۞فَإِن تَابُوْا وَأَقَامُوا الصَّلَوٰة وَءَاتَوُا الزَّكَوٰةَ فَخَلُّوْا سَبِيْلَهُمْ۞
“Kemudian jika mereka bertaubat (daripada kekufurannya) dan mendirikan shalat serta menunaikan zakat, maka biarkanlah mereka (jangan diganggu).”
(QS. At-Taubah: 9: 5)
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلهَ إِلاَّ اللَّه، وَأَنَّ مُحَمَّدََا رَسُولُ اللَّهِ، ويُقِيمُوا الصَّلاَةَ، وَيُؤتُوا الزَّكَاةَ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ، عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الْإِسْلاَمِ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى » مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Daripada Ibnu Umar radhiyallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan yang sedemikian itu, maka terjagalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali dalam hak yang telah ditetapkan Islam. Adapun perhitungan mereka terserah kepada Allah.”
[Shahih Al-Bukhari no. 25 dan Muslim no. 22]
Hadits no. 390.
وَعَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ طَارِقِ بْنِ أُشَيْمٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: « مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِِلاَّ اللَّهُ وَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُ مِنْ دُونِ اللَّهِ، حَرُمَ مَالُهُ وَدَمُهُ، وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ تَعََالَى » رَوَاهُ مُسْلِمُ.
Daripada Abdullah Thariq bin Usyaim radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang mengucapkan, lā ʾilāha ʾillallāh Muhammad Rasulullah (Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah) dan meninggalkan semua yang disembah selain Allah, maka haramlah diganggu harta dan darahnya. Adapun perhitungannya terserah pada Allah.”
[Shahih Muslim no. 23]
Hadits no. 391.
وَعَنْ أَبِي مَعْبَدٍ الْمِقْدَادِ بْنِ الْأَسْوَدِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قُلْتُ لِرِسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَرَأَيْتَ إِنْ لَقِيتُ رَجُلاً مِنَ الْكُفَّارِ، فَاقْتَتَلْنَا، فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ بِالسَّيْفِ، فَقَطَعَهَا ثُمَّ لاَذَ مِنِّي بِشَجَرَةٍ ،فَقَالَ: أَسْلَمْتُ للهِ، أَأَقْتُلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا؟ فَقَالَ: « لَا تَقْتُلْهُ »، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَطَعَ إِحْدَى يَدَيَّ، ثُمَّ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَمَا قَطَعَهَا؟ فَقَالَ: « لَا تَقْتُلْهُ، فَإِنْ قَتَلْتَهُ، فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ وَإِنَّكَ بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ كَلِمَتَهُ الَّتِي قَالَ » مُتَّفَقٌ عَلَيْه.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Janganlah kamu membunuhnya.”
Aku pun bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, dia telah memotong salah satu tanganku, kemudian dia mengucap kalimah itu setelah memotongnya, bolehkah aku membunuhnya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali menjawab, “Jangan kamu membunuhnya! Jika kamu membunuhnya, sungguh kondisinya berbalik sepertimu sebelum kamu membunuhnya dan kamu sepertinya sebelum ia mengucapkan perkataan itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4019, 6865. dan Muslim no. 95]
Hadits no. 392.
وَعَنْ أُسَا مَةَ بْنِ زَيْدٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهٌمَا، قَالَ: بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْحُرَقَةِ مِنْ جُهَيْنَةَ، فَصَبَّحْنَا الْقَوْمَ عَلَى مِيَاهِهمْ، وَلَحِقْتُ أَنَا وَرَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ رَجُلاً مِنهُمْ فَلَمَّا غَشِينَاهُ قَالَ: لَا إِلَهَِ إلاَّ اللَّهُ، فَكَفَّ عَنْهُ الأَنْصَارِيُّ، وَطَعَنْتُهُ بِرْمْحِي حَتَّى قَتَلْتُهُ، فَلَمَّا قَدِمْنَا الْمَدينَةَ، بلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فَقَالَ لِي: « يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ: لَا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ؟ قْلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّمَا كَانَ مُتَعَوِّذًا، فََقَالَ: « أَقًتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ؟ » فَمَا زَالَ يُكَرِّرُهَا عَلَيَّ حَتَّى تَمنَّيْتُ أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسْلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمِ. مُتَّـفَقٌ عَلَيْهِ.
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia mengelak untuk menyelamatkan diri.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Adakah kamu membunuh dia, setelah dia mengucapkan lā ʾilāha ʾillallāh?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terus mengulang-ulang pertanyaannya itu, sehingga perasaanku ingin andaikan aku baru masuk Islam hari itu.”
[Shahih Al-Bukhari no. 4269, 6872. dan Muslim no. 96]
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Adakah dia telah mengucap lā ʾilāha ʾillallāh sebelum kamu membunuhnya?”
Aku (Usamah) menjawab, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya dia mengucap kalimat itu kerana takut akan pedang.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Mengapa kamu tidak belah sahaja dadanya, sehingga kamu mengetahui isi hatinya, apakah dia mengucap kalimat itu ikhlas atau tidak?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulang-ulang pertanyaan itu sehingga perasaanku berasa baru memeluk Islam pada hari itu.”
Hadits no. 393.
وَعَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ بَعَْثًا مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَى قَوْمٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ، وَأَنَّهُمْ الْتَقَوْا، فَكَانَ رَجُلٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِذَا شَاءَ أَنْ يَقْصِدَ إِلَى رَجُلٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَصَدَ لَهُ فَقَتَلَهُ، وَأَنَّ رَجُلاً مِنَ الْمُسْلِمِينَ قَصَدَ غَفْلَتَهُ، وَكُنَّا نَتَحَدَّثُ أَنَّهُ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَلَمَّا رَفَعَ عَلَيْهِ السَّيْفَ، قَالَ: لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، فَقَتَلَهُ، فَجَاءَ الْبَشِيرُ إِلَى رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ، وَأَخْبَرَهُ، حَتَّى أَخْبَرَهُ خَبَرَ الرَّجُلِ كَيْفَ صَنَعَ، فَدَعَاهُ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: « لِمَ قَتَلْتَهُ؟ » فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوْجَعَ فِي المُسْلِمِينَ، وَقَتَلَ فُلاَنًا وَفُلاَنًا وَسَمَّى لَهُ نَفرََا وَإِنِّي حَمَلتْ عَلَيْهِ، فَلَمَّا رَأَى السَّيْفَ قَالَ: لَا إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « أَقَتَلْتَهُ؟ » قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: « فَكَيْفَ تَصْنَعُ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، إِذَا جَاءَت يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ » قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اسْتَغْفِرْ لِي. قَالَ: « وَكَيْفْ تَصْنَعُ بِلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، إِذَا جَاءَت يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ » فَجَعَلَ لَا يَزيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ: « كَيْفَ تَصْنَعُ بِلاَ إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ إذَا جَاءَتْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ » رَوَاهُ مُسْلِمَ.
Daripada Jundad bin Abdullah radhiyallahu anhu, dia berkata bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutuskan seorang utusan daripada kaum Muslimin kepada kaum musyrikin. Dan mereka bertembung saling berhadapan, Kemudian ada seorang lelaki dari kaum musyrikin menghendaki menuju kepada seorang lelaki dari kaum Muslimin lalu ditujulah tempatnya lalu dibunuhnya. dan demikian juga seorang lelaki daripada kaum Muslimin, dia membiarkannya. Dia (perawi) berkata, “Dan kami pada saat itu diberitahu tentang peristiwa Usamah bin Zaid, yang mana ketika dia telah mengangkat pedangnya, tiba-tiba orang musyrik itu mengucapkan, “lā ʾilāha ʾillallāh (Tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah), namun dia tetap membunuhnya. Maka Basyir pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengadu dan menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dilakukan oleh lelaki tadi. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memanggil Usamah dan bertanyakan mengenainya, “Kenapa kamu membunuhnya?”
Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah, dia telah melukai kaum Muslimin, dia telah membunuh si fulan dan si fulan, lalu dia menyebut beberapa nama kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka aku pun menyerangnya, namun ketika dia melihat pedangku ini, dia mengucap, lā ʾilāha ʾillallāh (Tidak ada Tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan lā ʾilāha ʾillallāh jika dia datang pada Hari Kiamat?”
Usamah menjawab, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan untuk diriku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan lā ʾilāha ʾillallāh jika dia datang pada Hari Kiamat?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersabda apa-apa selain hanya, “Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan lā ʾilāha ʾillallāh jika dia datang pada Hari Kiamat?”
[Shahih Muslim no. 97]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi menyebutkan, bab “Keputusan Menetapkan Terhadap Manusia Menurut Fizikalnya, Sedangkan Hati Mereka Diserahkan Kepada Allah.” Pertama ketahuilah, bahwa gambaran di dunia' ini dilihat dari zhahirnya; lisan dan anggota badan dan gambaran tentang akhirat dilihat dari rahasia-rahasia hatinya. Manusia pada hari akhirat diperhitungkan menurut apa yang ada dalam hatinya, sedangkan di dunia ini ia diperhitungkan sesuai dengan lisan dan anggota badannya. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Sungguh, Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup setelah mati). Pada hari ditampakkan segala rahasia.”
(QS. Ath-Thariq: 86: 8-9)
Maksud menginfomasikan segala rahasia dan isi hati. Allah Ta'ala berfirman,
“Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan, dan apa yang tersimpan di dalam dada dilahirkan? sungguh, Tuhan mereka pada hari itu Maha teliti terhadap keadaan mereka.”
(QS. Al-Adiyat: 100: 9-11)
Oleh kerana itu wahai saudaraku, jagalah kesucian hatimu sebelum sucinya semua anggota badanmu. Betapa banyak orang shalat, puasa, sedekah, haji, tetapi hatinya tidak.
Mereka itulah orang-orang khawarij yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka shalat, puasa, sedekah, membaca Al-Quran, shalat tahajud sambil menangis, tetapi mereka menghina shalat seorang sahabat, dan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda tentang mereka, “Keimanan mereka itu tidak sampai melewati kerongkongan mereka.” Yaitu keimanan mereka tidak masuk ke dalam hati.
Pada secara zhahir mereka itu terlihat sebagai orang-orang yang shalih, tetapi keshalihan mereka itu tidak bermanfaat sedikit pun untuk diri mereka sendiri. Maka jangan sampai tertipu dengan baiknya penampilan zhahirmu, lihatlah sebelumnya ke dalam hatimu. Aku memohon kepada Allah memberikan kebaikan pada hati kita semua, kerana hal yang paling urgen adalah hati.
Ada seseorang yang diadukan kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam kerana telah minum khamer, lalu orang itu didera, ia pun melakukannya lagi. Selanjutnya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menderanya kembali, kemudian ada sahabat yang memakinya dengan ucapan, “Semoga Allah mengutukmu, beberapa kali kamu diadukan kepada Rasulullah?”
Maka Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Janganlah kamu mengutuknya! Kerana ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” Pada dasarnya ia seorang muslim yang di dalam hatinya tertanam kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, oleh kerana itu intinya adalah hati. Sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikendaki Allah untuk menyucikan hati mereka.” (QS. Al-Ma'idah: 5: 4)
Adapun tentang kaitannya dengan kita dan orang-orang di sekitar kita, maka yang harus kita lakukan adalah menilai seseorang itu berdasarkan bukti-bukti yang terlihat, kerana kita tidak mengetahui yang ghaib yang tersembunyi di dalam hati. Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan apa yang ia mampu, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara sesuai dengan bukti yang aku dengar.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6967, 7169]
Kita tidak dibebankan untuk mencari-cari apa yang tersembunyi di dalam hati. Oleh kerana itu Allah Ta'ala berfirman,
“Jika mereka bertaubat dan melaksanakan shalat serta zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
(QS. At-Taubah: 9: 5)
Yaitu orang-orang musyrik, apabila mereka bertaubat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka, biarkanlah jalan mereka, serahkan urusannya kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukan yang sedemikian itu, maka terjagalah darah dan harta mereka daripadaku, kecuali dalam hak yang telah ditetapkan Islam. Adapun perhitungan mereka terserah kepada Allah.”
Dengan demikian menilai amalan seseorang itu secara zhahir. Jika seseorang bersaksi bahwasanya tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, maka darah dan hartanya terlindungi oleh Islam dan perhitungannya diserahkan kepada Allah. Kita tidak dituntut kecuali yang zhahir saja.
Begitu pula orang yang mengucapkan kata, “lā ʾilāha ʾillallāh” maka darah dan hartanya terlindungi oleh Islam, beginilah sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam.
Selanjutnya Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan dua hadits yang di dalamnya terdapat dua kisah yang sangat menakjubkan,
Pertama, hadits dari Al-miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bagaimana pendapat tuan apabila aku menemui seorang lelaki kafir kemudian terjadi pergaduhan antara kami. Lalu dia telah memotong sebelah tanganku dengan pedang hingga tanganku terputus. Setelah itu dia bersembunyi di sebalik sepohon pokok dan berkata, “Aku telah masuk Islam kerana Allah.” Bolehkah aku membunuhnya setelah ia mengatakan itu? (kalimah lā ʾilāha ʾillallāh').”
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab, “Jangan kamu membunuhnya!” Seseorang musyrik yang telah berhasil menebas salah satu tangan seorang muslim, kemudian ia bersembunyi di balik pohon dan mengucapkan, “Aku telah masuk Islam kerana Allah.” Bolehkah aku membunuhnya setelah ia mengatakan itu?”
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam menjawab, “Jangan kamu membunuhnya!” Jika kamu membunuhnya berarti kamu sepertinya sebelum ia mengucapkan kata-kata ini, maksudnya kamu kafir.
Walaupun kita mengira bahwa orang ini mengucapkan, lā ʾilāha ʾillallāh' kerana takut dibunuh, oleh kerana itu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kamu membunuhnya!” maka terjagalah darah dan hartanya.
Hadits ini sebagai dalil bahwa seorang kafir yang telah merusak harta seorang muslim atau membunuh seseorang tidak dituntut hukuman setelah ia masuk Islam, kerana Islam telah menghapuskan seluruh perbuatannya sebelumnya.
Kedua, Rasulullah shallallahu'alaihi alaihi wa sallam mengutus Usamah bin Zaid dalam sebuah peperangan ke Huraqah dari suku Junainah, kemudian sesampainya mereka ke kaum itu dan berhasil menguasainya, ada seseorang yang melarikan diri, lalu Usamah dan seorang dari Anshar mengikutinya dan ingin membunuhnya. Setelah ia menemukannya ia mengucapkan, lā ʾilāha ʾillallāh, seseorang Anshar itu lebih paham dari Usamah sehingga dia tidak jadi membunuhnya setelah mendengar ucapannya itu, tetapi Usamah tetap membunuhnya.
Tatkala mereka kembali ke Madinah, berita itu sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Usamah, “Apakah kamu membunuhnya setelah mengucapkan, “lā ʾilāha ʾillallāh?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, ia mengucapkannya kerana ingin berlindung dari terbunuh.” Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mengulangi sabdanya, “Apakah kamu membunuhnya setelah mengucapkan, “lā ʾilāha ʾillallāh?” Ia menjawab, “Ya Rasulullah, ia mengucapkannya kerana ingin berlindung dari terbunuh,” ia mengulanginya lagi. Kemudian Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda dalam riwayat muslim, “Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan ucapan dia, “lā ʾilāha ʾillallāh” pada hari Kiamat?”
Usamah berkata, “Sehingga aku berangan-angan sekiranya aku belum masuk Islam sebelum hari itu.” Kerana kalau dia masih kafir kemudian masuk Islam, Allah akan mengampuni semua dosanya, tetapi sekarang ia melakukan pembunuhan ini dalam keadaan muslim, hal Inilah yang membuatnya bersedih.
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mengulangi sabdanya ini, “Apakah kamu membunuhnya setelah mengucapkan, “lā ʾilāha ʾillallāh?” Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan ucapan dia, “lā ʾilāha ʾillallāh” pada hari Kiamat?” padahal Usamah mengira seperti yang ia pahami yaitu mengucapkannya hanya untuk berlindung dari pembunuhan. Namun demikian, apabila seseorang mengucapkan, “lā ʾilāha ʾillallāh” maka semua urusan telah selesai dan harus dihentikan, harta dan darahnya dilindungi oleh Islam, walaupun mengucapkannya hanya kerana ingin berlindung atau mengucapkannya kerana munafik, maka urusannya terserah kepada Allah.
Hadits ini sebagai dalil kuat bahwa kita menghukumi orang lain itu berdasarkan bukti-bukti zhahirnya. Adapun yang tersembunyi di dalam hati itu urusannya nanti pada hari Kiamat. Pada hari itu, semua rahasia yang tersembunyi dalam hati akan tersingkap, oleh kerana itu hendaknya kita membersihkan hati kita sebelum membersihkan anggota badan ini.
Adapun yang berkaitan dengan interaksi kita terhadap orang lain, maka kita dituntut untuk menghukuminya secara zhahir, sebagaimana sabda Rasullulah shallallahu' alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya kalian mengajukan perkara kepadaku, dan barangkali sebagian dari kamu lebih pintar berbicara dengan alasan-alasannya daripada yang lain, maka
barangsiapa yang aku putuskan dengan hak saudaranya karena kepintarannya bermain kata-kata, maka berarti aku telah mengambilkan untuknya sepotong bara api neraka, maka janganlah ia mengambilnya.”
[Shahih Al-Bukhari no. 6967, 7169 Muslim no. 1713]
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memutuskan perkara ini sesuai dengan bukti-bukti yang tampak, tetapi anda ditunggu oleh siksa neraka jika berdusta dalam persaksian anda, memberi kesaksian palsu dengan lisan anda di hadapan hakim maka sebenarnya ia telah memberikan bagian dari api neraka kepadamu, terserahlah siapa yang menginginkan sedikit atau banyak.
Kesimpulannya dari penjelasan ini bahwa manusia di dunia ini dihukumi dari sisi zhahirnya saja. Adapun di akhirat kelak dihukumi dengan apa yang tersembunyi dalam hatinya.
Oleh kerana itu, hendaknya kita menghukumi orang lain sesuai kondisi yang terlihat, urusannya terserah kepada Allah. Kita harus menyucikan hati, biar bersih dari segala noda, seperti sifat takabbur, hasud, iri hati dengki, syirik, keraguan dan sebagainya. Semoga Allah melindungi kita dari sifat-sifat tercela ini.
Kita mohon kepada Allah untuk selalu membimbing kita menuju akhlak yang mulia, kerana tidak ada yang mampu menunjukkinya kecuali Dia, membersihkan kita dari akhlak dan amal yang buruk, kerana tidak ada yang mampu melakukannya kecuali Dia.
Hadits no. 394.
وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَر بْنَ الْخَطَّابِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: « إِنَّ نَاسًا كَانُوا يُؤْخَذُونَ بِالْوَحْي فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّ الْوَحْيَ قَدِ انْقَطَعَ، وَإِنَّمَا نَأْخُذُكُمُ الْآنَ بِمَا ظَهَرَ لَنَا مِنْ أَعْمَالِكُمْ، فَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا خَيْرًا، أَمَّنَّاهُ، وَقَرَّبْنَاهُ وَلَيْسَ لَنَا مِنْ سَريرَتِهِ شَيْءٌ، اَللَّهُ يُحَاسِبُهُ فِي سِرِيرَتِه،ِ وَمَنْ أَظْهَرَ لَنَا سُوءًا، لَمْ نأْمنْهُ، وَلَمْ نُصَدِّقْهُ وَإِنْ قَالَ إِنَّ سَرِيرَتَهُ حَسَنَةٌ » رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
[Shahih Al-Bukhari no. 2641]
Penjelasan.
Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan riwayat dari Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu, ia berkata, “Kami melihat” maksudnya mengetahui rahasia yang tersembunyi dalam hati pada saat wahyu Allah masih turun; kerana pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak kaum munafik yang menampakkan kebaikan dan merahasiakan keburukan dalam hatinya, Allah menyingkap rahasia mereka itu dengan wahyu yang turun kepada Rasulullah shallallahu' alaihi wa sallam. Allah menyingkap rahasia mereka dengan menyebut nama mereka, tetapi dengan menjelaskan sifat-sifatnya untuk mengidentifikasi mereka.
Hikmah Allah Ta'ala menyebutkan sifat-sifat mereka bukan dengan zhahirnya, agar mencakup secara keseluruhan, yakni siapa saja yang memiliki sifat ini maka itulah orangnya, sebagaimana firman Allah Ta'ala,
“Dan di antara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah, “Sesungguhnya jika Allah memberikan sebagian dari karunia-Nya kepada kami, niscaya kami akan bersedekah dan niscaya kami termasuk orang-orang shalih.” Ketika Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-Nya, mereka menjadi kikir dan berpaling dan selalu menentang (kebenaran). Maka Allah menanamkan kemunafikan dalam hati mereka sampai pada waktu mereka menemui-Nya, kerana mereka telah mengingkari janji yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) kerana mereka selalu berdusta.”
(QS. At-Taubah: 9: 75-77)
“Dan diantara mereka ada yang mencela tentang (pembagian) sedekah (zakat); jika mereka diberi bagian, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi bagian, tiba-tiba mereka marah.” (QS. At-Taubah: 9: 58)
“(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka.” (QS. At-Taubah: 9: 79)
Semua ini banyak terdapat dalam surat At-Taubah yang dinamakan oleh sebagian ulama salafush shalih dengan nama “Al-Fadhihah” yang artinya penyingkap, kerana menyingkap rahasia orang-orang munafik.
Tetapi setelah wahyu terhenti, maka jadilah orang-orang tidak mengetahui mana yang munafik, kerana kemunafikan itu tersembunyi di dalam hati.
Umar bin al-Khattab radhiyallahu anhu berkata, “Sesiapa sahaja yang melakukan kebaikan kepada kami niscaya kami mempercayai dan mendekatinya dan bagi kami tidak perlu memberatkan urusan batin, Allah-lah yang menghitung masalah batinnya. Dan siapa yang melakukan kejahatan kepada kami niscaya kami tidak mempercayainya dan membenarkannya walaupun dia mengatakan bahwa batinnya baik.” Kerana kita tidak dituntut kecuali yang nampak saja, inilah karunia dari Allah Ta'ala untuk kita, kemudian menghukumi batin seseorang itu sulit, sementara Allah tidak membebani kecuali sekemampuannya, barangsiapa yang terlihat baik maka kami menghukuminya baik. Sebaliknya barangsiapa yang terlihat yang buruk maka kami menghukuminya buruk, sesuai dengan apa yang ia perlihatkan kepada kami. Kami tidak bertanggungjawab dengan niat seseorang, niat itu dipasrahkan kepada Allah Ta'ala yang Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam hati manusia.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan