۞وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ۞
“Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan Dia dengan sesuatu apa juga, hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa, dan kaum kerabat, anak-anak yatim, orang miskin, jiran tetangga yang dekat, jiran tetangga yang jauh, rakan sejawat, orang musafir yang terlantar dan juga hamba yang kamu miliki.” (QS. An-Nisa: 4: 36)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ۞
(QS. An-Nisa: 4: 1)
Allah ﷻ berfirman:
“Dan orang-orang yang menghubungkan perkara-perkara yang disuruh oleh Allah supaya dihubungkan.” (QS. Ar-Ra’d: 13: 21)
۞وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا۞
Allah ﷻ berfirman:
۞وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا۞
Allah ﷻ berfirman:
۞وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا، وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا۞
Allah ﷻ berfirman:
۞وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ۞
“Dan Kami wajibkan manusia berbuat baik kepada kedua ibu-bapanya; ibunya telah mengandung hingga akhir menyusunya), dan tempoh menceraikan susunya ialah dalam masa dua tahun; (dengan demikian) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua ibubapamu.” (QS. Lukman: 31: 14)
Hadits no. 312
عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعَودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى؟ قَالَ: « اَلصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا » قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: « بِرُّ الْوَالِدَيْنِ » قُلْتُ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: « اَلْجِهَادُ فِي سَبِيِلِ اللهِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berbuat baik kepada kedua orang tua.”
Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berjihad di jalan Allah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 527. Muslim no. 85]
Hadits no. 313
وَعَنْ أَبِي هُرَيرةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قاَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَا يَجْزِي وَلَدٌ وَالِدًا إِلَّا أَنْ يَجِدَهُ ممْلُوكًا، فَيَشْتَرِيَهُ، فَيَعْتِقَهُ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang itu tidak akan dapat membalas budi kedua orang tuanya, kecuali jika dia mendapati orang tuanya menjadi hamba sahaya, kemudian dia membelinya dan memerdekakannya.”
[Shahih Muslim no. 1510]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan bab, “Berbakti kepada kedua orang tua dan silaturrahim.” Kedua orang tua adalah bapak dan ibu, disebutkan dengan kata Al-Birr dan Shillatu Al-Arhaam mengikuti teks yang ada dalam hadits. Arhaam artinya kerabat.
Berbakti kepada orangtua adalah amalan yang paling utama, bahkan merupakan hak kedua setelah Allah dan Rasul-Nya.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebtkan beberapa ayat dalam masalah ini,
“Dan hendaklah kamu beribadat kepada Allah dan janganlah kamu menyekutukan Dia dengan sesuatu apa juga, hendaklah kamu berbuat baik kepada kedua ibu bapa.” (QS. An-Nisâ: 4: 36)
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu dan bapa.”
(QS. Al-Isrâ: 17: 23)
“Dan Kami wajibkan kepada manusia agar (berbuat) kebaikan kepada kedua orangtuanya.” (QS.Al-Ankabût: 29: 8)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku kepada kedua orangtuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (QS. Luqmân: 31: 14)
“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “Hah!” dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. Al-Isrâ: 17: 23-24)
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku kepada kedua orangtuamu.”
(QS. Luqmân: 31: 14)
Semua ayat ini menunjukkan betapa agungnya hak orang tua. Allah menjelaskan bagaimana hak seorang ibu, ia mengandung anaknya dengan penuh kelemahan, kemudian melahirkan dengan sangat payah, lemah dan sulit. Sebagaiana firman Allah Ta'ala,
“Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqâf: 46: 15)
Semua penjelasan ini menunjukkan betapa besarnya hak seorang ibu.
Kemudian Allah Ta’ala menyebutkan kondisi usia lanjut orang tua dengan firman-Nya, “Jika salah seorang daripada keduanya, atau kedua-keduanya sekali, sampai kepada umur tua dalam jagaan dan peliharaanmu, maka janganlah engkau berkata kepada mereka (sebarang perkataan kasar) sekalipun perkataan, “Hah!” Kerana orang tua jika telah menginjak usia lanjut jiwanya sangat lemah, ia sangat membutuhkan kasih sayang anaknya. Oleh kerana itu, janganlah sampai mengucapkan perkataan, “hah!” Maksudnya jangan sampai menampakkan kemarahan kepada keduanya, tetapi perlakukanlah dengan baik, lemah lembut dan kasih sayang, jangan sampai membentak keduanya jika berbicara, “Tetapi katakanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” Maksudnya jawablah ucapan keduanya dengan perkataan yang baik, kerana hak kedua orang tua begitu angung.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ditanya olehnya, “Amalan apakah yang paling disukai Allah Ta’ala?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” Aku bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Rasulullah menjawab, “Berjihad di jalan Allah.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan urutan berbakti kepada orang tua sebelum berjihad di jalan Allah. Inilah dalil keutamaan berbakti kepada orang tua. Jika ada yang bertanya, “Apa itu berbakti?” Kita jawab, “Berbakti itu berbuat baik kepada mereka, baik dengan ucapan, perbuatan, memberikan harta sekemampuannya dan bertakwalah kepada Allah semampu kalian.” Lawan dari berbakti adalah durhaka.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits yang kedua yaitu sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Seorang anak tidak dapat membalas budi kedua orang tuanya, kecuali jika dia mendapati orang tuanya menjadi hamba sahaya, kemudian dia membelinya dan memerdekakannya.” Membebaskannya dengan cara membelinya, kerana ia telah melepaskannya dari perbudakan sesama manusia. Hadits ini tidak menunjukkan bahwa orang yang telah memiliki ayahnya berarti ia tidak memerdekakannya. Tetapi kita katakan bahwa orang yang membeli ayahnya dari perbudakan berarti ia telah membebaskannya, kerana seseorang yang telah memiliki ayahnya berarti ia telah membebaskannya dengan hanya memilikinya, tidak perlu harus mengatakan, “Saya telah membebaskannya.” Demikian juga dengan ibu.
Hadits no. 314.
وَعَنْأيْضًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ، وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلْيِقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ » مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetamunya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia menyambung silaturrahim dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6018. Muslim no. 47]
Hadits no. 315.
وَعَنٔهُ قاَلَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْهُمْ قَامَتِ الرَّحِمُ، فَقَالَتْ: هَذَا مُقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنَ الْقَطِيعةِ، قَالَ: نَعَمْ أَمَا تَرْضِينَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ، وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ؟ قَالَتْ: بَلَى، قاَلَ فَذَلِكَ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِقْرَءُوا إِِنْ شِئتُمْ: { فَهَلِ عَسَيْتُمْ إِِن تَوَلَّيْتُم أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَ رْضِوَ تُقَطِّعُوٓا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَــٰٓئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَىٰ أَبْصَـٰرَهُمْ } [ محمد: ٣٣,٢٢ ] مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menciptakan seluruh makhluk, sehingga setelah selesai Allah menciptanya, maka rahim (persaudaraan) pun berkata, “Inikah tempat bagi yang berlindung kepada-Mu daripada terputusnya silaturrahim?”
Allah menjawab, “Benar. Tidakkah kamu rela bahwasanya Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan yang memutuskanmu?”
Rahim menjawab, “Tentu, wahai Rabb.”
Allah berfirman, “Yang demikian itu tetap bagimu.”
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu semua mahu, bacalah ayat berikut ini, “Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan melakukan kerosakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang di kutuk oleh Allah; (orang-orang yang melakukan perkara tersebut) merekalah yang di laknat oleh Allah serta ditulikan pendengaran mereka, dan di butakan penglihatan.”
(QS. Muhammad 47: 22-23).
[Shahih Al-Bukhari no. 4830, 5987, 7502 dan Muslim no. 2554]
Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Allah Ta'ala berfirman, “Barangsiapa yang menyambungmu (silaturrahim) niscaya Allah akan menyambungnya dan barangsiapa yang memutuskanmu (silaturrahim) maka Allah akan memutuskannya.”
Hadits no. 316
وَعَنْهُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: « أُمُّكَ » قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: « أُمُّكَ » قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: « أُمُّكَ » قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: « أَبُوكَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ؟ قَالَ: « أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثمَّ أَبَاكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ ».
وَ« الصَّحَابَةُ » بِمَعْنَى: الصُّحْبَةِ. وَقَوْلُهُ: « ثُمَّ أَبَاكَ » هَكَذَا هُوَ مَنْصُوبٌ بِفِعْلٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ ثُمَّ بُرَّ أَبَاكَ وَفِي رِوَايَةٍ: « ثُمَّ أَبُوكَ » وَهَذَا وَاضِحٌ.
وَفِي رِوَايَةٍ: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ؟ قَالَ: « أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثمَّ أَبَاكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ ».
وَ« الصَّحَابَةُ » بِمَعْنَى: الصُّحْبَةِ. وَقَوْلُهُ: « ثُمَّ أَبَاكَ » هَكَذَا هُوَ مَنْصُوبٌ بِفِعْلٍ مَحْذُوفٍ، أَيْ ثُمَّ بُرَّ أَبَاكَ وَفِي رِوَايَةٍ: « ثُمَّ أَبُوكَ » وَهَذَا وَاضِحٌ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu!”
Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ibumu!”
Sekali lagi orang itu bertanya, “Kemudian siapa lagi?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ayahmu!”
[Shahih Al-Bukhari no. 5988, 5989 Muslim no. 2548]
Dalam riwayat lain dikatakan, “Wahai Rasulullah siapakah yang paling berhak aku bergaul dengan baik?”
Rasulullah menjawab, “Ibumu, Ibumu, Ibumu, kemudian ayahmu, lalu orang yang lebih dekat denganmu, dan yang lebih dekat lagi dengan kamu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548]
Penjelasan.
Kedua hadits ini menjelaskan keutamaan menyambung tali silaturrahim. Kata Ar-Rahm sebagaimana penjelasan sebelumnya adalah kerabat yang terdekat. Silaturrahim ini sesuai dengan kebiasaan dan adat masyarakat, kerana tidak dijelaskan dalam Al-Qur'an atau As-Sunnah tentang macam, jenis dan batasannya, kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasinya secara rinci. Misalnya Rasulullah tidak membatasi makna silaturrahim bahwa mereka harus makan bersama anda, minum berpakaian, tinggal, dan sebagainya. Akan tetapi dimaknai secara mutlak, sehingga kembali kepada tradisi masyarakat. Apa yang berlaku pada tradisi sebagai silaturrahim, maka hal itu termasuk ke dalam silaturrahim dan apa yang berlaku pada tradisi sebagai pemutusan silaturrahim maka hal itu juga termasuk ke dalam memutuskan silaturrahim, inilah kaidahnya.
Jika tradisi itu sudah dianggap rusak, dimana orang-orang sudah tidak peduli lagi dengan pemutusan silaturrahim. Menurut mereka memutuskan silaturrahim itu dianggap sebagai silaturrahim, maka tidak ada pelajaran yang dapat diambil dari tradisi ini, kerana tradisi ini bukanlah tradisi Islam. Negara-negara kafir sekarang tidak lagi memperdulikan keluarga, masing-masing tidak saling mengenal, sehingga seseorang apabila anaknya telah tumbuh remaja dan dewasa, maka anak itu baginya seperti orang asing yang tidak mengenal bapaknya, kerana mereka tidak mengenal silaturrahim dan tidak mengenal cara bertetangga yang baik, semua perkara mereka kacau balau, kerana mereka telah dihancurkan oleh kekafiran, Naudzu Billah. Tetapi pembicaraan kita ini tentang masyarakat muslim yang terjaga, maka apa yang dikategorikan oleh orang-orang sebagai bentuk silaturrahim, maka hal itu termasuk silaturrahim dan apa yang dikategorikannya sebagai pemutus silaturrahim, maka hal itu juga dikatakan sebagai pemutus silaturrahim.
Dalam hadits Abu Hurairah yang pertama, bahwa Allah Ta'ala berjanji kepada rahim untuk menyambung orang yang menyambungnya dan memutuskan orang yang memutuskannya. Dalam hadits ini terdapat anjuran dan motivasi untuk menjalin silaturrahim. Jika anda ingin Allah Ta'ala menjalinmu -setiap orang berkeinginan agar Allah menjalinnya- maka hendaknya anda menjalin silaturrahim. Sebaliknya, jika anda ingin agar Allah memutuskanmu, hendaknya anda memutuskannya, itulah balasan yang setimpal. Selagi seseorang masih menjalin silaturrahim, maka Allah pun akan menjalinnya. Apabila ia lalai, maka pahalanya akan diberikan sesuai dengan apa yang ia kerjakan, Allah tidak pernah menzhalimi seseorang.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala,
“Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan melakukan kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang di kutuk oleh Allah; (orang-orang yang melakukan perkara tersebut) merekalah yang di laknat oleh Allah serta ditulikan pendengaran mereka, dan di butakan penglihatan.”
(QS. Muhammad 47: 22-23)
Allah Ta'ala menjelaskan bahwa orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan jalinan silaturrahim itu terlaknat, yakni mereka terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah Ta'ala, membuatnya tuli; mereka tidak mendengar kebenaran dan jika mereka mendengarnya pun, mereka tidak akan dapat mengambil manfaat darinya. Dan Allah Ta'ala membutakan pandangan mereka; mereka tidak melihat kebenaran, jika dapat melihatnya pun mereka tidak akan mungkin mengambil manfaat darinya. Jalan kebaikan mereka telah hancur, kerana pendengaran dan penglihatanlah yang menyampaikan informasi ke lubuk hati, jika jalan itu tertutup, maka kebaikan pun tidak akan pernah sampai. Naudzu Billah.
Para ulama telah menyebutkan bahwa salah satu bentuk jalinan silaturrahim adalah menafkahi karib kerabat. Mereka berkata, “Seseorang yang memiliki karib kerabat yang fakir dan dia sendiri adalah seorang yang mampu dan merupakan ahli warisnya, maka ia wajib menafkahi mereka, seperti dua saudara kandung, apabila saudaranya itu menjadi ahli waris tatkala ia meninggal, maka si ahli waris wajib menafkahinya selagi ia kaya, sedangkan saudaranya itu fakir dan tidak bisa bekerja, maka hal ini termasuk ke dalam bentuk jalinan silaturrahim.”
Di antara bentuk menafkahi adalah jika saudaranya itu hendak menikah, maka ia wajib menikahkannya, kerana pernikahan seseorang adalah salah satu kebutuhan manusia yang paling utama.
Oleh kerana itu, jika seseorang memiliki saudara kandung yang fakir, yang tidak mampu bekerja, sedangkan ia sebagai ahli warisnya termasuk orang yang kaya, maka ia wajib menafkahinya makan, minum, pakaian tempat tinggal, kendaraan jika memang dibutuhkan, dan menikahkannya jika memang saudaranya itu ingin menikah, kerana pernikahan adalah kebutuhan manusia yang paling utama, maka hal ini termasuk bentuk jalinan silaturrahim.
Seorang yang tidak mengetahui masalah ini, ia wajib bertanya kepada para ulama agar menunjukinya pada sesuatu yang benar, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang-orang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 7)
Hadits yang kedua menjelaskan tentang orang yang paling berhak untuk diperlakukan dengan baik. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa orang yang paling berhak diperlakukan dengan baik adalah ibu, kemudian sahabat itu mengulangi pertanyaannya, lalu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab kedua kalinya, “Ibumu,” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengulanginya sampai tiga kali, baru setelah itu ayahnya. Kerana seorang ibu telah banyak mengalami kesusahan dan sulitnya melahirkan yang tidak dialami oleh orang lain, sebagaimana firman Allah Ta'ala, “Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula).” (QS. Al-Ahqâf: 46: 15) Pada malam hari ia menimang dan mengayunnya hingga tertidur. Apabila ada sesuatu yang mengganggunya, sang ibu tidak tidur malam sampai anaknya tertidur. Kemudian sang ibu menyelimutinya ketika cuaca dingin dan mengipasinya tatkala cuaca sedang panas. Banyak sekali perhatian seorang ibu terhadap anaknya dibandingkan seorang ayah.
Di samping itu, ibu adalah wanita yang lemah, dia tidak mengambil haknya. Oleh kerana itu, Rasulullah berpesan untuk berbakti kepadanya hingga tiga kali, sedangkan ayah hanya sekali. Dalam hal ini terdapat anjuran agar seseorang memperlakukan ibunya dengan baik, dan memperlakukan ayahnya semampunya, semoga Allah membantu kita sekalian dalam menjalankannya.
Semoga Allah memberikan kebaikan dan menjalinkan kita semua dengan karunia-Nya.
Hadits no. 317.
وَعَنْهُ عَن النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ، ثُمَّ رَغِمَ أَنفَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ، أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا، فَلَمْ يَدْخُلِ الْجَنَّةَ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh merugi, sungguh merugi, dan sungguh merugi, orang yang mendapat kedua orang tuanya, baik salah satu atau keduanya pada saat lanjut usia, tetapi dia tidak masuk surga.”
[Shahih Muslim no. 2551]
Hadits no. 318.
وَعَنْهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قاَلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمِ وَيُسِيئُونَ إِليَّ، وَأَحْلُمُ عَنهُمْ وَيَجْهَلُونَ علَيَّ، فَقَالَ: « لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ، وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya benar seperti apa yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas kepada mereka. Dan kamu senantiasa mendapatkan pertolongan Allah atas perbuatan mereka.”
[Shahih Muslim no. 2558]
Hadits no. 319.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menjalin hubungan silaturrahim.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2067 dan Muslim no. 2557]
Hadits no. 320.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ أَبُو طَلْحَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَكْثَرَ الْأَنْصَارِ بِالْمَدِينَةِ مَالًا مِنْ نَخْلٍ، وَكَانَ أَحَبُّ أَمْوَالِهِ إِلَيْهِ بَيْرَحَاءَ، وَكَانَتْ مُسْتَقْبِلَةَ الْمَسْجِدِ، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْخُلُهَا، وَيَشْرَبُ مِنْ مَاءٍ فِيْهَا طَيِّبٍ، فَلَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ : { لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ } [آل عمران: ٢٩] قامَ أَبُو طَلْحَةَ إِلَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ: { لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّيٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّوْنَ } وَإِنَّ أَحَبَّ مَالِي إِلَيَّ بَيْرَحَاءَ، وَإِنَّهَا صَدَقَةٌ لِلّٰهِ تَعَالَى، أَرْجُوْ بِرَّهَا وَذُخْرَهَا عِنْدَ اللهِ تَعَالَى، فَضَعْهَا يَا رَسُوْلَ اللهِ حَيْثُ أَرَاكَ اللَّهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَخٍ! ذَلِكَ مَالٌ رَابِحٌ، ذَلِكَ مَالٌ رَابِِحٌ، وَقَدْ سَمِعْتُ مَا قُلْتَ، وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَجْعَلَهَا فِي الْأَقْرَبِيْنَ » فَقَالَ أَبُو طَلْحَةَ: أَفْعَلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَسَّمَهَا أَبُو طَلْحَةَ فِي أَقَارِبِهِ وَبَنِي عَمِّهِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, dia berkata, “Abu Thalhah radhiyallahu anhu adalah seorang sahabat Anshar yang terkaya di Madinah dengan pohon kurmanya. Harta yang paling disukainya adalah kebun Bairaha yang letaknya mengadap masjid. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering masuk ke dalam kebun itu dan minum air bersih yang ada di dalamnya.”
Anas berkata, “Ketika turun ayat, “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai.” (QS. Âli 'Imrán: 3: 92) lalu Abu Thalhah radhiyallahu anhu datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah Ta'ala menurunkan ayat kepadamu, “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebahagian harta yang kamu cintai.” Dan harta yang paling aku cintai adalah kebun Bairaha ini, maka kebun ini aku sedekahkan kerana Allah Ta'ala dengan harapan menjadi amal kebaikan dan simpanan di sisi Allah Ta'ala, maka pergunakanlah wahai Rasulullah sesuai petunjuk Allah kepada engkau.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bagus, itu adalah harta yang menguntungkan. Aku telah mendengar apa yang kamu katakan itu, menurutku sebaiknya bagikan kebunmu itu kepada sanak kerabatmu.” Abu Thalhah berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan melaksanakan petunjukmu.”
Kemudian Abu Thalhah membagi-bagikan kebun itu kepada sanak kerabatnya dan anak paman (keponakan)nya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1461 Muslim no. 998]
Hadits no. 321.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللهُ عَنْهٌما قَالَ: أَقْبَلَ رَجُلٌ إِلَى نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فَقَالَ: أُبَايِعُكَ عَلَى الْهِجْرَةِ وَالْجِهَادِ أَبتَغِي الْأَجْرَ مِنَ اللهِ تَعَالَى. قَالَ: « فَهَلْ مِنْ وَالِدَيْكَ أَحَدٌ حَيٌّ؟ » قَالَ: نَعَمْ بَلْ كِلاَهُمَا قَالَ: « فَتَبْتَغِي الأَجْرَ مِنَ اللهِ تَعَالَى؟ قَالَ: نَعَمْ .قَالَ: « فَارْجِعْ إِلَى وَالِدِيْكَ، فَأَحْسِنْ صُحْبَتَهُمَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذَا لَفْظُ مُسْلِمٍ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah salah seorang daripada kedua orang tuamu masih hidup?”
Orang itu menjawab, “Ya bahkan kedua-duanya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Adakah kamu mengharapkan pahala dari Allah?”
Orang itu menjawab, “Ya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalilah kepada kedua orang tuamu, layanlah mereka dengan baik.”
[Shahih Muslim no. 2549. Baihaqi no. 9/ 26]
Dalam riwayat yang lain Bukhari dan Muslim di katakan bahwa seorang lelaki datang mengadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan minta izin untuk berjihad.
Rasulullah bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?”
Orang itu menjawab, “Ya.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berjihadlah dengan berbakti kepada mereka.”
[Shahih Al-Bukhari no. 3004, 5972 Muslim no. 2549]
Hadits no. 322.
Daripada Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَعَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنَّ الْوَاصِلَ الَّذِي إِذَا قَطَعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Yang dimaksud orang yang menjalin hubungan kekeluargaan bukanlah orang memberi balasan (atas penyambungan atau perbuatan baik kepada keluarga) tetapi orang yang menjalin hubungan kekeluargaan adalah orang yang jika kaum kerabatnya memutuskan hubungan, maka dia menyambungnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5991]
Hadits no. 323.
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « اَلرَّحِمُ مَعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ: مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَن قَطَعَنِي، قَطَعَهُ اللَّهُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rahim (tali persaudaraan) itu tergantung di Arasy. Rahim itu berkata, “Barangsiapa menyambungku, Allah akan menyambungnya dan barangsiapa memutuskanku, Allah akan memutuskan hubungan dengannya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5978, 5989 dan Muslim no. 2555]
Hadits no. 324.
وَعَنْ أُمِِّ الْمُؤْمِنِينَ مَيْمُونَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا أَعْتَقَتْ وَلِيِدَةً وَلَم تَستَأْذِنِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا كَانَ يَوْمُهَا الَّذِي يَدُورُ عَلَيْهَا فِيهِ، قَالَتْ: أَشَحَرْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِِنِِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي؟ قَالَ: « أَوَ فَعَلْتِ؟ » قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ: « أَمَا إِنَّكِ لَو أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لأِجْرِكِ » مُتَّفَقٌ عَلَيهِ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah itu sudah engkau lakukan?”
Maimunah menjawab, “Ya sudah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alangkah baiknya kalau hamba sahaya itu engkau berikan saja kepada saudaramu niscaya engkau mendapat pahala lebih besar.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2592, 2594 dan Muslim no. 999]
Penjelasan.
Hadits-hadits ini menjelaskan keutamaan silaturrahim. Orang yang menjalin silaturrahim bukan sekadar membalas kebajikan sanak keluarga, jika mereka menyambung silaturrahim kita membalasnya, tetapi penyambung silaturrahim adalah orang yang jika diputuskan hubungannya maka ia menyambungnya kembali, sehingga hubungannya itu semata-mata kerana Allah Ta'ala bukan kerana mengharap balasan hamba-Nya, bukan pula mencari pujian orang lain. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah disebut penyambung silaturrahim kalau mengharap balasan seseorang.” Maksudnya orang yang jika kerabatnya menyambung silaturrahim kepadanya, ia pun menyambungnya sebagai balasan. Sebenarnya penyambung silaturrahim yaitu orang yang menyambung hubungan setelah diputuskan.
Hadits-hadits ini juga dijelaskan bahwa rahim itu tergantung di Arsy dan ia berkata, “Barangsiapa menyambungku, Allah akan menyambungnya dan barangsiapa memutuskanku, Allah akan memutuskan hubungan dengannya.” Ungkapan ini bisa jadi sebuah informasi atau doa, maksudnya rahim itu menginformasikan hal ini atau berdoa kepada Allah Ta'ala. Yang penting hadits ini menunjukkan betapa agungnya kedudukan silaturrahim ini, ia berada di bawah Arsy dan berdoa dengan doa ini serta menginformasikannya kepada kita.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan hadits tentang seseorang yang tetap berbuat baik kepada kerabatnya, tetapi mereka membalas dengan keburukan, ia menyambung tali persaudaraan, tetapi mereka malah memutuskannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya benar seperti apa yang kamu katakan, maka seakan-akan kamu menyuapkan abu panas kepada mereka.” Maksudnya seolah anda menyuapkannya sebagai hukuman, “Dan kamu senantiasa mendapatkan pertolongan Allah atas perbuatan mereka.” Maksudnya Allah masih tetap akan membantumu selama kamu masih tetap menyambung silaturrahim dengan mereka.
Hadits-hadits ini dan yang senada dengannya menunjukkan kewajiban menyambung silaturrahim terhadap kerabat semaksimal mungkin, sesuai dengan tradisi yang berlaku, dan memperingatkan orang yang memutuskan silaturrahim.
Hadits no. 325.
وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِِّدِّيقِ رَضِي اللَّه عَنْهَا قَالَتْ: قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِِّي وَهِيَ مُشْرِكَةُ فِي عَهْدِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِِّى وَهِى رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِِّي؟ قَالَ: « نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ » مُتَّفَقُ عَلَيْهِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, jalinlah hubungan baik dengannya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim no. 1003]
Hadits no. 326.
وَعَنْ زَيْنَبَ الثَّقَفِِيَّةِ امْرَأَةِ عَبْدِِ اللَّهِ بْن مَسْعُودٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَعَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « تَصَدَّقْنَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ » قَالَتْ: فَرَجَعْتُ إِلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّكَ رَجُلٌ خَفِيفُ ذَاتِ الْيَدِ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَمَرَنَا بِالصَّدَقَةِ، فَأْتِهِ فَاسْأَلْهُ، فَإِنْ كَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنِّي وَإِلَّا صَرَفُتَهَا إِلَى غَيْرِكُمْ. فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: بَلِ ائْتِيْهِ أَنْتِ، فَانْطَلَقْتُ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ الْأَنَصَارِ بِبَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَاجَتِي حَاجَتُهَا، وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُلقِيَتْ عَلَيْهِ الْمَهَابَةُ. فَخَرَجَ عَلَيْنَا بِلاَلٌ، فَقُلْنَا لَهُ: ائْتِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَ خْبِرْهُ أَنَّ امْرَأَتَيْنِ بِالْبَابَ تَسْأَلاَنِكَ: أَتُجْزِئُ الصَّدَقَةُ عَنْهُمَا عَلَى أَزْوَاجِهِمَا وَعَلَى أَيْتَامٍ فِي حُجُورِهِمَا؟ وَلَا تُخْبِرْهُ مَنْ نَحْنُ، فَدَخَلَ بِلاَلٌ عَلَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلَهُ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ هُمَا؟ قَالَ: امْرَأَةٌ مِنَ الْأَنْصَارِ وَزَيْنَبُ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ « أَيُّ الزَّيَانِبِ هِيَ؟ قَالَ: اِمْرَأَةُ عَبْدِ اللَّهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « لَهُمَا أَجْرَانِ: أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah kamu semua walaupun dari perhiasanmu!”
Kemudian aku pulang menemui Abdullah bin Mas'ud dan berkata, “Sesungguhnya kamu adalah orang yang tidak mampu dan sesungguhnya Rasulullah menyuruh kami untuk bersedekah. Pergilah dan tanyakan kepada Rasulullah, apakah aku diperbolehkan bersedekah kepadamu. Jika tidak, aku akan memberikannya kepada orang lain.”
Abdullah bin Mas'ud berkata, “Kamu sahajalah yang akan datang ke sana.”
Maka aku pun berangkat ke tempat Rasulullah dan di sana ada seorang wanita Ansar berada di pintu rumah Rasulullah untuk menyampaikan permasalahan yang sama. Sementara Rasulullah adalah orang yang sangat berwibawa. Maka keluarlah Bilal untuk menemui kami dan kami berkata, “Beritahu kepada Rasulullah bahwa ada dua orang wanita berada di depan pintu akan menanyakan kepada Rasulullah, apakah sedekah boleh di berikan kepada suami dan anak-anak yatim yang diasuhnya? Tetapi janganlah kamu memberitahu kepadanya siapa kami.”
Kemudian Bilal masuk dan menanyakan hal itu kepada Rasulullah. Sebelum menjawab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Siapakah dua wanita itu?”
Bilal menjawab, “Mereka adalah seorang wanita Ansar dan Zainab.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Zainab yang mana?”
Bilal menjawab, “Istri Abdullah Mas'ud.”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua wanita itu mendapat dua pahala, yaitu pahala membantu ahli keluarga dan pahala sedekah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1466. dan Muslim no. 1000]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Asma binti Abu Bakar radhiyallahu anha, bahwa ibunya mengunjunginya ke Madinah kerana sangat merinduinya, kemudian ia bertanya kepada Rasulullah, “Apakah boleh aku menyambung silaturrahim dengan ibuku?” Lalu Rasulullah memerintahkan untuk menjalin silaturrahim dengannya.
Menurut sebagian ulama maksudnya adalah ibunya itu sangat ingin masuk Islam, maka perintah Rasulullah menyuruh menjalin silaturrahim bertujuan agar dapat meluluhkan hatinya. Menurut pendapat yang lain artinya ibunya sangat rindu, kemudian Rasulullah memerintahkannya untuk menjalinnya. Pendapat ini lebih kuat, sebab ia datang kerana rindu dan ingin melihatnya sampai sang anak memberikannya.
Hadits ini sebagai dalil wajibnya hubungan kerabat walaupun mereka itu non muslim, kerana mereka memiliki hak kekeluargaan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqmân: 31: 15)
Yaitu jika orang tua memintamu dengan sangat agar kamu menyekutukan Allah, maka janganlah kamu mematuhinya, kerana tidak ada ketaatan kepada makluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik. Perlakukanlah keduanya dengan cara yang baik di dunia, berikan jalinan terbaik untuk mereka selama di dunia, sekalipun keduanya kafir atau fasik, kerana keduanya memiliki hak kekeluargaan. Hadits ini senada dengan ayat, bahwa Rasulullah memerintahkan Asma binti Abu Bakar untuk menjalin hubungan dengan ibunya walaupun ibunya seorang musyrik.
Menjalin tali kekeluargaan dengan bersedekah akan mendapat dua pahala; pahala sedekah dan pahala menyambung tali kekeluargaan. Dalilnya adalah hadits Zainab istri Abdullah bin Mas'ud bahwa Rasulullah memerintahkan wanita untuk bersedekah, kemudian ia pulang menemui suaminya dan suaminya adalah seorang kurang mampu, ia tidak memiliki harta, kemudian ia menginformasikan perintah Rasulullah itu, lalu Ibnu Mas'ud meminta agar memberikan sedekahnya untuknya dan anak-anak yatim yang membutuhkannya. Tetapi ia masih bingung dan pergi mengadap Rasulullah menanyakannya, kemudian sesampainya disana ia mendapatkan seorang wanita Anshar yang sepertinya, ia juga ingin menanyakan hukum bersedekah kepada suami dan anggota keluarganya.
Kemudian Bilal radhiyallahu anhu, seorang sahabat yang sangat berwibawa, setiap orang yang melihatnya merasa segan, tetapi setelah bergaul dengannya hilanglah rasa segannya, bahkan berbalik mencintainya. Kemudian ia menanyakan kepada kedua wanita itu apa tujuan kedatangannya, lalu keduanya mengungkapkan keinginannya untuk menanyakan kepada Rasulullah, bolehkah bersedekah kepada suami dan keluarganya? Tetapi keduanya meminta agar identitasnya tidak disampaikan kepada Rasulullah.
Selanjutnya Bilal mengadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Di pintu ada dua orang wanita yang ingin menanyakan sesuatu,” kemudian Rasulullah menanyakan tentang keduanya. Maka Bilal bimbang antara mengatakannya atau memegang amanat keduanya, di mana mereka berkata, “Tetapi janganlah kamu memberitahu kepadanya siapa kami.” Akan tetapi Rasulullah bertanya, “Siapa mereka?” Bilal menjawab, “Seorang wanita Anshar dan Zainab.”
Rasulullah bertanya, “Zainab yang mana?” Kerana Zainab itu banyak, ia menjawab, “Istri Abdullah bin Mas'ud,” dan Abdullah bin Mas'ud adalah pembantu dekat Rasulullah, ia masuk ke rumahnya walaupun tanpa seizinnya (kerana berdekatan), Rasulullah sudah mengenal keluarga dan kondisinya.
Bilal tetap menginformasikan identitas keduanya, padahal keduanya berpesan untuk menyembunyikannya, kerana ia mengetahui bahwa ketaatan kepada Rasulullah itu harus lebih diprioritaskan daripada yang lainnya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kedua wanita itu mendapat dua pahala, yaitu pahala membantu ahli keluarga dan pahala sedekah.” Hadits ini menunjukkan bolehnya seseorang bersedekah kepada anak-anaknya tatkala membutuhkannya, suami bersedekah kepada istrinya atau sebaliknya dengan hal demikian mereka mendapatkan pahala sedekah dan pahala menjalin tali silaturrahim.
Adapun zakat, jika zakatnya itu berupa zakat wajib yang harus dibayar oleh seseorang, maka ia tidak diperbolehkan memberikannya kepada mereka jika zakat itu dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mereka berupa nafkah, sedangkan ia sendiri termasuk orang yang wajib menafkahi dan hartanya pun memungkinkan untuk menafkahinya, maka ia tidak boleh memberikan zakatnya kepada mereka.Adapun jika ia bukan termasuk orang yang wajib menafkahi, seperti melunasi hutang ayahnya, anaknya atau istrinya atau sebaliknya, maka hal itu tidaklah mengapa selama orang yang berhutang masih hidup. Namun, apabila ia sudah meninggal, maka ia tidak diharuskan menunaikannya, kecuali sedekah atau berupa barang peninggalan, maka janganlah menunaikan kebutuhannya dari harta zakat.
Hadits no. 327.
وَعَنْ أبِي سُفْيَانَ صَخْرِ بْنِ حَرْبٍ رَضِيَ اللَّه عَنْهُ فِي حَدِيثِهِ الطَّوِيل فِي قِصَّةِ هِرَقْلَ أَنَّ هِرَقْلَ قَالَ لأَِبِي سُفْيَانَ: فَمَاذَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ؟ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قُلْتُ: يَقُولُ: « اعْبُدُوا اللَّهَ وَحدَهُ، وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَاتْرُكُوا مَا يَقُولُ آباؤُكمْ، وَيَأْمُرُنَا بِالصَّلاَةِ، وَالصِِّدْقِ، وَالْعَفَافِ، وَالصِِّلَةِ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Abu Sufyan menjawab, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sembahlah Allah Yang Maha Esa dan janganlah mempersekutukan-Nya. Tinggalkanlah kepercayaan-kepercayaan nenek moyang kamu semua. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kami mendirikan shalat, berlaku jujur, menjaga kehormatan dan menyambung tali silaturrahim.”
[Shahih Al-Bukhari no. 7 dan Muslim no. 1773]
Hadits no. 328.
وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِنَّكُمْ سَتَفْتَحُونَ أَرْضًا يُذْكَرُ فِيهَا الْقِيرَاطُ » . وَفِي رِوَايَةٍ: « سَتَفْتَحُونَ مِصْرَ وَهِيَ أَرْضٌ يُسَمَّى فِيهَا الْقِيرَاطُ، فَاسْتَوْصُوا بِأَهْلِهَا خَيْرًا فَإِنَّ لَهُمْ ذِمَّةً وَرَحِمََا » . وَفِي رِوَايَةٍ: « فَإِذَا افْتَتَحْتُمُوهَا، فَأَحْسِنُوا إِلَى أَهْلِهَا، فَإِنَّ لَهُم ذِمَّةً وَرَحِمًا » أَوْ قَالَ « ذِمَّةً وَصِهرًا » رَوَاهُ مُسْلِمُ .
Daripada Abu Zarr radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan menakluk satu negeri yang disebut Al-Qirath.”
Dalam satu riwayat, “Kalian akan menakluk Mesir, yaitu suatu wilayah yang di dalamnya di sebut Al-Qirath. Oleh itu sampaikan kebaikan kepada penduduknya. Kerana di antara mereka berhak mendapatkan pelindungan termasuk sanak saudara.”
Dalam riwayat lain di sebut, “Jika kalian telah berhasil menaklukkannya, maka berbuat baiklah kepada penduduknya kerana di antara mereka berhak mendapatkan perlindungan termasuk sanak saudaranya.” Atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kerana di antara mereka berhak mendapatkan perlindungan dan hubungan besan (keluarga dari pihak istri).”
[Shahih Muslim no. 2543]
Hadts no. 329.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: لَمَا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ: { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْربِينَ } [ الشعراء: ٢١٤ ] دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ، وَخَصَّ وَقَالَ: « يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ، يَا بَنِي كَعْب بْنِ لُؤَيّ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي مُرَّةَ بْنِ كَعْبٍ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي هَاشِمٍ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ، يَا فَاطِمَة أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنَ النَّارِ، فَإِنِي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا، غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبلُّهَا بِبَلاَلِهَا » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Tatkala turun ayat, “Dan berilah peringatan kepada kaum kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.”
(QS. Asy-Syu'ara: 26: 214).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kaum Quraisy. Sesudah mereka berkumpul, kemudian Rasulullah memanggil secara umum dan khusus.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil, “Wahai Bani Ka'ab bin Lu'ay, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka'ab, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muththalib selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Fatimah, selamatkan dirimu daripada api neraka! “Sungguh, aku tidak mempunyai kemampuan untuk menolong diri kamu semua dari siksa Allah, namun aku masih mempunyai hubungan kekeluargaan dengan kalian, maka aku pun akan menjalinkan hubungan dengan sebaik-baiknya.”
[Shahih Muslim no. 204]
Hadits no. 330.
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌما قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جِهَارًا غَيْرَ سِرٍّ يَقُولُ: « إِنَّ آلَ بَنِي فُلاَنٍ لَيُسُوا بأَوْلِيَائِي إِنَّمَا وَلِيِِّيَ اللَّهُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِين، وَلَكِنْ لَهُمْ رَحِمٌ أَبُلُّهَا بِبِ زبُلُِّهَا » مُتَّفَقُ عَلَيْهِ . وَاللَّفظُ لِلْبُخَارِيًِ.
“Sesungguhnya keluarga bani fulan bukanlah penolongku. Sesungguhnya yang menjadi penolongku adalah Allah dan orang-orang beriman yang shalih. Tetapi, bagi mereka yang memiliki hubungan persaudaraan, aku akan menyambungkan hubungan itu dengan sebaik-baiknya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 5990. Muslim no. 215]
Penjelasan.
Semua hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam bab ini menunjukkan pentingnya memelihara hubungan kekeluargaan. Ia menyebutkan sebuah hadits dari Abu Sufyan Shakhr bin Harb radhiyallahu anhu ketika ia diutus bersama beberapa orang dari Quraisy kepada Hercules sebelum ia masuk Islam, kerana Abu Sufyan masuk Islam ketika penaklukan kota Mekah.
Kedatangannya kepada Hercules setelah adanya perjanjian Hudaibiyyah. Hercules telah mendengar tentang mereka, ia adalah seorang yang cerdas, ia memiliki ilmu tentang Al-Kitab, ia juga memiliki pengetahuan tentang pengutusan (datangnya) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang didakwahinya, kerana sifat Rasulullah sudah tercatat dalam kitab Taurat dan Injil, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka.”
(QS. Al-A’râf: 7: 157)
Tersirat dan terkenal dengan sifat-sifatnya, sehingga mereka mengenalnya sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka tanpa keraguan sedikit pun.
Setelah beberapa orang utusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tanah Arab, yakni yang datang dari tanah Hijaz itu sampai, ia memanggil dan menanyakan kepada mereka tentang kondisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentang perintah dan larangannya, bagaimana keadaan sahabat dan tentang cara berkomunikasi dengan mereka dan lain sebagainya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari dalam haditsnya yang panjang dalam kitab Shahihnya. Di antara hal yang ditanyakannya adalah apa saja yang Rasulullah perintahkan? Kemudian para utusan itu menjawab, “Rasulullah memerintahkan kita untuk menyambung tali persaudaraan (Ash-Shillah), jujur (Ash-Shidq) dan menjaga kehormatan (Al-'Afaaf).” Ash-Shillah yakni jalinan silaturrahim, Ash-Shidq yakni khabar benar yang sesuai dengan realita, Al-'Afaat yakni menjaga kehormatan dari zina dan menjaga diri jangan sampai mengambil harta benda orang lain.
Kemudian setelah ia mendengarkan apa yang mereka sampaikan, ia berkata, “Jika yang kalian sampaikan itu benar, sungguh ia akan menguasai dua kekuasaan di bawah kakiku ini.” Ia mengatakan demikian kerana ia termasuk salah satu penguasa dua negara super power, yaitu Romawi dan Persia.
Ia mengatakan hal itu dalam kapasitasnya sebagai penguasa kerajaan terbesar. Tetapi ia tetap menyadari bahwa yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah benar, sejalan dengan fitrah dan kemaslahatan makhluk. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kejujuran, menjaga kehormatan dan jalinan silaturrahim.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa hadits yang senada dengan hal ini. Di antaranya ketika turun firman Allah Ta'ala,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.”
(QS. Asy-Syu’arâ: 26: 214
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan semua suku Quraisy, Rasulullah memanggil secara umum dan khusus. Rasulullah memanggil, “Wahai Bani Ka'ab bin Lu'ay, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Murrah bin Ka'ab, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Manaf, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Hasyim, selamatkan diri kalian dari api neraka! Wahai Bani Abdul Muththalib selamatkan diri kalian dari api neraka!” Rasulullah menyebutkan satu persatu hingga Rasulullah menyebutkan putrinya Fatimah, lalu bersabda, “Wahai Fatimah selamatkan dirimu dari api neraka! Sungguh aku tidak memiliki kemampuan untuk menolong dirimu dari siksa Allah.” Inilah bentuk jalinan silaturrahim.
Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa Rasulullah memiliki kerabat yang akan membasahinya dengan air, kerana memutuskan tali silaturrahim itu laksana api, dan air akan memadamkannya. Memutuskan silaturrahim laksana kematian, sementara air adalah kehidupan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 30)
Rasulullah menganalogikan kerabat itu dengan air yang membasahi sesuatu.
Begitu juga hadits-hadits yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya keluarga bani fulan bukanlah penolongku.” Kerana mereka adalah kafir.
Kewajiban seorang mukmin adalah melepaskan diri dari kependudukan orang-orang kafir, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Mumtahanah: 60: 4)
Rasulullah berlepas diri dari kerabatnya yang kafir.
Sabdanya, “Bagi mereka yang memiliki hubungan persaudaraan, aku akan menyambungkan hubungan itu dengan sebaik-baiknya.” Aku akan memberikan haknya berupa jalinan silaturrahim, walaupun mereka itu kafir. Hal ini menunjukkan bahwa kerabat itu memiliki hak silaturrahim walaupun kafir, tetapi ia tidak memiliki hak perwalian, maka ia tidak boleh melindungi atau menolong atas keyakinannya yang batil.
Kemudian ia juga menyebutkan sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menginformasikan kepada para sahabat bahwa suatu hari nanti mereka akan menaklukkan negeri Mesir dan berpesan untuk tetap berbuat baik kepada penduduknya, sesungguhnya mereka masih sanak kerabat kita, kerana Sayyidah Hajar; Ibu Ismail, istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam berasal dari Mesir. Oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kerana di antara mereka berhak mendapatkan perlindungan dan hubungan besan.” Kerana mereka adalah paman-paman Ismail, sedangkan Ismail adalah bapaknya semua bangsa Arab.
Hadits ini menunjukkan wajibnya menjaga hubungan kerabat walaupun pun jauh, selama anda tahu bahwa mereka adalah kerabatmu, maka mereka berhak mendapatkan jalinan silaturrahim walaupun jauh. Hal itu juga menunjukkan bahwa jalinan kekerabatan dari pihak ibu itu seperti halnya kerabat dari pihak bapak.
Hadits no. 331.
وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ خَالِدِ بْنِ زَيْدٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً قََالَ: يَا رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ، وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « تَعْبُدُ اللَّهَ، وَلَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمُ الصَّلَاَةَ، وَتُؤتِي الزَّكَاةَ، وَتَصِلُ الرَّحِمَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah engkau menyembah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan sambunglah tali silaturrahim kekeluargaan.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1396. Muslim no. 13]
Hadits no. 332.
وَعَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «ِ إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تََمْرٍ، فَإِنَّهُ بَرَكَةٌ، فََإِنْ لَمْ يَجِدْ تَمْرًا، فَالْمَاءُ، فَإِنَّهُ طَهُورٌ » وَقََالَ: « اَلصَّدَقََةُ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقََةٌ وَصِلَةٌ.
رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ. وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Jika salah seorang di antara kalian berbuka puasa, hendaklah dia berbuka dengan kurma, kerana kurma itu mengandungi berkah. Jika tidak ada, hendaklah berbuka dengan air, kerana air itu suci.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sedekahlah kepada orang miskin hanya mendapatkan pahala sedekah sahaja, sedangkan sedekah kepada sanak kerabat, mengandungi dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala silaturrahim.”
[HR. At-Tirmidzi no. 658, 595, Nasa'i Al-Kubrâ no 3319, 3320, Ibnu Majah no. 1699, Ahmad dalam Al-Musnad no. 4/213, dan dinilai Dhaif oleh Syaikh Al-Albani dalam Dhaif Al-Jami’ no. 389. Menurut Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata, “Benar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam Al-Irwa no. 92. Syaikh Al-Albani berkata mengenai kesimpulannya bahwa yang kuat mengenai bab ini adalah hadits Anas yang bersumber dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun hadits Salman bin Amir berupa ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak shahih menurut saya. Wallahu a'lam. Adapun bagian kedua, “Sedekah kepada orang miskin...” adalah shahih Lihatlah Shahih Al-Jami’ no. 3858]
Hadits no. 333.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهُ قَالَ: كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ، وَكُنْتُ أُحِبُّهَا، وَكَانَ عُمَرُ يَكْرَهُهَا، فَقَالَ لِي: طَلِّقْهَا فَأبَيْتُ، فَأَتَى عَمَرُ رَضَي اللَّهُ عَنهِ النبِيَّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ النَّبيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « طَلِِّقْهَا » رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِرمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثُ حَسَنُ صَحِيحُ.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhu, dia berkata, “Aku mempunyai istri yang sangat aku cintai, namun ayahku tidak senang padanya, sehingga dia berkata, “Ceraikan istrimu.” Tetapi aku enggan menceraikannya. Maka Umar Al-Khatthab radhiyallahu anhu mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kepadanya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ceraikan dia!”
[HR. Abu Dawud no. 5138. At-Tirmidzi no. 1189 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 919]
Hadits no. 334.
وَعَنْ أَبِي الدَّرْادَءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً أَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّ لِي امْرَأَةً وإِنَّ أُمِِّي تَأْمُرُنِي بِطَلَاقِهَا؟ فَقَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « اَلْوَالِدُ أَوْسَطُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ، فَإِنْ شِئْتَ فَأَضِعْ ذَلِكَ الْبَابَ، أَوِ احْفَظْهُ » رَوَاهُ التِِّرمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحُ.
“Orang tua itu adalah pintu surga yang berada paling tengah. Terserah pada kamu, adakah akan mensia-siakan pintu itu atau menjaganya.”
[HR. At-Tirmidzi no. 1900. Ibnu Majah no. 2089. Ahmad 5/196, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no. 914]
Hadits no. 335.
وَعَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « اَلْخَالَةُ بِمَنْزِلَةِ الْأُمِِّ » رَوَاهُ التِِّرْمِذِيُّ: وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنُ صَحيِحُ.
“Ibu saudara itu kedudukannya sama dengan ibu kandung sendiri.”
[HR. At-Tirmidzi no. 1904, terdapat pula dalam Shahih Al-Bukhari haditsnya yang panjang no. 2699, 4251 dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 3339]
Berkaitan bab ini terdapat banyak hadis masyhur yang tercatat dalam kitab hadits sahih. Di antara adalah hadits tentang orang-orang yang terperangkap di dalam gua dan hadits Juraij yang keduanya telah di sebutkan terdahulu. Dan masih banyak lagi hadits-hadits yang masyur dalam kitab shahih, tetapi tidak sebutkan untuk meringkasnya.
Di antara hadits-hadits itu yang terpenting ialah Amr bin Abasah radhiyallahu anhu yaitu hadits yang panjang yang memuatkan prinsip-prinsip ajaran islam serta adab-adabnya. Insyallah akan di sebutkan hadits itu secara lengkap pada bab Raja (harapan).
Dalam hadits tersebut Amr bin Abasah radhiyallahu anhu berkata, “Aku mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah. Pada permulaan kenabiannya, dan aku bertanya, “Siapakah kamu?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Nabi.”
Aku bertanya lagi, “Apa itu Nabi?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku diutuskan oleh Allah.”
Aku bertanya lagi, “Dengan apakah kamu di utus oleh Allah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allah mengutusku untuk menghubungkan hubungan persaudaraan, menghancurkan berhala, dan meng-Esakan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya. Dan seterusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hadits itu secara lengkap.
[Shahih Muslim no. 832]
Penjelasan.
Hadits-hadits ini masih menjelaskan pentingnya menyambung tali kekeluargaan dan berbakti kepada orang tua.
Di antaranya adalah hadits Khalid bin Zaid Al-Anshari, bahwasanya ia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan yang dapat memasukkannya ke surga dan menjauhkannya dari neraka. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hendaklah engkau menyembah Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan sambunglah tali silaturrahim kekeluargaan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa silaturrahim termasuk sebab-sebab yang dapat memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkan dari siksa api neraka.
Sudah pasti setiap orang akan berusaha sekuat tenaga meraih cita-cita yang mulia ini; selamat dari siksa api neraka dan dapat masuk surga. Sesungguhnya orang yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga adalah orang yang mendapatkan kebahagiaan. Setiap muslim berusaha untuk meraihnya, hal ini dapat diraih dengan empat hal:
1) Menyembah Allah dengan tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apa pun, baik syirik besar dan syirik kecil.
2) Mendirikan shalat, menunaikannya dengan sempurna tepat pada waktunya secara berjamaah bagi kaum laki-laki.
3) Menunaikan zakat, membayar zakat harta yang telah Allah wajibkan dan diserahkan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.
4) Menyambung silaturrahim, menunaikan hak-hak mereka sesuai dengan kebiasaan masyarakat muslim pada umumnya. Kebiasaan yang mereka anggap sebagai silaturrahim, maka hal itu termasuk silaturrahim, begitu juga sebaliknya, terkecuali jika ia berada pada masyarakat yang tidak peduli dengan kekerabatan, dan tidak ada perhatian terhadapnya. Maka parameter kebiasaan masyarakat ini adalah syariat Islam.
Kemudian Imam An-Nawawi menyebutkan hadits Salman bin ‘Amir tentang berbuka puasa dengan kurma, jika tidak ada, maka berbuka dengan air putih. Sedekah kepada orang miskin mendapatkan satu pahala, sedangkan sedekah kepada kerabat mendapatkan dua pahala; pahala sedekah dan silaturrahim. Oleh kerana itu, sebagian ulama berpendapat, “Jika ada dua orang fakir yang salah satunya merupakan kerabatmu, sedangkan yang lainnya bukan, maka bersedekah kepada kerabatmu yang fakir itu lebih utama, kerana ia lebih berhak dengan jalinan silaturrahim.”
Kemudian menyebutkan hadits dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu, bahwasanya ia memiliki seorang istri yang sangat ia cintai, lalu ayahnya (yakni Umar bin Al-Khatthab) memerintahkan agar ia menceraikannya, tetapi ia tidak mahu melakukannya kerana ia sangat mencintainya, kemudian Umar mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu Rasulullah memerintahkan Ibnu Umar untuk menceraikannya.
Begitu juga hadits lain tentang seorang ibu yang memerintahkan anaknya agar menceraikannya istrinya, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa silaturrahim dan berbuat baik terhadap ibu termasuk di antara amalan yang menyebabkan seseorang masuk surga. Hal ini merupakan isyarat bahwa jika ia menaati ibunya dengan menceraikan istrinya, maka hal itu merupakan amalan yang menyebabkannya masuk surga.
Tetapi tidak semua orang tua yang memerintahkan anaknya agar menceraikan istrinya itu wajib ditaati. Ada seorang lelaki yang bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, ia berkata, “Engkau berkata, “Ceraikan istrimu,” sedangkan aku sangat mencintainya. Lalu Imam Ahmad berkata, “Jangan kamu ceraikan.” Lelaki itu berkata, “Bukankah Nabi shallallahu alahi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk menceraikan istrinya ketika ayahnya memerintahkannya untuk menceraikan istrinya?” Maka Imam Ahmad berkata kepadanya, “Apakah Umar itu ayahmu?” Kerana kita yakin bahwa Umar tidak akan memerintahkan Ibnu Umar untuk menceraikan istrinya, kecuali kerana sebab syar’i dan terkadang Ibnu Umar itu tidak mengetahuinya, kerana merupakan sesuatu yang mustahil seorang sahabat, Umar memerintahkan anaknya untuk menceraikan istrinya hanya sekadar memisahkan antara keduanya tanpa sebab yang dibenarkan syariat.
Oleh kerana itu, jika kedua orang tua memerintahkan untuk menceraikan istri yang sangat ia cintai tanpa sebab yang dibenarkan syariat, maka tidak boleh menaatinya. Kerana hal ini merupakan perkara khusus, seseorang tidak boleh mencampuri urusan keduanya.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan