Monday, April 8, 2019

Syarah Riyadhus Shalihin (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin) Bab 8. Istiqamah

Allah ﷻ berfirman:
۞فَاسْتَقِمْ كَمَآ أُمِرْتَ۞
“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu.” (QS. Hûd: 11: 122)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ۞نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ۞نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ۞
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, Tuhan kami adalah Allah.” Kemudian mereka meneguh pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), “Janganlah kamu berasa takut dan janganlah kamu bersedih hati, dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.” Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” 
(QS. Fushshilat: 41: 30-32)

Allah ﷻ berfirman:
۞إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ۞أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ۞
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata: “Tuhan kami adalah Allah.” Kemudian mereka tetap istiqamah, tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati. Mereka itulah para penghuni surga, kekal di dalamnya, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Ahqâf: 46: 13-14)

Penjelasan.

Istiqamah bermaksud seorang yang berpegang teguh dengan syariat Allah sebagaimana yang telah diperintahkan dan dilakukan ikhlas kerana Allah Ta'ala. Kemudian penulis menyebutkan beberapa ayat dalam bab ini. Dia menyebutkan firman Allah Ta'ala,

“Maka tetaplah engkau (Muhammad) (di jalan yang benar), sebagaimana telah diperintahkan kepadamu.” (QS. Hûd: 11: 112)

Khithab (pembicaraan) dalam ayat ini ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pembicaraan -dalam ayat- yang ditujukan kepada baginda, maka selain berlaku bagi baginda juga berlaku bagi umatnya, kecuali ada dalil yang menunjukkan bahwa hal itu khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti firman Allah Ta'ala,

“Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Muhammad)? Dan Kami pun telah menurunkan bebanmu darimu, yang memberatkan punggungmu.” (QS. Al-Insyirâh: 94: 1-3) ini adalah khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti juga firman Allah Ta'ala,

“Dan sesungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang (di baca) berulang-ulang dan Al-Qur'an yang agung.” (QS. Al-Hijr: 15: 87)

Ini adalah khusus bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ucapan ini khusus, maka itu bagi baginda dan bagi umatnya. Dan berdasarkan kaidah ini firman Allah Ta'ala, “Maka tetaplah engkau (Muhammad) di jalan yang benar, sebagaimana telah diperintahkan kepadamu.” 
(QS. Hûd: 11: 122). Ini adalah umum bagi baginda dan juga umatnya. Semua wajib untuk beristiqamah sebagaimana yang diperintahkan dan tidak boleh menukar agama Allah, menambah atau menguranginya. Kerana Allah Ta'ala berfirman dalam ayat yang lain,

“Dan tetaplah (beriman dan berdakwah) sebagaimana diperintahkan kepadamu (Muhammad) dan janganlah mengikuti keinginan mereka.” (QS. As-Syurâ: 42: 15)

Dan firman Allah Ta'ala:

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami adalah Allah.” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka.” 
(QS. Fushshilat: 14: 30-31)

“Tuhan kami adalah Allah,” yaitu pencipta kami, raja kami dan pengatur urusan kami, maka kami ikhlas kepada-Nya. “Kemudian mereka beristiqamah, atas ucapan mereka bahwa Tuhan mereka adalah Allah dengan menegakkan syariat-syariat Allah. Orang-orang inilah yang disifati dengan dua sifat. “Turun kepada mereka para malaikat. Satu persatu mengatakan, “Dan mereka tidak merasa takut dan bersedih, yakni malaikat akan turun kepada mereka dengan perintah Allah di setiap tempat yang menakutkan apalagi ketika kematian datang, malaikat itu berkata kepada mereka, “Janganlah kalian merasa takut dan janganlah kalian merasa bersedih. Yakni, jangan takut dengan apa yang kalian hadapi dari perkara-perkara kalian dan jangan sedih dengan apa yang berlalu dari perkara-perkara kalian. “Dan berilah kabar gembira mereka dengan surga yang telah Allah janjikan kepadamu.” Al-Busyra yaitu kabar yang menggembirakan, tidak diragukan lagi bahwa seseorang akan gembira jika dikatakan akan menjadi penduduk surga. Aku memohon kepada Allah untuk menjadikanku dan kalian antara mereka.

“Dan berilah kabar gembira mereka dengan surga yang telah Allah janjikan kepadamu. Kerana setiap orang yang berkata, “Tuhanku Allah, kemudian ia beristiqamah atas agama Allah, maka ia menjadi penduduk surga. Malaikat itu juga berkata kepada mereka, “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih.” 
(QS. Fushshilat: 41: 31) malaikat menjadi wali bagi orang yang mengucapkan tuhan kami adalah Allah kemudian ia beristiqamah dalam kehidupan dunia, menguatkan, membantu, dan menolong mereka, demikian juga di akhirat mereka akan bertemu kepada Allah pada hari dibangkitkan dan hisab “Inilah hari kalian yang telah di janjikan, mereka diberi kabar gembira dengan kebaikan dalam keadaan yang menakutkan dan sulit.

Allah Ta'la berfirman:

“Dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu,” 
(QS. Fushshilat: 41: 31) “dan bagi kalian di dalamnya, yakni di dalam akhirat. “Memperoleh apa yang kalian inginkan, demikian itu kenikmatan surga, kerana surga di dalamnya terdapat apa yang diinginkan oleh jiwa dan dinikmati oleh mata. “Dan di dalamnya apa yang kalian minta, bahkan lebih dari itu.

“Mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki, dan pada Kami ada tambahannya.” 
(QS. Qâf: 50: 35) bagi mereka ada pertambahan dari apa yang mereka minta dan angankan, “Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 
(QS. Fushshilat: 41: 32) yakni, bahwa surga menjadi tempat tinggal mereka dan menjadi tempat tetapmu dari Allah Yang Maha Pengampun dan Penyayang.

“Maha Pengampun mengampuni kesalahan-kesalahan mereka, kasih sayang kepada mereka dan mengangkat derajat mereka, ini balasan bagi orang yang mengatakan tuhanku adalah Allah kemudian ia beristiqamah.

Di dalam hal ini ada dalil tentang pentingnya istiqamah dalam agama Allah supaya manusia bisa kokoh tidak berkurang dan bertambah, tidak merubah dan menggantinya. Adapun orang yang berlebihan dalam agama Allah, atau orang yang keras dari agama atau merubahnya maka dia bukan orang yang istiqamah pada syariat Allah Ta'ala. Istiqamah itu harus dengan keadilan di segala sisi, kemudian orang ini mampu komitmen.

Hadits 85.
وَعَنْ أَبِي عَمْرٍو، وَقِيْلَ أَبِيْ عَمْرَةَ سُفْيَانَ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، قُلْ لِيْ فِيْ اْلإِسْلاَمِ قَوْلاً  لاَ أَسْأَلُ عَنْهُ أَحَدً اغَيْرَكَ. قَالَ: قَالَ: « آمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Amr, dikatakan juga Abu 'Amrah Sufyan bin Abdullah radhiyallahu anhu- ia berkata, “Aku pernah berkata: “Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang ajaran Islam, ucapan yang tidak akan aku tanyakan kepada seorang pun selain engkau.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamahlah.”

[Shahih Muslim no. 38]

Penjelasan.

Ucapan, “katakanlah kepadaku tentang ajaran Islam, ucapan yang tidak akan aku tanyakan kepada seorang pun selain engkau, yakni ucapan satu ungkapan yang aku tidak lagi bertanya kepada seseorang pun selain anda, sehingga kalimat ini merupakan kalimat yang jelas dan rinci sehingga tidak perlu lagi bertanya kepada seseorang, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian beristiqamahlah.”

Sabda baginda, “Katakanlah aku beriman,” bukan yang dimaksud hanya sekadar ucapan lisan, kerana ada orang yang mengucapkan aku beriman kepada Allah dan hari akhir tapi ternyata ia tidak beriman.

Akan tetapi yang dimaksudkan adalah ucapan hati dan lisan juga. Yakni ia mengucapkan di lisannya setelah ia menetapkannya di dalam hati, yang diyakini dengan sepenuhnya sehingga tidak ada keraguan sedikit pun. Kerana keimanan itu tidak cukup dengan hati saja, sebagaimana juga tidak cukup dengan lisan saja tetapi harus dengan keduanya secara menyeluruh. 

Kerananya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengucapkan ini baginda mengajak manusia kepada Islam, “Wahai manusia ucapkanlah, “Laa Ilaha Illallah (لاَ إِلَهَ إِلَّاالله), maka kalian akan beruntung.” 

[Shahih Ibnu Hibban no. 6562]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ucapkanlah..” yakni dengan lisan kalian, sebagaimana juga dengan hati. 

Dan sabdanya, “Aku beriman kepada Allah..”  mencakup iman dengan wujud Allah, dengan rububiyah-Nya, nama-nama dan sifat-Nya, hukum-hukum-Nya dan kabar-kabar-Nya dan segala apa yang datang dari-Nya. Jika kamu beriman dengan ini kemudian kamu komitmen dengan agama Allah, tidak berpaling darinya tidak ke kiri dan tidak ke kanan, tidak mengurangi dan menambahi.

Beristiqamahlah dengan persaksian (syahadat) bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, demikian itu dengan keikhlasan kepada Allah dan mengikuti Rasul-Nya. 

Istiqamahlah mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa, haji dan semua syariat.

Ucapan, “Katakanlah aku beriman kepada Allah kemudian..” ini dalil yang menunjukkan bahwa istiqamah tidak ada kecuali setelah keimanan, dan dari syariat amal shaleh yakni syarah sah dan diterimanya amal ibadah itu harus dibangun dengan keimanan. Jika seseorang melakukan amal lahir dengan sebaiknya namun hatinya lalai, ragu dan penuh kegoncangan, atau mengingkari dan mendustakan, maka ibadah itu tidak bermanfaat. Kerananya, para ulama sepakat bahwa syarat diterimanya ibadah seseorang adalah beriman kepada Allah, yakni mengakui seluruh yang datang dari-Nya.

Dari hadits ini dapat diambil faidah bahwa seyogyanya bagi seseorang jika melaksanakan amal ia merasa bahwa ia melaksanakannya kerana Allah, bersama Allah dan untuk Allah. Kerananya, tidaklah beristiqamah atas agama Allah kecuali setelah beriman kepada Allah Ta'ala.

Maka ia harus sadar bahwa ia melaksanakan itu kerana Allah yakni dengan penuh keikhlasan meminta pertolongan kepada Allah dan mengikuti syariat-Nya, ini yang diambil faidah dari firman Allah Ta'ala:

“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
(QS. Al-Fâtihah: 1: 5-6)

Bahwa syarat diterimanya ibadah: yang pertama, ikhlas kerana Allah; dan yang kedua melaksanakannya sesuai dengan syariat-Nya. Kerananya kami katakan bahwa yang dimaksud dengan ash-shirath al-mustaqim (jalan yang lurus) dalam ayat ini syariat Allah yang menghantarkan kepada-Nya. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits 86.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَة رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « قَارِبُوا وَسَدِّدُوا، وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِنْكُمْ بعَمَلِهِ » قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: « وَلَا أَنَا، إلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهَ بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Daripada Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Biasakanlah kalian dalam mendekatkan diri kepada Allah (bersikap lurus; pertengahan) dan berpegang teguhlah kepada keyakinan kalian (istiqamah dan menetapi kebenaran). Ketahuilah bahwa tidak ada seorang pun di antara kalian yang selamat kerana amalnya.” 

Mereka (para sahabat) berkata: “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak juga aku, kecuali Allah meliputi dan melimpahkan kepadaku dengan rahmat dan karunia-Nya.”

[Shahih Al-Bukhari no. 5673 Muslim no. 2816]

Penjelasan.

Para ulama mengatakan, “Makna istiqamah adalah senantiasa melaksanakan ketaatan kepada Allah.” Dan mereka juga mengatakan bahwa istiqamah termasuk ungkapan yang memiliki makna yang luas dan mengatur segala sesuatu. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

Hadits ini menunjukkan bahwa istiqamah itu sesuai dengan kemampuan. Ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Biasakanlah kalian dalam mendekatkan diri kepada Allah dan berpegang teguhlah kepada keyakinan kalian,” yakni menujulah kepada apa yang diperintahkan kepada kalian dan jagalah untuk selalu mendekat sesuai dengan kadar kemampuan.

Sabdanya, “saddidu,” bergegaslah dalam melakukan, yakni jagalah agar amal kalian selalu menetapi kebenaran sesuai dengan kemampuan. Sesungguhnya seseorang walaupun sudah mencapai sesuatu dari ketakwaan, maka bisa saja ia keliru sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap Bani Adam (pernah) melakukan kesalahan -dosa-, dan sebaik-baiknya orang yang bersalah adalah orang yang bertaubat.”

[HR. At-Tirmidzi no. 2499 dinilai Hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' no. 4515]

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Jika kalian tidak berdosa maka Allah akan melenyapkan kalian, kemudian mendatangkan satu kaum yang berdosa kemudian mereka meminta ampun kepada Allah sehingga Dia mengampuni mereka.”

[Shahih Muslim no. 4936]

Maka setiap orang diperintahkan untuk mendekat dan menuju kepada ibadah dan melakukannya dengan benar sesuai dengan kemampuan.

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak akan selamat seseorang di antara kalian dengan amalnya,” yakni tidak akan selamat dari neraka dengan amalnya. Demikian itu kerana amal tidak mencapai apa yang diwajibkan oleh Allah seperti agar bersyukur, dan menunaikan hak-hak Allah. Akan tetapi Allah meliputi hamba-Nya dengan rahmat-Nya sehingga Dia mengampuninya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang ini, mereka berkata kepadanya, “Tidak juga engkau?” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak juga aku, kecuali jika Allah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.” Ini menunjukkan bahwa walaupun seseorang telah mencapai derajat dan martabat yang tinggi, bukan berarti ia selamat dengan amalnya, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak. Kalau bukan kerana Allah memberikan anugerah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ampunan atas dosa yang telah lalu dan dosa yang akan datang, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan diselamatkan oleh amalnya. Jika ada yang mengatakan, “Banyak nash dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah yang menunjukkan bahwa amal-amal shalih menyelamatkan seseorang hamba dari nereka dan memasukkannya ke dalam surga, sebagaimana firman Allah Ta'ala,

“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki mahupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami berikan balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl: 16: 97). Maka, bagaimana mengkorelasikan ayat ini dengan hadits yang telah lalu?”

Jawabannya, bahwa korelasi antara dua nash tersebut adalah penafian seseorang masuk surganya dengan amalnya dari sisi perbandingan langsung. Adapun yang ditetapkan bahwa amal itu adalah sebab bukan sebagai ganti, amal tidak diragukan lagi adalah sebab masuk surga dan di jauhi dari neraka, tetapi ia bukan sebagai pengganti, bukan sebagai satu-satunya yang memasukkan orang ke surga. Akan tetapi kurnia Allah dan rahmat-Nyalah menjadi sebab orang masuk surga dan menyelamatkan dari neraka.

Dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya:

Pertama, seseorang tidak boleh berbangga dengan amalnya, kerana amal kamu itu sedikit jika dibandingkan dengan apa yang Allah berikan kepadamu.

Kedua, seyogyanya bagi seseorang untuk memperbanyakkan mengingati Allah. Meminta kepada Allah untuk diliputi dengan rahmat-Nya.

Ketiga, kegigihan para sahabat radhiyallahu anhum dalam mencari ilmu sehingga mereka meminta dirinci apakah permasalahan ini umum mencakup bagi baginda juga atau tidak, sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada mereka bahwa itu juga mencakup baginya. Barangsiapa merenungi perihal para sahabat maka akan mendapatkan bahwa mereka orang yang paling perhatian dengan ilmu. Mereka tidak pernah meninggalkan sesuatu yang mereka perlukan di dalam perkara-perkara agama dan dunianya kecuali mereka bersegera mendapatkannya. Hanya Allah-lah yang memberi taufik.

No comments:

Post a Comment

Syarah Riyadhus Shalihin Bab 78. Perintah Bagi Para Penguasa Untuk Bersikap Lembut Dan Kasih Sayang Terhadap Rakyat Serta Larangan Menipu Rakyat Atau Berlaku Keras Terhadap Mereka Juga Mengabaikan Keperluan mereka.

  Allah ﷻ berfirman : ۞وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ۞ “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang beriman...