkannya.”

Adapun jika seseorang mengatakan, “Bagaimana bisa begini, bagaimana bisa begitu?” berarti ia tidak beriman secara hakiki. Maka dari itu, dikhawatirkan bagi orang-orang lebih yang mengedepankan akal mereka dalam menilai apa yang diberitahukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam -kerana jika mereka tidak menerima kecuali oleh apa yang dibenarkan oleh akal- mereka tidak beriman kepada Rasulullah dengan keimanan yang hakiki dan tidak bersaksi bahwa baginda adalah utusan Allah dengan keimanan yang sesungguhnya.

Kuat dan lemahnya kesaksian mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tergantung kepada ragu dan tidaknya mereka terhadap berita yang dibawa oleh baginda. 

Di antara bentuk perwujudan syahadat yang hakiki bahwa Muhammad utusan Allah adalah tidak berlebihan dalam mengagungkan sehingga mendudukkannya pada kedudukan yang lebih besar dari kedudukan yang ditetapkan oleh Allah kepadanya, seperti orang-orang yang menyakini bahwa Rasulullah dapat menghilangkan bahaya sehingga mereka datang ke kuburan Nabi dan meminta kepadanya secara langsung agar disembuhkan dari penyakit dan dijauhkan dari bahaya dan sebagainya.

Ini adalah tindakan yang berlebih-lebihan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan merupakan bentuk syirik kepada Allah Ta'ala. Tidak ada seorang pun yang mampu melakukan hal itu kecuali Allah Ta'ala. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat, baginda tidak kuasa mengendalikan dirinya apalagi orang lain.

Hingga para sahabat ketika mereka ditimpa paceklik (kemarau yang panjang) pada masa Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu anhu, mereka melakukan shalat istisqa (shalat minta hujan) di masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka tidak datang ke makam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Berdoalah kepada Allah untuk kami atau berilah kami syafaat dari sisi Allah agar turun hujan.”

Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu berdoa kepada Allah seraya memohon, “Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu dengan Nabi kami, maka Engkau menurunkan hujan kepada kami dan sesungguhnya kami bertawassul kepada-Mu dengan pamam Nabi kami.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1010. 2721]

Kemudian Umar memerintahkan Al-Abbas untuk berdiri dan berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan kepada mereka.

[Lihat kitab At-Tawassul Anwauhu wa Ahkamuhu yang dikarang Muhaddits Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani]

Kenapa? Jawabnya, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat, sehingga tidak ada sesuatu pun yang bisa baginda kerjakan di dunia setelah wafat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Jika anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah dari amalnya, kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih yang mendoakan kedua orang tuanya.”

[Shahih Muslim no. 1631]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak mampu menguasai dirinya setelah baginda wafat, apalagi mendoakannya, kerana baginda sudah berada di alam kuburan. Barangsiapa yang mendudukkannya di atas kedudukan yang diberikan oleh Allah kepadanya, berarti ia tidak merealisasikan syahadat secara benar, yaitu bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Na'udzu billah, kita berlindung kepada Allah dari yang demikian.

Kerana makna Muhammad seorang rasul yaitu bahwa dia adalah seorang hamba yang tidak disembah dan utusan yang tidak didustakan. Setiap hari dalam shalat kita berkata, “Asyadu Alla Ilaaha Illallah wa Anna Muhammadan Abduhu Warasuluh (Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya).” Dia itu hamba seperti hamba yang lain, dan hanya Allah Rabb yang patut disembah.

Kerananya, kita katakan kepada orang-orang yang berlebih-lebihan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menempatkan baginda di atas tempat yang telah Allah sediakan baginya, “Sesungguhnya kalian tidak mewujudkan syahadat la ilaha illallah dan juga syahadat muhammaddarrasulullah.”

Yang penting, bahwa kedua syahadat tersebut mencakup seluruh aspek Islam. Oleh kerana itu, jika seseorang ingin berbicara tentang hal yang berkaitan dengan keduanya secara logika, pemahaman, isi dan isyarat, tentu akan menghabiskan waktu berhari-hari. Namun, kita hanya menyebutkan kedua kalimat syahadat itu, kita telah mengatakan sesuatu yang menyeluruh. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang memiliki akidah yang hakiki, baik secara ucapan mahupun perbuatan.

Kedua: Mendirikan Shalat.

Rukun Islam yang kedua adalah mendirikan shalat. Dinamakan dengan shalat, kerana shalat merupakan penghubung (shilah) antara seorang hamba dengan Allah. Jika seseorang berdiri untuk shalat, maka ia tengah bermunajat kepada Allah dan berdialog dengan-Nya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits yang shahih. Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Ta'ala berfirman,

Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian, jika dia mengucapkan, “Alhamdu Lillahi Rabb Al-'Alamin,” maka Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Dan jika ia mengucapkan, “Ar-Rahman Ar-Rahim,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.” Dan jika hamba-ku mengucapkan, “Maliki Yaumiddin,” Allah berfirman, “Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku,” Dan jika hamba-Ku mengucapkan, “Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'inu,” maka Allah berfirman, “Ini adalah separuh antara Aku dengan hamba-Ku.” Dan jika ia mengucapkan, “Ihdinash Shirathal Mustaqim,” Allah berfirman, “Ini untuk hamba-Ku akan mendapatkan apa yang ia minta.”

[Shahih Muslim no. 598]

Renungkanlah hadits di atas. Shalat adalah meminta, memberi, berdialog dan bermunajat antara seorang manusia dengan Tuhannya. Namun demikian, masih banyak di antara kita dalam munajat ini yang hatinya berpaling sehingga ia menoleh ke kanan dan ke kiri, padahal ia sedang bermunajat kepada Dzat yang Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati. Ini salah satu kebodohan dan kelalaian kita.

Yang wajib kita lakukan adalah -semoga Allah memudahkan kita melakukannya- menghadirkan hati ketika mengerjakan shalat hingga tanggung jawab kita selesai, sehingga kita dapat mengambil faedah darinya. Kerana shalat yang dapat memberikan hasil hanyalah shalat yang sempurna. Kerananya, meskipun setiap kita membaca firman Allah Ta'ala,

Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.”
(QS. Al-'Ankabût: 29: 45)

Akan tetapi, banyak orang yang shalat namun hatinya tidak dapat mengingkari kemungkaran dan mengakui kebenaran seolah tidak pernah mengerjakan shalat. Yakni, hatinya tidak bergerak dan tidak dapat mengambil pelajaran dari shalatnya kerana shalatnya tidak sempurna. Shalat adalah rukun Islam yang paling agung setelah dua kalimat syahadat. Allah telah mewajibkan shalat kepada Nabi-Nya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa ada perantara dari Allah kepada Rasul-Nya, di tempat yang paling tinggi yang mampu dicapai oleh seorang manusia, dan di malam yang paling berkah bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu malam Mi'raj, serta pada awalnya diwajibkan sebanyak lima puluh kali dalam sehari semalam.

Dalam masalah shalat ada empat hal penting:

1. Perintah kewajiban shalat tidak seperti pada kewajiban puasa dan haji. Perintah shalat langsung dari Allah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Dari segi tempat, merupakan tempat yang paling utama yang pernah dicapai oleh manusia. Kerana shalat tidak diwajibkan kepada Nabi ketika baginda berada di bumi.

3. Dari segi waktu, merupakan malam yang mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu malam Isra' dan Mi'raj. Shalat tidak diwajibkan pada waktu kapan pun, namun hanya pada waktu yang mulia bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4. Dari segi jumlah, shalat tidak hanya difardukan sekali, tetapi lima puluh kali shalat. Hal ini menunjukkan kecintaan Allah dengan shalat dan Dia menyukai hamba-Nya yang senantiasa menyembah-Nya dengan shalat dan selalu sibuk dengannya.

Akan tetapi Allah menjadikan setiap sesuatu itu ada sebabnya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam turun menerima perintah Allah ini, baginda puas menerimanya. Maka baginda melewati Nabi Musa ‘alaihissalam dan Nabi Musa pun bertanya kepadanya, Apa yang difardukan Allah pada umatmu?” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Lima puluh kali shalat sehari semalam.”

Musa menjawab, Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu menjalankan perintah itu. Aku telah mencubanya kepada orang-orang sebelummu, namun bani Israil menentangnya dengan penentangan yang keras. Maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah agar Dia meringankan tugas untuk umatmu.

Maka kembalilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah dan hingga dia bolak-balik antara Nabi Musa dengan Allah sampai Allah menjadikannya lima kali shalat. Namun dengan kemurahan-Nya, Allah berfirman, Lima kali itu, jika dikerjakan beratnya di Mizan seperti lima puluh kali.”

[Shahih Al-Bukhari no. 336. 3598. 6963. Muslim no. 237. 234]

Dalam hal ini tidak hanya pahalanya saja yang dilipat-gandakan, tetapi perbuatannya juga dilipatgandakan, yaitu satu kali perbuatan dianggap mengerjakan sepuluh kali kebaikan. Dengan demikian lima kali shalat sama dengan lima puluh kali shalat. Seakan-akan kita shalat lima puluh kali, setiap satu shalat bernilai sepuluh kali lipat kebaikan. Sekiranya ini hanya bab pelipatgandaan shalat saja, tidak ada bedanya antara shalat dengan yang lain. Tetapi ini bersifat khusus yang menunjukkan atas keagungan shalat ini. Oleh kerana itu, Allah mewajibkan atas hamba-hamba-Nya untuk mengerjakan shalat sehari semalam lima kali. Anda juga harus mengerjakan shalat lima kali sehari semalam.

Jika ada seseorang di antara kamu yang dapat bertemu dengan raja sebanyak lima kali sehari, tentu ia dianggap sebagai orang pilihannya, dan dia pasti sangat gembira dengannya. 

Kamu bertemu dan memohon kepada Raja segala raja, setiap hari lima kali paling sedikit, maka kenapa kamu tidak bahagia dengan itu? Pujilah Allah dengan nikmat ini dan dirikanlah shalat.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan kamu mendirikan shalat.” Yakni, kamu melaksanakannya dengan segala kesempurnaan syarat-syarat, rukun-rukun dan kewajibannya, agar shalat itu sah dan diterima harus terpenuhi syarat-syaratnya.

Ketiga: Membayar Zakat.

Sabda Rasulullah, (وَإِيْتَاء الزَّ كَاةِ) Dan menunaikan zakat,” yakni memberikan zakat. 

Kata ita' bermakna i'tha' (memberikan), sedangkan kata ityan berarti mendatangkan. Dan kata ataa bermakna ja'a (datang). Sehingga kata ita' az-zakah berarti memberikan zakat kepada orang yang berhak menerimanya yang ditentukan oleh Allah.

Kata zakat diambil dari kata Az-Zakaa' yang berarti suci dan berkembang. Kerana orang yang mengeluarkan zakat berarti mensucikan -membersihkan- dirinya dari sifat kebakhilan dan mengembangkan hartanya dengan zakat.

Allah Ta'ala berfirman:

Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka.
(QS. At-Taubah: 9: 103)

Jadi, makna zakat adalah bagian tertentu yang telah ditetapkan syariat, pada harta tertentu dan golongan (orang-orang) tertentu.

Maksud 'bagian tertentu dari harta' yakni tidak semua harta, tetapi harta tertentu yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga dijelaskan dalam Al-Quran. 

Jadi, tidak semua jenis harta itu wajib dizakati, tetapi harus memenuhi syarat-syarat tertentu.

Zakat adalah sejumlah harta tertentu yang ditunaikan oleh seseorang dan merupakan salah satu rukun Islam yang berfungsi untuk membersihkan jiwa dari sifat bakhil dan hina (rendah), serta membersihkan lembaran-lembaran catatan amalnya dari kesalahan-kesalahan.

Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api.”

[Shahih Al-Jami' no. 5136]

Sedekah yang paling utama adalah zakat. Satu dirham yang kamu keluarkan untuk zakat itu lebih utama daripada satu dirham yang kamu keluarkan untuk sedekah sunnah. Allah Ta'ala berfirman dalam hadits Qudsi,

Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang Aku wajibkan kepadanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6021]

Faedah Zakat.

Zakat mempunyai beberapa faedah, di antaranya:

Pertama: Dalam zakat ada penghapusan dosa.

Kedua: Zakat adalah bentuk ihsan -kebaikan- terhadap sesama makhluk.

Kerana orang yang berzakat telah berbuat baik kepada orang yang diberikan zakat. Maka, ia termasuk ke dalam golongan orang-orang yang berbuat baik yang akan dicintai Allah. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan berbuat baiklah. Sungguh Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 2: 195)

Ketiga: Zakat dapat menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama manusia. 

Kerana orang-orang fakir jika diberi zakat oleh orang-orang kaya, maka akan hilang jiwanya rasa benci terhadap orang-orang kaya. Adapun jika orang-orang kaya itu tidak memberikan sebagian dari hartanya kepada orang-orang kafir, maka akan tumbuh dalam jiwa mereka rasa benci terhadap orang-orang kaya.

Keempat: Zakat dapat mencegah perbuatan kriminal dari orang-orang fakir kepada orang-orang kaya. Kerana ketika orang kaya tidak memberikan sesuatu -sebagian harta- kepada orang-orang fakir, dikhawatirkan mereka akan melakukan tindakan kriminal kepadanya. Misalnya dengan memecahkan kaca jendela, merompak hartanya dan sebagainya. Hal ini dikeranakan mereka harus hidup, makan dan minum. Dan ketika mereka tidak diberi, maka mereka akan merasa lapar, haus dan tidak bisa berpakaian -yang layak, sehingga mendorong mereka untuk berbuat jelek terhadap orang-orang kaya dengan mencuri, merompak dan lain-lain.

Kelima: Zakat dapat menarik turunnya rezeki dari langit.

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

Tidaklah satu kaum menghalangi untuk mengeluarkan hartanya, kecuali mereka akan terhalangi dari turunnya hujan (nikmat) dari langit.”

[Hr. Hakim no. 4/ 583. Ibnu Majah no. 4019, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 7978]

Jika orang-orang menunaikan zakat, maka Allah akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi. Akan turun hujan dari langit, sehingga tumbuhlah tanaman, binatang ternak yang bisa dimakan, manusia bisa bercucuk tanam di ladang mereka dan masih banyak lagi kemaslahatan lainnya.

Keenam: Zakat dapat membantu para mujahid di jalan Allah, kerana di antara golongan yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

Dan orang-orang berjuang di jalan Allah.
(QS. At-Taubah: 9: 60)

Ketujuh: Zakat dapat membebaskan perbudakan. Maka seorang muslim boleh membeli budak yang dimiliki oleh orang lain dengan zakatnya, kemudian ia memerdekakannya, kerana Allah Ta'ala berfirman,

Dan kepada para budak belian.”
(QS. At-Taubah: 9: 60)

Kedelapan: Zakat dapat membebaskan seseorang dari hutangnya. Berapa banyak orang yang memiliki kedudukan, jabatan diuji dengan banyaknya hutang. Sehingga dengan pelunasan itu dapat mendatangkan banyak kebaikan. Di satu sisi membebaskan tanggung jawab, dan di sisi lain mengembalikan hak kepada orang yang memiliki hutang.

Kesembilan: Zakat dapat membantu orang-orang musafir yang kehabisan bekal ketika perjalanan. Seperti orang yang kehilangan uang di dalam perjalanannya dan tidak mempunyai bekal untuk pulang ke negerinya, walaupun ia orang kaya di negerinya.

Yang jelas, bahwa dalam pelaksanaan zakat itu mengandung banyak maslahat, sehingga ia menjadi salah satu rukun Islam. 

Para ulama berbeda pendapat tentang seorang yang meremehkan urusan zakat, apakah ia dianggap kafir seperti orang yang meremehkan shalat atau tidak?

Jawabnya: “Yang benar adalah orang yang meremehkan zakat tidak dianggap kafir. Hal ini berdasarkan kepada riwayat muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Setiap pemilik emas atau perak yang tidak menunaikan zakatnya, akan dipakaikan kepada mereka kepingan-kepingan api pada hari kiamat. Lalu ia dibakar pada bagian rusuk, dahi dan belakang punggungnya dengan kepingan tersebut di dalam neraka jahanam. Setiap kali kepingan itu dingin, akan dipanaskan kembali. Ukuran satu hari menyamai lima puluh ribu tahun (di dunia). Hal ini terus berlangsung hingga manusia diputuskan ke mana mereka akan di tempatkan, ke surga ataukah ke neraka.

[Shahih Muslim no. 987]

Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang tidak membayar zakat tidak dianggap kafir. Sekiranya ia dianggap kafir kerana meninggalkan zakat, maka tidak ada baginya jalan ke surga. Sementara dalam hadits disebutkan, “Hingga manusia diputuskan ke mana mereka akan di tempatkan, ke surga ataukah ke neraka.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad rahimahullah, bahwa orang yang bakhil untuk membayar zakat, maka dia dianggap kafir. Beliau berpendapat bahwa zakat adalah salah satu rukun Islam, ibarat rumah yang kehilangan salah satu tiangnya maka rumah itu akan roboh.

Akan tetapi pendapat yang benar bahwa orang yang tidak membayar zakat tidak dianggap kafir, namun ia berada dalam bahaya yang sangat besar dan mendapatkan ancaman yang berat. Naudzubillah. (Inilah pendapat jumhur dan tetap diamalkan).

Jenis Harta Yang Wajib Untuk Dizakati.

Tidak semua harta wajib untuk dizakati. Tetapi ada yang wajib dizakati dan ada yang tidak wajib dizakati. Harta yang wajib dizakati adalah,

1. Emas dan perak.

Bagaimanapun bentuk emas dan perak, baik berupa uang seperti Dirham dan Dinar, atau berupa emas dan perak batangan, atau berupa perhiasan yang dipakai dan dipinjamkan, semuanya wajib untuk dizakati. Akan tetapi dengan syarat telah mencapai satu nisab dan satu tahun penuh (haul).

Nisab emas adalah 85 gram dan nisab perak adalah 595 gram (56 riyal Saudi). Barangsiapa mempunyai emas atau perak yang telah mencapai nisab dah haul (kepemilikan itu telah berlansung selama satu tahun), maka ia wajib mengeluarkan zakatnya, dan jika kurang tidak wajib mengeluarkan zakatnya.

Maka, jika seseorang hanya memiliki emas seberat 80 gram, ia tidak wajib membayar zakatnya. Atau ia memiliki 590 gram perak, maka ia tidak wajib zakat.

Para ulama berbeda pendapat; apakah nisab emas bisa disempurnakan dengan nisab perak ataukah tidak.

Sebagai contoh, jikalau ada seseorang yang memiliki separuh nisab emas dan separuh nisab perak, apakah keduanya bisa digabungkan sehingga menjadi satu nisab yang wajib untuk dizakati?

Jawabnya: Tidak! nisab emas tidak bisa disempurnakan dengan nisab perak, begitu juga sebaliknya. Setiap barang itu berdiri sendiri. Sebagaimana nisab burr (gandum) tidak bisa disempurnakan dengan sya'ir (jenis gandum) atau sebaliknya.

Barang yang memiliki fungsi seperti emas dan perak, maka berlaku padanya seperti apa yang berlaku pada emas dan perak. Seperti uang -baik kertas atau logam- wajib untuk dizakati jika telah mencapai nisab emas atau perak. Jika tidak mencapai nisab, maka tidak wajib dizakati.

Misalnya, seseorang memiliki 300 riyal uang kertas akan tetapi belum mencapai nisab perak, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kerana hal itu berhubungan dengan perak.

Adapun perhiasan berharga lainnya, seperti intan, permata dan barang tambang lainnya, tidak wajib dikeluarkan zakatnya walaupun banyak jumlahnya, kecuali jika diperdagangkan. Maka jika perhiasan tersebut (intan, permata dan barang tambang lainnya selain emas dan perak) diperdagangkan, wajib dikeluarkan zakatnya.

2. Hewan Ternak.

Yang termasuk hewan ternak yaitu unta, sapi dan kambing. ketiga hewan ini wajib dizakati dengan syarat telah mencapai nisab. Nisab unta lima ekor, nisab sapi tiga puluh ekor, dan nisab kambing empat puluh ekor.

Cara mengeluarkan zakat pada hewan ternak tidak seperti pada harta-harta lainnya. Jika telah mencapai satu nisab, maka selebihnya ada hitungannya tersendiri sesuai dengan pertambahan tersebut.

a. Nisab Zakat Kambing.

Setiap 40 kambing zakatnya 1 ekor kambing, sedangkan 100 kambing hingga 121 kambing zakatnya 2 ekor kambing. Adapun kelebihan antara satu nisab dengan nisab berikutnya tidak dikeluarkan zakat. Dari 40 hingga 120 kambing zakatnya hanya seekor kambing. Dari 121 hingga 200 ekor kambing zakatnya 2 ekor kambing. Dari 121 ke atas zakatnya 3 kambing. 300 ekor kambing zakatnya 3 kambing. 399 ekor zakatnya 3 ekor kambing, dan 400 ekor zakatnya kambing.

Untuk mempermudahkan mengetahui nisab kambing, kami tampilkan tabel berikut,*)



 --------------------------------
* Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri, 2007. Ensiklopedi Islam Al-Kamil.

b. Nisab Zakat Unta.

20 ekor unta ke bawah zakatnya 1 ekor kambing pada setiap 5 ekor unta. Dan 25 ekor unta atau lebih, zakatnya 1 ekor unta dengan umur yang berbeda-beda.

Untuk mempermudah mengetahui nisab unta, kami tampilkan tabel berikut, *)



Hewan ternak yang wajib dizakati disyaratkan mencapai nisab dan digembalakan secara bebas. Yakn, hewan yang digembalakan di tanah lapang, dan tidak dibiarkan liar sehingga setahun atau lebih.

Jika seseorang memiliki 40 ekor kambing yang digembalakan selama setahun penuh, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Jika hewan itu dibiarkan bebas dan digembala selama delapan bulan, maka wajib juga dikeluarkan zakatnya. Begitu halnya jika digembalakan selama tujuh bulan.

Adapun jika hewan tersebut digembalakan selama setahun dan diberi makan dalam kandang selama setahun juga, maka tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

Jika seseorang berdagang kambing -misalnya-, dan dia tidak memeliharanya untuk dikembangbiakkan maka wajib mengeluarkan zakatnya jika telah mencapai nisab emas atau perak. Kerana barang dagangan itu wajib untuk dizakati, dan nisabnya sesuai dengan nisab emas atau perak. Dan yang sering dipakai oleh orang-orang miskin adalah perak, kerana lebih murah, sedang emas harganya mahal, apalagi di zaman sekarang.

3. Hasil Bumi.

Yang termasuk hasil bumi adalah biji-bijian dan buah-buahan seperti kurma, gandum, padi dan yang serupanya. Hasil bumi ini wajib untuk dikeluarkan zakatnya jika mencapai nisab, dan nisabnya adalah tiga ratus sha' dengan ukuran sha' Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diketahui oleh para petani yang mengambil zakat.

Jika seseorang memiliki pohon kurma yang sedang berbuah dan buahnya mencapai nisab, maka dia wajib  mengeluarkan zakat dari kualitas buah yang menengah, bukan dari kurma berkualitas terbaik sehingga dia terzhalimi dan tidak juga dari kualitas yang jelek sehingga dia menzhalimi.

Jika seseorang menjual buahnya, maka dia wajib mengeluarkan zakatnya dari hasil penjualan. Ukuran -kadar- zakat yang harus dikeluarkan dari hasil bumi adalah sepersepuluh [1/10] atau seperduapuluh [1/20].

Jika tanaman disirami dengan air hujan tanpa menggunakan pompa air atau dialiri dari sungai, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah sepersepuluh. Misalnya, seseorang memiliki sepuluh ribu kilogram -dari hasil panen- maka dia wajib mengeluarkan zakatnya seribu kilogram.

Adapun jika air yang digunakan untuk mengairi tanaman itu dengan menggunakan pompa air, diesel dan sebagainya, maka zakat yang harus dikeluarkan adalah seperduapuluh. Jadi, orang yang memiliki sepuluh ribu kilogram -dari hasil panen- maka dia wajib mengeluarkan zakatnya lima ratus kilogram saja, kerana biaya yang membebani petani dengan menggunakan pompa air untuk menyirami tanamannya lebih banyak daripada petani yang menyirami tanamannya tanpa biaya -tadah hujan-.

Hal ini merupakan hikmah dan rahmat Allah Ta'ala. Dia meringankan zakat bagi orang yang menyirami tanamannya dengan biaya dan jerih payah -tenaga-.

4. Barang Dagangan.

Yang dimaksud dengan barang dagangan adalah segala sesuatu yang dipersiapkan untuk diperdagangkan seperti tanah, kain, barang pecah belah, mobil dan sebagainya. Dalam hal ini tidak ada ketentuan jenis barang tertentu. Ukuran atau kadar zakat yang wajib dikeluarkan dalam harta perniagaan adalah 2,5% [dua setengah persen] seperti zakat emas dan perak, atau seperempat puluh.

Jika kamu memiliki harta dan kamu ingin mengetahui ukuran zakat, maka caranya sangat mudah. Bagilah hartamu menjadi empat puluh bagian, maka satu bagian dari empat puluh bagian itu -1/40 dari harta-, itulah bagian yang harus dikeluarkan sebagai zakatnya.

Misalnya seseorang mempunyai empat puluh ribu dirham, maka zakatnya adalah seribu dirham, dan jika memiliki seratus dua puluh ribu dirham maka zakatnya adalah tiga ribu dirham, dan begitu seterusnya.

Barang dagangan dinamakan urudh at-tijarah, kerana sifat harta ini tidak tetap, melainkan bertambah dan berkurang. Segala sesuatu yang bertambah dan berkurang dalam bahasa Arab disebut urudh, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia.” (QS. An-Nisâ: 4: 94)

Sebenarnya pedagang yang membeli barang dagangan tidaklah menginginkan barang tersebut, tetapi dia menginginkan keuntungan dari penjualan barang itu. Oleh kerana itu, kamu dapati dia membeli barang di waktu pagi lalu menjualnya di siang atau petang hari.

Cara pengeluarkan zakat barang dagangan adalah: jika telah datang waktu untuk mengeluarkan zakatnya, maka hitungkah semua harta daganganmu, lalu keluarkan zakatnya 2,5% darinya, walaupun barang-barang itu baru saja kamu beli.

Misalnya, waktu seseorang wajib untuk mengeluarkan zakat dagangannya pada bulan Rajab, dan dia baru saja membeli barang dagangannya pada bulan Rabiul Awal. Maka kami katakan kepadanya, “Jika telah datang bukan Rajab, maka hitunglah semua jumlah barang dagangannya, lalu keluarkanlah zakatnya.”

Jika dia mengatakan bahwa barang dagangannya belum genap setahun dalam kepemilikannya, maka kami katakan, “Barang dagangan itu tidak diukur dengan skala tahunan, tetapi dari nilainya.”

Adapun nilainya dihitung setiap tahun, yaitu sejak kamu mengeluarkan zakat pada tahun sebelumnya. Jika pada tahun sebelumnya jatuh pada bulan Rajab, maka keluarkanlah zakatnya pada bulan Rajab, baik nilainya bertambah atau berkurang dari harga yang kamu beli.

Misalnya, kamu membeli barang seharga 10.000 riyal, tetapi ketika jatuh tempo pengeluaran zakat nilai barang itu seharga 8000, maka zakatnya dihitung dari 8000 riyal. Atau kamu membeli barang seharga 8000 riyal, tetapi ketika jatuh tempo pembayaran zakat nilai barang itu 10.000 riyal, maka zakatnya dihitung dari 10.000 riyal. Jika kamu tidak mengetahui apakah beruntung atau tidak, maka yang dianggap adalah modalnya.

Orang-orang yang berhak mendapatkan zakat.

Kepada siapa zakat diberikan?

Zakat diberikan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah berdasarkan hikmah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya,

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”
(QS. At-Taubah: 9: 60)

Jadi, orang-orang yang berhak mendapatkan zakat adalah sebagaimana yang tercantum pada ayat di atas, yakni:

1. Orang-orang Fakir.

2. Orang-orang Miskin.

Orang-orang fakir dan miskin adalah mereka yang penghasilannya tidak cukup untuk menghidupi diri dan keluarga mereka selama setahun.

Misalnya, seorang menjadi pegawai dengan gaji satu bulannya 4000 riyal, akan tetapi setiap bulan dia butuh dana untuk menafkahi keluarganya sebesar 6000 riyal. Orang seperti ini disebut fakir, kerana gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhannya. Maka kita memberi 2000 riyal dari zakat kepadanya untuk mencukupi kebutuhannya. menyempurnakan nafkahnya.

Contoh yang lain; ada seseorang yang memiliki gaji 6000 riyal dalam satu bulan, tetapi ia memiliki keluarga yang besar dan gajinya tidak cukup untuk menafkahi keluarganya kecuali dengan 12.000 riyal. Maka kita berikan kepadanya 70.000 riyal untuk mencukupi kebutuhannya, dan kita tidak memberikan kepadanya melebihi kebutuhannya selama satu tahun. Kerana, setelah habis satu tahun, akan ada pembagian zakat baru untuk memenuhi kebutuhan berikutnya. Maka dari itu, para ulama menetapkan bantuan zakat untuk setahun saja.

Jika ada pertanyaan, siapa yang lebih membutuhkan, orang fakir ataukah orang miskin?

Jawab: Menurut ulama, zakat itu diberikan dengan pertimbangan skala prioritas, yakni dari yang paling penting -sangat membutuhkan- kepada yang penting. Sebagaimana disebutkan dalam ayat, bahwa Allah telah memulainya dari orang fakir, maka orang fakirlah yang lebih membutuhkan daripada orang miskin.

3. Amil Zakat.

Amil zakat adalah orang-orang yang ditunjuk pemerintah atau penguasa setempat untuk mengurus masalah zakat. Yakni mengambil -mengumpulkan- zakat dari orang yang diwajibkan membanyar zakat, lalu membagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Maka, pemerintah memberikan zakat kepada mereka ini seukuran gaji mereka. Walaupun para amil ini adalah orang-orang kaya, mereka berhak menerima zakat atas pekerjaan yang telah mereka lakukan, bukan kerana kebutuhan.

Sebagai contoh; jika pemerintah mengatakan bahwa salah seorang di antara mereka jika bekerja gaji perbulannya 1000 riyal, maka kita harus memberinya 1000 riyal dari zakat. Hal ini kerana mereka telah mengurus harta zakat demi kemaslahatan zakat, maka mereka diberi upah yang diambil dari zakat. Namun, jika pemerintah lebih memilih menggaji mereka diambillkan dari Baitul Mal kaum muslimin, agar zakat hanya diberikan kepada orang-orang yang berhak saja, maka tidak mengapa.

4. Para Muallaf yang Hatinya Lemah.

Mereka adalah orang-orang yang hatinya masih lemah, sehingga perlu untuk dibujuk agar ketertarikannya terhadap Islam semakin kuat. Seperti orang-orang yang baru masuk Islam, dia membutuhkan sesuatu yang dapat menguatkan imannya. Selain itu, juga untuk mengenalkan kepadanya bahwa agama Islam adalah agama yang menjunjung tali silaturahmi dan persatuan.

Oleh kerana itu, untuk membujuk dan mengutamakan keimanannya, kita berikan zakat kepadanya untuk menyelamatkan kejahatannya dan menghilangkan rasa kebencian dan permusuhan di hatinya terhadap orang-orang muslim.

Para ulama berbeda pendapat apakah disyaratkan orang yang dibujuk hatinya adalah orang yang berpengaruh dan memiliki kemuliaan kepada kaumnya saja atau tidak disyaratkan seperti itu?

Jawabnya: Tidak disyaratkan. Bahkan, jika kamu hanya memberikan zakatmu kepada seorang muallaf saja untuk membujuknya kepada Islam, itu sudah cukup.

Adapun jika kamu memberikan zakat kepada seseorang untuk menghentikan kejahatannya, ini tidak boleh. kerana perkara yang menimpa seseorang harus diserahkan kepada penguasa -pemerintah- dan penguasalah yang mengambilkan hakmu yang telah dirampas oleh penjahat tersebut.

5. Para Budak.

Para ulama menjelaskan firman Allah Ta'ala: “Untuk (memerdekakan) budak.” bahwa dalam hal ini mencakup tiga hal:

1) Kamu membeli budak dan memerdekakannya dari harta zakat.

2) Kamu membantu budak untuk membeli dirinya dari tuannya.

3) Kamu membebaskan tawanan muslim yang berada di bawah kekuasaan orang-orang kafir, atau seorang muslim yang diculik oleh orang-orang zhalim dan mereka tidak mahu melepaskannya kecuali dengan tebusan, maka dalam hal ini boleh ditebus dengan harta dari zakat.

6. Orang-orang yang berhutang (Gharim)

Gharim adalah orang yang mempunyai tanggungan hutang yang banyak sehingga ia tidak sanggup untuk membayarnya. Atau orang yang menanggung hutang demi kemaslahatan umum walaupun ia mampu membayarnya. Kerananya, para ulama membagi gharim menjadi dua macam:

1) Orang yang berhutang untuk orang lain.

2) Orang yang berhutang untuk dirinya sendiri.

Orang yang berhutang untuk orang lain, misalnya seseorang yang berhutang untuk mendamaikan dua kelompok yang berseteru. Seperti ada dua kabilah yang berselisih, lalu ada seorang yang mendamaikan kedua kelompok itu dengan membayarkan sejumlah uang yang dijadikan syarat dalam perdamaian itu, dan dia siap menanggungnya. Di sini, orang itu menjadi berhutang, tetapi bukan untuk kepentingan dirinya sendiri, melainkan untuk kemaslahatan umum, yaitu mendamaikan dua kelompok.

Para ulama berpendapat, bahwa orang itu harus diberi zakat untuk membebaskan hutangnya meskipun dia orang kaya, kerana hutang ini bukan untuk dirinya tetapi untuk kemaslahatan orang lain.

Misalnya, jika seseorang mempunyai uang 100.000 riyal, lalu dia mendamaikan dua kabilah yang bersengketa dengan 10.000 riyal, dia mampu melakukan semua itu dari uangnya sendiri, apakah hal itu patut untuk dilakukan?

Menurut kami, tidak patut dilakukan. Tetapi kita harus berikan zakat kepadanya sebagai ganti uang yang dia keluarkan untuk mendamaikan kedua kelompok itu, kerana dia melakukan tindakan itu demi kemaslahatan orang lain, dan terbukalah pintu perdamaian antara manusia. Kerana, jika kita tidak membantu orang ini dan tidak mengganti hutangnya, tentu orang akan bermalas-malasan untuk mendamaikan antara kelompok yang saling bertikai dan bermusuhan.

Adapun jenis kedua: yaitu orang yang berhutang untuk dirinya sendiri. Seperti orang yang menyewa rumah dengan harga 5000 riyal dan dia tidak mendapatkan uang untuk membayar sewa tersebut. Uang yang dimilikinya hanya cukup untuk makan, minum dan pakaian saja, tetapi dia membutuhkan uang untuk melunasi hutang sewa rumah yang harus di bayar. Maka kita beri orang ini biayai sewa rumah dari zakat, kerana ia termasuk orang yang berhak mendapatkan zakat kerana berhutang.

Demikian juga orang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya sehingga membutuhkan harta dan bantuan, seperti kebakaran, kebanjiran dan sebagainya yang menyebabkan dia berhutang. Maka kita memberikan harta dari zakat untuk melunasi hutang dan kebutuhannya, kerana ia tidak mampu membayarnya.

Pada jenis kedua ini, disyaratkan bahwa orang yang berhutang adalah orang yang tidak mampu membayar hutang. Jika dia mampu, maka tidak diberi zakat. Akan tetapi, bolehkah seseorang pergi kepada orang yang berhutang secara langsung dan berkata kepadanya, “Saya membayarkan hutang si fulan dengan zakatku?”

Jawabnya: Boleh, dan tidak disyaratkan bahwa zakat itu harus diberikan langsung kepada orang yang berhutang untuk dibayarkan kepada orang yang menghutangi, kerana tujuannya adalah pembebasan tanggungjawab (hutangnya) dan itu bisa terjadi, baik diberitahukan maupun tidak diberitahukan.

Renungkanlah firman Allah Ta'ala:
۞إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ۞
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” 
(QS. At-Taubah: 9: 60)

Ketiga kelompok itu -dalam ayat- diathafkan kepada kata Lil Fuqara' dengan huruf lam, sedang kata Ar-Riqaab tidak menggunakan huruf lam, melainkan menggunakan huruf fi. Dan tidak dikatakan Wa Lir Riqaab, tetapi Wa Fir Riqaab yang menunjukkan zharfiyah (tempat). Yakni, jika kamu ingin membagikan zakat untuk orang seperti ini, maka boleh memberikannya langsung kepada orang yang menghutangi tanpa diberikan kepada orang yang berhutang. Kerana kata Al-Gharinin diathafkan dengan kata Wa Fir Riqab yang berarti masuk di dalam hukum huruf fi, yakni Wa Fil Ghaarimin.

Jika ada yang mengatakan, “Mana yang lebih baik, aku pergi langsung kepada orang yang memberi hutang dan membayarkan kepadanya, ataukah memberikan kepada orang yang berhutang agar ia dapat melunasi sendiri?”

Jawabnya: Dalam hal ini perlu perincian.

Jika kamu khawatir uang yang kamu berikan kepada orang yang berhutang itu tidak dibayarkan kepada orang yang menghutangi, tetapi ia gunakan untuk makan dan hutangnya masih tetap utuh, maka jangan kamu berikan kepada orang yang berhutang, tetapi langsung kamu berikan kepada orang yang menghutangi.

Adapun jika orang yang berhutang ini adalah orang yang berakal dan agamanya bagus sehingga tidak mungkin meninggalkan tanggung jawab, dan menurutmu jika kamu berikan uang itu kepadanya, dia akan langsung pergi ke tempat orang yang menghutanginya dan membayar hutangnya, maka berikan uang itu kepadanya, seraya mengatakan, “Ambillah uang ini dan lunasilah hutangmu sendiri.” Kerana hal ini lebih menutupi aibnya dan lebih baik baginya. Akan tetapi dalam memberikan zakat, wajib untuk waspada dari rekayasa beberapa orang.

Ada sebagian orang yang datang kepadamu dengan mengajukan proposal untuk membayar hutang orang yang sudah meninggal dunia. Setelah diberi, ternyata uang itu tidak dibayarkan, dan pada tahun berikutnya ia mengajukan proposal yang sama. Maka, berhati-hatilah dengan kasus semacam ini, kerana ada sebagian orang tidak memperdulikan lagi mana uang yang halal dan mana yang haram, yang penting adalah mendapatkan uang.

Ada juga seseorang yang mengadu bahwa dia berhutang kepada si Fulan, tetapi setelah dikonfirmasi kepada orang yang menghutangi, ternyata dia telah melunasi hutangnya. 

Jika seseorang telah berhati-hati semampunya, tetapi ternyata masih juga keliru dalam membagikan zakat kepada orang yang tidak berhak menerimanya, dan hal itu ia ketahui setelah zakat itu diberikan, maka telah gugur kewajibannya. Ini merupakan nikmat dari Allah.

7. Orang yang berjuang di jalan Allah.

Jihad di jalan Allah adalah berperang untuk meninggikan kalimat Allah. Itulah batasan yang dibuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika baginda ditanya tentang orang yang berperang agar dikatakan pemberani untuk mempertahankan diri, dan supaya dilihat piawai dalam berperang. Maka, siapakah di antara mereka yang berjuang di jalan Allah? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Barangsiapa yang berperang untuk meninggikan kalimat Allah, dialah orang yang berjuang di jalan Allah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 120, 2599. Muslim no. 1904]

Masalah ini telah kami bicarakan pada bab terdahulu. 

Perlu diingat, bahwa boleh membunuh orang muslim yang zhalim jika seorang muslim itu dalam pertempuran. Jika ada yang mengatakan bagaimana jika ia dipaksa?

Jawabnya: Sesungguhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Tatkala kaum muslim berperang melawan pasukan Tartar, kaum muslim memerangi orang zhalim walaupun mereka muslim dan mereka dipaksa. Jika mereka benar-benar dipaksa, maka mereka mendapatkan pahala mati syahid kerana mereka dipaksa secara zhalim oleh orang-orang yang memaksa mereka. Kerana kezhaliman ada pada orang yang memaksa mereka.”

Namun, jika mereka tidak jujur (tidak dipaksa), tetapi diberi pilihan, maka mereka mendapatkan pahala atau siksa sesuai dengan pilihannya sendiri. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, dalam hal ini tidak diketahui mana yang dipaksa dan mana yang tidak dipaksa, kerana tempatnya ada di hati. Maka, seorang yang dipaksa pun harus diperangi untuk mendapatkan hak, sedangkan perhitungannya diserahkan kepada Allah.”

Benar, jika setelah ditawan diketahui bahwa dia adalah muslim, maka ini tidak boleh dibunuh, namun jika berada di medan perang boleh dibunuh. Masalah ini telah disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitab Al-Fatawa dalam bab Jihad Juz 28 halaman 544-553.

Kesimpulannya, bahwa orang yang berperang untuk menjaga hartanya atau rumahnya, maka ia termasuk berjuang di jalan Allah. Adapun orang yang berperang untuk mempertahankan negaranya, bisa dilihat dari dua sisi:

Jika dia mempertahankan negara kerana negara itu negara Islam dan di dalamnya banyak penduduk yang beragama Islam, maka tidak diragukan lagi bahwa ia berjuang di jalan Allah.

Adapun jika ia menjaga negeri tersebut kerana ia tidak ingin kehilangan negerinya sebagaimana ia tidak ingin kehilangan hartanya, jika terbunuh ia termasuk mati syahid. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan perangilah dia, dan jika orang yang memerangi itu terbunuh maka dia masuk ke dalam neraka.”

Firman Allah Ta'ala, “Orang yang berjuang di jalan Allah.” (QS. At-Taubah: 9: 60) mencakup memberikan zakat kepada para mujahidin itu sendiri dan pembelian senjata untuk mereka.

Membeli senjata dari uang zakat itu dibolehkan kerana untuk berjihad di jalan Allah. Para ahli ilmu berkata, “Di antaranya adalah diberikan kepada orang yang mencari ilmu walaupun sebenarnya ia mampu bekerja, kerana ia berkonsentrasi menuntut ilmu dan tidak sempat bekerja, maka dia berhak untuk diberi zakat sebesar kebutuhannya, kerana menuntut ilmu itu termasuk berjihad di jalan Allah. Adapun orang yang mengasingkan diri untuk beribadah tidak diberikan zakat, tetapi kita katakan kepadanya, “Bekerjalah.” Dengan demikian kita ketahui keutamaan ilmu dari ibadah.”

Jika datang kepada kita dua orang , salah satunya orang shalih dan ia berkata, “Aku mampu untuk bekerja, tetapi aku ingin berkonsentrasi -mengasingkan diri- untuk beribadah, shalat, berpuasa, berdzikir dan membaca Al-Qur'an, maka berikanlah kepadaku zakat sehingga aku bebas dari bekerja.” 

Kami katakan kepadanya, “Kami tidak akan memberimu apa-apa, tetapi bekerjalah.”

Seorang lagi berkata, “Aku ingin mengonsentrasikan diri untuk menuntut ilmu, tetapi jika bekerja, aku tidak dapat menuntut ilmu, maka berilah aku uang yang dapat mencukupi aku agar aku dapat berkonsentrasi menuntut ilmu.”

Maka kami katakan, “Selamat datang, kami akan mencukupi kebutuhanmu untuk menuntut ilmu.”

8. Ibnu Sabil.

Ini adalah kelompok kedelapan dari orang-orang yang berhak menerima zakat. Yang dimaksud dengan Ibnu Sabil adalah orang yang berada dalam perjalanan (musafir) yang terputus di perjalanannya dan kehabisan bekal sehingga ia tidak mempunyai ongkos yang meneruskan perjalanannya menuju ke negerinya. Maka, ia berhak diberi zakat agar bisa sampai ke negerinya, walaupun sebenarnya ia adalah orang kaya. Kerana hal ini bukan berkenaan dengan fakir miskin, tetapi masalah biaya perjalanan untuk sampai ke negerinya.

Dinamakan Ibnu sabil kerana ia sedang berada dalam perjalanan. Seperti halnya istilah Ibnu Ma' untuk jenis burung yang sering berada di air yang dapat menyelam ke dalam air.

Inilah kedelapan kelompok yang berhak menerima zakat, dan tidak boleh hukumnya memberikan zakat kepada selain delapan golongan tersebut. Oleh kerana itu, tidak boleh memberikan zakat untuk membangun masjid, memperbaiki jalan, membangun madrasah dan kemaslahatan lainnya. Kerana Allah Ta'ala menyebutkan kedelapan kelompok ini dengan shighah (redaksi) yang dibatasi, sebagaimana dalam firman-Nya:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah.” 
(QS. At-Taubah: 9: 60)

Kata 'innamaa' itu mengandung faedah untuk membatasi, yaitu menetapkan hukum hanya pada sesuatu yang disebutkan dan menolak sesuatu yang lainnya. Jika kita katakan, bahwa boleh memberikan zakat kepada semua bentuk kebaikan, maka hilanglah faedah dalam pembatasan ini. Akan tetapi untuk membangun masjid, memperbaiki jalan, membangun madrasah dan sebagainya bisa dilakukan dengan cara yang lain, yakni melalui sedekah, hibah dan sebagainya.

Inilah rukun Islam ke tiga yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Jibril di dalam haditsnya yang panjang.

4. Puasa Ramadhan.

Bulan Ramadhan adalah bulan antara Sya'ban dan Syawal. Dinamakan bulan Ramadhan kerana pada awal pemberian nama bulan ini berada pada masa yang sangat panas, dalam istilah Arab disebut dengan ramdha', sehingga disebutlah dengan bulan Ramadhan. 

Ada juga yang mengatakan, kerana pada bulan Ramadhan, panasnya dosa dipadamkan, kerana dosa-dosa itu panas. Sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang berpuasa bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”

[Shahih Al-Bukhari no. 38. Muslim no. 760]

Yang jelas bahwa bulan Ramadhan telah diketahui oleh umat islam, kerana nama bulan ini telah disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an.” (QS. AI-Baqarah: 2: 185)

Allah tidak menyebutkan nama bulan lain di dalam Al-Qur'an selain bulan Ramadhan.

Berpuasa di bulan Ramadhan adalah salah satu rukun Islam, yang mana Islam tidak akan sempurna kecuali dengannya. Akan tetapi, tidak diwajibkan berpuasa Ramadhan kecuali orang-orang yang memenuhi syarat-syarat berikut:

1) Islam

2) Baligh

3) Berakal

4) Mampu

5) Mukim

6) Tidak berhalangan

Sehingga anak kecil, orang gila, orang kafir, orang yang lemah, orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) dan orang yang berhalangan tidak wajib berpuasa. 

Bagi orang yang lemah, dibagi menjadi dua bagian:

1) Jika kondisi lemah (sakit)nya itu diharapkan bisa sembuh, seperti sakit biasa, maka hendaklah ia berbuka dan mengqadhanya pada hari yang lain sesuai dengan jumlah hari yang ditinggalkan.

2) Jika kondisi lemah (sakit)nya tidak dapat diharapkan kesembuhannya, seperti orang jompo dan penyakit sakit yang tidak mungkin disembuhkan, maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin setiap hari.

Orang yang sedang berada dalam perjalanan (musafir) tidak wajib berpuasa, tetapi wajib mengqadhanya pada hari lain.

Orang yang berhalangan seperti perempuan yang haid dan nifas, keduanya tidak wajib berpuasa. Tetapi wajib mengqadhanya pada hari lain.

Berdasarkan jumlah harinya, puasa Ramadhan biasa dua puluh sembilan hari, bisa juga tiga puluh hari bergantung hasil ru'yah (pemantauan) hilal. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jika kamu melihat hilal maka berpuasalah, dan jika kamu melihat hilal maka berbukalah (hari raya). Lalu, jika mendung hingga kamu tidak bisa melihat hilal, maka sempurnakanlah jumlah puasamu menjadi tiga puluh hari.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1774]

Menyempurnakan bulan Sya'ban jika diawal bulan, dan menyempurnakan bulan Ramadhan jika terjadi diakhir bulan.

5. Melaksanakan Ibadah Haji.

Haji adalah menyengaja pergi ke baitullah untuk menunaikan manasik (ibadah) haji yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam kitab-Nya melalui lisan Rasul-Nya. 

Haji ke baitullah merupakan salah satu rukun Islam. Di antaranya manasik (ibadah) haji ini adalah umrah, dan Rasulullah menyebutnya haji kecil. Tetapi dalam menunaikan ibadah haji ada syarat-syaratnya, di antaranya:

1) Baligh

2) Berakal

3) Islam

4) Merdeka

5) Mampu

Jika salah satunya syaratnya tidak terpenuhi, maka tidak wajib hukumnya melaksanakan ibadah haji.

Jika kelemahan seseorang ada pada harta, maka tidak diwajibkan baginya untuk dirinya mahupun untuk diwakilkan kepada orang lain. Akan tetapi, jika kelemahan itu ada pada fisik (tubuh badan) dan dia masih bisa berharap penyakitnya itu bisa sembuh, maka dia harus menunggu sampai Allah menyembuhkan penyakitnya. Namun jika penyakit itu tidak bisa disembuhkan, seperti penyakit tua, maka dia harus mewakilkannya kepada orang lain yang bisa menghajikan untuknya. Kerana ada seseorang perempuan yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sesungguhnya ayahku telah terkena kewajiban untuk melaksanakan ibadah haji, akan tetapi dia sudah tua tidak mampu untuk melakukan perjalanan, apakah aku boleh menghajikannya?” 


Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya, boleh.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1417 dan Muslim no. 2375]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan perempuan itu untuk menghajikan ayahnya kerana dia menamakan haji itu dengan kebaikan, sementara ayahnya tidak bisa melaksanakannya, tetapi mampu dari segi harta. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Ya, boleh.”

Inilah lima rukun Islam.

Ketika dijelaskan tentang kelima rukun Islam itu, Jibril berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kamu benar.” Umar berkata, “Kami terheran-heran kepadanya, dia yang bertanya dan ia pula yang membenarkan jawabannya.” Kerana orang yang membenarkan perkataan orang lain, berarti ia mempunyai ilmu tentang hal itu.

Orang yang bertanya jika dijawab, dia berkata, “Aku paham,” tidak mengucapkan, “Kamu benar.” Akan tetapi Jibril ‘alaihissalam telah mengetahui tentang masalah itu, sehingga dia berkata, “Kamu benar.”

Setelah itu Jibril berkata, “Jelaskan kepadaku tentang iman.”

Iman itu tempatnya di dalam hati, dan Islam tempatnya ada pada anggota badan. Maka dari itu kami katakan bahwa Islam adalah amal yang bersifat lahir dan iman adalah masalah batin yang tempatnya ada di dalam hati.

Iman adalah keyakinan seseorang terhadap sesuatu dengan keyakinan yang kuat (pasti) yang tidak ada sedikit pun keraguan atau pemahaman yang lain di dalamnya. Seperti ia mempercayai adanya matahari di siang hari, yang tidak ada keraguan di dalamnya. Keimanan merupakan pengakuan yang pasti, tidak meragukan dan menerima sepenuhnya, yaitu menerima sepenuhnya apa yang disyariatkan Allah dan tunduk patuh kepada-Nya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Jibril, “Iman adalah kamu percaya kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir dan beriman dengan takdir yang baik dan yang buruk.” Inilah enam hal yang termasuk dalam rukun iman.

Rukun Iman.

1. Iman Kepada Allah.

Beriman kepada Allah, yakni beriman bahwa Allah Ta'ala itu ada, Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa. Dialah Tuhan semesta alam, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Nya, mempunyai kerajaan yang mutlak, pujian yang mutlak, dan hanya kepada-Nyalah segala urusan kembali. Allahlah yang paling berhak untuk disembah dan tidak ada seorang pun yang berhak untuk disembah selain Dia. Hanya kepada-Nya kita bertawakal, dan dari-Nyalah kemenangan dan taufik. Dialah yang memiliki sifat kesempurnaan yang tidak mungkin menyerupai sifat-sifat makhluk. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.”
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 11)

Jadi kamu harus beriman kepada wujud Allah, rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, serta nama dan sifat-Nya. Barangsiapa yang mengingkari wujud Allah, maka ia kafir dan kekal dalam neraka. Barangsiapa yang ragu-ragu dalam hal ini, maka ia juga kafir. Kerana seseorang itu harus beriman secara pasti bahwa Allah itu Maha Hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan ada. Barangsiapa yang ragu dalam rububiyah-Nya, maka ia juga kafir. Barangsiapa yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, maka ia kafir. Barangsiapa yang mengatakan, “Sesungguhnya para wali-lah yang mengatur alam semesta ini, merekalah yang menguasainya.” lalu, ia berdoa kepada mereka dan meminta bantuan kepada mereka serta meminta pertolongan kepada mereka, maka telah kafir kerana tidak beriman kepada Allah. Barangsiapa yang mempersembahkan ibadah kepada selain Allah, maka ia kafir kerana tidak beriman kepada keesaan Allah dan uluhiyah-Nya.

Barangsiapa yang bersujud kepada matahari, bulan, pohon, sungai, laut, gunung, malaikat, nabi atau para wali maka telah ia kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama, kerana ia mepersekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.

Demikian juga orang yang mengingkari dengan mendustakan apa yang disifatkan Allah kepada diri-Nya, maka dia kafir kerana telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. jika dia mengingkari salah satu sifat Allah dengan mendustakannya, maka dia kafir kerana ia mendustakan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Misalnya, jika ada orang yang mengatakan bahwa Allah tidak bersemayam di Arsy dan tidak turun ke langit dunia, maka ia kafir.

Namun, jika ia mengingkari sifat Allah dengan mentakwil, maka perlu dilihat apakah dalam pentakwilannya itu ada ruang untuk ijtihad atau tidak. Jika dalam penakwilannya itu ada ruang untuk ijtihad, maka ia tidak divonis kafir, tetapi dianggap fasik kerana keluar dari manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah. 

Adapun jika pentakwilannya tersebut pada hal-hal yang tidak ada ruang untuk ijtihad, maka pengingkarannya tersebut sama dengan mendustakan, sehingga ia bisa dikategorikan sebagai kafir. Naudzubillah, itulah keimanan kepada Allah Ta'ala.

Jika kamu beriman kepada Allah dengan cara seperti ini, pasti kamu akan menaati-Nya, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya. Kerana orang yang beriman kepada Allah dengan cara yang benar, pasti ada dalam hatinya pengagungan kepada Allah secara mutlak. Dan pasti juga terdapat dalam hatinya kecintaan kepada Allah secara mutlak. Ketika ia mencintai Allah dengan cinta yang mutlak yang tidak disamai oleh kecintaan apapun selain-Nya, serta mengagungkan Allah dengan pengagungan yang mutlak, yang tidak disamai oleh pengagungan apapun, maka dia akan menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Demikan juga, masuk dalam kategori beriman kepada Allah adalah bahwa kamu harus beriman bahwa Allah berada di atas segala sesuatu dan Dia bersemayam di Arsy-Nya. Sedang Arsy itu berada di atas semua makhluk-Nya dan merupakan makhluk yang paling besar yang kami diketahui, kerana telah diriwayatkan dalam atsar, “Sesungguhnya tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi jika dibandingkan Kursi (singgasana) seperti benda kecil yang dilemparkan di tanah yang lapang.” Maka, berhati-hatilah.

Lemparkanlah bola di atas tanah yang lapang, dan lihatlah besarnya bola itu bila dibandingkan dengan luasnya tanah lapang itu, apa gerangan yang terjadi?

Jawabnya; “Tidak ada apa-apanya.” Kelanjutan hadits ini mengatakan, “Sesungguhnya keutamaan Arsy atas kursi itu, seperti keutamaan tanah yang lapang atas benda kecil tersebut.”

[Al-Allamah. Syaikh Al-Albani mensahihkan hadits ini, dan ada beberapa hadits (syawadid) yang menjadi pendukungnya]

Jadi Kursi itu bila dibandingkan dengan Arsy, seperti benda kecil yang dilemparkan di atas tanah yang lapang. Maka renungkanlah betapa besarnya Arsy tersebut! 

Maka dari itu Allah menyifati Arsy dengan keagungan, seperti yang difirmankan oleh-Nya,

“Tuhan yang memiliki 'Arsy (singgasana) yang agung.” (QS. At-Taubâh: 9: 129)

“Yang memiliki 'Arsy, lagi Maha Mulia.”
(QS. Al-Burûj: 85: 15)

Maka, Allah menyifati Arsy dengan kemuliaan, keagungan dan kehormatan. 

Di atas Arsy inilah Allah Ta'ala bersemayam. Maka Allah berada di atas Arsy, dan Arsy di atas semua makhluk-Nya. Kursi saja kecil dibanding Arsy, seluas langit dan bumi, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Kursi-Nya meliputi langit dan bumi.
(QS. Al-Baqarah: 2: 255)

Kamu wajib beriman bahwa Allah berada di atas segala sesuatu, dan segala sesuatu itu jika dibandingkan dengan Allah tidak ada apa-apanya. Allah terlalu mulia dan terlalu agung untuk dipahami dan diketahui oleh akal pikiran. Bahkan, jika mata manusia bisa melihat Allah Ta'ala. Orang-orang mukmin kelak di surga akan melihat Allah. Akan tetapi, mereka tidak bisa mencapai dan mengetahui-Nya secara mendetail, seperti tersebut dalam firman Allah Ta'ala,


“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.”
(QS. An-An'âm: 6: 103)

Keadaan Allah terlalu agung dan terlalu besar untuk diketahui manusia, maka kita harus beriman kepada Allah dalam keagungan-Nya ini, sehingga wajib menyembah-Nya dengan penyembahan yang sesungguhnya. 

Di antara bukti keimanan kepada Allah adalah percaya bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu-nya, dan bahwa Allah mengetahui mata yang berkhianat, mengetahui apa yang disembunyikan di dalam hati, dan mengetahui apa yang ada langit dan bumi baik itu yang sedikit atau yang banyak, dan yang besar maupun kecil.

Allah Ta'ala berfirman:

“Bagi Allah tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi di bumi dan di langit.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 5)

Begitu juga, hendaklah kamu percaya bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Jika Allah menghendaki sesuatu, maka Dia cukup berkata, “Jadi” maka jadilah sesuatu walaupun hanya dengan perintah. Lihatlah bagaimana penciptaan manusia dan kebangkitannya.

Jumlah manusia ini jutaan, dan tidak ada yang dapat menghitungnya kecuali Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman,

“Menciptakan dan membangkitkan kamu (bagi Allah) hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja (mudah).”
(QS. Luqmân: 31: 28)

Setiap makhluk diciptakan dan dibangkitkan oleh Allah seperti menciptakan dan membangkitkan jiwa yang satu. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka seketika itu mereka hidup kembali di bumi (yang baru).” (QS. An-Nâzi'ât: 79: 14)

Kamu juga bisa menyaksikan bagaimana tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang tertidur, sesungguhnya Allah telah mewafatkannya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan Dialah yang menidurkan kamu pada malam hari.” (QS. Al-An'am: 6: 60)

Akan tetapi, bukanlah kematian yang sempurna, yang berpisah antara ruh dan jasad dengan perpisahan yang sempurna. Namun, perpisahan yang masih memiliki keterkaitan dengan badan. Kemudian Allah membangkitkan seseorang dari tidurnya seakan-akan ia merasa bahwa ia hidup kembali. Akan tetapi, pengaruh nikmat ini terasa sebelum adanya lampu listrik. Dahulu, ketika malam tiba, manusia merasa berada di kegelapan malam yang menakutkan. Dan ketika subuh -fajar- tiba, mereka merasakan adanya sinar cahaya pagi dan hati mereka pun menjadi lega. Mereka merasakan nikmat kerana malam telah berlalu dan siang pun tiba.

Adapun zaman sekarang, kondisi malam sudah seperti siang, sehingga tidak begitu terasa nikmatnya pagi hari -kerana baik siang maupun malam keadaannya sama-sama terang- Namun demikian, jika seseorang terbangun dari tidurnya seakan-akan ia terbangun untuk kehidupan yang baru. Ini adalah rahmat Allah dan hikmah-Nya.

Kita juga percaya bahwa Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Mendengar semua apa yang kita katakan walaupun kita samarkan.

Allah Ta'ala berfirman:

“Ataukah mereka mengira bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisik-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan Kami (malaikat) selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 43: 80)

Di ayat lain Allah berfirman, “Dia mengetahui rahasia dan yang tersembunyi.” 
(QS. Thâhâ: 20: 7) Yakni, lebih tersembunyi dari rahasia, yaitu apa yang ada di dalam hati manusia, sebagaimana juga Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya.” 
(QS. Qâf: 50: 16) Yakni, apa yang terbesit dalam hatimu maka Allah akan mengetahuinya, walaupun belum kamu tampakkan pada manusia.

Sesungguhnya Allah Ta'ala Maha Melihat. Dia Melihat semut kecil hitam yang berjalan di atas pasir di kegelapan malam. Tidak ada sesuatu pun yang samar oleh-Nya. Jika kamu beriman dengan ilmu Allah, kekuasaan-Nya, penglihatan-Nya dan pendengaran-Nya, maka kamu harus selalu merasa diawasi oleh-Nya. Sehingga kamu tidak mendengar sesuatu kecuali yang diridhai Allah dan tidak melakukan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Kerana jika kamu berbicara, maka Allah akan mendengarmu, dan jika kamu berbuat sesuatu maka Allah akan melihatmu. Maka kamu akan merasa takut kepada Allah, merasa takut kepada Allah yang melihatmu ketika melakukan apa yang telah dilarang untukmu, atau kamu meninggalkan apa yang telah diperintahkan kepadamu. Demikian juga kamu akan merasa takut kepada Tuhanmu untuk memperdengarkan kepada-Nya apa tidak ridhai-Nya dan kamu meninggalkan apa yang diperintahkan kepadamu.

Demikian juga, jika kamu beriman dengan kekuasaan Allah, maka kamu akan meminta kepada-Nya segala apa yang kamu inginkan dengan doa menunjukkan tidak adanya permusuhan di dalamnya, dan janganlah kamu katakan bahwa ini jauh dan tidak mungkin! Sebab, segala sesuatu itu mungkin di hadapan kekuasaan Allah.

Sebagai contoh, ketika Nabi Musa 'alaihissalam sampai ke Laut Merah tatkala melarikan diri dari kejaran Fir'aun dan bala tenteranya. Maka, Allah memerintahkan kepadanya untuk memukulkan tongkatnya ke laut. Maka, dia pun memukulkannya sehingga terbelah lautan itu menjadi dua belas jalan, sedangkan air di antara jalan-jalan ini seperti gunung yang menjulang tinggi. Dalam sekejap, air laut itu mengering dan mereka dapat berjalan di atasnya seakan-akan mereka berjalan di atas padang pasir yang tidak terkena air sama sekali. Ini semua terjadi kerana kekuasaan Allah Ta'ala.

Kemudian juga disebutkan, bahwa Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu anhu ketika menaklukkan negeri Persia dan sampai di pinggir sungai Dajlah yang terkenal di Irak. Maka menyeberanglah orang-orang Persia di sungai tersebut ke arah timur dan mereka menghancurkan jambatan, mereka menenggelamkan kapal-kapal supaya orang-orang Islam tidak bisa menggunakannya untuk menyeberang mengejar mereka. Lalu Sa'ad bin Abi Waqqash bermusyawarah dengan para sahabatnya, dan akhirnya dia memutuskan untuk menyeberangi sungai itu. Maka mereka pun menyeberangi sungai dengan kuda, unta dan kaki-kaki mereka dengan tidak sedikitpun terkena air -tidak mengalami kesulitan-.

Maka, siapakah yang telah menguasai laut itu sehingga berubah seperti bebatuan yang keras hingga dapat dilalui oleh para pasukan Islam dan mereka tidak tenggelam? Dialah Allah Ta'ala Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Hal seperti ini juga terjadi pada Ala' bin Al-Hadhrami radhiyallahu anhu ketika beliau memerangi kaum Bahrian. Ketika mereka berhadapan dengan laut, mereka berdoa kepada Allah Ta'ala. Lalu mereka menyeberang di atas permukaan air dengan tanpa sedikit pun kesulitan.

Tanda-tanda kekuasaan Allah itu banyak sekali. Segala sesuatu yang dikabarkan oleh Allah dalam kitab-Nya, dan dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau kejadian luar biasa yang disaksikan oleh manusia, maka mengimaninya termasuk beriman kepada Allah, kerana ini beriman dengan kekuasaan Allah.

Di antara bentuk iman kepada Allah Ta'ala adalah kamu mengetahui bahwa Allah melihatmu. Jika kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinlah bahwa Dia melihatmu. Masalah ini banyak sekali dilupakan orang-orang. Kamu saksikan banyak di antara orang-orang yang beribadah kepada Allah, tetapi dia menganggap bahwa ibadah merupakan suatu kebiasaan dan rutinitas saja, bukan melakukannya seakan-akan ia menyaksikan Allah. Maka ini merupakan kekurangan dalam iman dan amal.

Di antara tanda iman kepada Allah adalah percaya bahwa semua hukum hanyalah milik Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Hukum kauni (alam) mahupun syariat semuanya milik Allah. Tidak ada penguasa kecuali Allah. Di tangan-Nyalah segala sesuatu. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 26)

Maka, betapa banyak raja yang kekuasaannya dirampas pada waktu siang dan malam. Betapa banyak manusia biasa yang menjadi raja di waktu siang dan malam. semua itu terjadi kehendak Allah.

Betapa banyak orang mulia yang melihat bahwa dirinya merasa unggul dari semua orang, lalu menjadi orang yang paling hina dalam sekejap. Berapa banyak orang yang hina menjadi orang yang mulia dalam waktu sekejap! Semua itu kerana kekuasaan Allah, dan semua hukum ada di tangan-Nya.

Demikian juga hukum syariat itu milik Allah, bukan milik manusia. Maka, Allah-lah yang menghalalkan, mengharamkan dan yang mewajibkan. Tidak ada hak bagi seorang hamba pun atas hal ini.

Kewajiban, kehalalan, keharaman, semua milik Allah. Maka dari itu, Allah melarang hamba-Nya untuk menyifati sesuatu dengan halal atau haram tanpa seizin-Nya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram,” untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan mereka akan mendapat adzab yang pedih.” (QS. An-Nahl: 116-117)

Maka kesimpulannya, bahwa beriman kepada Allah pintunya yang sangat luas sekali. Ketika seseorang ingin berbicara dalam masalah ini, pastilah ia membutuhkan waktu berhari-hari. Akan tetapi, bahasa isyarat tidak perlu untuk diungkapkan dengan bahasa yang panjang lebar.

Kedua: Iman kepada Malaikat-Malaikat Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan para malaikat-Nya.”

Malaikat itu adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah dari cahaya dan Allah menjadikan setiap dari mereka tugas-tugas khusus untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah kepadanya.

Allah Ta'ala berfirman tentang malaikat penjaga neraka,

“Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(QS. At-Tahrím: 66: 6)

Mereka tidak merasa berat dalam menjalankan perintah Allah dan tidak merasa tidak mampu. Mereka mengerjakan apa yang diperintahkan dan mampu melaksanakannya, berbeda dengan manusia.

Manusia kadang merasa berat dalam menjalankan perintah, dan terkadang merasa tidak mampu melaksanakannya. Adapun para malaikat diciptakan untuk melaksanakan perintah Allah, baik untuk ibadah yang berhubung dengan mereka sendiri atau demi untuk kemaslahatan makhluk.

Misalnya malaikat Jibril, ia adalah malaikat yang paling mulia. Ia ditugaskan untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada para rasul dan para nabi. Maka ia diberi tugas yang paling mulia dan bermanfaat bagi manusia. Di samping itu, ia mempunyai kekuatan, dapat dipercaya, dan ditaati oleh seluruh malaikat. Oleh kerana itu, ia adalah malaikat yang paling mulia.

Sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda adalah seorang rasul yang paling mulia. 

Allah Ta'ala berfirman:

Yang diajarkan kepada oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa). Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.” (QS. An-Najm: 53: 5-7)

Yakni, dia -Jibril- mengajarkan Al-Qur'an kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sya
did Al Quwa artinya orang yang memiliki kekuatan yang dahsyat, yakni Jibril 'alaihissalam. Dzu mirratin yakni mempunyai akal yang cerdas. Istawa artinya sempurna dan tinggi di atas ufuk yang tinggi.

Alah Ta'ala berfirman:

Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), yang memiliki kekuatan, memiliki kedudukan tinggi di sisi (Allah) yang memiliki 'Asry, yang di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya.”
(QS. At-Takwîr: 81: 19-21)

Di antara mereka ada yang diberi tugas untuk kemaslahatan manusia dari segi lain dalam kehidupan di bumi dan tumbuh-tumbuhan seperti Mikail. Mikail diperintahkan untuk menurunkan hujan dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan Kerana dalam kedua itulah terdapat kehidupan bagi badan, manusia dan hewan.

Pertama; Malaikat Jibril diberi tugas untuk memberikan santapan rohani -hati-, yaitu wahyu.

Kedua; Malaikat Mikail diberi tugas untuk memberikan makanan bagi badan, yaitu menurunkan hujan dan menumbuhkan tumbuhan.

Ketiga; Malaikat Israfil, diberi tugas untuk menyangga Arsy yang agung dan meniup sangkakala, yaitu tunduk sangat besar yang panjangnya antara langit dan bumi. Jika manusia mendengar suara sangkakala ini, maka mereka tidak akan tahan dengan kerasnya suaranya yang mengagetkan, sehingga mereka pingsan dan mati kerana sangat kerasnya suara ini.

Kemudian Israfil meniup sangkakala sekali lagi, maka manusia bangkit melihat ruh-ruh beterbangan dari tanduk ini, kemudian kembalilah ruh-ruh itu ke dalam badan yang pernah dihinggapi sewaktu di dunia. Atas perintah Allah, tidak ada satu pun ruh yang salah masuk ke badan lain.

Inilah ketiga malaikat yang diberi tugas yang berkaitan dengan kehidupan. 

Maka Jibril diberi tugas untuk urusan kehidupan hati. Mikail diberi tugas untuk urusan yang berhubung dengan kehidupan tumbuhan dan bumi. Dan Israfil diberi tugas untuk urusan yang berhubungan dengan kehidupan badan.

Maka dari itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji Allah yang telah menciptakan ketiga malaikat ini dalam membaca pembukaan shalat tahajudnya. Dalam pembukaan shalatnya, baginda mengucapkan,

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ أَنْتَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Ya Allah Tuhan Jibril, Mikail dan Israfil, Yang menciptakan langit dan bumi, Yang mengetahui perkara ghaib dan alam nyata, Engkaulah yang menetapkan hukum pada masalah yang diperselisihkan hamba-Mu, berilah aku petunjuk untuk mendapatkan kebenaran dalam masalah yang diperselisihkan dengan izin-Mu, sesungguhnya Engkau memberi petunjuk orang yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.”

[Shahih Muslim no. 770 dari hadits Aisyah]

Sebagai ganti dari bacaan,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ

“Maha Suci Engkau, Ya Allah dengan segala puji bagi-Mu.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 3420 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4667]

Di antara mereka ada yang diberi tugas untuk mencabut nyawa, yaitu malaikat maut. Malaikat ini mempunyai banyak pembantu dalam menjalankan tugasnya. Mereka turun dengan membawa kain kafan dan wewangian bagi ruh yang keluar jasad orang yang beriman -Semoga Allah menjadikan kita termasuk di dalamnya-, sesungguhnya mereka turun dengan membawa kain kafan dan wewangian dari surga.

Sebaliknya, jika ruh itu adalah ruhnya penghuni neraka, maka mereka akan turun dengan membawa kain kafan dan obat pengawet dari api neraka. Kemudian mereka duduk di samping orang yang sekarat -tiba ajalnya- dan mengeluarkan ruhnya hingga sampai tenggorokan. Jika ruhnya sudah sampai tenggorokan, maka malaikat maut mengeluarkannya kemudian meletakkannya pada kain kafan dan pengawet dari api neraka tersebut.

Malaikat mengafani dan memberi wewangian kepada ruh, sedang manusia memberi wewangian dan mengafani pada jasad. Lihatlah bagaimana perhatian Allah kepada bani Adam!

Para malaikat mengafani ruh orang yang sudah mati, sedang manusia mengafani pada badannya. Maka dari itu Allah berfirman,

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ

“Sehingga apabila kematian datang kepada salah seorang di antara kamu, malaikat-malaikat Kami mencabut nyawanya dan mereka tidak melalaikan tugasnya.” (QS. Al-An'am: 6: 61) La Yufarrithun, yakni mereka tidak lalai dalam menjaga dan merawatnya.

Malaikat maut diberi kemampuan oleh Allah untuk mengambil ruh-ruh baik di timur maupun di barat bumi, walaupun mereka mati dalam waktu yang sama. Jangan heran, kerana malaikat tidak bisa dianalogikan dengan manusia. Allah telah memberikan kekuatan kepada mereka, yang lebih besar dari kekuatan jin. Sementara jin lebih kuat dari manusia dan malaikat lebih kuat dari jin.

Lihatlah kisah tentang Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dia (Sulaiman) berkata, “Wahai para pembesar! Siapakah di antara kamu yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku menyerahkan diri?” Ifrit dalam golongan jin berkata, “Akulah yang akan membawanya kepadamu sebelum engkau berdiri dari tempat dudukmu; dan sungguh, aku kuat melakukannya dan dapat dipercaya.” (QS. An-Naml: 27: 38-39)

Di mana tempat singgasana itu?

Jawabnya; di Yaman, sedangkan Nabi Sulaiman 'alaihissalam berada di Syam. Padahal jarak antara Yaman dan Syam bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama satu bulan. Biasanya Nabi Sulaiman berdiri dari tempat duduknya pada jam-jam tertentu.

Kemudian, Allah melanjutkan kisah Nabi Sulaiman dalam firman-Nya,

“Seorang yang mempunyai ilmu dari Kitab berkata, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (QS. An-Naml: 27: 40)

Dengan demikian, yang kedua ini lebih cepat dari yang pertama.

Para ulama berbeda pendapat bahwa seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab itu berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yang mulia, lalu malaikat Arsy membawanya dari Yaman ke Syam dalam sekejap. Dengan demikian, malaikat lebih kuat dari jin.

Maka jangan heran jika ada orang yang meninggal dunia di wilayah timur dan barat pada waktu yang bersamaan, dan jangan heran jika ruh mereka hanya dicabut oleh satu malaikat saja, sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala,

“Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu, kemudian kepada Tuhanmu, kamu akan dikembalikan.” (QS. As-Sajdah: 32: 11)

Jika Allah berfirman kepada malaikat, “Ambillah ruh setiap orang yang mati.” Mungkinlah malaikat itu mengatakan tidak!

Tentu tidak mungkin, kerana mereka tidak akan melanggar apa yang diperintahkan Allah kepada mereka. Maka dari itu, ketika Allah berfirman kepada Al-Qalam (pena), “Tulislah apa yang akan terjadi sampai hari kiamat.”

Pena adalah benda mati, tetapi ia menulis ataukah tidak?

Jawabnya; ia akan menulis apa yang akan terjadi hingga kiamat. Allah Ta'ala jika memerintahkan suatu perintah, tidak mungkin dilanggar perintah-Nya, kecuali oleh jin atau manusia yang membangkang. Adapun malaikat tidak pernah melanggar perintah sama sekali.

Kelima; Malaikat Malik yang diberi tugas menjaga neraka. Allah telah menyebutkan tentang penghuni neraka dalam firman-Nya,

“Dan mereka berseru, “Wahai (Malaikat) Malik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.” Dia menjawab, “Sungguh, kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (QS. Az-Zukhruf: 43: 77)

Apa yang dimaksud dengan mematikan kami?

Jawabnya; agar mematikan membinasakan kita dari keadaan kita sekarang.

Malik menjawab, “Sesungguhnya kamu akan tetap tinggal di dalam neraka itu.”

Keenam; Malaikat penjaga surga. Diriwayatkan dalam beberapa hadits bahwa namanya adalah Ridwan yang bertugas menjaga surga, sebagaimana malaikat Malik diberi tugas menjaga neraka.

Malaikat yang kita ketahui namanya maka kita beriman dengan namanya itu. Dan yang tidak kita ketahui namanya, maka kita mengimaninya secara umum. Kita mengimani tugasnya yang kita ketahui, mengimani sifatnya dan segala informasi yang Al-Qur'an dan Hadits tentang sifat-sifat malaikat ini.

Kita katakan, bahwa malaikat adalah makhluk ghaib, mungkinkah mereka bisa dilihat?

Jawabnya; Ya, terkadang malaikat itu bisa dilihat, baik dalam bentuk aslinya mahupun dalam bentuk yang menyerupai orang yang dikehendaki Allah.

Maka, Jibril pernah dilihat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk aslinya di bumi dan di Sidratil Muntaha. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha.” 
(QS. An-Najm: 53: 13-14)

Apakah kalian tahu, bagaimana malaikat yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lihat?

Jawabnya; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat malaikat -dalam bentuk- memiliki enam ratus sayap yang memenuhi seluruh ruang angkasa dan tidak ada yang mengetahui besarnya sayap-sayapnya itu.

Inilah bentuk Jibril yang dilihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebanyak dua kali. Terkadang Jibril juga menampakkan dirinya di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk manusia, sebagaimana yang diceritakan dalam hadits Umar tentang kisah Jibril. Jibril datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bentuk seseorang yang sangat hitam rambutnya, berpakaian putih, tidak terlihat bekas melakukan perjalanan, dan tidak ada para sahabat yang mengenalnya. Allah Yang Mahakuasa telah memberikan kemampuan kepada mereka untuk berubah bentuk seperti manusia, baik atas pilihan atau kehendak. Allah menyuruh mereka untuk berubah bentuk seperti itu.

Itulah keadaan para malaikat dan perinciannya tentang riwayat mereka yang disebutkan dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.

Tetapi, kita harus beriman kepada para malaikat, bahwa mereka adalah makhluk yang kuat dan perkasa. Allah berfirman tentang mereka dalam perang Badar,

“Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” Kelak akan Aku berikan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka pukullah di atas leher mereka dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka.” (QS. Al-Anfâl: 8: 12)

Para malaikat itu berperang bersama para sahabat dalam perang Badar, maka terlihatlah orang-orang kafir berjatuhan tersayat oleh pedang di kepala mereka, tanpa diketahui siapa yang membunuh mereka, padahal yang membunuh mereka itu adalah para malaikat. Kerana Allah Ta'ala berfirman kepada mereka,

“Maka pukullah di atas leher mereka dan pukullah tiap-tiap ujung jari mereka.” (Ketentuan) yang demikian itu adalah kerana sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, sungguh, Allah sangat keras siksa-Nya.(QS. Al-Anfâl: 8: 12-13)

Kita harus beriman kepada para malaikat. Siapa di antara mereka yang kita ketahui secara rinci (detail), maka kita mengimaninya secara detail, dan jika tidak, kita mengimaninya secara global. Kita harus percaya bahwa mereka melaksanakan ibadah dan amal shalih sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Beriman kepada malaikat merupakan salah satu rukun iman yang enam. Barangsiapa yang menginkari dan mendustai mereka, atau berkata, “Sesungguhnya mereka itu tidak ada wujudnya.” atau berkata, “Sesungguhnya malaikat adalah dorongan untuk berbuat baik dan setan adalah dorongan untuk berbuat buruk.” Maka dia telah kafir yang mengeluarkannya dari agama, kerana ia mendustakan Allah, dan Rasul-Nya, dan ijma kaum muslimin.

Ada kaum yang sangat sesat, kerana mereka mengingkari adanya malaikat dan berkata, “Sesungguhnya malaikat itu adalah simbol kekuatan untuk berbuat baik, dan tidak ada yang namanya alam malaikat.”

Jika mereka mengatakan seperti itu kerana mentakwilkan, maka kita harus menjelaskan kepada mereka bahwa takwil ini adalah takwil yang salah, bahkan mengadakan perubahan makna. Namun, jika mereka mengatakan itu bukan kerana mentakwilkan, maka mereka itu kafir kerana mendustakan penjelasan Al-Qur'an, As-Sunnah dan kesepakatan umat tentang adanya malaikat. Allah Maha Kuasa untuk menciptakan suatu alam yang sempurna yang tidak bisa dijangkau manusia melalui panca indera. Misalnya, jin itu ada dan keberadaan mereka diakui. Namun demikian, indera kita tidak dapat menggapainya sebagaimana halnya menggapai benda-benda fisik yang tampak. Allah menciptakan makhluk dengan berbagai macam bentuknya.

Ketiga: Beriman kepada Kitab-kitab Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wa Kutubihi” (dan beriman kepada kitab-kitab-Nya).

Kata kutub adalah bentuk jamak dari kitab, artinya kitab yang telah Allah turunkan kepada rasul dan setiap rasul memiliki kitab, sebagaimana Allah berfirman,

“Allah yang menurunkan kitab (Al-Qur'an) dengan (membawa) kebenaran dan neraca (keadilan).” 
(QS. Asy-Syurâ: 42: 17)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.” 
(QS. Al-Hadîd: 57: 25)

Akan tetapi, di antara kitab-kitab itu ada yang kita ketahui dan ada yang tidak kita ketahui. 

Taurat adalah kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa, dan ini kita ketahui. Injil adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa, ini juga diketahui. Suhuf Nabi Ibrahim, Zabur kitab Nabi Dawud dan Suhuf Musa juga disebutkan dalam Al-Qur'an. Tetapi kita tidak mengetahuinya. 

Kitab-kitab yang disebutkan namanya dalam Al-Qur'an harus kita imani. Dan kitab yang tidak disebutkan namanya dalam Al-Qur'an harus kita imani secara global.

Maka kita percaya bahwa Allah telah menurunkan Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, Zabur kepada Dawud, Shuhuf kepada Ibrahim dan sebagainya.

Namun demikian, tidak berarti kitab injil yang ada pada orang-orang Nasrani sekarang adalah kitab injil yang diturunkan kepada Isa, kerana kitab Injil yang ada sekarang telah diubah, diganti dan dipermainkan oleh pendeta Nasrani. Mereka menambah, mengurangi dan mengubahnya.

Maka dari itu, kamu dapati kitab Injil Perjanjian Baru terdiri dari empat atau lima bagian. Padahal kitab yang diturunkan kepada Nabi Isa adalah satu bagian. Akan tetapi, Allah menjamin akan menjaga kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad kerana tidak ada Nabi setelahnya. Baginda menjelaskan kepada manusia apa yang benar dan apa yang diubah. Sedangkan kitab-kitab terdahulu tidak lepas dari adanya perubahan kerana nanti akan diutus Nabi-nabi lain yang menjelaskan perubahan yang ada pada kitab-kitab tersebut. Itulah rahasianya mengapa Allah menjaga Al-Qur'an dan tidak menjamin untuk menjaga kitab-kitab lainnya supaya manusia tahu bahwa mereka membutuhkan para nabi dan jika mereka mendapati kitab-kitab mereka diubah, maka akan datang nabi-nabi lain yang akan menjelaskan kebenaran.

Yang penting kita beriman bahwa kitab yang diturunkan kepada Nabi tertentu berasal dari Allah, tetapi bukan kitab yang ada di tangan para pengikutnya sekarang ini, kerana kitab-kitab itu sudah diubah, ditambah dan diganti.

Di antara bukti iman kita kepada kitab-kitab adalah; kita beriman bahwa setiap berita yang dikabarkan di dalamnya adalah benar, sebagaimana setiap kabar ada di dalam Al-Qur'an, kerana berita-berita yang tertera pada kitab-kitab yang diturunkan kepada para nabi itu berasal dari Allah, dan setiap berita yang datang dari Allah adalah benar. Kita juga harus beriman bahwa hukum yang berasal dari Allah adalah benar, kerana semua hukum-hukum yang Allah wajibkan kepada hamba-Nya adalah benar. Akan tetapi apakah hukum-hukum tersebut tetap terjaga hingga sekarang tanpa perubahan? Itulah pertanyaan yang perlu di jawab. Namun, haruskah kita melaksanakan hukum-hukum yang dijelaskan dalam kitab-kitab terdahulu?

Jawabannya; Menurut kami, apa yang diceritakan oleh Allah dalam kitab-kitab tersebut, kita harus mengamalkannya selagi tidak ada riwayat dalam syariat kita yang menentangnya.

Sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang Taurat,

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat) bahwa nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishashnya (balasan yang sama). Barangsiapa melepaskan (hak qishash)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zhalim.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 45)

Ayat ini tertulis di dalam Taurat yang dinukil oleh Allah di dalam Al-Qur'an. Akan tetapi Allah tidak menceritakannya kepada kita, kecuali supaya kita mengambil hikmah darinya dan mengamalkannya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal.” 
(QS. Yûsuf: 12: 111)

Allah Ta'ala berfirman:

“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutlah petunjuk mereka.” (QS. Al-An'âm: 6: 90)

Apa yang Allah ceritakan kepada kita dari kitab-kitab terdahulu, menjadi syariat bagi kita kerana Allah tidak menyebutkannya secara sia-sia, kecuali jika syariat kita bertentangan dengannya, sehingga syariat kita menjadi penghapus bagi syariat-syariat sebelumnya. Sebagaimana ayat-ayat syariat yang diturunkan kepada kita yang dihapus dengan ayat-ayat lainnya. Demikian juga hukum-hukum yang Allah jelaskan dalam kitab-kitab terdahulu, kadang dihapus dengan syariat yang baru ini.

Adapun ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab mereka, maka kita tidak membenarkannya dan tidak menyalahkannya. Sebagaimana yang diperintahkan itu oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Jika ada Bani Israil berbicara kepada kita, janganlah kita membenarkan atau mendustakan mereka. Kerana, jika kita membenarkan mereka, jangan-jangan kita membenarkan kebathilan, dan jika kita menyalahkan mereka, jangan-jangan kita menyalahkan kebenaran. Maka yang lebih selamat adalah mengatakan, “Kami beriman kepada Allah, beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada kalian, tidak membenarkan mereka dan mendustakan mereka jika syariat kita tidak membenarkan atau mendustakannya. Tetapi, jika syariat kita membenarkan atau mendustakannya, maka kita melaksanakan kesaksian tersebut.”

Di antara kesaksian itu adalah sebuah kisah yang ditulis dalam sebagian kitab mereka tentang para nabi. Dikisahkan tentang Nabi Dawud 'alaihissalam, bahwa ia terpesona dengan istri seorang tentaranya dan dia mencintainya. Maka dia mengirim tentara itu ke medan perang untuk menghadang musuh supaya terbunuh, sehingga dia bisa mengawini istrinya setelah kematiannya.

Dalam Al-Qur'an dijelaskan, bahwa Nabi Dawud memang mengutus tentaranya itu, lalu Allah mengutus sekelompok malaikat untuk bergabung dengannya. Lalu, salah seorang dari kelompok yang berperang itu berkata -sebagaimana dalam firman Allah Ta'ala,

Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja, lalu dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.” Dia (Dawud) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zhalim kepada yang lain, kecuali orang-orang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.”
(QS. Shâd: 38: 23-24)

Inilah cerita yang dikisahkan Allah tentang Nabi Dawud. Dengan demikian, cerita aneh tentangnya bahwa dia mempunyai sembilan puluh sembilan istri, lalu berusaha untuk mengambil istri salah seorang tentaranya agar istrinya genap menjadi seratus adalah dusta. Dawud adalah seorang nabi, maka tidak mungkin dia melakukan rekayasa kotor semacam itu. Bahkan jika dia bukan nabi pun tidak akan melakukan tindakan semacam ini, apalagi seorang nabi?

Kisah-kisah seperti itu datang dari Bani Israil. Kami katakan, itu adalah cerita bohong, kerana tidak layak bagi seorang nabi mahupun bagi orang yang berakal.

Kesimpulannya, bahwa kisah-kisah yang ditulis dalam kitab-kitab mereka itu terbagi menjadi dua bagian penting:

1. Jika kisah-kisah itu diceritakan Allah dalam Al-Qur'an atau diceritakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita, maka kita terima kebenarannya.

2. Jika kisah-kisah itu meragukan, maka tidak terlepas dari tiga keadaan:

a) Jika syariat kita mempersaksikan kedustaannya, maka kita harus menolak dan mendustakannya.

b) Jika syariat kita membenarkannya, maka kita pun membenarkannya dan menerimanya, kerana syariat kita mempersaksikan kebenarannya.

c) Adapun, hal-hal lain di luar kedua kategori ini, kita cukup mendiamkannya, kerana mereka tidak bisa dipercaya, dan dalam berita mereka ada banyak kebohongan, kedustaan, perubahan, tambahan dan pengurangan.

Keempat: Beriman Kepada Para Rasul.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “...Dan rasul-rasul-Nya.” Ini adalah rukun iman yang keempat.

Rasul adalah orang yang diutus oleh Allah kepada umat manusia dan dijadikan sebagai perantara kepada hamba-hamba-Nya untuk menyampaikan syariat-Nya. Mereka adalah manusia biasa yang diciptakan melalui perantara seorang ayah dan ibu, kecuali Isa bin Maryam yang diciptakan Allah tanpa seorang ayah. 

Allah mengutus mereka sebagai rahmat bagi manusia untuk menegakkan hujjah atas mereka, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud. Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 163-165)

Jumlah rasul itu banyak, yang pertama adalah Nuh dan yang terakhir adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala,

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya.” (QS. An-Nisâ: 4: 163)

Dalam Kitab Ash-Shahihain dan juga yang lainnya disebutkan tentang hadits syafaat, bahwa pada hari kiamat manusia mendatangi Nuh seraya berkata kepadanya, “Engkau adalah Rasul yang pertama diutus Allah kepada penduduk bumi.”

Adapun dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai Rasul yang terakhir disebut dalam firman Allah Ta'ala,

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 40)

Dalam riwayat yang shahih disebutkan bahwa baginda bersabda,


“Sesungguhnya aku adalah penutup para nabi.”

[Shahih Al-Jami no. 1773, 4258]

Maka hendaknya kita percaya bahwa apa yang disampaikan para nabi dari Allah, dan apa yang ada dalam risalah mereka adalah benar.

Kita harus percaya kepada nabi yang nama-namanya diterangkan kepada kita. Sedangkan nabi-nabi yang namanya tidak diterangkan, kita mempercayainya secara global.

Hendaknya kita percaya, bahwa tidak ada umat kecuali diutus kepada mereka rasul untuk menegakkan hujjah atasnya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah Thagût.” (QS. An-Nahl: 16: 36)

Allah Ta'ala juga berfirman,

“Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan. 
(QS. Fâthir: 35: 24)

Kita juga harus percaya dengan segala yang dikabarkan oleh para rasul jika cara penukilan (periwayatan)nya benar dan kita mengetahui bahwa itu benar. Kita juga harus mengikuti Nabi penutup para nabi, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kerana dialah yang mewajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Allah Ta'ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (iaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk.” 
(QS. Al-A'râf: 7: 158)

Maka Allah memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam firman-Nya,

“Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 31)

Adapun rasul-rasul yang lain, maka kita mengikuti mereka jika ada syariat kita yang memerintahkan kita untuk mengikuti mereka, seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sebaik-baik shalat adalah shalat saudaraku Dawud. Dia pada pertengahan malam, bangun pada sepertiganya, dan tidur di seperenamnya. Dan sebaik-baiknya puasa adalah puasa saudaraku Dawud. Ia berpuasa sehari dan berbuka sehari.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 1159]

Hadits ini menceritakan tentang shalat Nabi Dawud ‘alaihis salam di malam hari, dan begitu juga puasanya yang seyogianya diikuti.

Adapun jika tidak ada dalam syariat kita yang memerintahkan untuk mengikutinya, maka para ulama berbeda pendapat, apakah syariat orang-orang sebelum kita merupakan syariat kita selagi tidak terdapat larangan dalam syariat kita, ataukah syariat itu bukan syariat kita hingga ada dalam syariat kita yang menyuruh untuk mengikutinya?

Yang benar, bahwa syariat orang-orang sebelum kita adalah syariat kita jika tidak ada dalam syariat kita yang menentangnya. Kerana ketika Allah menjelaskan tentang para nabi dan rasul, Dia berfirman kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka.” (QS. Al-An'âm: 6: 90)

Maka dari itu, Allah menyuruh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menempuh jalan para nabi sebelumnya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Yusuf: 12: 111)

Ini merupakan akhir dari surah Yusuf yang di dalamnya Allah menerangkan kepada kita secara panjang lebar, agar kita mengambil pelajaran di dalamnya.

Maka dari itu, para ulama banyak mengambil pelajaran dari surah Yusuf tentang hukum-hukum masalah pengadilan dan lain-lainnya. Ketika menetapkan hukum, mereka melihat qarinah yang menyertainya, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Seorang saksi dari keluarga perempuan itu memberikan kesaksian, “Jika baju gamisnya koyak di bagian depan, maka perempuan itu benar, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di bagian belakang, maka perempuan itulah yang dusta, dan dia (Yusuf) termasuk orang yang benar.” (QS. Yusuf: 12: 26-27)

Para ulama berbeda pendapat bahwa ini adalah qarinah (petunjuk atau bukti), kerana jika baju robek dari depan maka laki-lakilah yang memintanya, sehingga perempuan menyobek (menarik) bajunya. Dan jika baju itu robek dari belakang, maka perempuan itulah yang memintanya, hingga ia lari dan perempuan itu menarik bajunya dari belakang hingga robek. Itulah qarinah yang dijadikan petunjuk untuk menetapkan hukum, maka petunjuk-petunjuk ini menetapkan adanya hukum dan para ulama bersandar kepada qarinah itu. Dalam sunnah juga dijelaskan bahwa ketetapan suatu hukum ditentukan berdasarkan qarinah dalam masalah-masalah selain ini.

Akan tetapi, pendapat yang kuat adalah, bahwa syariat orang sebelum kita adalah merupakan syariat kita selagi tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa syariat kita menentangnya. Kita harus mencintai para rasul ini, mengagungkan mereka dan bersaksi bahwa mereka berada pada tingkatan tertinggi dari tingkatan orang-orang yang baik, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 69)

Kelima: Beriman kepada Hari Akhir.

Hari akhir adalah hari kiamat, dinamakan demikian kerana tidak ada hari lagi setelah itu. Manusia itu mengalami empat fase kehidupan. Fase di dalam perut ibunya, fase di dunia, fase di alam barzakh dan fase hari kiamat yang merupakan fase terakhir,  kerana disebut dengan hari akhir. Setelah itu mereka akan ditempatkan di surga atau di neraka.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Aqidah Al-Washitiyah -sebuah kitab ringkas menjelaskan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, kitab ini termasuk kitab beliau yang paling baik dalam kepaduan, penjelasan dan kekuatan hujjahnya. 

Dalam kitab beliau berkata, “Termasuk beriman kepada hari kiamat adalah beriman dengan segala sesuatu yang dikabarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peristiwa apapun yang terjadi setelah kematian.”

Di antaranya adalah pertanyaan di alam kubur!

Jika mayat dikuburkan, maka datanglah kepadanya dua malaikat yang akan mendudukkannya dan bertanya kepadanya dengan tiga pertanyaan: “Siapa Tuhanmu, apa agamamu, dan siapa nabimu?”

Maka Allah akan menuntun kepada orang-orang yang beriman dengan jawaban yang pasti sehingga dia akan menjawab, “Tuhanku Allah, agamaku Islam, dan nabiku Muhammad.” Tiba-tiba terdengarlah panggilan dari langit, lalu mereka membentangkan tempat tidurnya pada dari surga, memakai pakaian dari surga, dan membukakan baginya pintu menuju ke surga. Kuburnya diluaskan sejauh mata memandang, dan ruhnya naik ke atas surga dan menyaksikan di dalamnya berbagai macam nikmat.

Adapun orang munafik atau orang kafir akan menjawab, “Aduh, saya tidak tahu, saya mendengar orang mengatakan begini, maka saya pun mengatakannya.” Oleh kerana itu, dia disiksa kerana keimanan belum sampai ke dalam hatinya, namun hanya ada di lisannya saja. Dia mendengar, namun tidak mengerti maknanya, dan tidak dibukakan baginya di dalam kuburnya. Ini merupakan ujian -fitnah- yang sangat besar.  Maka dari itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berlindung kepada Allah dari adzab kubur dalam setiap shalat dengan membaca,

أَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ

“Aku berlindung kepada Allah dari adzab jahannam dan dari adzab kubur.” 

[Shahih Muslim no. 924, 926]

Di antaranya adalah beriman terhadap nikmat kubur dan siksanya. 

Nikmat kubur diperuntukkan bagi orang yang berhak menerima nikmat tersebut, yakni orang-orang mukmin. Dan adzab kubur diberikan kepada orang yang berhak menerima adzab tersebut. Hal ini telah disebutkan di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan kesepakatan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. 

Dalil dari kitabullah ,tersebut dalam firman Allah Ta'ala,

Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang yang bertakwa, (yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), “Salamun 'alaikum, masuklah ke dalam surga kerana apa yang telah kamu kerjakan.
(QS. An-Nâhl: 16: 31-32)

“Jika dia (orang yang mati) itu termasuk yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga (yang penuh) kenikmatan.” (QS. Al-Wâqi'ah: 56: 88-89)

Allah berfirman seperti ini menjelaskan tentang keadaan orang yang sedang sakaratul maut. Jika dia termasuk orang yang dekat kepada Allah, maka dia akan mendapatkan ketenteraman, rezeki dan surga di waktu yang sama.

Adapun mengenai adzab kubur, maka dengarkanlah firman Allah Ta'ala,

“Siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah atau yang berkata, “Telah diwahyukan kepadaku,” padahal tidak diwahyukan sesuatu pun kepadanya, dan orang yang berkata, “Aku akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” (Alangkah ngerinya) sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang yang zhalim berada dalam kesakitan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” Pada hari ini  kamu dibalas dengan adzab yang sangat menghinakan, karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (kerana) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 93) pada hari ini yaitu pada hari kematian mereka.

Alangkah ngerinya sekiranya kamu melihat pada waktu orang-orang yang zhalim berada dalam kesakitan sakratul maut, yakni dalam sakaratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya.” yakni mereka memanjangkan tangannya kepada orang yang sakaratul maut ini dari orang-orang kafir “sambil berkata, “Keluarkanlah nyawamu” seakan-akan mereka berteriak untuk diri mereka kerana mereka diberi kabar menakutkan. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian. Maka larilah dari badannya dan memisahkan diri, serta mereka berteriak dari manusia.

Allah Ta'ala berfirman tentang keluarga Fir'aun,

“Kepada mereka diperlihatkan neraka, pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Lalu kepada malaikat diperintahkan) “Masukkanlah Fir'aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras!” (QS. Al-Mu'min: 40: 46)

Akan tetapi kita harus mengetahui bahwa nikmat dan adzab ini adalah perkara ghaib yang tidak mungkin bisa kita ketahui. Jika kita mengetahuinya, maka kita tidak akan menguburkan mayat-mayat kita. Kerana manusia tidak mungkin akan menguburkan jenazahnya untuk diadzab yang didengarnya dan menakutkannya. Sebab, orang-orang kafir dan orang munafik jika tidak dapat menjawab (pertanyaan kubur) akan dipukul dengan sepotong besi seperti martil (palu) sehingga mereka berteriak dengan teriakan yang didengar oleh segala sesuatu kecuali manusia. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Jikalau kalian mendengarnya, niscaya kalian akan jatuh pingsan.

[Shahih Al-Bukhari no. 1230, 1232]

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Seandainya kamu tidak wajib untuk dikubur, tentu aku sudah berdoa kepada Allah agar memperdengarkan adzab kubur kalian.

[Shahih Muslim no. 5112]

Namun, termasuk nikmat Allah, kita tidak mengetahui secara inderawi, tetapi kita mengimaninya secara ghaib. 

Demikian juga, jika adzab kubur dapat disaksikan dan terlihat secara inderawi, tentu di dalamnya ada suara-suara yang menakutkan. Jika kamu melewati sebuah kubur seseorang dan kamu melihatnya sedang diadzab dan merintih kesakitan, tentu kamu akan merasa kasihan kepadanya.

Jika sekiranya adzab dapat disaksikan secara inderawi, tentu akan menimbulkan kegoncangan -kesedihan- pada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Mereka tidak bisa tidur pada malam hari, mereka mendengar rintihan keluarganya yang sedang diazab siang dan malam -di dalam kubur-. Tapi, termasuk nikmat Allah menjadikan semua itu bersifat ghaib dan tidak diketahui. Mungkin ada seseorang yang bertanya, saya telah datang ke kuburan si fulan, tetapi mengapa kami tidak menemukan adanya bekas-bekas adzab dan disiksa?

Kami katakan, ini adalah masalah ghaib yang terkadang Allah tunjukkan kepada orang yang dikehendakinya. 

Telah diriwayatkan dalam Ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan di Madinah, lalu baginda bersabda,

“Sesungguhnya penghuni kedua kuburan ini sedang diazab, dan tidaklah keduanya diadzab kerana dosa besar. Salah satu dari mereka tidak bersuci dari kencingnya, dan yang satu diadzab kerana mengadu domba.

[Shahih Al-Bukhari no. 209, 211, 5592]

Allah Ta'ala menunjukkan kepada Nabi-Nya tentang penghuni kedua kubur ini bahwa keduanya sedang diadzab. 

Kesimpulannya, bahwa harus percaya adanya fitnah kubur yaitu pertanyaan dua malaikat tentang Tuhan, agama dan nabi kita dan kita juga harus percaya ada nikmat dan adzab kubur.

Di antara hal yang menunjukkan keimanan kepada hari akhir adalah beriman kepada hal-hal yang akan terjadi pada hari akhir. Seperti jika sangkakala ditiupkan untuk kedua kalinya, maka bangkitlah manusia dari kuburnya mengadap Allah dalam keadaan telanjang, tidak dikhitan, tidak berpakaian dan tangan kosong yang tidak mempunyai harta. 

Semua manusia akan dibangkitkan dalam keadaan seperti ini, termasuk para nabi dan rasul, Allah Ta'ala berfirman,

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya lagi.
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 104)

Sebagaimana manusia pertama kali keluar dari perut ibunya dalam keadaan telanjang, tidak dikhitan dan tidak mempunyai harta. Demikian juga keadaan mereka ketika keluar dari perut bumi pada hari kiamat. Semua manusia mengadap Tuhan semesta alam. Baik laki-laki dan perempuan, kecil, besar, kafir, mukmin, semuanya mengadap kepada Allah dalam keadaan sifat seperti ini, telanjang kaki, telanjang badan, belum dikhitan dan melarat tidak punya harta. Tetapi, tidak ada orang yang melihat kepada orang lain, kerana mereka sibuk dengan urusannya masing-masing sehingga tidak sempat mengurus orang lain.

Bisa jadi, seseorang perempuan berada di samping seorang laki-laki, namun keduanya tidak saling melihat, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapanya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” 
(QS. Abasâ: 80: 33-37)

Di antara iman kepada hari kiamat adalah beriman bahwa Allah Ta'ala kelak akan membentangkan bumi dan memanjangkannya sebagaimana memanjangkan tikar. Adapun bentuk bumi kita sekarang adalah bulat, sehingga akan bersambung antara selatan dengan utara, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Apabila langit terbelah, dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya patuh, dan apabila bumi diratakan.” (QS. Al-Insyiqâq: 84: 1-3)

Maknanya, bahwa bumi tidak akan dibentangkan, kecuali jika langit terbelah, dan itu terjadi pada hari kiamat. Maka terhamparlah bumi seperti terhamparnya kulit yang telah disamak, tidak ada di dalamnya lembah, pohon, bangunan, dan gunung, tetapi semuanya rata tanpa ada lubang.

Pada hari itu, manusia digiring di atasnya dalam keadaan seperti yang telah di jelaskan di atas. Bumi dibelah dan matahari didekatkan dengan makhluk hingga jarak antara kepala dan mereka dengan matahari hanya satu mil atau lebih dekat dari itu, yang jelas sangat dekat dengan kepala. Tetapi kita beriman bahwa ada di antara manusia yang selamat dari sengatan panas matahari. Mereka adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Mereka terdiri dari tujuh golongan sebagaimana telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

“Ada tujuh golongan manusia yang akan dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Golongan tersebut adalah: imam (pemimpin) yang adil; pemuda yang senantiasa taat (beribadah) kepada Allah semasa hidupnya; seseorang yang hatinya terpaut dengan masjid (sangat mencintai masjid dan selalu melakukan shalat berjamaah di masjid); dua orang sahabat yang saling mencintai kerana Allah, mereka berkumpul dan berpisah kerana Allah; seorang laki-laki yang diajak oleh seorang perempuan yang mempunyai kedudukan dan kecantikan untuk melakukan perbuatan keji tetapi ia berkata, “Sungguh, aku takut kepada Allah;” seorang yang bersedekah tetapi ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan seseorang yang mengingat Allah di waktu sepi sehingga mengalirlah kedua air matanya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 660, 1423, 6479, 6806. Muslim no. 1031]

Tujuh golongan yang kelak mendapatkan naungan Allah di Hari Kiamat adalah:

1. Pemimpin yang Adil.

Yakni, orang yang adil dalam kepemimpinannya. Seseorang tidak dikatakan adil dan cinta kepada Allah jika tidak menerapkan hukum syariat kepada manusia di dalam kepemimpinanya. Inilah puncak keadilan, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 16: 90)

Maka barangsiapa yang menetapkan hukum kepada rakyatnya tidak mengacu kepada syariat Allah, ia bukanlah orang yang adil, bahkan ia seorang kafir, kerana Allah berfirman,

“Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka itulah orang-orang kafir.
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 44)

Jika seorang pemimpin menetapkan undang-undang yang menyelisihi syariat, dan ia tahu bahwa tindakkannya itu menyelisihi syariat dan berkata, “Saya tidak sesuai menjalankan syariat.” Maka ia kafir walaupun mengerjakan shalat, sedekah, haji, berdzikir kepada Allah, dan bersaksi Rasulullah dengan risalahnya. Dan kafir, kekal selamanya di neraka Jahanam pada hari kiamat kelak.

Orang seperti itu tidak boleh menjadi pemimpin masyarakat Islam jika mereka mampu untuk menyingkirkannya dari pemerintahan. Keadilan yang paling penting adalah menetapkan syariat Allah kepada umat manusia. Termasuk bersikap adil adalah memandang sama antara orang miskin dengan orang kaya, antara musuh dan kerabat, antara kerabat dengan orang jauh, bahkan musuh dan pemimpin, hingga para ulama berkata, “Jika ada dua orang menghadap hakim, yang satu kafir dan yang lainnya muslim, maka haram baginya untuk mengistimewakan muslim dengan orang kafir tersebut.”

Keduanya harus dipersilahkan masuk dan duduk di tempat yang sama di hadapannya, sama-sama diajak bicara, bukan salah satunya saja dan tidak bermuka manis di hadapan orang muslim dan cemberut di hadapan orang kafir.

Sekarang keduanya berada di depan hakim, wajib untuk disamakan walaupun kita tahu bahwa orang kafir tidaklah sama dengan orang muslim. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang Islam itu seperti orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?
(QS. Al-Qalam: 68: 35-36) Namun, di depan hukum manusia itu sama.

Di antara bentuk keadilan adalah menegakkan hukum yang diwajibkan oleh Allah kepada setiap orang hingga kepada anak-anak dan keterunannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pemimpin yang paling adil. Ketika Rasulullah dimintai syafaat (keringanan) untuk seorang perempuan dari bani Makhzum yang mencuri, baginda memerintahkan untuk memotong tangannya. Maka datanglah Usamah meminta keringanan kepada baginda terhadap perempuan ini, maka baginda bersabda, “Apakah kamu akan memberikan syafaat (keringanan) kepada syariat Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak permintaan itu, lalu berdiri dan berkhutbah kepada manusia. Setelah memuji kepada Allah kemudian baginda bersabda,

“Wahai manusia, sesungguhnya yang menyebabkan kehancuran orang-orang sebelum kalian adalah, jika mereka mendapati orang mulia mencuri mereka membiarkannya. Tetapi, jika mereka mendapati yang mencuri adalah orang yang lemah dari mereka, maka mereka menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3453, 3965, 629. Muslim no. 3197, 3196]

Fatimah binti Muhammad adalah perempuan yang paling mulia. Pemimpin kaum wanita penghuni surga. Putri manusia yang paling mulia. Jika ia mencuri, dia akan dipotong tangannya oleh ayahnya sendiri.

Renungkanlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku akan memotong tangannya.” Dan baginda tidak mengucapkan, “Maka aku akan memerintahkan untuk memotong tangannya.” Hadits ini secara tegas menunjukkan bahwa baginda sendiri yang akan memotong tangannya jika mencuri.

Inilah keadilan, dan dengan inilah langit dan bumi ditegakkan. Di antara keadilan seorang pemimpin adalah mengangkat pejabat yang ahli, baik dalam agama maupun kekuatan (kemampuan)nya sehingga dapat dipercaya, kuat dan bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan kepadanya.

Ada dua syarat utama dalam kepemimpinan, yaitu kuat dan amanah. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercayai.”
(QS. Al-Qashash: 28: 26)

Firman Allah Ta'ala, “Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin, “Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat membawanya lagi dapat dipercaya.” (QS. An-Naml: 27: 36)

Di antara bentuk keadilan adalah tidak mengangkat seorang pemimpin, kecuali jika dia benar-benar layak memegang jawatannya, baik dari segi kekuatan mahupun amanah. Jika seseorang mengangkat stafnya yang tidak adil dan bukan bidangnya, maka itu bukanlah keadilan.

Yang jelas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menempatkan pemimpin yang adil termasuk golongan orang-orang yang dinaungi oleh Allah pada hari di mana tidak ada naungan-Nya. Orang inilah -pemimpin yang adil- yang berada pada urutan pertama dari tujuh golongan yang akan dilindungi kerana sikap adil terhadap rakyatnya. Jika seseorang menjalankan pemerintahannya dengan adil sesuai dengan apa yang ditetapkan Allah, maka ia akan memperoleh kebaikan yang banyak darinya dan umat akan mendapat manfaat darinya pada masanya dan sesudahnya kerana ia adalah teladan yang baik yang menjadi panutan.

2. Pemuda yang Tumbuh dalam Ketaatan kepada Allah.

Pemuda adalah seseorang yang berumur antara lima belas hingga tiga puluh tahun. Dan tidak diragukan lagi bahwa pemuda itu memiliki visi, misi, pemikiran, dan tidak puas dengan satu hal, kerana dia masih muda dan tertarik kepada segala sesuatu yang menawannya.

Maka dari itu, dalam peperangan Rasulullah memerintahkan untuk membunuh tentera-tentera musyrik yang sudah tua dan membiarkan para pemuda. Kerana pemuda jika ditawarkan kepada mereka untuk masuk Islam, mungkin akan menerimanya dan masuk Islam. Para pemuda biasanya memiliki pemikiran, semangat, emosi, ide, perilaku yang bergejolak. Maka, jika seorang pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, Allah akan memasukkannya ke dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada pertolongan kecuali pertolongan-Nya.

Taat kepada Allah adalah menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-nya. Tidaklah mungkin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan kecuali mengetahui perintah dan larangan tersebut. Kerana itu, pemuda ini harus mencari ilmu yang dapat melaksanakan perintah dan menjauhi larangan.

3. Pemuda yang Hatinya Terpaut dengan Masjid.

Apakah yang dimaksud masjid itu adalah tempat-tempat sujud? Yakni, seorang pemuda yang senang dan tekun melaksanakan shalat. Ataukah yang dimaksud adalah masjid secara khusus? Kedua makna ini sangat memungkinkan.

Yang dimaksudkan di sini adalah, pemuda yang hatinya selalu bergantung dengan masjid. Sehingga dia sibuk di tempat-tempat shalat untuk mengerjakan shalat. Jika telah selesai dari satu shalat tertentu, dia menunggu masuknya waktu shalat berikutnya untuk mengerjakan shalat, demikian seterusnya.

Di sini ada perbedaan antara ungkapan seseorang, “Allahhumma arihnibi ash-shalat.” yang bermakna, “Ya Allah, jadikanlah shalat sebagai istirahat bagi hatiku.”

Sedangkan ucapan, “Allahumma arihni min ash-shalat' bermakna, “Ya Allah, hindarkan aku dari shalat.”

4. Dua Orang yang Saling Mencintai kerana Allah.

Yakni, dua orang laki-laki yang saling mencintai kerana Allah, berkumpul dan berpisah kerana Allah, bukan kerana hal lain selain Allah. Padahal antara keduanya tidak ada hubungan kerabat, hubungan bisnis, dan bukan persahabatan biasa tetapi persahabatan yang didasari kerana cinta kerana Allah. Kerana dia melihat saudaranya ini selalu beribadah kepada Allah dan istiqamah, sehingga ia mencintainya.

Jika mereka ini kerabat, teman dan sebagainya, maka tidak menutup kemungkinan mereka saling mencintai dari dua sisi ini: sisi kerabat atau sahabat dan sisi keimanan.

Maka, dua orang ini saling mencintai kerana Allah, jadilah keduanya seperti bersaudara. Kerana ada pengikat syariat dan agama di antara keduanya, yaitu ibadah kerana Allah.

Mereka berkumpul dan berpisah kerana Allah. Tidak ada yang dapat memisahkan keduanya kecuali kematian. Dua orang inilah yang akan dilindungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan-Nya.

Mereka saling mencintai hingga Kiamat, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf: 43: 67). Jadi pertemanan mereka ini kekal, baik di dunia mahupun akhirat.

5. Seorang Lelaki yang Diajak seorang Perempuan yang Memiliki Kedudukan dan Kecantikan untuk Melakukan Perbuatan Keji, lalu dia berkata, “Sungguh, Aku takut kepada Allah.”

Yakni, seorang laki-laki yang masih mampu untuk melakukan hubungan badan, lalu dia diajak oleh seorang perempuan untuk melakukan zina dengannya. Wanita ini mempunyai kedudukan tinggi bukan wanita rendahan, dan memiliki kecantikan yang mempersona pandangan. Di tempat yang sepi tidak ada seorang pun yang menyaksikan keduanya, dan dia juga menyukainya, tetapi dia berkata, “Sesungguhnya, aku takut kepada Allah.” Tidak ada hal yang mencegahnya dari perbuatan itu kecuali takut kepada Allah.

Maka lihatlah keteguhan laki-laki ini, padahal kondisi sangat mendukung, ia mampu untuk melakukan hubungan badan dan perempuan itu sangat cantik dan memiliki kedudukan, sementara tempatnya pun sepi. Tetapi, ada yang mencegahnya melakukan perbuatan keji itu, yaitu takut kepada Allah. Dia berkata, “Sesungguhnya, aku takut kepada Allah.” Ia tidak mengatakan, “Saya tidak bergairah kepada perempuan.” Atau ia tidak mengatakan, “Kamu tidak cantik.” Atau ia mengatakan, “Kamu adalah perempuan rendahan aku tidak mahu berhubungan denganmu.” Atau ia mengatakan, “Sesungguhnya di sekitar kita ada orang yang melihat.” Tetapi ia mengatakan, “Sesungguhnya, aku takut kepada Allah.” Maka orang inilah yang akan dinaungi oleh Allah di hari yang mana tidak ada naungan selain naungan-Nya.

Lihatlah kisah Yusuf bin Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim. Kakeknya bernama Ishaq bin Ibrahim, dan Ismail adalah moyangnya orang-orang arab.

Yusuf dicintai oleh istri Al-Aziz raja Mesir yang sangat cantik jelita. Wanita itu menutup pintu dan hanya ada mereka berdua. Wanita itu berkata, “Marilah mendekat kepadaku.” 
(QS. Yusuf: 12: 23) Yakni, dia mengajak Yusuf untuk memenuhi hasratnya, dan Yusuf adalah seorang pemuda normal layaknya manusia; ia menginginkannya dan wanita itu juga menginginkannya. Akan tetapi, ketika ia mendapat petunjuk dari Allah, maka tertanamlah rasa takut dalam hatinya untuk melakukan hal itu. Kemudian perempuan itu mengancamnya akan memasukkanya ke dalam penjara. Maka Yusuf berkata seperti yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala,

“Yusuf berkata, “Wahai Tuhanku! Penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka. Jika aku tidak Engkau hindarkan dari tipu daya mereka, niscaya aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentu aku termasuk orang yang bodoh.” Maka Tuhan memperkenankan doa Yusuf, dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Dia-Lah Yang Maha Mendengar, Maha mengetahui. Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai waktu tertentu.” (QS. Yusuf: 12: 33-35)

Kemudian Yusuf dipenjara kerana dia menolak melakukan perbuatan zina itu, padahal segala faktor mendukung. Akan tetapi, dia telah melihat petunjuk dari Allah, sehingga dia takut kepada-Nya.

6. Orang yang Menyembunyikan Sedekah, Sehingga Tangan Kirinya Tidak Mengetahui Apa yang Diberikan oleh Tangan Kanannya.

Yaitu, orang yang sangat ikhlas dalam sedekahnya dan tidak ingin ada manusia mengetahuinya, namun ia hanya ingin Tuhan saja yang mengetahuinya. Ia tidak ingin menampakkan kepada manusia bahwa ia seorang yang dermawan, kerana biasanya orang yang memberi seseorang di depan orang banyak disebut dengan dermawan. Akan tetapi, dia menyembunyikan sedekahnya seolah-olah tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya, kerana sangat rahasianya dia menyembunyikan sedekahnya. Sehingga jika mungkin, tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan tangan kanannya.

Inilah ikhlas yang paling tinggi dan tidak ada riya' sedikit pun dalam sedekahnya. Sehingga Allah menaunginya di dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya. Menyembunyikan sedekah itu lebih utama, tetapi terkadang perlu ditampakkan jika untuk motivasi kepada orang lain agar mahu bersedekah. Kerana, Allah memuji orang yang bersedekah dengan rahasia dan terang-terangan berdasarkan nilai kemaslahatannya. Kerana suatu perbuatan itu tidak terlepas dari tiga tahapan. Biasa jadi merahasiakan itu lebih baik atau menampakkan lebih baik. Jika kedua-duanya sama, maka merahasiakan lebih baik.

7. Orang yang Menangis kerana Ingat kepada Allah di Kesunyian Malam.

Yakni, seseorang yang mengingat (berdzikir) kepada Allah dengan lisan dan hatinya. Tidak ada seorang pun yang melihatnya. Ia berdikir sendirian tidak seorang pun yang melihatnya, namun hatinya terpaut kepada Allah.

Ketika seseorang mengingat Allah dengan lisan dan hatinya, maka ia ingat dengan keagungan Allah dan rindu kepada-Nya, sehingga kedua matanya meneteskan linangan air mata. Maka orang inilah yang akan naungi oleh Allah di dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya.

Keenam: Beriman kepada Qadha dan Qadar.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah kamu beriman kepada takdir yang baik mahupun yang buruk.” 

Taqdir adalah ketetapan Allah Ta'ala terhadap apa yang akan terjadi hingga datangnya hari kiamat. Yakni, bahwa Allah pada awalnya menciptakan pena, lalu berfirman kepadanya, “Tulislah.” Pena menjawab, “Ya Tuhanku, apa yang aku tulis?”

Allah menjawab, “Tulislah apa yang akan terjadi.” Maka pada saat itu juga, pena menulis apa yang akan terjadi hingga datangnya Hari Kiamat. Maka apa yang telah tertulis menimpa manusia, pasti akan menimpanya. Dan apa yang telah tertulis tidak akan menimpanya, maka tidak akan menimpanya. Allah telah menyebutkan secara global di dalam kitab-Nya,

“Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, Yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hajj: 22: 70)

Firman Allah Ta'ala:

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadîd: 57: 22)

Atau sebelum menciptakan bumi, sebelum menciptakan manusia dan sebelum menciptakan musibah, sesungguhnya Allah telah menetapkan ini lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi

Para ulama mengatakan, beriman kepada takdir juga harus beriman kepada empat tingkatannya;

1. Beriman bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Dalil yang menjelaskan masalah ini sangatlah banyak, yang mana di dalamnya menyebutkan bahwa ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalâq: 65: 12)

Dan juga firman Allah Ta'ala,

“Dan kunci-kunci yang ghaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An'âm: 6: 59)

2. Percaya bahwa Allah menulis takdir segala sesuatu sampai hari kiamat. Semuanya telah ditulis sebelum menciptakan langit dan bumi selama lima puluh ribu tahun.

Setiap sesuatu yang akan terjadi sudah tertulis sebelumnya. Tinta pena telah kering dan lembaran-lembaran telah tertutup. Maka, apa saja yang seharusnya tidak menimpamu, pasti tidak akan menimpamu. Dan apa saja yang seharusnya menimpamu pasti akan menimpamu. 

Maka dari itu, jika kamu tertimpa sesuatu janganlah kamu katakan, “Jika aku tidak melakukan ini, maka aku tidak akan tertimpa musibah seperti ini.” Kerana semuanya telah ditulis dan ditetapkan oleh Allah. Jika Allah telah menentukan, maka tidak ada jalan untuk lari darinya walaupun kamu telah mengetahuinya. Maka perkaranya akan terjadi sebagaimana ketetapan yang telah tertulis dan tidak akan berubah sedikit pun, kerana perkara ini sudah ditetapkan.

Jika ada yang mengatakan, “Bukankah telah disebutkan dalam hadits, “Barangsiapa yang ingin dibukakan pintu rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahmi.”

[Shahih Al-Bukhari no. 1925]

Maka jawabnya, memang benar, telah diriwayatkan hadits ini, akan tetapi seseorang yang telah dibukakan rezekinya dan dipanjangkan umurnya kerana menyambung silaturrahmi, telah dituliskan baginya bahwa ia akan menyambung silaturrahmi, dibukakan rezekinya dan dipanjangkan umurnya. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin...” supaya kita segera menyambung tali silaturrahmi. 

Ketahuilah, bahwa ketetapan yang ditulis dalam Al-Lauh Al-Mahfudz diikuti dengan ketetapan-ketetapan yang lain.

Di antaranya, ketetapan janin yang ada di dalam perut ibunya. Jika telah berusia empat bulan, maka Allah mengutuskan malaikat untuk meniupkan ruh kepadanya dan menetapkan kepadanya empat perkara, yakni rezeki, ajal, amal serta kebahagiaan dan kesengsaraannya.

[Shahih Al-Bukhari no. 3208. Muslim no. 2643]

Lalu ketetapan itu dicatat, dan catatan itu tidak sama dengan catatan yang ada di dalam Al-Lauh Al-Mahfudz. Tetapi terdapat dalam catatan tentang umur manusia. Oleh kerananya, para ulama menyebutkannya dengan kitabah umuriyah (pencatatan umur) yang dinisbatkan kepada umur. 

Ini jika janin telah berumur empat bulan atau seratus dua puluh hari. Maka dari itu, jika telah berumur empat bulan, janin mulai bergerak kerana ruh telah masuk ke dalamnya, yang sebelumnya hanya segumpal daging. 

Demikian juga ada pencatatan yang lain dalam setiap tahun, yaitu pada malam lailatul qadar. Pada malam itu Allah menuliskan apa yang akan terjadi dalam satu tahun itu, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam yang diberkahi. Sungguh, Kami-lah yang memberikan peringatan. Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” 
(QS. Ad-Dukhân: 44: 3-4)

Allah menjelaskan dan merinci, sehingga dinamakan dengan malam lailatur qadar.

3. Percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Allah, tidak ada sesuatu yang terjadi diluar kehendak-Nya.

Dalam hal ini tidak ada bedanya antara sesuatu yang khusus diketahui Allah seperti menurunkan hujan, menghidupkan yang mati, dan sebagainya, atau sesuatu yang diketahui manusia, seperti shalat, puasa dan sebagainya. 

Allah Ta'ala berfirman:

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwîr: 81: 28-29)

Firman Allah Ta'ala:

“Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan, setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) yang kafir. Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Tetapi Allah berbuat menurut kehendak-Nya.” 
(QS. Al-Baqarah: 2: 253)

Allah Ta'ala menjelaskan kepada kita bahwa apa yang kita kehendaki adalah sesuai kehendak Allah, dan segala amal perbuatan kita terjadi atas kehendak-Nya.

Allah Ta'ala berfirman: 

“Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu.” (QS. Al-Baqarah: 2: 253)

Segala sesuatu yang terjadi atas kehendak Allah dan tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa kehendak-Nya. Maka dari itu, umat Islam sepakat dengan satu kaidah dasar, “Apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi.”

4. Percaya bahwa segala sesuatu itu ciptaan Allah. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.
(QS. Az-Zumâr: 39: 62)

Firman Allah Ta'ala:

“Dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan ukuran-ukurannya dengan tepat.
(QS. Al-Furqân: 25: 2) Setiap sesuatu yang terjadi telah ditetapkan oleh Allah. 

Manusia adalah makhluk Allah, begitu juga amal perbuatan mereka. Allah Ta'ala berfirman tentang Nabi Ibrahim 'alaihissalam ketika ia berbicara kepada kaumnya,

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Shâffât: 37: 96)

Dengan demikian, perbuatan manusia itu diciptakan Allah, akan tetapi yang melakukan secara langsung adalah manusia itu sendiri. Allah-lah yang menciptakan perbuatan itu dan manusia yang melaksanakannya, sehingga perbuatan itu penciptanya dinisbatkan kepada Allah, sedang perlakunya dinisbatkan kepada manusia. 

Maka setiap sesuatu itu terjadi kerana diciptakan Allah, tetapi sifat-sifat Allah bukanlah makhluk -tidak diciptakan- Al-Qur'an misalnya, diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad. Al-Qur'an bukanlah makhluk tetapi Kalamullah, dan kalamullah adalah salah satu dari sifat-sifat-Nya. Dan sifat Allah bukanlah makhluk. 

Inilah empat tingkatan dalam beriman kepada takdir. Wajib bagimu untuk mengetahui keempat tingkatan itu. Jika tidak, maka kamu tidak beriman dengan takdir.

Faidah dari beriman kepada takdir sangat besar, kerana seseorang jika mengetahui bahwa sesuatu terjadi atas kehendak Allah, maka ia akan merasa tenang. Jika ditimpa musibah, ia akan bersabar seraya mengatakan, “Musibah ini berasal dari sisi Allah.” Dan sebaliknya, jika ia mendapat kebahagiaan, maka dia bersyukur seraya mengatakan, “Nikmat ini berasal dari sisi Allah.” Telah dijelaskan dalam sebuah hadits, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Sesungguhnya mengherankan perkara -urusan- orang mukmin. Sesungguhnya semua urusan mereka adalah baik. Jika dia ditimpa kesenangan lalu bersyukur, maka ini baik baginya, dan jika ditimpa kesulitan lalu dia bersabar, maka ini baik baginya.

[Shahih Muslim no. 5318]

Orang mukmin percaya bahwa segala sesuatu ini berdasarkan atas ketetapan Allah, maka dia selalu merasa tenang dan lapang dada, kerana ia mengetahui bahwa apa yang menimpanya datang dari Allah. Jika berupa musibah maka ia bersabar dan menunggu jalan keluarnya dari Allah. Jika ia mendapatkan kebahagiaan, maka ia bersyukur dan memuji Allah dan ia mengetahui bahwa semua itu bukanlah semata-mata hasil usaha dan kekuatannya, akan tetapi terjadi kerana karunia dan rahmat dari Allah.

Sabda Rasululah, “Takdir yang baik mahupun yang buruk.”

Kebaikan adalah sesuatu yang bermanfaat bagi manusia dan cocok untuknya, seperti ilmu yang bermanfaat, harta yang melimpah, kesehatan keluarga, anak-anak dan sebagainya.

Keburukan adalah kebalikannya, seperti kebodohan, kefakiran, sakit, kehilangan keluarga, anak-anak dan sebagainya. Semua ini dari Allah, entah yang baik mahupun buruk. Dan sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan kerana hikmah dan menetapkan keburukan juga dengan hikmah. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami.”
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 35)

Jika Allah tahu bahwa keburukan itu baik dan hikmah, maka Dia menetapkannya kerana di dalamnya terdapat kemaslahatan yang besar. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan kerana perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 30: 41)

Jika ada yang mengatakan, bagaimana mengorelasikan antara sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah engkau beriman kepada takdir yang baik dan buruk,dengan sabda baginda, “Keburukan itu bukanlah mudharat bagimu.” 

[Shahih Muslim no. 771]

Maka di sini dinafikan keburukan kepadanya.

Jawab, dengan ini kami katakan, “Sesungguhnya keburukan yang murni itu bukanlah dari perbuatan Allah, keburukan yang tidak ada kebaikan sama sekali di dalamnya, baik dalam waktu kejadian atau sesudahnya, ini tidak mungkin terdapat dalam perbuatan Allah.” Ini dari satu sisi, kerana keburukan yang diciptakan Allah sebagai sesuatu yang buruk, pastilah disamping itu ada sesuatu yang terpuji. Ia menjadi buruk bagi suatu kaum dan baik bagi yang lainnya. Cobalah kamu lihat jikalau Allah Ta'ala menurunkan hujan yang lebat dan menenggelamkan sawah seseorang, tetapi berguna bagi tanah dan bermanfaat bagi umat yang lain. Hujan ini menjadi sebuah kebaikan bagi orang yang mengambil manfaat darinya dan menjadi keburukan bagi orang yang tertimpa bencana hujan ini. Baik dari satu sisi dan buruk dari sisi yang lain.

Yang kedua: keburukan yang ditakdirkan Allah kepada manusia pada hakikatnya baik kerana jika seseorang itu sabar dan mengharapkan pahala dari Allah maka ia memperoleh pahala yang banyak dengan berlipat-lipat daripada yang apa ia dapatkan dari keburukan tersebut. Kerananya dikisahkan ada seseorang wanita ahli ibadah yang jarinya atau tangannya terluka namun kemudian ia sabar dan bersyukur kepada Allah atas hal itu dan ia berkata, “Sesungguhnya manisnya pahala dari ini membuatku melupakan pahitnya penderitaan ini.”

Kemudian kami katakan, “Sesungguhnya keburukan pada hakikatnya bukanlah dari perbuatan dari Allah, akan tetapi dari objek perbuatan tersebut.” Orang yang ditimpa perbuatan inilah yang ada padanya kebaikan dan keburukan, sedangkan yang berbuat sendiri adalah kebaikan saja. Oleh kerana itu, firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah, “Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar), dari kejahatan (makhluk yang) Dia ciptakan. (QS. Al-Falaq: 113: 1-2)

Yakni dari keburukan yang diciptakan oleh Allah. Hal ini menunjukkan bahwa jika di sisimu ada orang yang sakit kemudian dikatakan kepadanya, “bahwa penyembuhannya harus dilakukan penempelan api, kemudian kamu panaskan ia dengan api dan sifat api tidak diragukan lagi, pasti akan menyakitkan.” Akan tetapi perbuatanmu ini bukanlah keburukan bahkan ini adalah kebaikan bagi orang yang sakit, kerana kamu sedang mengusahakan kesehatannya setelah pemanasan tersebut. Demikian juga perbuatan Allah pada benda-benda yang tidak disukai dan benda-benda yang di dalamnya terdapat keburukan jika dihubungkan dengan pelakunya dan yang mengadakannya adalah baik kerana akan menimbulkan kebaikan dari perbuatan tersebut. Jika ada yang mengatakan, “Bagaimana memadukan antara hal ini dengan firman Allah Ta'ala,

“Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) darimu sendiri.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 79)

Jawab, kami katakan, “(Apa yang menimpamu dari kebaikan maka itu dari Allah) yakni dari keutamaan Allah yang telah dianugerahkan kepadamu di awal dan di akhir. (Dan apa yang menimpamu dari keburukan maka itu dari jiwamu) yakni kamulah yang menyebabkannya dan kecuali yang menetapkannya adalah Allah tetapi kamulah yang menyebabkannya sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah kerana perbuatan tangannmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” 
(QS. Asy-Syûrâ: 42: 30)

Kesimpulannya, bahwa segala yang terjadi maka itu berdasarkan ketetapan Allah entah itu baik atau buruk. Adapun kebaikan maka perkaranya jelas dari Allah. Sedangkan keburukan bukanlah dari perbuatan Allah tetapi dari orang yang melakukan perbuatan itu. Kami katakan bahwa orang yang melakukan perbuatan yang di dalamnya ada keburukan maka dapat menjadi baik dari sisi yang lain. Bisa jadi bagi orang yang ditimpa musibah tersebut atau pun untuk orang yang lainnya. Misalnya, turun hujan yang menghancurkan sawah seseorang, akan tetapi ada manfaat bagi umat yang lain. Maka di sini ada keburukan bagi seseorang, akan tetapi ada ada kebaikan bagi orang lain. Atau kami katakan, “Ini buruk bagimu dari satu sisi dan baik bagimu dari sisi yang lain, kerana keburukan yang menimpamu ada pahala yang banyak bagimu dan dapat menjadi sebab keistiqamahanmu dan pengetahuanmu atas nikmat Allah yang diberikan kepadamu sehingga akhir dari semua ini menimbulkan kebaikan.”

Kemudian Umar berkata dalam kabar yang dinukilnya dari Jibril yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ceritakan kepadaku tentang ihsan.” Baginda menjawab, “Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak dapat melihatnya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” Al-Ihsan itu lawan dari Al-Isa'ah (berbuat keburukan). Yang dimaksud dengan ihsan di sini adalah profesional dalam beramal, maka kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa ihsan itu adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Misalnya kamu shalat seakan-akan engkau melihat Allah Azza wa Jalla dan ketika kamu berzakat maka seakan-akan engkau melihat-Nya. Kamu berpuasa seakan-akan engkau melihat-Nya dan seterusnya dalam semua perbuatan.

Keadaan seseorang yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya, merupakan bukti yang menunjukkan keikhlasannya kepada Allah Ta'ala dan juga konsisten dan istiqamahnya dalam mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerana setiap orang yang menyembah Allah berdasarkan sifat-sifat Allah ini mesti akan tertanam dalam hatinya rasa kecintaan kepada Allah dan pengagungan-Nya yang mendorongnya untuk memfokuskan diri dalam beribadah dan selain berusaha memperbaikinya. Jika kamu tidak dapat melihat Allah maka Dia melihat kamu. Jika kamu menyembah kepada Allah maka sembahlah Allah dengan selalu merasa diawasi (muraqabah) dan rasa takut kepada Allah. Maka sesungguhnya Dia melihat kamu. Sudah menjadi hal yang maklum bahwa beribadah kepada Allah sesuai yang diminta merupakan ibadah yang paling sempurna. Maka disini ada dua tingkatan:

1. Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, inilah tingkatan yang pertama dan yang seharusnya dimiliki seorang.

2. Adalah kamu menyembah Allah dan kamu mengetahui bahwa Allah melihat kamu maka hal ini adalah tingkatan ibadah yang didasari rasa takut.

Kedua tingkatan ini adalah tingkatan yang besar namun yang pertama lebih sempurna. Kemudian Jibril berkata, “Ceritakan kepadaku tentang hari kiamat.” Yaitu tentang ditegakkannya hari kiamat yang dibangkitkan pada hari itu manusia dan pada hari itu juga mereka dibalas atas amal perbuatan mereka. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah orang yang ditanya tentang ini lebih mengetahui dari orang yang bertanya.” Orang yang ditanya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sendiri dan orang bertanya adalah Jibril. Yakni, jika kamu wahai Jibril tidak mengetahuinya, maka aku pun tidak mengetahuinya maka kedua utusan yang mulia ini salah satunya Rasul dari jenis malaikat dan yang satunya lagi Rasul jenis manusia dan keduanya adalah utusan-utusan yang paling sempurna. Utusan yang paling sempurna dari malaikat adalah Jibril dan utusan yang paling sempurna dari manusia adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun demikian, setiap orang dari keduanya menafikan kalau mereka mengetahui tentang kiamat kerana pengetahuan tentang kiamat itu berada di tangan Dzat yang akan menegakkannya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman dalam beberapa ayat. Di antaranya,

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, “Bila terjadi?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku.” (QS. Al-A'râf: 7: 187)

“Manusia bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat. Katakanlah, “Ilmu tentang hari Kiamat itu hanya di sisi Allah.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 63)

Maka pengetahuan tentang kiamat itu ada di sisi Allah. Barangsiapa yang mengklaim bahwa ia mengetahui bila terjadi hari kiamat maka sesungguhnya dia pendusta, dari mana ia mengetahuinya sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui. Jibril juga tidak mengetahui sedangkan keduanya utusan yang paling utama. Akan tetapi hari kiamat ini memiliki tanda-tanda sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” 
(QS. Muhammad; 47: 17)

Kerananya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada Jibril bahwa baginda tidak mengetahui tentang terjadi hari kiamat, maka Jibril berkata, “Ceritakan kepadaku tentang tanda-tandanya.” Yakni tanda-tanda yang menunjukkan tentang dekatnya kejadian hari kiamat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Seorang budak perempuan melahirkan anak tuannya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing berlomba-lomba meninggikan bangunan.” Al-Hu-fah yaitu orang yang tidak memakai sandal kerana fakir, Al-Urah ada-lah orang yang tidak memakai baju kerana fakir. Al-Alah adalah orang yang miskin berlomba-lomba meninggikan bangunan. Yakni mereka ini tidak memakai baju tetapi mereka kaya, berlomba-lomba meninggikan bangunan secara indrawi dan makna. Secara indrawi yaitu mereka meninggikan bangunannya ke langit. Maknanya mereka memperbaikinya, menghiasinya dan memasukkan ke dalamnya segala sesuatu yang menyempurnakannya kerana mereka memiliki kelebihan harta. Semua ini telah terjadi. Di sini ada lagi tanda-tanda lain, inilah yang disebutkan para ulama di dalam bab peristiwa-peristiwa akhir zaman, fitnah dan tanda-tanda hari kiamat dan ini banyak sekali. Kemudian Jibril pergi dan para sahabat terheran-heran. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar, “Apakah kamu mengetahui siapa yang bertanya?” Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya dia adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan perihal (perkara-perkara pokok dalam) agama kalian (Islam).”

Hadits ini memiliki beberapa manfaat, yakni mengajukan pertanyaan kepada para penuntut ilmu. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajukan beberapa pertanyaan kepada Umar. Dan hadits ini juga bolehnya mengucapkan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Tidak harus ia mengucapkan, “Allah kemudian Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kerana ilmu syariat yang di sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dari Allah maka itu sah untuk mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan sekiranya mereka benar-benar ridha dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Allah dan Rasul-Nya.” (QS. At-Taubâh: 9: 59)

Di ayat ini tidak dikatakan, “Kemudian Rasul-Nya.” Kerana yang didatangkan di sini adalah syariat yang didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu berupa syariat, maka itu dari Allah. Untuk masalah-masalah syariat boleh mengatakan Allah dan Rasul-Nya tanpa mengatakan “Kemudian.” Adapun masalah-masalah kauniyah seperti kehendak dan yang serupanya, maka jangan katakan, “Allah dan Rasul-Nya.” Tetapi katakan, “Allah kemudian Rasul-Nya.” Kerana ketika seseorang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa yang dikehendaki Allah dan yang engkau kehendaki?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau menjadikanku sebagai tandingan bagi Allah, tetapi kehendak hanya bagi Allah saja.”

[Hadits Hasan li ghairihi dikeluarkan oleh Al-Baihaqi di dalam al-Kubra no 3/217, Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya no. 5/340, Ahmad di dalam Musnad-Nya 1/214, 224, 283, Ath-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir no. 2/244 dari jalan Al-Ajlah Al-kindi dari Yazid Al-Asham dari Ibnu Abbas dan Ajlah haditsnya terdapat kelemahan, dia banyak meriwayatkan hadits mungkar. Kemudian juga ada kegoncangan di dalamnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Ilal no. 2/240. Beliau juga meriwayatkan hadits ini dari Abi Az-zubir dari Jabir dan dia ditanya tentang hadits ini kemudian ia menjawab, “Hadits ini mungkar.” Dan ia mengunggulkan riwayat Ibnu Abbas. Adapun Yazid Al-Asham maka ia seorang yang Tsiqah. Namun demikian hadits ini memiliki satu riwayat pendukung dari riwayat Hudzaifah]

Dalam hadits ini juga ada dalil yang menunjukkan bahwa jika Jibril bertanya tentang sesuatu ia mengetahui bahwa ini bermanfaat bagi yang hadir sehingga dengan pertanyaan tersebut ia menjadi pengajar bagi mereka. Kerana yang dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Jibril adalah pertanyaan yang tidak diketahui oleh orang yang hadir. Namun kerana jawaban ini orang-orang dapat mengambil manfaat. Sebagian ulama mengatakan, “Seyogianya bagi para penuntut ilmu jika ia sedang duduk bersama seorang alim dalam satu majelis, hendaklah ia bertanya tentang satu masalah yang dibutuhkan oleh para hadirin walaupun ia mengetahui jawabannya, supaya para hadirin dapat mengambil manfaat dan ia dapat menjadi pengajar bagi mereka.

Dalam hadits ini juga ada dalil tentang keberkahan ilmu bahwa ilmu itu bermanfaat bagi orang yang bertanya dan bagi orang yang menjawab sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “ia mengajarkan agama kepada kalian.” Dan di dalam hadits ini mencakup permasalahan agama seluruhnya, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Sesungguhnya ia mengajarkan agama kepada kalian.Kerana hadits ini mencakup dasar-dasar akidah dasar-dasar sebuah amal. Dasar-dasar akidah adalah rukun iman dan dasar-dasar amal adalah rukun Islam yang lima. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 61.
عَنْ أَبِي ذَرٍّ جُنْدُبِ بْنِ جُنَادَةَ، وَأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلِِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، عَنْ رَسُولِ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: « اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abdurrahman Muadz bin Jabal radhiyallahu anhuma dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

“Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada dan ikutilah perbuatan buruk dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.”

[Hr. At- Tirmidzi no. 1987 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami no. 97]

Penjelasan.

Hadits ini termasuk hadits-hadits yang terdapat dalam Arbain An-Nawawiyah yang dikarang oleh Imam Nawawi rahimahullah dan di dalamnya dinyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dengan wasiat yang agung:

Wasiat yang pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana pun engkau berada, bertakwa kepada Allah yaitu menjauhi hal-hal yang diharamkan dan melakukan hal-hal yang diperintahkan, ini adalah takwa. Kamu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepadamu kerana ikhlas sepenuhnya kepada-Nya, dan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan segala apa yang dilarang kerana menghormati larangan Allah Ta'ala dan mensucikan diri dari apa yang diharamkan-Nya. Misalnya kamu melaksanakan apa yang diwajibkan Allah kepadamu dalam rukun-rukun Islam yang terbesar setelah dua kalimat syahadat yaitu shalat. Kamu melaksanakannya secara sempurna dengan semua syarat, rukun, kewajiban, dan kesempurnaanya. 

Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu dari syarat-syarat shalat, kewajiban, atau rukun-rukunnya maka sesungguhnya ia belum bertakwa kepada Allah, bahkan ia orang yang kurang kadar ketakwaannya sesuai dengan kekurangan dalam melaksanakan apa yang diperintahkan.

Dalam masalah zakat, maka bentuk takwa di dalamnya adalah kamu menghitung semua hartamu yang diwajibkan di dalamnya zakat, dan keluarkanlah zakatmu dengan ikhlas tanpa ada rasa bakhil, merasa kurang, dan tidak menunda-nundanya. Barangsiapa yang tidak melakukan ini, maka ia belum bertakwa kepada Allah.

Dalam berpuasa, kamu melaksanakan puasa sebagaimana yang diperintahkan, menjauhi senda gurau, ucapan yang tidak bermanfaat, mencela, bergunjing, mengadu domba dan lain-lainnya dari hal-hal yang mengurangi dan menghilangkan ruh puasa dan maknanya, yang hakikatnya yaitu berpuasa dari apa yang Allah haramkan. Demikian pula seluruh kewajiban yang lain yang kamu laksanakan dengan taat kerana Allah, melaksanakan segala perintah-Nya, ikhlas kepada-Nya dan mengikuti Rasul-Nya. Demikian juga dari hal-hal yang dilarang. Kamu meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah Ta'ala, kerana menghormati larangan Allah Ta'ala, ketika Dia melarangmu maka kamu menahan diri.

Wasiat yang kedua: “Ikutilah perbuatan buruk dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapuskannya.” Yakni jika kamu berbuat buruk maka ikutilah perbuatan buruk itu dengan perbuatan baik maka perbuatan-perbuatan baik ini akan menghapuskan perbuatan-perbuatan buruk itu. Di antara kebaikan setelah keburukan adalah bertaubat kepada Allah setelah melakukan keburukan (dosa). Dan sesungguhnya taubat merupakan kebaikan yang paling utama sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Allah menyukai orang yang bertaubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.
(QS. Al-Baqarah: 2: 222)

Dan Allah Ta'ala berfirman:

“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.”
(QS. An-Nûr: 24: 31)

Demikian amal-amal shaleh akan menghapuskan amal-amal buruk sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Shalat yang lima waktu, shalat Jum’at sampai Jum’at berikutnya. Ramadhan sampai ke Ramadhan berikutnya, merupakan penghapus dosa-dosa di antara keduanya selagi kamu meninggalkan dosa-dosa besar.”

[Shahih Muslim no. 233]

Maka perbuatan-perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk.

Wasiat yang ketiga: “Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik. Dua wasiat yang pertama itu adalah interaksi dengan pencipta, Al-Khalik. Sedangkan yang ke tiga ini berinteraksi kepada makhluk yaitu kamu berinteraksi kepada mereka dengan interaksi yang baik, memuji mereka dan tidak mencela mereka. Demikian itu dengan wajah yang ceria, ucapan yang jujur, berbicara dengan baik dan menunjukkan akhlak yang baik. Telah diriwayatkan hadits yang sangat banyak tentang keutamaan akhlak yang baik, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Orang-orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 1162, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa orang yang paling mulia bersamanya dan paling dekat kedudukannya dengan baginda pada hari kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya. Maka akhlak yang baik merupakan langkah yang baik di dalam sosial kemasyarakatan dan menjadikan pelakunya dicintai masyarakat dan ia akan memperoleh pahala yang besar di hari kiamat, maka jagalah tiga wasiat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Hanya Allahlah yang memberi taufik.

Hadits 62.
عَنْ ابْنِ عبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: « كُنْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا فَقَالَ: « يَا غُلاَمُ إِنِّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: « اِحْفَظِ اللهَ يَحْفَظْكَ، احْفَظِ اللهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللهَ، وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَاعْلَمْ: أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفعُوكَ بِشيْءٍ، لَمْ يَنْفعُوكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ، وَإِنِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ بِشَيْءٍ، لَمْ يَضُرُّوكَ إِلاَّ بَشَيْءٍ قَدٍ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ اْلأَقْلاَمُ، وجَفَّتِ الصُّحُفُ ». رَوَاهُ التِّرمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ.
وَفِي رِوَايَةٍ غَيْرِ التِّرْمِذِيِّ: « اِحْفَظَ اللهَ تَجِدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِي الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِي الشِّدَةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَك، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُن لِيُخْطِئَكَ وَاعْلَمْ أَنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وأَنَّ الْفَرَجَ مَعَ الْكَرْبِ، وأَنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, dia berkata, Suatu hari aku berada di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda bersabda:

“Wahai anak muda, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat, “Jagalah Allah, maka Allah, akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu. Jika kamu meminta sesuatu, maka mintalah kepada Allah. Dan jika memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah, sekiranya seluruh umat berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu, niscaya mereka tidak dapat memberikan manfaat kepadamu kecuali sesuatu yang telah Allah tuliskan bagimu. Dan jikalau mereka berkumpul untuk membahayakanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak mampu membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan (tetapkan) bagimu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2516, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatu Al-Mashabih no. 5302 dan Sahih Al-Jami' no. 7957]

Dalam riwayat selain dari At-Tirmidzi disebutkan, “Jagalah Allah, maka engkau akan mendapatkan-Nya di depanmu, kenalilah Allah dalam keadaan lapang, maka Dia akan mengenalmu dalam keadaan susah, ketahuilah bahwa sesuatu yang seharusnya tidak menimpamu tentu tidak akan menimpamu, dan apa yang seharusnya menimpamu tentu akan menimpamu, dan ketahuilah bahwa pertolongan itu bersama kesabaran dan kegembiraan itu bersama kesulitan dan sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.”

[Hr. Ahmad no. 1/293, 303, 307. Thabrani dalam Al-Ausat no. 5417]

Penjelasan.

Perkataan Ibnu Abbas, “Aku berada di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,” yakni menaiki kenderaan bersama. Dan ucapannya “Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, “Wahai anak muda, jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.” Baginda bersabda kepadanya, “Wahai anak muda.” Kerana Ibnu Abbas waktu itu masih kecil. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, dia baru menginjak usia baligh yaitu lima belas tahun atau enam belas tahun kurang. Dan ia menaiki kenderaan di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian baginda memberi nasihat dengan panggilan“Wahai anak muda, jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Ini adalah kalimat yang agung. “Jagalah Allah,” yakni dengan menjaga syariat-Nya, agama-Nya, dengan melaksanakan segala perintah-Nya, meninggalkan larangan-Nya. Demikian juga dengan mempelajari agama-Nya yang mampu menegakkan ibadahmu dan muamalahmu dan kamu berdoa kepada Allah Ta'ala. Semua ini termasuk menjaga Allah. Allah Ta'ala dengan Dzat-Nya tidak membutuhkan pada seorang pun menjaga-Nya namun yang dimaksud adalah menjaga agama-Nya dan syariat-Nya. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.
(QS. Muhammad: 47: 7)

Bukanlah maknanya kalian menolong Allah kerana Allah Ta'ala Maha Kaya atas segala sesuatu, Allah Ta'ala berfirman dalam ayat yang lain,

Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia membinasakan mereka.
(QS. Muhammad: 47: 4) Tidak ada yang mampu melemahkan-Nya. 

Firman Allah Ta'ala:

“Dan tidak ada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit mahupun di bumi.
(QS. Fâthir: 35: 44)

Kerananya, makna jagalah Allah maka Dia akan menjagamu. Ini adalah kalimat yang menunjukkan bahwa seseorang jika menjaga agama Allah maka Allah akan menjaganya. Akan tetapi, menjaganya dalam hal apa? Jawab, menjaganya dalam hal badannya, hartanya, keluarganya dan agamanya, dan yang paling penting adalah Dia menyelamatkanmu dari tidak puas dengan syariat dan kesesatan. Kerana seseorang ketika diberi petunjuk oleh Allah maka Allah akan menambahkan petunjuk-Nya,

“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah akan menambah petunjuk kepada mereka dan menganugerahi ketakwaan mereka.” 
(QS. Muhammad: 47: 17)

Ketika ia tersesat -Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian- maka akan bertambah kesesatannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,

“Sesunggguhnya seseorang ketika berdosa maka jadilah di dalam hatinya titik hitam, ketika ia bertaubat maka dihapuslah titik tersebut.”

[Diriwayatkan oleh Abu Nu'aim Hilyatul Aulia no. (4/89) dari ucapan Maimun bin Mihran dan asal hadits ini bukan dengan lafazh ini di dalam Shahih Muslim no. 207]

Jika dia berdosa kedua kalinya maka akan bergabung titik-titik ini yang kedua yang ketiga dan yang keempat sampai tertutuplah hatinya. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Kerananya, jagalah Allah di dalam agamamu, di dalam badanmu, di dalam hartamu dan di dalam keluargamu.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jagalah Allah maka kamu akan mendapatkan-Nya di arahmu,” dalam lafazh lain, “Jagalah Allah maka kamu akan mendapatkan-Nya di hadapanmu.” “Jagalah Allah.” Yakni dengan menjaga syariat-Nya. Yakni dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Maka, kamu akan mendapatkan-Nya di arahmu, di depanmu. Arti dari kedua ungkapan ini sama yakni kamu akan mendapatkan Allah di depanmu, menunjukkanmu pada kebaikan dan menghindarimu dari keburukkan, apalagi jika kamu menjaga Allah dengan meminta pertolongan kepada-Nya. Ketika seseorang meminta pertolongan kepada Allah, bertawakal kepada-Nya maka Allah akan memenuhinya dan mencukupkannya. Sesiapa yang dicukupkan Allah, maka ia tidak lagi membutuhkan siapa pun setelah Allah.

Allah Ta'ala berfirman:

“Wahai Nabi (Muhammad) Cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (QS. Al-Anfâl: 8: 64) Yakni, cukuplah bagimu dan orang-orang yang mengikutimu.

Firman Allah Ta'ala:

“Dan jika mereka hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu.” (QS. Anfâl: 8: 62) Jika Allah mencukupi seseorang, maka ia tidak akan mendapatkan kejelekan, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jagalah Allah maka kamu akan mendapatkan-Nya di arahmu.” Atau kamu akan mendapatkannya di hadapanmu.

Kemudian baginda bersabda, “Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah dan jika engkau memohon pertolongan, maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” Yakni jangan bersandar kepada sesorang makhluk. Misalnya, seseorang yang fakir tidak mempunyai harta kemudian ia meminta kepada Allah Ta'ala dan ia berdoa, “Ya Allah berilah aku rezeki, persiapkanlah bagiku rezeki.” Maka akan datang kepadanya rezeki dari arah yang tak terduga. Akan tetapi jika ia meminta kepada manusia, maka bisa jadi mereka memberi atau bisa jadi mereka menolaknya, kerananya disebutkan dalam hadits,

“Supaya seseorang di antara kalian mengambil tali kemudian ia mencari kayu (dan mengikatnya) kemudian ia jual, maka itu lebih baik baginya daripada meminta-minta kepada manusia, terkadang mereka memberi terkadang mereka menolaknya.

[Shahih Al-Bukhari no. 1377]

Demikian juga jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah, katakan, “Ya Allah, berikanlah aku rezeki,” “Ya Allah berikanlah aku kekayaan dengan keutamaan-Mu dari selain-Mu,” dan kalimat-kalimat yang lain yang tertuju langsung kepada Allah. Demikian juga, “Jika kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah.” Meminta pertolongan, maka janganlah meminta pertolongan kepada sesiapa pun kecuali kerana suatu darurat yang sangat mendesak, bersama ini jika kamu terdesak kepada pertolongan kepada makhluk maka jadikan itu hanya sebagai sarana dan sebab saja, tidak menjadikannya tempat bergantung, jadikan ia sebagai salah satu sarana untuk menuju kepada Allah Ta'ala.

Di dalam kedua kalimat ini ada dalil yang menunjukkan bahwa di antara yang mengurangi nilai ketauhidan seseorang adalah meminta kepada selain Allah Ta'ala, kerananya sangat tidak disenangi meminta kepada selain Allah Ta'ala baik itu untuk sesuatu yang kecil atau besar. 

Jika Allah hendak menolongmu, maka Dia akan memudahkan pertolongan bagimu, baik dengan sebab-sebab yang diketahui atau yang tidak ketahui. Terkadang, Allah membantumu dengan sebab-sebab yang kamu tidak ketahui, kamu terhindar dari keburukan yang tidak mungkin bagi seseorang menghindarnya, dan terkadang Allah menolongmu melalui tangan salah seorang makhluk-Nya, yang menggerakkan dan menundukkan orang itu sehingga ia membantumu. Jika kamu ditolong oleh Allah melalui tangan seseorang, janganlah kamu melupakan penyebabnya, yaitu Allah Ta'ala sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang yang tidak mengerti pada saat sekarang ketika pemerintah memberikan bantuan kepada orang-orang kafir, sehingga nampaklah bantuan dari mereka secara lahirnya, maka jadilah orang-orang mensucikan orang-orang kafir ini dan mereka tidak mengetahui bahwa mereka itu musuh mereka, apakah sebenarnya ia menolong atau tidak.

Orang-orang kafir itu musuh bagi kalian pada hari kiamat, tidak boleh bagi siapa pun untuk menjadikan mereka sebagai wali atau yang dimintai tolong atau mendoakan mereka sebagaimana yang kita dengar dari sebagian orang-orang awam lagi bodoh, yang mengatakan, “Kami akan berkorban untuk si fulan dan si fulan dari orang-orang kafir, kami akan menamakan anak-anak kami dengan nama mereka, kami akan mendoakan mereka!” Mereka itu, kalau bukan kerana Allah yang menggerakkannya dan menundukkannya, maka tidak sekali-kali mereka bermanfaat bagi kalian sedikit pun.

Yang memberi manfaat, yang menimbulkan madharat adalah Allah Ta'ala, Dialah yang menjalankan dan menggerakkan mereka untuk menolong kalian, membela kalian, dan ini adalah dari pertolongan Allah Ta'ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, yakni Dia menjalankan orang-orang kafir untuk menguatkan mereka, sebagaimana dalam hadits disebutkan,

“Sesungguhnya Allah akan menguatkan agama ini dengan orang yang rusak (jahat).”

[Shahih Al-Bukhari no. 3062 dan Muslim no. 111]

Maka, wajib bagi kita untuk tidak melupakan karunia Allah yang telah menundukkan mereka bagi kita dan wajib bagi kita untuk memperingatkan orang-orang awam. Jika kita mendengar salah seorang bertumpu kepada orang-orang kafir itu, dan mengatakan merekalah yang menolong kita seratus persen dan menyatakan bahwa orang-orang kafir itu yang pertama dan yang terakhir, wajib bagi kita menjelaskan kepada mereka dari kesalahan dalam bertauhid. Hanya Allah yang mengetahui.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah jika umat berkumpul untuk memberimu manfaat dengan sesuatu, maka mereka tidak akan memberimu manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan kepadamu.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam kalimat ini, bahwa jikalau umat berkumpul semuanya untuk memberimu manfaat, maka mereka tidak akan dapat memberimu manfaat, kecuali apa yang telah Allah tuliskan kepadamu.

Jika mereka memberikan manfaat kepadamu, maka ketahuilah bahwa itu dari allah, kerana itulah yang Allah tuliskan kepada kita, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda, “Jika umat berkumpul untuk memberimu manfaat dengan sesuatu, maka mereka tidak akan  memberimu manfaat kepadamu.” Tetapi baginda mengatakan, “Mereka tidak akan memberi manfaat kepadamu kecuali apa yang telah Allah tuliskan bagimu.”

Tidak diragukan bahwa manusia dapat memberi manfaat antara satu dengan yang  lainnya, saling membantu antara satu dengan yang lainnya, namun semua manfaat itu telah Allah tuliskan bagi manusia itu. Dialah yang menggerakkan orang yang memberi manfaat kepadamu, berbuat baik kepadamu dengan menghilangkan kesulitanmu, demikian juga sebaliknya jikalau mereka berkumpul untuk membahayakanmu dengan sesuatu maka mereka tidak mampu membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan berbahaya bagimu.

Keimanan seperti ini hukumnya wajib, yakni seseorang harus selalu bersandar kepada Tuhannya, bertawakal sepenuhnya kepada-Nya dan tidak terlalu bersandar kepada seseorang, kerana ia mengetahui bahwa jika berkumpul seluruh makhluk untuk membahayakannya dengan sesuatu maka mereka tidak dapat membahayakannya kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tuliskan berbahaya untuknya.

Pada saat ini ia selalu menggantungkan harapannya kepada Allah, bersandar kepada-Nya, ia tidak memperdulikan makhluk walaupun mereka berkumpul untuk itu. Kerana kita temukan generasi salaf umat ini ketika mereka berpegang teguh kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya, maka tidak ada tipu daya orang-orang yang membenci mereka dapat mendatangkan kemudharatan bagi mereka. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu sedikit pun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 120)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Telah diangkat pena, dan telah kering lembaran-lembaran,” yakni apa yang telah dituliskan Allah, telah berakhir dan diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering dari tinta-tinta serta tidak ada kesempatan untuk merevisi.

Sesuatu yang seharusnya tidak menimpamu, tentulah tidak akan mengenaimu dan sesuatu yang seharusnya menimpamu, tentulah akan mengenaimu. Dalam ungkapan yang kedua Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa kemenangan bersama kesabaran, dan kesenangan bersama kesulitan dan bersama kesulitan ada kemudahan.” Yakni ketahuilah dengan ilmu yang yakin, bahwa kemenangan itu bersama kesabaran. Jika kamu sabar dan melakukan apa yang Allah perintahkan dari sarana-sarana kemenangan, maka Allah akan memenangkanmu. 

Sabar di sini mencakup sabar dalam ketaatan kepada Allah dan sabar dari meninggalkan maksiat kepada-Nya, dan atas takdir-takdir yang menyakitkan, kerana musuh selalu menimbulkan bencana kepada seseorang dari segala sisi. Hal ini membuatkannya merasa tidak mampu menghadapi musuhnya yang kemudian ia merasa lemah dan meninggalkan jihad. Terkadang ia semangat dalam jihad, akan tetapi ketika ia tertimpa kesakitan ia merasa lemah dan berhenti. Terkadang ia terus berjihad walaupun ia tertimpa sakit dari musuhnya, maka di sini wajib bersabar.

Allah Ta'ala berfirman:

“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa.” (QS. Al 'Imrân: 3: 140)

Firman Allah Ta'ala:

“Dan janganlah kamu berhati lemah dalam mengejar mereka (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kamu rasakan, sedang kamu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 104) Jika seorang sabar dan tabah maka sesungguhnya Allah akan menolongnya. 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah bahwa kegembiraan itu bersama kesulitan.” Setiap susahnya permasalahan, dan semakin menghimpit hal ini menunjukkan bahwa kegembiraan akan segera datang, kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Bukankah Dia (Allah) yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya dan menghilangkan kesusahan dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat.” (QS. An-Naml: 27: 62) Semakin berat permasalahan maka tunggulah bahwa kegembiraan dari Allah semakin dekat.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan sesungguhnya setelah kesulitan akan ada kemudahan,” setiap sesuatu yang sulit maka setelah itu ada kemudahan, bahkan setiap kesulitan pasti akan mendatangkan banyak kemudahan. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirâh: 94: 5-6) Ibnu Abbas berkata, “kesulitan tidak akan mengalahkan

Hadits inilah yang diwasiatkan kepada Abdullah bin Abbas, maka seyogianya bagi setiap mukmin untuk selalu mengingatkannya, untuk selalu berpegang teguh dengan wasiat yang bermanfaat ini yang diwasiatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada anak pamannya Abdullah bin Abbas. Allah yang memberi taufik.

Hadits 63. 
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: « إِنَّكُمْ لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، كُنَّا نَعْدُّهَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْمُوِبِقَاتِ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ. وَقَالَ: « الْمُوْبِقَاتُ » الْمُهْلِكَاتُ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, “Sesungguhnya kalian akan melakukan amal-amal perbuatan yang dalam pandangan kalian lebih halus dari sehelai rambut (meremehkan dosa kecil), sedangkan kami menganggapnya pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk perkara yang menghancurkan.” Dan beliau berkata Al-Mubiqat adalah yang membinasakan.

[Shahih Al-Bukhari no. 6492]

Hadits 64.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللهِ تَعَالَى أَنْ يَأْتِيَ الْمَرْءُ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa baginda bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta'ala merasa cemburu dan kecemburuan Allah Ta'ala adalah, ketika seseorang melakukan apa yang diharamkan Allah atasnya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5223]

Penjelasan.

Anas bin Malik termasuk salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berumur panjang. Ia masih hidup setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat sekitar sembilan puluh tahun. Pada masanya banyak perkara-perkara yang  telah berubah, dan kondisi telah berbeda sehingga orang-orang meremehkan beberapa perkara yang besar di masa zaman sahabat radhiyallahu anhum, seperti shalat berjamaah, yang mana dahulu para sahabat tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang munafik atau orang sakit (ada udzur). Akan tetapi sekarang orang-orang menganggapnya remeh, tidak seperti apa yang dilakukan para sahabat di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan orang pada masa kita sekarang sudah meremehkan shalat itu sendiri, bukan hanya shalat berjamaah. Mereka tidak mahu shalat, atau sesekali ia shalat dan sekali ia tinggalkan atau ia akhirkan shalatnya dari waktunya. Semua perbuatan ini dianggap enteng oleh sebagian orang, padahal pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat dianggap sebagai bencana yang menghancurkan.

Demikian juga orang yang suka menipu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang melakukan penipuan bukanlah termasuk dari golonganku.”

[Shahih Muslim no. 101]

Akan tetapi lihatlah orang sekarang ternyata menipu bagi mereka dianggap enteng dari hal-hal yang lain, bahkan sebagian mereka menganggap menipu sebagai bagian dari jual beli dan akad-akad. Mereka menganggapnya sebagai bab kecerdikan dan kecerdasan -Kita memohon kepada Allah keselamatan- padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang-orang yang melakukan korupsi.

Di antara hal itu adalah berbohong, ini adalah perkara yang besar pada masa para sahabat radhiyallahu anhum, mereka memandangnya sebagai sesuatu yang menghancurkan, akan tetapi menurut orang sekarang dianggap perkara yang enteng. Maka sering kamu jumpai orang-orang yang sering berbohong dan ia tidak peduli berbohong, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Tidak henti-hentinya seseorang berbohong dan selalu berusaha berbohong sampai ia ditulis di sisi Allah sebagai pembohong.”

[Shahih Muslim no. 2607]

Terkadang seseorang berdusta pada perkara-perkara yang berbahaya, ia menentang apa yang menjadi hak orang lain yang bukan miliknya dan mereka memperkarakannya di pengadilan. Di depan hakim ia bersumpah dengan hal tersebut, maka jadilah ia termasuk orang yang dilemparkan oleh Allah dengan kemarahan-Nya. Banyak lagi masalah yang dianggap sahabat sebagai pembawa bencana, akan tetapi manusia berbeda-berbeda dalam menyikapinya maka jadilah semua itu di mata mereka lebih lembut dari sehelai rambut.

Sesungguhnya setiap kali iman semakin kuat, maka maksiat semakin besar dalam pandangannya, dan setiap melemahnya iman maka akan semakin ringan maksiat dalam hati manusia. Dia memandangnya sebagai perkara yang ringan yang ia anggap remeh dan bermalas-malasan dari kewajiban dan ia tidak begitu peduli, kerana keimanannya semakin melemah.

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilnya dari Abu Hurairah, “Sesungguhnya Allah Ta'ala merasa cemburu, dan kecemburuan Allah Ta'ala ketika seseorang melakukan apa yang diharamkannya.”

Ghirah (cemburu) adalah sifat yang tetap bagi Allah, akan tetapi kecemburuan-Nya tidak seperti kecemburuan kita, bahkan ia lebih besar lagi. Allah Ta'ala dengan hikmah-Nya mewajibkan bagi hamba-hamba-Nya beberapa hal yang Dia haramkan, dan yang Dia halalkan. Apa yang Dia wajibkan maka itu baik bagi bagi mereka di dalam agama dan dunianya, di masa sekarang atau dalam masa depan. Apa yang Allah haramkan bagi mereka, maka itu buruk bagi mereka dalam agama dan dunianya di masa sekarang atau masa depan mereka. Ketika Allah mengharamkan sesuatu atas hamba-Nya maka Dia akan cemburu apabila seseorang melanggar larangan-Nya. Bagaimana bisa seseorang melanggar larangan Tuhan-Nya padahal Allah Ta'ala melarangnya untuk kemaslahatan hamba-Nya. Jika ada seseorang yang bermaksiat kepada Allah maka itu tidak akan mengurangi keagungan-Nya. Akan tetapi, Dia cemburu, bagaimana seseorang yang mengetahui bahwa Allah Ta'ala Tuhan yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih lagi Penyayang yang tidak mengharamkan sesuatu kepada hamba-Nya kerana bakhil kepada mereka. Akan tetapi untuk kemaslahatan mereka, kemudian tiba-tiba hamba itu datang dan bermaksiat kepada Allah. Apalagi dalam perzinaan di mana ada riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa sesungguhnya baginda bersabda,

 “Tidaklah ada orang yang lebih cemburu dari Allah ketika budaknya berzina atau budak perempuannya dizinai.”

[Shahih Al-Bukhâri no. 1044 dan Muslim no. 901]

Kerana zina itu perbuatan yang sangat keji. Dan zina adalah jalan yang paling rendah kerana itu Allah mengharamkan atas hamba-Nya perzinaan dan semua sarana yang mengarah kepada perzinaan. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isrâ: 17: 32)

Ketika seorang hamba yang berzina -Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian- maka sesungguhnya Allah cemburu dengan sangat cemburu, lebih besar dari cemburunya atas sesuatu selain-Nya dari hal-hal yang diharamkan. Maka sesuatu yang lebih besar lagi adalah perbuatan homoseksual, seorang laki-laki melakukan hubungan seks dengan sesama lelaki, maka ini sungguh merupakan dosa yang sangat besar. Kerana itu, Allah menjadikan dosa ini sesuatu yang lebih besar kerusakannya daripada zina, maka Allah Ta'ala berfirman kepada Nabi Luth dan kaumnya,

“Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu (di dunia ini).” (QS. Al-A'râf: 7: 80)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala berfirman dengan menggunakan kata “al-faahisyah,” sedangkan dalam zina menggunakan kata “faahisyah.” Dan Allah menjadikan homoseksual (liwat) sebagai perbuatan yang paling keji. Kita memohon keselamatan kepada Allah. Demikian juga pencurian, minum khamer dan semua yang diharamkan, maka Allah cemburu darinya. Namun sebagian yang diharamkan itu lebih dicemburui daripada yang lain sesuai dengan kriminalitas dan kerusakan yang ditimbulkannya.

Dalam hadits ini ada penetapan sifat cemburu bagi Allah, dan merupakan pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah berdasarkan hadits dan ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Allah. Mereka menetapkan bagi Allah Ta'ala sesuai dengan Dzat-Nya. Mereka berkata, “Sungguh Allah itu cemburu, tetapi tidak seperti kecemburuan yang dimiliki makhluk-Nya, Sesungguhnya Allah itu gembira tetapi tidak seperti kegembiraan makhluk-Nya. Sesungguhnya Allah itu memiliki sifat-sifat yang sempurna yang sesuai dengan Dzat-Nya tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya.” Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 65.
عَنْ أَبِي هُريْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « إِنَّ ثَلاَثَةً مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْلَ: أَبْرَصَ، وأَقْرَعَ، وأَعْمَى، أَرَادَ اللهُ أَنْ يَبْتَلِيَهُمْ فَبَعَثَ إِلَيْهِمْ مَلَكاً، فأَتَى الْأَبْرَصَ فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: لَوْنٌ حَسَنٌ، وَجِلْدٌ حَسَنٌ، وَيَذْهَبُ عَنِّي الَّذِي قَدْ قَذَرَنِي النَّاسُ، فَمَسَحَهُ فَذَهَبَ عَنْهُ قَذَرُهُ وَأُعْطِيَ لَوْناً حَسنًا. قَالَ: فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: الْإِبِلُ-أَوْ قَالَ الْبَقَرُ شَكَّ الرَّاوِي-فأُعْطِيَ نَاقَةً عُشرَاءَ، فَقَالَ: بَارَك اللهُ لَكَ فِيْهَا.
فَأَتَى الْأَقْرعَ فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: شَعْرٌ حَسَنٌ، وَيَذْهَبُ عَنِّي هَذَا الَّذِي قَذِرَنِي النَّاسُ، فَمَسَحَهُ عَنْهُ أُعْطِيَ شَعْرًا حَسَنًا. قَالَ فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: الْبَقرُ، فأُعِطيَ بَقَرَةً حَامِلاً، وَقَالَ: بَارَكَ اللهُ لَكَ فِيهَا.
فَأَتَى الأَعْمَى فَقَالَ: أَيُّ شَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيْكَ؟ قَالَ: أَنْ يَرُدَّ اللهُ إِلَيَّ بَصَرِي فَأُبْصِرُ النَّاسَ، فَمَسَحَهُ فَرَدَّ اللهُ إِلَيْهِ بَصَرَهُ. قَالَ: فَأَيُّ الْمَالِ أَحَبُّ إِليْكَ؟ قَالَ: الْغَنَمُ، فَأُعْطِيَ شَاةً وَالِدًا فَأَنْتَجَ هَذَانِ وَولَّدَ هَذَا، فكَانَ لِهَذَا وَادٍ مِنَ الإِبِلِ، وَلَهَذَا وَادٍ مِنَ الْبَقَرِ، وَلَهَذَا وَادٍ مِنَ الْغَنَم.
ثُمَّ إِنَّهُ أَتَى الْأَبْرَصَ فِي صُوْرَتِهِ وَهَيْئتِهِ، فَقَالَ: رَجُلٌ مِسْكينٌ قَدِ انْقَطَعَتْ بِيَ الْحِبَالُ فِي سَفَرِي، فَلاَ بَلاَغََ لِيَ الْيَوْمَ إِلاَّ بِاللهِ ثُمَّ بِكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذي أَعْطَاكَ اللَّوْنَ الْحَسَنَ، وَالْجِلْدَ الْحَسَنَ، والْمَالَ، بَعِيْرًا أَتَبَلَّغُ بِهِ في سَفَرِي، فَقَالَ: الْحَقُوقُ كَثِيرةٌ. فَقَالَ: كَأَنِّي أَعْرِفُكُ أَلَمْ تَكُنْ أَبْرصَ يَقْذُرُكَ النَّاسُ، فَقِيْراً فَأَعْطَاكَ اللَّهُ، فَقَالَ: إِنَّمَا وَرِثْتُ هَذَا الْمَالَ كَابِرًا عَنْ كَابِرٍ، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ كَاذِباً فَصَيَّركَ اللَّهُ إِلى مَا كُنْتَ.
وأَتَى الْأَقْرَعَ فِي صُوْرَتِهِ وَهَيْئَتِهِ، فَقَالَ لَهُ مِثْلَ مَا قَالَ لِهَذَا، وَرَدَّ عَلَيْه مِثْلَ مَاردَّ هَذَّا، فَقَالَ: إِنْ كُنْتَ كَاذِباً فَصَيّرَكَ اللهُ إِليَ مَا كُنْتَ.
وأَتَى الأَعْمَى في صُورتِهِ وهَيْئَتِهِ، فَقَالَ: رَجُلٌ مِسْكِيْنٌ وَابْنُ سَبِيلٍ انْقَطَعَتْ بِيَ الْحِبَالُ في سَفَرِي، فَلاَ بَلاَغَ لِيَ اليَوْمَ إِلاَّ بِاللَّهِ ثُمَّ بِكَ، أَسْأَلُكَ بِالَّذي رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ شَاةً أَتَبَلَّغُ بِهَا في سَفَرِي؟ فَقَالَ: قَدْ كُنْتُ أَعْمَى فَرَدَّ اللَّهُ إِلَيَّ بَصَرِي، فَخُذْ مَا شِئْتَ وَدعْ مَا شِئْتَ، فَوَاللَّهِ مَا أَجْهَدُكَ الْيَوْمَ بِشْيءٍ أَخَذْتَهُ للَّهِ عزَّ وجلَّ. فَقَالَ: أَمْسِكْ مَالَكَ، فَإِنَّمَا ابْتُلِيتُمْ فَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنْكَ، وَسَخِطَ عَلَى صَاحِبَيْكَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya ada tiga orang dari Bani Israil; yang menderita penyakit. Yang pertama, menderita penyakit kusta, yang kedua berkepala botak dan yang ketiga buta. Kemudian Allah menguji mereka dengan mengutus malaikat menemui mereka.

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang berpenyakit kusta seraya berkata, “Apa yang paling kamu sukai?” Ia menjawab, “Warna yang bagus, kulit yang indah dan hilangnya penyakit pada diriku yang membuat orang jijik melihatku.” Kemudian malaikat itu mengusap (tubuh)nya, maka hilanglah penyakitnya dan ia diberikan warna kulit yang bagus. Kemudian malaikat itu berkata, “Harta apa yang paling kamu sukai?” Ia menjawab, “Unta.” -atau ia berkata, “Sapi.” dalam hal ini perawinya ragu-. Kemudian diberikan seekor unta yang hamil kepadanya. Lalu malaikat itu berkata, “Semoga Allah memberikan berkah kepadamu melalui unta ini.”

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang berkepala botak seraya berkata, “Apa yang kamu sukai?” Ia berkata, “Rambut yang bagus dan hilangnya penyakit dariku yang membuat manusia jijik melihatku.” Maka malaikat itu mengusap (kepala)nya sehingga hilanglah sesuatu yang membuatnya hina itu dan ia diberikan rambut yang bagus. Kemudian malaikat itu berkata, “Harta apa yang kamu sukai?” Ia berkata, “Sapi.” Kemudian diberikan seekor sapi yang hamil kepadanya. Lalu malaikat itu berkata, “Semoga Allah memberikan berkah kepadamu melalui sapi ini.”

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang buta seraya berkata, “Apa yang paling kamu sukai?” Ia menjawab, “Allah mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat orang-orang.” Maka malaikat itu mengusap (mata)nya, sehingga Allah mengembalikan penglihatanya. Kemudian malaikat itu berkata, “Harta apa yang kamu sukai?” Ia berkata, “Kambing.” Kemudian diberikan seekor kambing yang hamil.

Beberapa waktu kemudian, unta, sapi, dan kambing itu beranak pinak. Sehingga orang yang berpenyakit kusta mempunyai satu lembah yang penuh dengan unta, orang yang botak mempunyai satu lembah yang penuh dengan sapi, dan orang yang buta mempunyai satu lembah yang penuh dengan kambing.

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang berpenyakit kusta dalam bentuk dan keadaan seperti yang dialaminya dulu (sebagai orang yang berpenyakit kusta) seraya berkata, “Aku adalah seorang miskin yang kehabisan bekal di dalam perjalananku. Tidak ada sesuatu yang dapat kuharapkan memberi pertolongan pada hari ini selain Allah, kemudian pertolonganmu. Maka, aku meminta kepadamu demi Dzat yang telah memberikanmu warna kulit yang cantik, dan harta berupa unta, supaya aku dapat melanjutkan perjalananku.” Maka orang itu menjawab, “Banyak sekali hak-hak yang harus kupenuhi (sehingga aku tidak dapat membekalmu).” Kemudian malaikat itu berkata, “Sepertinya aku mengenalmu, bukankah kamu dulu orang yang berpenyakit kusta yang dicaci maki manusia dalam keadaan fakir, kemudian Allah memberi rahmat kepadamu (hingga seperti sekarang).” Kemudian orang itu berkata, “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini secara turun temurun dari kakekku dan dari orang tuaku.” Kemudian malaikat itu berkata, “Jika kamu berdusta, semoga Allah menjadikanmu sebagaimana keadaanmu sediakala.”

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang botak dalam bentuk dan keadaan seperti yang dialamainya dulu (sebagai orang yang botak), maka malaikat itu mengatakan seperti apa yang ia katakan kepada orang yang sebelumnya dan orang itu menjawabnya sebagaimana jawaban orang yang sebelumnya. Kemudian malaikat itu mengatakan, “Jika kamu berdusta, mudah-mudahan Allah mengembalikanmu seperti keadaanmu sediakala.” Kemudian malaikat ini mendatangi orang yang buta dalam bentuk dan keadaan sepertinya yang dialamaninya dulu (sebagai orang yang buta), kemudian malaikat itu berkata, “Aku seorang laki-laki miskin yang telah kehabisan bekal di dalam perjalananku. Tidak ada sesuatu yang dapat kuharapkan memberi pertolongan pada hari ini selain Allah kemudian pertolonganmu. Maka, aku meminta seekor kambing kepadamu demi Dzat yang telah mengembalikan penglihatanmu untuk dapat melanjutkan perjalananku.” Kemudian orang itu berkata, “Dulu aku juga buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku, maka ambillah apa yang kamu mahu dan tinggalkanlah apa yang kamu tidak mahu. Demi Allah, aku tidak akan memberatkanmu (meminta ganti rugi) dari sesuatu pada hari ini yang telah kamu ambil kerana Allah.” Kemudian malaikat itu mengatakan, “Jagalah hartamu, sesungguhnya kalian sedang diuji. Sesungguhnya Allah meridhaimu, dan Dia memurkai kedua temanmu (orang berpenyakit kusta dan orang yang botak).”

[Shahih Al-Bukhari no. 3464. Muslim no. 2964]

Penjelasan.

Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam riwayat yang dinukilkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang dari Bani Israil, yang satunya berpenyakit kusta yang kedua botak dan yang ketiga buta.”

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ada tiga orang dari Bani Israil.” Israil itu adalah Ishak bin Ibrahim ‘alaihissalam saudaranya Ismail. Dan di antara anak keturunan Israil adalah Musa, Harun, Isa. Dan semua Bani israil itu keturunan Ishak ‘alaihissalam. Ismail saudaranya Ishak maka mereka dengan orang-orang Arab itu hubungan anak paman. Telah diriwayatkan banyak kisah tentang Bani Israil yang terdiri dari tiga macam.

Pertama, apa yang telah disebutkan dalam Al-Qur'an.

Kedua, apa yang disebutkan dalam As-Sunnah yang shahih.

Ketiga, apa yang disebutkan oleh pendeta dan ulama Bani Israil.

Adapun yang pertama dan kedua maka tidak ragu lagi dalam menerimanya sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, “Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab, “Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?” Mereka menjawab, “Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?” Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zhalim.
(QS. Al-Baqarah: 2: 246)

Dan dari sunnah seperti hadits ini yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang diriwayatkan tentang Bani Israil dari para pendeta dan ulama mereka terbagi menjadi tiga bagian.

Yang pertama, apa yang dinyatakan syariat akan kebatilannya maka ini batil, wajib ditolak. Ini yang banyak sekali terjadi dalam riwayat yang dinukil dari israiliyat, di dalam tafsir Al-Qur'an, sesungguhnya dinukilkan dalam tafsir Al-Qur'an riwayat-riwayat Israiliyat yang dinyatakan syariat akan kebathilannya.

Yang kedua, apa yang dinyatakan  syariat akan kebenarannya, maka ini diterima bukan kerana ia kabar dari Bani Israil tetapi kerana syariat menyaksikan kebenarannya maka itu pasti benar.

Yang ketiga, yang tidak disebutkan dalam syariat baik dari segi pembenaran dan kebohongannya maka kita tawaqquf (berhenti), tidak membenarkannya dan tidak mendustakannya. Kerana jika kita membenarkan bisa jadi ini batil maka kita termasuk orang yang membenarkan kebatilan. Dan jika kita mendustakan mereka maka bisa jadi itu benar, berarti mendustakan mereka dalam kebenaran. Maka kita berdiam diri dan tidak apa-apa untuk sekadar menceritakannya dalam hal yang bermanfaat untuk sekadar memotivasi dan menakuti-nakuti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam hadits ini bahwa ada tiga orang dari Bani Israil yang diuji oleh Allah Ta'ala dengan penyakit yang ada di badan mereka, salah satunya berpenyakit kusta, botak tidak ada rambut di kepalanya dan yang ketiga buta tidak bisa melihat. Maka Allah Ta'ala menguji mereka, kerana Allah Ta'ala memang menguji hamba-Nya dengan sesuatu yang Dia sukai. Mereka diuji, apakah mereka sabar atau mengeluh jika diuji dengan sesuatu yang berat dan apakah mereka bersyukur dan peduli jika mereka diuji dengan kegembiraan. Maka Allah Ta'ala mengutus kepada mereka malaikat yang mendatangi mereka dan bertanya kepada mereka tentang sesuatu yang mereka sukai.

Dimulai dari orang yang berpenyakit kusta. Malaikat itu berkata, “Apa yang kamu sukai darimu? Ia berkata, “Warna yang bagus, kulit yang indah dan hilangnya penyakit pada diriku yang membuat orang jijik melihatku.” Kerana hal yang paling penting bagi seseorang adalah disembuhkan dari penyakitnya, apalagi penyakit yang tidak disukai manusia. Kemudian malaikat itu memegangnya maka ia pun sembuh dengan izin Allah. Hilanglah penyakit kustanya, dan ia diberikan warna kulit yang cantik. kemudian malaikat itu berkata kepada orang itu, “Harta apa yang kamu sukai?” Ia menjawab, “Unta -atau ia mengatakan, “Sapi”-, Yang jelas ia mengatakan unta, kerana pada kisah orang yang botak, malaikat memberikannya sapi. Maka orang itu diberikan unta yang hamil, dan malaikat itu berkata, “Semoga keberkahan Allah untukmu.” Maka hilanglah kefakiran, hilanglah cacat pada badannya, maka malaikat mendoakan supaya Allah memberkahinya dengan pemberian unta ini.

Kemudian malaikat itu mendatangi orang yang botak, dan berkata kepadanya, “Apa yang paling kamu sukai?” Ia berkata, “Rambut yang bagus dan hilangnya penyakit dariku yang membuat manusia jijik melihatku.” Kemudian malaikat itu memegangnya dan ia diberikan rambut yang bagus, dan berkata kepadanya, “Harta apa yang paling kamu sukai?” Ia berkata, “Sapi,” maka ia diberikan sapi yang hamil, kemudian malaikat itu berkata, “Semoga keberkahan Allah padamu.” Adapun orang yang buta maka malaikat ini pun datang kepadanya, dan berkata, “Apa yang paling kamu sukai?” Ia berkata, “Allah mengembalikan penglihatanku, sehingga aku bisa memandang manusia,” renungkanlah ucapan orang buta ini, sesungguhnya dia tidak meminta kecuali ia bisa melihat manusia saja. Adapun orang yang terkena penyakit kusta dan orang yang botak, kedua-duanya berkeinginan sesuatu yang lebih besar dari kebutuhan, kerana orang yang penyakit kusta berkata, “Warna yang bagus, kulit yang indah,” yang satunya lagi mengatakan rambut yang baik. Bukan sekadar kulit, atau rambut atau warna, bahkan ia menginginkan sesuatu yang lebih. Adapun orang yang ketiga, maka ia memiliki kezuhudan, ia tidak meminta kecuali ia bisa melihat manusia saja. Kemudian malaikat bertanya kepada dia lagi, “Harta apa yang paling kamu sukai?” Ia menjawab, “Kambing,” dengan kezuhudannya ia tidak menginginkan unta ataupun sapi, tetapi hanya kambing, kerana ukuran kambing kalau dibandingkan unta dan sapi maka itu sedikit. Kemudian orang itu diberikan kambing yang hampir melahirkan, kemudian malaikat itu mendoakannya, “Semoga keberkahan Allah padamu.” Maka Allah memberi keberkahan pada yang pertama dengan untanya, yang kedua dengan sapinya, dan yang ketiga dengan kambingnya, sehingga ketiga orang ini memiliki lembah-lembah yang penuh dengan ternak masing-masing.

Kemudian malaikat mendatangi lagi orang yang terdahulu terkena kusta dalam bentuk dan keadaannya (dulu), yakni bentuk badan dan penampilan yang menyedihkan, memakai pakaian fakir, dan berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku seorang yang miskin dan dalam perjalanan, telah putus taliku dalam perjalanan, tidak ada yang bisa menyampaikan perjalananku hari ini kecuali dengan Allah kemudian denganmu.” Maka malaikat ini bertawasul dengan menyebutkan bahwa keadaannya fakir di dalam perjalanan, yakni seorang musafir yang kehabisan bekal untuk bisa kembali kepada keluarganya dan tidak ada yang bisa menyampaikannya kepadanya kecuali Allah dan orang itu. Kemudian malaikat itu berkata kepadanya, “Aku meminta dengan Dzat yang telah memberikanmu kulit yang baik dan harta berupa seekor unta untuk melanjutkan perjalananku.” Akan tetapi orang itu berkata, “Sesungguhnya hak-hakku banyak sekali.” Dia bakhil dengan permintaan itu. Padahal dia memiliki unta yang memenuhi lembah. Akan tetapi, dia tetap saja berkata bahwa hak-haknya banyak dan dia berdasarkan hal yang jelas -wallahu'alam - tidak menunaikan sedikit pun dari ternak tersebut. Kerana dia menjadi orang yang paling berhak dari orang yang ada kerana orang itu musafir, fakir, yang terputus dari bekal, sehingga siapa lagi yang lebih berhak daripada orang seperti ini. Namun demikian, orang tersebut tetap saja memberikan alasan atas keengganannya itu.

Kemudian malaikat itu mengingatkannya atas peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya dan ia berkata kepada orang tersebut, “Sesungguhnya aku telah mengetahuimu, bukankah kamu dulu berpenyakit kusta dan kamu dicaci oleh manusia kerana fakir, maka Allah kemudian memberikanmu harta, warna kulit yang bagus.” Akan tetapi -Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian- dia berkata, “Sesungguhnya aku mewarisi harta ini dari orang tuaku.” Dia mengingkari nikmat ini. Maka malaikat itu berkata kepadanya, “Jika kamu berdusta maka Allah akan mengembalikan keadaanmu seperti sediakala.” Yakni jika kamu berdusta dengan apa yang kamu ucapkan maka Allah akan menjadikanmu seperti keadaanmu sebelumnya dengan kefakiran dan berpenyakit kulit. Dan yang jelas dari hadits ini bahwa Allah mengabulkan doa malaikat tersebut. Walaupun doa ini bersyarat. Akan tetapi, kerana dia berdusta tanpa keraguan, kerana jika syarat terwujudkan maka terwujudlah apa yang disyaratkan.

Kemudian malaikat mendatangi lagi orang yang berpenyakit berkepala botak, maka ia berkata kepadanya sebagaimana apa yang dikatakannya kepada orang yang berpenyakit kusta dan orang itu pun menjawab sebagaimana jawaban orang yang penyakit kusta. Malaikat itu berkata, “Jika kamu berdusta maka Allah akan menjadikanmu seperti sedia kala.”

Kemudian malaikat mendatangi orang yang buta dan menyebutkan kepadanya nikmat Allah atasnya, maka orang itu berkata kepada malaikat, “Dulu aku juga orang yang buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatanku, dan aku juga orang yang fakir kemudian Allah memberikanku harta.” Dia mengakui nikmat-nikmat Allah. Dan ia berkata, “Maka ambillah apa yang kamu mahu dan tinggalkanlah apa yang kamu tidak sukai. Demi Allah, aku tidak akan memberatkanmu (meminta ganti rugi) dari sesuatu pada hari ini yang telah kamu ambil kerana Allah.” Lihatlah sikap syukur ini dan pengakuan atas nikmat Allah. Kemudian malaikat itu berkata kepadanya, “Peganglah hartamu, sesungguhnya kalian itu telah diuji dan Allah Ta'ala meridhaimu dan membenci kedua sahabatmu.”

Hadits ini menunjukkan bahwa kisah ini sangat terkenal di antara manusia, kerananya malaikat itu mengatakan, “Allah telah memurkai kedua sahabatmu.” Kemudian dia tetap memelihara hartanya dan Allah terus memberikan nikmat penglihatan atasnya. Adapun kedua orang yang lain maka yang jelas Allah Ta'ala mengembalikan keduanya dalam keadaan sedia kala dalam keadaan fakir dan berpenyakit. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian.

Dalam hadits ini ada dalil yang menunjukkan bahwa, mensyukuri nikmat Allah atas hamba merupakan sebab-sebab kelanggengan dan bertambahnya nikmat, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 14: 7)

Di dalam kisah-kisah mereka ini ada tanda-tanda kekuasaan Allah, di antaranya penetapan malaikat. Dunia malaikat adalah alam ghaib yang ditetapkan oleh Allah dari cahaya dan menjadikan bagi mereka kekuatan untuk melaksanakan perintah Allah Ta'ala dan dijadikan bagi mereka keinginan untuk menaati Allah sehingga mereka tidak akan pernah bermaksiat kepada Allah dalam hal yang diperintahkan kepada mereka dan mereka melakukan apa yang diperintahkan.

Di antaranya juga bahwa malaikat itu dapat berubah wujud ke dalam wujud Bani Adam. Kerana sesungguhnya malaikat mendatangi ketiga orang tersebut dalam bentuk manusia. Yang selanjutnya, para malaikat itu mampu berkamuflase dalam bentuk orang-orang tertentu seperti bentuk orang yang berpenyakit kusta, orang yang botak, dan orang yang buta dalam kesempatan-kesempatan yang berbeda. Diantaranya juga, boleh bagi seseorang untuk menguji orang lain dengan mendatangai orang tersebut dalam keadaan-keadaan tertentu untuk mengujinya kerana malaikat ini datang dalam bentuk manusia yang sangat membutuhkan yang tertimpa penyakit. Untuk mengambil hati ketiga orang tersebut. Padahal sesungguhnya malaikat -pada kenyataannya, dan ilmu itu ada di sisi Allah- tidak akan ditimpa penyakit sedikit pun. Akan tetapi Allah telah menjadikan mereka mendatangi orang-orang tersebut dalam bentuk ini untuk menguji, di antaranya bahwa sesungguhnya malaikat itu memegang orang kusta, orang botak dan orang buta dengan satu usapan kemudian Allah Ta'ala menghilangkan cacat-cacat tersebut dengan usapan itu. Kerana Allah jika menginginkan sesuatu Dia mengatakan, “Kun (jadilah).” Maka jadilah. Jika Allah berkehendak untuk menghilangkan dari mereka penyakit. Akan tetapi Allah menjadikan ini sebagai sebab untuk menguji mereka. Di antaranya Allah Ta'ala telah memberikan keberkahan kepada manusia dengan harta sehingga berkembangbiaklah menjadi sangat banyak sehingga ke tiga orang ini masing-masing memiliki lembah-lembah yang dipenuhi dengan unta, sapi dan kambing. Semua ini merupakan keberkahan dari Allah Ta'ala. Dan malaikat telah mendoakan kepada setiap mereka dengan doa barakah.

Diantaranya adanya perbedaan antara anak manusia dalam bersyukur terhadap nikmat Allah dan perbedaan dalam memanfaatkannya. Kerana sesungguhnya orang yang berpenyakit kusta dan botak telah diberikan Allah harta yang sangat banyak. Akan tetapi, keduanya mengingkari nikmat Allah dan mengatakan, “Sesungguhnya kami mewarisinya dari orang tua kami.” Dalam hal ini mereka telah berdusta, yang sebenarnya mereka itu dulunya adalah orang fakir yang telah diberikan harta oleh Allah. Adapun orang yang buta maka dia bersyukur atas nikmat Allah dan dia mengakui pada Allah dengan segala keutamaan. Kerananya Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya, sehingga dia mampu berkata kepada malaikat, “Ambillah apa yang kamu mahu dan tinggalkanlah apa yang kamu tidak sukai.” Di antaranya juga penetapan ridha dan murka bagi Allah Ta'ala bahwa keduanya merupakan sifat-sifat yang wajib ditetapkan pada Tuhan kita. Kerana Dia telah mensifati diri-Nya dengan sifat-sifat tersebut.

Dalam Al-Qur'an sifat ridha disebutkan dalam ayat berikut,

“Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (QS. At-Tâubah: 9: 100)

Dan tentang kemurkaan Allah, dalam firman-Nya,

“Yaitu kemurkaan Allah, dan mereka akan kekal dalam adzab.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 80)

Dan tentang kemarahan Allah terdapat dalam firman-Nya,

“Allah murka kepadanya dan melaknatnya.”
(QS. An-Nisâ: 4: 93)

Sifat-sifat ini perlu diimani oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahwa sifat-sifat ini tetap bagi Allah dari segala hakikatnya. Akan tetapi tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya, sebagaimana Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya maka demikian juga sifat-sifat-Nya tidak serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya.

Di antara manfaat hadits ini adalah bahwa sesungguhnya di dalam Bani Israil itu ada hal-hal yang menakjubkan dan tanda-tanda yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakannya kepada kita dari kabar-kabar mereka itu sehingga kita menjadikan tauladan dan pengajaran. Demikian juga seperti hadits ini adalah kisah tiga orang yang berlindung di dalam goa kemudian jatuhlah sebuah batu yang menutupi pintu goa. Mereka tidak bisa keluar darinya maka masing-masing dari mereka bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shaleh yang mereka lakukan.

Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan kepada kita cerita-cerita Bani Israil yang di dalamnya ada nasehat-nasehat dan pelajaran-pelajaran. Maka bagi kita untuk mengambil dari hadits-hadits ini pelajaran supaya manusia mensyukuri nikmat Allah dan mengakui keutamaan-keutamaan Allah, dan menunaikan apa yang menjadi kewajiban baginya dalam harta tersebut, maka demikian itu menjadi sebab-sebab langgeng dan berkahnya harta. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 66.
عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّادِ بْن أََوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلكَيِِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا، وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ الْأَمَانِيَّ » رَوَاهُ التِّرْمِذيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Abu Ya'la Syaddad bin Aus radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

“Orang yang cerdas itu adalah orang yang menahan hawa nafsunya dan melakukan amal untuk setelah kematiannya. Dan orang yang lemah itu adalah orang yang hanya mengikuti hawa nafsunya dan selalu berangan-angan kepada Allah dengan berbagai angan-angan.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2459, dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Jami Ash-Shagir no. 4305]

Penjelasan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, al-kayyis maknanya seorang yang cerdas yang selalu memanfaatkan kesempatan dan membentengi dari hawa nafsunya sehingga tidak luput hari dan malamnya dengan sia-sia.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang menjauhi hawa nafsunya.” Yakni orang yang menahan hawa nafsunya dan melihat apa yang harus dilakukan dari perintah-perintah tersebut dan apa yang harus ditinggalkan dari hal-hal yang dilarang. Apakah ia telah melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang telah dilarang. Jika dia melihat dari dirinya kekurangan dalam melakukan kewajiban maka dia cepat-cepat membenahinya. Jika dia mampu membenahinya maka dia akan melaksanakannya atau ia akan menggantikannya dengan yang lain. Jika dia melihat di dalam dirinya terjatuh ke dalam perkara yang haram, maka dia berusaha menarik dirinya, menyesal, bertaubat dan istighfar.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan beramal untuk setelah kematiannya.” Yakni amal akhirat. Kerana sesudah kematian itu ada akhirat. Dan inilah yang benar dan harus dikokohkan bahwa manusia beramal untuk sesuatu setelah kematian. Kerana di dunia ini dia hanya melewatinya, sementara yang dicita-cita itu adalah setelah kematian. Jika seseorang telah melewati dan melalui hari-hari dan menyia-nyiakannya tanpa faedah untuk akhiratnya maka dia bukanlah orang yang cerdas. Orang yang cerdas itu adalah orang yang berbuat sesuatu untuk setelah kematian. Orang yang lemah itu adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya. Dia tidak peduli kecuali dengan perkara-perkara dunianya, mengikuti hawa nafsu, tidak menunaikan perintah dengan baik dan mengerjakan hal-hal yang dilarang kemudian dia berangan-angan kepada Allah dengan angan-angan yang tinggi. Dia berkata, “Allah Maha Pengampun lagi Mahakasih Sayang, maka aku akan segera bertaubat kepada-Nya di masa mendatang, aku akan memperbaiki keadaanku di hari tua.” Dan hal-hal yang serupa ini dari angan-angan dusta yang diseleweng oleh setan. Bisa jadi dia melakukannya dan bisa jadi dia kehilangan kesempatan.

Dalam hadits ini ada anjuran untuk selalu memanfaatkan kesempatan dan untuk tidak menghabiskan waktu kecuali dalam hal yang diridhai Allah. Dalam hadits ini juga ada anjuran untuk meninggalkan rasa malas, menganggap remeh dan berandai-andai kerana angan-angan itu adalah sesuatu yang tidak bermanfaat sedikitpun. Sebagaimana yang dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah,

“Bukanlah keimanan itu dengan berandai-andai dan tidak pula berhias diri. Akan tetapi keimanan adalah yang tertancap di dalam hati dan dibenarkan dengan amal perbuatan.

[Hr. Ibnu Al-Mubarak di dalam Al-Zuhud no. 1565 dengan sanad yang Dhaif dan Mubham (tidak diketahui).]

Maka wajib bagi kita wahai saudara-saudaraku untuk selalu berupaya memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengerjakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-Nya, sehingga ketika kita bertemu dengan Allah, kita dalam keadaan sempurna. Kita memohon kepada Allah untuk membantu kita sekalian di dalam mengingati-Nya, bersyukur kepada-Nya dan beribadah dengan baik. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 67.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالَا يَعْنِيْهِ » حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ التِّرْ مِذِيُّ وَغَيْرُهُ. 
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Di antara tanda-tanda kebaikan (kesempurnaan) Islam seseorang adalah, ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 2317, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahihul Jami' no. 5911]

Hadits 68.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « لَا يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيْمَ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ » رَاوُهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ.
Daripada Umar radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak akan ditanya seorang suami kenapa ia memukul istrinya.”

[Hr. Abu Dawud no. 2147. Ibnu Majah no. 1986, dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Al-Jami' no. 6530 dan Irwaul Ghalil no. 2034]

Penjelasan.

Keislaman seorang adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Ta'ala secara lahir dan batin. Adapun secara batin adalah penyerahan diri seorang hamba kepada Tuhannya dengan memperbaiki aqidah dan hatinya, serta mengimani segala yang wajib diimani sebagaimana dalam hadits yang telah lalu dari hadits Jibril ‘alaihissalam.

Adapun penyerahan diri secara lahir adalah memperbaiki amal lahirnya, seperti ucapan-ucapannya secara lisan, perbuatan dan anggota badannya. Manusia berbeda-beda dalam keislamannya dengan perbedaan yang lahir, sebagaimana orang berbeda dalam penampilan dan bentuknya. Di antara mereka ada yang tinggi dan ada yang pendek, di antara mereka ada yang gemuk, dan ada yang kurang dari itu. Ada di antara mereka ada yang jelek, dan ada yang cantik berbeda dengan perbedaan yang lahir, demikian pula mereka berbeda dalam keislaman mereka kepada Allah Ta'ala sehingga Allah berfirman,

“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik.” 
(QS. Al-Hadîd: 57: 10)

Jika manusia berbeda dalam keislamannya, maka yang menjadi nilai tambah dalam kebaikan islamnya adalah ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan tidak penting baginya dalam urusan agamanya mahupun dalam urusan dunianya. Seorang muslim, jika ia ingin menghendaki islamnya menjadi baik maka hendaknya ia meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya.

Misalnya, suatu perbuatan yang ragu-ragu antara dilakukan dan tidak dilakukan, maka hendaklah dilihat apakah perbuatan itu penting bagi agamamu atau duniamu. Jika demikian maka kerjakanlah dan jika tidak maka tinggalkanlah. Maka menyerah diri itu lebih selamat.

Demikian juga apa yang berkaitan dengan urusan manusia jika tidak penting bagimu. Ini berbeda dengan apa yang biasa dilakukan oleh sebagian manusia hari ini yang gemar mencari tahu tentang rahasia orang lain dan keadaan mereka, sehingga ketika dia menemukan orang yang sedang berbincang-bincang maka dia berusaha untuk mendekatinya supaya bisa mendengar perbincangan mereka. Kemudian apabila ia menemukan orang lain yang datang dari satu arah, kemudian ia melihatnya sedang mencari, maka terbesitlah di hati orang tersebut untuk bertanya kepadanya, “Dari mana kamu datang? apa yang dikatakan oleh Fulan kepadamu dan apa yang kamu katakan kepadanya?” Dan yang semisalnya ini dari perkara-perkara seperti ini yang bukan kepentingannya dan tidak menjadi faedah baginya. Maka perkara-perkara yang tidak menjadi kepentinganmu maka tinggalkanlah kerana ini merupakan bentuk kebaikan dalam Islam. Dan ini adalah bentuk ketenangan bagi seseorang.

Adapun orang yang selalu berusaha mengoreksi keadaan orang lain maka ini akan menyebabkannya lelah dan kehilangan kebaikan yang banyak, padahal hal tersebut tidak bermanfaat baginya. Maka kamu hendaklah menjadikan perjalananmu merupakan perjalanan jiwamu, kepentinganmu adalah kepentingan jiwamu, perhatikanlah apa yang dapat bermanfaat bagimu. Dan lakukan apa yang bermanfaat bagimu, dan sesuatu yang tidak bermanfaat bagimu, maka tinggalkanlah. Kerana bukanlah kebaikan bagi seseorang muslim untuk mengoreksi kabar yang tidak penting bagimu.

Jikalau kita berjalan seperti ini dan orang-orang berjalan sesuai kepentingan dirinya dan tidak melihat kepada orang lain, maka akan terdapatlah kebaikan yang banyak. Adapun sebagian manusia, kamu akan temukan mereka sibuk akan urusan orang lain dalam hal yang tidak ada manfaat baginya. Ia menyia-nyiakan waktunya, menyibukan hatinya, menyempitkan pikirannya dan menyia-nyiakan kebaikan yang banyak. Kamu akan menemukan seseorang yang selalu berjalan dan tidak ada yang menjadi perhatiannya kecuali dirinya dan apa-apa yang bermanfaat baginya. Maka jadilah ia orang yang berprestasi yang sukses dan menjadi orang yang tenang dalam pemikiran, hati dan badannya. Kerana, hadits ini termasuk ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memiliki kandungan yang sangat besar (jawami' al-kalim). Maka jika kamu ingin melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu lihatlah apakah itu sesuatu yang penting bagimu atau tidak. Jika memang bukan kepentinganmu maka tinggalkanlah dan istirahatlah dari hal tersebut. Namun, jika itu merupakan kepentinganmu maka sibukkanlah dirimu dengan hal itu secukupnya. Jadi kesimpulannya bahwa manusia yang berakal sebagaimana yang disebutkan dalam hadits sebelumnya adalah orang yang menjauhkan nafsunya dan berbuat untuk sesuatu setelah kematian. Maka setiap orang yang berakal selalu berusaha untuk beramal dengan sesuatu yang menjadi persiapannya setelah kematian. Ia menghisab dirinya atas amal-amal yang ia lakukan. Allahlah yang memberi taufik.

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...