Sunday, April 7, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 7. Yakin dan Tawakal.


Allah ﷻ berfirman:
۞وَلَمَّا رَأَى الْمُؤْمِنُونَ الْأَحْزَابَ قَالُوا هَٰذَا مَا وَعَدَنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَصَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ۚ وَمَا زَادَهُمْ إِلَّا إِيمَانًا وَتَسْلِيمًا۞
“Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 22)

Allah ﷻ berfirman:
۞الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ۞فَانْقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ۞
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi Penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik Pelindung.” Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 173-174)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحىِّ الَّذِى لَا يَمّوتُ۞
“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang Tidak Mati.” (QS. Al-Furqân: 25: 58)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ۞
“Dan hanya kepada Allah saja hendaknya orang yang beriman bertawakal.” (QS. Ibrâhim: 14: 11)

Allah ﷻ berfirman:
۞فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ۞
“Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 159)

Allah ﷻ berfirman:
۞وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ۞
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
(QS. At-Thalâq: 65: 3)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ۞
Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gementarlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfâl: 8: 2)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan tentang keutamaan bertawakal.

Penjelasan.

Imam An-Nawawi rahimahullah menggabungkan yakin dan tawakal, kerana tawakal adalah buah keyakinan. Keyakinan adalah kekuatan iman dan teguhannya, sehingga seakan-akan seseorang melihat apa yang dikabarkan Allah dan Rasul-Nya kerana keyakinannya yang kuat. Keyakinan adalah ketetapan dan keimanan yang tidak disertai keraguan dari sisi manapun, sehingga ia melihat masalah ghaib yang Allah dan Rasul-Nya kabarkan seakan-akan hadir di depannya, inilah tingkatan iman yang paling tinggi. Inilah keyakinan yang berbuah dengan buah yang sangat mulia. Di antaranya adalah tawakal kepada Allah Ta'ala. Bertawakal kepada Allah adalah bersandarnya seseorang kepada Tuhannya dalam lahir dan batinnya dalam mendapat kemanfaatan dan menolak kemudaratan.

Allah Ta'ala berfirman:

Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. At-Thalâq: 65: 3)

Di dalam dua tingkatan ini, yakin dan tawakal, seseorang akan mendapatkan apa yang diinginkan di dunia dan akhirat dengan hati yang lapang, hidup yang tenang dan bahagia. Kerana dia yakin dengan segala apa yang Allah dan Rasul-Nya kabarkan. Kemudian penulis menyebutkan beberapa ayat dalam bab ini, di antaranya firman Allah Ta'ala,

“Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 22)

Al-Ahzab adalah kelompok dari kabilah yang berbeda-beda yang bersekutu melawan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka berkumpul memerangai baginda, sehingga terkumpullah sepulah ribu pasukan dari Quraisy dan kelompok lainnya. Mereka mengepung Madinah untuk menghabisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga terjadilah di dalam peperangan ini krisis yang sangat luar biasa terhadap para sahabat Rasulullah. Allah Ta'ala telah menyifati kondisi mereka dalam firman-Nya,

“Dan ketika penglihatan (mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 10) yaitu prasangka yang sangat jauh sekali.

“Dan situlah diuji orang-orang mukmin dan diguncangkan (hatinya) dengan guncangan yang dahsyat.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 11)

Dalam krisis seperti ini, kaum muslimin terbagi menjadi dua, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya.

Pertama, Allah Ta'ala berfirman:

“Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang hatinya berpenyakit berkata, “Yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kami hanya tipu daya belaka.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 12)

Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran, serta orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit dari kalangan orang-orang mukmin dan orang-orang yang ada kekurangan dalam keyakinan, mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami, melainkan tipu daya.”

Mereka berkata, “Bagaimana Muhammad berkata bahwa dia akan menaklukkan Kisra, Kaisar dan Shan'a sedangkan dia sekarang dikepung oleh orang-orang tersebut.”

Kedua, Allah Ta'ala berfirman tentang orang-orang mukmin.

“Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 22)

Mereka ketika melihat para sekutu ini dan melihat kerasnya pertentangan, mereka meyakini bahwa mereka akan memperoleh kemenangan dan keluasan. Mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, sungguh benar apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya bahwa mereka mendapatkan kemenangan, dan menaklukkan raja-raja Kaisar, Kisra dan Shan'a.” Demikianlah yang terjadi. Hanya bagi Allahlah segala puji. Sebagaimana dalam firman Allah,

“Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” 
(QS. Al-Ahzâb: 33: 22)

Inilah puncak keyakinan ketika seseorang dilanda kesulitan yang sangat besar dan diuji, maka seharusnya ia bersikap kuat, tabah dan yakin. Tetapi, ketika tertimpa musibah dan kesusahan, inilah yang membalikkan keadaan mereka, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan akhirat. Itulah kerugian yang nyata.” 
(QS. Al-Hajj: 22: 11)

Banyak sekali di antara manusia ketika dalam keadaan sihat ia merasa tenang namun ketika ia ditimpa sebuah musibah berubahlah keadaannya, bahkan sampai pada tingkat murtad dan kafir menentang qadha dan takdir Allah. Membenci takdir Allah dan seterusnya ia membenci Allah -Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian- kerana sebelumnya ia tidak pernah ditimpa musibah dan juga fitnah, namun selanjutnya ia ditimpa oleh fitnah maka berubahlah keadaannya. Maka di dalam ayat-ayat ini dan yang lainnya ada dalil yang menunjukkan bahwa seyongyanya bagi seseorang untuk merasa khawatir, merasa takut dan berbaliknya hati. Hendaklah ia meminta kepada Allah agar selalu diberi ketetapan dalam iman. Kerana tidak ada satu hati dari Bani Adam kecuali ada di antara dua jari Tuhan Yang Maha Rahman. Dialah yang membolak-baliknya, sebagaimana yang Dia kehendaki. Jika Dia mahu maka Dia meneguhkan hati tersebut dan jika Dia mahu maka Dia membolak-balikannya. Kita memohon kepada Allah Dzat yang membolak-balikkan hati untuk menetapkan hati kita dalam ketaatan kepada-Nya dan memberikan kepada kita keistiqamahan dan ketetapan dalam agama.

Ayat yang ke dua firman Allah Ta'ala:

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, kerana itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 173)

Ayat ini turun kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala terjadi musibah atas mereka di dalam Perang Uhud seperti luka dan gugurnya para syahid. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya Abu Sufyan telah bertekad untuk mengepung kalian dan mengumpulkan kalian.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi kepada mereka untuk berhadapan dengan Abu Sufyan dan melawannya. Maka mereka percaya kepada Allah Ta'ala dan Rasul-Nya setelah mereka ditimpa kesulitan dan ujian yang berat. Di dalam peperangan ini terbunuhlah dari mereka tujuh puluh pejuang yang mati syahid di jalan Allah, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat pun mengalami kekalahan. Namun, mereka tetap yakin kepada Allah dan Rasul-Nya. 

Allah Ta'ala berfirman:

“(Yaitu) orang-orang yang manaati (perintah) Allah dan Rasul setelah mereka mendapat luka (dalam perang Uhud). Orang-orang yang berbuat kebajikan dan bertakwa di antara mereka mendapat pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang yang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 172-173). Yakni bahwa Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy mengumpulkan pasukannya untuk menghadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menginginkan kematian baginda. Namun Allah terus menguatkan baginda dan menyempurnakan cahaya-Nya. Dikatakan kepada para sahabat, “Khawatirlah kalian kepada mereka.” Namun, justru mereka menambah keimanan mereka kerana seorang mukmin semakin didesak oleh krisis, maka semakin bertambah keimanannya kepada Allah, kerana ia mengimani bahwa kemenangan itu bersama kesabaran. Kelapangan itu bersama kesempitan dan bersama kesulitan itu ada kemudahan. Kerananya, ucapan ini menambahkan keimanan mereka kepada Allah dan mereka berkata,

“Cukuplah Allah (menjadikan penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” 
(QS. Âli 'Imrân: 3: 173)

Hasbuna yakni Allah-lah yang mencukupkan kami di dalam kepentingan kami dan di dalam hal-hal yang menyempitkan kami, Dialah sebaik-baiknya tempat bertawakal, Dialah sebaik-baik Dzat yang mencukupi, Dialah sebaik-baik Dzat yang dijadikan wali dan sebaik-sebaiknya penolong. Akan tetapi, Allah akan menjadi penolong bagi orang yang menolong-Nya dan meminta pertolongan pada-Nya. Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang paling mulia dan Dzat yang paling dermawan.

Jika seseorang menghadap kepada Allah dalam suatu urusan, Dia akan menolong dan membantunya. Namun terkadang bencana yang menimpa Bani Adam membuat mereka banyak berpaling (lalai) dan hanya bersandar dalam urusan-urusan materi tanpa memperdulikan urusan-urusan maknawi.

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa sesuatu bencana. (QS. Âli 'Imrán: 3: 174)

Mereka pergi, akan tetapi mereka tidak mendapatkan apa-apa. Abu Sufyan dan para pengikutnya akhirnya mundur dengan tangan hampa tidak mampu mengusai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ditetapkan bagi para sahabat, peperangan tanpa pembunuhan. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa sesuatu bencana dan mereka mengikuti keridaan Allah. Allah mempunyai karunia yang besar. 
(QS. Âli 'Imrán: 3: 174)

Kemudian Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, kerana itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Âli 'Imrán: 3: 175)

Allah Ta'ala berfirman, “Menakut-nakuti dengan teman-teman setianya,” yakni setan itu menakut-nakuti kalian dengan kawan-kawannya (orang-orang Quraisy), atau setan itu memasukkan ke dalam hati kalian rasa takut terhadap kawan-kawannya. Takutlah kepada-Ku jika kalian benar-benar beriman. Maka setan mendatangi orang mukmin dan berkata, “Waspadalah kamu untuk berbicara tentang si fulan kerana ia dapat memenjarakan kamu atau berbuat ini dan itu.Setan menakutimu. Akan tetapi orang yang beriman tidak mungkin takut kepada kawan-kawan setan kerana Allah Ta'ala berfirman,

“Maka perangilah kawan-kawan setan itu, (kerana) sesungguhnya tipu daya setan itu lemah. 
(QS. An-Nisâ: 4: 76) yakni, jika dihubungkan dengan kebenaran.

Maka janganlah seseorang takut untuk menegakkan kalimat Allah hanya kerana adanya cacian, dan hendaknya janganlah takut kecuali kepada Allah. Akan tetapi, dia wajib menempuh jalan hidupnya di atas petunjuk Allah Ta'ala. Jika ia berjalan di atas petunjuk Allah, maka ia tidak akan merasa takut kepada sesiapa pun. 

Firman Allah Ta'ala:

“Dan bertawakallah kepada Allah Yang Hidup, Yang tidak mati.” (QS. Al-Furqân: 25: 58) Dialah Allah Ta'ala.

Bersandarlah kepada-Nya dalam semua urusanmu, baik yang kecilnya mahupun yang besar, kerana jika Allah tidak mempermudah urusan-urusanmu, maka tidak akan mudah urusan itu bagimu. Di antara sebab-sebab yang dapat mempermudah urusan adalah bertawakal kepada Allah, apa lagi kamu banyak dirundung masalah, kekhawatiran dan problem. Maka, tidak ada tempat berlindung kecuali kepada Allah. Hendaklah kamu bertawakal kepada Allah, dan selalu bersandar kepada-Nya hingga Dia mencukupkanmu.

Di dalam firman-Nya, “Yang tidak mati” 
(QS. Al-Furqân: 25: 58) ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa Allah tidak akan mati selamanya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa, tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. (QS. Ar-Rahmân: 55: 26-27)

Allah Ta'ala tidak akan mati dengan kesempurnaan hidup-Nya. Dia selamanya menjadi Dzat yang pertama yang tidak ada yang mendahului-Nya, dan Dialah Dzat yang terakhir yang tidak ada sesuatu pun sesudahnya. Sesungguhnya Allah tidak tidur kerana kesempurnaan hidup dan kekekalannya. 

Allah Ta'ala berfirman:

“Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. 
(QS. Al-Baqarah: 2: 255)

Adapun manusia dan jin maka mereka tidur dan mati. Sedangkan Allah tidak tidur kerana Dia tidak membutuhkan tidur. Tetapi manusia membutuhkan tidur, kerana badan-badan ini akan merasa capek, bosan dan malas. Tidur merupakan istirahat dari kepayahan dan kecapekan untuk memperbaharui semangat baru pada waktu selanjutnya.

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. 
(QS. Ath-Thalâq: 65: 3) yakni Allah akan mencukupi, jika kamu bertawakal kepada-Nya. Dia akan mencukupkanmu dari segala sesuatu. Dan jika kamu bertawakal kepada selain Allah, maka Dia akan mewakilkanmu kepadanya, tetapi kamu akan gagal dan segala urusanmu tidak akan beres.

Allah Ta'ala berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gementarlah hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambahlah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan shalat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.” 
(QS. Al-Anfâl: 8: 2-4)

Firman Allah Ta'ala, “Apabila disebut nama Allah.” (QS. Al-Anfâl: 8: 2) yakni, jika kamu mengingat keagungan-Nya, kebesaran-Nya dan kekuasaan-Nya, maka hati akan takut dan bergetar, serta berpengaruh pada seseorang. Hingga ada sebagian ulama salaf jika dibacakan kepadanya ayat-ayat khauf (yang menjelaskan ketakutan kepada Allah), maka ia jatuh sakit hingga orang-orang menjenguknya.

Adapun hati kita sangat keras. Kita memohon kepada Allah untuk melunakkannya. Ketika dibacakan kepada kita ayat-ayat khauf maka kita tidak terpengaruh dengan bacaan tersebut dan tidak merasa tersentuh kecuali orang-orang yang dirahmati Allah.

Akan tetapi seorang mukmin adalah orang yang jika disebut nama Allah bergetarlah hatinya dan merasa takut. Sebagian ulama salaf jika dikatakan kepada mereka, “Takutlah kepada Allah,” maka bergetarlah mereka dan terjatuh apa yang ada ditangannya. Allah berfirman, “Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (kerananya).” (QS. Al-Anfâl: 8: 2) yakni jika, mereka mendengar firman Allah maka bertambahlah iman mereka dari dua sisi:

Pertama, percaya dengan perkara ghaib yang telah dikabarkan Allah kepadanya, baik yang telah lalu mahupun yang akan datang.

Kedua, ia menerima dan tunduk kepada hukum-hukum Allah, sehingga ia melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepadanya, maka bertambahlah keimanannya. Ia akan meninggalkan apa yang dilarang Allah kerana mendekatkan diri kepada-Nya dan merasa takut, sehingga bertambahlah iman mereka. Maka ketika mereka dibacakan ayat-ayat Allah -tentang ayat khauf- bertambahlah keimanan dari dua sisi tersebut.

Demikian juga jika kamu melihat dirimu bahwa ketika kamu membaca Al-Qur'an kemudian bertambah keimanan maka itu merupakan tanda-tanda kamu mendapatkan taufik. Adapun jika kamu membaca Al-Qur'an dan tidak ada pengaruhnya dalam dirimu, maka hendaklah kamu mengobati dirimu. Saya tidak mengatakan kamu harus pergi ke rumah sakit, untuk mengambil beberapa tablet obat atau beberapa syrup atau yang lainnya. Akan tetapi, hendaknya kamu lakukan dengan mengobati hati, kerana hati jika tidak dapat mengambil manfaat dari Al-Qur'an, tidak dapat menerima nasihat, berarti hati telah menjadi keras dan sakit, kita memohon keselamatan dari Allah.

Kamulah yang menjadi dokter jiwamu. Janganlah pergi ke orang lain, tetapi bacalah Al-Qur'an. Jika kamu merasa bertambah iman, kepercayaan dan kepatuhan. Maka, selamatlah bagimu, kerana kamu termasuk seorang mukmin. Tetapi jika tidak, maka hendaklah kamu mengobatinya sebelum kematian datang kepadamu. Tidak ada kehidupan setelah kematian hati. Adapun kematian badan, maka ada kehidupan setelahnya. Yaitu, pada hari kebangkitan, pembalasan dan perhitungan amal.

Firman Allah Ta'ala, “Dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfâl: 8: 2) yakni, mereka menyerahkan segala urusannya kepada raja dan pengatur mereka secara khusus, tidak kepada selain-Nya. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh ayat ini dengan mendahulukan lafazh muta'alliqnya dari pelakunya dan kalimat ini dihubungkan kepada shilah (kata ganti penghubung), hal ini mengisyaratkan kepada kekhususan dan pembatasan, yakni mereka tidaklah bertawakal kecuali hanya kepada Allah Ta'ala. Kerana jika kamu bertawakal kepada selain Allah, seperti kamu bertawakal kepada orang sepertimu, sehingga dia tidak akan bisa memberi manfaat kepadamu sebagaimana kamu memberi manfaat kepada dirimu sendiri. Akan tetapi, bersandarlah kepada Allah dalam perkara agama dan duniamu.

Firman Allah Ta'ala, “(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” 
(QS. Al-Anfâl: 8: 3) yakni, mereka menegakkan shalat dan melaksanakannya dengan penuh istiqamah. Melaksanakan kewajiban, syarat dan rukun-rukun shalat dengan menyempurnakannya. Di antaranya adalah shalat pada waktunya, dan melaksanakannya bersama kaum muslimin di masjid-masjid mereka. Kerana tidaklah meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang munafik atau orang yang sedang udzur.

Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu berkata, “Aku telah melihat kami -yakni bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali orang munafik atau sakit. Bahkan ada seseorang pergi untuk mendatangi shalat berjamaah dengan cara dipapah oleh dua orang sehingga ia diletakkan di dalam shaf shalat.

[Shahih Muslim no. 1046]

Tidak ada yang terkecuali, semuanya hadir ke masjid sampai orang yang sakit. Adapun orang-orang di masa sekarang, mereka terlihat malas dan mengakhirkan shalat berjamaah. Jika kamu membandingkan antara shalat siang dengan shalat subuh, maka kamu akan melihat perbedaan kerana orang-orang yang malas melaksanakan shalat subuh kerana tidur dan tidak begitu memperhatikannya.

“Yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Al-Anfâl: 8: 3) yakni menginfakkan harta-harta mereka untuk keridhaan Allah dan sesuai dengan yang perintah-perintah-Nya pada tempat yang sesuai.

“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya.” (QS. Al-Anfâl: 8: 4) kata “haq” (sebenar-benarnya) merupakan penguat atas kalimat yang ada sebelumnya.

“Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Rabbnya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfâl: 8: 4)

Kita memohon kepada Allah semoga menjadikan kami dan kalian termasuk di antara mereka yang mendapatkan anugerah dan kemuliaan, Dia-lah yang Maha Dermawan dan Mahamulia.

Adapun hadits-hadits tentang masalah ini (yakin dan tawakal) adalah sebagai berikut.

Hadits 74.
عَنِ ابْن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ: « عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلاَنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِى سَوَادٌ عَظِيْمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي، فَقِيْلَ لِى: هَذَا مُوسَى وَقَوْمُهُ وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْأَفُقِ، فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَقِيْلَ لِى: اُنْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ، فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ فَقِيْلَ لِي: هَذِهِ أُمَّتُكَ، وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفاً يَدْخُلُونَ الْجَنَّة بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ » ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ، فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُوْلَئِكَ الَّذينَ يَدْخُلُونَ الْجنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ، فَقَالَ بَعْضهُمْ: فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، وقَالَ بَعْضهُم: فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإسْلاَمِ، فَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللهِ شَيْئِاً- وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ- فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: « مَا الَّذي تَخُوضُونَ فِيهِ؟ » فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ: « هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ، وَلَا يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَتَطيَّرُوْنَ، وَعَلَى رَبِّهمْ يَتَوَكَّلُونَ » فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مُحْصِنٍ فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ، فَقَالَ: « أَنْتَ مِنْهُمْ » ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ، فَقَالَ: ادْعُ اللهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ: « سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Abbas rahiyallahu anhuma ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ditampakkan kepadaku segolongan umat (terdahulu), aku melihat seorang Nabi bersama sekelompok kecil orang (di bawah sepuluh orang), seorang nabi lain bersamanya satu dan dua orang, dan seorang nabi yang tidak ada bersama seorang (pengikut) pun. 

Kemudian diperlihatkan kepadaku sekelompok -umat- yang jumlahnya sangat besar, maka aku menyangka mereka adalah umatku.

Kemudian dikatakan kepadaku, “Ini adalah Musa dan kaumnya, akan tetapi lihatlah ke ufuk itu.” Maka, aku melihat ternyata ada sekelompok -umat- yang lebih besar. Kemudian dikatakan kepadaku, Lihatlah ke ufuk yang lain,” ternyata ada sekolompok -umat- yang lebih besar. Maka dikatakan kepadaku, Inilah umatmu, dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab.

Kemudian baginda berdiri dan masuk ke rumahnya. Maka, orang-orang duduk sambil berbincang-bincang tentang orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Sebagian mereka berkata, Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sebagian lagi mengatakan, Mungkin mereka adalah orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam, dan mereka tidak pernah mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun.” Dan mereka menyebutkan banyak hal (pendapat) yang lain.

Kemudian keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda, Apa yang sedang kalian perbincangkan?” Mereka pun mengabarkannya kepada baginda, maka baginda bersabda, Mereka adalah orang-orang yang tidak menggunakan jampi mantera (meruqyah), orang yang tidak meminta supaya dibuatkan jampi mantera (tidak meminta diruqyah), tidak thathayyur (pesimis dan meramal perkara-perkara buruk dengan penampakan burung dan sebagainya) dan hanya kepada Tuhannyalah, mereka bertawakal.” 

Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan seraya berkata, “Doakanlah aku, semoga Allah menjadikan aku termasuk dari mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu termasuk di antara mereka.” Kemudian berdiri lagi seorang laki-laki yang lain dan berkata, “Doakanlah aku, semoga Allah menjadikan aku termasuk dari kalangan mereka.” Maka baginda bersabda, “Engkau telah didahului oleh Ukasyah.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5705 dan Muslim no. 220]

Penjelasan.

Setelah menyebutkan beberapa ayat, kemudian Imam An-Nawawi menyebutkan hadits yang sangat agung ini yang dikabarkan di dalamnya oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa umat-umat terdahulu diperlihatkan kepada baginda, yakni diperlihatkan kepadanya bersama nabi-nabi mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka aku melihat seorang nabi bersama sekelompok orang,” lafazh 'Rahthu' bermakna sekelompok kecil antara tiga sampai sepuluh orang.

“Seorang nabi lain bersamanya satu dua orang laki-laki, dan seorang nabi tidak bersama siapa pun,” yakni para nabi itu tidak semuanya ditaati oleh kaumnya, bahkan sebagiannya tidak ada satupun dari kaumnya yang menaatinya. sebagian mereka ditaati oleh sekelompok orang antara tiga sampai sepuluh orang, sebagian lagi hanya satu dua orang. Lihatlah Nabi Nuh ‘alaihissalam baginda telah hidup di kaumnya selama sembilan ratus lima puluh tahun, mengingatkan kaumnya dan berdakwah kepada mereka untuk menyembah Allah, tetapi hanya sedikit yang mahu beriman, firman Allah,

“Ternyata orang-orang beriman yang bersama dengan Nuh hanya sedikit.” (QS. Hûd: 11: 40) dalam masa yang panjang itu seperti ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak mendapatkan tanggapan baik dari kaumnya, dan tidak selamat dari keburukan mereka.

Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata:

Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.” (QS. Nûh: 71: 7) mereka melewati baginda dan mengejeknya.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian ditampakkan kepadaku satu kelompok besar, yakni manusia yang bekelompok-kelompok sangat banyak jumlahnya. “Maka aku menyangka mereka adalah umatku, maka dikatakan kepadaku, “Ini adalah Musa dan kaumnya.” Kerana Musa termasuk Nabi yang banyak pengikutnya di Bani Israil yang Allah turunkan kepada mereka At-Taurat yang merupakan kitab inti (induk) bagi Bani Israil.

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian dikatakan kepadaku, “Lihatlah ke ufuk,” maka aku melihat ke ufuk ternyata ada sekelompok -umat- yang besar, maka dikatakan kepadaku, “Inilah umatmu.” Maka sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang nabi yang paling banyak pengikutnya kerana baginda sejak diutus sampai hari kiamat dan manusia mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jadilahnya baginda nabi yang paling banyak pengikutnya yang memenuhi kedua sisi ufuk. “Dan bersama mereka tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab.” Yakni bersama kelompok ini ada tujuh puluh ribu orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Ya Allah jadikanlah kami di antara mereka.

Telah diriwayatkan bahwa setiap tujuh puluh ribu ini membawa tujuh puluh ribu lagi, jika kita kalikan jumlahnya mencapai 4, 9 Milyar (70.000 × 70.000= 4.900.000.000). Mereka inilah yang masuk surga tanpa dihisab dan tidak pula diadzab.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri dan masuk ke rumahnya, maka orang-orang duduk sambil berbincang-bincang tentang orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Sebagian mereka berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Sebagian lagi mengatakan, “Mungkin mereka adalah orang yang dilahirkan dalam keadaan Islam, tidak pernah mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun.” Dan mereka menyebutkan banyak hal yang lain.” Semuanya mengira bahwa apa yang mereka sangka adalah benar.

Kemudian keluarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersabda, “Apa yang sedang kalian perbincangkan?” Mereka pun mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka baginda bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang tidak menggunakan jampi mantera (ruqyah) dan orang yang tidak meminta supaya dibuatkan jampi mantera, tidak thathayyur (pesimis dan meramal perkara-perkara buruk), tidak meminta orang lain untuk mengobatinya dengan besi panas (kay), dan hanya kepada Tuhannya mereka bertawakal.” Ini adalah lafazh bagi Muslim dan di dalamnya ada kalimat, “Dan tidak menggunakan jampi-jampi.”

Penulis Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadits ini muttafaq alaih, tetapi seharusnya beliau menjelaskan ini adalah lafal bagi Muslim saja, bukan riwayat Al-Bukhari. Begitu juga dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak meruqyah, bahwa ini tidak sahih, dan tidak sahih datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kerana makna “Tidak meruqyah,” yakni tidak membaca jampi (ruqyah) kepada orang yang sakit, maka ini adalah pendapat batil, kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meruqyah orang yang sakit. Dan membacakan ruqyah kepada orang yang sakit adalah perbuatan baik, maka bagaimana mungkin peniadaan ini akan menjadi sebab seseorang masuk ke surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab.

Yang terpenting bahwa lafazh ini menjadi lafazh yang syadz dan keliru, tidak boleh bersandar kepadanya. Yang benar, “Mereka yang tidak minta diruqyah,” yakni tidak meminta kepada seseorang untuk membacakan kepadanya jika ditimpa sesuatu. Sabda baginda, “Tidak minta diobati dengan kay (besi panas),” yakni tidak minta kepada seseorang untuk dipanaskan dengan besi ketika ia sakit. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak thathayyur (meramal perkara-perkara buruk),” yakni tidak meramal perkara-perkara buruk dengan sesuatu. Dan baginda bersabda, “Dan hanya kepada Tuhannyalah mereka bertawakal,” yakni berpegang teguh kepada Allah saja.

Inilah empat sifat, dan yang dijadikan dalil dalam hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan hanya kepada Tuhannyalah mereka bertawakal. Mereka tidak minta diruqyah, tidak meminta kepada seseorang untuk membacakan ruqyah kepada mereka kerana mereka bertawakal hanya kepada Allah, kerana permintaan itu menunjukkan bentuk ketundukan, kerana ia meminta kepada yang lain. Bisa jadi penyakit ini menyakitkan, tetapi ia tidak ingin dibacakan ruqyah. Bisa jadi, jika dibacakan kepadamu tetapi penyakitnya tidak sembuh, maka kamu akan mencelanya dan sebagainya.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan tidak minta diobati dengan kay. Kerana kay itu mengadzab dengan api dan tidaklah seseorang memakai ini kecuali jika sangat butuh. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah mereka berthathayyur.” Yakni tidak pesimis dengan sesuatu yang dilihat atau didengar, atau dengan yang orang tuli atau orang yang kusta. Kerana orang-orang Arab pada zaman jahiliyah selalu berthathayyur jika ada burung terbang ke arah kiri, maka mereka merasa perkara buruk akan berlaku dan mereka pulang dalam ketakutan. Dan jika burung itu terbang ke arah depan maka mereka mempunyai semangat, dan berbeda lagi jika burung itu terbang ke arah kanan. Thathayyur adalah suatu sikap yang diharamkan. Tidak boleh bagi seseorang untuk merasa pesimis (arti pesimis orang yang bersikap atau berpandangan tidak mempunyai harapan baik, khawatir kalah, rugi, celaka, dan sebagainya). Baik pesimis (kerana faktor) haiwan, hari, bulan ataupun lainnya.

Thathayyur orang arab pada masa lalu adalah pada bulan Syawal. Jika ada seseorang yang bernikah pada bulan itu, mereka akan mengatakan, “Sesungguhnya seseorang jika menikah pada bulan Syawal, maka tidak akan cocok.” Padahal Aisyah radhiyallahu 'anha berkata, “Mahasuci Allah, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada bulan Syawal dan menggauliku pada bulan Syawal, padahal aku adalah istri yang paling baginda cintai. Mengapa dikatakan jika orang yang menikah pada bulan Syawal tidak berkah?”

[Shahih Muslim no. 2551]

Mereka juga pesimis dengan hari Rabu. Padahal hari Rabu adalah seperti hari-hari lainnya dalam seminggu, maka tidak perlu pesimis dengannya. Ada juga yang merasa pesimis dengan wajah-wajah (orang tertentu). Jika seseorang melihat wajah yang tidak menyenangkan, ia akan menutup tokonya, jika orang yang pertama yang datang kepadanya adalah orang yang pincang atau buta, dan ia akan mengatakan bahwa hari ini tidak ada rezeki. Pesimis seperti ini, di samping merupakan bentuk syirik kecil, juga akan membawa kerugian bagi seseorang, kerana ia akan merasa sakit dengan segala sesuatu yang dilihatnya. Akan tetapi, jika ia bersandar kepada Allah dan meninggalkan semua khurafat ini maka ia akan selamat dan jadilah kehidupannya bersih dan bahagia.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan kepada Tuhannyalah mereka bertawakal.” 
Maknanya, mereka berpegang teguh kepada Allah di dalam setiap sesuatu dan tidak bersandar kepada selain-Nya. Kerana Allah Ta'ala telah berfirman di dalam kitab-Nya,

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
(QS. Ath-Thalâq: 65: 3) maka barangsiapa yang Allah mencukupinya, ia akan cukup atas segala sesuatu.

Hadits yang agung ini menyebutkan tentang orang-orang yang masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab. Maka berdirilah Ukasyah bin Mihshan radhiyallahu anhu dan ia berkata, “Ya Rasulullah doakanlah aku agar aku termasuk di antara mereka.” Masya Allah, orang ini bersegera dalam kebaikan, berlomba kepadanya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu termasuk di antara mereka.” Maka sekarang kita bersaksi bahwa Ukasyah bin Mihshan masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Kamu termasuk di antara mereka. Kemudian berdirilah lelaki yang lain dan ia berkata, “Berdoalah kepada Allah untuk menjadikanku di antara mereka.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kamu telah didahului oleh Ukasyah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya, namun dengan penolakan yang lembut. Baginda tidak mengatakan, “Kamu bukan dari mereka.” Tetapi baginda menjawab, “Kamu telah didahului Ukasyah.

Para ulama berbeda pendapat kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepadanya, “Kamu telah didahului Ukasyah. Ada yang mengatakan, “Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui bahwa orang yang berkata, “Doakanlah kepada Allah untuk menjadikanku di antara mereka.” -setelah-Ukasyah- adalah seorang munafik, dan seorang munafik tidak akan masuk surga apalagi tanpa dihisab dan tanpa diadzab.

Sebagian para ulama mengatakan, bahwa baginda mengatakan demikian untuk menutup pintu sehingga akan banyak orang yang meminta untuk masuk surga tanpa hisab dan tanpa diadzab padahal mereka tidak berhak. Dengan demikian, kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mendoakan baginya kecuali kerana sebab-sebab tertentu. Wallahu'alam

Akan tetapi kita mengambil faedah dari penolakan yang indah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kerana ucapan baginda, “Kamu telah didahului oleh Ukasyah. Ini tidak melukai perasaannya dan tidak membuatnya sedih. Mahasuci Allah, jadilah kalimat ini ungkapan yang terus dipakai hingga sekarang. Setiap ada orang yang meminta sesuatu yang telah didahului orang lain maka kita katakan, “Kamu telah didahului oleh Ukasyah.

Sebagian ulama menyebutkan beberapa kerancuan dalam hadits ini dan mereka berkata, “Jika seseorang terpaksa minta untuk dibacakan ruqyah, kemudian ia meminta kepada seseorang agar dibacakan ruqyah, seperti orang yang tertimpa penyakit 'ain, sihir atau kerasukan jin, apakah jika ia pergi kepada seseorang yang membacakan ruqyah kepadanya itu membuatnya keluar dari kelompok orang-orang yang masuk surga tanda dihisab dan tanpa diadzab?”

Sebagian ulama berkata, “Ya, inilah zhahir hadits, agar seseorang berpegang teguh kepada Allah, bersikap sabar, dan meminta keselamatan kepada-Nya.” Sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa hal ini berlaku bagi orang yang meminta ruqyah sebelum ia ditimpa oleh sesuatu. Seperti ia mengatakan, “Bacakanlah ruqyah untuku agar aku tidak tertimpa penyakit 'ain, sihir, jin atau penyakit panas.” Maka ini adalah permintaan ruqyah pada permasalahan yang disangka terjadi, padahal belum terjadi. Demikian juga halnya dengan pengobatan dengan kay.

Jika ada yang berkata, “Apakah orang yang mengobati orang lain dengan kay ini diharamkan?”

Jawabnya, “Tidak.” Kerana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan minta diobati dengan kay.” Baginda tidak mengatakan, “Jangan mengobati dengan kay.” Kerana baginda pernah mengobati dengan kay pada pelipis Sa'ad bin Mu'adz radhiyallahu anhu. Sa'ad bin Mu'adz Al-Ausi Al-Anshari pada peperangan Khandak terluka di pelipis (uratnya) sehingga keluarlah darah. Kerana pelipis jika keluar darah dapat mematikan seseorang, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengobatinya dengan kay di pelipisnya sehingga berhentilah darahnya keluar, dan tentunya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan orang yang pertama kali masuk surga tanpa dihisab dan tanpa diadzab.

Orang yang mengobati dengan kay itu berbuat baik, orang yang dibacakan ruqyah juga berbuat baik. Namun, ucapan ini adalah bagi orang yang meminta untuk diruqyah yakni meminta untuk dibacakannya ruqyah atau meminta untuk diobati dengan kay. Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 75.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْضاً أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: « اَللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ. اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِعِزَّتِكَ، لاَ إلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَنْ تُضِلَّنِي، أَنْتَ الْحَيُّ الَّذِي لاَ تَمُوتُ وَالْجِنُّ وَالَإِنْسُ يَمُوتُونَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَهَذا لَفْظ مَسْلِمٍ وَاخْتَصَرَهُ الْبُخَارِىَّ.
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengucapkan:

Allâhumma laka aslamtu wa bika âmantu wa 'alaika tawakkaltu wa ilaika anabtu wa bika khâsamtu. Allahumma a'ūżu bi 'izzatika lā ilaha illā anta an tudillani antal hayyul lazi lā tamūtu wal jinnu wal insu yamūtūna.

Yang artinya: “Ya Allah, sesungguhnya hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakal, hanya kepada-Mu aku kembali (bertaubat), dan hanya kerana-Mu aku berjuang (melawan musuh-musuh-Mu). Ya Allah, aku berlindung kepada kemuliaan-Mu, tidak ada Tuhan yang haq disembah selain Engkau, aku memohon semoga Engkau tidak menyesatkan aku. Engkau Dzat Yang Mahahidup yang tidak akan mati, sedangkan jin dan manusia pasti akan mati.”

[Shahih Al-Bukhari no. 7383 Muslim no. 2727]

Hadits 76.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَيْضًا قَالَ: « حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، قَالَهَا إِبْرَاهِيْمُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ أُلْقِيَ فِي النَّارِ، وَقَالَهَا مُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيِْنَ قَالُوا: « إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَاناً وَقَالُوْا: حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ » رَوَاهُ البُخَارِيُّ.

وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: « كَانَ آخِرَ قَوْلِ إبْراهِيمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ أُلْقِي فِي النَّارِ « حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ ».
Daripada Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma juga, dia berkata:

“Hasbunallāh wa ni'mal wakil' (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung), inilah doa yang diucapkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, ketika dilempar ke dalam api. Dan juga -doa- yang diucapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mereka -orang-orang kafir- berkata: “Sesungguhnya orang-orang telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian, maka takutlah kepada mereka.” Akan tetapi, ucapan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka berkata: “Cukuplah Allah, menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4563]

Dan dalam riwayat yang lain daripada Ibnu Abbas ia berkata, “Dan akhir ucapan Nabi Ibrahim 'alaihissalam ketika dilemparkan ke dalam api adalah, “Cukuplah Allah menjadi penolongku, dan Dialah sebaik-baik pelindung.”

[Shahih Al-Bukhari no. 4563]

Penjelasan.

Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam keduanya adalah khalilullah (kekasih Allah). 

Allah Ta'ala berfirman:

“Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(Nya).” (QS. An-Nisâ: 4: 125)

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan aku sebagai khalil-Nya, sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil.”

[Shahih Muslim no. 827]

Khalil maknanya kekasih yang mencapai kecintaan tertinggi. Kita tidak mengetahui orang yang disifati dengan sifat ini kecuali Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. Keduanya mendapatkan gelaran khalil. 

Kamu terkadang mendengar sebagian orang mengatakan, “Nabi Ibrahim adalah khalilullah, Nabi Muhammad adalah habibullah dan Nabi Musa kalimullah. Bagi yang mengucapkan Muhammad adalah habibullah, maka dalam ucapan ini ada hal yang harus diperhatikan. Kerana khullah itu lebih tinggi dari mahabbah. Maka jika ada yang mengatakan Muhammad habibullah ini merupakan pengurangan pada hak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kerana penyebutan habib (yang dicintai) bersifaf umum dan orang-orang mukmin juga disebut habibullah (dicintai Allah). Begitu juga dengan orang-orang yang berbuat ihsan dan istiqamah dalam agama juga dicintai Allah sehingga disebut habibullah, jadi penyebutan Al-Ahbab (orang-orang yabg dicintai) itu banyak sekali.

Akan tetapi, mengenai penyebutan khullah (khalil) kita tidak mengetahui kecuali hanya diberikan bagi Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim. Sehingga, penyebutan yang benar adalah Nabi Ibrahim khalilullah, Nabi Muhammad khalilullah, Musa kalimullah.

Sungguh Muhammad adalah orang yang pernah berbicara langsung kepada Allah tanpa perantara ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke Mi'raj ke langit tujuh.

Kalimat (حَسْبُنَا الله وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ) “Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung,” diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api. Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Ibrahim mengajak kaumnya untuk menyembah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya. Namun, mereka membangkang dan tetap dalam kekufuran dan kesyirikan. Maka, pada suatu hari Nabi Ibrahim menghancurkan berhala-berhala dan menjadikan berkeping-keping kecuali berhala yang paling besar. Ketika mereka pulang mereka mendapati berhala mereka telah dihancurkan oleh Nabi Ibrahim, maka mereka berniat membalas dendam kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam.

Mereka berkata, “Apa yang akan kita lakukan kepada Ibrahim?” “Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.” (QS. Al-Anbiyâ: 21: 68) yakni, untuk menolong tuhan-tuhan kita.

Kemudian mereka menyalakan api yang sangat besar, lalu melemparkan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ke dalamnya. Dikatakan bahwa kobaran api yang mereka nyalakan sangat besar, sehingga mereka tidak bisa mendekat. Maka, mereka melemparkan Nabi Ibrahim ke dalamnya seperti hal melemparkan batu dari jarak jauh. Ketika mereka melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam api itu, Nabi Ibrahim mengucapkan doa, (حَسْبُنَا الله وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ) “Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung,”

Maka apakah yang terjadi? Allah Ta'ala berfirman:

“Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.” 
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 69)

Dingin adalah lawan dari panas. Selamat adalah lawan dari kehancuran kerana api itu sifatnya panas, membakar dan menghancurkan. Kemudian Allah memerintahkan api menjadi dingin dan menyelamatkan Nabi Ibrahim, maka seketika api menjadi dingin dan menyelamatkan.

Sebagian ahli tafsir menukilkan dari Bani Israil tentang kisah ini bahwa ketika Allah Ta'ala berfirman, “Wahai api! menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatan bagi Ibrahim.” 
(QS. Al-Anbiyâ: 21: 69) maka, jadilah semua api di dunia menjadi dingin. Pendapat ini tidaklah benar. Kerana Allah Ta'ala menunjukkan firman-Nya hanya kepada api tertentu.

Para ulama ahli bahasa (nahwu) berkata, “Jika ada susunan kalimat seperti ini, maka maksudnya adalah nakirah maqsudah, yakni bentuk umum untuk maksud tertentu. Sehingga, maksud api -dalam ayat- tidaklah mencakup semua api, tetapi hanya api yang membakar Ibrahim saja.” Ini pendapat yang sahih. Sedangkan api-api yang lain di dunia tetap dalam keadaan sifat aslinya, yakni panas, membakar dan menghancurkan.

Para ulama juga berkata, “Ketika Allah Ta'ala berfirman, “Menjadi dinginlah.” Allah membarengkan dengan firman-Nya, “menjadi keselamatanlah.  Kerana jika Allah hanya mencukupkan dengan dingin, maka dingin juga dapat mematikan kerana setipa sesuatu melaksanakan perintah Allah.

Lihatlah kepada firman Allah Ta'ala:

“Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.” Keduanya menjawab, “Kami datang dengan patuh.” 
(QS. Fushshilat: 41: 11)

Semuanya tunduk kepada perintah Allah. Adapun khalil yang kedua yang mengucapkan:

حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ

“Cukuplah Allah menjadi penolong kami, dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Dia adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ketika mereka kembali dari Uhud. Dikatakan kepada mereka, “Sesungguhnya orang-orang telah berkumpul untuk menghadapi kalian, mereka akan mendatangi Madinah dan menghancurkan kalian.” Maka mereka berkata,

“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 173)

Kemudian Allah Ta'ala berfirman:

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mereka mengikuti keridaan Allah, Allah mempunyai karunia yang besar.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 174)

Maka seyogyanya bagi setiap orang jika dia melihat manusia berkumpul untuk memusuhinya, maka hendaklah ia mengucapkan:

حَسْبُنَا الله وَنِعْمَ الْوَكِيْلِ

“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dia adalah sebaik-baik pelindung.”

Jika dia mengucapkan ini, maka Allah akan mencukupinya dari keburukan orang-orang, sebagaimana Allah mencukupi Nabi Ibrahim 'alaihissalam dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka jadikanlah kalimat ini selalu di hatimu jika kamu melihat orang-orang ingin memusuhimu. Allahlah yang memberi taufik.

Hadits 77.
عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَدْخُلُ الْجَنَّةَ أَقْوَامٌ أَفْئِدَتُهُمْ مِثْلُ أَفْئِدَةِ الطَّيْرِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari  
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda bersabda:

“Akan masuk surga orang-orang yang hati mereka seperti hati burung.”

[Shahih Muslim no. 2480]

Ada yang mengatakan, maksudnya adalah orang-orang yang bertawakal. Ada juga yang mengatakan, (maksudnya) mereka yang hatinya lembut.

Hadits 78.
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِبَلَ نَجْدٍ، فَلَمَّا قَفَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى َاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَفَلَ مَعَهُمْ، فَأَدْرَكَتْهُمُ الْقَائِلَةُ فِي وَادٍ كَثِيْرِ الْعِضَاهِ، فَنَزَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، وَتَفَرَّقَ النَّاسُ يَسْتَظِلُّونَ بِالشَّجَرِ، وَنَزَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ سَمُرَةٍ، فَعَلَّقَ بِهَا سَيْفَهُ، وَنِمْنَا نَوْمَةً، فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدْعُونَا، وَإِذَا عِنْدَهُ أَعْرَابِيُّ، فَقَالَ: « إنَّ هَذَا اخْتَرَطَ عَلَيَّ سَيْفِي وَأَنَا نَائِمٌ، فَاسْتَيْقَظْتُ وَهُوَ فِي يَدِهِ صَلْتاً، قَالَ: مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّيْ؟ قُلْتُ: اللُّهُ - ثَلاَثاً » وَلَمْ يُعاقِبْهُ وَجَلَسَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَةٍ: قَالَ جابِرٌ: كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَاتِ الرِّقَاعِ، فَإذَا أَتَيْنَا عَلَى شَجَرَةٍ ظَلِيْلَةٍ تَرَكْنَاهَا لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَاءَ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، وَسَيْفُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعَلَّقٌ بِالشَّجَرَةِ، فَاخْتَرَطَهُ، فَقَالَ: تَخَافُنِي؟ قَالَ: « لا » قَالَ: فَمَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ قَالَ: « اللَّه ».

وَفِي رِوَايَةِ أَبِي بَكْرٍ الْإِسْمَاعِيْلِيِّ فِي صَحِيْحِهِ: قَالَ مَنْ يَمْنعُكَ مِنِّي؟ قَالَ: « اللَّهُ » قَالَ: فسَقَطَ السَّيْفُ مِنْ يَدِهِ، فَأَخَذَ رَسَولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ السَّيْفَ فَقَالَ: « مَنْ يَمْنَعُكَ مِنِّي؟ » فَقَالَ: كُن خَيْرَ آخِذٍ، فَقَالَ: « تَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ ؟ » قَالَ: لاَ، وَلَكِنِّي أُعَاهِدُكَ أَنْ لاَ أَقَاتِلَكَ، وَلاَ أَكُونَ مَعَ قَوْمٍ يُقَاتَلُونَكَ، فَخَلَّى سَبِيْلهُ، فَأَتَى أَصْحَابَهُ فقَالَ: جِئْتُكُمْ مِنْ عِنْدِ خَيْرِ النَّاسِ.
Daripada Jabir radhiyallahu anhu, bahwa dia berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju ke arah Nejad. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali, Jabir pun ikut kembali. Ketika tiba di suatu lembah yang banyak pohon berduri, yaitu bertetapan dengan waktu qa'ilah (tidur siang sejenak). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti sedang orang-orang berpencar untuk berlindung di bawah pohon. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam singgah di bawah pohon samurah, lalu baginda menggantungkan pedangnya pada pohon tersebut, dan kami pun tertidur.

Tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil kami sedangkan di dekat baginda ada seorang badui. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya orang badui ini telah menghunus pedangku ketika aku sedang tidur, ketika aku bangun pedang itu sudah terhunus di tangannya.” Kemudian orang badui itu berkata, “Siapakah yang dapat mencegah (menolong)mu dari seranganku?” Kemudian aku menjawab: “Allah (sebanyak tiga kali).”

Maka orang itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada baginda lalu dia terduduk lemah.

[Shahih Al-Bukhari no. 2910. Muslim no. 843]

Dalam riwayat lain, dari Jabir ia berkata, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di perang Dzatu Ar-Riqa. Ketika kami menemui pohon sebagai tempat berteduh, kami sediakan pohon itu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berehat. Kemudian datanglah seorang laki-laki musyrik sementara pedang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tergantung di pohon, kemudian orang itu mengambilnya dan berkata: “Tidakkah kamu takut kepadaku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak.” Kemudian orang itu kembali berkata: “Siapa yang dapat mencegah (menolong)mu dari seranganku?” Baginda menjawab: “Allah.”

Dalam riwayat Abu Bakar Al-Ismaili di dalam kitab Shahihnya disebutkan, orang itu berkata: “Siapa yang dapat mencegah (menolong)mu dari seranganku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah.” Perawi berkata, Maka terjatuhlah pedang itu dari tangannya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil pedang itu dan berkata: “Siapakah yang dapat mencegah (menolong)mu dari seranganku?” Orang itu menjawab: “Jadilah kamu sebaik-baiknya orang yang mengambil pedang.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan aku adalah utusan Allah?” Orang itu berkata: “Tidak, tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memerangimu dan tidak bersama kaum yang memerangimu.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskannya (membiarkannya pergi). Kemudian dia mendatangi sahabat-sahabatnya dan berkata: “Aku datang kepada kalian setelah bertemu dengan manusia yang terbaik.”

Hadits 79.
عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « لَوْ أنَّكُمْ تَتَوَكَّلُوْنَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ، تَغْدُوَ خِمَاصًا وَتَرُوْحُ بِطَانًا » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
Daripada Umar radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal (kepada-Nya), maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung, pergi pagi dalam keadaan perut kosong dan pulang sore dalam keadaan perut kenyang.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2344, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah no. 310 dan Shahih Al-Jami' no. 5254]

Penjelasan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sebenar-benar tawakal,” maksudnya bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Yakni, bersandar sepenuhnya kepada Allah di dalam meminta rezeki dan yang lainnya.

“Maka Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung,” yakni burung itu diberi rezeki oleh Allah kerana ia tidak ada yang memiliki, ia terbang di angkasa dan pulang ke sarangnya untuk mencari rezeki yang diberikan Allah kepadanya.

“Pergi dengan perut kosong,” pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar, sebagaimana Allah berfirman,

“Tetapi barangsiapa terpaksa kerana lapar bukan kerana ingin berbuat dosa, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 3)

“Pergi dengan perut kosong,” yakni, kosong perutnya, akan tetapi ia bertawakal sepenuhnya kepada Tuhannya, maka ia kembali dalam keadaan kenyang pada akhir siang.

Kata “taruhu,” berarti akhir siang. Dan kata “bithanan,” yakni penuh perutnya dengan rezeki dari Allah.

Dalam hadits ini ada beberapa faidah yang dapat diambil sebagai pelajaran, di antaranya:

Pertama; Seyogyanya bagi setiap orang untuk bersandar dan bertawakal sepenuhnya kepada Allah.

Kedua; Sesungguhnya tidak ada satu hewan pun yang melata di muka bumi ini kecuali rezekinya telah ditentukan oleh Allah. Sehingga seekor burung yang terbang di angkasa, tidak ada yang menguasainya di ketinggian udara kecuali Allah semata, dan tidak ada yang memberinya rezeki kecuali Allah. 

Setiap hewan yang ada di bumi baik itu yang kecil seperti semut atau yang besar seperti gajah, maka semuanya rezekinya telah ditentukan oleh Allah atasnya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Dan tidak ada satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya.
(QS. Húd: 11: 6)

Maka sungguh merupakan anggapan yang salah dan sesat bagi orang yang berburuk sangka kepada Tuhannya ketika ia berkata, “Jangan kalian mempunyai banyak anak, maka kalian akan kesulitan untuk membiayainya.”

Sungguh merupakan anggapan yang salah. Sesungguhnya Allah-lah yang akan memberikan rezeki kepada anak-anakmu. Dialah yang akan membukakan pintu-pintu rezeki kepadamu agar kamu bisa menafkahi mereka. Namun, ada sebagian orang berburuk sangka kepada Allah. Mereka sangat bergantung kepada materi. Mereka selalu menjadikan materi sebagai ukuran. Mereka tidak pernah melihat adanya kekuasaan Allah yang memberi rezeki kepada hamba-Nya, walaupun seseorang itu mempunyai anak-anak banyak.

Perbanyaklah anak maka Allah akan memperbanyak rezekimu, ini adalah yang benar.

Dalam hadits ini juga faidah yang dapat diambil, bahwa jika seseorang bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal maka hendaklah melakukan sebab-sebab. Adalah keliru orang yang mengatakan, “Aku tidak perlu melakukan sebab-sebab, tetapi cukup hanya bertawakal saja.” Ini adalah pendapat yang tidak benar.

Orang yang bertawakal harus melakukan sebab-sebab dalam mencari rezeki yang dikurniakan Allah kepadanya. Oleh kerana itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dia memberikan rezeki kepada burung, pergi dengan perut kosong dan pulang dengan keadaan kenyang. Burung pun pergi untuk mencari rezeki, tidak berdiam diri di dalam sarangnya, tetapi keluar terbang untuk mencari makan.

Jika kamu bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, maka hendaklah kamu melakukan sebab-sebab yang disyariatkan Allah kepadamu, yakni dengan mencari rezeki dengan cara yang halal, pertanian, perdagangan, dan amal-amal lain yang dapat menyebabkan datangnya rezeki.

Carilah rezeki dengan bersandar sepenuhnya kepada Allah, maka Dia akan memudahkanmu dalam mendapatkan rezeki.

Di antara faidah hadits ini adalah, bahwa burung dan hewan lainnya adalah makhluk-makhluk Allah yang mengenal Allah, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (QS. Al-Isrâ: 17: 44)

“Tidaklah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan adzab. Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 22: 18)

Maka burung mengenal Allah. Ia terbang untuk mencari rezeki sesuai dengan fitrahnya yang telah Allah berikan kepadanya, yang mana dengan fitrah itu dapat menghantarkannya mencari rezeki. Lalu ia kembali ke sarangnya pada akhir siang dengan keadaan perut kenyang. Hal ini berlangsung setiap hari. Sesungguhnya, Allah-lah yang telah memberi rezeki kepadanya.

Lihatlah hikmah Allah, bagaimana burung ini terbang ke tempat yang jauh dan dapat kembali ke tempatnya semula. Hal ini kerana Allah telah memberikan segala kelengkapan kepada Makhluk-Nya, kemudian memberinya petunjuk. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 80.
عَنْ أَبِي عُمَارَةَ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « يَا فُلَانٌ، إذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَقُلْ: اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِي إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَألْجَأْتُ ظَهْرِي إلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَى مِنْكَ إِلاَّ إلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذي أَنْزَلْتَ، وَنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ. فَإِنَّكَ إنْ مِتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ مِتَّ عَلَى الْفِطْرَةِ، وَإِنْ أَصْبَحْتَ أَصَبْتَ خَيْراً » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

وَفِي رِوَايَةٍ فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ وَقُلْ: وذَكَرَ نَْحْوَهُ ثُمَّ قَالَ وَاجْعَلْهُنَّ آخرَ مَا تَقُولُ » .
Daripada Abu Umarah Al-Bara bin Azib radhiyallahu anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai fulan, jika engkau mendatangi tempat tidurmu, maka ucapkanlah:

“Allāhumma aslamtu nafsi ilaika, wawajjahtu wajhi ilaika, wafawwadtu amri ilaika, wa alja'tu zahri ilaika, ragbatan wa rahbatan ilaika, lā malja'a wa lā manjā minka illā ilaika, āmantu bikitābikal lazi anzalta wabinabiyyikal lażi arsalta.”

Artinya: “Ya Allah, aku serahkan diriku kepada-Mu, aku hadapkan wajahku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu dan aku sandarkan punggungku kepada-Mu dengan penuh harap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari-Mu kecuali hanya kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan, dan kepada nabi-Mu yang telah Engkau utus.”

“Maka, jika kamu meninggal pada malam itu, kamu akan meninggal dalam keadaan fitrah, dan jika kamu masih hidup sampai waktu pagi, maka kamu akan memperoleh kebaikan.”

[Shahih Al-Bukhari no. 6313, 7488 dan Muslim no. 2710]

Di dalam riwayat di Ash-Shahihain dari Al-Bara ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku: “Jika kamu hendak tidur, maka berwudhulah terlebih dahulu sebagaimana kamu wudhu untuk shalat, kemudian berbaringlah pada sisi rusuk sebelah kanan, lalu ucapkanlah seperti doa di atas. Kemudian baginda bersabda: “Dan jadikanlah doa ini sebagai akhir kalimat yang kamu ucapkan (sebelum tidur).”

Penjelasan.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dalam bab, Yakin dan Tawakal' hadits Al-Bara bin Azid rahiyallahu anhuma, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadanya agar jika ia akan berbaring -menjelang tidurnya- untuk mengucapkan dzikir ini, yang mana dalam doa ini mencakup penyerahan diri kepada Tuhannya, dan agar ia selalu bersandar kepada Allah baik secara lahir mahupun batin, serta berserah diri kepada-Nya.

Di dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkannya untuk tidur dengan berbaring pada sisi rusuk sebelah kanan, kerana hal ini lebih utama. Menurut ahli kesihatan tidur dengan posisi ini lebih baik bagi tubuh badan dan lebih menyehatkan daripada tidur dengan posisi berbaring pada rusuk sebelah kiri.

Para ahli ibadah juga menyebutkan bahwa tidur dengan posisi sebelah kanan lebih memudahkan seseorang untuk bangun, kerana tidur dengan posisi sebelah kiri akan menidurkan hati, dan agak sukar untuk bangun. Hal ini akan berbeda dengan tidur pada posisi sebelah kanan, maka hati lebih tetap hidup, membuat tidur lebih nyenyak, dan memudahkan untuk bangun dari tidur.

Di dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menjadikan dzikir ini sebagai akhir yang diucapkan seseorang sebelum tidur. Walaupun ada beberapa dzikir yang dapat dibaca ketika hendak tidur.

Misalnya dengan membaca tasbih, tahmid, dan takbir. Maka seyogyanya bagi seseorang jika ia ingin tidur agar mengucapkan Subhanallah (33x) Al-Hamdulillah (33x) dan Allahu akbar (34x).

Ini termasuk sebagian dari dzikir, akan tetapi dalam hadits Al-Bara' menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadanya dengan doa itu sebagai akhir kata yang ia ucapkan sebelum tidur.

Al-Bara bin Azib mengulangi doa ini dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyakinkannya, maka dia berkata, “Aku beriman dengan kitab-Mu yang Engkau turunkan kepada Rasul-Mu yang Engkau utus.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya dan mengatakan, ucapkanlah, “Dan Nabi-Mu yang Engkau utus,” jangan katakan, “Dan Rasul-Mu yang Engkau utus.”

Para ahli ilmu berkata, “Demikian itu kerana rasul itu bisa dari manusia dan bisa juga dari malaikat, sebagaimana Allah berfirman tentang Jibril,

“Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril) yang memiliki kekuatan, memiliki kedudukan tinggi di sisi (Allah) yang memiliki 'Arsy.” 
(QS. At-Takwîr: 81: 19-20) adapun seorang nabi, pasti berasal dari golongan manusia.

Jika Al-Bara mengatakan, “Dan Rasul-Mu yang Engkau utus,” maka lafadz 'rasul' bisa jadi Jibril, akan tetapi jika dia berkata, “Dan Nabi-Mu yang Engkau utus,” maka ini lebih khusus kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini jika dilihat dari satu sisi.

Dari sisi yang lain, jika dia mengatakan, “Dan Rasul-Mu yang Engkau utus,” maka petunjuk lafadz ini kepada kenabian masuk dalam bab, dalalah al-luzum. Adapun jika dia berkata, “Nabi-Mu...,” maka hal ini menunjukkan atas kenabian masuk dalam bab, dalalah al-muthabaqah. Dan sudah diketahui bersama bahwa dalalah al-muthabaqah lebih kuat daripada dalalah luzum.

Yang menjadi dalil tentang perintah untuk bertawakal dalam hadits ini adalah ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku serahkan urusanku kepada-Mu, dan ucapannya, “Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri-Mu kecuali hanya kepada-Mu, kerana tawakal itu menyerahkan urusan kepada Tuhannya. Sesungguhnya tidak ada tempat berlindung dan meminta keselamatan kecuali kepada Allah.

Kerana jika Allah menghendaki keburukan pada satu kaum, maka tidak ada yang bisa menolaknya dan jika Allah menghendaki sesuatu pada seseorang, maka tidak ada pula yang dapat mengembalikannya pada keadaannya semula. Maka seyogyanya bagi seseorang yang ingin tidur agar berbaring pada sebelah kanannya dengan mengucapkan dzikir ini, serta menjadikannya sebagai ucapan terakhir. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 81.
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَبْدِ اللهِ بْنِ عُثْمَانَ بْنِ عَامِرِ بْنِ عُمَرَ بْنِ كَعْبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ تَيْمِ بْنِ مُرَّةَ بْنِ كَعْبِ بْنِ لُؤَيِّ بْنِ غَالِبِ الْقُرَشِيِّ التَّيْمِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ- وَهُوَ وَأَبُوهُ وَأُمَّهُ صَحَابَةٌ، رَضِيَ اللهُ عَنْهَمَ- قَالَ: نَظَرْتُ إِلَى أَقْدَامِ الْمُشْرِكِيْنَ وَنَحْنُ فِي الْغَارِ وَهُمْ عَلَى رُؤُوْسِنَا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ نَظَرَ تَحْتَ قَدَمَيْهِ لَأَبْصَرَنَا فَقَالَ: « مَا ظَنُّكَ يَا أَبَا بَكْرٍ بِاثْنَيْنِ اللَّهُ ثَالِثُهُمَا » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhu, Abdullah bin Utsman bin Amir bin Umar bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Luay bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi, -dia dan ayahnya serta ibunya adalah sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam- ia berkata:

“Ketika kami berada di gua -Tsur-, aku melihat kaki orang-orang musyrik berada di atas kepala kami, maka aku berkata: “Wahai Rasulullah, jikalau salah seorang dari mereka melihat ke bawah telapak kakinya maka dia akan melihat kita.” 

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, sedangkan Allah yang ketiga.”

[Shahih Al-Bukhari no. 3653 dan Muslim no. 2381]

Penjelasan.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Abu Bakar, apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, sedang Allah yang ketiganya.” Yakni, apakah kamu mengira ada orang yang mampu mengalahkan dua orang atau menimpakan keburukan kepada keduanya keburukan!

Kisah ini terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah dari Mekah menuju ke Madinah. Hal ini terjadi ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara terang-terangan kepada umat manusia dan banyak orang yang mengikutinya, namun orang-orang musyrik menentang dakwah baginda, mempersempitkan geraknya, dan menyakitinya dengan ucapan ataupun perbuatan. Lalu Allah mengizinkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk hijrah dari kota Mekah ke Madinah. Maka berhijrahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun ketiga belas dari kenabiannya. Hijrah baginda dari Mekah ke Madinah tidak ada yang menemaninya kecuali Abu Bakar radhiyallahu anhu, penunjuk jalan, dan menjadi pembantu. 

Ketika orang-orang musyrik mendengar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari kota Mekah, hal ini membuat orang-orang Quraisy membuat sayembara (ganjaran) bagi orang yang dapat menangkap baginda dengan imbalan hadiah seratus ekor unta, dan bagi yang dapat menangkap Abu Bakar juga diberi hadiah seratus ekor unta. Sehingga berlomba-lombalah orang-orang untuk mencari baginda di gunung-gunung, di lembah-lembah, di gua-gua dan di mana sahaja, sehingga mereka sampai di atas gua tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar bersembunyi, yaitu gua Tsur. Baginda dan Abu Bakar bersembunyi hingga tidak ada lagi orang yang mencarinya.

Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, jikalau salah seorang dari mereka melihat ke bawah telapak kakinya maka dia akan melihat kita, kerana kita berada di dalam gua di bawahnya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Bakar, apa yang engkau cemaskan dengan dua orang, sedangkan Allah yang ketiganya.”

Allah Ta'ala berfirman:

Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 9: 40) dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, “Apa yang kamu cemaskan dengan dua orang, maka Allah akan menjadi yang ketiganya.

[Shahih Al-Bukhari no. 3380, 4295 dan Muslim no. 4389 dari hadits Abu Hurairah]

Apakah kamu mengira ada orang yang bisa mencelakai mereka berdua?

Jawab, tidak ada seorang pun yang mampu, kerana tidak ada yang mencegah dari apa yang telah Allah berikan, dan tidak ada yang memberi terhadap apa yang telah Allah cegah, tidak ada yang dapat menghinakan apa yang Allah muliakan dan tidak ada yang dapat memuliakan apa yang telah Allah hinakan.

Allah Ta'ala berfirman:

“Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
(QS. Âli 'Imrân: 3 :26)

Dalam kisah ini ada dalil yang menunjukkan kesempurnaan tawakal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Allah, bahwa baginda berpegang teguh kepada-Nya dan menyerah diri sepenuhnya kepada-Nya. Inilah relevansi hadits ini dengan bab Yakin dan Tawakal. 

Di sini juga ada dalil bahwa kisah labah-labah yang membuat sarangnya di pintu gua tidak benar. Apa yang terdapat dalam sebagian sejarah bahwa labah-labah membuat sarangnya di pintu gua, adanya pohon yang tumbuh di depan pintu gua itu dan ada burung merpati di atas dahannya, ketika orang-orang musyrik itu datang ke gua itu, mereka berkata, “Di dalam gua ini tidak ada orang di dalamnya, kerana ada merpati di dahan pohon yang ada di pintu gua, dan sarang labah-labah masih utuh di depan pintu gua.” Semua kisah ini tidaklah benar. Kerana yang mencegah penglihatan orang-orang kafir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya Abu Bakar, bukanlah perkara inderawi, namun perkara maknawi. Allah telah menghalangi penglihatan orang-orang musyrik dari melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya Abu Bakar. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 82.
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ سَلَمَةَ، وَاسْمُهَا هِنْدٌ بِنْتُ أَبِي أُمَيَّةَ حُذَيْفَةَ الْمَخْزُوْمِيَّةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ قَالَ: بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ، أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزِلَّ، أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ، أوْ أَجْهَلَ أَو يُجْهَلَ عَلَيَّ » حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرمِذِيُّ وَغَيْرُهُمَا بِأَسَانِيْدَ صَحِيْحَةٍ. قَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ، وَهَذَا لَفْظُ أَبِي دَاوُدَ.
Daripada Ummul Mu'minin, Ummu Salamah, nama aslinya adalah Hindun binti Abu Umayyah Hudzaifah Al-Makhzumiyyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya, baginda membaca doa:

Bismillāhi tawakkaltu 'alallāhi, Allāhumma inni a'ūzu bika an adilla au udilla au azilla au uzilla au azlima au ajhala au yujhala 'allayya.

Yang artinya: “Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu, dari sesuatu yang menyesatkan atau disesatkan, dari sesuatu menggelincirkan atau tergelincirkan, dari sesuatu menganiaya atau dianiaya, dan dari sesuatu yang membodohkan atau dibodohi.”

[HR. Abu Dawud no. 5094. At-Tirmidzi no. 3427, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami no. 4709, Shahih Ibu Majah no. 3134 dan dalam Misykat Al-Mashabiih no. 2442. Hadits ini adalah lafaz Abu Dawud]

Penjelasan.

Relevansi hadits ini judul bab adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah. Maka di sini ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang seyogyanya jika keluar dari rumah untuk mengucapkan dzikir ini yang menunjukkan adanya nilai ketawakalan kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Kerana seseorang jika keluar dari rumahnya maka ia dihadapkan pada sesuatu yang dapat menimpanya atau menyakitkannya, seperti hewan-hewan yang berbisa seperti ular, kalajengking, lipan dan serupanya. Kemudian ia mengucapkan, “Aku beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada Allah dan aku bertawakal kepada Allah.” Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari sesuatu yang menyesatkan,” yakni ketersesatan di dalam diriku.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dan aku disesatkan.” Yakni seseorang menyesatkanku. Atau disesatkan orang lain atau digelincirkan dari ketergelinciran. Aku tersesat atau disesatkan, yakni seseorang yang mendorongku untuk berbuat keliru. Atau aku menzhalimi, yakni aku menzhalimi orang lain selainku. Atau aku dizhalimi, yakni seseorang menzhalimiku. Atau aku bersifat bodoh atau aku dibodohi, yakni membodohiku dan berbuat kejelekan kepadaku. Inilah dzikir yang seharusnya diucapkan seseorang ketika keluar dari rumahnya di mana di dalam doa ini terdapat permintaan perlindungan kepada Allah dan berpegang teguh kepada-Nya. Hanya Allah-lah memberi taufik.

Hadits 83.
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ: رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ قَالَ- يَعْنِي إِذَا خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ: بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ، يُقَالُ لَهُ: هُدِيْتَ وَكُفِيتَ وَوُقِيتَ، وَتَنَحَّى عَنْهُ الشَّيْطَانُ » رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَالنِّسَائِيُّ وَغَيرُهُمْ: وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ، زَادَ أَبُوْ دَاوُدَ: « فَيَقُولُ: -يَعْنِي الشَّيْطَانَ- لِشَيْطَانٍ آخَرَ: كَيْفَ لَكَ بِرَجُلٍ قَدْ هُدِيَ وَكُفِيَ وَوُقِىَ »؟.
Daripada Anas radhiyallahu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang keluar dari rumahnya seraya berdoa:

“Bismillāhi Tawakkaltu 'alallāhi lā haula wa lā quwwata illā billāh.”

Yang artinya: Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan tidak ada upaya (kekuatan) kecuali hanya milik Allah.” 

Maka saat itu akan dikatakan kepadanya, “Engkau telah diberi hidayah, telah dicukupi, dan telah diberi penjagaan, hingga para setan menjauhinya.”

Riwayat Abu Dawud menambahkan, “Maka dia -setan- berkata kepada setan yang lain, “Bagaimana engkau dapat menggoda) orang yang telah diberi petunjuk, yang telah dilindungi dan dijaga oleh (Allah)?”

[HR. Abu Dawud no. 5095. At-Tirmidzi no. 3426. Nasa'i dalam kubra no. 9917, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 2724]

Hadits 84.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ أَخَوَانِ عَلَى عَهْدِ النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَ أَحَدُهُمَا يَأْتِي النَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْآخَرُ يَحْتَرِفُ، فَشَكَا الْمُحْتَرِفُ أَخَاهُ لِلنَبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ » رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ.
Daripada Anas radhiyallahu anhu, ia berkata: “Ada dua orang bersaudara di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu dari keduanya suka datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk belajar dan yang lainnya giat berusaha (mencari penghasilan).

Kemudian, orang yang giat berusaha itu mengadu tentang saudaranya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka baginda bersabda: “Bisa jadi engkau mendapatkan rezeki kerana dia (saudara itu).”

[HR. At-Tirmidzi no. 2345, dinilai Shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi no. 1912]

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...