۞وَادْعُ إِلَىٰ رَبِّكَ۞
(QS. Al-Qashash: 28: 87)
۞ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ۞
(QS. An-Nahl: 16: 125)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ۞
(QS. Al-Mâ'idah: 5: 2)
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan dalam, “Bab Menunjukkan Kepada Kebaikan dan Berdakwah Kepadanya.” Menunjukkan kepada kebaikan, maksudnya menjelaskan kepada manusia kebaikan yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan agama dan dunianya. Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia seperti orang yang melakukannya. Adapun berdakwah kepada kebaikan, itu lebih khusus daripada menunjukkan, kerana orang yang menunjukkan hanya menjelaskan tidak mengajak, jika ia mengajak, maka yang demikian itu lebih sempurna dan lebih utama. Manusia diperintahkan agar mengajak kepada kebaikan yaitu berdakwah ke jalan Allah Ta'ala. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, “Dan serulah mereka ke jalan Rabbmu.” (QS. Al-Qashash: 28: 87) Dan juga firman-Nya, “Sungguh, engkau (Muhammad) berada di jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj: 22: 67)
Allah Ta'ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 16: 125)
Allah ﷻ berfirman:
۞وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ۞وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ۞
(QS. Âli 'Imrân: 3: 104-105)
Ayat-ayat ini dan yang serupa dengannya, semuanya menunjukkan bahwa sepantasnya manusia menjadi orang yang mengajak ke jalan Allah. Akan tetapi, dakwah ini tidak mungkin sempurna, kecuali jika orang tersebut mengetahui ilmunya. Kerana orang yang jahil terkadang ia berdakwah kepada sesuatu yang disangkanya benar, padahal sebenarnya batil dan terkadang ia melarang sesuatu yang disangkanya batil, padahal kenyataan benar. Langkah pertama haruslah dengan ilmu agar ia mengerti tentang apa yang ia dakwahkan.
Sama halnya, apakah dia itu orang alim mendalami dan menguasai dalam setiap bab ilmu pengetahuan ataukah ia hanya mengetahui satu permasalahan yang akan ia dakwahkan saja? Yakni bukan merupakan syarat bahwa manusia itu harus alim, mengetahui dan mendalami segala sesuatunya, akan tetapi kita perkirakan saja, jika anda ingin mengajak seseorang mendirikan shalat, dan anda mengetahui hukum-hukumnya secara baik, maka serulah untuk mendirikannya, walaupun anda tidak begitu faham tentang bab-bab ilmu selainnya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat.”
Akan tetapi, tidaklah diperbolehkan seseorang berdakwah tanpa berlandaskan ilmu sama sekali, kerana hal ini sangatlah berbahaya. Berbahaya bagi diri anda sendiri dan bahaya juga bagi orang lain. Adapun bahaya yang akan menimpamu bahwa Allah telah mengharamkan atasmu mengucapkan sesuatu tentang Allah yang tidak kamu ketahui. Allah Ta'ala berfirman,
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?” Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A'râf: 7: 32)
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al-Isrâ: 17: 36)
Janganlah kalian mengikuti sesuatu yang tidak kalian ketahui, kerana kalian bertanggung jawab atas hal tersebut.
“Kerana pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Isrâ: 17: 36)
Begitu juga dia harus bijaksana dalam dakwahnya, mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, memposisikan sesuatu pada posisinya, lalu mengajak generasi selanjutnya ke jalan Allah dengan sesuatu yang sesuai dengannya, mengajak orang yang berpaling dengan sesuatu yang sesuai dengannya, dan mengajak orang yang bodoh pun harus dengan sesuatu yang sesuai dengannya. Kerana setiap orang mempunyai cara dakwah tersendiri, sesuai dengan keadaan mereka. Dalilnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengutus Mu'adz bin Jabal radhiyallahu anhu ke Yaman, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab.”
[Shahih Al-Bukhari no. 1458, 1496 dan Muslim no. 19]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kondisi mereka kepadanya, agar ia mempersiapkan diri dalam menghadapinya, dan mampu menempatkan mereka pada tempatnya, kerana mereka adalah Ahli Kitab, dan mereka memiliki ilmu untuk berdebat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Orang-orang musyrik adalah orang-orang yang jahil dan tersesat, sedangkan Ahli Kitab adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan, kerananya diperlukan persiapan yang matang, mereka juga menentang dengan sesuatu yang sesuai dengan mereka, kerana mereka memandang diri mereka sebagai Ahli Kitab dan Ahli Ilmu, maka dibutuhkan ketelitian dalam tata cara berdakwah ini. Kerana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Mu'adz, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab.”
Kita ambil contoh konkret, misalnya seorang laki-laki bodoh berbicara ketika sedang shalat, ia menyangka bahwa bicara itu tidaklah membatalkan shalat. Pada saat itu, kita tidak boleh mencelanya, menghardiknya atau menekannya, tapi seharusnya kita berkata kepadanya saat ia selesai dari shalatnya, “Sesungguhnya dalam shalat tidak boleh mengucapkan sesuatu, kerana shalat itu adalah tasbih, takbir dan bacaan Al-Qur'an.” Tetapi, jika kita mengetahui bahwa orang itu paham bahwa berbicara dalam shalat itu haram dan membatalkan shalat dan ia nekad melakukannya juga. Na'udzu Billah, ia berbicara dan tidak peduli, maka dalam hal ini, kita harus berbicara padanya dengan hal yang pantas serta menekannya, bahkan mungkin kita mencelanya, “Kerana setiap audien memiliki tata cara tersendiri (dalam memberi nasihat atau berdakwah) kepadanya.”
Kerana Allah Ta'ala berfirman, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 16: 125)
Yang dimaksud dengan hikmah adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan memposisikan orang pada posisinya. Janganlah berbicara kepada banyak orang seperti berbicara pada satu orang, jangan pula berdakwah kepada orang banyak seperti berdakwah pada satu orang. Tetapi jadikanlah bagi setiap orang sesuai dengan kondisinya.
Semestinya seorang da'i itu mengetahui kondisi orang yang akan didakwahinya, kerana kondisi mereka berbeda-beda; bisa jadi ia orang yang bodoh, seorang penentang yang sombong atau orang itu mudah menerima kebenaran tetapi ia menyembunyikannya dengan sungguh-sungguh dan mentakwilnya. Maka bermuamalahlah kepada manusia sesuai dengan kondisi mereka.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 16: 125)
Yang dimaksud dengan Sabilillah, yaitu agama dan syariat-Nya yang telah diberlakukan kepada hamba-Nya. Allah Ta'ala menyandarkan syariat itu pada Dzat-Nya dikeranakan dua sebab:
Sebab pertama, bahwa Dialah yang menempatkan syariat kepada hamba-Nya, dan Dia pula yang menunjukkan syariat-Nya.
Sebab kedua, syariat itulah yang menyampaikan kepada-Nya, tidak ada sesuatu yang dapat menyampaikan kepada Allah selain jalan Allah yang telah Dia syariatkan kepada hamba-Nya melalui lisan-lisan para Rasul-Nya.
Firman-Nya, “Dengan hikmah dan pelajaran yang baik,” menurut ulama, hikmah artinya yang tepat, yakni sesuatu pada tempatnya. Sedangkan peringatan (pelajaran yang baik), adalah peringatan yang disertai dengan motivasi dan ancaman. Jika kita melihat sesuatu yang bertentangan pada diri seseorang, maka kita harus memberikan nasihat dan pelajaran (peringatan) kepadanya.
Apabila hal itu (yakni dengan memberikan nasihat dan peringatan) tidak berguna, maka Allah Ta'ala berfirman, “Debatlah mereka dengan sesuatu yang baik.” Jika seseorang memiliki sesuatu yang ingin diperdebatkan, maka berdebatlah dengan perdebatan yang baik, janganlah kita menekannya dan jangan pula meremehkannya. Lihatlah apa yang lebih baik, dari gaya bahasa mahupun persuasinya, yakni dengan menyatakan dalil yang dapat membuatnya merasa puas. Kerana di antara mereka ada yang merasa puas setelah dibuktikan dengan dalil syar'i dan ada juga yang merasa cukup dengan menggunakan dalil akal (logika). Inilah orang yang memiliki keimanan yang kuat.
Di antara mereka juga ada yang sebaliknya, tidak merasa puas dengan dalil syar'i, kecuali jika hal itu telah ditetapkan dengan dalil logika, kerananya kamu mendapati dirinya lebih bersandar pada dalil logika daripada dalil syar'i, bahkan ia tidak merasa puas dengan dalil syar'i, kecuali jika sudah diperkuat oleh logika. Kelompok inilah yang sangat dikhawatirkan penyimpangannya -Na'udzubillah- jika memang ia tidak menerima kebenaran, kecuali dengan sesuatu yang dapat diterima oleh akalnya yang rusak, maka hal ini sangatlah berbahaya baginya, kerana orang yang paling kuat imannya adalah orang yang paling tunduk kepada syariat yakni Al-Qur'an dan Al-Hadits. Ketahuilah, jika anda melihat dalam diri anda perasaan tunduk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, menerima dan melaksanakannya, inilah kabar baik. Sebaliknya, jika anda menemukan keraguan dalam diri anda atas hukum-hukum syar'i, kecuali jika diperkuat oleh dalil akal (logika), maka ketahuilah, bahwa dalam hatimu terdapat penyakit, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 36)
Mereka tidak mungkin memilih sesuatu selain apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 36)
Firman-Nya, “Dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” juga terdapat dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zhalim di antara mereka.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 46)
Terhadap mereka ini, janganlah kalian bersikap lembut kerana mereka telah berbuat kezhaliman, perangilah mereka ini dengan pedang sampai mereka membayar pajak (Jizyah), sedangkan mereka dalam keadaan hina. Kerananya terdapat empat fase; Hikmah, Mau'izhah (peringatan), Mujadalah (perdebatan) dengan sesuatu yang baik, dan Mujadalah dengan pedang (senjata) terhadap mereka yang zhalim.
Allah Ta'ala berfirman,
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Hadits 173.
Daripada Ibnu Mas'ud Uqbah bin Amr Al-Anshari radhiyallahu anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Yang dimaksud dengan hikmah adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan memposisikan orang pada posisinya. Janganlah berbicara kepada banyak orang seperti berbicara pada satu orang, jangan pula berdakwah kepada orang banyak seperti berdakwah pada satu orang. Tetapi jadikanlah bagi setiap orang sesuai dengan kondisinya.
Semestinya seorang da'i itu mengetahui kondisi orang yang akan didakwahinya, kerana kondisi mereka berbeda-beda; bisa jadi ia orang yang bodoh, seorang penentang yang sombong atau orang itu mudah menerima kebenaran tetapi ia menyembunyikannya dengan sungguh-sungguh dan mentakwilnya. Maka bermuamalahlah kepada manusia sesuai dengan kondisi mereka.
Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan firman Allah Ta'ala, “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 16: 125)
Yang dimaksud dengan Sabilillah, yaitu agama dan syariat-Nya yang telah diberlakukan kepada hamba-Nya. Allah Ta'ala menyandarkan syariat itu pada Dzat-Nya dikeranakan dua sebab:
Sebab pertama, bahwa Dialah yang menempatkan syariat kepada hamba-Nya, dan Dia pula yang menunjukkan syariat-Nya.
Sebab kedua, syariat itulah yang menyampaikan kepada-Nya, tidak ada sesuatu yang dapat menyampaikan kepada Allah selain jalan Allah yang telah Dia syariatkan kepada hamba-Nya melalui lisan-lisan para Rasul-Nya.
Firman-Nya, “Dengan hikmah dan pelajaran yang baik,” menurut ulama, hikmah artinya yang tepat, yakni sesuatu pada tempatnya. Sedangkan peringatan (pelajaran yang baik), adalah peringatan yang disertai dengan motivasi dan ancaman. Jika kita melihat sesuatu yang bertentangan pada diri seseorang, maka kita harus memberikan nasihat dan pelajaran (peringatan) kepadanya.
Apabila hal itu (yakni dengan memberikan nasihat dan peringatan) tidak berguna, maka Allah Ta'ala berfirman, “Debatlah mereka dengan sesuatu yang baik.” Jika seseorang memiliki sesuatu yang ingin diperdebatkan, maka berdebatlah dengan perdebatan yang baik, janganlah kita menekannya dan jangan pula meremehkannya. Lihatlah apa yang lebih baik, dari gaya bahasa mahupun persuasinya, yakni dengan menyatakan dalil yang dapat membuatnya merasa puas. Kerana di antara mereka ada yang merasa puas setelah dibuktikan dengan dalil syar'i dan ada juga yang merasa cukup dengan menggunakan dalil akal (logika). Inilah orang yang memiliki keimanan yang kuat.
Di antara mereka juga ada yang sebaliknya, tidak merasa puas dengan dalil syar'i, kecuali jika hal itu telah ditetapkan dengan dalil logika, kerananya kamu mendapati dirinya lebih bersandar pada dalil logika daripada dalil syar'i, bahkan ia tidak merasa puas dengan dalil syar'i, kecuali jika sudah diperkuat oleh logika. Kelompok inilah yang sangat dikhawatirkan penyimpangannya -Na'udzubillah- jika memang ia tidak menerima kebenaran, kecuali dengan sesuatu yang dapat diterima oleh akalnya yang rusak, maka hal ini sangatlah berbahaya baginya, kerana orang yang paling kuat imannya adalah orang yang paling tunduk kepada syariat yakni Al-Qur'an dan Al-Hadits. Ketahuilah, jika anda melihat dalam diri anda perasaan tunduk pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, menerima dan melaksanakannya, inilah kabar baik. Sebaliknya, jika anda menemukan keraguan dalam diri anda atas hukum-hukum syar'i, kecuali jika diperkuat oleh dalil akal (logika), maka ketahuilah, bahwa dalam hatimu terdapat penyakit, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sesuatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 36)
Mereka tidak mungkin memilih sesuatu selain apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya.
“Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzâb: 33: 36)
Firman-Nya, “Dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” juga terdapat dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zhalim di antara mereka.” (QS. Al-'Ankabût: 29: 46)
Terhadap mereka ini, janganlah kalian bersikap lembut kerana mereka telah berbuat kezhaliman, perangilah mereka ini dengan pedang sampai mereka membayar pajak (Jizyah), sedangkan mereka dalam keadaan hina. Kerananya terdapat empat fase; Hikmah, Mau'izhah (peringatan), Mujadalah (perdebatan) dengan sesuatu yang baik, dan Mujadalah dengan pedang (senjata) terhadap mereka yang zhalim.
Allah Ta'ala berfirman,
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Hadits 173.
وَعَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ عُقبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang melakukannya.”
[Shahih Muslim no. 1893]
Penjelasan.
Di antara ayat-ayat yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam, “Bab Menunjukkan Kepada Kebaikan,” Allah Ta'ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
“Dan hendaklah di antara kamu ada golongan orang yang menyeru kepada kebaikan.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Ini adalah perintah dari Allah Ta'ala, hendaklah ada di antara kita umat seperti ini. Umat di sini maknanya kelompok. Kata Ummat di dalam Al-Qur'an mempunyai empat makna; Ummat dalam artian kelompok, seperti firman Allah Ta'ala,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Ummat yang bermakna Al-Millah (agama), firman Allah Ta'ala,
وَإِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu.” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 52)
Ummat dengan makna tahun, firman Allah Ta'ala,
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) setelah beberapa waktu lamanya.” (QS. Yûsuf: 12: 45)
Ummat, dengan makna imam, firman Allah Ta'ala,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا
“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan) patuh.”
(QS. An-Nahl: 16: 120)
Firman Allah Ta'ala di sini, “Hendaklah ada di antara kalian umat yang mengajak kepada kebaikan.” Huruf Lam (ل) dalam firman-Nya, “Hendaklah ada” ini menunjukkan perintah dan Min (من) pada firman-Nya, “Dari kalian” terdapat dua pendapat dari ahli ilmu, di antaranya ada yang mengatakan, Min bermakna Tab'idh (sebagian), ada juga yang mengatakan, “Ini untuk menjelaskan jenis.” Berdasarkan pendapat yang pertama berarti perintah di sini menunjukkan wajib kifayah, yakni jika sudah ada orang yang melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya, kerana firman-Nya, “Hendaklah ada di antara kalian” yakni sebagian dari kalian mengajak kepada kebaikan. Berdasarkan pendapat yang kedua, berarti dakwah hukumnya wajib 'Ain, yaitu kewajiban atas setiap orang untuk mengarahkan konsentrasinya pada hal ini, yaitu mengajak kepada kebaikan; amar makruf nahi mungkar.
[Shahih Muslim no. 1893]
Penjelasan.
Di antara ayat-ayat yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi rahimahullah dalam, “Bab Menunjukkan Kepada Kebaikan,” Allah Ta'ala berfirman,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
“Dan hendaklah di antara kamu ada golongan orang yang menyeru kepada kebaikan.”
(QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Ini adalah perintah dari Allah Ta'ala, hendaklah ada di antara kita umat seperti ini. Umat di sini maknanya kelompok. Kata Ummat di dalam Al-Qur'an mempunyai empat makna; Ummat dalam artian kelompok, seperti firman Allah Ta'ala,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ
“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Ummat yang bermakna Al-Millah (agama), firman Allah Ta'ala,
وَإِنَّ هَٰذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu.” (QS. Al-Mu'minûn: 23: 52)
Ummat dengan makna tahun, firman Allah Ta'ala,
وَقَالَ الَّذِي نَجَا مِنْهُمَا وَادَّكَرَ بَعْدَ أُمَّةٍ
“Dan berkatalah orang yang selamat di antara mereka berdua dan teringat (kepada Yusuf) setelah beberapa waktu lamanya.” (QS. Yûsuf: 12: 45)
Ummat, dengan makna imam, firman Allah Ta'ala,
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ كَانَ أُمَّةً قَانِتًا
“Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan) patuh.”
(QS. An-Nahl: 16: 120)
Firman Allah Ta'ala di sini, “Hendaklah ada di antara kalian umat yang mengajak kepada kebaikan.” Huruf Lam (ل) dalam firman-Nya, “Hendaklah ada” ini menunjukkan perintah dan Min (من) pada firman-Nya, “Dari kalian” terdapat dua pendapat dari ahli ilmu, di antaranya ada yang mengatakan, Min bermakna Tab'idh (sebagian), ada juga yang mengatakan, “Ini untuk menjelaskan jenis.” Berdasarkan pendapat yang pertama berarti perintah di sini menunjukkan wajib kifayah, yakni jika sudah ada orang yang melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban yang lainnya, kerana firman-Nya, “Hendaklah ada di antara kalian” yakni sebagian dari kalian mengajak kepada kebaikan. Berdasarkan pendapat yang kedua, berarti dakwah hukumnya wajib 'Ain, yaitu kewajiban atas setiap orang untuk mengarahkan konsentrasinya pada hal ini, yaitu mengajak kepada kebaikan; amar makruf nahi mungkar.
Dakwah pada kebaikan meliputi segala sesuatu yang di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi manusia, baik dalam kehidupannya di dunia mahupun akhirat. Kerana kebaikan, sebagaimana terdapat dalam amal akhirat, terdapat juga dalam amal dunia. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.” (QS. Al-Baqarah: 2: 201)
Juga meliputi segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia berupa perkara-perkara dunia, kerananya Allah Ta'ala menamakan harta dengan Khair (kebaikan). Firman Allah Ta'ala,
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-Âdiyât: 100: 8)
Firman Allah Ta'ala,
“Menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Âli 'Imrân: 3: 104)
Maksud dari Al-Ma'aruf, segala sesuatu yang dikenal oleh syariat dan ditetapkan-Nya, sedangkan maksud dari Al-Munkar yang diingkari oleh syariat dan dilarang. Kalau begitu, amar makruf berarti perintah untuk menaati Allah, sedangkan nahi mungkar berarti mencegah agar tidak bermaksiat kepada Allah. Merekalah orang-orang yang melaksanakan amar makruf nahi mungkar.
Namun, amar makruf nahi mungkar memiliki syarat-syarat di antaranya:
1. Hendaklah orang yang berdakwah itu mengetahui tentang perkara-perkara makruf yang akan diperintahkannya dan tentang kemungkaran yang akan ia cegah. Jika ia tidak berilmu, maka ia tidak diperbolehkan memerintahkan dan melarang, berdasarkan firman Allah Ta'la,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui; kerana pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrâ: 17: 36)
Pengharaman dan penghalalan tidak boleh berlandaskan pada naluri, sebab jikalau semua itu berdasarkan naluri dan hawa nafsu, maka kita akan banyak menemukan orang yang mengingkari sesuatu yang asing baginya, walaupun sesuatu itu bermanfaat bagi manusia, namun ia merasa asing terhadap hal tersebut, lalu ia berkata, “Ini mungkar.” Di antara mereka ada juga yang bertindak sebaliknya, mereka menggampangkan dan memandang segala sesuatu itu baik, padahal kebaikan dan kemungkaran harus dikembalikan kepada rujukan syariat.
Diceritakan kepada saya, bahwa pada saat adanya peluncuran kendaraan (mobil) pertama kali, orang-orang berkata, “Sesungguhnya haji dengan mengendarai mobil itu seperempat haji.” Landasan berpikirnya bahwa orang-orang tidaklah melaksanakan kewajiban ini kecuali dengan empat kali haji, yaitu setiap kali dihitung seperempat dan haji yang satu ini tidaklah sempurna kecuali dengan empat kali haji. Sebagian orang ada yang berkata, -Kami ingat peristiwa ini ketika kami masih kecil- “Jadi kalau begitu, haji dengan menggunakan pesawat terbang berdasarkan analogi mereka menjadi seperdelapan haji, atau sepersepuluhnya.” Pada setiap kondisi, apabila sebagian orang menemukan sesuatu yang asing baginya, dia pun berkata, “Ini mungkar.” Demikian juga ketika megafon muncul pertama kali, sebagian manusia mengingkarinya dan berkata, “Ini adalah kemungkaran, bagaimana kita melaksanakan shalat atau khutbah dengan megafon yang menyerupai megafonnya yahudi?” Di antara ulama ahli tahqiq seperti guru kita, Abdurrahman As-Sa'di rahimahullah, ia berkata, “Ini adalah nikmat dari Allah, sesungguhnya Allah memudahkan bagi hamba-Nya untuk menyampaikan suara-suara kebenaran kepada khalayak,” perumpamaan ini seperti kacamata, ketika mata melemah pandangannya, maka ia membutuhkan sesuatu yang dapat menguatkannya berupa kacamata. Apakah kita harus mengatakan, “Tidak boleh menggunakan kacamata, kerana hal itu dapat menguatkan pandangan dan membesarkan yang kecil?” Tidak! Tidaklah demikian.
Kesimpulannya, bahwa Al-Ma'ruf dan Al-munkar, keduanya harus berdasarkan perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak berdasarkan pada naluri manusia, hawa nafsu atau juga pemikiran mereka.
Kalau begitu, berarti manusia harus mengetahui mana yang makruf dan mana yang mungkar, kebaikan yang harus diperintahkan dan kemungkaran yang harus dicegahnya. Akan tetapi, apa jalan yang harus ditempuh untuk mengetahui itu semua? Jalan untuk mengetahuinya adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Ijma dan Qiyas ini harus bersandar pada Al-Qur'an dan As-Sunnah, kalau tidak ada Al-Qur'an dan As-Sunnah, kita tidaklah mengetahui bahwa Ijma dan Qiyas bisa dijadikan dalil (hujjah).
2. Mengetahui kemungkaran orang yang akan didakwahi, atau sudah jelas bahwa ia meninggalkan yang makruf. Jika ia tidak mengetahui maka janganlah memprediksikan (meramal)nya. Umpamanya, jika ada seseorang masuk masjid kemudian ia duduk, maka cara dakwah yang baik adalah bertanya kepadanya, “Kenapa dia duduk dan tidak shalat?” Tidak langsung menghardik dan melarangnya. Dalilnya, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jum'at, maka masuklah seseorang kemudian ia duduk, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang itu, “Apakah kamu sudah shalat?” Ia berkata, “Belum,” kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berdirilah, kemudian shalatlah dua rakaat.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghardiknya ketika orang itu meninggalkan shalat, kerana kemungkinan ia sudah shalat sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melihatnya.
Demikian juga jika anda melihat seseorang sedang makan dan minum pada siang hari bulan Ramadhan, maka janganlah langsung menghardiknya, tapi tanyakanlah dulu, mungkin saja ia sedang udzur syar'i sehingga tidak berpuasa, katakan kepadanya, “Kenapa anda tidak berpuasa?” Bisa jadi ia seorang musafir, atau sedang mengidap penyakit yang mengharuskannya banyak mengkonsumsi air minum, seperti sakit batu ginjal yang membutuhkan minum air yang banyak. Jika orang tersebut kelihatannya sehat, maka hal terpenting yang harus anda ketahui bahwa ia sedang meninggalkan perbuatan makruf, sehingga anda bisa memerintahkannya. Anda juga harus mengetahui bahwa ia benar-benar melakukan kemungkaran sehingga anda bisa mencegahnya, sebab bisa jadi ia tidak melakukan kemungkaran dan anda malah menyangka dirinya melakukannya. Umpamanya, anda melihat seorang lelaki bersama seorang wanita berada dalam mobil, di sini ada kemungkinannya bahwa wanita itu orang asing, bisa juga kemungkinannya bahwa wanita itu mahramnya atau bisa jadi istrinya. Kerana hal tersebut jangan langsung dipungkiri, sampai anda benar-benar mengetahui kemungkarannya, yang tentunya dengan melihat kondisi. Misalnya jika anda pastikan bahwa seseorang melihat keganjilan pada pribadi orang itu; kerana ia sangat memungkinkan untuk disangka buruk, juga melihat gerak-geriknya, orang yang normal pasti akan mengetahuinya, orang semacam ini harus kita datangi dan tanyakan, “Siapa perempuan yang sedang bersamamu?” Atau, “Kenapa kamu membawa perempuan ini ke mobilmu, sedangkan ia bukan mahrammu?” Jadi, bukan sekadar melihat seorang laki-laki berjalan bersama perempuan atau membawa perempuan di mobilnya dan anda langsung memungkirinya, sedangkan anda tidak mengetahui apakah hal itu mungkar atau bukan?
Yang terpenting, dia harus mengetahui apakah hal ini baik atau buruk? juga harus mengetahui apakah orang tersebut telah meninggalkan yang makruf dan melaksanakan yang mungkar?
3. Jangan mengalihkan kemungkaran, tatkala dia melarang dan membesarkan hal tersebut. Umpamanya, kita melihat seseorang merokok, sedangkan merokok itu tidak diragukan lagi keharamannya, merupakan sebuah kemungkaran yang harus kita cegah. Akan tetapi, jika kita melarangnya, maka ia akan beralih menjadi minum khamer, yakni ia pergi kepada para penjual khamer lalu meminumnya (mabuk). Dalam seperti ini, janganlah kita melarang dari perbuatannya yang semula, kerana kemungkaran (dari perbuatan) yang pertama lebih ringan, kerana melakukan kerusakan yang lebih ringan itu wajib jika harus melakukan kerusakan yang lebih besar. Dalil untuk syarat ini adalah firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (QS. Al-An'âm: 6: 108)
Mencela sembahan orang-orang musyrik termasuk hal yang diperintahkan oleh syariat dan wajib kita mencela sembahan mereka, mencela perayaan orang kafir dan memperingatkannya, janganlah kita menyenanginya. Kita beritahukan kepada saudara-saudara kita yang belum mengerti bahwasanya tidak diperbolehkan ikut serta dalam perayaan mereka. Kerana ridha dengan kekafiran dikhawatirkan akan menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran, Na'udzu Billah. Apakah anda senang dengan syiar-syiar kekufuran yang mereka rayakan dan anda ikut serta di dalamnya? Tidak ada seorang muslim pun yang ridha dengan hal ini. Kerananya berkatalah Ibnu Al-Qayyim rahimahullah -dia adalah salah seorang murid Syaikhul Ibnu Taimiyah-, “Jika seseorang mengikuti orang-orang kafir dalam perayaan-perayaan mereka, memberikan ucapan selamat di dalamya, walaupun ia tidak melakukan kekufuran, maka ia telah melakukan keharaman tanpa diragukan sedikit pun.” Benarlah apa yang beliau ucapkan, kita harus memperingatkan saudara-saudara kita yang muslim agar tidak ikut menyertai orang-orang kafir dalam perayaan mereka, kerana keikutsertaan dalam perayaan-perayaan mereka atau mengucapkan selamat, seperti mengucapkan, “Selamat Natal” atau “Semoga Allah memberkati anda dengan perayaan ini,” dan semisalnya, maka tanpa diragukan lagi bahwa dia telah ridha dengan syiar-syiar perayaan mereka, Na'udzu Billah.
Yang terpenting, dia harus mengetahui apakah hal ini baik atau buruk? juga harus mengetahui apakah orang tersebut telah meninggalkan yang makruf dan melaksanakan yang mungkar?
3. Jangan mengalihkan kemungkaran, tatkala dia melarang dan membesarkan hal tersebut. Umpamanya, kita melihat seseorang merokok, sedangkan merokok itu tidak diragukan lagi keharamannya, merupakan sebuah kemungkaran yang harus kita cegah. Akan tetapi, jika kita melarangnya, maka ia akan beralih menjadi minum khamer, yakni ia pergi kepada para penjual khamer lalu meminumnya (mabuk). Dalam seperti ini, janganlah kita melarang dari perbuatannya yang semula, kerana kemungkaran (dari perbuatan) yang pertama lebih ringan, kerana melakukan kerusakan yang lebih ringan itu wajib jika harus melakukan kerusakan yang lebih besar. Dalil untuk syarat ini adalah firman Allah Ta'ala,
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.” (QS. Al-An'âm: 6: 108)
Mencela sembahan orang-orang musyrik termasuk hal yang diperintahkan oleh syariat dan wajib kita mencela sembahan mereka, mencela perayaan orang kafir dan memperingatkannya, janganlah kita menyenanginya. Kita beritahukan kepada saudara-saudara kita yang belum mengerti bahwasanya tidak diperbolehkan ikut serta dalam perayaan mereka. Kerana ridha dengan kekafiran dikhawatirkan akan menjerumuskan pelakunya ke dalam kekafiran, Na'udzu Billah. Apakah anda senang dengan syiar-syiar kekufuran yang mereka rayakan dan anda ikut serta di dalamnya? Tidak ada seorang muslim pun yang ridha dengan hal ini. Kerananya berkatalah Ibnu Al-Qayyim rahimahullah -dia adalah salah seorang murid Syaikhul Ibnu Taimiyah-, “Jika seseorang mengikuti orang-orang kafir dalam perayaan-perayaan mereka, memberikan ucapan selamat di dalamya, walaupun ia tidak melakukan kekufuran, maka ia telah melakukan keharaman tanpa diragukan sedikit pun.” Benarlah apa yang beliau ucapkan, kita harus memperingatkan saudara-saudara kita yang muslim agar tidak ikut menyertai orang-orang kafir dalam perayaan mereka, kerana keikutsertaan dalam perayaan-perayaan mereka atau mengucapkan selamat, seperti mengucapkan, “Selamat Natal” atau “Semoga Allah memberkati anda dengan perayaan ini,” dan semisalnya, maka tanpa diragukan lagi bahwa dia telah ridha dengan syiar-syiar perayaan mereka, Na'udzu Billah.
Saya katakan, “Sesungguhnya mencela sembahan orang-orang musyrik dan syiar-syiar mereka dan selain mereka dari ahli kitab yang kufur adalah perkara yang dituntut oleh agama, akan tetapi jika hal tersebut menyebabkan terjadinya sebuah kemungkaran yang lebih besar, maka hal ini tidak boleh dilakukan, Allah Ta'ala berfirman,
“Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah.”
(QS. Al-An'âm: 6: 108)
Yakni berhala-berhala, janganlah kalian cela. Kerana mereka akan mencela Allah, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Kerana mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan.”
(QS. Al-An'âm: 6: 108)
Sesungguhnya jika mencela berhala-berhala mereka, maka mereka akan mencela tuhan kalian yaitu Allah Ta'ala (tanpa ilmu), yakni sebagai permusuhan dari mereka tanpa ilmu, adapun kalian tatkala mencela sembahan mereka, maka kalian bersikap adil dan dengan ilmu, sedangkan celaan mereka terhadap tuhan kalian sebagai permusuhan tanpa ilmu, kerananya janganlah kalian mencela sembahan mereka, nantinya mereka akan mencela Allah.
Jadi, kita ambil pelajaran dari ayat yang mulia ini, bahwa jika kita melarang seseorang dari kemungkaran yang menyebabkannya terjerumus pada kemungkaran yang lebih besar, maka yang wajib adalah diam, hingga datang kesempatan baik untuk mencegah kemungkaran tersebut dan ia bisa berubah menjadi baik.
Disebutkan bahwa Syaikh Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengunjungi Syam, kemudian ia bersama rakannya melewati sekelompok tentera dari bangsa Tartar. Bangsa Tartar adalah umat yang terkenal, mereka diberikan kekuasaan oleh Allah untuk mengusai kaum muslimin dalam beberapa tahun, dan mereka mendapatkan fitnah yang begitu besar lagi dahsyat, di antara kelompok orang ini, ada yang sedang meminum khamer, namun ia diam dan tidak melarangnya. Kemudian rakannya ini bertanya, “Kenapa anda tidak mencegah kemungkaran tersebut?” Lalu ia menjawab, “Jika kita larang mereka dari perbuatan ini, mereka akan pergi merogol wanita-wanita muslimah, merampas harta-harta mereka, bahkan bisa jadi membunuh mereka, minum khamer lebih ringan bagi mereka.” Ini merupakan pamahaman beliau, bahwasanya jika seseorang khawatir bila ia menghilangkan satu kemungkaran, dimana kemungkaran itu akan berubah menjadi lebih rusak, maka wajib baginya untuk diam.
Di antara adab-adab amar makruf nahi mungkar- yang bukan merupakan syarat-syarat amar makruf nahi mungkar-, hendaknya seseorang yang berdakwah harus menjadi orang pertama yang melakukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran, yakni tidaklah ia memerintahkan kemakrufan tapi ia sendiri tidak melakukannya, atau ia melarang dari kemungkaran namun dia malah melakukannya, atau ia tidak mencegah kemungkaran sedang ia sendiri melakukannya kemungkaran itu, kerana semua ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala,
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kamu tidak kamu kerjakan?” (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shaff: 61: 2-3)
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiyallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 3267 dan Muslim no. 2989]
Dia mengatakan sesuatu yang tidak dia lakukan, Na'udzu Billah. Di antara adab amar makruf nahi mungkar adalah seseorang harus menjadi orang pertama yang melakukan apa yang diperintahkannya dan menjadi orang pertama yang meninggalkan apa yang dilarangnya.
Disebutkan bahwa Ibnu Jauzi rahimahullah -seorang pemberi nasihat yang masyhur- ia adalah salah seorang sahabat Imam Ahmad, yaitu orang yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal, ia adalah seorang pemberi nasihat yang terkenal dengan nasihatnya. Suatu ketika, pada hari Jum'at, ia disediakan sebuah kursi untuk memberikan nasihat, yang dihadiri oleh ratusan ribu orang, dan di antara kuatnya pengaruh ceramahnya di hati para pendengarnya bahwa sebagian dari mereka ada yang sampai pingsan dan meninggal. Suatu saat datanglah seorang budak kepadanya, kemudian berkata, “Wahai tuanku, sesungguhnya majikanku memberatkanku dan membebaniku, selalu memerintahkanku dengan sesuatu yang aku tidak mampu, semoga engkau sudi kiranya memberi nasihat dan memotivasi mereka untuk membebaskan budak sehingga ia bisa membebaskanku.” Lalu ia menjawab, “Baiklah, saya akan lakukan.”
Wahai tuanku, sesungguhnya majikanku memberatkanku dan membebaniku, selalu memerintahkanku dengan sesuatu yang aku tidak mampu, semoga engkau sudi kiranya memberi nasihat dan memotivasi mereka untuk membebaskan budak sehingga ia bisa membebaskanku.” Lalu ia menjawab, “Baiklah, saya akan lakukan.”
Berlalulah Jum'at demi Jum'at sampai pada saat yang Allah kehendaki, tetapi ia belum juga berbicara tentang memerdekakan budak (hamba) sedikit pun. Kemudian pada suatu hari, ia berbicara tentang keutamaan memerdekakan budak, nasihatnya ini mempengaruhi hati setiap orang, akhirnya mereka memerdekakan budak-budak mereka. Kemudian datanglah budak tersebut kepadanya dan berkata, “Wahai tuanku, aku telah meminta anda untuk berbicara tentang memerdekakan budak sejak masa yang lalu dan anda tidak berbicara kecuali sekarang ini.” Beliau menjawab, “Benar, kerana aku tidak memiliki budak untuk dibebaskan, aku tidak suka memberikan nasihat kepada orang lain untuk memerdekakan budak, sedangkan aku sendiri belum pernah memerdekakannya - Subhanallah-maka ketika Allah menganugerahiku seorang budak, aku pun memerdekakannya, inilah kesempatanku untuk menyampaikan tentang pembebasan budak (hamba).”
Kesimpulannya, inilah di antara adab-adab amar makruf nahi mungkar, kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk orang-orang yang menyeru pada kebaikan, yang memerintahkan kebaikan dan melarang dari kemungkaran, sesungguhnya Dialah Dzat yang Mahadermawan lagi Mahamulia.
Hadits 174.
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : « مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا » رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
“Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya, tanpa sedikit pun mengurangi dosa-dosa mereka.”
[Shahih Muslim no. 2674]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata dalam hadits yang dinukilnya dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan, maka ia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.” Maksud dari, “Barangsiapa memberi petunjuk pada kebaikan,” yakni orang yang menjelaskan petunjuk kepada manusia dan mengajak mereka kepadanya.
Umpamanya, seseorang menjelaskan kepada khalayak tentang sunnahnya shalat Dhuha dua rakaat, dan sepantasnya orang itu melaksanakan shalat Dhuha dua rakaat, kemudian orang-orang mengikutinya sehingga mereka pun melaksanakan shalat Dhuha tersebut, maka baginya pahala seperti pahala mereka, tanpa dikurangi sedikit pun dari pahala itu. Ini semua kerana keutamaan Allah sangatlah luas. Atau seseorang berkata kepada mereka, “Jadikanlah shalat witir sebagai akhir shalat malam kalian, janganlah kalian tidur kecuali kalian telah melaksanakan witir, kecuali orang yang tamak (berkeinginan kuat) untuk mengerjakannya di akhir malam, maka jadikanlah witirnya di akhir malam.” Kemudian orang-orang mengikuti hal tersebut, maka baginya pahala seperti mereka, yakni ketika orang yang diberi hidayah itu berwitir maka baginya pahala. Demikian juga amal-amal yang lainnya.
“Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya tanpa dikurangi sedikit pun dari dosanya,” yakni jika ia mengajak kepada dosa atau hal-hal yang berbau dosa, seperti mengajak untuk berbuat kelalaian, kebatilan, nyanyian, makan riba atau selainnya dari hal-hal yang diharamkan, maka setiap orang yang terpengaruh dengan ajakannya tersebut, maka akan dituliskan dosanya seperti dosa mereka yang mengikutinya, kerana ia mengajak kepada perbuatan dosa. Na'udzu Billah.
Ketahuilah, bahwa mengajak kepada petunjuk atau kepada dosa itu dapat dengan ucapan, sebagaimana orang yang mengatakan, “Berbuatlah demikian, berbuatlah demikian,” dan dapat juga dengan perbuatan, khususnya bagi seseorang yang menjadi panutan masyarakat, sesungguhnya jika dia berbuat sesuatu kemudian diikuti orang, maka seakan-akan ia mengajak mereka untuk berbuat, kerananya mereka berdalih atas perbuatannya itu dan mereka berkata, “Fulan telah berbuat demikian, berarti ini boleh,” atau, “Fulan meninggalkan sesuatu, berarti juga boleh.” Yang terpenting bahwa orang yang mengajak kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengikutinya. Orang yang mengajak kepada kesesatan, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya. Dalam hal ini terdapat dalil bahwa orang yang menyebabkan sesuatu itu seperti orang yang melakukannya. Orang yang menyebabkan sesuatu yang dilakukan itu seperti orang yang melakukan hal tersebut. Orang yang mengajak kepada petunjuk dan menyebabkan orang lain melakukannya, maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya. Begitu pula orang yang mengajak pada keburukan atau dosa dan menyebabkan orang lain melakukannya, maka baginya dosa seperti dosa orang yang mengikutinya.
Para ulama fikih telah mengambil kaidah dalam hadits ini bahwa sebab itu seperti pelaku. Namun, jika terkumpul antara sebab dan pelaku, mereka menetapkan ganti rugi atas pelaku, kerana ia yang melakukan penghilangan.
Hadits 175.
وَعَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ خَيْبَرَ: « لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلًا يَفْتَحُ اللهُ عَلَى يَدَيْهِ، يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ » فَبَاتَ النَّاسُ يَدُوْكُوْنَ لَيْلَتَهُمْ أَيُّهُمْ يُعْطَاهَا. فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّاسُ غَدَوْا عَلَى رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّهُمْ يَرجُو أَنْ يُعْطَاهَا، فَقَالَ: « أَيْنَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ؟ » فَقيلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ هُوَ يَشْتَكِي عَيْنَيْهِ، قَالَ: « فَأَرْسِلُوْا إِلَيْهِ » فَأُتِي بِهِ، فَبَصِقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَيْنَيْهِ، وَدَعَا لَهُ، فَبَرأَ حَتَّى كَأَنْ لَمْ يَكُنْ بِهِ وَجَعٌ، فَأَعْطَاهُ الرَّايَةَ. فَقَالَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا رَسُولَ اللهِ أُقَاتِلُهُمْ حَتَّى يَكُونُوْا مِثْلَنَا؟ فَقَالَ: « اُنْفُذْ عَلَى رِسْلِكَ حَتَّى تَنْزِلَ بِسَاحَتِهِمْ، ثُمَّ ادْعُهُمْ إِلَى الْإِسْلاَمِ، وَأَخْبرْهُمْ بِمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ حَقِّ اللهِ تَحَالَى فِيْهِ، فَوَاللهِ لَأَنْ يَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلًا وَاحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
“Besok aku akan memberikan panji kepada seseorang yang Allah menangkan dari tangannya, dia mencintai Allah dan mencintai Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya.”
Maka semalaman orang-orang bertanya-tanya dan berharap semoga merekalah yang diberikan panji tersebut. Keesokan paginya, mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan semuanya mendapatkan panji tersebut.
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di mana Ali bin Abi Thalib?”
Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ia sedang sakit mata.”
Kemudian baginda berseru, “Kirimkanlah utusan untuk (memanggil)nya.”
Tidak lama kemudian utusan itu datang bersama Ali. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meludahi kedua matanya (Ali) yang sakit dan mendoakannya, dan akhirnya sembuh, hingga seakan-akan tidak ada bekas sakit pada dirinya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan panji kepadanya.
Ali bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita (masuk Islam)?”
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Laksanakanlah secara perlahan-lahan (hati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa) sampai engkau berada di wilayah mereka, kemudian ajaklah mereka agar memeluk Islam, kemudian kabarkanlah kepada mereka tentang hak Allah yang wajib mereka kerjakan. Demi Allah, sekiranya seseorang laki-laki diberi petunjuk oleh Allah melaluimu, maka hal itu lebih baik bagimu daripada (mendapatkan) seekor unta merah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 2942, 4210 dan Muslim no. 2406]
Penjelasan.
Hadits Abu Abbas Shal bin Sa'ad As-Sa'idi radhiyallahu anhu bahwasanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada hari Khaibar, “Besok aku akan memberikan panji kepada seseorang yang Allah menangkan dari tangannya, dia mencintai Allah dan mencintai Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya.” Ini mengandung kabar gembira secara umum dan secara khusus. Adapun yang secara umum yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah akan menangkan dari tangannya.” Adapun yang khusus yaitu, “Dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya.”
Khaibar adalah lahan pertanian dan benteng milik Yahudi, terletak sekitar 100 mil di barat daya Kota Madinah, yang didiami oleh kaum Yahudi juga oleh penduduk asli Madinah. Kerana orang Yahudi membaca kitab Taurat bahwa akan diutus seorang nabi yang akan hijrah ke Madinah; pada perjanjian lama dinamakan Yatsrib, tetapi kemudian nama ini dilarang kerana Nabi akan berhijarah ke Madinah, berjuang dan akan mengalahkan musuh-musuhnya. Mereka tahu benar akan hal ini sehingga mereka pergi ke Madinah dan berdiam di sana, dan mereka menempati Khaibar, mereka menyangka bahwa nabi terakhir ini berasal dari Bani Israil. Namun, ketika yang diutus itu dari Bani Ismail, dari bangsa Arab, mereka pun menghasudnya dan mengkufurinya. Na'udzu Billah. Mereka mengenal baginda sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka.
“Ternyata setelah sampai kepada mereka apa yang telah mereka ketahui itu, mereka mengingkarinya.”(QS. Al-Baqarah: 2: 89)
Mereka berkata, “Bukan beliau nabi yang dikabarkan kepada kami.” Maka terjadilah perjanjian antara mereka dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mereka berkhianat. Di Madinah, mereka terdiri dari tiga kabilah; Bani Qainuqa, Bani An-Nadhir dan Bani Quraidhah, semuanya mengadakan perjanjian dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka semua berkhianat.
Kemudian Allah menghancurkan mereka - Alhamdulillah- melalui tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tersisa dari mereka adalah Bani Quraidhah yang ditaklukkan oleh Sa'ad bin Muadz radhiyallahu anhu dengan membunuh mereka, serta menguasai wilayah dan harta benda mereka, pada saat itu jumlah mereka ada empat ratus orang. Kemudian Rasulullah memerintahkan untuk membunuh mereka, lalu para sahabat menghabisi mereka sampai yang terakhir. Demikianlah orang-orang Yahudi yang suka berkhianat dan memutuskan perjanjian, semenjak diutusnya Nabi Musa kepada mereka sampai pada saat sekarang ini dan sampai hari Kiamat. Mereka adalah orang yang paling suka melanggar perjanjian, dan paling khianat terhadap amanat. Oleh kerana itu, mereka tidak dapat dipercayai selamanya, baik perilaku mahupun keadilan, barangsiapa yang mempercayai mereka atau mengadakan perjanjian dengan mereka, maka pada hakikatnya, ia tidak mengetahui sejarah mereka sejak masa yang lalu.
Yang terpenting bahwa Khaibar adalah benteng dan lahan pertanian Yahudi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi mereka, kemudian Allah Ta'ala menaklukkannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Besok aku akan memberikan panji kepada seseorang yang Allah bukakan kemenangan ditangannya, dia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya.” Ini adalah dua hal yang paling besar.
Pertama, Allah membukakan kemenangan melalui tangannya. Kerana orang yang diberi kemenangan oleh Allah melalui tangannya, ia akan memperoleh kebaikan yang banyak, kerana jika Allah sudah menunjuki seseorang, maka hal itu lebih baik baginya daripada unta merah. Baginda menyatakan dengan unta merah kerana itulah harta yang paling mewah bagi bangsa Arab.
Kedua, ia mencintai Allah dan Rasul-Nya, Allah dan Rasul-Nya juga mencintainya. Ini adalah salah satu kemuliaan Ali bin Abi Thalib. Kerana orang-orang pada malam itu saling menginginkan hal tersebut, mereka berbincang-bincang mengenai siapakah lelaki itu? Ketika waktu Subuh tiba, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di manakah Ali bin Abi Thalib?” Maka dikatakan bahwa ia sedang sakit mata, matanya terkena sesuatu yang menghalangi pandangannya. Kemudian ia dipanggil dan didatangkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, baginda meludahi matanya lalu mendoakannya, ia pun sembuh dan tidak merasa sakit lagi. Inilah adalah salah satu dari tanda-tanda kekuasaan Allah Ta'ala. Kerana untuk mengembalikan sakit mata tidak perlu menggunakan ubat, hanya air liur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan doanya.
Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya seseorang membincangkan sesuatu untuk meneliti dengan cermat siapa yang akan mendapatkannya. Kerana pada malam itu, para sahabat sedang mencermati siapa yang mendapatkannya. Setiap orang berkata, “Mudah-mudahan akulah orangnya.”
Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa terkadang Allah menghibahkan kemuliaan pada seseorang, sedangkan ia tidak menyadarinya. Kerana Ali pada saat itu tidak hadir, bahkan mungkin ia tidak mengetahui permasalahannya, tetapi dengan itu Allah menjadikannya mendapatkan bagian tersebut. Dalam hadits ini ada juga dalil yang menunjukkan bahwa manusia terkadang diharamkan atas sesuatu, padahal ia begitu menginginkannya, terkadang juga ia diberikan sesuatu tanpa terbesit dalam hatinya.
“Kemudian memberikannya panji,” yang dimaksud panji adalah bendera, dan bendera adalah tanda yang biasa dipakai oleh suatu kelompok pada saat jihad, kerana manusia dalam peperangan terbagi-bagi, ada yang di satu sisi, ada juga yang di sisi lain, di sini satu kabilah dan di sana kabilah yang lainnya. Atau mereka ini seperti kelompok Muhajirin dan Anshar. Setiap mereka mempunyai bendera yang menunjukkan identitasnya.
Kemudian Ali bin Abi Thalib berkata, “Ya Rasulullah, apakah aku perangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita (masuk Islam)?” yakni aku perangi mereka sampai menjadi seorang muslim atau bagaimana. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Laksanakanlah secara perlahan-lahan (hati-hati dan tidak perlu tergesa-gesa) sampai engkau berada di wilayah mereka.” Baginda tidak mengatakan kepadanya, “Perangilah mereka sampai mereka menjadi seperti kita.” Hal itu disebabkan orang kafir tidak akan diperangi atas Islam dan mereka pun tidak suka hal itu, sesungguhnya mereka diperangi agar untuk tunduk hukum Islam. Jika mereka masuk Islam, maka manfaatnya bagi mereka dan jika mereka tetap kafir, maka musibahlah yang akan menimpa mereka. Tetapi mereka harus tetap patuh terhadap hukum Islam dan harus membayar jizyah dari tangan mereka dalam keadaan terhina atau mereka masuk Islam.
Para ulama berbeda pendapat, apakah ini khusus untuk Ahli Kitab, yakni memerangi mereka sampai membayar jizyah, atau bersifat umum meliputi seluruh orang kafir? Mayoritas ulama mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang kafir yang diperangi sampai membayar jizyah adalah Ahli Kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani. Adapun selain mereka, maka mereka diperangi sampai masuk Islam dan tidak akan diterima, kecuali dalam keadaan Islam.” Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kamudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah: 9: 29)
Yang benar bahwa hal tersebut bersifat umum, dengan dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil jizyah dari orang Majusi Hajar dan mereka bukanlah Ahli Kitab, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Al-Bukhari. Dalil yang lain yaitu hadits Buraidah Al-Hashib yang dikeluarkan oleh Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika baginda memerintahkan kepada seorang pemimpin pasukan atau peleton, baginda mewasiatkan kebaikan kepadanya serta orang-orang yang bersamanya dari orang-orang muslim. Juga disebutkan dalam hadits tersebut bahwa baginda mengajak mereka untuk memeluk Islam, jika mereka menolak, maka mereka harus membayar jizyah, jika menolak juga, maka mereka harus diperangi.
Yang benar, hal ini bersifat umum. Oleh kerana itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan kepada Ali ketika ditanya, “Apakah aku memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita?” “Ya, perangilah mereka sampai mereka menjadi seperti kita.” Akan tetapi, baginda hanya memberikan petunjuk untuk melaksanakan apa yang baginda perintahkan dengan penuh hati-hati sampai menguasai wilayah mereka. Sabdanya, “Laksanakanlah secara perlahan-lahan” yakni jangan jalan terburu-buru yang mengakibatkanmu, pasukanmu, serta orang-orang yang bersamamu kelelahan, akan tetapi jalanlah perlahan-lahan sampai kamu turun di wilayah mereka, yaitu berada di dekat mereka, kemudian ajaklah mereka kepada Islam. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kemudian ajaklah mereka kepada Islam, kabarkanlah kepada mereka dengan sesuatu yang wajib atas mereka dari hak Allah.” Baginda memerintahkan dengan dua perkara:
Pertama, mengajak kepada Islam, dengan mengatakan kepada mereka, “Masuk Islamlah kalian.” Jika mereka mengetahui makna Islam, maka cukuplah. Dan jika mereka tidak mengetahui, maka jelaskanlah kepada mereka bahwa Islam adalah bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa dan berhaji.
Kedua, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kabarkanlah kepada mereka dengan sesuatu yang wajib atas mereka dari hak Allah,” dengan cara mendengarkan dan taat terhadap perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya, agar ketika mereka masuk Islam, mereka masuk dengan dalil yang jelas. Kerana sebagian orang masuk Islam hanya dengan alasan bahwa Islam itu adalah sebuah agama, mereka tidak mengerti apa itu Islam. Kemudian ketika syariat dijelaskan kepadanya, mereka malah murtad. Na'udzu Billah. Maka jadilah kekufurannya yang kedua ini lebih besar dari kekufurannya yang pertama, kerana kemurtadan tidak akan menerapkan pemiliknya, hendaklah dikatakan kepadanya, “Kembalilah ke dalam Islam atau kami bunuh.” Oleh kerana itu, seyogyanya bagi kita yang pada masa ini kekafiran telah bertambah banyak di antara kita, baik Nasrani, Budha, orang-orang musyrik dan selain mereka, jika kita ingin mendakwahi mereka kepada Islam, maka hendaklah kita jelaskan apa itu Islam terlebih dahulu dengan penjelasan yang cukup, sehingga mereka masuk Islam berdasarkan ilmu yang jelas. Tidak cukup hanya dengan ucapan, “Masuklah Islam,” kerana mereka tidak mengetahui apa yang diwajibkan kepada mereka atas hak Allah di dalam Islam. Jika mereka masuk Islam berdasarkan pengetahuan yang jelas, maka kita punya alasan setelah itu tatkala mereka murtad, untuk meminta mereka kembali ke dalam Islam atau membunuh mereka. Bisa juga menjelaskan kepada mereka secara global, itulah dakwah secara praktis, dalilnya adalah hadits Sahal bin Sa'ad yang telah kita jelaskan.
Dalam hadits ini, yaitu dalam sabdanya, “Demi Allah, Allah memberikan petunjuk pada satu orang dengan dakwahmu, itu lebih baik dari seekor unta merah.” Memberinya petunjuk, yakni membantunya masuk Islam dengan pelantaranmu, itu lebih baik daripada unta merah, kerana unta merah di kalangan Arab merupakan harta yang paling mewah, walaupun sebenarnya bukan yang paling mewah, kemudian Ali bin Abi Thalib melakukan hal tersebut dan turun ke wilayah mereka, mengajak mereka kepada Islam, tetapi mereka tidak mahu masuk Islam.
Pada akhirnya, mereka terkalahkan oleh orang-orang muslim, maka Allah menaklukkannya di tangan Ali bin Abi Thalib. Kisah ini begitu terkenal dalam kitab perang dan sirah. Dalil dari hadits ini bahwa beliau memerintahkan kepadanya untuk mengajak mereka kepada Islam, dan mengabarkan kepada mereka tentang sesuatu yang wajib atas mereka dari hak Allah.
Dalam hadits ini terdapat beberapa faedah: nampaknya tanda-tanda kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ketika baginda meludahi kedua mata Ali bin Abi Thalib seketika itu pun sembuh tanpa merasakan sakit. Dalam hadits ini terdapat juga tanda yang lain, yaitu sabda baginda, “Allah menaklukkannya pada kedua tangannya,” ini adalah kabar ghaib, walaupun demikian, Allah benar-benar telah menaklukkannya pada kedua tangannya.
Di dalamnya juga terdapat faedah, selayaknya mengibarkan bendera dalam jihad, dan menjadikan bendera khusus untuk setiap kaum agar mereka dapat diketahui, sebagaimana yang telah diisyaratkan sebelumnya.
Di antara faedahnya, kebebasan manusia untuk melakukan kebaikan dan berlomba-lomba atasnya, kerana para sahabat pada malam itu memperselisihkan malam mereka, lafazh Al-Lail di mansuhkan untuk menunjukkan masa (Zharaf), yakni mereka mencari-cari siapa yang dimaksud?
Di antaranya juga bahwa manusia diberikan sesuatu tanpa terbesit sedikit pun dalam hatinya, dimana terhalangnya seseorang yang berharap untuk mendapatkannya, kerana Ali bin Abi Thalib ketika itu sedang sakit mata, dan saya tidak mengira dalam hatinya terbesit bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan bendera itu kepadanya, namun demikian ia malah mendapatkannya, Allah memuliakan siapa yang dikehendaki-Nya, Allah-lah yang memberi taufik.
Hadits 176.
وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنْ فَتًى مِنْ أَسْلَمَ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي أُرِيْدُ الْغَزْوَ وَلَيْسَ مَعِي مَا أَتَجَهَّزُ بِهِ؟ قَالَ: « اِئْتِ فُلَانًا فَإِنَّهْ قَدْ كَانَ تَجَهَّزَ فَمَرِضَ » فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْرِئُكَ السَّلَامَ وَيَقُولُ: أَعْطِنِي الَّذِيْ تَجَهَّزْتَ بِهِ، فَقَالَ: يَا فُلاَنَةُ أَعْطِيْهِ الَّذِيْ تَجَهَّزْتُ بِهِ، وَلَا تَحْبِسِيْ مِنْهُ شَيْئًا، فَواللهِ لَا تَحْبِسِيْنَ مِنْهُ شَيْئًا فَيُبَارَكَ لَكِ فِيْهِ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
Baginda bersabda, “Datangi si fulan, kerana dia sudah menyiapkannya namun ia (tiba-tiba) sakit.”
Lalu ia mendatangi fulan, kemudian berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan salam kepadamu.” Kemudian pemuda itu berkata kepadanya, “Berikan kepadaku apa yang telah engkau persiapkan.”
Maka ia (fulan) berkata, “Wahai fulanah (istriku) berikanlah kepadanya apa yang telah aku persiapkan, dan janganlah engkau tahan sedikit pun darinya. Demi Allah! jangan engkau tahan sedikit pun darinya, maka ia akan memberikan keberkahan bagimu.”
[Shahih Muslim no. 1894]
Penjelasan.
Hadits yang disebutkan oleh penulis ini (Imam An-Nawawi) menunjukkan untuk melakukan kebaikan. Sesungguhnya seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ikut dalam peperangan, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan petunjuk kepadanya dan mengarahkannya untuk mendatangi seseorang yang telah mempersiapkan kendaraannya dan apa-apa yang dipersiapkan untuk perjalanannya, tetapi kondisinya tidak memungkinnya untuk berjihad, maka datanglah orang ini kepada temannya yang telah mempersiapkan hal tersebut, dia mengabarkan kepadanya apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian orang itu berkata kepada istrinya, “Berikanlah apa yang telah aku persiapkan dan janganlah engkau tahan sedikit pun darinya. Demi Allah! jangan engkau tahan sedikit pun darinya, maka ia akan memberikan keberkahan bagimu.”
Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia jika menunjukkan kepada seseorang, maka ia diberi ganjaran pahala atas perbuatannya itu (rujuk hadits Shahih Muslim no. 1893). Dalam hadits ini juga ada dalil bahwa siapa yang menginginkan amal shalih, kemudian ia tertahan dikeranakan sakit, maka seyongyanya ia memberikan apa yang telah ia persiapkan untuk amal shalih ini kepada orang yang mampu melaksanakannya, sehingga tertulis baginya pahala yang sempurna. Kerana jika seseorang sakit, dimana ia telah berkeinginan dan telah mempersiapkan diri untuk beramal, sedangkan kondisinya terhalang oleh penyakit yang dideritanya, maka sesungguhnya tertulis baginya pahala yang sempurna. Segala puji bagi Allah Ta'ala berfirman,
“Dan barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapatkam di bumi ini tempat hijrah yang luas dan (rezeki) yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kerana Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh, pahalanya telah ditetapkan di sisi Allah.” (QS. An-Nisâ: 4: 100)
Di sini juga terdapat dalil ucapan sahabat radhiyallahu anhum, bahwa jika seseorang telah menyerahkan sesuatu untuk kebaikan, maka yang lebih utama adalah melaksanakannya. Misalnya jika anda ingin bersedekah dengan harta, kemudian anda memisahkan harta yang ingin anda sedekahkan, atau yang anda serahkan kepada masjid atau yayasan kebaikan atau yang salainnya, maka anda punya pilihan untuk kembali dari apa telah anda lakukan, kerana selagi sesuatu itu belum sampai pada tempatnya maka keputusan itu ada di tanganmu, yang paling utama adalah melaksanakannya jangan mengurungkan apa yang anda inginkan agar anda termasuk orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan. Allahlah yang memberi taufik.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan