Saturday, April 6, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 6. Takwa.

Takwa adalah nama yang diambil dari kata wiqayah (preventif) yaitu seseorang mengerjakan sesuatu yang dapat menghindarkannya dari adzab Allah Ta'ala dan sesungguhnya yang dapat menghindarkanmu dari adzab Allah adalah dengan melakukan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Ketahuilah, terkadang lafal takwa itu digandengkan dengan lafazh Al-Birru (perbuatan baik) sehingga dikatakan, Al-Birru wa at-takwa (berbuat baik dan ketakwaan).

Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
۞وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ۞
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.”
(QS. Al-Mâidah: 5: 2)

Terkadang lafal takwa disebutkan menyendiri. Jika ia dibarengi dengan lafal al-birru (kebaikan) maka maksud “al-birradalah melakukan perintah-perintah, sedangkan 'takwa' adalah meninggalkan larangan. Namun jika disebutkan secara menyendiri maka takwa ini mencakup secara umum yaitu melaksanakan perintah-perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Allah Ta'ala telah menyebutkan dalam kitab-Nya bahwa surga disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Maka orang-orang yang bertakwa menjadi penduduk surga. Semoga Allah menjadikan kita sekalian di antara mereka. Oleh kerana itu, wajib bagi manusia untuk bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya, demi mengharapkan pahala dan keselamatan dari ancaman-Nya. Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa ayat di antaranya.

Allah ﷻ berfirman:
۞يَـٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ۞
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 102)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ۞
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghâbun: 64: 16). Ayat ini menjelaskan ayat yang pertama.

Allah ﷻ berfirman:
۞يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا۞
“Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 70)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَهُ مَخْرجًا۞ وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ۞
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalâq: 65: 2-3)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ۞
Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara yang hak dan batil) kepadamu dan menghapuskan segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.” (QS. Al-Anfâl: 8: 29), dan ayat-ayat dalam bab ini sangatlah banyak dan masyhur.

Penjelasan.

Firman Allah Ta'ala:

“Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 102) Perintah di sini ditujukan kepada orang-orang mukmin, kerana orang mukminlah yang keimanannya dapat mendorongnya untuk bertakwa kepada Allah.

Firman Allah Ta'ala, “Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa. Sebenar-benarnya takwa ditafsirkan dalam ayat kedua yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah yaitu firman Allah Ta'ala, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”

Makna firman Allah, “Bertakwalah dengan sebenar-benarnya takwa.” yakni kamu bertakwa kepada Allah dengan semampumu, kerana Allah tidak membebani jiwa seseorang, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Ayat ini bukanlah dimaksudkan untuk mempermudah takwa kepada Allah, tetapi dimaksudkan untuk memberikan motivasi takwa sesuai dengan batas kemampuan. Yakni tidak melampaui batas dengan ketakwaan kepada Allah. Akan tetapi, Allah tidak membebani manusia dengan sesuatu yang dia tidak mampu. Dan faedah yang dapat diambil dari firman Allah, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At-Taghâbun: 64: 16) adalah jika seseorang tidak mampu untuk melaksanakan perintah-perintah Allah Ta'ala dalam bentuk yang sempurna mungkin, maka ia boleh melaksanakannya berdasarkan kemampuannya. Di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Imran bin Husain,

صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

“Shalatlah kamu dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka di sisi lambung kanan (berbaring).”

[Shahih Al-Bukhari no. 1050]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengurutkan cara pelaksanaan shalat berdasarkan kemampuan; yaitu ia shalat dengan berdiri; jika tidak mampu, maka dia duduk; dan jika tidak mampu, maka di sini lambung kanan (berbaring).

Begitu juga dengan perkara-perkara yang lainnya, seperti puasa, jika kita tidak mampu berpuasa pada bulan Ramadhan, maka dia boleh menganti (qadha') pada hari yang lain.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebamyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 2: 185)

Demikian pula dalam masalah haji.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah, adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 97). Jika kamu tidak mampu untuk mencapai Baitullah, maka tidak wajib baginya untuk menunaikan ibadah haji. Namun, jika kamu mampu dengan hartamu dan tidak dengan badanmu, maka wajib bagimu untuk menggantikan hajimu kepada orang lain.

Kesimpulannya, bahwa takwa seperti masalah yang lainnya dilandaskan kepada kemampuan. Jika seseorang tidak mampu melaksanakan perintah-perintah Allah, maka ia diberikan kesempatan untuk mengerjakan semampunya. Dan barangsiapa yang terdesak pada sesuatu yang diharamkan Allah, maka halal baginya untuk memanfaatkan hal tersebut untuk menolak kemudharatan, berdasarkan firman Allah Ta'ala,

“Padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa.” 
(QS. Al-An'âm: 6: 119) Sampai jika seorang terdesak untuk makan daging mayat atau daging babi, atau daging keledai dan binatang-binatang haram lainnya, maka diperbolehkan baginya untuk memakan sebagiannya, sebagai penolak atau sebagai bentuk penyelamatan diri dari darurat (kelaparan yang akan membawanya kepada kematian).

Allah Ta'ala berfirman:

“Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 70-71) Dalam ayat ini, Allah memerintahkan dengan dua perintah, yaitu bertakwa kepada Allah dan memerintahkan seseorang untuk berkata benar. Dan telah kita jelaskan tentang masalah takwa pada pembahasan sebelumnya.

Adapun al-qaulu as-sadid (ucapan yang benar) mencakup semua ucapan yang mengandung kebaikan. Baik berupa dzikir kepada Allah, atau mencari ilmu, memerintahkan kebaikan atau melarang kemungkaran atau ucapan-ucapan yang baik yang dapat menimbulkan rasa cinta dan kerinduan sesama manusia atau yang lainnya. Hal ini terangkum dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6018; Muslim, no. 47]

Lawan dari al-qaulu as-sadid adalah al-qaulu ghairu as-sadid (ucapan yang tidak benar bahkan keliru), baik dari segi materinya atau kesempatannya. Adapun kesalahan dalam materinya yaitu ucapan ini mengandung cacian, makian, ghibah, namimah, dan lain sebagainya. Adapun kesalahan dalam penempatannya, bahwa ucapan itu baik pada hakikatnya, tetapi kerana diucapkan di tempat ini justru menjadi tidak baik sendiri. Kerana di setiap tempat ada pembicaraan yang sesuai. Maka dalam kesempatan itu ia tidak mengatakan perkataan yang benar tetapi keliru. Walaupun pada dasarnya keharaman bukan pada ucapannya. Misalnya jika seseorang melihat orang lain berbuat kemungkaran kemudian ia mencegah orang tersebut dari kemungkaran. Akan tetapi, ia melarangnya dalam keadaan yang tidak tepat ia ucapkan kepadanya. Atau ia keliru dalam pengucapannya atau yang semisalnya, maka hal ini dianggap sebagai ucapan yang tidak benar. Jika seseorang bertakwa kepada Tuhannya dan berkata dengan ucapan yang benar maka ia akan mendapatkan dua manfaat,

“Niscaya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 71) 
Dengan takwa, amal seseorang menjadi baik dan dosanya diampuni. Dengan ucapan yang baik, amal seseorang pun akan menjadi baik juga dan dosanya diampunkan. Maka diketahui dari ayat ini bahwa orang yang tidak bertakwa kepada Allah dan ia tidak mengucapkan ucapan yang benar, maka ia tidak mendapatkan kebaikan dari Allah dalam perbuatannya. Dan juga tidak diampunkan dosanya. Maka di sini ada motivasi untuk bertakwa kepada Allah serta penjelasan tentang manfaat-manfaatnya.

Firman Allah Ta'ala:

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalâq: 65: 1-3) (“bertakwa kepada Allah”) demi melaksanakan perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya (“maka Allah menjadikan baginya jalan keluar”) dari setiap kesempitan. Maka setiap ada kesempatan sedangkan ia bertakwa kepada Allah maka Allah menjadikan baginya jalan keluar, apakah itu dalam kehidupannya, dalam harta-hartanya, anak-anaknya, dalam sosial kemasyarakatannya, atau lain-lainnya.

Jika kamu bertakwa kepada Allah, maka percayalah bahwa Allah akan menjadikan untukmu jalan keluar dari setiap kesempitan dan berpeganglah dengannya, kerana itu adalah ucapan Dzat yang mengatakan pada tiap-tiap sesuatu, “Kun (jadilah), maka terjadilah. Maka berapa banyak orang yang bertakwa kepada Allah, Allah jadikan baginya jalan keluar. Di antara kisah tiga orang yang terperangkap di dalam gua ketika batu jatuh menghimpit pintu gua dan mereka ingin menggesernya namun mereka tidaklah mampu, maka setiap orang dari mereka bertawasul dengan amal-amal shalehnya kepada Allah, setelah itu Allah membukakan bagi mereka jalan keluar dan hilanglah batu tersebut. Contoh-contoh dalam hal ini banyak sekali. Firman Allah Ta'ala, “Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalâq: 65: 3) Ini juga manfaat yang sangat besar bahwa Allah akan memberikan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Misalnya, ada orang yang mendapatkan harta dari jalan yang diharamkan seperti menipu atau riba dan yang serupa ini. Kemudian ia dinasihati dan ia meninggalkannya kerana Allah, maka sesungguhnya Allah akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari hal-hal yang tidak terduga. Namun, jangan terburu-buru, jangan berprasangka bahwa jika perkara itu terlambat maka tidak akan ada. Akan tetapi kadang-kadang Allah menguji seorang hamba dengan mengakhirkan pahalanya untuk menguji hamba tersebut, apakah ia kembali berbuat dosa atau tidak. Misalnya jika kamu biasa bermuamalah dengan riba kemudian kamu dinasihati orang dan kamu meninggalkan perbuatan tersebut. Akan tetapi, selama rentang sebulan, dua bulan kamu tidak mendapatkan keuntungan, maka janganlah kamu berputus asa dan mengatakan, “Mana rezeki yang tidak terduga-duga itu?” Akan tetapi tunggulah percayalah akan janji-janji Allah dan yakinlah akan hal itu, maka kamu akan mendapatkannya dan jangan terburu-buru. Kerana disebutkan di dalam hadits:

“Salah seorang di antara kalian akan dikabulkan jika ia berdoa selagi ia tidak terburu-buru dan mengatakan, 'Aku berdoa, kemudian aku berdoa, kemudian aku berdoa.” 

[Shahih Al-Bukhari no. 6340 dan Muslim no. 2735]

Sabarlah dan tinggalkanlah apa yang diharamkan Allah kepadamu, tunggulah kelapangan dan rezeki dari arah yang tidak terduga-duga.

Firman Allah Ta'ala:

Jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqan (kemampuan membedakan antara hak dan batil) kepadamu dan menghapuskan segala kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Allah memiliki karunia yang besar.
(QS. Al-Anfâl: 8: 29)

Disini ada tiga manfaat yang sangat besar. Manfaat pertama (“Allah akan jadikan bagimu satu pembeda”) yakni Allah akan jadikan bagimu sesuatu yang memisahkan antara hak dan batil, antara yang berbahaya dan yang bermanfaat. Ini termasuk ke dalam ilmu Allah yang membukakan bagi seseorang ilmu-ilmu yang tidak dibukakan bagi yang lainnya. Maka sesungguhnya takwa akan menghasilkan penambahan hidayah, penambahan ilmu dan penambahan penjagaan. Sehingga disebutkan Imam Syafii rahimahullah dalam syairnya,

Aku mengadu kepada Waqi' (guru saya) tentang lemahnya hafalanku. Kemudian beliau menasihatiku agar aku meninggalkan maksiat. Beliau berkata, “Ketahuilah, ilmu itu cahaya.” Dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat.”

[Penisbatan syair ini kepada Imam Asy-Syafi'i ada satu permasalahan. Sesungguhnya bait syair ini dikeluarkan oleh Al-Baihaqi di dalam Syu'ab Al-Imam (734) dengan sanad yang Sahih dari Ali bin Khasram. Ia berkata, “Aku melapor kepada Waqi' akan jeleknya hafalan.” Kemudian beliau menjawab, “Mintalah pertolongan untuk dapat menghafal dengan menyedikitkan dosa.” Ibnu Khashram adalah salah satu murid dari Imam Waqi' dia orang yang terpercaya dan merupakan di antara rawi-rawi yang diterima oleh Imam Muslim]

Tidak diragukan lagi bahwa seseorang ketika bertambah ilmunya maka akan bertambah pengetahuannya dan pembedaannya antara yang hak dan batil, yang berbahaya dan yang bermanfaat. Demikian juga dengan kefahaman yang Allah berikan kepada seseorang kerana takwa merupakan sebab kuatnya pemahaman. Dan dengan kuatnya pemahaman akan bertambahlah ilmu. Maka terkadang kamu menyaksikan dua orang yang menghafal ayat dalam kitab Allah. Salah satunya mampu menyimpulkan tiga buah hukum, yang lainnya mampu menyimpulkan lebih banyak dari itu. Berdasarkan pemahaman yang diberikan Allah kepada mereka.

Ketakwaan merupakan sebab bertambahnya pemahaman, termasuk di dalamnya firasat. Sesungguhnya Allah memberikan kepada orang yang bertakwa firasat yang membedakannya di antara manusia. Hanya dengan melihat seorang ia dapat mengetahui apakah orang tersebut berdusta, atau jujur, atau ia orang yang baik atau buruk, sampai-sampai ia terkadang menghukumi seseorang yang ia belum pernah bergaul dengannya, belum mengenal orang itu sebelumnya. Namun, dengan sebab firasat yang diberikan Allah kepadanya. Termasuk di antaranya juga apa yang terjadi pada orang yang bertakwa dari karamah yang tidak terjadi pada selainnya. Seperti, yang banyak terjadi pada para sahabat dan tabiin radhiyallahu anhum. Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu suatu hari sedang berkhutbah di atas mimbar di Madinah, maka terdengarlah beliau mengucapkan di tengah-tengah khutbahnya, “Wahai Sariyah ke gununglah, wahai Sariyah ke gununglah,” maka orang-orang keheranan kenapa beliau mengucapkan ucapan tersebut di tengah-tengah khutbah, ternyata Allah membukakan takbir bagi beliau tentang pertempuran yang sedang terjadi di Iraq, yang dipimpin oleh Sariyah bin Zunaim, dimana musuh sedang mengepung mereka, maka Allah memperlihatkan bagi Umar pertempuran ini, seolah-olah beliau melihatnya dengan mata kepalanya sendiri, lalu beliau berkata kepada panglimanya, “Wahai Sariyah ke gununglah,” yakni berlindunglah ke gunung, maka Sariyah mendengar ucapan ini yang ketika itu ia menjadi panglimanya sedang ia berada di Iraq kemudian ia berlindung di atas gunung. Ini bisa terjadi kerana ketakwaan, kerana karamah-karamah para wali ini adalah balasan bagi mereka atas ketakwaannya kepada Allah Ta'ala. Yang terpenting bahwa pengaruh dari ketakwaan adalah Allah akan menjadikan bagi orang-orang yang bertakwa “furqansehingga mereka mampu membedakan hal yang banyak, hal ini tidak dapat diperoleh kecuali bagi orang yang bertakwa.

Fedah yang kedua; “Menghapuskan segala kesalahan-kesalahan. (QS. Al-Anfâl: 8: 29) menghapuskan kesalahan dengan amal-amal baik, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Shalat yang lima waktu, antara jum’at yang satu dan jum’at berikutnya, antara Ramadhan yang satu dan Ramadhan berikutnya, di antara amalan-amalan tersebut akan diampuni dosa-dosa selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.”

[Shahih Muslim no. 233]

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

“Umrah ke umrah berikutnya adalah penghapus di antara keduanya selagi ia meninggalkan dosa besar.

[Shahih Al-Bukhari no. 1650 dan Muslim no. 2403]

Maka penghapusan dosa itu dengan amal-amal yang baik, dan ini berarti jika seseorang bertakwa kepada Allah maka Dia akan memudahkan baginya melakukan amal-amal shaleh, yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosanya.

Faedah yang ketiga; “Allah akan mengampuni dosa kalian.” Dengan memudahkan kalian beristighfar dan bertaubat, maka ini adalah nikmat dari Allah atas hamba-Nya yang memudahkannya untuk beristighfar dan bertaubat. 

Merupakan satu bencana bagi seorang hamba, apabila ia menyangka bahwa dosa-dosa yang telah dia perbuat bukanlah termasuk dosa, sehingga dia masih terus melakukannya, kita berlindung kepada Allah dari demikian. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Katakan (Muhammad), “Apakah perlu Kami beritahukan kepadamu tentang orang yang paling rugi perbuatannya? (Yaitu) orang yang sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya.
(QS. Al-Kahfi: 18: 103-104) Banyak orang yang tidak dapat menghindar dari dosa, kerana telah menghiasinya. Dosa itu semakin mendekat kepadanya sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan nafsu darinya. Akan tetapi, jika ia bertakwa kepada Allah, maka Allah akan menggampangkannya untuk melepaskan diri dari dosa sehingga ia bertaubat, dan bisa jadi Allah mengampuninya disebabkan ketakwaannya itu. Jadi, Ketakwaan akan menghapuskan kesalahan. Sebagaimana yang terjadi pada pasukan Badar,

“Sesungguhnya Allah mengetahui para pejuang Badar, maka Allah berfirman kepada mereka, “Berbuatlah apa yang kalian sukai, sesungguhnya Aku telah mengampunkan kalian.

[Shahih Al-Bukhari no. 3684, 3939, 4511, 5789 dan Muslim no. 4550]

Maka dosa yang ada pada diri mereka diampuni kerana apa yang mereka dapatkan dalam pertempuran dari pahala yang besar.

Dan firman Allah: “Dan Allah mempunyai karunia yang besar. (QS. Al-Anfâl: 8: 29). Yakni yang memiliki keutamaan yang besar yang tidak ada yang menandingi sesuatu pun, dan tidak ada yang sepadan dengan-Nya, sesungguhnya Allah bersifat dengan sifat-sifat ini, maka mintalah keutamaan dari-Nya dengan bertakwa dan bertaubat kepadanya. Wallahu'alam.

Hadits 69.
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قِيلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ أَكْرَمُ النَّاسِ؟ قَالَ: « أَتْقَاهُمْ » فَقَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ، قَالَ: فَيُوْسُفُ نَبِيُّ اللهِ ابْنُ نَبِيِّ اللهِ ابْنِ نَبيِّ اللهِ بْنِ خَلِيلِ اللهِ » قَالُوا: لَيْسَ عَنْ هَذَا نَسْأَلُكَ، قَالَ: فَعَنْ مَعَادِنِ الْعَرَبِ تَسْأَلُونِيْ؟ خِيَارُهُمْ فِي الْجَاهِليَّةِ خِيَارُهُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقُهُوا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dia berkata, “Dikatakan, wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling mulia?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Orang yang paling bertakwa di antara mereka.”

Mereka berkata: “Bukan itu yang kami tanyakan.”

Baginda menjawab: “Yusuf, nabi Allah, anak nabi Allah, anak nabi Allah, anak kekasih Allah.”

Mereka berkata: “Bukan itu yang kami tanyakan kepadamu.”

Maka baginda menjawab: “Apakah tentang asal usul bangsa Arab (terkait nasab orang Arab) yang kalian tanyakan kepadaku?” (Jika demikian yang kalian maksudkan) maka yang terbaik di antara mereka pada zaman Jahiliyah akan menjadi yang terbaik di dalam Islam (setelah masuk Islam) jika mereka memahami (hukum-hukum syariat).

[Shahih Al-Bukhari no. 3353 dan Muslim no. 2378. 2526]

Penjelasan.

Ucapan mereka, “Siapa yang paling mulia di antara manusia?” Baginda menjawab, “Orang yang paling bertakwa di antara mereka.” Orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah dan jawaban ini sesuai sekali dengan firman Allah Ta'ala,

“Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”
(QS. Al-Hujurât: 49: 13)

Maka Allah Ta'ala tidak pernah memandang kepada manusia dari segi nasabnya, dari segi kedudukannya, paras rupa dan hartanya. Namun, Allah memandang dari amal-amal perbuatannya. Maka, manusia yang paling mulia di sisi-Nya adalah manusia yang paling bertakwa kepada-Nya. Kerananya, Allah akan memberikan kepada orang-orang yang bertakwa dengan karamah-karamah yang lahir mahupun yang batin. Kerana mereka adalah makhluk-makhluk-Nya yang paling mulia. Di sini kita dianjurkan untuk bertakwa kepada Allah, kerana bahwasanya orang yang paling bertakwa kepada Allah, otomatis dialah orang yang paling mulia di sisi-Nya. Akan tetapi, para sahabat tidak menginginkan dengan pertanyaan ini, orang yang paling mulia di sisi Allah. Mereka mengatakan, “Bukan itu yang kami tanyakan.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kepada mereka bahwa makhluk yang paling mulia adalah Yusuf anak nabi Allah, anak nabi Allah, anak kekasih Allah, maka Yusuf adalah anaknya Ya'kub bin Ishak bin Ibrahim. Maka Yusuf alaihissalam adalah seorang nabi dari keterunan nabi dan baginda adalah makhluk yang paling mulia. Mereka berkata, “Bukan itu yang kami tanyakan kepadamu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Apakah tentang asal usul bangsa Arab (terkait nasab orang Arab) yang kalian tanyakan kepadaku?” (Jika demikian yang kalian maksudkan) maka yang terbaik di antara mereka pada zaman Jahiliah akan menjadi yang terbaik di dalam Islam (setelah masuk Islam) jika mereka memahami (hukum-hukum syariat). Yakni sebaik-baik manusia dari nasab dan asal keturunannya adalah sebaik-baiknya orang Jahiliyah. Akan tetapi dengan syarat jika mereka mahu memahami agama dengan baik.

Misalnya, bani Hasyim terkenal nasab yang terbaik di Quraisy maka mereka menjadi yang terbaik di dalam Islam. Akan tetapi, dengan syarat mereka memahami agama Allah, belajar agama Allah. Namun, jika mereka tidak memahami, walaupun termasuk nasab yang terbaik di Arab, maka mereka tidak menjadi makhluk yang termulia di sisi Allah. Di sini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa manusia itu menjadi mulia dengan nasabnya, akan tetapi dengan syarat ia memiliki pemahaman tentang agama. Dan tidak diragukan lagi bahwa nasab memiliki pengaruh, kerananya bani Hasyim merupakan sebaik-baiknya manusia dan semulianya nasab. Kemudian di antara mereka itu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi makhluk yang paling mulia.

“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya.” (QS. Al-An'âm: 6: 124). 
Jikalau suku Quraisy bukan suku yang mulia, maka tidak akan lahir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana tidaklah diutus seorang rasul kecuali dari rahim-rahim yang paling mulia dan nasab-nasab yang paling tinggi. Dalil yang diambil dari hadits ini adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Orang yang paling mulia adalah orang yang paling bertakwa.”

Jika kamu menginginkan menjadi mulia di sisi Allah, memiliki kedudukan di sisi-Nya, maka hendaklah kamu bertakwa. Barangsiapa yang paling bertakwa kepada Allah maka ia paling mulia di sisi-Nya. Saya memohon kepada Allah semoga menjadikan kita semua termasuk orang yang bertakwa.

Hadits 70.
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « إِنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ، وَإِنَّ اللَّهَ مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيْهَا فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ. فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ. فَإِنَّ أَوَّلَ فِتْنَةِ بِنِي إِسْرَائِيلَ كَانَتْ فِي النِّسَاءِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Said Al-Khudri radhiyallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

“Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah). Dan sesungguhnya Allah telah menjadikan kalian sebagai pewaris di dalamnya, lalu Dia memperhatikan bagaimana kalian berbuat (terhadapnya). Takutlah (waspadalah) kalian kepada dunia dan takutlah (waspadalah) kalian kepada wanita. Sesungguhnya fitnah yang pertama kali yang timbul di kalangan Bani Israil adalah pada wanita.”

[Shahih Muslim no. 2742]

Penjelasan.

Hadits ini dikutip penulis kerana di dalamnya ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bertakwa setelah baginda menyebutkan keadaan dunia. Baginda bersabda, “Sesungguhnya dunia itu manis dan hijau (indah).” Manis di dalam rasanya dan indah dalam pemandangannya. Kerana sesuatu itu jika ia indah dan manis, maka, pertama-tama akan tertarik pada sesuatu tersebut. Jika mata dan jiwa sama-sama tertarik pada sesuatu, maka dikhawatirkan manusia akan terjerumus ke dalam sesuatu tersebut.

Dunia itu manis dalam cita rasanya dan indah dalam pemandangannya, sehingga menggoda seseorang untuk terjun ke dalamnya. Dan menjadikannya sebagai tujuan utamanya. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan kita sebagai khalifah di dalamnya. Dan menjadikannya sebagai tujuan utamanya. Akan tetapi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan kita sebagai khalifah di dalamnya. Dan Allah memperhatikan bagaimana kita menguruskannya. Apakah kita menegakkan ketaatan dan mencegah jiwa dari kemaksiatan, melaksanakan apa yang Allah wajibkan atas kalian. Jangan tertipu oleh dunia atau perkara bisa sebaliknya. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian kepada dunia. Yakni laksanakan apa-apa yang telah Allah perintahkan kepada kalian dan tinggalkanlah apa-apa yang telah Allah larang, jangan tertipu oleh manis dan indahnya dunia. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Maka janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu terpedaya oleh penipu dalam (mentaati) Allah.”
(QS. Luqmân: 31: 33)

Kemudian baginda bersabda, “Takutlah kalian kepada dunia dan takutlah kalian kepada wanita.Yakni waspadalah terhadap perempuan. Ini mencakup waspada dari perempuan di dalam tipu dayanya terhadap suaminya dan juga mencakup tipu daya perempuan dan fitnahnya. Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya fitnah pertama yang timbul di kalangan Bani Israil adalah pada wanita. Mereka terfitnah dalam masalah perempuan akan membuat mereka tersesat dan menyesatkan. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian. Oleh kerana itu, kita menemukan musuh-musuh agama kita, musuh-musuh syariat Allah Ta'ala pada hari ini mengangkat isu tentang perempuan. Mereka menghiasi perempuan, mencampuradukkan mereka dengan laki-laki, menyamaratakan perempuan dan laki-laki dalam pekerjaan sehingga manusia seakan-akan menjadi keledai, tidak ada yang menjadi kepentingan mereka kecuali perut-perut mereka dan kemaluan-kemaluan mereka. Dan jadilah perempuan-perempuan seakan-akan gambar yang tidak dipentingkan manusia kecuali penampilannya. Bagaimana mereka mempercantik perempuan, mendatangkan bagi mereka alat-alat kecantikan dan hiasan, baik yang berhubungan dengan rambut, kulit, yang dapat memuluskan rambut dan paha, lutut, wajah dan segala sesuatunya, sehingga mereka menjadikan perkara yang paling besar di antara mereka adalah perempuan sehingga perempuan seperti gambar dari plastik. Tidak penting memperdulikan lagi tentang ibadah dan anak-anak. Kemudian musuh-musuh kita, musuh-musuh agama dan musuh-musuh syariat Allah, musuh-musuh kehidupan menginginkan untuk menjerumuskan para perempuan di dalam pekerjaan-pekerjaan laki-laki sehingga membuat para lelaki sempit dan para pemuda menjadi pengangguran di pasar-pasar kerana tidak ada pekerjaan bagi mereka. Sehingga terjadilah pengangguran bagi para lelaki. Ini adalah keburukan dan fitnah yang sangat besar. Kerana pemuda, para pengangguran dan kebutuhan (kecukupan) menjadi sebab kerusakan yang sangat besar, sebagaimana yang dikatakan dalam sebuah syair:

“Sesungguhnya inti dari kerusakan seseorang adalah pemuda, pengangguran dan kebutuhan.

Mereka sekarang menjerumuskan para perempuan ke dalam pekerjaan para lelaki, dan menjajah para pemuda untuk menghancurkan pemuda yang lain dan menghancurkan perempuan. Tahukah kalian apa yang akan terjadi? Tentu saja kerusakan, pergaulan bebas, zina dan perbuatan lacur lainnya seperti zina mata, zina lisan, zina tangan atau zina kemaluan. Semua ini dapat terjadi jika seorang perempuan bersama seorang laki-laki dalam satu pekerjaan. Berapa besar kerusakan yang terjadi di sebuah negeri yang mempekerjakan laki-laki dan perempuan dalam satu instansi kerja.

Sesungguhnya, perempuan jika dipekerjakan maka dia akan meninggalkan rumahnya, meninggalkan suaminya, jadilah keluarga broken home. Kemudian jika ia bekerja di luar maka rumah akan membutuhkan pembantu, maka pada saat ini akan dicari perempuan-perempuan dari berbagai tempat, dari yang berbeda agama dan akhlak, walaupun agamanya bukan Islam, walaupun akhlaknya rusak. Kita mengimport perempuan untuk menjadi pembantu di rumah dan menjadikan perempuan-perempuan kita bekerja di tempat-tempat lelaki, sehingga menyebabkan laki-laki pengangguran dan menyibukkan perempuan-perempuan kita. Di sini adalah kerusakan yang besar yaitu hancurnya rumah tangga. Kerana, ketika seorang anak tumbuh dalam asuhan seorang pembantu maka ia akan melupakan ibunya, melupakan ayahnya, maka hubungan anak ini dengan kedua orang tuanya tidak harmonis, rusaklah rumah, terpecah belahlah keluarga maka terjadilah kerusakan yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah. Dan tidak diragukan bahwa musuh kita dan para pengekor musuh-musuh kita -kerana sekarang ini ditemukan orang-orang yang mengekor pada musuh-musuh kita-, mereka belajar kepada mereka dan dicekoki dengan pemikiran-pemikiran mereka yang rusak. Aku tidak mengatakan bahwa mereka telah mencuci otak-otaknya tetapi aku katakan mereka telah mengotori otak-otak mereka dengan pemikiran-pemikiran yang rusak yang bertentangan dengan agama Islam. Yang terkadang mereka berkata, “Sesungguhnya ini tidak bertentangan dengan akidah.” Namun kita katakan, “Sesungguhnya ini menghancurkan akidah.” Tidak bertentangan dengan akidah dan seseorang yang mengatakan bahwa Allah memiliki sekutu atau sesungguhnya Allah itu tidak berwujud dan yang serupa ini. Bahkan ini adalah maksiat yang akan menghancurkan akidah. Kerana manusia ibarat kerbau atau keledai yang tidak mementingkan akidah dan ibadah. Mereka hanya mementingkan segala hiasannya dan para perempuan.

Disebutkan dalam hadits sahih: 

“Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para perempuan. 

[Shahih Al-Bukhari no. 5096. Muslim no. 2740]

Kerananya wajib bagi kita umat Islam untuk menentang pemikiran-pemikiran ini dan menegakkan perlawanan dalam setiap tempat dan kesempatan. Sebagaimana yang diketahui terdapat di dalam kita satu kaum -semoga Allah tidak memperbanyak mereka dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan- menginginkan perkara-perkara ini di negeri orang-orang muslim yang menjaga agama mereka kerana mereka mengetahui bahwa akhir kehancuran dari seorang muslim terdapat di negeri ini yang mencakup tempat-tempat yang disucikan kaum muslimin yang menjadi kiblat kaum muslimin, mereka ingin menghancurkannya sehingga hancurlah seluruh umat Islam, kerana setiap umat Islam selalu melihat kepada negeri ini apa yang mereka perbuat. Maka ketika rasa malu telah hancur di negeri ini, maka ini berarti kemenangan atas mereka dan ucapan selamat tinggal bagi agama dan rasa malu. Kerananya aku katakan, “Wahai saudara-saudaraku, wajib bagi kalian para pemuda, orang dewasa, orang tua, para ulama dan para pelajar untuk menentang pemikiran ini dan menegakkan manusia semuanya untuk melawannya sehingga kita tidak menuju ke dalam neraka yang bergolak-golak sehingga membakar kita. Kita memohon kepada Allah untuk menjadikan tipu daya mereka yang mengatur semua perkara-perkara ini hanya berada di pundak-pundak mereka dan mereka tidak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan dan mereka akan dikalahkan oleh para laki-laki yang shaleh yang akan memadamkan fitnah mereka. Sesungguhnya Dialah Allah yang Maha Dermawan lagi Maha Mulia.”

Hadits 71.
عَنْ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: « اللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Ibnu Mas'ub radhiyallahu anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa,

“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu hidayah (petunjuk), ketakwaan, kesucian diri dan kekayaan (kekayaan jiwa; merasa cukup dengan apa yang dimiliki).”

[Shahih Muslim no. 2721]

Penjelasan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berdoa dengan doa ini:

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina.” Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu hidayah (petunjuk), ketakwaan, kesucian diri dan kekayaan (kekayaan jiwa; merasa cukup dengan apa yang dimiliki).”

Al-Huda di sini maknanya ilmu, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membutuhkan ilmu sebagaimana manusia yang lainnya, kerana Allah Ta'ala berfirman kepada baginda,

“Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur'an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkan ilmu kepadaku.” (QS. Thâhâ: 20: 114)

“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui, karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.” (QS. An-Nisâ: 4: 113)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membutuhkan ilmu sehingga baginda berdoa kepada Allah untuk mendapatkan Al-Huda.

Al-Huda Jika disebutkan menyendiri maka ia mencakup ilmu dan taufik kepada kebenaran. Adapun jika di gandengkan dengan makna taufik maka maknanya adalah taufik (menetapi) kebenaran. Dan ini ditafsirkan dengan ilmu kerana pada asalnya ketika ada kata yang digandengkan, maka menunjukkan dua kata yang berbeda makna, berarti Al-Huda memiliki makna dan yang sesudahnya juga menunjukkan makna yang lain.

Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “At-Tuqa” maksudnya adalah bertakwa kepada Allah Ta'ala, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon kepada Allah agar diberi ketakwaan. Yakni menetapkannya dalam ketakwaan, kerana di Tangan Allah-lah ketetapan segala sesuatu, jika seorang hamba dipasrahkan kepada dirinya sendiri, maka ia akan kehilangan dan tidak mendapatkan sesuatu, namun jika Allah memberinya taufiq dan memberinya rezeki ketakwaan, maka ia kan menjadi orang yang bertakwa.

Adapun sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Al-Afaf yang dimaksud adalah Allah menganugerahinya kebersihan jiwa, dan Iffah itu berarti terlindung dari apa yang diharamkan Allah. Maka penggandengan Iffah dengan lafal Taqwa adalah masuk dalam bab penyandaran lafal khusus ke lafal umum. Jika kita mengkhususkan kebersihan diri dengan kebersihan terhadap hal tertentu. Jika tidak begitu, berarti termasuk bab menyandarkan dua lafal yang semakna.

“Al-Iffah” adalah menahan diri dari apa yang diharamkan oleh Allah yang berhubungan dengan keharaman yang telah diharamkan Allah Ta'ala.

Adapun Al-Ghina maksudnya adalah merasa cukup dari sesuatu selain Allah, yakni ia merasa cukup dari makhluk dimana seseorang tidak membutuhkan sesuatu pun selain Tuhannya.

Manusia jika telah diberi taufik oleh Allah, kemudian dia dianugerahi kecukupan dari makhluk, maka ia akan menjadi mulia tidak terhinakan. Kerana hajat kepada makhluk itu adalah kerendahan dan kehinaan, dan hajat kepada Allah adalah kemulian dan ibadah, maka baginda memohon perasaan yang selalu cukup. Maka seyongyanyalah kita mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan doa ini untuk kita memohon kepada Allah petunjuk, kebersihan diri dan merasa cukup. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki pada dirinya kemanfaatan dan kemudaratan, dan semua itu adalah milik Allah.

Dalam hadits ini juga ada dalil yang menunjukkan batalnya bersandar dengan orang-orang shaleh dan para wali dalam mendapatkan kemanfaatan, dan menolak bahaya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang tidak mengerti. Mereka berdoa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mereka berada di samping kuburan baginda atau mereka berdoa kepada orang yang mereka sangka wali-wali selain Allah, maka mereka ini tersesat dari agama mereka, bodoh dalam pemikiran, kerana mereka berdoa kepada jiwa yang tidak bisa menolong kepada dirinya sendiri, apalagi kepada orang lain, firman Allah Ta'ala,

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, aku tidak mengetahui yang ghaib dan aku tidak (pula) mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat.” (QS. Al-An'âm: 6: 50)

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa mendatangkan manfaat mahupun menolak mudarat bagi diriku kecuali apa yang dikehendaki Allah.
(QS. Al-A'râf: 7: 188)

“Katakanlah (Muhammad), “Aku tidak kuasa menolak mudarat mahupun mendatangkan kebaikan kepadamu.” “Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.”
(QS. Al-Jinn: 72: 21-22)

Seseorang wajib mengetahui bahwa meskipun seseorang diberikan kemulian, kedudukan dan martabat di sisi Allah, tetapi mereka bukanlah orang yang berhak untuk diminta doa selain Allah, bahkan mereka berlepas diri secara menyeluruh dari orang yang berdoa kepadanya selain Allah Ta'ala. Nabi Isa alaihissalam ketika Allah berfirman kepadanya,

Engkau yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua Tuhan selain Allah?” (Isa) menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku.
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 116) bukan hak bagi Isa dan juga yang lainnya untuk berkata kepada manusia jadikanlah aku sebagai tuhan selain Allah lalu dilanjutkan dalam firman-Nya,

“Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sesungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 116-117)

Kesimpulannya bahwa apa yang kita dengar dari sebagian orang-orang yang bodoh, yang banyak mendatangi kuburan yang disangka mereka sebagai wali, kemudian mereka berdoa kepadanya meminta sesuatu selain Allah, maka perbuatan ini adalah kebodohan dalam pemikiran, dan kesesatan dalam agama. Mereka tidak akan memberikan manfaat kepada siapa pun selamanya, sebab mereka adalah jasad yang telah mati, semoga Allah-lah memberi taufik.

Hadits 72.
عَنْ أَبِي طَرِيْفٍ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ الطَّائِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: « مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِيْنٍ ثُمَّ رَأَى أَتْقَى لِله مِنْهَا فَلْيَأْتِ التَّقْوَى » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Tharif Adi bin Hatim Ath-Tha'i radhiyallahu anhu ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa bersumpah atas sesuatu, kemudian ia melihat ada sesuatu yang lebih membuatnya bertakwa kepada Allah daripada sumpah itu, maka hendaknya dia melaksanakan ketakwaannya itu.

[Shahih Muslim no. 1651]

Penjelasan.

Al-Yamin adalah bersumpah kepada Allah Ta'ala dengan nama dari nama-nama-Nya atau sifat dari sifat-sifat-Nya, dan tidak boleh bersumpah dengan sesuatu selain Allah baik dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau Jibril dan juga dengan sesuatu dari makhluk-Nya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Barangsiapa yang bersumpah maka hendaklah ia bersumpah dengan Allah atau dia diam.”

[Shahih Al-Bukhari no 2482. 5643. 6155 dan Muslim no. 3105]

Dan baginda juga bersabda:

“Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia telah kafir atau musyrik.”

[Hr. Abu Dawud no. 3251; dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/314]

Barangsiapa yang bersumpah dengan selain Allah maka ia bermaksiat dan tidak ada sumpah baginya, kerana sumpahnya tidak dapat ditegakkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami (tidak terdapat dalam agama) maka amalan tersebut tertolak.

[Shahih Muslim no. 1718]

Tidak sepantasnya seseorang banyak bersumpah, inilah yang dimaksud dengan firman Allah Ta'ala,

“Dan jagalah sumpahmu.” (QS. Al-Mâ'idah: 5: 89)

Menurut sebagian pendapat para mufassir mereka berkata, “Jagalah sumpah-sumpah kalian, yakni jangan memperbanyak sumpah kepada Allah, jika kamu bersumpah hendaklah dibatasi dengan ucapan Insya Allah, kamu ucapkan, “Demi Allah, Insya Allah, hal ini akan memberikan dua faedah yang besar.”

Yang pertama, Akan menjadi gampang apa yang kamu sumpahkan.

Yang kedua, jika kamu membatalkan sumpahmu maka tidak ada kafarat bagimu.

Sumpah yang mengandung kafarat adalah sumpah untuk sesuatu yang dilakukan pada masa yang akan datang. Adapun bersumpah untuk sesuatu yang telah berlalu maka tidak ada kafarat baginya, akan tetapi jika sumpah itu bohong maka ia bermaksiat, dan jika ia jujur maka tidak ada sesuatu baginya, misalnya jika seseorang berkata, “Demi Allah, saya telah melakukan sesuatu.”

Maka di sini tidak ada kafarat baginya dia benar atau dia bohong, akan tetapi jika ia benar bahwa ia tidak melakukannya maka ia selamat dari dosa, dan jika ia berbohong maka ia telah menjatuhkan dirinya dalam dosa.

Sumpah yang mengandung kafarat adalah sumpah untuk sesuatu yang dilakukan pada masa yang akan datang, jika kamu bersumpah dengan sesuatu yang akan datang, misalnya kamu mengatakan, “Demi Allah saya tidak akan melakukannya.” Maka di sini kami katakan, jika kamu melakukannya maka bagimu kafarat, dan jika kamu tidak melakukannya maka tidak ada kafarat atasmu. Ini adalah sumpah yang harus ditegakkan (mun'aqid), akan tetapi, apa yang lebih utama apakah aku melakukan yang telah aku sumpahi untuk meninggalkannya, atau yang utama aku tidak melakukannya.

Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa jika kamu bersumpah dan kamu melihat bahwa selain sumpah ini lebih bertakwa kepada Allah maka bayarlah kafarat sumpahmu dan datangilah yang lebih bertakwa tersebut.

Jika ada yang mengatakan, “Demi Allah, saya tidak akan berbicara kepada si Fulan,” padahal ia seorang muslim, maka yang lebih bertakwa adalah kamu berbicara dengannya, kerana mendiamkan seorang muslim itu adalah haram, maka hendaklah kamu berbicara dan membayar kafarat dengan sumpahmu. Jika kamu berkata, “Demi Allah, saya tidak akan mengunjungi kerabatku,” maka di sini kami katakan, “Mengunjungi kerabat merupakan silaturrahmi, dan silaturrahmi adalah wajib, maka sambunglah kerabatmu, dan bayarlah sumpahmu, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Maka dia melihat yang selainnya lebih baik darinya (sumpahnya) maka hendaklah ia membayar kafarat dari sumpahnya dan mendatangi yang lebih baik.”

[Shahih Muslim no. 3114]

Dan berdasarkan hal ini maka qiyaskanlah masalah yang lain.

Kesimpulannya adalah kami katakan, bersumpah atas sesuatu yang telah lalu, maka tidak ditanyakan kafaratnya, kerana tidak ada kafarat di sini. Akan tetapi, bisa jadi orang yang bersumpah selamat atau ia berdosa. Sedangkan bersumpah untuk masa yang akan datang inilah yang mengandung kafarat, jika seseorang bersumpah untuk masa yang akan datang, kemudian ia bersumpah dengan sebuah sumpah, maka wajib baginya membayar kafarat, kecuali jika ia membarengi ucapan sumpahnya dengan kehendak Allah ia berkata, “Insya Allah” maka ini tidak ada kafarat, walaupun ia bersumpah. Allah-lah memberi taufik.

Hadits 73.
عَنْ أَبِي أَمَامَةَ صُدَيِّ بْنِ عَجْلاَنَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَحْطُبُ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَقَالَ: « اتَّقُوا اللهَ، وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ، وَصُومُوا شَهْرَكُمْ، وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ، وَأَطِيعُوا أَمَرَاءَكُمْ، تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِكُمْ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ فِي آخِرِ كِتَابِ اصَلَاةِ وَقَالَ: حَدِيْثُ حَسَنٌ صَحِيْحُ.
Daripada Abu Umamah Shuday bin 'Ajlan Al-Bahili radhiyallahu anhu dia berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhubah pada haji wada, maka baginda bersabda:

“Bertakwalah kepada Allah, dirikanlah shalat lima waktu, berpuasalah pada bulan (Ramadhan) kalian, tunaikanlah zakat harta kalian dan taatilah pemimpin kalian, maka kalian akan masuk surga.”

[Hr. At-Tirmidzi no. 616, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 867]

Penjelasan.

Khutbah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu ada dua bagian, yang pertama khutbah yang terjadwal (rutin) dan khutbah yang diadakan tiba-tiba (kondisional). Adapun khutbah yang terjadwal seperti khutbah Jum'at dan ied, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berkhutbah kepada manusia setiap jum'at dan setiap ied. Para ulama rahimahullah berbeda pendapat dalam khutbah shalat kusuf apakah ia termasuk khutbah rutin atau kondisional, sebab perbedaan pendapat mereka adalah tidak terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali satu kali, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat maka setelah itu baginda berkhutbah di depan manusia.

Sebagian ulama berpendapat bahwa khutbah khusuf (gerhana matahari) adalah khutbah rutin, dan mereka berkata, bahwa hukum asal apa yang disyariatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu ditetapkan selamanya, walaupun tidak terjadi gerhana untuk kali berikutnya, sehingga baginda meninggalkan khutbah yang kemudian kita bisa menyimpulkan bahwa itu adalah khutbah kondisional dikeranakan ada sesuatu peristiwa yang membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, dan jika tidak (terjadi peristiwa itu) maka baginda tidak akan khutbah, akan tetapi yang paling dekat bahwa khutbah ini adalah khutbah rutin dan disunnahkan bagi seseorang jika shalat gerhana untuk mengadakan khutbah mengingatkan manusia dan mengingatkan mereka sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun khutbah aridhah adalah khutbah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada hajat, seperti khutbah baginda ketika keluarga Barirah yaitu budak perempuan yang dibeli oleh Aisyah radhiyallau anha mensyaratkan bahwa kewaliannya bagi mereka, akan tetapi Aisyah menolaknya, kemudian ia mengabarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka baginda bersabda:

“Ambillah dia, dan syaratkanlah perwalian kepada mereka, kemudian baginda berkhutbah kepada manusia dan mengabarkan kepada mereka, bahwa yang berhak menjadi wali adalah orang yang memerdekakan.

[Shahih Muslim no. 1504]

Demikian pula khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika Usamah bin Zaid rahiyallahi anhu meminta syafaat untuk perempuan Al-Makhzumiyyah yang meminjam barang kemudian ia mengingkarinya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam memerintahkan untuk memotong tangannya, maka perkara ini mendapatkan perhatian dari orang-orang Quraisy, maka mereka meminta syafaat untuk menolong perempuan ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka mereka meminta kepada Usamah bin Zaid untuk meminta syafaat supaya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Apakah kamu mahu meminta syafaat dalam masalah batasan-batasan (hukum) Allah?Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan berkhutbah kepada manusia dan mengabarkan kepada mereka, “Bahwa yang menghancurkan orang-orang sebelum kita adalah jika yang mencuri adalah orang yang memiliki kedudukan mereka tingalkan hukumannya, dan jika yang mencuri adalah orang rendahan, maka mereka tegakkan hukum atasnya.

[Shahih Al-Bukhari no. 3216, 3453, 6290 dan Muslim no. 3195, 3197]

Di dalam haji wada' Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Arafah, baginda berkhutbah pada hari Nahr (Hari berkurban) memberi nasihat kepada manusia dan mengingatkan mereka, dan ini adalah termasuk khutbah-khutbah rutin, yang disunnahkan bagi penuntun haji untuk berkhutbah kepada manusia sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan di antara kalimat yang baginda sampaikan pada haji wada' adalah baginda bersabda, “Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhan kalian,” ini seperti firman Allah Ta'ala,

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu.” (QS. An-Nisâ: 4: 1)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan semua manusia untuk bertakwa kepada Tuhan mereka yang telah menciptakan mereka dan memberikan nikmat dan memberikan kesiapan kepada mereka untuk menerima risalahnya dan memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “..dirikanlah shalat lima waktu,” yakni shalatlah lima waktu yang telah Allah fardhukan kepada kalian dan atas Rasul-Nya. 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Berpuasalah pada bulan kalian,” yakni puasa bulan Ramadhan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tunaikanlah zakat harta kalian,” yakni berikanlah harta (zakat) kalian pada yang berhak menerimanya dan janganlah bersifat bakhil. 

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Taatilah para pemimpin kalian,” yakni orang-orang yang telah Allah jadikan pemimpin kalian, ini mencakup para pemimpin daerah mahupun negeri, mencakup pula pemimpin secara umum yakni pemimpin negara seluruhnya. Wajib bagi rakyat untuk menaati mereka selain dalam hal bermaksiat kepada Allah. Adapun dalam bermaksiat kepada Allah maka tidak boleh menaati mereka, walaupun mereka memerintahkan hal tersebut kerana ketaatan kepada makhluk tidak didahulukan dari ketaatan kepada Allah Ta'ala. Kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad) dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.” 
(QS. An-Nisâ: 4: 59) 

Maka ketaatan kepada pemerintah dihubungkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini menunjukkan bahwa ketaatan pada mereka meliputi ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kerana athaf  itu mengikuti ma'thuf alaih, tidak berdiri sendiri.

Kerananya didapatkan bahwa Allah Ta'ala berfirman, “Taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya).” (QS. An-Nisâ: 4: 59)

Disebutkan dengan dua kata kerja untuk menjelaskan bahwa ketaatan kepada Nabi adalah ketaatan yang menyendiri yakni wajib taat kepadanya secara menyendiri sebagaimana wajib taat kepada Allah. Dan dengan ini ketaatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu merupakan ketaatan kepada Allah yang juga menjadi kewajiban kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan memerintahkan kecuali dengan sesuatu yang diridhai oleh Allah. Adapun selainnya dari para pemimpin terkadang mereka memerintahkan dengan sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah, kerananya dijadikan ketaatan kepada mereka mengikuti ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak boleh bagi seseorang untuk bermaksiat kepada pemerintah selain kemaksiatan kepada Allah dengan mengatakan, “Ini bukan agama.” Kerana sebagian orang-orang yang bodoh jika pemimpin membuat aturan yang mana aturan-aturan tersebut tidak bertentangan dengan syariat ia berkata, “Tidak wajib bagiku untuk mengikuti aturan ini kerana ia bukan syariat, kerana tidak terdapat di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.” Ini adalah kebodohan. Akan tetapi kami katakan bahwa menaati peraturan-peraturan ini terdapat dalam kitab Allah terdapat As-Sunnah.

Allah Ta'ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya) dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisâ: 4: 59) Dan telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits yang banyak sekali yang memerintahkan untuk taat kepada pemimpin. Di antara haditsnya:

 “Jikalau kita tidak menaati pemerintah kecuali dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada faedah menaati pemerintah kerana taat kepada Allah dan Rasul-Nya adalah wajib apakah itu diperintahkan oleh pemerintah atau mereka tidak memerintahkannya.” 

Inilah perkara-perkara yang telah diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Haji Wada' yaitu perkara-perkara yang sangat penting dan wajib bagi seseorang untuk memberi perhatian padanya dan melaksanakan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

4 comments:

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...